REVOLUSI MENTAL,
SAATNYA KEMBALI BERPEDOMAN PADA
KEARIFAN LELUHUR SUNDALAND-NUSANTARA
Oleh: Ahmad Yanuana Samantho
Bismillahirahmanirrahim,
Allahuma Shalli ala Muhammad w ala Aaali Muhammad wa ajjil farojahum,
Perkembangan pemikiran umat manusia di dunia ini, Alhamdulillah, pada kenyataannya tidaklah statis dan stagnan. Walaupun mungkin belum menjadi trend yang mainstream (arus utama) dalam prosesnya, namun perkembangan positif itu lahir ada sejak akhir abad 20 dan berlanjut kini pada awal abad 21.
Sebagaimana kita ketahui, dan ini juga yang dijelaskan ulama intelekjtual Asy-Syahid Murthada Mutahhari, bahwa arus sejarah dan perkembangan peradaban umat manusia dan bangsa-bangsa, sangatlah tergantung dari bagaimana pola pikir dan cara pandang dunia (worldview, weltanshaung) atau falsafah-ideology dan moral-mental yang hidup dan beroperasi pada mayoritas warga bangsa atau elit dominan pembangun peradaban tersebut. Pola tindakan dan berbagai peristiwa sejarah, tak mungkin terlepas dari pola pikir para pelaku sejarah tersebut, yang menghasilkan peristiwa, aksi dan berbagai fenomena, baik sosial, politik ekonomi, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelolaan lingkungan hidup ekologis, dll.
Krisis Manusia Modern
Kini sudah mulai banyak pemikir dunia dan kaum intelektual dunia melihat bahwa Peradaban Barat yang masih dominan saat ini, sudah mulai menghadapi saat-saat kritis kehancurannya. Berbagai gejala kemunduran dan kehancuran ekologis, sosial-politik-ekonomi dan budaya, semakin mewabah dan menjadi lingkaran setan yang tak berujung. Kekerasan terorisme, kejahatan pembunuhan/penembakan massal dan perang, kehancuran institusi keluarga, moral dan budaya akibat narkotika, sex bebas dan LGBT semakin kerap muncul di Negara adidaya Amerika dan Negara-negara blok Barat (dan juga Timur Jauh dan Timur-Tengah) yang berada di bawah pengaruhnya (kolonialisme dan Imperialisme-nya). Kehancuran institusi politik-ekonomi, lingkungan/ekologis planet bumi dan sosial menjadi semakin mewabah akibat korupsi-kolusi dan nepotisme, yang diakibatkan keserakahan yang didorong oleh pola pikir (falsafah-ideologi) individualisme-hedonisme-materialisme-sekularisme-atheisme, dan ego individualisme deterministik-atomistik sektarian dalam bungkus falsafah-ideologi dan ilmu pengetahuan-teknologi (science-technology) modern. Modernisme tersebut jelas-jelas telah menentang dan berlawanan dengan ajaran tradisional suci dan kebijaksanaan abadi agama-agama dunia (Traditional Sacred Science & Perennial Wisdom) yang sudah ber-ribu tahun (lintas millennium) hadir dalam sejarah dan peradaban-peradaban umat manusia.
Modernisme-materialisme tersebut telah semakin menampakan hakikat wajah buruk dan efek satanic-nya yang merusak, ketimbang janji-janji palsu (PHP) akan kebebasan, persaudaraan, kesetaraan, kemajuan, dan kesejahteraan (liberte, fraternite, egalite, dan progress yang digaungkan para filosof dan ilmuwan modern sejak Revolusi Perancis di paruh kedua abad ke 16 Masehi.
Secara hipotetis-filosofis dapat dikatakan bahwa krisis multidimensional mutakhir yang dihadapi umat manusia saat ini adalah efek negatif dari Materialisme dalam Modernisme dan Postmodernisme yang telah semakin meningkat dan terbukti secara bersamaan dari hari ke hari di era kontemporer ini. Sayangnya tidak cukup banyak jumlah orang yang menyadari bahwa krisis multidimensional global dalam seluruh kehidupan manusia hari ini, adalah benar-benar secara asasi berakar lebih dalam pada paradigma filosofis Modernisme-Materialis mereka.
Masalah utama modernisme (dan juga postmodernisme) pada kehidupan manusia modern disebabkan oleh dominasi pandangan dunia sekuler-materialistik (materialisme, humanisme sekuler dan sekularisme) yang bercampur dengan agnostisisme, antropho-sentrisme dan ateisme, sebagai alat dan “filosofi dasar” ideologi materialisme liberalisme-kapitalisme.[1]
Pada gilirannya, dominasi modernisme sekuler-materialistik ini telah menyebabkan banyak masalah krusial dan gawat bagi kehidupan manusia di bumi. Krisis multidimensi yang terjadi dari hari ke hari, telah menakutkan sebagian besar orang di dunia saat ini, tanpa manusia modern dapat memecahkan masalah mendasar mereka secara tuntas dan komprehensif. Masalah ini akan penulis elaborasi dalam deskripsi analitis berikutnya tentang masalah modernisme, kritik modernisme dan postmodernisme juga dan solusi alternatif untuk masalah tersebut menurut sudut pandang Seyyed Hossein Nasr. Menurut penulis, analisa Seyyed Hossein Nars ini juga ternyata sangat relevan dan menemukan kesinambungan akarnya pada kearifan lokal tradisional suci dan perennial bangsa kita di Sundaland-Nusantara (Asia Tenggara).
Dalam mengambarkan kondisi kehidupan umat manusia moderen saat ini, menurut Seyyed Hussein Nasr, manusia modern telah terusir ke tepian lingkaran roda realitas eksistensialnya (keberadaan nyata sejatinya), yang jauh dari porosnya. Ini adalah krisis eksistensial yang diderita oleh manusia modern, karena mereka melupakan realitas diri mereka sendiri. Nasr menulis:
“Dunia masih terlihat oleh diatur kekuatan dan elemen yang kosong dari suatu horizon spiritual, bukan karena tidak hadirnya cakrawala spiritual seperti itu, tapi karena mereka seringkali memandang lanskap kontemporernya seperti manusia yang tinggal di tepian lingkaran roda eksistensi dan karena itu memandang segala sesuatu dari pinggiran lingkaran roda keberadaan. Dia tetap acuh tak acuh terhadap jari-jari roda dan benar-benar tidak menyadari Sumbu dan Pusatnya, yang bagaimanapun tetap tak pernah diakses ke tengahnya dari pinggirannya.”
“Masalah kehancuran yang dibawa teknologi kepada lingkungan, yang menyebabkan krisis ekologi dan sejenisnya, semua itu adalah masalah akibat penyakit amnesia atau lupa diri yang diderita manusia modern serta post-modern. Manusia modern telah lupa siapa hakikat jati dirinya. Hidupnya berada di pinggiran lingkaran eksistensinya sendiri, walau ia telah mampu untuk mendapatkan kuantitas pengetahuan yang banyak tapi dangkal kualitas ilmu pengetahuan dunianya. Dia telah memproyeksikan hanya citra kulit luaran dan dangkal dari pengetahuan tentang dirinya mengenai dunia.”[2]
Menurut Nasr, di dunia Barat manusia pertama-tama memberontak terhadap pengaruh Spiritual Langitan akibat pengaruh falsafah-ideologi humanisme zaman Renaissance di Eropa Abab 16; pada saat awal ilmu pengetahuan (science) modern hadir mewujud. Antropologi humanistik renaissance adalah latar belakang yang mendorong Revolusi Ilmiah pada abad ketujuh belas dan penciptaan Ilmu pengetahuan yang meskipun di satu sisi bersifat manusiawi, dalam arti lain, akal rasional manusia dianggap yang paling anthropomorphic dan bentuk ilmu pengetahuan yang paling mungkin. Hal itu yang menjadikan nalar humanisme dan data empiris hanya didasarkan pada indera manusia sebagai satu-satunya kriteria untuk keabsahan (validitas) kebenaran semua pengetahuan.[3]
Nasr juga menyatakan bahwa dekadensi kemanusiaan di zaman modern ini disebabkan oleh hilangnya kemanusiaan dari humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan) di zaman modern ini, karena manusia telah kehilangan pengetahuan langsung tentang dirinya sendiri dan juga tentang Diri yang Sejatinya, yang sebenarnya ia selalu memilikinya, dan karena ketergantungannya pada sebuah sudut pandang luar, sebuah pengetahuan tentang dirinya sendiri yang supevisial (dibuat-buat), yang ia berusaha dapatkan hanya dari luar lingkaran. Secara harfiah ini adalah pengetahuan “dangkal” yang diambil dari pingir lingkaran dan tanpa sebuah kesadaran diri akan poros roda dan jari-jari yang dapat menghubungkan dia seperti sinar cahaya matahari ilahiah.[4]
Alternatif Paradigma Baru
Berbeda dengan filsafat-ideologi materialisme Barat Sekuler, pandangan dunia dan kosmologi-teologis (falsafah-ideologi) tradisional Sunda dan Jawa, serta suku-suku etnis lainnya di Nusantara, sebagaimana yang terjabar dalam ageman Sunda Wiwitan / Sunda Buhun dan kepercayaan Kapitayan Jawa, sangat berpusat kepada Kesejatian “Realitas Ketuhanan Yang Maha Esa”: Sang Hyang Tunggal, Sangkan Paraning Dhumadi, yaitu asal-usul Semua Keberadaan (Being-Existence).
Kosmologi-teologis Nusantara yang tergambar dalam moto “Bhineka Tunggal Ika” (= Beraneka-ragam perwujudan makluk yang berasal dari Realitas Tuhan YME dan akan kembali kepada Tuhan YME) “Tan Hanna Dharma Mangwa” (artinya: Tiada Kebenaran yang mendua), “Mulih ka Jati Mulang ka Asal” (Kembali kepada Kesejatian, Pulang ke Asal) adalah identik dengan konsep Islam Muhammadi: “Inna lilahi wa ilaihi Rojiun”. Tuhan YME= Sang Hyang Widhi-Wasa = Sang Hyang Manon (Tuhan Yang Maha Melihat) = Sang Hyang Kersa (Tuhan Yang Maha Berkehendak) = Sang Hyang Wenang (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Modernisme, sebagai sebuah pandangan dunia materialistik-sekuler dan paradigma filosofis yang masih dominan pada sebagian besar kebanyakan orang di dunia sejak zaman modern sampai sekarang, menurut hipotesa Nasr dan juga terawangan banyak cerdik cendikia dunia yang tercerahkan, telah menyebabkan banyak masalah dan mendorong krisis multidimensional bagi kehidupan manusia.
Di sisi lain, masalah kedua yang muncul sebagai reaksi ekstrim terhadap modernisme – adalah munculnya “fundamentalisme” ekstrim paham keagamaaan di mana mereka melakukan penafsiran harfiah ( literaisme ) berlebihan dan aplikasi religius yang salah (terutama dalam aspek eksoterisme / kulit luaran Islam) yang diajarkan hari ini. Pada satu sisi hal ini juga akhinya telah menyebabkan berbagai bencana terorisme, penyimpangan dan kekerasan yang mengatas-namakan ajaran Islam dan Tuhan.
Setelah kita mengidentifikasi dan memahami permasalahan & krisis modernisme, seberapa jauh kita bisa mencari alternatif paradigma baru untuk memecahkan masalah tersebut? Apakah ada paradigma alternatif baru yang dapat memecahkan masalah tersebut menurut Seyyed Hossein Nasr? Berapa jauh terkait dengan beberapa kesadaran baru, Sophia Perrenialism (kebijaksanaan abadi) dan mistisisme (ilmu suci tradisional) yang telah meningkat dan terlahir kembali di era kontemporer baru-baru ini? Bagaimana dan mengapa ini relevan dengan Teori Fisika Quantum mutakhir dan kearifan tradisional suci dan Perennial Nusantara dalam melihat kosmologi baru? Dapatkah filsafat, tradisi dan agama bersatu dan akan menyelaraskan dalam satu paradigma baru holistik-integral (terpadu dan menyeluruh) di masa depan?
Apa yang disarankan oleh Seyyed Hossein Nasr ini tentang pentingnya Traditional Sacred Science (Ilmu Pengetahuan Sakral/Suci Tradisional) serta Sophia Perennialisme (Kearifan Kuno-Abadi) menjadi tema sentral Thesis Magister (S-2) penulis (dan sudah diterbitkan edisi bahasa Inggrisnya di Jerman pada tahun 2011). Ternyata dalam perkembangannya, penulis menemukan relevansi dan signifikasinya dengan warisan kearifan lokal asli Nusantara atau dengan nilai-nilai dan ajaran tradisional sakral/suci Nusantara yang telah menjadi semacam Sophia Perennialism, yang mungkin tak hanya akan bermanfaat bagi masa depan Revolusi Mental bangsa kita, tetapi juga akan bermanfaat bagi masa depan kemanusiaan sedunia.
![]()
https://www.amazon.ca/Ahmad-Yanuana-Samantho-Books/s?ie=UTF8&page=1&rh=n%3A916520%2Cp_27%3AAhmad%20Yanuana%20Samantho
![TSSSP]()
Signifikansi
![cover buku Warisan Kearifan Nusantara & Dunia]()
Buku yang dikembangkan dari hasil penelitian Program Magister Filsafat Islam (2010) di ICAS Universitas Paramadina ini, tentu sangat penting dan akan memberikan banyak manfaat dan signifikansi untuk kehidupan sehari-hari saat ini dan masa depan kita. Setidaknya hasil penelitian ini sangat signifikan untuk melakukan dekonstruksi yang berlanjut pada reformulasi (dan rekonstruksi) membangun kembali paradigma sains kita secara filosofis. Pada gilirannya, pada tingkat epistemologi dan aksiologi, pendekatan paradigma holistik dan integral ini dan nilai-nilai dalam pencerahan Filsafat Islam dan Tasawuf Islam (Irfan & Tasawuf) yang terintegrasi dalam “tradisi budaya Islam Nusantara” dapat memecahkan banyak masalah manusia modern secara bertahap, baik untuk tujuan individu dan juga dalam sistem sosial-ekonomi-politik-budaya dan di dalam supremasi percerahan terbaru, dan peradaban yang lebih baik.
![TSSSP2]()
Lebih spesifik, manfaat yang saya harapkan dapat tercapai setelah thesis dan buku ini diselesaikan dan diterbitkan adalah hasil penelitian ini dapat berfungsi sebagai pedoman untuk menyusun ulang kembali filsafat ilmu kita (atau minimal epistemologinya. Kemudian kita dapat menjabarkan atau merevitalisasi pandangan dunia baru, sebagai penguatan kristal falsafah ideologi Pancasila sehingga dapat memainkan peran penting sebagai pedoman proyek rekonstruksi kurikulum pendidikan ilmu pengetahuan baru dengan melakukan penulisan ulang semua isi buku teks akademis ilmu pengetahuan dan teknologi menuju rekonstruksi peradaban manusia baru dalam sinaran cahaya misionaris Islam Nusantara sebagai “Rahmatan lil ‘Alamin” atau “Hamemayu hayuning Bawono”, “Hamengku Buwono”. “Sunda nu Nyunda Sa’amparen Jagat”. “Silih Asih, Silih Asuh, Silih Asah, Silih Wawangi.”
Pentingnya Paradigma Baru sebagai Panduan Revolusi Mental
Menurut Hussein Heriyanto dalam bukunya Paradigma Holistik, pergerakan Abad ke-20 ke abad ke-21 umat manusia telah menuai badai. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang diandalkan oleh manusia modern untuk mencapai kebahagiaan ternyata berbalik mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Dua perang dunia yang besar telah terjadi dengan ratusan juta korban manusia dengan rekayasa teknologi senjata pemusnah massal. Berbagai senjata canggih, mulai dari senjata kimia untuk bom nuklir, yang dirancang untuk membunuh banyak manusia, atau setidaknya digunakan untuk mengancam dan menggertak negara-negara lain, (seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Israel terhadap negara-negara yang tidak mau menyerah kepada arogansi Amerika Serikat & Israel saat ini.)
Manusia modern melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara faktual tidak berkorelasi positif terhadap kesejahteraan umat manusia. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan di ulang tahun PBB 24 Oktober tahun 1999 lalu, menyebutkan bahwa abad ke-20 sebagai abad paling gelap dan paling keras dalam sejarah umat manusia, abad yang paling ramai dengan cerita penderitaan manusia. Para pemikir yang bijaksana dan para intelektual mengkhawatirkan akan munculnya berbagai bencana kemanusiaan dan bencana alam di abad ke-21 mendatang[5]. Oleh karena itu, Anthony Giddens menyebutkan saat ini ditandai dengan ketidakpastian yang diproduksi yaitu periode ketidakpastian dan menyebabkan konsekuensi risiko tinggi.[6]
Kisah penderitaan manusia untuk menemukan realitasnya sendiri, belum berakhir. Krisis modernisme tidak berhenti pada irasionalitas dan krisis moral, krisis epistemologis, krisis ekologi dan krisis kekerasan saja. Tapi krisis modernisme, yang juga melanda Indonesia, tidak berhenti hanya pada krisis epistemologis dan metodologis seperti ini. Lebih akut, terjadi pada tingkat ontologis berkenaan dengan krisis eksistensial manusia mengenai sifat, tujuan dan makna dalam hidupnya. Manusia modern telah dilemparkan ke dalam sebuah krisis eksistensial, kehampaan spiritual, krisis legitimasi makna dan misi hidupnya, serta kehilangan penglihatan dan terasing dari alam semesta, dari Tuhan dan dirinya sendiri. Albert Camus menjelaskan bagaimana segala upaya manusia untuk menemukan esensi dari siapa dia, selalu bertemu dengan kegagalan, sehingga sampai kesimpulan bahwa hidup ini adalah tidak masuk akal, tidak memiliki arti. Kehidupan adalah seperti orang yang berjuang untuk mendaki gunung tanpa harapan tidak akan pernah mencapai tujuan. Albert Camus sehingga mempertanyakan mengapa manusia, yang tidak tahu dan tidak punya tujuan dalam hidup masih akan hidup di dunia yang tidak berarti ini. Mengapa manusia tidak lebih baik bunuh diri?
Abad ke-20 abad ke-21 menuai badai. Setelah 6 abad manusia menyatakan kedaulatan mandirinya dan menyatakan kematian Tuhan sendiri, situasi sekarang terbalik. Jarum sejarah telah mengguncang sendi kepercayaan manusia modern; rukun iman mereka itu jatuh. Rasionalitas, subjek otonom, antroposentrisme, positivisme, ilmu pengetahuan dan teknologi, kini bersiap-siap menjadi puing-puing fosil peradaban. Energi yang hilang. Roh telah menghilang. Manusia modern telah mati.
Manusia harus mati? Beberapa dari mereka kemudian menampilkan dirinya seperti dalam perilaku Cheerful Robot (robot yang ceria), orang yang mencoba melarikan diri dari kecemasan mental dan kecemasan eksistensial mereka dengan menerjunkan diri dalam berbagai hiburan, kesenangan sensual (terutama seksual), konsumsi produk-produk mewah, melakukan perjalanan ke tempat terdekat yang menyenangkan, dan sibuk dengan daya tarik permainan yang beragam. Semua itu dilakukan secara tidak sadar, dan sepenuhnya tunduk pada rekayasa psikologis kapitalis-imperialis “pedagang kesenangan”. Banyak lagi yang berperilaku seperti zombie. Zombie yang menghantui di jalan-jalan mencari mangsa, tanpa emosi berdarah dingin, bertindak anarkis–destruktif, seperti yang ditampakkan oleh berbagai aksi terorisme seperti serangan teroris militant ISIS di Syiria dan Serangan Koalisi Arab Saudi kepada sesama Muslim di negeri Yaman (2015- kini) atau pembantaian rakyat Palestina oleh tentara Israel.
Lebih Jauh, terutama di kalangan terdidik, ditandai dengan kecemasan eksistensial mereka dengan meninggalkan eksistensi mereka sendiri, yaitu dengan mengambil sikap apatis, skeptis terhadap semua hal, nihilistik, dan jika perlu, bunuh diri dan bergelimang dengan kemabukan minuman keras, candu dan narkoba.[7]
Menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat: “Ketika mereka menyingkirkan Tuhan Allah, mereka sebenarnya tidak hanya terasing dari Allah. Mereka terlemparkan ke dunia tanpa mengetahui ke mana mereka harus pergi. Mereka tersesat.”, sebagai hasil dari proyek kedaulatan manusia yang diresmikan oleh Renaissance dan Aufklarung (reformasi) yang telah gagal, karena manusia modern telah dibelenggu oleh mitos-mitos baru, berhala baru, ilusi baru, takhayul baru, dan para dewa baru! Orang-orang telah terbelenggu oleh petualangan liarnya sendiri, sampai hilang dan terlemparkan dari dirinya sendiri, terasing dari alam semesta dan dari Tuhan Yang Sejati.[8]
Krisis eksistensial ini berlandaskan pada aspek ontologis atau masalah metafisika yang telah ditutup korelasi dan implikasinya dengan mode epistemologis Barat modern mereka dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern, jadi kita juga harus menjelaskan dan mendiskusikan masalah-masalah epistemologis ilmu modern.
Krisis Epistemologis
Istilah epistemologi digunakan pertama kali pada tahun 1854 oleh JF Feriere. Epistemologi adalah cabang filsafat yang mencoba untuk menjawab pertanyaan dasar seperti yang Kant katakan: “Was kann ich wissen?” (“Apa yang bisa saya ketahui?”).[9] Karena jawabannya adalah tentang masalah pusat pemikiran manusia, sehingga epistemologi memiliki posisi sentral, sebagai mana Ayn Rand sebutkan, epistemologi adalah dasar dari ilmu-ilmu filosofis. Epistemologi merupakan salah satu bidang utama Filsafat. Hal ini berkaitan dengan sifat, sumber dan batas pengetahuan.[10]
Istilah Epistemologi ini berasal dari kata Yunani: ‘Episteme’ dan ‘Logos’. Episteme berarti ‘pengetahuan’ atau ‘kebenaran’ dan ‘logos‘ berarti ‘berpikir’, ‘kata’, atau ‘teori’. Runes mengatakan bahwa ‘epistemologi adalah cabang filsafat yang menjelaskan sumber, struktur, dan metode dan validitas pengetahuan.[11]
Pada abad ke-5 SM, para sofis Yunani mempertanyakan kemungkinan pengetahuan yang dapat diandalkan dan obyektif. Dengan demikian, seorang sofis terkemuka Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar ada, bahwa jika sesuatu memang ada itu tidak bisa diketahui, dan bahwa jika pengetahuan itu mungkin, itu tidak bisa dikomunikasikan. Sofis lain yang menonjol, Protagoras, menyatakan bahwa tidak ada pendapat seseorang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain, karena masing-masing adalah satu-satunya hakim dari pengalaman sendiri.[12]
Plato, mengikuti gurunya yang terkenal Socrates, mencoba untuk menjawab kaum skeptisisme Sofis dengan mendalilkan adanya dunia yang berubah dan tak terlihat bentuknya, atau ide-ide, tentang mana yang dimungkinkan untuk memiliki pengetahuan yang tepat dan pasti. Hal-hal yang orang dapat melihat dan menyentuhnya, yang mereka pertahankan, adalah salinan sempurna dari bentuk-bentuk murni yang dipelajari dalam matematika dan filsafat. Dengan demikian hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang menghasilkan pengetahuan sejati, sedangkan ketergantungan pada persepsi rasa menghasilkan pendapat tidak jelas dan tidak konsisten. Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis dunia ghaib adalah bentuk tujuan tertinggi dari kehidupan manusia.
Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai ‘The Theory of Knowledge’. Epistemologi dalam penjelasannya terdiri dari dua bagian: ‘epistemologi umum’ dan ‘epistemologi khusus’ atau ‘teori pengetahuan khusus’, terutama untuk pengetahuan ilmiah; sehingga dapat menyebutkan sebagai “Filsafat Ilmu”[13]. The Philosophy of Science (Pengetahuan) dan Epistemologi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Filsafat Ilmu didasarkan pada epistemologi, terutama pada masalah validitas ilmiah.[14] Validitas ilmiah terdiri dari tiga konsep teori kebenaran: korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Korespondensi membutuhkan keselarasan antara ide dan fakta eksternal (alam semesta), kebenarannya adalah empiris-deduktif; koherensi membutuhkan keharmonisan antar pernyataan logis, kebenaran ini bersifat formal-deduktif; sementara pragmatis memerlukan kriteria instrumental atau kebutuhan, kebenaran ini adalah bersifat fungsional.
Produk Korespondensi adalah ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi, sosiologi; produk koherensi adalah ilmu abstrak seperti: matematika dan logika, sedangkan produk-produk pragmatis diterapkan ilmu seperti: kedokteran. Jadi epistemologi merupakan dasar fundamental filsafat ilmu, terutama untuk membuat identifikasi untuk pengetahuan ilmiah, atau pengetahuan sehari-hari, dan bagaimana menggunakan metodologi yang tepat dan prosedur untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah.[15]
Hubungan Tak langsung antara Metafisika dan Epistemology
Jika konflik langsung antara teologi Kristen Barat dan berbagai teori ilmu pengetahuan modern telah sering ditekankan, efek merusak pada teologi adalah konflik tak langsung antara agama dan ilmu pengetahuan yang telah terlalu sedikit menerima perhatian. Interaksi tak langsung ini dapat dianggap di bawah judul metafisika dan epistemologi.
Pandangan Mekanika Descartes tentang materi sebagai perpanjangan murni, yang disertai dengan pandangan pikiran sebagai ‘berpikir substansial ala Descartes’, yang telah meresmikan dualisme metafisik, telah menggantikan pandangan yang lebih tua dan lebih bernuansa pandangan antropologi Kristen. Sejauh dualisme ini telah terbukti secara filosofis tidak bisa dipertahankan, Kristen, dengan pandangannya tentang jiwa dan kehidupan setelah kematian, juga telah muncul dipertahankan.
Gambaran alam semesta sebagai Jarum Jam seperti suatu sistem partikel yang bergerak tertutup, yang diatur ketat oleh hukum fisika (gambaran yang dicontohkan pada abad kesembilan belas oleh karya Laplace), menciptakan masalah dalam memandang tindakan ilahiyah Tuhan. Berbagai deisme populer menawarkan pertimbangan yang paling masuk akal: Tuhan adalah pencipta alam semesta, dan bertanggung jawab atas hukum alam, tetapi tidak memiliki interaksi yang berkelanjutan dengan dunia alam atau dengan sejarah manusia. Alternatif untuk theis (mereka yang masih percaya Tuhan) adalah perhitungan intervensi ajaib atau pertimbangan Allah sebagai penopang imanen proses alam (mukjizat/Miracles). Yang pertama tampaknya membuat Allah irasional (bertentangan dengan ketetapan Tuhan Allah sendiri) atau tidak kompeten (perlu menyesuaikan sistem). Pandangan yang terakhir membuatnya sulit untuk mempertahankan rasa keterlibatan lebih pribadi Tuhan Allah dalam kehidupan manusia daripada yang mungkin untuk Deists tersebut. Sebagian besar perbedaan antara kaum Kristen liberal dan konservatif dapat ditelusuri ke dalam teori tindakan Tuhan: kaum konservatif cenderung untuk mengambil Tuhan yang bisa intervensi, sebuah pandangan kaum liberal tentang Tuhan yang imanentis (menyelemuti).
Teolog Kristen abad pertengahan memiliki dua set kategori epistemologis yang mereka miliki, yang berkaitan dengan scientia (pengetahuan demonstratif atau ilmiah) dan yang berkaitan dengan opinio (‘kemungkinan’ keyakinan, termasuk yang didasarkan pada otoritas). Jadi kesimpulan teologis tersebut yang tidak bisa disimpulkan dari prinsip-prinsip pertama yang bisa dengan senang hati didasarkan pada otoritas tak tercela, sangat bernuansa firman Allah. Namun, pada periode modern, berbagai ilmu pengetahuan yang dikontrak oleh bidang matematika dan logika formal; Hume dan Kant keduanya memberikan kritik kuat argumen deduktif bagi keberadaan Allah dan teologi alam pada umumnya. Selanjutnya, ketika kemungkinan pengetahuan mengambil rasa pengetahuan kontemporer berdasarkan bukti empiris yang berat, menarik menjadi tidak relevan bagi otoritas, dan yang paling dinilai mustahil untuk memberikan bukti empiris untuk klaim teologis. Jadi pertanyaan sentral bagi para teolog modern liberal adalah bagaimana, jika teologi adalah mungkin sama sekali.
Teologi liberal menyimpang dari pertimbangan yang lebih tradisional sebagai hasil dari strategi untuk memenuhi masalah yang diangkat langsung atau tidak langsung oleh ilmu pengetahuan. Setelah Friedrich Schleiermacher, banyak teolog liberal telah memahami agama untuk membentuk bola sendiri pengalaman, yang tidak berhubungan dengan pengetahuan ilmiah. Doktrin teologis adalah ekspresi dari kesadaran religius, bukan pertimbangan dari alam supranatural. Tuhan bekerja secara imanen, bukan oleh intervensi, baik dalam dunia alam atau sejarah manusia. Dengan demikian teologi liberal telah menghindari konflik langsung dengan ilmu pengetahuan modern, pada biaya (atau dengan konsekuensi menguntungkan) dari revisi sangat radikal tentang konsep agama dan teologi. Namun, Isu Ian Barbour dalam Sains dan Agama (1966) mempresentasikan gambaran ensiklopedis titik-titik di mana klaim ilmiah yang relevan dengan pemikiran keagamaan, dan dalam Mitos, Model, dan Paradigma (1974) ia berpendapat kesamaan epistemologis yang signifikan antara ilmu pengetahuan dan agama. Sejak saat itu, semakin banyak ilmuwan dari sayap liberal dari Kristen telah mulai memanggil divisi modern wilayah dipertanyakan.
Pentingnya Merevisi Epistemologi
Mengapa epistemologi sangat penting bagi kehidupan manusia? Menurut Murthadha Muthahhari: “Dalam era baru-baru ini, banyak filsafat sosial, mazhab pemikiran (Mazhab), isme, ideologi itu penting, karena semua orang perlu memiliki suatu bentuk pemikiran tertentu yang jadi sandaran kegiatan kehidupannya. Pada zaman kontemporer sering ada konflik yang terjadi di antara berbagai ideologi dan aliran pemikiran dari banyak kelompok, masyarakat, bangsa, negara.”[16]
Bahkan menurut Samuel J. Huntington, katanya ada ‘pertentangan peradaban’ di milenium ketiga di dunia. Saat ini, kita melihat Militer Amerika dan Inggris yang menaklukkan sumber-sumber alam yang besar seperti minyak dan gas bumi dan untuk melindungi ambisi Zionisme-Israel telah membuat neghara Irak dan Afghanistan serta Syiria diserang dan diinvasi.
Semuanya dilakukan oleh manusia didasarkan pada pemikiran dan ideologinya. Dan ‘ideologi’ tertentu tergantung pada ‘pandangan dunia’ tertentu.[17] Sementara ‘pandangan dunia’ didasarkan pada epistemologi dalam filsafatnya. Itulah sebabnya epistemologi sangat penting untuk kajian dan penelitian.
Menurut Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi dalam Buku Daras Filosofis (Philosophycal Instructions), Sebuah Pengantar Filsafat Islam Kontemporer[18]: “Ada serangkaian masalah mendasar yang dihadapi manusia sebagai makhluk sadar yang kegiatannya muncul dari kesadarannya; dan jika manusia menjadi lalai dalam usahanya untuk menemukan jawaban yang benar untuk masalah ini, ia akan menemukan diri fakta sebaliknya dari ia telah melintasi batas antara kemanusiaan dan kebinatangan. Tetap dalam keraguan -selain ketidakmampuan untuk memenuhi kebenaran nuraninya- tidak akan ada yang memungkinkan manusia untuk menghilangkan kecemasan tentang kemungkinan tanggung jawabnya. Ia akan ditinggalkan merana atau, seperti yang kadang-kadang terjadi, berubah menjadi makhluk yang berbahaya.
Karena solusi yang keliru dan menyimpang, seperti materialisme dan nihilisme, tidak bisa memberikan kenyamanan psikologis atau sebagai makhluk sosial yang baik, kita harus mencari penyebab mendasar korupsi individual dan sosial dalam pandangan dan pikiran yang menyimpang. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain kecuali untuk mencari jawaban atas masalah ini dengan tegas dan resolusi tak kunjung padam. Kita tidak mungkin berusaha sampai kita membangun cadangan dasar bagi kehidupan manusia kita sendiri dan dengan cara ini membantu orang lain juga, dan menangkap pengaruh pikiran yang tidak benar dalam masyarakat dan ajaran yang menyimpang, yang ada saat ini.
Pertanyaan ini membentuk inti tentang masalah di mana epistemologi dipusatkan. Sampai kita dapat memecahkan masalah cabang filsafat ini, kita tidak akan dapat sampai pada solusi terhadap masalah-masalah ontologi atau untuk cabang lain dari filsafat. Sampai nilai pengetahuan intelektual ditentukan, klaim yang disajikan sebagai solusi nyata untuk masalah tersebut akan menjadi sia-sia dan tidak dapat diterima. Akan selalu tetap ada pertanyaan seperti tentang bagaimana kecerdasan dapat memberikan solusi yang tepat untuk masalah ini.
Banyak tokoh terkenal dari filsafat Barat, seperti Hume, Kant, August Comte, dan semua kaum positivis yang telah melakukan kesalahan. Dengan pandangan yang tidak benar, mereka telah tidak dapat menemukan dasar-dasar budaya masyarakat Barat, dan bahkan para sarjana dari ilmu-ilmu lainnya, mereka telah tersesatkan terutama kalangan psikolog behavioris. Sayangnya, pemukulan dan penghancuran gelombang ajaran tersebut juga telah menyebar ke bagian lain dari dunia, dan terpisah dari puncak yang tinggi dan tebing ketidakpastian dengan alasan yang tersisa dan menetapkan latar filsafat ilahi, semuanya kurang lebih telah datang di bawah pengaruh mereka.
Oleh karena itu, kita harus berusaha untuk mengambil langkah pertama yang mantap dengan meletakkan dasar-dasar bagi rumah ide-ide filosofis kita dengan kokoh dan sampai tegap, dengan bantuan Tuhan Yang Maha Esa, kita layak untuk menapak jalan melalui tahap lainnya dan tiba di tujuan yang kita inginkan.
Krisis multi-dimensional (ipoleksosbudhankamnas) yang diakibatkan oleh efek negatif filsafat Barat Materialisme-Moderenisme itu, akhirnya mulai menyadarkan minoritas cendikiawan dan tokoh Barat yang mulai tercerahkan, untuk berpaling dan menoleh kepada warisan kearifan lokal Timur dan agama-agama Timur. Bahkan, sebagai suatu contoh, Prof. Dr. George Mc. Lean, seorang akademisi filsafat dari Chatolik Washington University USA, pada tahun 2009, pernah sengaja berusaha keras membawa rombongan para pemikir dari Negara-negara Barat dan Asia, untuk bekerja sama dengan para ilmuwan dan sarjana filsafat-budaya di Indonesia (di mana saya dan beberapa kawan di ICAS-Paramadina dan para akademisi lainnya juga terlibat di alam upaya bersama ini) mengali kearifan Timur Nusantara dengan menyelengarakan National Research Seminars di 10 Universitas di Pulau Jawa tentang “Philosophy Emerging from Culture”[7].
Para cendikiawan dunia dan para peneliti di lembaga Center for Sacred Science di London UK, juga telah bekerja keras untuk menggali kearifan filsafat perennial dari ilmu pengetahuan suci tradisional peradaban Timur.
Filsafat Perennial (yang abadi)
The philosophia perennis atau Filsafat perennial/abadi menegaskan bahwa wawasan langsung ke dalam sifat dari Realitas adalah kemungkinan universal manusia – apakah itu bisa diperoleh setelah latihan disiplin spiritual dan studi kitab suci tertentu, atau sepenuhnya melalui pengalaman pencerahan rasa persatuan tak terduga dengan Tuhan atau the Ultimate. Hasil dari kesadaran tersebut adalah keyakinan bahwa kita telah berasal dari Satu Sumber tunggal dan proses pembangunan spiritual kita itu selesai dan disempurnakan ketika kita kembali kepada Yang Satu itu.
Menyebut perennialisme ini adalah untuk mengatakan bahwa wawasan semacam itu muncul kembali dalam waktu dan tempat yang beragam, yang tidak terbatas pada budaya khusus, kelas, atau masyarakat tertentu. Dalam kata-kata yang lebih formal, filosofi ini telah digambarkan sebagai “metafisika yang mengakui Realitas illahiyah di balik segala dunia benda, jiwa dan pikiran; psikologi yang menemukan dalam diri seseorang yang identik dengan Realitas illahiyah dan etika yang menempatkan tujuan akhir [seseorang] dalam pengetahuan tentang latar Imanen (yang mencakup/meliputi) dan Transenden (yang luhur) dari segala sesuatu. “
Dalam kata lain, istilah philosophia perennis dimaksudkan untuk menggambarkan filosofi yang telah dirumuskan oleh orang-orang yang telah mengalami penyatuan (Itihad /manunggaling kawulo lan Gusti) langsung dengan Allah atau The Ultimate. Betapapun singkatnya, pengalaman itu mengubah pemikiran orang yang mengalaminya, sehingga mereka tidak pernah sama lagi. Penyataan pengalaman tersebut, dapat ditangkap, namun tampak samar-samar dalam simbol-simbol yang disediakan oleh bahasa manusia atau apapun ekspresi yang artistik, namun sering kali diulang selama berabad-abad oleh orang-orang dari semua ras, jenis kelamin, budaya dan keyakinan agama, yang terbuka kepada Perennial Philosophy.
Lebih dari setengah abad yang lalu, Aldous Huxley memberikan judul ini kepada sebuah antologi yang ia edit. Dalam jenis pengalaman yang berpusat padanya, apakah yang disebut yang kuno atau primordial atau mistis, selubung materialitas adalah pinjaman dan kepastian yang keliru yang akan terhalau.
Untuk para pembaca, antologi Huxley mungkin dapat memvalidasi dan memverifikasi saat di mana self-knowledge seseorang merasa bergerak melampaui keterbatasan dirinya dari sekedar “a foul stinking lump of himself, (sebuah benjolan bau busuk dari dirinya sendiri),” sebagai mana teks Inggris klasik tentang instruksi spiritual, The Cloud of Unknowing telah menggambarkannya. Apakah teks-teks seperti instruksi spiritual dan pengalaman mistik tradisional ini masih bernilai saat ini? Filsafat Perennial merespon dengan tegas, Ya !
Salah satu cara untuk mengungkapkan wawasan sentral dari Filsafat perennial/abadi adalah dengan kalimat That Thou Art, yang diambil dari bahasa Sansekerta dari kitab Upanishad kuno. Ungkapan ini mengajarkan bahwa Diri abadi yang imanen diwujudkan menjadi Satu dengan Prinsip Absolute/Mutlak dari semua Eksistensi, dan bahwa takdir sejati manusia adalah untuk menemukan fakta ini untuk diri mereka sendiri, untuk mengetahui Siapa dan Apakah mereka sebenarnya. Di antara ekspresi hidup lain dari pandangan ini adalah:
- BYAZID OF BISTUM: “Saya pergi dari Tuhan Allah kepada Tuhan Allah, sampai mereka menangisi saya dari dalam diri saya,” O Dia – Aku”!
- ST. CATHERINE OF GENOA: “Saya adalah (bagian dari) Tuhan Allah, juga saya tak mengenali yang lain kecuali Tuhan Allah sendiri.”
- YUNG-CHIA-TA-SHIH: “Cahaya batin adalah di luar dari pujian dan sikap menyalahkan, seperti ruang, itu tidak mengenal batas, bahkan di sini, di dalam diri kita, pernah mempertahankan ketenangan dan kepenuhannya, hanya ketika Anda memburunya, Anda kehilangan itu. Anda tidak dapat memegang itu, tapi pada saat yang sama, Anda tidak bisa menyingkirkan itu. “
- MEISTER ECKHART: “Semakin Tuhan ada dalam segala hal, semakin Dia berada di luar mereka, semakin Dia berada di dalam, semakin tanpa-Nya. Hanya yang transenden, yang lainnya yang lengkap, dapatkah menjadi yang imanen tanpa mengubah oleh yang menjadi di dalamnya yang berdiam.”
- Dan apakah itu yang Engkau dapat menemukan dirinya untuk menjadi?
- RUYSBROECK: “Dalam Realitas Kemenyatuan yang dikenal dengan mistik … kita tidak bisa berbicara makhluk apapun lagi, melainkan hanya dari satu Being (Keberadaan) … Ada kita semua adalah Satu sebelum penciptaan kita, karena ini adalah esensi-super kita. “
- ST. BERNARD: “Siapakah Tuhan Allah? Saya bisa memikirkan tidak ada jawaban yang lebih baik daripada siapa Dia. Tidak ada yang lebih sesuai dengan kekekalan sebagaimana Tuhan Allah. Jika Anda sebut Allah itu baik, atau Maha Besar, atau Maha memberkati atau Maha Bijaksana, atau apa pun semacam ini.., itu termasuk dalam kata-kata ini, yaitu, Dia lah. “
Bagaimana seseorang dapat mencapai kepastian batin itu?
Filsafat Perennial menawarkan jawaban yang tampaknya paradoks. Hambatan bagi pengetahuan Kemenyatuan (Unitive) itu adalah kesadaran obsesif menjadi diri yang terpisah. Yang dilampirkan kepada aku, saya atau milik saya, tidak termasuk pengetahuan unitive tentang Allah.
- WILLIAM LAW: “Manusia tidak berada di neraka karena Allah marah dengan mereka … mereka berdiri di bagian keadaaan perpecahan dan pemisahan dengan gerakan mereka sendiri, yang mereka telah membuatnya untuk diri mereka sendiri.
- ST. JOHNTHE CROSS: “Jiwa yang masih melekat pada apa pun, betapapun banyaknya kebaikan yang mungkin ada di dalamnya, tidak akan sampai pada kebebasan kesatuan ilahiyah … yang diselenggarakan oleh ikatan kasih sayang manusiawi, … betapapun mereka mungkin sedikit, kita tidak bisa, selagi masih ada, membuat jalan kita kepada Tuhan Allah. “
- ALDOUS HUXLEY: “Kita melewati dari waktu kepada keabadian ketika mengidentifikasi dengan spirit/semangat dan melewati lagi dari keabadian kepada waktu ketika kita memilih untuk mengidentifikasi dengan tubuh.”
- Bantuan apa yang tersedia?
- PHILO DARI ALEKSANDRIA: “Mereka berada di jalan kebenaran yang memahami Tuhan Allah dengan cara yang ilahi, diterangi oleh Cahaya (Cahaya di atas Cahaya.)”
- Kapan tersedia? Pertimbangkan afirmasi berikut ini:
- JOEL GOLDSMITH:. “Saya dalam persatuan dengan Kecerdasan Ilahiyah masa lalu, masa kini dan masa depan. Tidak ada rahasia spiritual yang tersembunyi dari saya … Ada Being yang Transendental ini dalam diri saya, yang adalah saya dan yang saya memiliki akses Itu selamanya …. Kesadaran ilahiyah yang tak terbatas dari Tuhan Allah, Kesadaran dari masa lalu, dan masa sekarang dan masa depan, adalah kesadaran saya saat ini. “
- ALDOUS HUXLEY: “…Kita berada di dalam sebuah proses menyapu kembali menuju titik yang sesuai dengan tempat awal di kebinatangan kita, tapi ada ketidaksamaan di atasnya. Sekali lagi kita hidup tinggal di saat itu. Kehidupan sekarang dari makhluk yang cintanya telah mengusir rasa takut, visi telah mengambil tempat harapan duniawi, dan mementingkan diri sendiri telah menghentikan egoisme positif dari puasnya kenangan dan egoisme negatif penyesalan.”
- “Saat ini adalah satu-satunya singkapan melalui mana jiwa bisa lewat dari waktu ke dalam kekekalan, di mana karunia kasih bisa lulus dari keabadian ke dalam jiwa, dan di mana cinta dapat lulus dari satu jiwa pada waktunya untuk jiwa lain dalam waktu.
Lebih dari dua puluh lima abad telah berlalu sejak apa yang telah disebut Filsafat perennial/abadi pertama kali berkomitmen untuk ditulis; dan dalam perjalanannya berabad-abad telah ditemukan ekspresi, kadang bersifat parsial, kadang lengkap, kadang dalam bentuk ini, kadang dalam hal itu, lagi dan lagi. Dalam tradisi kenabian Vedanta dan Ibrani, dalam Tao The King and Dialog Plato, dalam kitab Injil menurut St John dan teologi Mahayana, dalam Plotinus dan Aeropagite, di antara para Sufi Muslim Persia dan mistikus Kristen Abad Pertengahan dan Renaissance, Filsafat perennial/abadi telah dibicarakan hampir dalam semua bahasa di Asia dan Eropa, dan telah membuat penggunaan istilah dan tradisi dari setiap salah satu agama yang lebih tinggi. Tetapi di bawah semua kebingungan ini dalam tradisi lisan dan mitos, dari sejarah lokal dan doktrin partikularistik, tetap ada Faktor umum Tertinggi yang merupakan Filsafat perennial/abadi dalam apa yang kimiawi-nya disebut dalam keadaan murni. Kemurnian akhir ini, tentu saja, tidak pernah akan dapat diungkapkan oleh pernyataan lisan filsafat, bagaimana pun pernyataan ini tak-dogmatis, namun sengaja sinkretis. Kenyataan bahwa itu ditetapkan pada waktu tertentu oleh seorang penulis tertentu, menggunakan ini atau bahasa itu, secara otomatis membebankan bias sosiologis dan pribadi tertentu pada doktrinnya begitu dirumuskan. Ini hanyalah tindakan kontemplasi ketika kata-kata dan bahkan kepribadian yang melampaui, bahwa dalam keadaan murni Filsafat perennial/abadi sebenarnya dapat diketahui. Catatan yang ditinggalkan oleh orang-orang yang telah dikenal dengan cara ini membuatnya sangat jelas bahwa mereka semua, apakah Hindu, Buddha, Yahudi, Tao, Kristen, atau Islam, sedang berusaha untuk menggambarkan Fakta dasarnya sama yang tak terlukiskan.
Tulisan suci asli dari kebanyakan kitab agama adalah puitis dan tidak sistematis. Teologi, yang umumnya mengambil bentuk sebuah komentar yang menalar perumpamaan dan kata-kata mutiara dari kitab suci, cenderung membuat penampilan pada tahap berikutnya dari sejarah agama. Bhagavad Gita menempati sebuah posisi perantara antara Kitab Suci dan teologi; karena itu menggabungkan kualitas puitis yang pertama dengan methode kedua yang jelas. Buku yang dapat dijelaskan, yang ditulis Ananda K. Coomaraswamy dalam bukunya yang Mengagumkan: Hindu dan Budha , “Sebagai sebuah ringkasan dari seluruh doktrin Veda yang dapat ditemukan dalam Veda sebelumnya, dalam Brahmana dan Upanishad, dan karena itu menjadi dasar dari semua perkembangan yang kemudian, yang dapat dianggap sebagai fokus dari semua agama India”, yang juga merupakan salah satu ringkasan paling jelas dan paling komprehensif dari Filsafat Perennial yang pernah telah dibuat.
Oleh karena itu nilainya itu bertahan, tidak hanya untuk orang India, tetapi untuk seluruh umat manusia.
Pada intinya dari Filsafat perennial/abadi kita menemukan empat doktrin fundamental.
Pertama: dunia fenomenal materi dan kesadaran individual – dunia benda dan hewan dan manusia dan bahkan para dewa – adalah manifestasi dari Latar Ilahiyah di mana semua realitas parsial memiliki keberadaan mereka, dan bila terlepas dari-NYA, mereka akan tidak ada (tidak eksis).
Kedua: manusia mampu tidak hanya dapat mengetahui tentang Latar Ilahiyahnya dengan penalaran; mereka juga dapat menyadari keberadaan-Nya oleh intuisi langsung, yang lebih unggul dari penalaran diskursif. Pengetahuan langsung ini menyatukan yang mengetahui dengan apa yang diketahui.
Ketiga: manusia memiliki sifat alami ganda, ego fenomenal dan Diri yang abadi, yang merupakan batiniah manusia, semangat (spirit/ruh), percikan keilahian dalam jiwa. Hal ini dimungkinkan bagi seorang manusia, jika ia menginginkan, untuk mengidentifikasi dirinya dengan Semangat (Spirit/Ruh), dan oleh karena itu dengan Latar Ilahiyah, yang merupakan sifat yang sama atau mirip dengan Semangat (Spirit/Ruh),.
Keempat: kehidupan manusia di bumi hanya memiliki satu ujung dan tujuan: untuk mengidentifikasi dirinya dengan Diri abadinya dan sebagainya untuk datang ke pengetahuan kemenyatuan (unitive/itihad) dengan Latar Ilahiyah.
Dalam agama Hindu yang doktrin pertamanya dari empat doktrin yang dinyatakan dalam istilah yang paling kategoris. Landasan / Latar Ilahiyah / Ketuhanan adalah Brahman, Tuhan Yang Maha Pencipta, Yang Maha mempertahankan dan mengubah aspek yang diwujudkan trinitas Hindu. Sebuah hirarki manifestasi yang menghubungkan benda mati dengan manusia, dewa, para dewa tinggi, dan Ketuhanan yang tak dapat dibedakan dari luar.
Dalam Landasan/Latar Ketuhanan Mahayana Buddhisme disebut Pikiran atau Cahaya Kesunyian Murni, tempat para dewa tertinggi telah diambil oleh Dhyani-Buddha.
Konsepsi serupa yang cocok sempurna dengan Kristen dan kenyataannya telah dihibur, secara eksplisit maupun implisit, oleh banyak mistik Katolik dan Protestan, ketika merumuskan filsafat agar sesuai fakta yang diamati oleh intuisi super-rasional. Jadi, bagi Eckhart dan Ruysbroeck, ada ruang dalam tanpa dasar (Abyss) Ketuhanan yang mendasari Trinitas, seperti Brahman mendasari Brahma, Wisnu dan Siwa. Suso bahkan telah meninggalkan diagram gambar dari hubungan kehidupan antara Ketuhanan, Trinitas Tuhan dan Makhluk. Dalam gambaran yang sangat memancing rasa ingin tahu dan menarik ini, rantai manifestasi menghubungkan simbol misterius Latar Ilahiyah dengan tiga Pribadi Tritunggal, dan Tritunggal pada gilirannya terhubung dalam skala yang turun dengan malaikat dan manusia. Yang Terakhir ini, seperti gambaran jelas menunjukkan, dapat membuat salah satu dari dua pilihan. Mereka dapat baik menjalani kehidupan manusia lahiriah, kehidupan kedirian yang separatis; dalam hal ini mereka hilang (karena, dalam kata-kata dari Theologia Germanica, “tidak ada yang terbakar di neraka tapi akibat diri sendiri”). Atau mereka dapat mengidentifikasi diri mereka dengan batiniah manusia, dalam hal ini menjadi mungkin bagi mereka, seperti Suso tunjukkan, untuk naik lagi, melalui pengetahuan unitive, kepada Trinitas dan bahkan, di luar Trinity mereka, dengan Ultimate Unity (Kemenyatuan Mutlak) dari Ground / Latar Ilahiyah.
Dalam tradisi Islam, rasionalisasi seperti pengalaman mistik langsung ini akan menjadi berbahaya bagi kaum unortodoks. Namun demikian, kita memiliki kesan, pada saat membaca teks-teks sufi tertentu, bahwa yang penulis mereka lakukan adalah benar, memunculkan al-haqq, the Real, sebagai Latar / Landasan Ilahiyah atau Kesatuan/Keesaan Allah (Tauhidullah), yang mendasari aspek aktif dan pribadi Ketuhanan.
Doktrin kedua dari Filsafat perennial/abadi -adalah bahwa mungkin untuk mengetahui latar Ilahi oleh intuisi langsung yang lebih tinggi daripada penalaran diskursif – yang dapat ditemukan dalam semua agama besar dunia. Seorang filsuf yang puas hanya untuk mengetahui tentang Realitas utama- secara teoritis dan melalui desas-desus – dibandingkan dengan Buddha dengan laki-laki gembala sapi lain. Mohammad bahkan menggunakan metafora lumbung rumahan. Baginya filsuf yang belum menyadari metafisika adalah seperti keledai yang hanya membawa beban buku. Para guru Kristen, Hindu, guru Tao tidak kurang tegas menulis tentang pretensi absurd bila hanya belajar dari penalaran analitik. Dalam kata-kata Buku Doa Anglikan, kehidupan kekal kita, sekarang dan selanjutnya, “berdiri dalam pengetahuan tentang Allah”; dan pengetahuan ini tidak diskursif, tetapi “di dalam hati”, intuisi supra-rasional, langsung, sintetis dan abadi .
Doktrin ketiga Perennial Philosophy, bahwa yang menegaskan sifat ganda manusia, jika mendasar dalam semua agama yang lebih tinggi. Pengetahuan unitive (Kemenyatuan/Manunggaling) tentang Latar / Landasan / Celupan (Sibghah) Ilahiyah sebagai kondisi yang diperlukannya, telah siap untuk pengorbanan diri dan amal baik. Hanya dengan cara pengorbanan diri dan amal baik yang bisa membersihkan kita dari kejahatan, kebodohan dan ketidaktahuan yang merupakan hal yang kita sebut kepribadian kita, dan yang mencegah kita dari menyadari percikan keilahian yang menerangi batiniah manusia, tapi percikan dalam ini mirip dengan latar Ilahiyah. Dengan mengidentifikasi diri dengan yang pertama kita bisa datang ke pengetahuan unitive kedua. Fakta-fakta empiris dari kehidupan spiritual ini telah dirasionalisasikan dalam berbagai teologi dari berbagai agama. Hindu secara kategoris menegaskan bahwa Engkau Itu – bahwa berdiamnya Atman sama dengan Brahman. Untuk Kristen ortodoks tidak ada identitas antara percikan Tuhan dan Tuhan. Penyatuan jiwa manusia dengan Tuhan terjadi -penyatuan begitu lengkap sehingga kata pendewaan diterapkan untuk itu; tetapi bukan penyatuan identik substantial/zat. Menurut teologi Kristen, orang suci (santo) adalah “didewakan”, bukan karena Atman adalah Brahman, tetapi karena Tuhan Allah telah berasimilasi pada jiwa manusia yang dimurnikan ke substansi ilahiyah dengan tindakan karunia kasih-Nya. Teologi Islam tampaknya membuat perbedaan serupa. Sufi, Mansur al-Hallaj, yang dieksekusi karena memberikan kata-kata “Persatuan” dan “Penuhanan” yang makna literalnya sama dengan yang ada dalam tradisi Hindu. Demikian juga Syekh Siti jenar. Untuk tujuan kita ini, bagaimanapun, fakta penting adalah bahwa kata-kata ini benar-benar digunakan oleh orang Kristen dan Muslim pengikut Muhammad atau Mohamedan untuk menggambarkan fakta-fakta empiris realisasi metafisika dengan cara langsung, intuisi super-rasional.
Dalam kaitan dengan tujuan akhir manusia, semua agama yang lebih tinggi dalam perjanjian lengkap. Tujuan hidup manusia adalah penemuan kebenaran, pengetahuan unitive Ketuhanan. Sejauh mana pengetahuan unitive ini dicapai di bumi akan menentukan sejauh mana itu akan dinikmati di akhirat. Kontemplasi kebenaran adalah tujuan akhir, tindakan adalah alat. Di India, di Cina, di Yunani kuno, di Eropa Kristen, hal ini dianggap sebagai bagian yang paling jelas dan aksiomatik dari ortodoksi. Penemuan mesin uap yang dihasilkan revolusi industri, tidak hanya dalam teknik industri, tetapi juga jauh lebih signifikan dalam filsafat. Karena mesin bisa dibuat semakin lebih maju dan lebih efisien, orang Barat kemudian percaya bahwa manusia dan masyarakat secara otomatis akan mendaftarkan perbaikan moral dan spiritual yang sesuai. Perhatian dan kesetiaan datang yang harus dibayar, bukan untuk keabadian, tapi untuk masa depan utopis mendatang yang dianggap sebagai lebih penting sebagai keadaan pikiran tentang keadaan eksternal, dan akhir kehidupan manusia dianggap tindakan, dengan kontemplasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Doktrin-doktrin palsu dan historis, yang menyimpang dan sesat, kini secara sistematis diajarkan di sekolah-sekolah kita dan diulang-ulang, hari demi hari, oleh para penulis naskah iklan anonim yang, lebih dari guru-guru lain, memberikan orang dewasa Eropa dan Amerika dengan filosofi pada saat mereka ini hidup. Dan propaganda ini telah begitu efektif sehingga bahkan orang Kristen yang mengaku menerima ajaran sesat tanpa bertanya dan cukup sadar lengkap ketidakcocokan dengan agama mereka sendiri atau orang lain.
Keempat doktrin yang merupakan Filsafat perennial/abadi dalam bentuk minimal dan dasar. Seorang manusia yang dapat mempraktekkan apa yang orang India menyebutnya sebagai Jnana yoga (disiplin diskriminasi metafisik antara yang nyata dan tampak) tak meminta apa-apa lagi. Hipotesis yang bekerja sederhana ini sudah cukup untuk tujuan-Nya. Tapi diskriminasi tersebut sangat sulit dan hampir tidak dapat dipraktekkan, pada setiap tingkat pada tahap awal kehidupan spiritual, kecuali oleh orang yang diberkahi dengan jenis tertentu dari konstitusi mental. Itulah sebabnya sebagian besar pernyataan dari Filsafat Perennial/abadi telah memasukkan doktrin lain, menegaskan keberadaan satu atau lebih adalah reinkarnasi manusia dari Latar (Ground) Ilahiyah, yang oleh mediasi dan rahmat penyembah dibantu untuk mencapai tujuannya -bahwa pengetahuan unitive Ketuhanan, manusia dan kebahagiaan yang hidup yang kekal. Bhagavad Gita adalah salah satu pernyataan seperti itu. Di sini, Krishna adalah inkarnasi Latar Ilahi dalam bentuk manusia. Demikian pula, dalam teologi Kristen dan Buddha, Yesus dan Gautama adalah inkarnasi keilahian. Namun, sementara di dalam Hindu dan Buddha lebih dari satu Inkarnasi Ketuhanan adalah mungkin (dan dianggap sebenarnya telah terjadi), bagi orang Kristen telah ada dan bisa hanya satu.
Sebuah Inkarnasi dari Ketuhanan dan, pada tingkat lebih rendah, setiap saint (wali) yang teosentris, bijak atau nabi adalah manusia yang tahu siapa dia dan karena itu dia dapat secara efektif mengingatkan manusia lain dari apa yang telah membiarkan diri mereka lupa: yaitu, bahwa jika mereka memilih untuk menjadi apa yang mereka sudah berpotensi, mereka juga bisa selamanya bersatu dengan Ground/Latar Ilahiyah.
Ibadah dari Inkarnasi dan perenungan sifat-sifat-Nya yang bagi kebanyakan pria dan wanita adalah persiapan terbaik untuk pengetahuan unitive Ketuhanan. Namun apakah pengetahuan itu sendiri dapat dicapai dengan cara ini adalah pertanyaan lain. Banyak penganut mistik Katolik telah membenarkan bahwa, pada tahap tertentu dari doa kontemplatif, di mana, menurut para teolog paling otoritatif, kesempurnaan kehidupan Kristen akhirnya terdiri, perlu untuk mengesampingkan semua pikiran dari Inkarnasi sebagai hal yang mengganggu dari pengetahuan yang lebih tinggi itu yang telah menjelma. Dari fakta ini telah muncul kesalahpahaman di banyak intelektual dan sejumlah kesulitan. Di sini, misalnya, adalah apa yang Abbot Josh Chapman tulis dalam salah satu Surat Spiritual mengagumkan-nya: “Masalah rekonsiliasi (bukan hanya menyatukan) mistisisme dengan agama Kristen lebih sulit. The Abbot (Abbot Marmion) mengatakan bahwa St Yohanes of The Cross adalah seperti penuh spons kekristenan. Anda dapat menekan semuanya, dan teori mistis tetap penuh. Akibatnya, selama lima belas tahun atau lebih, aku benci St Yohanes of Th Cross dan memanggilnya sebagai seorang Buddhis. Aku mencintai St Teresa, dan membaca-nya berulang-ulang, pertama Dia seorang Kristen, hanya secara sekunder ada; ah seorang mistikus. Kemudian saya menemukan bahwa saya telah menyia-nyiakan lima belas tahun, sejauh doa kekhawatiran. “Namun, ia menyimpulkan, meskipun dari karakter “Buddhis”, praktik mistisisme (atau, untuk memasukkannya ke dalam istilah lain, realisasi Filsafat perennial/abadi) membuat orang Kristen jadi manusia yang baik. Dia mungkin telah menambahkan bahwa hal itu juga membuat umat Hindu yang baik, Buddha yang baik, Tao yang baik, Muslim yang baik dan Yahudi yang baik.
Solusi untuk masalah Abbot Chapman harus dicari dalam domain, bukan filsafat, tetapi psikologi. Manusia tidak dilahirkan identik. Ada banyak temperamen dan konstitusi yang berbeda; dan dalam setiap kelas psiko-fisik seseorang dapat menemukan orang-orang pada tahap perkembangan spiritual yang berbeda. Bentuk ibadah dan disiplin spiritual yang mungkin berharga untuk satu individu mungkin tidak berguna atau bahkan positif berbahaya bagi yang lain yang memiliki kelas yang berbeda dan berdiri, dalam kelas itu, pada tingkat lebih rendah atau lebih tinggi dari perkembangan. Semua ini jelas diatur dalam Bhagawat Gita, di mana fakta-fakta psikologis terkait dengan kosmologi umum melalui dalil dari Gunas.
Krishna, yang ada di sini adalah potongan mulut/lisan Hindu dalam segala manifestasinya, sangat alamiah menemukan bahwa manusia yang berbeda harus memiliki metode yang berbeda dan bahkan tampaknya obyek ibadah berbeda. Semua jalan menuju Roma – asalkan, tentu saja, bahwa itu adalah Roma dan bukan kota lain yang wisatawan benar-benar ingin mencapainya. Sikap serupa amal inklusivitas, agak mengejutkan dalam Islam, dengan indah dinyatakan dalam perumpamaan Musa dan penggembala hewan, diberitahu oleh Jalaluddin Rumi dalam buku kedua dari Masnawi. Dan lebih eksklusif dalam tradisi Kristen masalah dari temperamen dan tingkat pembangunan ini telah diselidiki dalam hubungannya dengan cara Maria dan cara Martha pada umumnya dan khususnya untuk panggilan dan pengabdian pribadi individu .
Kami sekarang harus mempertimbangkan prasyarat etis dari Filsafat Perennialism-abadi. “Kebenaran”, kata St. Thomas Aquinas, “adalah akhir final untuk seluruh alam semesta, dan kontemplasi kebenaran adalah pekerjaan utama dari kebijaksanaan.” Kebajikan moral, katanya di tempat lain, milik kontemplasi, memang tidak esensial dasarnya, tetapi sebagai predisposisi/pendahuluan yang diperlukan. Kebajikan, dengan kata lain, bukanlah akhir, tetapi sarana yang sangat diperlukan untuk pengetahuan tentang realitas ilahiyah. Shankara, komentator tentang Gita, yang terbesar dari India, memegang doktrin yang sama. Tindakan yang benar adalah cara untuk pengetahuan; untuk itu memurnikan pikiran, dan itu hanya untuk memurnikan pikiran dari egoisme bahwa intuisi Latar Ilahiyah bisa datang.
Pengorbanan diri, menurut Gita, dapat dicapai dengan praktek dua kebajikan – cinta inklusif bagi semua dan ketidak-melekatan (non-attachment), yang terakhir adalah hal yang sama seperti yang “ketidakpedulian yang suci”, di mana St. Francois de Sales tidak pernah lelah bersikeras. “Dia yang mengacu setiap tindakan kepada Tuhan Allah”, tulis Camus, meringkas ajaran tuan gurunya”, dan tidak memiliki tujuan menyimpan kemuliaan-Nya, yang akan menemukan sisanya di mana-mana, bahkan di tengah-tengah keributan paling kejam. “Selama kita berlatih ketidakpedulian suci ini ke hasil dari tindakan”, tidak ada pekerjaan yang sah yang akan memisahkan kita dari Tuhan Allah; Sebaliknya, hal itu dapat kita jadikan sarana penyatuan yang lebih dekat.
“Di sini kata ‘halal’ memasok kualifikasi yang diperlukan untuk pengajaran yang, tanpa itu, tidak lengkap dan bahkan berpotensi berbahaya. Beberapa tindakan pada hakekatnya adalah jahat atau tidak; dan tidak adanya niat baik, tidak ada kesadaran yang menawarkan mereka kepada Allah, tidak ada penolakan dari buah dapat mengubah karakter dasar mereka. Ketidakpedulian Kudus membutuhkan untuk diajarkan dalam hubungannya tidak hanya dengan satu set perintah yang melarang kejahatan, tetapi juga dengan konsepsi yang jelas tentang apa yang di Delapan Jalan Buddha disebut sebagai “mata pencaharian yang benar.” Dengan demikian untuk Buddhis, penghidupan benar tidak sesuai dengan pembuatan senjata mematikan dan minuman keras; bagi orang Kristen abad pertengahan, dengan pengambilan bunga rente dan dengan berbagai praktek monopoli yang sejak datangnya dianggap sebagai bisnis yang sah baik. John Woolman, Quaker Amerika, memberikan contoh yang paling mencerahkan dari cara di mana seorang manusia bisa hidup di dunia, saat berlatih ketidak-melekatan (non-attachment) sempurna dan tersisa sangat sensitif terhadap klaim penghidupan yang benar.
Jadi, meskipun itu akan menjadi menguntungkan dan sempurna halal baginya untuk melihat gula India Barat dan anggur rum kepada pelanggan yang datang ke tokonya, Woolman menahan diri dari melakukannya, karena hal-hal ini adalah produk dari tenaga kerja budak. Demikian pula, ketika ia berada di Inggris, itu akan menjadi baik halal dan nyaman bagi dia untuk bepergian dengan pemanggul kursi/kereta. Namun demikian, ia lebih suka untuk membuat perjalanannya dengan berjalan kaki. Mengapa? Karena kenyamanan perjalanan cepat hanya bisa dibeli dengan mengorbankan kekejaman besar untuk kuda dan kondisi kerja yang paling mengerikan untuk anak laki-laki-pemanggul. Di mata Woolman itu, sistem transportasi seperti itu adalah intrinsik yang tidak diinginkan, dan tidak ada jumlah pribadi non-ikatan bisa membuat apa-apa, tapi tidak diinginkan. Jadi dia memanggul sendiri ranselnya dan berjalan.
Di halaman-halaman sebelumnya Huston Smith telah mencoba untuk menunjukkan bahwa Filsafat perennial/abadi dan prasyarat etika yang merupakan Faktor umum tertinggi, hadir dalam semua agama besar di dunia. Untuk menegaskan kebenaran ini tidak pernah lebih penting daripada imperatif pada saat ini. Tidak pernah akan ada perdamaian abadi kecuali dan sampai manusia datang untuk menerima filsafat hidup yang lebih memadai untuk fakta kosmik dan psikologis ini, daripada pemberhalaan gila terhadap iklan nasionalisme dan iman apokaliptik manusia dalam Kemajuan menuju Yerusalem Baru yang mekanik. Semua elemen dari filosofi ini hadir, seperti telah kita lihat, dalam agama-agama tradisional. Namun dalam situasi yang ada tidak ada kesempatan sedikit pun bahwa salah satu agama-agama tradisional akan memperoleh penerimaan universal. Orang Eropa dan Amerika akan melihat tidak ada alasan untuk diubah menjadi Hindu, misalnya, atau Buddhisme.
Dan orang-orang Asia tidak dapat diharapkan untuk meninggalkan tradisi mereka sendiri untuk tulus untuk mengaku Kristen, yang oleh kaum imperialis yang selama empat ratus tahun dan lebih, telah secara sistematis diserang, dieksploitasi, dan ditindas, dan sekarang berusaha untuk menyelesaikan penghentian karya perusakan oleh “upaya mendidik” mereka. Tapi bahagianya masih ada Faktor umum tertinggi dari semua agama dalam pandangan Filsafat Perennial yang selalu dan di mana-mana menjadi sistem metafisik para nabi, orang-orang suci/kudus dan orang bijak. Hal ini sangat mungkin bagi orang untuk tetap menjadi Kristen yang baik, Hindu, Budha, atau Muslim yang baik dan walau belum bersatu dalam perjanjian penuh pada ajaran-ajaran dasar Perennial Philosophy.
Bhagavad Gita mungkin adalah pernyataan kitab suci yang paling sistematis dari Filsafat perennial/abadi ke sebuah dunia saat perang, sebuah dunia yang, karena tidak memiliki prasyarat intelektual dan spiritual untuk perdamaian, hanya bisa berharap untuk menambal semacam gencatan senjata yang genting, ia berdiri menunjuk, jelas-jelas, sebagai satu-satunya jalan untuk melarikan diri dari kebutuhan diri dikenakan penghancuran diri. Untuk alasan ini kami harus berterima kasih kepada Swami Prabhavananda dan Mr. Isherwood karena telah memberi kita versi baru dari buku ini – versi yang dapat dibaca, tidak hanya tanpa rasa sakit kusamnya estetika yang diakibatkan oleh terlalu banyak terjemahan bahasa Inggris dari bahasa Sansekerta, tapi secara positif dengan kenikmatan.
Inti Mistik Tradisi Agama Besar
Enam agama besar telah membentuk peradaban utama dunia yang ada saat ini: ketiga agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan tiga agama Timur (Hindu, Buddha, dan Taoisme/ Konghucu). Agama-agama ini tampaknya cukup bertentangan satu sama lain bila kita lihat dari luar, atau dari bentuk eksoteris mereka. Tidak hanya apakah mereka memiliki ritual, doa dan ajaran yang berbeda tetapi dalam banyak kasus doktrin mereka yang paling mendasar tentang sifat Realitas tampaknya bertentangan satu sama lain. Misalnya, Yudaisme menagatakan: “Jangan ada Allah lain selain Aku” tampaknya berdiri bertentangan secara langsung dengan penyembahan orang Hindu terhadap tiga juta dewa. Ketuhanan Tritunggal Kekristenan kontras tajam dengan Jalan Taoisme yang tak berbentuk, sementara prinsip utama Islam: “Tidak ada tuhan selain Allah”, muncul benar-benar bertentangan dengan desakan Buddhisme bahwa tidak ada Tuhan sama sekali. [19]
Jika kita menggali lebih dalam, bagaimanapun, kami menemukan dalam masing-masing tradisi agama itu, aspek batin atau esoteris, aliran ajaran yang diberikan oleh kaum mistik – orang pria dan wanita mereka yang mengklaim telah memiliki Realisasi langsung, atau Gnosis (Makrifat), dari Alam Realitas Mutlak. Apalagi jika kita membandingkan kesaksian mistik ini tentang Sifat Realitas ini, kami menemukan bahwa, meskipun ada pemisahan luas dalam waktu, tempat, bahasa, dan budaya, mereka sangat mirip – begitu banyak sehingga banyak sarjana telah datang untuk melihat mereka sebagai ajaran yang merupakan filsafat abadi tunggal yang, seperti beberapa bunga tak tertahankan, terus mekar lagi dan lagi dalam jiwa manusia.
Salah satu tujuan utama dari Pusat Ilmu Suci (Center for Sacred Sciences) adalah untuk melestarikan dan mempromosikan ajaran mistik ini dan untuk menunjukkan secara tepat apa yang mereka memiliki kesamaan. Di sini, misalnya, sembilan point disepakati oleh mistikus dari semua tradisi besar, bersama-sama dengan contoh kutipan yang menunjukkan Kesepakatan ini.
- Semua mistikus setuju bahwa The Ultimate Reality (Realitas Mutlak) – apakah itu disebut Allah, Brahman, sifat-Buddha, En-Sof, Tuhan, atau Tao – tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh pikiran manusia atau dinyatakan dalam kata-kata. (Bahkan, arti kata mistik berhubungan dengan kata bisu, yang keduanya berasal dari akar kata mustes Yunani, yang berarti “tutup-mulut.”)
“Tao yang dapat diberi nama bukanlah Tao yang sejati.” – Lao Tzu (Tao)
“Roh tertinggi adalah tak dapat diukur, tidak dapat dipahami, di luar konsepsi, tidak pernah dilahirkan, di luar penalaran, di luar pikiran.” – Upanishad (Hindu)
“Kata dan kalimat yang diproduksi oleh hukum sebab-akibat dan saling mengkondisikan – mereka tidak bisa mengungkapkan Realitas tertinggi.” – Lankavatara Sutra (Buddha)
“Salah satu yang yang melampaui semua pikiran, tidak dapat dibayangkan oleh semua pikiran.” – Dionysius, anggota majelis Areopagus (Kristen)
“Kaum Gnostik (Arifin) tahu, tapi apa yang mereka ketahui tidak bisa dikomunikasikan. Hal ini tidak dalam kuasa para pemilik maqom (kedudukan) paling menyenangkan ini … untuk membentuk kata yang akan menunjukkan apa yang mereka ketahui.” – Ibn ‘ Arabi ( Muslim )
- Alasan Realitas Mutlak tidak dapat ditangkap oleh pikiran atau dikomunikasikan dengan kata adalah karena pikiran dan kata-kata, menurut definisi, membuat perbedaan dan, karenanya, merupakan dualitas. Bahkan tindakan sederhana penamaan sesuatu menciptakan dualitas karena membedakan hal yang diberi nama dari semua hal lain yang tersisa, yang tidak disebutkan namanya. Namun, para mistikus dari semua tradisi besar setuju bahwa segala perbedaan adalah khayalan dan bahwa Alam Ultimate Reality adalah non-ganda.
“Pada dasarnya hal-hal, tidaklah dua tapi satu. Semua dualitas adalah yang secara palsu dibayangkan.” – Lankavatara Sutra (Buddha)
“Tidak peduli apa seorang manusia tertipu mungkin berpikir bahwa dia memahami, dia benar-benar melihat Brahman dan tidak lain selain Brahman. … Alam semesta ini, yang ditumpangkan pada Brahman, tidak lain hanyalah sebuah nama.” – Shankara (Hindu)
“Jika kita akan melihat hal-hal yang benar-benar, mereka adalah asing untuk kebaikan, kebenaran dan segala sesuatu yang mentolerir perbedaan apapun. Mereka adalah kawan karib dari Yang Satu, yang telanjang dari apapun keragaman dan perbedaan.” Meister Eckhart – (Kristen)
“Kesatuan yang ada, di sisi lain dari deskripsi dan keadaan. Tidak ada sesuatu tapi dualitas memasuki lapangan permainan kata-kata itu.” – Rumi (Muslim)
“Segala sesuatu yang Ada adalah sebagai Satu; Perbedaan antara “hidup” dan “mati”, “tanah” dan “laut”, telah kehilangan maknanya. – Master Hasid Anonim (Yahudi)
- Meskipun mistik tidak dapat mendefinisikan Realitas Mutlak dalam kata-kata, mereka masih menggunakan kata-kata untuk menunjuk kepada Hal yang melampaui kata-kata. Misalnya, semua mistikus setuju bahwa, sementara Realitas Mutlak itu merupakan sifat sejati dari segala sesuatu, dalam dirinya sendiri Hal ini adalah bukan.
“Neti neti” (bukan ini, bukan itu) – Upanishad (Hindu)
“Kekosongan (shunyata) … adalah sifat utama dari segala sesuatu yang ada.” – Lama Yeshe (Buddha)
“Makhluk-makhluk segudang di dunia yang lahir dari sesuatu, dan sesuatu dari bukan apa-apa.” – Lao Tzu (Tao)
“Ini adalah dalam kecerdasan kita, jiwa dan tubuh, di surga, di bumi, dan sementara tetap sama dalam Dirinya sendiri, Hal ini sekaligus dalam, di sekitar dan di atas dunia, langit-super, esensi-super, sebuah matahari, bintang, api, air, semangat, embun, awan, batu, batu, semua itu adalah; semua hal ini bukanlah apa-apa. – Dionysius, anggota majelis Areopagus (Kristen)
“Dia tidak disertai dengan keapaan, kami juga tidak menganggap hal itu kepada-Nya. Negasi dari kekosongan dari-Nya merupakan salah satu sifat penting-Nya. – Ibn ‘Arabi (Muslim)
“Tuhan Allah yang tersembunyi, menjadi yang terdalam Being-Ketuhanan sehingga untuk membicarakan-NYA, kita tidak memiliki kualitas atau atribut. – Gerson Scholem (Yahudi).
- Meskipun mistik mengatakan Realitas Mutlak bukanlah suatu hal, mereka juga setuju bahwa kekosongan ini atau ke-bukan-apa-apa-an adalah vakum belaka. Hal ini bersinar dengan terang Roh Murni, Kesadaran Primordial, Pikiran Buddha, atau Kesadaran Diri Sendiri.
“Dia adalah Abadi di antara hal-hal yang berlalu, Kesadaran murni makhluk yang sadar.” – Upanishad (Hindu)
“Semua Buddha dan semua makhluk hidup tidak lain adalah Satu Pikiran, selainnya yang tidak ada.” Huang Po – (Buddha)
“Lampu di mana jiwa diterangi, agar dapat melihat dan benar-benar memahami segala sesuatu … adalah Tuhan Allah sendiri.” – St . Augustine (Kristen)
“Dia adalah roh kosmos, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, serta tangan-Nya. Melalui Dia kosmos mendengar, melalui Dia itu melihat, melalui Dia itu berbicara, melalui Dia itu menggenggam, melalui Dia berjalan.” – Ibn ‘Arabi (Muslim)
“Pikiran ini berasal dari sumber yang luhur dan benar-benar bersatu di atas; itu terbagi hanya karena masuk ke dalam alam semesta perbedaan.” – Menahem Nahum (Yahudi)
- Kaum Mistik dari semua tradisi juga setuju bahwa ketika perbedaan yang diciptakan oleh imajinasi diambil untuk menjadi nyata – khususnya perbedaan antara ‘subyek’ dan ‘obyek’ , ‘aku’ dan ‘lainnya’, ‘diri’ dan ‘dunia’ – kita kehilangan pandangan Sifat Mutlak dari Realitas dan jatuh ke dalam delusi/khayalan. Ini adalah penyebab semua penderitaan kita.
“Disfungsi mendasar pikiran kita mengambil bentuk pemisahan antara saya dan yang lainnya. Kita secara palsu berpegang pada “Aku” yang merupakan lampiran cangkokan diri sendiri pada saat yang sama seperti yang kita pahami dari “yang lain” yang merupakan dasar dari penghindaran.” – Bokar Rinpoche (Buddha)
“Selama rasa “aku” dan “milikku” tetap ada, terikat menjadi kesedihan dan inginkan dalam kehidupan individu. – Anandamayi Ma (Hindu)
“Setiap orang memiliki banyak alasan untuk kesedihan tapi dia sendiri memahami alasan universal yang mendalam bagi kesedihan yang dia alami.” –Cloud of Unknowing (Kristen)
“Selama Anda adalah ‘kamu’, Anda akan sengsara dan miskin.” – Javad Nurbaksh (Muslim)
“Bagaimana bisa setiap kapal (kendaraaan) yang terbatas berharap untuk mengandung Tuhan yang tak berujung? Oleh karena itu, melihat diri Anda sebagai bukan apa-apa; satu-satunya yang merasa bukan apa-apa dapat berisi kepenuhan Kehadiran.” – Menahem Nahum (Yahudi)
- Fakta bahwa perbedaan pada akhirnya tidak berarti nyata, bahwa kita bukan diri yang benar-benar terpisah. Dalam Realitas, semua mistikus menyatakan, Alam Sejati kita adalah Tuhan Allah, Brahman, Buddha – Nature, Tao, atau Kesadaran itu Sendiri.
“Jati Diri kita yang Sangat adalah Buddha, dan terpisah dari alam ini tidak ada yang lain selain Buddha.” – Hui-Neng (Buddha)
“Setelah meninggalkan ke samping Hidup dan Kematian, sekarang ia benar-benar dengan Transmutasi universal.” – Kuo Hsiang (Tao)
“Allah adalah Diri sendiri Seseorang, nafas-nafas dari seseorang yang bernafas, kehidupan dari hidup seseorang, Atman.” – Anandamayi Ma (Hindu)
“Beberapa orang sederhana berpikir bahwa mereka akan melihat Tuhan Allah seolah-olah Dia sedang berdiri di sana dan mereka di sini. Hal ini tidak begitu. Tuhan dan saya, kita adalah satu.” Meister Eckhart – (Kristen)
“Engkau adalah Dia, tanpa salah satu dari keterbatasan ini. Kemudian jika kamu mengetahui keberadaan-Mu sendiri dengan demikian, maka engkau tahu Tuhan Allah; dan jika tidak, maka tidak.” – Ibn ‘Arabi (Muslim)
“Untuk saat ini ia tidak lagi dipisahkan dari Tuan Guru, dan lihatlah dia tuannya dan Gurunya dia.” – Abraham Abulafia (Yahudi)
- Meskipun kebenaran identitas seseorang dengan Realitas Mutlak tidak dapat ditangkap oleh pikiran, semua mistikus bersaksi bahwa Hal ini dapat Direalisasikan/Diwujudkan atau Dikenali melalui Kebangkitan Makrifat/Gnostik (Pencerahan) yang olehnya – pikiran melewati berpikir sama sekali .
“Saatnya akan datang ketika pikiran Anda tiba-tiba akan berhenti seperti tikus tua yang menemukan dirinya di dalam cul-de-sac. Kemudian akan ada orang terjun ke hal yang tidak diketahui dengan teriakan, “Ah, ini!” – Yun Man – (Buddha)
“Ketika cermin dari pikiran saya menjadi jelas … saya melihat bahwa Tuhan Allah tidak lain dari pada saya dan pengetahuan non-dualistik ini benar-benar menghancurkan semua pikiran dari “kamu” dan “Saya”. Aku datang untuk mengetahui bahwa seluruh dunia ini tidak berbeda dari Tuhan Allah. – Lalleshwari (Hindu)
“Di sini, menyangkal semua bahwa pikiran dapat mengandungnya, dibungkus sepenuhnya dalam hal yang tak berwujud dan tak terlihat, ia milik sepenuhnya Dia yang kepadaNya, orang yang berada di luar segalanya. Di sini yang tidak diri sendiri maupun orang lain, seseorang sangat disatukan oleh ketidaktahuan yang tidak aktif sama sekali dari semua pengetahuan, dan tahu di luar pikiran dengan tak mengetahui apa-apa. – Dionysius, anggota majelis Areopagus (Kristen)
“Dia hanya melihat Tuhan sebagai apa yang ia lihat, mengamati pelihat untuk menjadi sama dengan yang terlihat. Ini cukup, dan Tuhan Allah adalah pemberi rahmat, Panduan.”- Ibn ‘Arabi (Muslim)
“Hal ini dengan turun ke kedalaman diri sendiri bahwa manusia mengembara melalui semua dimensi dunia; dalam dirinya sendiri ia mengangkat hambatan yang memisahkan satu lingkungan dari yang lain; dalam diri sendiri, akhirnya , ia melampaui batas-batas nalar dan pada akhir dari jalan, tanpa, seolah-olah, satu langkah di luar dirinya, ia menemukan bahwa Tuhan Allah adalah ‘semuanya’ dan ada ‘apa-apa kecuali dia’.” – Gerson Scholem (Yahudi)
- Semua mistikus setuju bahwa mewujudkan Identitas kita dengan Realitas Mutlak ini membawa kebebasan dari penderitaan dan kematian .
“Ketika seorang manusia mengenal Tuhan Allah, ia bebas: kesedihannya berakhir, dan kelahiran dan kematian tidak ada lagi.” – Upanishad (Hindu)
“Apa itu penderitaan? Apa itu kematian? Pada kenyataannya, mereka tidak memiliki eksistensi apapun. Mereka muncul dalam kerangka manifestasi yang dihasilkan oleh pikiran yang terbungkus dalam sebuah ilusi. … Dalam kekosongan pikiran, tidak ada kematian. Tidak ada yang meninggal. Tidak ada penderitaan dan tidak takut.” – Bokar Rinpoche (Buddha)
“Ketika penangkapan palsu dinegasikan … dari jantung hati yang tercerahkan, maka “kematian akan ditelan selamanya dan Allah akan menghapus air mata dari setiap wajah.” – Abraham Abulafia (Yahudi)
“Tiba-tiba saya menyadari … ” itu benar-benar seperti ini, pada kenyataannya tidak ada satu hal! ” Dengan pikiran tunggal ini, semua belitan yang rusak. Tiba-tiba, seolah-olah beban seratus pound jatuh ke tanah dalam sekejap. Seolah-olah kilat telah menembus tubuh dan menembus kecerdasan.”- Kao – P’an – Lung (Konghucu)
“Manusia ini tinggal di satu Cahaya dengan Allah, dan karena itu tidak ada dalam dirinya baik penderitaan atau berlalunya waktu, tapi keabadian yang tak berubah.” Meister Eckhart – (Kristen)
“Aku telah diselamatkan dari ego dan kehendak-diri, hidup atau mati, apa penderitaan! Tapi hidup atau mati, saya tidak punya tanah air selain Karunia Allah.” – Rumi (Muslim)
- Akhirnya, mistikus dari semua tradisi setuju bahwa ajaran mereka tentang Sifat Realitas Mutlak tidak harus diambil pada keimanan itu sendiri. Sama seperti teori-teori ilmiah yang dapat diverifikasi oleh siapa saja yang bersedia untuk melakukan eksperimen yang tepat, ajaran-ajaran mistis dapat diverifikasi oleh siapa saja yang bersedia untuk terlibat dalam praktek-praktek spiritual yang tepat dan disiplin. (Ini, kebetulan, adalah mengapa kita di Pusat percaya ajaran dan praktik mistis yang dikatakan benar merupakan ilmu pengetahuan yang kudus.)
“Mereka yang mempraktekkan tahu apakah realisasi dapat dicapai atau tidak, sama seperti mereka yang minum air tahu apakah itu panas atau dingin.“ – Dogen (Buddha)
“Kebenaran murni Atma , yang terkubur di bawah dunia Maya dan efek Maya, dapat dicapai dengan meditasi, kontemplasi dan disiplin spiritual lainnya seperti orang berpengetahuan Brahman mungkin meresepkan.” – Shankara (Hindu)
“Jika Anda tidak mencuci batu dan pasir, bagaimana Anda dapat memilih emas? Turunkan kepala dan masuklah ke dalam lubang terbuka membosankan yang non-reifikasi, hati-hati mencari jantung langit dan bumi dengan tekad kuat. Tiba-tiba, Anda akan melihat hal yang asli!” – Liu I- ming (Tao)
“Para patriarkh membuka saluran pikiran di dunia, mengajarkan semua orang yang datang ke dunia bagaimana menggali dalam diri mereka musim semi air kehidupan, untuk bersatu dengan sumber mereka, akar kehidupan mereka.” – Menahem Nahum (Yahudi)
“Jalan orang sufi adalah cara dari gnosis (Irfan) yang tepat dari Tuhan Allah, dan pengetahuan tentang cara-cara beragam pelatihan diri yang diperlukan untuk Arif bi Allah (Mengenal Allah)” – ‘Abd al-Wahab Sya’rani (Muslim)
“Jika Anda mengikuti ajaran saya, maka Anda benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan datang ke sebuah Makrifat (Gnosis) dari kebenaran , dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” – Yesus dari Nazaret (Kristen)
Kearifan Lokal Nusantara dan Benang Merah Golden Age Peradaban Awal Umat Manusia di Nusantara
Menurut saya, analisis sejarah dan pendekatan kebudayaan –sebagai salah satu unsur pembentuk peradaban— sangatlah penting bagi membangun fundasi infrastuktur yang kokoh bagi kemajuan perkembangan kehidupan budaya dan peradaban bangsa. Hal ini akan berkontribusi positif terhadap “National Character Building” yang selayaknya terus kita lakukan sebagai sebuah bangsa yang terus membangun diri.
Kelompok etnis Sunda adalah kelompok etnis kedua terbesar di Indonesia dari sisi jumlahnya setelah suku Jawa. Tentunya peran dan sumbangsihnya sangatlah signifikan dan sangat diharapkan dalam proses pembangunan karakter bangsa Indonesia tersebut.
Makalah ini berusaha untuk mengungkap fakta-fakta sejarah budaya Sunda (yang mungkin sebagiannya belum terungkap dan masih kontroversial di kalangan akademik) yang berkaitan dengan pengaruh ajaran agama Islam dan Hindu terhadap perkembangan budaya Sunda.
Makalah ini juga berusaha mengungkap akar kearifan abadi/falsafah perennial yang menjadi dasar penjelasan bagi kesadaran Bhineka Tunggal Ika, yang mempertemukan berbagai esensi agama-agama dunia dan budaya etnis lokal. Dalam hal kebudayaan Sunda, maka makalah ini akan fokus kepada pengaruh timbal balik (interaksi) Hindu, Islam dan ageman/budaya Sunda Wiwitan.
Jejak Sejarah Para Nabi Allah di Nusantara
Dari sisi lain, yaitu dimensi kajian sejarah filsafat, ilmu kebahasaan dan sejarah agama-agama, saya sendiri (ahmad Y. Samantho) telah menemukan banyak sumber informasi yang memperkuat keyakinan bahwa Peradaban Atlantis dan Lemuria (yang lebih dahulu eksis) di Nusantara dan wilayah sekitarnya {dari Madagaskar-pantai Afrika Timur, sampai ke Pulau Easter/Rapanui di Samudra Pasifik Timur, Dari New Zealand di selatan sampai Hawai (Hawa Iki/Jawa Iki) di Utara Pasifik}. Peradaban Atlantis dan Lemuria itu identik atau paralel dengan sebaran ras dan bahasa Austronesia, sebagaimana yang diteliti oleh Prof.Dr. Sangkot Marzuki, direktur lembaga Eikjman Institute, bersama sekitar 98 ilmuwan Asia lainnya yang bergabung dalam the Pan-Asia Single Nucleotide Polymorphism Consortium under the Auspices of The Human Genome Organization (Mapping Human Genetic Dicersity in Asia).
Peradaban Austronesia atau Sunda Land, atau Lemuria dan Atlantis, atau Kerajaan Rama & Alengkapura (?) di Nusantara, itu saya temukan (hipotesisnya) sebagai tempat persemaian awal peradaban umat manusia (The cradle of Civilization) dan tempat lahir agama-agama besar dunia yang terkait dengan sejarah para Rasul Allah SWT, sejak Nabi Adam as, Nabi Syist, Idris as (Hermes Trimegistus), Nabi Nuh as, sampai Nabi Ibrahim as (Abraham/Brahman). Kesamaan inti ajaran agama Sunda Wiwitan, Kapitayan Kejawen, Hindu, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam.
Bahkan ada temuan informasi yang mungkin masih sulit diterima oleh kebanyakan umat Islam awam, bahwa ternyata, Agama Sunda Wiwitan, Kejawen, atau Kaharingan dari Kalimantan, serta Hindu, Budha, Taoisme itu pada awalnya berkarakter Tauhid (Monotheis) sebagaimana yang dimiliki agama terakhir: Islam. Ini misalnya terlihat pada tulisan Dr. Zakir Abdul Karim Naik: Kesamaan antara Hindu dan Islam[11], Juga hal ini saya tulis dalam buku Peradaban Atlantis Nusantara di Bab 11 Warisan Filosofis dan Spiritual Atlantis: Konteks Keindonesia (p.339-356), dan Bab 12: Dari Kebijaksanaan Abadi (Perennial Wisdom) untuk Dialog Antar Peradaban: Sebuah Perspektif Islam (p.357-468). Ini semakin memperkuat landasan dan latar belakang kenapa muncul motto “Bhineka Tunggal Ika” dalam lambang negara kita Garuda Pancasila. Dalam sumber aslinya motto Bhineka Tunggal Ika itu berlanjut dengan kalimat: Tan Hanna Dharma Mangrwa, yang artinya: “Tak ada Kebenaran (al-Haqq) yang mendua.”
Proses Pembentukan Kebudayaan Sunda
Menurut Agus Aris Munandar, dalam perspektif Anthropologi Sosial, sesuatu kebudayaan itu terbentuk melalui suatu proses panjang sebagai usaha setiap individu dan masyarakat dalam menemukan cara-cara penyelesaian berbagai masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Cara- cara itu secara alamiah kemudian teruji dan lalu diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu kebudayaan yang yang diterapkan oleh masyarakat Sunda atau yang disebut Kebudayaan Sunda, pada hakekatnya adalah merupakan akumulasi dari proses jalan dan cara-cara kehidupan yang dilaluinya dalam periode waktu yang lama, sehingga kemudian terbentuk sebuah kebudayaan yang berciri khas Sunda.[3]
Kebudayaan Sunda itu merupakan kesatuan sistem gagasan, aktifitas dan hasil karya manusia Sunda yang terwujud sebagai hasil interaksi terus menerus antara manusia Sunda sebagai pelaku (subjek) dengan latar tempat ia hidup, dalam rentang waktu yang sangat panjang dan suasana serta pengaruh akulturasi dan asimilasi budaya dengan berbagai pengaruh budaya lain yang berhubungannya dengannya. Boleh dikatakan bahwa kebudayaan Sunda adalah milik masyarakat Sunda yang diperoleh dari hasil proses adaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terus menerus dalam jangka waktu yang sangat lama. Perubahan pada setiap unsurnya dan hubungan antar unsur-unsur itu satu sama lainnya berpengaruh kepada kebudayaan Sunda secara keseluruhan.
Namun demikian, proses adaptasi, akulturasi dan asimilasi antar kebudayaan yang berpengaruh terhadap perkembangan budaya Sunda itu hanya akan terjadi dengan relatif cepat bila terdapat titik temu dengan nilai-nilai dasar prinsipil budaya Sunda yang telah terbentuk selama berabad-abad bahkan ribuan tahun lamanya. Asimilasi dan akulturasi antar beberapa kebudayaan tersebut akan melahirkan suatu kebudayaan baru Sunda yang merupakan hasil titik temu dari proses pembauran terus-menerus antar berbagai kebudayaan yang awalnya berbeda tersebut. Dalam hal ini hubugan interaksi, asimilisasi serta akulturasi yang berpengaruh atau saling mempengaruhi dengan budaya Sunda, adalah budaya dan ajaran agama Hindu, agama Islam, dan agama (Kepercayaan) Sunda Wiwitan/Sunda Buhun.
Bila diteliti lebih jauh, maka proses akulturasi dan asimilasi ini tidak sesederhana seperti anggapan bahwa kebudayaan Sunda telah terbentuk dengan terpengaruh oleh Hindu dan Islam. Karena akan timbul pertanyaan kritis, apakah betul sebelum agama Islam diterima oleh mayoritas masyarakat suku Sunda, mereka itu beragama Hindu atau Budha, yang dianggap kebanyakan orang awam sebagai berbeda 100% dengan Islam. Ataukah justru agama Islam itu dengan mudah diterima oleh mayoritas suku Sunda, karena Islam yang masuk dibawa oleh pendakwahnya adalah Islam dari sumbernya yang murni, yang ternyata banyak menemukan titik temu dan kesamaan prinsip-prinsip dasar dengan agama atau kepercayaan masyarakat Sunda sebelumnya yang sama-sama monotheis, sederhana dan alami, baik dari ageman Sunda Wiwitan, Sunda Buhun, Kepercayaan Kapitayan-Kejawen, Weda-Brahmana (Sanatha Dharma), Hindu-Siwa dan Budha dalam bentuknya yang murni.
Pertanyaan-pertanyaan kritis ini akan menemukan relevasinya bila dikaitkan misalnya dengan kepercayaan suku Sunda di Kanekes (Baduy) Banten, bahwa mereka mengikuti ajarannya (agama) Nabi Adam AS, yang “bukan Hindu bukan pula Islam”. Lalu juga dengan baru terungkapnya fakta bahwa antara ajaran Agama Hindu (Vedha / Sanatha Dharma) dan Islam itu terdapat banyak kesamaan dan titik temu dalam hal monotheisme/Tauhid, sebagai mana yang diungkap oleh Dr. Zakir Naik seorang ulama-sarjana perbandingan agama dari India. Nama yang lebih tepat yang diyakini oleh umat Hindu terpelajar adalah Sanatha Dharma (agama yang abadi) atau Vedic Dharma (agama Weda) atau Vendanta/Vedantist (pengikut Weda). Begitu juga dengan sebuah temuan bahwa tokoh utama Budha Sidartha Gautama, Sang Manusia Suci pendiri ajaran Budha, itu tak lain adalah Nabi Zulkifli yang diceritakan dalam Al-Qur’an, atau Yehezkiel dalam Bibel.[4] Jejak peninggalan komunitas agama Budha di tatar Sunda terlihat misalnya dari situs sejarah Candi Jiwa dan Candi Blandongan dan lain-lain di Batu Jaya, Karawang, Jawa Barat, peninggalan kerajaan Taruma Nagara (abad 4 M) dan Sriwijaya (abad 7 M).
Dalam terjemahan Sogdian, ekspresi ‘Dharma’ telah diterjemahkan sebagai ‘nom’, yang awalnya berarti ‘hukum’. Namun sekarang ekspresi itu juga berarti ‘buku’/kitab. Jadi kaum Buddhis, sebagaimana juga dikenal sebagai “Ahli Kitab”, walaupun dalam Buddhisme itu sendiri tidak ada satu buku atau kitab yang memiliki otoritas tertinggi sebagaimana Al-Qur’an dalam Islam. Penggunaan kata buku untuk menterjemahkan Dharma, diadopsi oleh bangsa Uighur dan Mongol dalam terjemahan mereka. Beberapa ulama Muslim lain juga menerima teori ini, termasuk sejarahwan Muslim Persia yang banyak menulis tentang India di abad ke 11 M, yaitu Al-Biruni.
Dr. Haidar Bagir juga mengatakan bahwa beberapa hasil penelitian juga membuktikan bahwa agama Hindu sebenarnya berasal dari para pengikut awal Nabi Nuh AS. (Lihatlah antara lain pengamatan Sultan Sahin dalam bukunya: Islam dan Hinduisme). Dalam pengamatannya ini, penulis menyebutkan bahwa para sarjana pemikir muslim lainnya juga sependapat dengan hal ini, seperti Syah Waliyullah, Sulaiman an-Nadwi, serta beberapa sarjana kontemporer India yang lainnya seperti, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Muhammad Ali.[5]
Bahkan ajaran awal yang kemudian disebut agama Hindu itu, awalnya adalah ajaran Vedha-Brahmana, yang terkait erat dengan ajaran Nabi Ibrahim AS (lihat artikel yang berjudul, “Ibrahim, Bapak Para Nabi dan Imam Semua Bangsa” di Bayt al-Hikmah Institute, http://www.ahmadsamantho.wordpress.com/2012/06/14/9781/ ).
Sejarah pengaruh agama-agama dan kepercayaan masyarakat suku Sunda dan Pengaruh Hindu, tak bisa terlepas dari pengaruh para pemimpinnya, sejak Raja Dewawarman di kerajaan Salakanagara (Sa Loka Naga Ra) di Teluk Lada Banten pada awal abad Masehi, sampai kepada raja-raja Jaya-Singa-Pura (di Jasinga Bogor), Taruma Nagara, dan Galuh, dan Pakuan Pajajaran.
Begitu pula pengaruh dan interaksi Sunda dengan agama Islam tidak bisa lepas dari sejarah Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan) dari Kerajaan Pakuan Pajajaran, adalah “Raja Hindu” (atau Sunda Wiwitan?) yang masuk Islam ketika beliau menikahi Nyi Subang Larang, seorang putri Ki Gendeng Tapa yang juga santriwati murid Syekh Quro, ulama Islam asal Timur Tengah keturunan (Ahlul Bait) Nabi Muhammad SAW. Nyi Subang Larang ini adalah istri Prabu Siliwangi dan ibu dari Kean Santang, Rara Santang dan Walang Sungsang, juga nenek dari Sunan Gunung Jati (Syarif Hidyatullah), salah satu di antara Wali Songo, penyebar Islam di pulau Jawa / Sunda.
Prof.Dr. Dadang Kahmad menulis: “Begitu pula halnya mengenai agama orang Sunda. Semua agama yang masuk ke tatar Sunda akan diseleksi mana yang sesuai (tidak jauh berbeda) dengan kepribadian budaya Sunda, dan mana yang tak sesuai (berlainan sangat jauh) dengan kepribadian budaya Sunda…” “Agama Islam begitu mudah diteriman oleh Urang Sunda, karena karakter agama Islam tidak jauh berbeda dengan karakter Budaya Sunda yang ada pada waktu itu, Sedikitnya ada dua hal yang menyebabkan agama Islam mudah dipeluk oleh Urang Sunda. Yang pertama, ajaran Islam itu sendiri yang sederhana sehingga mudah diterima oleh budaya Sunda sendiri yang juga sederhana. Ajaran tentang akidah dan ibadah, terutama akhlak dari agama Islam sangat sesuai dengan dengan jiwa Urang Sunda yang juga Dinamis. Yang kedua, kebudayaan asal yang menjadi ‘bungkus’ agama islam adalah kebudayaan Timur yang tidak asing bagi Urang Sunda. Oleh karena itu ketika Urang Sunda membentuk jati dirinya berbarengan dengan proses Islamisasi, maka agama islam merupakan bagian dari kebudayaan Sunda yang terwujud dalam alam bawah sadarnya menjadi identitas kesundaan mereka.” Simbolisasi akulturasi dan asimilasi Hinduisme (Sanatha Dharma Veda) dengan Islam dapat kita lihat pada keberadaan Candi Cangkuang yang bersebelahan dengan makam ulama Muhammad Arif dan komplek pemakaman Muslim Kuno di Kampung Adat Pulo Vangkuang Garut, Jawa Barat.
Islam masuk ke dalam kehidupan masarakat Sunda melalui pendidikan dan dakwah, bukan dengan jalan perang dan penaklukan. Hal tersebut membuat wajah Islam di Jawa Barat agak berbeda dengan wilayah lainnya. …. Kalau di daerah lain agama Islam dianggap sebagai kekuatan asing yang sukar bersatu dengan kebudayaan setempat, maka di masyarakat Sunda, Islam dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan dirinya sendiri. Perang-perang yang terjadi adalah perang politik, bukan perang antar agama Sunda Wiwitan, Hindu dan Budha dengan Islam.
Sundaland sebagai awal sejarah Peradaban Umat Manusia
Posisi strategis dan potensi peran yang terpendam dalam kebudayaan serta peradaban Sunda, saat ini semakin penting mengingat bahwa era globalisasi saat ini telah menggiring banyak bangsa dan kelompok warga dunia untuk menerima begitu saja nilai-nilai pandangan dunia dan budaya serta gaya hidup dari negara-bangsa pemenang Perang Dunia II (Barat: Amerika & Eropa) yang ditunjang oleh perkembangan sains dan teknologi.
Namun kemilau kemajuan material dan kesejahteraan ekonomi yang dijanjikan oleh peradaban moderen Barat, ternyata semakin terbukti rapuh dan mengabaikan kesejahteraan bersama lahir dan batin, serta melukai keadilan sosial. Gerakan massal protes sosial “Occupy Wall Street” dan “99% fight to 1 %”, [6] yang saat ini semakin menggelora di seantero kota-kota besar di Amerika dan Eropa, serta revolusi di beberapa negera Timur Tengah dan Afrika, menjadi bukti kepalsuan dan kegagalan filsafat ideologi materialisme-kapitalisme-individualisme yang sekular dan antrophosentrik bahkan anti Tuhan YME dan anti tradisi agama-agama dan budaya lokal.
Sebagai salah satu unsur terbesar penyusun Budaya Nusantara, Sejarah & Budaya Sunda mendapat porsi perhatian yang penting dari para sarjana dan cendikiawan nasional dan dunia. Negeri Indonesia, pada dekade belakangan ini menjadi perhatian dunia, antara lain karena publikasi penelitian beberapa sarjana tingkat dunia semisal Prof.Dr. Arisyio Nunes Dos Santos yang mempublikasikan hasil penelitiannya selama 30 tahun dan menulis buku berjudul: Atlantis, The Lost Continent Finnally Found, The Definitive Location of Plato’s Lost Civilization, yang terbit tahun 2005, (terjemahan Indonesianya diterbitkan oleh Ufuk Jakarta tahun 2010, berjudul yang sama, dengan tambahan anak judul: “Indonesia ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia.”
Teori dan Hipotesis Prof. Santos yang sangat kontroversial dan menyentak kesadaran publik dunia itu tak urung juga menyentak kesadaran sebagian rakyat Indonesia, yang selama ini sebagian besarnya seperti terjangkiti penyakit mental rendah diri dan kurang percaya diri bahkan “tidak tahu diri.” Padahal ternyata Indonesia bukanlah negara pinggiran, terkebelakang dan pariah. Ternyata Indonesia memiliki warisan sejarah peradaban kuno yang unggul dan cemerlang.
Sentakan kesadaran itu bertambah lagi frekuensinya setelah Prof.Dr. Stephen James Oppenheimer, dokter ahli Human Genom (Genetika & DNA) dari Oxford University, London, Inggris, mempublikasikan hasil penelitian DNA-nya selama 20 tahun lebih di Indonesia & Asia Tenggara serta Papua Nugini.
Buku Oppenheimer berjudul: Eden in The East, The Drowned Continent in South East Asia, menyimpulan teorinya bahwa Asia Tenggara atau tepatnya Paparan Benua Sunda (Sunda Land) adalah lokasi “Syurga Aden” (Eden)-nya keluarga “Manusia Pertama“ Nabi Adam as. & Siti Hawa, tempat lahirnya peradaban umat manusia sedunia, pada kurun waktu 80.000 – 6.000 tahun yang lalu. Induk Peradaban di Nusantara yang unggul itu menjadi inspirator yang melahirkan peradaban-peradaban dunia lainnya seperti Sumeria, Mohenjodaro-Harrapa-India, Mesir, Indian Maya & Aztek di benua Amerika Selatan, Yunani dan Eropa serta Persia. Namun kemudian Induk Peradaban di Nusantara itu musnah terkena bencana banjir besar kolosal global 3 kali pada sekitar 12.000 – 6.000 tahun yang lalu, yang salah satunya, menurut Oppenheimer terkait dengan legenda/mitos banjir besar Nabi Nuh as. Mitos dan legenda banjir besar itu ternyata ada (banyak yang mirip) dan hidup ceritanya di beberapa sejarah peradaban besar lainnya, seperti Sumeria, India, Mesir, Yunani, Eropa dan penduduk asli Amerika (indian Maya & Aztek, dll.) yang terekam pada kitab-kitab /inskripsi sucinya, prasasti dan artefak tinggalan budaya mereka.
Prof. Santos sampai pada kesimpulan peenelitiannya bahwa Peradaban Atlantis yang hilang, yang diceritakan Plato (427-347 SM) dalam bukunya Critias dan Timeaus, dia temukan tenyata imperium Atlantis berlokasi di Nusantara / Indonesia (Sunda Land). Kesimpulan atau teorinya ini begitu diyakini oleh Santos dan para pengikutnya, karena detail-detail 32 ciri geografis-ekologis dan ciri-ciri sosio-antropologis-budaya yang diceritakan oleh Plato itu, 100% terpenuhi di Nusantara (Sunda Land), berbeda dengan 10 lokasi lainnya yang menjadi objek studi banding Santos, seperti: Pulau Thera/Creta di Yunani, Inca di Peru, Indian Maya di Mexico, Pulau tenggelam di Samudra Atlantik, Benua Antartika, Skandinavia di Laut Utara, Troy (Hisarlik), Celtiberia, Afria Barat Daya (Selat Giblartar/Spanyol) danTartasos, yang sangat kecil presentasi keberadaan ciri-ciri tersebut. Santos juga banyak mendapat petunjuk tentang lokasi Atlantis tersbut dari berbagai mitos, legenda dan informasi kitab-kitab suci Hindu-Budha (India), inskripsi di situs arkeologis Mesir, Sumeria, dll.
Temuan-temua ilmiah dan historis dari kedua sarjana kelas dunia tersebut, semakin meyakinkan lagi, karena kemudian, banyak sarjana, sejarawan, budayawan-filosof dan peneliti lain yang menemukan banyak fakta dan bukti-bukti lain yang memperkuat teorinya Santos maupun Oppenheimer, baik dari dalam negeri Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Dari University of Canterbury, Christchurch, New Zealand, Dr. Edwina Palmer menemukan banyak bukti bahwa ternyata bangsa Jepang itu berasal dari Sundaland. Dia menulis 2 artikel ilmiah hasil penelitiannya yang berjudul: “Out of Sunda? Provenance of the Jomom Japanese” dan “Out of Sundaland: The Provenance of Selected Japanese Myths”. [8] Begitu pula, ada para peneliti dari Korea yang yakin bahwa nenek moyang bangsa Korea berasal dari lembah Pasemah, Pagar Alam, Sumatra Selatan, sebagaimana yang dikatakan oleh arkeolog Indonesia yang bergabung dengan para peneliti dari Korea tersebut: Dr. Retno Purwanti, dari Balai Arkeologi Palembang.[9] Bahkan Oppenheimer pun dengan tak ragu-ragu mengatakan dalam wawancaranya dengan Majalah Tempo edisi Bahasa Inggris edisi 8 Febuary 2011, bahwa “Southeast Asia is The Source of Western Civilization”.
Sebagai pewaris Induk peradaban dunia, tatar sunda tentu saja masih menyimpan banyak khazanah falsafah dan kearifan suci tradisonal dan perennial Ilahiyah, yang mungkin dalam artikel ini tak cukup kesempatan dan waktu untuk membahasnya secara lengkap. Saya sedang menuliskannya dalam sebuah buku yang akan diterbitkan. Namun beberapa hal yang bersifat axiologis sudah dibukukan antara lain pada dua buku oleh Almarhum Abah Hidayat Suryalaga dari Bandung, yang berjudul, RAWAYAN JATI SUNDA, dan FALSAFAH KASUNDAAN. Beberapa buku karya Anis Jati Sunda: PANTUN BOGOR. dll.*** (AYS, Ramadhan 2016).
Catatan Kaki
[1] Seyyed Hossein Nars, “Islam and Plight of Moderen man, (Resisded and Eblkarged Edition), ABC International Group Inc.2001, p.4-5)
[2] Seyyed Hossein Nars, “Islam and Plight of Moderen man, (Resisded and Eblkarged Edition), ABC International Group Inc.2001, p.4-5)
[3] Mengenai kesalahan bertahap gambaran citra manusia moden di Barat,, lihatlah G. Durrand, Defiguration Philosophique et figure traditionelle de I’homme en Occident,” Eranos-Jahrbuch, XXXVIII, 1971, pp.45-93; Sherrard, The Rape of Man and Nature, Ipswich (UK), Golgooonoza Press, 1987. Chap. 2 and 3, pp 42-89; and S.H. Nasr, Knowledge and the Sacred, Albany (NY), the State University of New York Press, 1999. Chap. 5, pp. 160-188. For a treatment of this subject from the perspective of a Western Seeker who has turned to traditional Islam see J. Herlihy, The Search of The Trurth—contemporary Raflection of Traditional Islamic Themes, Kuala Lumpur, Dewan Pustaka Islam, 1990
[4] Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, , (Revised and Enlarged Edition), ABC International Group, Inc, Chicago, 2001, p.6
[5] Dikutip dari harian KOMPAS news paper, October 25, 199..
[6] Giddens, A. Beyond left and Right, Polity Press, Cambridge, 1984, p.4
[7] Hussein Heriyanto, Paradigma Holistik, Teraju-Mizan Jakarta, 2003
[8] Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Mizan Bandung, 1997
[9] Koento Wibisono, Dasar-Dasar Filsafat, (Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka, 1989), p. 517
[10] Peter D. Klein, Routledge Encyclopedia of Philosophy, (Routledge): London and New York, 1998, version 1.0.
[11] Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (Totowa New Jersey: Adams & Co., 1971), p. 94.
[12] George Thomas White Patrick, Introduction to Philosophy, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), p. 325
[13] Koento Wibisono, Dasar-Dasar Filsafat, (Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka, 1989), p. 517
[14] Doni Gahral Adian, Menyoal Objektifisme Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Teraju, 2002), p. 17
[15] Doni Gahral Adian, Menyoal Objektifisme Ilmu Pengetahuan, p.17
[16] Murthada Mutahhari, Mengenal Epistemology, Translated from Iranian Book: Mas’ale Syenokh (Teheran, Intisyaarate Shadra, 1989), p.180
[17] Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Philosophical Instruction, An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, (New York: Binghamton, University Global Publications, 1999), p. 85-6. For the next quotation it will mention by Taqi Misbah Yazdi, Philosophical Instruction, An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy.
[18] Taqi Misbah Yazdi, Philosophical Instruction, An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, p. ..
[19] http://www.centerforsacredsciences.org/traditions.html
Be the first to comment