Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Eksotisme Tanah Sunda

$
0
0

Menguak Eksotisme Tanah Sunda

3 April 2013   09:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:49  177  0 1

Menguak Eksotisme Tanah Sunda

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/3 April 2013

http://mjeducation.co/menguak-eksotisme-tanah-sunda/

Judul: The Wisdom of Sundaland

Penulis: Anand Krishna

Cetakan: 1/2012

Tebal: ix + 200 halaman

ISBN: 978-979-22-8657-1

Harga: Rp60.000

Dalam tradisi masyarakat Maluku ada istilah pela dan gandongPelamengacu pada persahabatan berdasarkan kesadaran bahwa seluruh umat manusia bersaudara. Sementara, gandong merupakan pertemanan berdasarkan kekerabatan, hubungan darah, agama, dan kepercayaan semata. Ketika pela ditempatkan di atas gandong, terjalin relasi inklusif nan harmonis. Tapi tatkala gandong lebih superior ketimbang pela, konflik bernuansa SARA pun menghantui.

Dari Sabang sampai Merauke, kepulauan Nusantara memiliki 300-an suku dan etnik. Dalam konteks kemajemukan tersebut, semangat kebangsaan perlu dikedepankan ketimbang sentimen primordial. Bahkan ternyata ajaran para leluhur begitu universal. Misalnya, masyarakat di Sulawesi (Celebes), mereka memakai dedaunan dan biji-bijian dalam ritual Puang Matoa Saidi. Daun hijau merepresentasikan tubuh, sedangkan bebijian menyimbolkan jiwa. Tujuannya senantiasa mengingatkan manusia pada integrasi raga-sukma.

The Wisdom of Sundaland menguak eksotisme tanah Sunda. Salah satu referensinya ialah karya klasik Adiguru Dattatreya. Beliau menulis kitab Tripura Rahasya sekitar 12.000 tahun silam. Lantas, Swami Sri Ramananda Saraswathi menyadurnya kembali ke Tripura Rahasya; The Mistery Beyond the Trinity (halaman 28).

Menurut penulis, waktu itu relatif. Ketika manusia bahagia, jarum jam berputar begitu cepat. Sebaliknya, saat penderitaan menghampiri, waktu terasa begitu lambat. Bersyukur dan mengingat-Nya dalam suka maupun duka jadi cara ampuh lampaui dualitas. Lantas, kenapa manusia tetap menderita? Sebab, ia melupakan hukum perubahan (Law of Change).

Buku ini juga memuat statistik mengejutkan, 80% gempa dahsyat di dunia terjadi di seputaran The Pacific Ring of Fire. Dari Jawa, Sumatera, hingga pegunungan Himalaya dan laut Mediterania. Itulah sebabnya, nama raja-raja Jawa identik dengan perlindungan alam, misalnya Hamengku Buwana, Paku Buwana, Paku Alam, dll. Seorang pemimpin yang adil niscaya menurunkan berkah dari Bunda Alam Semesta. Sebaliknya, arogansi kekuasaan justru menjadi tumor berbahaya di tubuh NKRI.

Alkisah, leluhur tanah Sunda begitu kaya-raya, makmur-sejahtera, dan bijak-bestari, toh mereka tetap rendah hati. Ibarat belajar dari ilmu padi, semakin berisi kian menunduk. Bahkan, ada pepatah populer dari peradaban Sindhu, “Jo jaaye Jaava so mur na vaapas aaya, jo aaya to par-potta daaya.” Siapapun yang pergi ke Jawa tak akan pernah kembali, tapi kalau ia kembali niscaya membawa kekayaan cukup untuk tujuh turunan. Kata “Jawa” di sini mengacu pada seluruh kepulauan Nusantara kala itu (halaman 71).

Buku ini terdiri ada 17 bab, di antaranya Aksara, Kala, Gamelan, dan Sundara Kanda. Drs. Soedarmono, Dosen Sejarah Universitas Sebelas Maret Solo turut membubuhkan sekapur sirih. Ketua Komunitas Warisan Budaya Surakarta tersebut berpendapat, “Karya tulis ini campuran antara fakta, legenda, dan penelitian ilmiah. Ia mengajak pembaca kembali ke masa ribuan tahun silam, ketika kepulauan Nusantara menjadi semacam Atlantis sebagai pusat peradaban dunia.” (halaman vii).

 

Lantas, terkait suara kempul gamelan, pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006) tersebut mendedah inner significant (makna intrinsik) dari suara Neng, Ning, Neng, dan Nang. Misalnya Ning, merupakan akronim dari Wening/hening (Be Silent!). Manusia butuh saat teduh untuk berefleksi. Ironisnya, karena terlalu sibuk dengan aktivitas di luar diri, jati dirinya sendiri acap kali terabaikan. Ibarat memutar kaset/CD, ada saat untuk menekan tombol pause.

Selanjutnya, Nung merupakan kependekan dari kata Kesinungan. Sinonim dengan ketepatan dalam melakukan eksekusi. Senada dengan petuah Romo Driyarkara SJ, “Manusia harus bisa duga dan prayoga alias memiliki kemampuan menebak secara tepat.” Dalam konteks ini, butuh kreativitas dan keluasan cakrawala berpikir. Fanatisme dan sikap merasa paling benar sendiri (rumangsa isa) sangat merugikan. Untuk meraih Nang (Kemenangan), keceriaan, kemauan, kerelaan berkorban jadi kuncinya.

Pada tataran kebangsaan, buku ini juga menyitir pidato legendaris Bung Karno yang masih sangat relevan, “Kita butuh imajinasi. Kita butuh konsep, energi, dan keberanian untuk membangun bangsa ini. Sebuah bangsa wahai saudara-saudariku terkasih, menjadi besar karena imajinasi, fantasi, dinamisme, dan nyali baja untuk berkorban apa saja. Leluhur kita adalah orang-orang besar. Kompleks Candi Borobudur dan Prambanan menjadi saksi kejayaan masa silam. Tapi bagaimana dengan kondisi kita kini? Kita menjadi bangsa yang kurang imajinatif. Kita butuh dinamisme!” (halaman 155).

Buku setebal 200 halaman ini ibarat perkakas alat selam. Dengan menyelami paparan di dalamnya – menyitir pendapat Sylvia Sucipto –  kita dapat memahami psikis manusia Indonesia modern. Selamat membaca!

Sumber:

https://www.kompasiana.com/nugroho_angkasa/552b030bf17e611661d623d6/menguak-eksotisme-tanah-sunda?page=all

 

Pada usianya yang ke 27 tahun, Anand Ashram merayakan hari jadinya pada 14 Januari 2007 bertempat di One Earth Retreat Center, Ciawi. Perayaan ulang tahun ini mengangkat tema Cultural Celebration “Sunda Sindhu Mehfil”, menampilkan pagelaran tari dan musik India dan Indonesia oleh Hapsari Group dan JNICC Artist. Melalui pagelan tersebut kita bisa merasakan bahwa ada hubungan akar budaya yang erat antara Indonesia dengan India.

86a255ce452a783c7e9abc80df2ef2bd

Melalui kata sambutannya, Dr. Wayan Sayoga yang merupakan Ketua Dewan Penggurus Anand Ashram. Mengatakan senang sekali melihat pertemuan budaya seperti yang terjadi pada malam itu, dimana mengingatkan kita semua akan semboyan kebijaksanaan universal “Vasudhaiva Kutumbakam” bahwa kita semua semua umat manusia adalah saudara.

15941177_10210654478749641_3654277203433514111_nSenada dengan “Satu Bumi, Satu Langit, Satu Kemanusiaan” yang merupakan visi dari Anand Ashram.

Ir. Rd. Roza Rahmadjasa Mintaredja, selaku pemerhati budaya Sunda. Menjelaskan bahwa ada keterkaitan akar budaya yang sangat erat antara Indonesia dengan India, di mana kedua peradaban ini berasal dari satu akar yaitu Sunda sebelum terjadi bencana besar yang menyebabkan eksodus besar-besaran dari paparan Sunda menuju daerah Shindu.

Kang Oca, begitu sapaan akrabnya. Menambahkan bahwa pada malam ini, dirinya bisa merasakan semangat Shindu di dalam acara perayaan ulang tahun tersebut.

Makrand Shukla Director Jawaharlal Nehru Indian Cultural Centre (JNICC) mengatakan senang bisa hadir pada malam itu, di mana beliau bersyukur bisa menjadi direktur JNICC sehingga bisa menghadari perayaan ulang tahun Anand Ashram ke 27. Dimana bisa merasakan suasana penuh dengan keceriaan di One Eart Retreat Center, Ciawi.

Anand Krishna selaku pendiri dari Anand Ashram, mengingatkan untuk “Menjadi Bahagia, dan Berbagi Kebahagiaan Tersebut Kepada Sesama” di tambahkan oleh beliau bahwa tidak ada impor/ekpor budaya antara Indonesia dan India. Yang terjadi adalah bahwa ke dua negara ini berbagi akar budaya yang sama.

The Wisdom Of Sundaland

Wisdom-of-Sundalan-500x500Buku The Wisdom Of Sundaland karya Anand Krishna mengupas tentang hubungan akar budaya antara Indonesia dan India, yang berasal dari satu kebudayaan yang ada di Tatar Sunda.

Terjadi bencana besar pada waktu itu yang menyebabkan tiga kali gelombang migrasi akibat bencana banjir. Migrasi paling awal dan paling besar adalah: ‘Gelombang migrasi pertama berkisar 14.000 tahun yang lalu menuju anak benua India. Mereka sedemikian traumanya terhadap banjir di Paparan Sunda sehingga mereka terus bergerak ke utara sampai dihadang sungai besar bagaikan laut, Indus yang megah, atau Sindhu.

Sindhu dalam bahasa Sansakerta berarti “laut”. Sungai besar ini merupakan gabungan dari Sungai Sengge dan Gar yang berhulu di Himalaya Tibet mengalir melalui India dan Pakistan, bermuara di Laut Arab.

Rombongan para filsuf, ahli kitab, dan pemikir tersebut memilih satu tempat aman di pinggir sungai dan menamakan sungai itu Saraswati. Di pinggir Sindhu Saraswati mereka merenungkan apa yang mereka bawa yang merupakan warisan kuno nenek moyang mereka, yang kemudian warisan ini semakin diperkaya dengan inspirasi-inspirasi segar.

Jauh di kemudian hari, sejumlah besar ilmu pengetahuan, seni dan musik ini kemudian disistematisasi oleh Begawan Vyasa dalam Kisah Mahabharata, yang juga dikenal sebagai Kitab-kitab Weda (Kebijaksanaan Utama).

Yang mengawali Peradaban Lembah Indus, atau Sindhu seungguhnya adalah orang-orang Tatar Sunda, sehingga tidaklah aneh jika terjadi kesamaan budaya antara Indonesia dengan India.

Photo by: Prabu Dennaga

https://www.surahman.com/cultural-celebration-sunda-sindhu-mehfil-perayaan-27-tahun-anand-ashram/


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300