by Radhar Panca Dahana
SEBENARNYA ada yang ironis bahkan tragis, di balik penyebarluasan berita-berita peristiwa tragis yang terjadi di sekitar kita oleh media personal, via media sosial, misalnya. Eksploitasi berita dan gambar yang tidak empatik. Menampilkan secara banal dan vulgar kesedihan, korban, situasi pilu, hingga tubuh-tubuh yang menggiriskan, seperti perluasan gambar dari peristiwa jatuhnya pesawat JT 610 Lion Air kemarin. Tidak hanya melukiskan merosotnya keadaban publik, tetapi juga lebih dalam dari itu.
Ketika banyak pihak merasa gembira dan optimistis melihat fakta tingkat literasi anak muda kita pada internet, juga media sosial khususnya, tinggi. Angka pengguna Facebook, dalam catatan, hanya dikalahkan oleh Amerika Serikat dan India. Bahkan, lebih banyak lagi kalangan kagum dan memuji, ketika di antara mereka, yang sebagian tergolong generasi milenial (gen Y), berani memasuki dunia virtual itu untuk melakukan dagang-e (e-commerce).
Namun, mungkin belum banyak yang menyadari atau menyangka, dunia ‘baru’ yang tidak nyata (unreal) itu, sesungguhnya jauh lebih rumit ketimbang penampakan dan aksesnya yang sederhana. Ia sungguh sangat berbeda dengan material (real reality) sehingga harus dihadapi dengan cara berpikir, penyikapan, hingga perilaku yang berbeda. Bila ingin berdagang di dalam atau melalui dunia tersebut, tidak dengan cara berpikir seorang pedagang kelontong atau pabrikan roti dan kue.
Internet atau virtual reality ialah sebuah dunia baru yang mana segala batasan tradisional yang kita kenali tidak berlaku di sana, sebagaimana Anda membayangkan batas dari imajinasi. Dia borderless, tanpa negara (stateless), tanpa hukum (lawless), dan seterusnya. Yang harus kita hadapi di situ ialah sebuah rimba, lebih lebat dari yang paling purba karena tidak ada kemungkinan kita mengenali, memahami, apalagi menguasainya. Sebagaimana di masa purba, hukum yang berlaku ialah ‘siapa kuat di berkuasa’, survival of the fittest dalam bentuknya yang murni.
Namun, bukan tiada siapa-siapa di sana. Ratusan juta, bahkan miliaran penduduk virtual telah tercatat, baik yang murni virtual maupun yang memiliki dimensi fisiknya di dunia nyata. Di antara mereka sudah ada pihak, individu, komunitas juga ‘institusi’ yang tumbuh, bahkan secara gigantik, menjadi semacam raja-raja kecil atau landlords dengan ambisi, nafsu, termasuk potensi kekerasan yang setara dengan penghuni hutan rimba masa lalu.
Maka siapa pun yang berani masuk ke dalamnya harus berhadapan dengan gergasi-gergasi tersebut, yang tidak harus secara fisik sesuai dengan imajinasi tentang gergas. Namun, misalnya, kemampuan teknologinya yang tinggi, dalam menggunakan dan menciptakan algoritme. Pihak atau individu ini sambil terbahak bisa melangkah santai memasuki ruang paling rahasia Pentagon di Amerika Serikat. Membongkar rekening sebuah korporasi atau mencuri habis seluruh data medis rumah sakit internasional.
Anda hendak masuk sebagai pedagang? Sebagai newcomer dengan katakanlah 1-10 miliar perak, lalu membangun semacam start-up atau aplikasi bisnis tertentu? Sadari saja, hutan yang Anda masuki, tempat benih dagang tadi hendak tumbuhkan, ada di tengah pohon-pohon besar yang menjulang sehingga kita tidak bisa melihat pucuknya.
Begitu Anda berkembang sedikit, pohon besar itu akan melilit akar atau rantingnya untuk membuat Anda menjadi bagian dan hidup tergantung padanya. Riwayat beberapa aplikasi lokal, bahkan yang tergolong unicorn, kita tahu mengalami ironi di atas. Tak hanya di sini. Di mana-mana.
Menjadi tragedi
Di tingkat individual, ironi itu menjadi semacam tragedi. Internet dengan pelbagai platformnya akan (selalu dengan sukses) menelan habis siapa pun (individu) yang berani masuk ke dalamnya. Tidak hanya itu, pusaran gelombang dunia ini akan dengan cepat mengubah seseorang menjadi satu sosok dengan identitas yang kian lama tidak ia kenali. Apa pun elemen atau ciri dari jati diri seseorang jauh lebih dikenali oleh tiap algoritme di tiap platform yang individu bersangkutan masuki.
Di dalam dunia antah-berantah ini, setiap orang kian tidak mampu menentukan sendiri, mulai warna hingga merek baju dalamnya, rumah yang ingin dibelinya, bahkan istri yang diidamkannya. Diri telah dikonstitusi oleh program dan keberagaman dikendalikan oleh intensi dari para pemilik platform utama.
Tragedi itu pun terjadi, manusia kehilangan semua yang selama ini ia perjuangkan–selama ribuan tahun dalam bentuk kebudayaan untuk menjadi: manusia yang sebenarnya. Tuhan hilang. Tauhid, kalau pun masih ada, ilusif.
Semua itu tergambar jelas dalam dampak yang terjadi saat seseorang masuk dan menggunakan berbagai media sosial yang disediakan oleh hutan rimba virtual ini. Hampir seluruh bentuk media daring itu memiliki fasilitas dan peluang untuk para penggunanya mengekspos dirinya, komplit dengan seluruh libido natural maupun nurturalnya. Satu peluang yang dengan cepat ditangkap oleh siapa pun yang merasa hidup semakin berat dalam hal kontestati personal. ‘Ini saatnya aku muncul, menjadi sesuatu, become somebody’.
Namun, ketika yang melakukan hal itu miliaran orang, ironi pun terjadi. Alih-alih ia mendapatkan ruang untuk tampil sebagai ‘seseorang’, ia justru tenggelam habis. Pertempuran ‘antar-pribadi/personalitas’ berlangsung begitu kuat. Setiap orang harus survive (yang ditandai oleh like atau follower) dengan menghadirkan hal-hal yang tidak dimiliki atau diduga orang lain. Kejutan atau surprise, keganjilan, misteri, hingga hal-hal yang bersifat kasar, ganas, dan horor menjadi pilihan hanya untuk sekadar mengatakan aku ‘ada’. Aku bermedia aku ada.
Situasi tragis ini sebenarnya hanya salah satu dari ‘penyakit’ dari penggunaan media sosial yang kian adiktif. Penyakit yang sebelumnya melihat internet sebagai salah satu obat atau terapi, tapi ternyata justru membuatnya mengalami sindrom ‘takut kehilangan diri’ sehingga ia memanfaatkan dirinya sebagai medium (jamak: media) menyebarkan hal-hal yang lebih verbal, sensasional, kasar, bahkan mengerikan ketimbang sebaliknya. Demi follower sebagai indikator eksistensi.
Apakah ada kebenaran, nilai atau moralitas di dalam ekspresi itu? Bagaimana mungkin itu terjadi, ketika setiap orang bebas menyatakan apa pun, bahkan senegatif apa pun. Kebenaran menjadi preferensial, ‘apa kata gua’. Otoritas hancur. Apalagi empati, kian lama akan luntur. Kecuali ia berkaitan dengan program eksistensial seseorang. Jika tidak, apa pun akan dilakukan, termasuk menyiarkan kabar dan gambar memilukan dari hidup tragis orang lain.
http://m.mediaindonesia.com/read/detail/194259-aku-bermedia-aku-ada