Oleh Muhammad Abdullah Darraz
Selamat hari Senin, mari penuhi hari indah ini dengan cinta. Berikut sedikit rangkuman saya tentang Cinta dalam Kitab Rasail Ikhwan al-Safa.
“Cinta Semesta dalam pandangan Ikhwan al-Safa”
Ikhwân al-Şafâ’ –sebuah kelompok teosof abad ke-10 M di Basrah/Irak– menyatakan, semesta ini hidup dan digerakkan oleh kekuatan inheren (batini) yang diberikan Tuhan pada seluruh elemen-elemennya. Ikhwân al-Şafâ’ menyebut kekuatan tersebut sebagai cinta atau al-‘isyq. Dalam satu risalah khusus dari Rasâil-nya, Ikhwân al-Şafâ’ memaparkannya secara mendalam mengenai tema ini, yakni tentang esensi cinta, cinta jiwa, dan demam cinta akan Tuhan. Tema ini menjadi perhatian khusus mereka, sebab bagi mereka realitas cinta ini ada pada semesta, terpusat dalam karakter berbagai jiwa, baik jiwa universal, maupun jiwa partikular. Dan keberadaannya ada sepanjang entitas-entitas semesta ini berada.
Banyak pendapat para filosof yang memberikan definisi tentang hakikat cinta. Beberapa diantaranya dipaparkan dalam risalah fi mâhiyah al-‘isyq (tentang hakikat cinta). Namun pandangan tentang cinta yang dipegang oleh Ikhwân al-Şafâ’ adalah pandangan yang menyatakan bahwa cinta merupakan hasrat dan kerinduan yang kuat untuk menyatu (syiddah al-syawq ila al-ittihâd), yakni sebuah keadaan yang membuat seorang pecinta ingin lebih dekat dengan yang dicinta (Rasâil Ikhwân al-Safa, vol. III, hal. 272).
Untuk menggambarkan lebih mendalam tentang pengertian cinta ini, dalam risalah tersebut Ikhwân al-Şafâ’ mengutipkan sebuah sya’ir cinta yang ditenggarai berasal dari penyair-sufi Ibn al-Rumi sebagai berikut,
أُعانقها، والنفس بعد مشوقةٌ إليها، وهل بعد العناق تداني؟
وألثم فاها كي تزول صبابتي، فيزداد ما ألقى من الهيمان
كأن فؤادي ليس يشفي غليله، سوى أن يرى الروحين يمتزجان
“Aku memeluknya dan jiwa jatuh cinta padanya, apakah setelah berpelukan aku dijauhkan? Aku mengecup bibirnya agar rasa rinduku hilang tetapi rasa cintaku semakin bertambah. Seolah-olah hatiku tidak sembuh sakitnya, kecuali jika telah melihat dua jiwa menyatu” (Rasâil, vol. III, hal. 272-274)
Kata kunci dalam pengertian cinta di atas adalah penyatuan (al-ittihâd). Sedangkan penyatuan adalah keadaan yang berhembus dari jiwa dan bagian dari aktivitas ruhani. Karena ia hanya dapat dilakukan oleh entitas-entitas ruhani saja. Oleh karena itu keinginan untuk menyatu adalah bagian dari atribut yang dimiliki oleh jiwa-jiwa. Sedangkan entitas-entitas fisik tidak akan bisa melakukan penyatuan, sebab ia terbatas hanya mampu melakukan pendekatan (al-mujâwarah), percampuran (al-mumâzajah), dan persentuhan (al-mumâsah), dan tidak lebih dari itu (Rasâil, vol. III, hal. 273).
Namun demikian, jiwa-jiwa yang mampu melakukan penyatuan ini berada dan mengalir di seluruh raga semesta. Maka dari itu, melalui rasa cinta dan keinginan untuk menyatu, raga-raga semesta telah dihidupkan dan digerakkan oleh jiwa-jiwa ini. Namun siapakah objek cinta dari jiwa ini, siapakah dia yang dicinta dan diharapkan untuk bersatu oleh jiwa-jiwa ini?
Ikhwân al-Şafâ’ menyatakan bahwa keinginan untuk bersatu itu ditujukan kepada Tuhan sang Pencipta, baik itu yang dilakukan oleh jiwa-jiwa partikular maupun jiwa universal. Dialah objek cinta utama dan pertama (al-Ma’syûq al-Awwal). Tuhan adalah tempat lahirnya (al-mabdâ’) keberadaan cinta pada entitas semesta ini, sekaligus Dia adalah tempat kembalinya (al-ma’âd) cinta tersebut.
Cinta semesta –terutama entitas alam tinggi (‘âlam al-‘alawî) yang direpresentasikan oleh jiwa universal, terhadap Tuhan diibaratkan oleh Ikhwân al-Şafâ’ seperti cinta kalangan khawas yang terdiri dari para alim dan orang bijak (filosof). Tanda-tandanya adalah ketika mereka melihat keindahan dan kesempurnaan di alam dunia fisik ini, mereka mencintai keindahan itu karena keindahan dan kesempurnaan di dunia ini diciptakan dan berasal dari Penciptanya yang Maha Indah. Oleh karenanya kecintaan mereka pada keindahan dunia akan berpaling pada kecintaan mereka pada Tuhan sebagai Pencipta yang Maha Bijak dan Pembuat Yang Maha Mengetahui (Rasâil, vol. III, hal. 284). Mereka merasakan kedamaian dan ikatan yang kuat pada Tuhan ketika melihat ciptaan-Nya di dunia ini. Bahkan mereka berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meniru apa yang telah Tuhan lakukan di alam semesta ini melalui berbagai karya-karya yang mereka buat, meniru berbagai perbuatan baik Tuhan, baik ucapan, tindakan, ilmu, dan amal.
Oleh karenanya dasar dari cinta semesta ini adalah penyerupaan terhadap Realitas Tertinggi, yakni Tuhan Maha Pencipta. Jiwa partikular para filosof dan orang-orang bijak berupaya dengan sungguh-sungguh dan berharap untuk bisa melakukan apa yang telah dilakukan oleh jiwa universal dalam setiap perbuatan, ilmu, amal, dan akhlak mereka. Sedangkan jiwa universal bersungguh-sungguh agar bisa menyerupai Tuhan Penciptanya dalam aktivitasnya ketika menggerakkan orbit-orbit, menggerakkan bintang-bintang, dan membentuk seluruh entitas semesta. Semua itu dilakukan atas dasar kecintaan, ketaatan, dan penghambaan pada Allah Tuhan Pencipta Semesta.
Oleh karena itu, semua gerak dan aktivitas semesta ini didasari oleh rasa cinta dan harapan penyerupaan aktivitas diri mereka dengan “aktivitas” Tuhan. Cinta kepada Tuhanlah yang telah menggerakan dan menghidupkan seluruh entitas semesta ini. Dalam hal ini Ikhwân al-Şafâ’ mengutip pandangan para filosof yang menyatakan,
إن الله هو المعشوق الأول، والفلك إنما يدور شوقاً إليه، ومحبةً للبقاء والدوام المديد على أتم الحالات، وأكمل الغايات، وأفضل النهايات
“Sesungguhnya Allah merupakan objek cinta pertama, sedangkan orbit-orbit dan bintang-bintang berputar karena rindu pada-Nya, dan mencintai untuk tetap kekal dan abadi dalam keadaan yang paling utuh bersama-Nya, dalam tujuan yang paling sempurna menuju-Nya, dan kekal dalam akhir yang paling utama pada-Nya”. (Rasâil, vol. III, hal. 285)
Lebih jauh, Ikhwân al-Şafâ’ menjelaskan motivasi kuat mengapa rasa cinta yang dimiliki jiwa universal ini begitu kuat telah membuat dirinya menggerakkan semesta ini, menggerakkan orbit-orbit, menjalankan bintang-bintang dan planet-planet, serta menghidupkan berbagai entitas semesta baik di alam tinggi (outer space) maupun di alam rendah (alam sublunar). Jawabannya adalah karena hasrat dan keinginannya yang kuat untuk memanifestasikan segala kebaikan, keutamaan, kesempurnaan, kenikmatan, dan kebahagiaan yang hanya terdapat di alam ruhani, yang tak dapat terungkapkan oleh kata-kata.
Aktivitasnya menggerakkan dan menghidupkan semesta ini merupakan bagian dari mewujudkan kebaikan dan keutamaan yang membuat dirinya merasakan kenikmatan dan kebahagiaan. Sumber dan muara dari semua kebaikan, keutamaan, kesempurnaan, kenikmatan dan kebahagiaan itu adalah berasal dari pancaran Tuhan (faydh Allâh).
Semua pergerakan dan kehidupan semesta ini sejak dari jiwa universal, dan Materi Orisinal (al-maddah al-ula) yang berada di alam tertinggi (’âlam al-a’lâ), benda-benda orbital di alam tinggi (‘âlam al-‘alawî), hingga pada entitas-entitas fisik di alam sublunar (‘âlam al-suflâ) tidak lain telah digerakkan oleh cinta yang tertanam pada seluruhnya terhadap objek cinta utama dan pertama, yakni Allah Sang Maha Pencipta.
Saya ingin mengakhiri pembahasan mengenai cinta semesta terhadap Allah Tuhan Maha Pemurah ini dengan mengutipkan kalimat inti Ikhwân al-Şafâ’ yang menyatakan,
فقد تبين بما ذكرنا أن الله هو المعشوق الأول، وأن كل الموجودات إليه تشتاق، ونحوه تقصد، وإليه يرجع الأمر كلّه. لأن به وجودها، وقِوامها، وبقاءَها، ودوامها، وكمالها. لأنه هو الموجود المَحض، وله البقاء والدوام السرمد، والتمام والكمال المؤيد.
“Maka telah jelas bahwa Allah adalah objek cinta pertama, dan segala entitas yang ada pada semesta ini berhasrat merindukan-Nya, bermuara menuju kepada-Nya, dan segala sesuatu akan kembali pada-Nya. Karena keberadaan-Nya lah, maka entitas-entitas wujud ini menjadi ada, abadi, kekal, langgeng dan sempurna. Karena Dia adalah wujud murni, yang pada-Nya melekat keabadian, kelanggengan, kekekalan, keutuhan, dan kesempurnaan yang kokoh”. (Rasâil, vol. III, hal. 286).
Sekian.
Cc. Prof. Mulyadhi Kartanegara Mulyadhi Kartanegara Iqbal Hasanuddin Yusuf Daud Aan Rukmana Humaidi As Siswanto Rusdi Rommy Fibri Pradhana Adimukti