Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Permufakatan Yogyakarta  Agamawan dan Budayawan

$
0
0

Permufakatan Yogyakarta  Agamawan dan Budayawan

Meskipun terakui kenyataan mutakhir kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia mengalami guncangan akibat perkembangan tak terduga di
tingkat global sehingga menciptakan banyak perubahan – yang bahkan
fundamental di tingkat lokal atau sampai pada soal eksistensial atau
kejelasan jati diri –, kita sebagai pemilik sah keberadaan serta kedaulatan
Indonesia tetaplah optimistis mampu menjawab secara adekuat semua
persoalan dan tantangan yang muncul sebagai akibat di atas. Kita pun
percaya, melalui pendidikan yang disempurnakan secara berkelanjutan, kita
akan meraih masa depan yang cerah melalui generasi-generasi baru yang
(harus) menjadi bonus demografi yang tercerahkan.

WhatsApp Image 2018-11-03 at 12.13.41 PMHal tersebut tidak akan dapat tercapai bila kita bersama, baik sebagai
individu, bangsa, maupun negara, tidak melakukan koreksi – besar dan kecil
– dan tidak menciptakan perubahan yang signifikan di semua
level/dimensinya: cara berfikir, merasa, bersikap atau bertindak, baik dalam
dimensi akal, fisikal, mental hingga spiritual.

Kami bermufakat perubahan tersebut antara lain harus terjadi pada:

  1. kalangan agamawan dan budayawan dalam memahami dan mengatasi
    disrupsi yang terjadi dalam dirinya sendiri sehingga mengganggu
    bahkan merusak bukan saja iman (keyakinan) umatnya, tapi juga
    hubungan idealnya dengan kenyataan sosial serta kultural lokal di
    mana ia berada;
  2. penghayatan serta pengamalan praktik-praktik keagamaan di seluruh
    sudut negeri ini yang terbukti dalam sejarah yang panjang terintegrasi
    secara positif, konstruktif, dan produktif dengan praktik-praktik
    kebudayaan di setiap satuan etnik yang dimiliki bangsa Indonesia;
  3. pendidikan, baik umum maupun agama, formal maupun non-formal,
    dengan memahami dan melanjutkan secara lebih adekuat praksis dan
    makna pengajaran dalam dunia tradisi, termasuk kemampuan
    alamiahnya dalam mengakselerasi perkembangan zaman,
    bagaimanapun radikalnya, dengan antara lain:
    • I. memosisikan kembali orang tua dalam peran sebagai guru yang paling mula dan mulia dalam proses pengajaran anak-anak Indonesia;
    • II. mengedepankan pengajaran akhlak yang berbasis pada pencerahan kalbu sebelum hal-hal lainnya, mulai dari tahap pendidikan dini hingga tingkat menengah, dengan menggunakan model-model yang menjadi panutan/keteladanan melalui pelbagai produk kebudayaan, antara lain kesenian, seperti: sastra, teater, tari, rupa sebagai tradisi yang masih hidup, juga adat-istiadat yang mengintegrasikan dunia religius dan tradisional sebagaimana dipelihara kraton-kraton di seluruh nusantara.
    • III. terus memperbaiki dan mengembangkan bahasa agama dan budaya yang mampu menghindarkan dirinya dari diksi, semantika atau retorika yang jumud, intoleran, teologi yang berpihak, atau ideologi yang bertentangan dengan kenyataan aktual, faktual juga historis bangsa;
    • IV. mengatasi secara keras dan tegas mental rendah-diri para anakdidik dengan contoh-contoh faktual tentang kenyataan-kenyataan keunggulan manusia Indonesia beserta produk-produk kulturalnya;
    • V. menanamkan pemahaman dan praktik hidup sedalam-dalamnya bahwa agama (dengan segala pemahaman dan ibadahnya) bukanlah berarti segalanya, dalam arti manusia sudah selesai hanya dengan agama dan menafikan dimensi-dimensi hidup lainnya yang sesungguhnya setara peran dan fungsinya yang konstitutif.

4. sikap dan perilaku kita, sebagai manusia, kelompok, juga sebuah
bangsa, yang tetap kuat dilandasi oleh nilai-nilai luhur sebagaimana
telah dipraktikkan oleh leluhur bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari
di setiap etniknya, seperti antara lain:
a. jujur
b. sabar
c. bersyukur (berterima kasih pada semua makhluk)
d. berkesetaraan
e. berbhineka (pluralis dan multikulturalis) plus wawasan kebangsaan
f. bergotong-royong
g. disiplin dan bertanggungjawab
h. mandiri
i. saling mengasihi
j. santun (dalam berpolitik, bertutur, bersikap dan berperilaku)
k. menerima yang menjadi haknya, bukan sebaliknya
l. mengedepankan laku (praktik dalam foot print, bukan hanya kognisi
dalam bentuk footnote)
m. keterbukaan (open minded)
5. Negara, cq pemerintah, dalam hal ini tidak hanya berperan dalam
memelihara, melayani atau memfasilitasi saja, tapi selain terus
mengoreksi kekeliruannya, bahkan hingga tingkat sistemik, juga
menjadi inisiator dari perubahan-perubahan di semua level
dimensinya, termasuk misalnya menciptakan sebuah narasi yang dapat
dan menjadi pijakan bersama (common ground) mulai dari soal siapa,
dari mana bermula, hingga akan kemana Bangsa Indonesia.

6. mendorong praktik kehidupan beragama untuk melahirkan iman yang
membuahkan kesalehan spiritual dan kesalehan sosial.

Mufakat ini tentu akan tidak berarti apa-apa, bila semua pihak tidak
berusaha untuk melaksanakannya, di mana karena itu, lembaga-lembaga
utama, seperti organisasi agama, komunitas budaya, pemerintah hingga
satuan-satuan informal mengimperasi secara kuat (menugaskan dengan
tegas) dirinya sendiri untuk melakukan perubahan bahkan revolusi di dalam
diri selaras dengan apa yang menjadi isi dari mufakat ini.
Semoga Tuhan yang Mahakuasa dan doa serta harapan leluhur yang
mulia memberkati kita dan seluruh upaya baik kita ini.

Agama Tidak Bisa Dilepaskan Dari Tradisi dan Budaya

Oleh. Zastrouw Al-Ngatawi (Budayawan)

Tradisi dan budaya tidak sekedar hasil kreatifitas manusia tetapi sekaligus juga merupakan pembeda antara manusia dengan makhuk lain. Manusia akan tetap menjadi manusia ketika masih berbudaya dan memiliki tradisi. Ketika manusia sudah tidak berbudaya maka sebenarnya dia sudah tidak menjadi manusia lagi. Sebagai makhluk, derajatnya akan turun atau tergadrasi menjadi seperti hewan atau malaikat.

Atas dasar ini maka setiap upaya penghancuran tradisi dan kebudayaan sebenarnya merupakan upaya pendegradasian derajat kemanusiaan, sekalipun itu dilakukan atas nama agama. Beragama tanpa kebudayaan akan menjadikan menusia menjadi seperti malaikat yang derajatnya juga berada di bawah manusia.

Berkebudayaan dalam beragama adalah penggunaan nalar kreatif untuk mengamalkan, merealisasikan dan mewujudkan ajaran agama yang abstrak dan universal dalam laku hidup yang kongkrit dan faktual. Berkebudayaan dalam konteks keberagamaan bisa dipahami sebagai proses mendialogkan ayat-ayat qauliyah (teks agama) dengan ayat-ayat kauniyah (realitas alam dan kehidupan) secara kritis dan kreatif hingga ajaran agama yang ideal dan ilahiah menjadi manusiawi. Bukan sekedar norma dan nilai-nilai abstrak yang sulit dijalankan oleh manusia.

Dengan cara pandang seperti ini agama menjadi indah dan mudah diamalkan serta ramah pada kenyataan. Agama menjadi sumber inspirasi atas tradisi dan kebudayaan. Dan pada sisi lain tradisi dan kebudayaan menjadi instrumen / alat (wasilah) dan metode (manhaj) dalam mengamalkan dan memahami ajaran agama. Dengan cara ini agama menjadi mudah dipahami, diamalkan dan membahagiakan. Karena agama bukan lagi menjadi beban dan ancaman yang menakutkan tetapi menjadi laku hidup yang bermanfaat.

Bagi orang-orang kreatif yang arif dan beradab agama jelas bukan menjadi kekuatan yang melindas dan alat memberangus tradisi. Agama bukan menjadi alat legitimasi untuk menista dan merendahkan tradisi yang ada. Sebaliknya agama justru menjadi pelindung tradisi yang baik yang sudah hidup dan berkembang di masyarakat.

Dalam konstruksi masyarakat Nusantara kita bisa melihat hubungan yang harmonis, dinamis dan kreatif antara kebudayaan dan tradisi dengan agama (Islam). Pola hubungan yang seperti inilah yang menyebabkan berbagai ragam corak tradisi dan budaya Nusantara tetap tetap terjaga dan terpelihara sehingga bisa eksis hingga saat ini, meski kadang terjadi perubahan format dan bentuk. Melalui tradisi inilah para wali dan ulama Nusantara memasukkan nilai-nilai dan ajaran Islam.

Kenyataan ini mencerminkan bagaimana para wali dan ulama Nusantara memiliki pandangan yang lapang, ilmu yang luas dan pemahaman keagamaan yang dalam. Dengan kapasitas seperti ini mereka tidak memandang teks agama sebagai benda mati dan produlk jadi yang statis dan harus diterima apa adanya.

Para ulama melihat ada beberapa teks agama yang menyebutkan adanya kemungkinan membuka ruang dialog antara ajaran dengan realitas, terutama pada hal-hal yang tidak memiliki ketetapan pasti (qath’i), misalnya pada pelaksanaan ibadah ghairu mahdlah (jenis-jenis ibadah diluar salat, puasa dan lainnya). Pada konteks ini, teks agama dilihat sebagai bahan baku yang perlu diolah dan dihidupkan melalui nalar kreatif agar bisa dijalankan secara kontekstual. Dengan cara ini agama akan tetap aktual sepanjang zaman dan tempat (shoheh fi kulli zaman wa makan)

Selain melahirkan berbagai konstruksi kebudayaan dan tradisi, sikap beragama yang berkebudayaan juga melahirkan berbagai konsep dan kaidah keilmuan, misalnya di bidang fiqh lahir konsep ‘urf, maslakhah mursalah, istikhsan syadud dzara’i. Di bidang Al-Qqur’an dan Hadis lahir ilmu tafsir, ulumul qur’an, balaghah, asbabul nuzul, asbabul wurud, jarh wa ta’dhil dan sebagainya. Semuanya ini merupakan perangkat teknis akademik untuk menjabarkan ajaran agama yang ada dalam teks yang abastrak dan normatif menjadi praktis dan operasional.

Melalui ilmu-ilmu ini para ulama bisa bersikap ramah dan kreatif terhadap realitas termasuk pada tradisi dan budaya yang ada di masyarakat. Mereka melakukan rekonstruksi kebudayaan dengan strategi yang canggih dan efektif. Para ulama tidak main hantam, menista dan melarang berbagai tradisi yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebaliknya, mereka tetap menjaga berbagai tradisi tersebut dengan spirit, nilai dan pemahaman baru yang sesuai dengan ajaran ini.

Dari sini kita bisa melihat, sikap menista, memberangus, melarang, dan merusak tradisi merupakan cermin kedangkalan dalam memahami agama sehingga agama menjadi kering, dangkal, dan sempit. Jika sudah demikian sikap orang beragama akan cenderung menjadi keras dan kaku. Selain itu, menjauhkan agama dari kebudayaan dan tradisi sama dengan membuat agama menjadi tidak manusiawi karena menjadi sulit dipahami dan diamalkan oleh manusia. Jika sudah demikian ajaran agama hanya bisa diamalkan oleh malaikat, sebagai makhluk Allah yang tidak memiliki kreatifitas yang bisa melahirkan kebudayaan dan tradisi.

Persekusi terhadap tradisi bisa menyebabkan terjadinya defisit tradisi dan kebangkrutan budaya yang bisa membuat manusia kesulitan memahami dan mengamalkan ajaran agama. Dari sinilah muncul krisis kemanusiaan yang menjadi sumber bencana sosial.

NUSANTARAINSTITUTE.COM
Tradisi dan budaya tidak sekedar hasil kreatifitas manusia tetapi sekaligus juga merupakan pembeda antara manusia dengan makhuk lain.

 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300