Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Syiah Aceh

$
0
0

Syiah Aceh

Februari 25, 2009

tarumon

[ penulis: Dr. Hasballah M Saad ]

ADAKAH pemeluk Syiah di Aceh? Ini perlu dipertanyakan ketika banyak sekali simbol symbol “syiah” ditemukan, dan sangat menonjol di kehidupan sehari hari masyarakat Aceh..

Sejarah mula kedatangan Islam ke Aceh, pemimpinnya dikenal bernama Shir, seperti Shir Poli, Shir Nuwi, Shir Duli. Dalam hikayat hikayat Aceh lama, kata gelar Shir sering pula disebut Syahir. Misal, Shir Nuwi dibaca Syahir Nuwi, Shir Poli dibaca Syahir Poli dst. Kata Syahir ini lebih kurang setara dengan kata Ampon Tuwanku dalam tradisi melayu di Malaysia.

Syiah Kuala (Teungku Syekh Abdurrauf As Singkily, ulama besar Aceh berkaliber internasional.)

Asal kata shir, datangnya dari keluarga bangsawan di kawasan Persia, dan sekitanya. Maka putri Raja Persia yang setelah negerinya ditaklukkan Umar Ibnul-Khatab, ditawan dan dibawa ke Madinah, mulanya bernama Shir Banu. Setelah dibebaskan oleh Ali bin Abi Thaleb, Shir Banu menikah dengan putra Ali bernama Husen. Sementara dua saudara Shir Banu lainnya menjadi menantu Abubakar dan menantu Umar Ibnul Khattab. Belakangan nama menantu Ali itu berubah menjadi Syahira Banu, dan dalam lafal di Hikayat Hasan Husen, nama itu dipanggil Syari Banon, yang menjadi isteri Sayyidina Husen bin Ali. Husen syahid dibunuh Yazid bin Muawiyah di Karbala pada 10 Muharam. Shir Banu atau Syari Banon menjanda sambil membesarkan anaknya Ali Zainal Abidin, yang sering dipanggil Imam as-Sajad, karena selalu suka bersujud (shalat).

Dalam hikayat Hasan Husen, nama Syari Banon disebut berulang ulang karena beliau ini mendampingi suami dengan sangat setianya, hingga ke kemah terakhir di Karbala, mengantar Husen menuju kesyahidan. Banon bersama putra kesayangannya Ali Zainal Abidin yang masih sangat belia, menyaksikan sendiri tragedy yang jadi sejarah hitam umat Islam, karena darah titisan Rasul saw tumpah di bumi Kufah oleh tangan orang yang mengatasnamakan dirinya khalifah kaum muslimin. Peristiwa Karbala ini, di Aceh diperingati dengan khanduri A‘syura secara turun temurun. Adakalanya diiringi dengan membaca hikayat Hasan Husen, dan para wanita Aceh mempersiapkan penganan sebagai khanduri keu pangulee. Acapkali pula, para pendengar hikayat ini mencucurkan airmata tatkala ceritera sampai kepada pembantaian anak cucu Rasulullah saw itu.

Rafli, penyanyi Aceh kontemporer mendendangkan peristiwa itu dengan lirik:

//”Lheuh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Sayyidina/ Dum na pasukan bandum di yue tron/ Lengkap ban ban dum alat senjata”// ( Dah syahid Hasan, Husen pun digempur/ Nak dihabisi cucu Sayyidina (Rasulullah)/ Seluruh pasukan disuruh turun/ Lengkap semua dengan senjata.)

Semangat mencintai ahlul bait, keluarga Rasulullah saw itu muncul pula di Aceh dalam bentuk tari tarian. Di antaranya yang terkenal adalah Saman Aceh. Ragam gerak, lirik lagu dan ratoh dipenuhi symbol symbol Karbala . “Tumbok Tumbok Droe”(memukul mukul dada sendiri) dilakukan oleh para pemain Saman Aceh (juga dalam seudati) sebagai symbol penyesalan Karbala . Seluruh gerak tari Saman itu diilhami oleh kepedihan, penyesalan, dan ratap tangis atas syahidnya Sayyidina Husen, yang terperangkap oleh tipu daya penduduk Kufah yang mendukung Yazid bin Muawiyah.

shialion21

Di Iran, dan beberapa kawasan sekitar benua Persia itu, amat lazim dijumpai perempuan dan laki laki memukul mukul dada hingga ada yang berdarah untuk mengenang peristiwa Karbala di hari Asyura, setiap tahunnya. Dalam naskah hikayat Muhammad Nafiah, yang mengisahkan peran adik laki laki Hasen bin Ali dari lain ibu, yasng menuntut bela atas syahidnya Husen di Karbala, jelas sekali dilukiskan bagaimana pengikut Yazid “dikafirkan” oleh sang penulis hikayat itu. Tatkala Muhammad Nafiah ingin mengeksekusi mati seorang lagi perempuan hamil yang masih hidup, sementara yang lain sudah dibunuh semua, maka turunlah suara dari manyang (langit)

//”Sep ka wahe Muhammad Nafiah, bek le tapoh kaphe ulu/ Bah tinggai keu bijeh, agar uroe dudoe mangat na asoe neuraka”// ( “Cukup sudah wahai Muhammad Nafiah, jangan lagi dibunuh kafir hamil itu/ agar dia beranak pinak lagi untuk isi nereka kelak”)

Karensa Muhammad Nafiah ingin mengabaikan perintah penghentian pembantaian itu, maka tiba tiba dia dan kudanya diperangkap oleh kekuatan sghaib. Lalu terkurunglah dia bersama kudanya dalam sebuahgua batu. //Muhammad Nafiah lam guha bate/ Sinan meu teuentee dua ngen guda// (Muhammad Nafiah dalam gua batu/ Terkurung disitu bersama kudanya).

Dalam bagian lain, dikisahkan bahwa pada suatu hari, ketika Muhammad Nafiah masih kecil, Ali bin Abi Thaleb membawa pulang ke Madinah anak laki lakinya itu dan duduk duduk bercengkerama bersama Rasul dan dua kakaknya lain ibu, Hasan dan Husen. Rasulullah saw mendudukkan Hasan dan Husen di pangkuan sebelah kiri, sementaara Muhammad Nafiah duduk di atas paha kanan Rasulullah. Tatkala Fatimah, ibunnya Hasan dan Husen melintas, dia bermasam muka karena melihat justru putra Ali yang bukan berasal dari rahim Fatimah mendapat tempat di sebelah kanan Rasulullah, sementara putra putranya, Hasan dan Husen duduk di paha kiri Rasul.

Rasul memandang wajah masam Fatimah az-Zahra, putri kesayangannya itu. Lalu Rasul memanggil Fatimah, dan bersabda:

“Wahai anakku, janganlah bermasam muka. Yang ini, sambil menunjuk Hasan dan Husen, akan menemui ajal kelak ketika kita sudah tiada, karena dibunuh orang. Yang inilah, sambil menunjuk Muhammad Nafiah, yang akan menuntut bela atas kematian kedua mereka ini, maksudnya Hasan dan Husen. Jibrail telah menyampaikann hal itu kepeda ku wahai Fatimah”

Mendengar ucapan Rasul waktu itu, barulah wajah Fatimah kembali berseri seperti sediakala. Ada pesan Jibrail kepada Rasulullah atas peristiwa yang bakal terjadi atas anak cucunya setelah Rasul dan Fatimah tiada kelak. Begitu mulianya kedudukan Muhammad Nafiah, putra Ali dari isteri lain, (mungkin hasil perkawinan mut‘ah dalam peperangan yang lama).

Hikayat itu telah menjadi bacaan sehari hari kaum muslimin di Aceh. Dalam benak orang Aceh, kafir perempuan yang hamil tua itu, meskipun dia adalah pemeluk agama Islam, namun dipandang sebagai kafir karena dia pengikut Yazid bin Muawiyah. Dam inilah cikal bakal kafir sekarang ini yang akan menjadi pengisi neraka kelak. Wallahu ’aklamu bis-shawab!

Jika dibandingkan dengan ceritera tentang kehebatan Amerika dalam film-film perang mereka dengan Vietnam umpamanya, muncul kesan publik bahwa Amerik-lah yang paling jagoan, meskipun semua orang tahu pada akhirnya dia harus angkat kaki dari negara bekas jajahan Perancis itu, meskipun orang Vietnam melawan dengan bambu runcing. Tak ada catatan sejarah yang akurat tentang Muhammad Nafiah yang menghabiskan seluruh pasukan Yazid di Kufah, namun hikayat itu justru mengisahkan yang tinggal hanya seorang “kaphe ulu” (maaf: hamil) yang anak turunannya menjadi cikal bakal penghuni neraka kelak.

Saya bisa memahami bagaimana kepedihan kaum muslimin katika Husen syahid, dan perasaan itu dihibur dengan pembelaan yang gemilang oleh cerita kemenangan Muhammad Nafiah bin Sayyidina Ali, setelah Husen dan pengikutnya syahid di Karbala. Ini juga menjadi bukti terhadap apa yang diriwayatkan, tentanag ceritera Fatimah bermasam muka, karena Hasan Husen diletakkah di atas paha kiri Rasulullah, ketika mereka masih kecil dulu dan Muhammad Nafiah justru dipaha kanan Rasul.

Dalam tradisi Aceh, hikayat berbentuk hiburan yang selalu mengandung pesan, nasihat, sumber pengetahuan, sejarah serta agama. Hikayat Hasan Husen, Nubuwat Nabi, Fatimah Wafat, Muhammad Nafiah dll. merupakann bacaan rakyat yang utama disamping hikayat hikayat lain seperti Putroe Gumbak Meuh, Peurakoison, Nun Farisi, Indra Budiman, Indra Bangsawan, Baya Siribee, dll. Kala itu memang belum ada novel Lasjkar Pelangi, atau Sang Pemimpi, atau Ayat Ayat Cinta dsb. Sinetron pun belum dikenal oleh masyarakat Aceh lama. Maka ceritera dalam hikayat lah yang menjadi referensi perilaku, sumber nasehat, dan pengetahunan sejarah bagi masyarakat luas.

Di kawasan pantai barat Aceh, termasuk utamanya Aceh Selatan, berkembang kesenian tradisional “Pho” Tari pho dimainkan oleh sejumlah anak anak gadis remaja, dengan mendendangkan syair penuh nuansa sendu, seumpama orang meratapi kematian. Dalam format khusus, gadis remaja menyusun format berkeliling melingkar, dan meratapi sesuatu, bagaikan meratapi kematian. Ingatlah bagaimana masyarakat Aceh memperingati “Asyura” dengan nyanyian dan hikayat Hasan Husen, semua dilantunkan dalam irama pilu penuh duka lara.

Di komunitas lain di Pidie, agak menarik disimak rentetan nama nama anggota keluarga Sayed (Habib). Sebut saja berawal dari Nama Sayed Idris alias Teungku Syik di Keude, memiliki tiga anak laki laki dan dua anak perempuan. Yang laki laki bernama Sayed Hasyem, Sayed Husen, Sayed Abidin (Zainal Abidin), Sementara anak perempuannya bernama Cutwan Dhien dan Cutwan Samalanga (nama aslinya tidak lagi dikelnal lagi) Sayed Husen berputrakan Sayed Abubakar, Sayed Puteh, dan Sayed Bunthok, sementara yang perempuan bernama Cutwan Syarifah, Cutwan Manyak dan Cutwan Fatimah.

Sayed Zainal Abidin mempunyai seorang putri tunggal bernama Ummi Kalsum (Cutwan Kasum) Dari perkawinannya dengan saudara sepupu, Sayed Abubakar, Cutwan Kasum memiliki saeorang putri tunggal diberi nama Cutwan Fatimah, yang menikah dengan Sayed Ali bin Sayed Abdullah Bambi. Sayed Abdullah Bambi menikah dengan Cutwan Khadijah binti Habib Husen Az-Zahir. Sementara kakak Cutwan Khadijah bernama Habib Hasan dan Habib Ahmad Sabil. Khadijah sendiri berputrakan selain Sayed Ali adalah Sayed Muihammad, dan Aja Rohani.

Sementara Habib Hasyem alias Habib Peureumbeue, mempunyai beberapa orang putra, antara lain Sayed Ahmad (Pak Mukim) Sayed Abdullah, dan yang perempuan bernama Cutwan Khadijah pula. Cutwan Khadijah menikah dengan Habib Ahmad Mon Keulayu, dan berputrakan antara lain Sayed Hasan, Sayed Husen, Sayed Aabdurrahman, Sayed Alwi, Sayed Ali dan Sayed Jamaluddin. Simaklah putaran nama nama itu, semuanya berkisar sekitar nama keluarga Rasulullah, mulai dari Hasyem, Abdullah, Khadijah, Ahmad (Muhammad) Ali, Fatimah, Hasan, Husen, Umi Kalsum, Zainal Abidin, Abubakar, dst. Sementara masyarakat umum yang bukan keturunan Sayed, selalu memberikan nama anak anak mereka dengan nama nama Abbas, Hamzah, Aminah, Thaleb, Zainab, Rukaiyah, disamping nama nama seperti yang saya sebutkan itu.

Apakah fenomena ini dapat dijadikan indikasi bahwa para pemilik nama nama itu merupakah pengikut Syiah Aceh? Apakah nama nama demikian karena menasabkan diri pada keturunan Rasulullah? Atau telah terjadi pertalian dua kepentingan, petama menasabkan diri pada darah nabi, dan kedua melestarikan nama nama yang dikenal sebagai nama ahlul bait yang utama? Tentu hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Simak pula, kisah yang selalu dilantunkan pada bulan Muharram (bulan dimana syahidnya Sayyidina Husen di Karbala):

//”Bak siploh uroe buleueun Muharram/ Kesudahan Husen Jamaloe (Jamalul/ Peu na mudah ta khanduri / Po Tallah bri pahla dudoe”// ( “Sepuluh hari bulan Muharram/ Kesudahan Husen Jamalul/ Jika ada kemudahan agar ber khanduri/ Allah memberi pahla nantinya”)

Bagaimanan jika disimak praktek ritual ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji? Orang Aceh semuanya mengikuti praktek ibadah kaum Sunny, sebagaimana lazimnya kaum muslimin ditempat tempat lain di Indonesia. Namun bacaan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, selalu diucapkan dengan menambahkan kata Sayyidina di depan nama Muhammad, dan Ibrahim. “Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad, wa ’ala ali Sayyidina Muhammad, kama shallaita ala Sayyidina Ibrahim, wa ala ali Sayyina Ibrahim, dst” Hal ini amat ditentang oleh pengikut Wahabi yang sangat anti terhadap praktek ibadah seperti memuja nama Rasul itu dengan meletakkan nama Sayyidina di depan nama nama mereka.

Saya hampir sampai pada kesimpulan bahwa orang Aceh itu pencinta ahlul bait yang sangat setia, kalaupun mereka tidak pernah mengaku sebagai pengukut syi‘ah. Bukankah pada masa tertentu dalam sejarah Islam, kaum syi‘ah meperkenalkan istilah taqiyah (bersembunyi) dan dari itu lahirlah ungkapan, bahwa orang yang mengaku dirinya syi‘ah bukanlah syi‘ah lagi”

Simaklah sebuah ceritera lucu tapi mengharukan, yang berlaku dalam satu keluarga miskin dan buta huruf di sebuah desa di Aceh pada tahun 1950-an. Tersebutlah nama Waki Saad Gapui, yang menikah dengan prempuan desa buta huruf, Maimunah namanya. Mereka berputra kan beberapa orang dan semua laki laki. Saad adalah penggemar hikayat Hasan Husen, seperti juga penduduk kampung lainnya. Maka dalam hikayat itu dikisahkan begini:

“Hasan dan Husen cuco di Nabi/ Aneuek tuan Siti Fatimah Dora/ Tuan teu Husen Syahid dalam Prang / Tuan teu Hasan syahid ji tuba/ Syahid di Husen ka keunong beusoe/ Di Hasan sidroe keunong bencana (racun)/ Tuan teu Husen syahid dalam Prang/ Tuan teu Hasan di rumoh tangga”//

Terkesima dengan kegungan nama yang disebut dalam bait hikayat itu, Saad sepakat memberikan nama nama anaknya seperti nama nama cucunda Nabi. Yang tertua diberi nama Hasan (Keuchik Hasan) yang kedua diberi nama Dan (Apa Dan) dan yang ketiga diberi nama Husen (meninggal waktu kecil). Maka kalau dibaca dalam satu nafas menjadi Hasan Dan Husen dilanjutkan dengan Cuco di Nabi. Padahal kata sambung dan itu bukan nama orang. Saad tidak peduli, dan nama anak keduanya tetap saja DAN, meskipun ketika dewasa nama itu menjadi Mad Dan, karena kesulitan menulis nama dalam KTP. Lalu adik adiknya diberi nama Sulaiman (nama Nabi), Ibrahim (nama Nabi), Zainal Abidin (nama putra Husen) dan Abdul Hamid. Apa yang terjadi dalam kehidupan kejiwaan Saad?Meskipun buta huruf dan petani biasa, Saad merasa sangat dekat dengan kehidupan Rasulullah, sehingga kumandang nama ahlul bait selalu terdengar dalam keluarga mereka. Saya merasa yakin, seandainya Saad memiliki anak perempuan, pasti akan diberi nama Khadijah, Fatimah atau Aminah!

Pertanyaannya kini adalah, apalah, sekali lagi, hal ini dapat dijadikan indikator bahwa orang Aceh baik keturunan Sayyed, atau orang biasa dapat disebut pengukut Syi‘ah? Atau dengan sebutan lain, apakah mereka ini bisa dipanggil dengan sebutan Syi‘ah Aceh? Saya sendiri cenderung berfikir demikian. Namun agar praduga ini cukup memiliki hujjah yang kuat, perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam tentang fenomena yang saya uraikan dalam tulisan ini. Ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa Islam yang mula mula masuk ke Aceh justru berasal dari para ahlul bait yang hijrah karena tekanan politik dinasti Ummayah (turunan Muawiyah bin Abu Sofyan) terhadap keturunan Sayyidina Ali yang belakangan dikenal dengan kaum Alawiyin, pengikut Ali yang sepupu dan menantu Rasulullah.

Ingatlah pula bahwa pada saat haji wadak, Rasul pernah berkata di hadapan jama‘ah yang bergerak kembali ke Madinah setelah selesai berhaji. Rasul sawa sambil mengangkat tangan Ali, Rasul bersabda, “Wahai saudaraku kaum muslimin, aku dengan dia (sambil menunjuk Ali) bagaikan Musa dengan Harun, jika sesudah ku masih ada nabi, maka dialah orangnya. Namun karena tak ada nabi sesudahku, maka dialah penerusku. Kau saksikankah ucapanku ini wahai sekalian manusia?” kata Rasul dibukit Ghadir Khum itu. Maka dari turunan Sayyidina Ali itulah, kaum Alawiyin membangsakan diri. Wallahu a‘lamu bis-shawab.

*) Penulis adalah pemerhati sejarah dan kebudayaan, pegiatan Aceh Cultur Institut (ACI)

http://serambinews.com/old/index.php?aksi=bacabudaya&budid=104

 



Freeport Dan Tonggak Neokolonialisme Di Indonesia

$
0
0

Jumat, 21 Maret 2014 | 21:43 WIB 3 Komentar | 4230 Views

Kontrak Freeport.jpgPada akhir Januari lalu, hanya beberapa saat setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi yang moderat terkait ekspor mineral mentah, bos PT. Freeport langsung terbang dari New York ke Jakarta.

Di Jakarta, President and CEO Freeport-McMoran Copper & Gold Inc Richard C. Adkerson mendatangi empat Menteri, yakni Menteri Perindustrian MS Hidayat, Menteri Keuangan Chatib Basri, Menko Perekonomian Hatta Radjasa, dan Menteri ESDM Jero Wacik.

Kedatangan bos Freeport itu menimbulkan tanda-tanya. Sebab, jauh sebelum kedatangannya, berbagai pihak di Indonesia sudah gempar dengan isu kuatnya lobi dua perusahan raksasa, Freeport dan Newmont, dalam menjegal aturan terkait larangan ekspor mineral mentah di Indonesia.

Dan, pada kenyataannya, regulasi baru yang dikeluarkan pemerintahan SBY, yakni PP nomor 1 tahun 2014, masih memberi kelonggaran kepada korporasi besar tersebut untuk tetap melakukan ekspor mineral dalam bentuk mentah. Artinya, lobi korporasi besar itu sukses besar.

Pertanyaannya kemudian, kalau sudah menang besar, apa lagi yang dikehendaki Freeport? Rupanya, aturan bea keluar ekspor konsentrat sebesar 60 persen masih dianggap menyulitkan bisnis Freeport. Singkat cerita, untuk kelancaran bisnisnya, perusahaan asal Amerika Serikat itu kembali meminta keringanan terkait bea keluar ekspor konsentrat.

Kejadian di atas menunjukkan betapa ‘digdaya’-nya Freeport di hadapan pemerintah Indonesia. Sebelum kejadian ini, sudah bertalu-talu Freeport membuat pemerintah Indonesia bertekuk-lutut: mulai dari pembagian keuntungan yang tidak adil, renegosiasi kontrak karya yang mentok, kecelakaan yang menyebabkan puluhan pekerja tewas, dan hak-hak normatif pekerja yang terabaikan.

Ironisnya, kedigdayaan Freeport ini sudah berlangsung lama. Setidaknya sudah lima Presiden Indonesia, yakni Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, tak sanggup ‘menegakkan kepalanya’ di hadapan Freeport. Sekarang pun, menjelang Pemilu 2014, belum ada Calon Presiden yang bersuara lantang untuk mengakhiri kedigdayaan Freeport di atas reruntuhan kedaulatan negeri ini.

Kita tentu bertanya, kenapa bisa terjadi hal demikian? Saya kira, untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya menelusuri kembali jejak Freeport ketika masuk Indonesia dan kaitannya dengan perubahan politik Indonesia di akhir tahun 1960-an.

Peristiwa 1965 dan Dampak Politiknya

Menelusuri jejak Freeport di Indonesia, anda tidak bisa memisahkannya dengan peristiwa 1965, yakni pembasmian kaum kiri sebagai tahapan penggulingan pemerintahan Soekarno. Jalinan antara kehadiran Freeport dan peristiwa itu terkait erat.

Kita tahu, sebelum meletus peristiwa 1965, haluan politik Indonesia sangatlah anti-imperialis dan anti-neokolonialisme. Hal itu tercermin pula dalam kebijakan ekonominya, yakni upaya pemerintahan Soekarno melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan praktek ekonomi yang berwatak imperialistik.

Karena itu, sejak tahun 1950-an, Amerika Serikat sudah mengerahkan segala upayanya untuk membawa Indonesia kembali ke pangkuan barat. Di sini AS memainkan dua peran sekaligus, yakni: di satu sisi, menawarkan bantuan ekonomi, militer, teknik, dll untuk membujuk Soekarno agar meninggalkan haluan politik, dan disisi lain, AS terlibat mendanai dan menyuplai senjata bagi sejumlah gerakan separatis di berbagai daerah di Indonesia.

Namun, di tahun 1960-an, berbagai upaya AS tersebut menemui kegagalan. Pada tahun 1964, AS mulai menggunakan pendekatan keras, yakni jalan penggulingan, sebagai cara mengubah haluan politik Indonesia agar kembali ke pangkuan barat.

Sejak itu AS dan sekutunya, terutama Inggris, mulai melancarkan operasi rahasia untuk menciptakan ‘benturan politik’ di Indonesia. Misalkan dengan melancarkan isu rencana kudeta Dewan Jenderal dan Dokumen Gillchrist. Targetnya jelas: pertama, memancing pendukung Soekarno, termasuk PKI dan Angkatan Bersenjata, untuk melancarkan operasi kontra-kudeta yang prematur; kedua, mempertajam peruncingan antara sayap kiri (Soekarno, militer progressif dan PKI) melawan sayap kanan (AD, Masyumi, PSI, dll).

Puncaknya adalah munculnya gerakan prematur di internal Angkatan Darat untuk menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal. Ironisnya, gerakan prematur ini melibatkan—atau sengaja dirancang untuk melibatkan—sejumlah tokoh PKI. Dan, seperti kita ketahui, gerakan kontra-kudeta itu gagal total.

Rencana AS berhasil. Peristiwa G/30/S menjadi dalih bagi AS dan sekutu lokalnya, yakni Angkatan Darat, PSI, dan Masyumi, untuk mengobarkan perang melawan komunisme. Mereka segera menuding PKI, kendati tidak pernah terbukti sampai sekarang, sebagai dalang dalam aksi ‘G/30/S’ tersebut.

Misi AS pun menemukan jalannya: pertama, AS telah mengeksploitasi G30S sebagai justifikasi untuk menyingkirkan PKI [Perlu dicatat, PKI adalah partai berbasis massa dan paling keras menentang imperialisme/neokolonialisme. Selain itu, partai ini juga sangat loyal membela politik Soekarno]; kedua, dengan hancurnya PKI dan basis massanya, AS dan sekutu lokalnya membuka jalan untuk menjepit kekuasaan Soekarno dan melengserkannya.

Dan skenario AS ini menemui sukses besar. Pemerintahan Soekarno benar-benar terguling di tahun 1967. Dan selanjutnya, berdirilah kekuasaan diktator militer Soeharto, yang sepenuhnya disokong oleh AS dan sekutunya.

Yang patut dicatat, bahwa rezim baru–hasil aliansi antara militer dan teknokrat pro-barat–sangat berkomitmen terhadap reformasi ekonomi sesuai dengan kehendak barat. Rezim baru juga sangat terbuka terhadap modal asing.

Freeport Dan ‘Ujian’ Loyalitas Rezim Soeharto

Di bulan November 1965, hanya beberapa minggu setelah peristiwa G/30/S, dua eksekutif TEXACO [salah seorang bernama Julius Tahija] dari Indonesia, yang punya kedekatan dengan militer Indonesia, mulai mendekati Freeport. Keduanya memberi tahu bahwa sudah tiba waktu yang tepat bagi Freeport untuk membuka negosiasi dengan para Jenderal di Jakarta terkait Ertsberg (Wilson, 1981: 155).

Di sisi lain, di Jakarta: rezim militer di bawah Soeharto sedang berupaya keras mendapat dukungan internasional untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya, terutama bantuan ekonomi. Bagi Soeharto dan pendukungnya, bantuan ekonomi itu sangat dibutuhkan untuk mempercepat stabilitas politik.

Namun, ada harga yang harus dibayar oleh rezim Soeharto: melakukan reformasi ekonomi sesuai tuntutan AS dan barat. Sebagai imbalannya, barat bersedia melakukan renegosiasi utang dan memberi bantuan ekonomi sebesar 450 juta dollar AS pertahun di bawah skema Inter-Govermental Group on Indonesia/IGGI (Lihat: Bradley Simpson, Amerika Serikat dan Dimensi Internasional dari Pembunuhan Massal di Indonesia, 2011).

Selain itu, para pejabat AS mendesak rezim Soeharto untuk mengembalikan kepercayaan kreditor dan investor asing. Karena itu, hanya beberapa hari sejak peralihan kekuasaan dari tangan Soekarno ke Soeharto melalui Supersemar (11 Maret 1966), para teknisi Freeport sudah menjelajahi Irian Barat untuk menemukan gunung tembaga bernama Ertsberg.

Menurut Brad Simpson, Freeport merupakan ujian penting untuk membuktikan niat rezim baru di Indonesia terhadap investor asing. Bahkan, seperti ditulis oleh Simpson, pihak Kedubes AS menilai perundingan antara Freeport dan para pejabat Indonesia sebagai ‘awal diajukannya pertanyaan penting apakah sikap negatif Indonesia terhadap investasi asing akan berubah’.

“Tampaknya ini merupakan [sebuah] peluang sangat baik untuk memengaruhi jalan pikiran [Rakyat Indonesia] mengenai investasi asing,” demikian isi telegram Kedubes AS di Jakarta ke Kemenlu AS, 9 Juni 1966, sebagaimana dikutip oleh Brad Simpson.

Bersamaan dengan itu, untuk membuktikan diri sebagai rezim pro-barat dan pro-investasi asing, Soeharto dan para teknokratnya mulai menyusun UU penanaman modal asing yang baru. Seperti diungkapkan oleh Brad Simpson, AS punya andil besar dalam penyusunan UU PMA itu. “Seorang konsultan dari Van Sickle Associate yang berbasis di Denver membantu Widjojo Nitisastro, seorang ekonom Indonesia, menyusun UU itu dan hasilnya diserahkan oleh pejabat Indonesia ke Kedubes AS untuk dimintai komentarnya mengenai kemungkinan perbaikan-perbaikan dari investor AS,” tulis Brad Simpson.

Akhirnya, pada April 1967, Kontrak Karya pertama antara Freeport dengan pemerintah Indonesia diteken. Ironisnya, kontrak karya itu dilakukan ketika Papua belum resmi menjadi wilayah Republik Indonesia [Catat: Pepera baru dilakukan tahun 1969, yang disertai dengan banyak manipulasi dan kecurangan]. Selain itu, kontrak karya itu ditandatangani bukan oleh Presiden legitimate, melainkan oleh pejabat sementara Presiden, yakni Soeharto [Soeharto diangkat sebagai Presiden resmi tanggal 27 Maret 1968].

Forbes Wilson, kepala Freeport Sulphur Company saat itu, mengira pemerintah Indonesia berada di bawah tekanan AS saat meneken kontrak dengan Freeport itu (Denise Leith, 2002). Freeport adalah perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim militer yang baru berkuasa di Indonesia.

Setelah Freeport Sulphur, investor asing lainnya berlomba-lomba mengerubuti Indonesia. Dengan demikian, rezim Orde Baru berhasil menunaikan tugasnya: mengembalikan dunia internasional, terutama sektor bisnis, mengenai kebebasan berbisnis dan berinvestasi di Indonesia.

Dengan masuknya Freeport ke tanah Papua, berarti kepentingan bisnis AS menjadi penting di sana. Karena itu, demi menjaga kepentingan bisnisnya itu, AS tidak mempersoalkan proses kecurangan dan manipulasi saat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk rakyat Papua Barat pada tahun 1969.

Dan memang terbukti, sejak Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, kepentingan Freeport/AS di Papua tidak pernah terganggu. Malahan, pemerintah di Jakarta mengerahkan aparat keamanan, baik TNI maupun Polri, untuk menjaga kepentingan Freeport di Papua.

*****

Dari penjelasan panjang di atas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan: pertama, kehadiran Freeport di Indonesia adalah tonggak awal kembalinya kolonialisme di Indonesia; kedua, Freeport adalah harga yang harus dibayar rezim Orde Batu atas bantuan AS dan sekutunya dalam penggulingan Soekarno; ketiga, kontrak karya dengan Freeport adalah bukti komitmen rezim Orba terhadap barat dan investor asing.

Masalahnya, ketika rezim Orba sudah runtuh, kenapa rezim pasca Orba tidak berani menghentikan Freeport? Jawabannya sederhana: rezim pasca Orba masih melanjutkan komitmen rezim Orba, yakni pro-barat dan pro-investor asing.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

Sumber Artikel:

http://www.berdikarionline.com/freeport-dan-tonggak-neokolonialisme-di-indonesia/#ixzz3nMM5XrfG
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

 


Our Radical Islamic BFF, Saudi Arabia

$
0
0

The Opinion Pages | OP-ED COLUMNIST :

Thomas L. Friedman

The Washington Post memuat cerita minggu lalu tentang  200 jenderal dan laksamana yang mengirim surat kepada Kongres untuk “mendesak anggota parlemen untuk menolak perjanjian nuklir Iran, yang mereka katakan akan mengancam keamanan nasional.” Ada argumen pensiunan yang sah dan menentang kesepakatan ini , tapi ada satu argumen dinyatakan dalam cerita ini yang begitu berbahaya dan salah arah tentang ancaman nyata ke Amerika dari Timur Tengah, yang perlu dipanggil keluar.

Argumen itu dari Letnan Jenderal Thomas McInerney, mantan komandan wakil pensiun dari Angkatan Udara AS di Eropa, yang mengatakan bahwa dari kesepakatan nuklir: “Apa yang saya tidak suka tentang ini,   kelompok Islam radikal nomor satu terkemuka dalam dunia adalah Iran. Mereka adalah pemasok Islam radikal di seluruh wilayah dan seluruh dunia. Dan kita akan memungkinkan mereka untuk mendapatkan senjata nuklir. ”
Thomas L. Friedman
Urusan luar negeri, globalisasi dan teknologi.

Maaf, Jenderal, tapi judul terbesar “pemasok Islam radikal” bukan dari Iran. Bahkan tidak dekat. Itu milik sekutu yang kami duga  Arab Saudi.

Ketika datang tuduhan keterlibatan Iran dalam terorisme, saya tidak punya ilusi: Aku menutupi secara langsung 1983 bom bunuh diri dari Kedutaan Besar AS dan barak Marinir AS di Beirut, baik diyakini sebagai karya dari kaki kucing Iran , Hizbullah. Terorisme Iran, meskipun – vis-à-vis AS – selalu dari berbagai geopolitik: perang dengan cara lain untuk mendorong AS keluar dari wilayah tersebut sehingga Iran bisa mendominasinya, bukan kita.

Saya mendukung kesepakatan nuklir Iran karena mengurangi kemungkinan Iran membangun bom selama 15 tahun dan menciptakan kemungkinan bahwa rezim agama radikal Iran dapat dimoderasi melalui lebih integrasi dengan dunia.

Tapi jika Anda berpikir Iran adalah satu-satunya sumber masalah di Timur Tengah, Anda harus tidur melalui 9/11, ketika 15 dari 19 pembajak berasal dari Arab Saudi. Tidak ada yang lebih merusak stabilitas dan modernisasi dunia Arab, dan dunia Muslim pada umumnya, dari miliaran dan miliaran dolar Saudi telah menginvestasikan sejak tahun 1970-an ke dalam memusnahkan pluralisme Islam – Sufi, moderat Sunni dan versi Syiah – dan memaksakan di tempatnya yang puritan, anti-modern, anti-wanita, merek anti-Barat, anti-pluralistik Wahhabi Salafi Islam dipromosikan oleh pembentukan agama Saudi.

Ini bukan kebetulan bahwa beberapa ribu Saudi telah bergabung dengan Negara Islam atau yang Teluk Arab amal telah mengirim donasi ISIS. Hal ini karena semua kelompok-kelompok jihad Sunni – ISIS, Al Qaeda, Nusra depan – adalah keturunan ideologis dari Wahhabisme disuntikkan oleh Arab Saudi ke masjid dan madrasah dari Maroko ke Pakistan untuk Indonesia.

Dan kami, Amerika, tidak pernah memanggil mereka pada itu – karena kita kecanduan minyak mereka dan pecandu tidak pernah mengatakan kebenaran kepada bius mereka.

“Mari kita menghindari hiperbola saat menjelaskan satu musuh atau musuh yang potensial sebagai sumber terbesar dari ketidakstabilan,” kata Husain Haqqani, mantan duta besar Pakistan untuk Washington, yang ahli tentang Islam di Hudson Institute.

Iklan

Lanjutkan membaca cerita utama
Iklan

Lanjutkan membaca cerita utama

“Ini adalah terlalu menyederhanakan,” katanya. “Sementara Iran telah menjadi sumber terorisme di kelompok-kelompok seperti Hizbullah mendukung, banyak sekutu Amerika telah menjadi sumber terorisme dengan mendukung ideologi Wahhabi, yang pada dasarnya menghancurkan pluralisme yang muncul dalam Islam sejak abad ke-14, mulai dari Bektashi Islam di Albania, yang percaya pada hidup dengan agama-agama lain, untuk Sufi dan Syiah Islam.

Lanjutkan membaca cerita utama
KOMENTAR TERBARU

Sharon5101 September 3, 2015
Tom Friedman mengatakan ia tidak memiliki ilusi tentang keterlibatan Iran dengan terorisme setelah pengganti Hizbullah mereka mengebom barak Marinir AS …
Robert Cohen September 3, 2015
Saya cenderung setuju dengan TF. Sejak 1973 Saudi telah tragis terbukti ABSOLUTELY bagaimana Amerika Serikat kecanduan minyak Saudi. Saudi DAN AS …
Ed September 3, 2015
Bayangkan saja jika Arab Saudi ingin pergi nuklir.
MELIHAT SEMUA KOMENTAR
“Beberapa dekade terakhir telah melihat upaya ini untuk menghomogenkan Islam,” mengklaim “hanya ada satu jalan yang sah untuk Tuhan,” kata Haqqani. Dan ketika hanya ada satu jalan yang sah, “semua orang lain terbuka untuk dibunuh. Yang telah menjadi ide paling berbahaya tunggal yang telah muncul di dunia Muslim, dan itu datang dari Arab Saudi dan telah dianut oleh orang lain, termasuk pemerintah di Pakistan. ”

Pertimbangkan ini 16 Juli 2014, kisah dalam The Times dari Beirut: “Selama beberapa dekade, Arab Saudi telah menggelontorkan miliaran dolar minyaknya ke organisasi Islam simpatik di seluruh dunia, diam-diam berlatih buku cek diplomasi untuk memajukan agendanya. Tapi harta ribu dokumen Saudi baru-baru ini dirilis oleh WikiLeaks mengungkapkan secara rinci mengejutkan bagaimana tujuan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir tidak hanya untuk menyebarkan versi yang ketat dari Islam Sunni – meskipun itu prioritas – tetapi juga untuk melemahkan musuh utamanya: Syiah Iran. ”

Atau menganggap ini 5 Desember 2010, laporan BBC.com: “AS Menteri Luar Negeri Hillary Clinton memperingatkan tahun lalu dalam bocor diklasifikasikan memo bahwa donor di Arab Saudi adalah ‘sumber yang paling signifikan dana untuk kelompok teroris Sunni di seluruh dunia. “Dia mengatakan itu’ tantangan yang berkelanjutan ‘untuk membujuk para pejabat Saudi untuk mengobati kegiatan tersebut sebagai prioritas strategis. Kelompok-kelompok yang didanai meliputi al-Qaeda, Taliban dan Lashkar-e-Taiba, ia menambahkan. ”

Arab Saudi telah menjadi sekutu Amerika pada banyak isu dan ada moderat sana yang membenci otoritas keagamaan. Tapi kenyataannya tetap bahwa ekspor Arab Saudi dari Wahhabi puritan Islam telah menjadi salah satu hal terburuk terjadi pada pluralisme Muslim dan Arab – pluralisme pemikiran agama, jenis kelamin dan pendidikan – dalam abad terakhir.

Ambisi nuklir Iran merupakan ancaman nyata; perlu corralled. Tapi jangan membeli ke omong kosong bahwa itu satu-satunya sumber ketidakstabilan di wilayah ini.

Sebuah versi ini op-ed muncul di cetak pada tanggal 2 September, 2015, di halaman A25 edisi New York dengan judul: kami Radikal BFF Islam. Hari ini Paper | Berlangganan

Thomas L. Friedman
Urusan luar negeri, globalisasi dan teknologi.

Suriah, Obama dan Putin

The Washington Post ran a story last week about some 200 retired generals and admirals who sent a letter to Congress “urging lawmakers to reject the Iran nuclear agreement, which they say threatens national security.” There are legitimate arguments for and against this deal, but there was one argument expressed in this story that was so dangerously wrongheaded about the real threats to America from the Middle East, it needs to be called out.

That argument was from Lt. Gen. Thomas McInerney, the retired former vice commander of U.S. Air Forces in Europe, who said of the nuclear accord: “What I don’t like about this is, the number one leading radical Islamic group in the world is the Iranians. They are purveyors of radical Islam throughout the region and throughout the world. And we are going to enable them to get nuclear weapons.”


Thomas L. Friedman
Foreign affairs, globalization and technology.
Syria, Obama and Putin SEP 30
Politicians Seeing Evil, Hearing Evil, Speaking Evil SEP 23
Iran Deal Players’ Report Cards SEP 16
Walls, Borders, a Dome and Refugees SEP 9
Bonfire of the Assets, With Trump Lighting Matches AUG 26
See More »

Sorry, General, but the title greatest “purveyors of radical Islam” does not belong to the Iranians. Not even close. That belongs to our putative ally Saudi Arabia.

When it comes to Iran’s involvement in terrorism, I have no illusions: I covered firsthand the 1983 suicide bombings of the U.S. Embassy and the U.S. Marine barracks in Beirut, both believed to be the handiwork of Iran’s cat’s paw, Hezbollah. Iran’s terrorism, though — vis-à-vis the U.S. — has always been of the geopolitical variety: war by other means to push the U.S. out of the region so Iran can dominate it, not us.

I support the Iran nuclear deal because it reduces the chances of Iran building a bomb for 15 years and creates the possibility that Iran’s radical religious regime can be moderated through more integration with the world.

But if you think Iran is the only source of trouble in the Middle East, you must have slept through 9/11, when 15 of the 19 hijackers came from Saudi Arabia. Nothing has been more corrosive to the stability and modernization of the Arab world, and the Muslim world at large, than the billions and billions of dollars the Saudis have invested since the 1970s into wiping out the pluralism of Islam — the Sufi, moderate Sunni and Shiite versions — and imposing in its place the puritanical, anti-modern, anti-women, anti-Western, anti-pluralistic Wahhabi Salafist brand of Islam promoted by the Saudi religious establishment.

It is not an accident that several thousand Saudis have joined the Islamic State or that Arab Gulf charities have sent ISIS donations. It is because all these Sunni jihadist groups — ISIS, Al Qaeda, the Nusra Front — are the ideological offspring of the Wahhabism injected by Saudi Arabia into mosques and madrasas from Morocco to Pakistan to Indonesia.

And we, America, have never called them on that — because we’re addicted to their oil and addicts never tell the truth to their pushers.

“Let’s avoid hyperbole when describing one enemy or potential enemy as the greatest source of instability,” said Husain Haqqani, the former Pakistani ambassador to Washington, who is an expert on Islam at the Hudson Institute.

Advertisement

Continue reading the main story
Advertisement

Continue reading the main story

“It is an oversimplification,” he said. “While Iran has been a source of terrorism in supporting groups like Hezbollah, many American allies have been a source of terrorism by supporting Wahhabi ideology, which basically destroyed the pluralism that emerged in Islam since the 14th century, ranging from Bektashi Islam in Albania, which believes in living with other religions, to Sufi and Shiite Islam.

Continue reading the main story
RECENT COMMENTS

Sharon5101 September 3, 2015
Tom Friedman says he has no illusions about Iran’s involvement with terrorism after their surrogate Hezbollah bombed the US Marine barracks…
Robert Cohen September 3, 2015
I tend to agree with TF. Since 1973 the Saudis have tragically proven ABSOLUTELY how the USA is addicted to Saudi oil. The Saudis AND the US…
Ed September 3, 2015
Just imagine if Saudi Arabia wants to go nuclear.
SEE ALL COMMENTS
“The last few decades have seen this attempt to homogenize Islam,” claiming “there is only one legitimate path to God,” Haqqani said. And when there is only one legitimate path, “all others are open to being killed. That has been the single most dangerous idea that has emerged in the Muslim world, and it came out of Saudi Arabia and has been embraced by others, including the government in Pakistan.”

Consider this July 16, 2014, story in The Times from Beirut: “For decades, Saudi Arabia has poured billions of its oil dollars into sympathetic Islamic organizations around the world, quietly practicing checkbook diplomacy to advance its agenda. But a trove of thousands of Saudi documents recently released by WikiLeaks reveals in surprising detail how the government’s goal in recent years was not just to spread its strict version of Sunni Islam — though that was a priority — but also to undermine its primary adversary: Shiite Iran.”

Or consider this Dec 5, 2010, report on BBC.com: “U.S. Secretary of State Hillary Clinton warned last year in a leaked classified memo that donors in Saudi Arabia were the ‘most significant source of funding to Sunni terrorist groups worldwide.’ She said it was ‘an ongoing challenge’ to persuade Saudi officials to treat such activity as a strategic priority. The groups funded include al-Qaeda, the Taliban and Lashkar-e-Taiba, she added.”

Saudi Arabia has been an American ally on many issues and there are moderates there who detest its religious authorities. But the fact remains that Saudi Arabia’s export of Wahhabi puritanical Islam has been one of the worst things to happen to Muslim and Arab pluralism — pluralism of religious thought, gender and education — in the last century.

Iran’s nuclear ambition is a real threat; it needs to be corralled. But don’t buy into the nonsense that it’s the only source of instability in this region.

A version of this op-ed appears in print on September 2, 2015, on page A25 of the New York edition with the headline: Our Radical Islamic BFF . Today’s Paper|Subscribe

Thomas L. Friedman
Foreign affairs, globalization and technology.

Syria, Obama and Putin

SOURCES:

http://www.nytimes.com/column/thomas-l-friedman


Hyang Concept

Taprobana adalah Kalimantan, bukan Sri Lanka atau Sumatera

$
0
0

SELASA 13 OKTOBER 2015 01:05 WIB

DIBACA (468)
KOMENTAR (0)

Oleh Dhani Irwanto, 12 Oktober 2015indonesiana-Dhani Irwanto

Daftar Isi

 

Latar Belakang

HeadingTaprobana (Yunani Kuno: Ταπροβανα) atau Taprobane (Ταπροβανη) adalah sebuah nama bersejarah untuk sebuah pulau di Samudera Hindia. Onesicritus (ca 360 SM – ca 290 SM) adalah penulis pertama yang menyebutkan pulau Taprobana. Nama itu juga dilaporkan di Eropa oleh Megasthenes, seorang geografer Yunani, sekitar tahun 290 SM, dan kemudian digunakan oleh Ptolemy dalam risalah geografisnya untuk mengidentifikasi sebuah pulau yang relatif besar di sebelah selatan benua Asia. Meskipun lokasi yang tepat untuk nama tersebut masih belum jelas, beberapa ilmuwan menganggapnya sebagai penafsiran yang kurang jelas tentang beberapa pulau, termasuk Sumatera dan Sri Lanka.

Pulau ini menjadi perhatian di Eropa selama penaklukan Alexander Agung. Kedua laksamananya, Nearchus dan Onesicritus, menyebutkan nama Taprobana dalam laporan mereka kepada Alexander. Nearchus yang telah berlayar melewati ujung selatan India, menggambarkan telah mencium bau kayu manis yang menguar dari sebuah pulau dalam perjalanannya. Megasthenes, duta Seleucus untuk istana Chandragupta Maurya, melaporkan lebih rinci lagi. Beberapa kartografer dan sejarawan Romawi mempertentangkan mengenai ukuran, bentuk dan posisi Taprobana sebelum Claudius Ptolemy menggambarkannya sebagai sebuah pulau besar “Taprobana” dalam Geographia, yang ditulis sekitar tahun 150 M, ukurannya enam kali sub-benua India dan mengangkangi khatulistiwa.

Setelah jatuhnya Romawi, pengetahuan geografi Eropa memasuki Zaman Kegelapan yang lebih mendalam daripada kebanyakan disiplin ilmu lainnya. Seperti banyak buku-buku dan karya-karya ilmiah kuno, terutama yang terdapat di Perpustakaan Alexandria, karya Ptolemy hilang selama lebih dari seribu tahun di kalangan para ilmuwan Barat. Pada akhir tahun 1400-an, setelah para ilmuwan Renaisans mempelajari tulisan-tulisan para ilmuwan Muslim yang telah menyimpan banyak pengetahuan klasik yang telah hilang di kalangan Barat, karyanya ditemukan kembali dan diterjemahkan kedalam bahasa Latin, bahasa para ilmuwan Barat yang lebih umum digunakan pada saat itu. Geographia menjadi populer sekali lagi dan telah dicetak lebih dari 40 edisi.

Dalam Geographia, Ptolemy menjelaskan dan mengumpulkan semua pengetahuan tentang dunia geografi di Kekaisaran Romawi dari abad ke-2 Masehi. Sebuah usaha besar dalam kalangan para ilmuwan pada masa itu, Geographia ditulis dalam delapan jilid. Bagian pertama membahas masalah proyeksi, yaitu menggambarkan bumi yang bulat pada kertas yang datar. Bagian kedua meliputi tujuh jilid dan seluruhnya terdiri dari atlas.

Satu masalah yang ditemui oleh para sejarawan modern ketika meneliti karya Ptolemy adalah bahwa karya-karyanya semua disalin dengan tangan dan kemudian didistribusikan. Banyak dari peta-petanya tidak digambar ulang ketika menyalin dan kebanyakan salinannya tanpa melampirkan gambar-gambarnya; bahkan buku-buku dan peta-peta yang dibuat berabad-abad kemudian hanya berdasarkan deskripsi atau peta yang sudah hilang. Salah satu sumber yang menunjukkan masalah ini adalah al-Mas’udi, seorang ilmuwan Arab, yang menulis sekitar tahun 956 M dan menyebutkan bahwa Geographia-nya Ptolemy meliputi peta-peta berwarna yang menyantumkan lebih dari 4.530 kota dan lebih dari 200 gunung. Dalam peta dunia Ptolemy, ia mengidentifikasi banyak wilayah geografis termasuk Taprobana dan Aurea Chersoneus.

Taprobana telah menjadi subyek perdebatan. Genenerasi-generasi berikutnya dalam membaca deskripsi yang samar mengenai pulau tersebut kemudian berselisih atas apa yang dimaksudkan oleh pendahulu mereka. Para ilmuwan pada abad ke-18 dan ke-19 mulai menganalisis bahwa Ptolemy telah mengalami kerancuan dalam menyebutkan Sri Lanka dan Sumatera, atau bahkan ujung selatan semenanjung India. Pada akhirnya, selama berabad-abad tidak berhasil untuk menetapkan satu tempat dengan label “Taprobana”.

Nama Taprobana telah diterapkan kepada Sumatera dari abad ke-15 dan seterusnya, setelah kesalahpahaman oleh penjelajah Italia Nicolo di Conti. Conti adalah wisatawan Eropa pertama yang membedakan Sri Lanka dari Taprobana dan mengidentifikasikannya sebagai Sumatera, dengan penekanannya bahwa pulau itu mengangkangi khatulistiwa. Selanjutnya, geografer, sejarawan, kosmografer dan pemikir lainnya menjadi terlibat dalam kontroversi mengenai identifikasi persisnya. Kebingungan mulai timbul, apakah Taprobana yang digambarkan oleh Mappaemundi pada Atlas Hereford, Ebstrof dan Catalan serta Planisfer Fra Mauro dan Bola Dunia Martin Behaim adalah Sri Lanka atau Sumatera. Peta-peta seperti “Cantino”, “Caverio” dan “Contarini” telah menyesatkan pembaca kontemporer yang selanjutnya meneruskan kebingungan ini baik melalui diskusi secara implisit kasual atau bahkan menggambarkan secara eksplisit pada peta, yang kemudian menyebarkannya secara naif, dengan tingkat ketelitian yang sama dengan sumbernya dan memproduksinya untuk pengguna langsung.

Keganjilan-keganjilan geografis Taprobana telah menarik perhatian tokoh-tokoh terkemuka sejarah Barat, yaitu Ramusio, Gossellin, Kant dan Cassini yang tertarik dengan dilemma diatas, dan berusaha untuk menyelesaikan masalah Taprobana dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan mulai dari Sumatera sampai ke Madagaskar. Geografer, sejarawan dan budayawan Fenesia Ramusio dengan mengandalkan keterangan dari anonim Portugis dan berdasarkan data geografi dan astronomi berusaha untuk mencocokkan lokasi dan dimensi Sumatera dengan posisi dan ukuran pulau yang diklaim telah ditemukan oleh Iambulus, seorang pedagang Yunani. Kesimpulannya adalah bahwa  Taprobana yang disebutkan oleh penulis klasik adalah Sumatera.

Taprobana juga tergambar pada peta Sebastian Munster pada tahun 1580 dengan judulSumatera Ein Grosser Insel (“Sumatera, sebuah pulau besar”). Perdebatan sebelumnya telah menetapkan dan mendukung Sri Lanka, namun tampilan peta Munster yang lebih baru tersebut menghidupkan kembali perdebatan tersebut. Peta Munster adalah suatu “contoh yang baik” tentang kesulitan para pembuat peta Renaisans dalam menempatkan benua-benua pada peta dunia. Hal ini menunjukkan kebingungan para kartografi Eropa dalam memahami geografi Asia.

Yang masih membingungkan semua orang adalah tentang ukuran Taprobana oleh Ptolemy yang benar-benar berlebihan apabila yang dimaksudkan adalah Sri Lanka. Sebaliknya, sub-benua India yang terlihat pada peta digambarkan jauh lebih kecil dari yang sebenarnya. Padahal Sri Lanka pada zaman Ptolemy adalah sebuah pulau terkenal yang terletak di Samudera Hindia, dan India dan produk-produknya juga sama-sama sudah dikenal dari era pra-Kristen, dimulai dengan pendudukan Persia di wilayah itu sampai ke Sungai Sind dan berikutnya penaklukan oleh Alexander melalui perdagangan laut.

Sebaliknya, Taprobana, meskipun ukurannya yang menakjubkan, telah disebutkan oleh Ptolemy dengan perdagangan gajah dan rempah-rempah bermutu tinggi. Sri Lanka dan Sumatera keduanya dikenal dengan dua komoditas ini; Sumatera lebih dikenal dengan rempah-rempahnya tetapi Sri Lanka memiliki catatan sejarah tentang gajah yang lebih baik. Kecerdasan yang dimiliki oleh gajah Sri Lanka dan kemudahannya untuk digunakan sebagai transportasi di seluruh sub-benua India mungkin yang menjadikan preferensi untuk memilih Sri Lanka. Gajah Sri Lanka mulai dimanfaatkan secara besar-besaran hanya setelah gajah Afrika Timur menyusut populasinya.

Kembali ke Daftar Isi

Sejarah Perdagangan dengan Asia Tenggara

Di bawah hegemoni Kekaisaran Mongolia atas Asia (Mongolica Pax, atau Perdamaian Mongolia), Eropa telah lama menikmati jalan darat yang aman, Jalan Sutera ke India (Hindia, wilayah yang jauh lebih besar dari India modern) dan Tiongkok, yang memiliki sumber barang berharga seperti rempah-rempah dan sutera.

Pada awal abad Masehi, India dan Barat menyebut Asia Tenggara sebagai “Golden Khersonese” (“Tanah Emas”), dan tidak lama setelah itu kawasan ini menjadi terkenal karena lada dan produk-produk hutan tropisnya; awalnya berupa kayu dan resin yang aromatik, dan kemudian termasuk pula rempah-rempah yang terbaik dan paling langka. Dari abad ketujuh sampai kesepuluh, orang Arab dan Tiongkok berfikir tentang emas di Asia Tenggara, serta rempah-rempah. Para pelaut dari pelabuhan di Samudera Atlantik pada abad kelimabelas, berusaha berlayar melalui lautan yang tidak diketahui pada belahan bumi yang berlawanan untuk menemukan Kepulauan Rempah-rempah ini. Mereka semua tahu bahwa Asia Tenggara adalah pusatnya rempah-rempah di dunia. Dari sekitar 1000 M sampai dengan ‘era industri’ abad kesembilanbelas, semua perdagangan dunia kurang lebih diatur oleh pasang surut dan aliran rempah-rempah yang keluar dari Asia Tenggara.

Sepanjang abad ini, wilayah dan produk-produknya tidak pernah kehilangan kualitas unggulnya. Pohon kelapa, pantai-pantai yang panjang, lereng gunung yang curam dan ditutupi vegetasi subur, burung dan bunga dengan warna cemerlang, serta matahari tropis yang terbenam berwarna oranye dan emas telah mempesonakan para pengunjung serta masyarakatnya sendiri selama berabad-abad. Dikabarkan bahwa pada tahun-tahun terakhir abad keenam belas kapal Belanda pertama kali tiba di salah satu pulau di kepulauan Indonesia, seluruh kru turun dari kapal, dan kapten mereka butuh dua tahun untuk mengumpulkannya demi perjalanan pulang ke Belanda.

Dalam perdagangan internasional melalui darat dan laut, beberapa kerajaan besar telah terlibat. Pada ujung barat Rute Kafilah (darat) dan laut (terkenal dengan istilah “Jalan Sutera”) adalah Kekaisaran Romawi, yang pada saat itu termasuk wilayah-wilayah di seluruh Mediterania, Mesir, Levant dan Saudi. Dari sana rute perdagangan bergerak kearah timur melalui kerajaan Partia dan Kushan di Asia Tengah dan India utara, melalui tanah Shaka (Indo-Scythia) dan Shatavahana di India utara dan tengah, sampai dengan kerajaan-kerajaan di India Selatan seperti Cheras, Pandya dan Chola, dan terus melalui Sri Lanka dan Teluk Benggala, sampai ke Funan di Vietnam Selatan sekarang dan ke Tiongkok, di ujung timur Jalan Sutera. Dinasti Han di Tiongkok berdagang secara tidak langsung dengan Romawi, baik itu pada Rute Kafilah yang melalui Asia Tengah ke India, Teluk Persia dan akhirnya ke Mediterania timur, ataupun pada Rute Maritim, dari Laut Tiongkok Selatan, Samudera Hindia, Teluk Persia, Laut Arab dan Laut Merah sejauh Alexandria dan Roma. Kepulauan Asia Tenggara dengan obat-obatan, rempah-rempah dan zat yang aromatik, kayu berharga dan cangkang kura-kuranya adalah merupakan penghubung yang penting dalam jaringan perdagangan dan interkoneksi benua yang luas.

Dengan jatuhnya Konstantinopel ke Turki Ottoman pada tahun 1453, jalur darat ke Asia menjadi jauh lebih sulit dan berbahaya. Navigator Portugis mencoba untuk menemukan jalan laut ke Asia. Pada tahun 1470, astronomer Florentine, Paolo dal Pozzo Toscanelli, mengusulkan kepada Raja Portugal Afonso V bahwa berlayar ke barat akan menjadi cara yang lebih cepat untuk mencapai Kepulauan Rempah-rempah, Cathay (Tiongkok) dan Cipangu (Jepang) daripada rute yang mengitari Afrika. Afonso menolak usulan tersebut. Penjelajah Portugis, di bawah kepemimpinan Raja John II, kemudian merintis jalan menuju Asia dengan berlayar mengitari Afrika. Kemajuan besar dalam perintisan ini dicapai pada tahun 1488, ketika Bartolomeu Dias mencapai Tanjung Harapan, suatu tempat yang sekarang adalah Afrika Selatan. Sementara itu, pada sekitar tahun 1480, Columbus bersaudara memutuskan untuk memilih usulan Toscanelli dan mengusulkan rencana untuk mencapai Hindia (kemudian ditafsirkan meliputi semua wilayah Asia selatan dan timur) dengan berlayar ke barat melintasi “Samudera Laut”, yaitu Atlantik. Selama pelayaran pertamanya pada tahun 1492, mereka bukannya tiba di Jepang seperti yang dimaksudkan, Columbus malahan mencapai Dunia Baru, mendarat di sebuah pulau di kepulauan Bahama yang ia beri nama “San Salvador”. Pada tiga perjalanan berikutnya, Columbus telah mencapai kepulauan Antilles Besar dan Kecil, serta pantai-pantai Laut Karibia di Venezuela dan Amerika Tengah, mengklaim semua itu sebagai Mahkota Castile.

Portugal adalah kekuatan Eropa pertama yang membuka rute perdagangan maritim Asia Tenggara yang menguntungkan, dengan penaklukan Kesultanan Malaka pada tahun 1511. Belanda dan Spanyol mengikutinya dan segera menggantikan Portugal sebagai kekuatan Eropa utama di wilayah tersebut. Pada tahun 1599, Spanyol mulai menjajah Filipina. Pada tahun 1619, bertindak melalui East India Company (VOC), Belanda menguasai kota Sunda Kelapa dan menamainya Batavia (sekarang Jakarta) sebagai basis perdagangan dan ekspansi ke daerah lain di Jawa dan wilayah sekitarnya. Pada tahun 1641, Belanda mengambil alih Malaka dari Portugis. Peluang ekonomi membuat pelaut Tiongkok tertarik datang ke wilayah tersebut dalam jumlah yang besar. Pada tahun 1775, Republik Lanfang, mungkin republik pertama di wilayah ini, didirikan di Kalimantan Barat sebagai negara sungai dibawah Kekaisaran Qing. Republik ini berlangsung sampai tahun 1884, setelah jatuh dibawah pendudukan Belanda dan pengaruh Kekaisaran Qing memudar.

Orang Inggris, berkedok sebagai Honourable East India Company yang dipimpin oleh Josiah Child, kurang berminat atau kurang berpengaruh di wilayah tersebut, dan secara efektif diusir setelah kalah dalam perang Siam-Inggris pada tahun 1687. Inggris, dalam kedok British East India Company, mengalihkan perhatian mereka ke Teluk Benggala setelah mengadakan perjanjian perdamaian dengan Perancis dan Spanyol pada tahun 1783. Selama konflik, Inggris memiliki keunggulan angkatan laut diatas Perancis, dan memerlukan pelabuhan yang layak. Pulau Penang telah berada dalam wilayah Pemerintah India dibawah Francis Light. Pada tahun 1786, pemukiman dibentuk dibawah pemerintahan Sir John Macpherson, yang secara resmi memulai ekspansi Inggris ke wilayah-wilayah Melayu di Asia Tenggara.

Inggris juga secara sementara memiliki wilayah Belanda selama Perang Napoleon; dan wilayah Spanyol dalam Perang Tujuh Tahun. Pada tahun 1819, Stamford Raffles mendirikan Singapura sebagai sebuah pos perdagangan utama bagi Inggris dalam persaingan dengan Belanda. Namun, persaingan mereka mendingin pada tahun 1824 ketika perjanjian Inggris-Belanda merumuskan batas-batas kekuasaan mereka di Asia Tenggara. Kekuasaan Inggris di Burma dimulai setelah kemenangannya dalam perang dengan Burma (1824 – 1826).

Kembali ke Daftar Isi

Pemetaan Kuno Dunia

Jauh sebelum era global positioning satellite dan orto-fotografi multi-spektrum, kartografer kuno sering harus bergantung pada informasi dari mulut ke mulut untuk menggambarkan tempat-tempat yang jauh. Kadang-kadang, mereka menggambar monster laut pada peta untuk mengisi ruang-ruang kosongnya. Pada saat lain, mereka memperbesar ukuran suatu tempat pada peta setelah mendengar yang lebih lengkap, dan menambahkan rinciannya sendiri.

Ketika pembuat peta zaman awal melukiskan permukaan bumi pada peta, mereka hanya menggambar fitur geografis berdasarkan yang mereka lihat atau yang diceritakan oleh wisatawan dan penjelajah. Karena begitu sedikit yang diketahui tentang dunia, informasi yang ditampilkan pada peta agak jarang dan sulit untuk mengevaluasi kualitas atau akurasi peta. Bahkan, sebagian besar peta yang dibuat sebelum Renaisans Eropa adalah begitu umum dan tidak akurat, bahwa pembuat peta mengasumsikan kita hidup di bumi yang datar dan hampir tidak ada perbedaan dalam hal kegunaannya.

Hecataeus, seorang ilmuwan dari Miletus, mungkin yang menyusun tulisan pertama tentang geografi di sekitar tahun 500 SM. Satu generasi kemudian, Herodotus mengembangkannya dari studi dan perjalanan yang lebih luas. Sebagai seorang sejarawan dengan kecenderungan geografis, Herodotus antara lain mencatat pengitaran awal benua Afrika oleh bangsa Fenisia. Ia juga memperbaiki penggambaran bentuk dan luas daerah di dunia yang dikenal kemudian, dan ia juga menyatakan bahwa Kaspia adalah sebuah laut pedalaman, menentang pandangan yang berlaku pada saat itu yang merupakan bagian dari “Lautan Utara”.

Hecataeus

Gambar 1.  Rekonstruksi peta dunia menurut Hecataeus (ca 500 SM)

Meskipun Hecataeus menganggap Bumi sebagai piringan datar yang dikelilingi oleh laut, Herodotus dan pengikutnya mempertanyakan konsep tersebut dan mengusulkan sejumlah bentuk lain yang mungkin. Sebetulnya, para filsuf dan ilmuwan pada waktu itu tampaknya telah sibuk selama beberapa tahun dengan diskusi tentang sifat dan luas dunia. Beberapa ilmuwan modern memberikan atribut tentang hipotesis pertama bentuk bulat Bumi kepada Pythagoras (abad 6 SM) atau Parmenides (abad ke-5). Gagasan tersebut secara bertahap berkembang menjadi konsensus setelah berjalan bertahun-tahun. Secara umum pada pertengahan abad ke-4 teori tentang bumi bulat telah diterima dengan baik di kalangan ilmuwan Yunani, dan sekitar tahun 350 SM Aristoteles merumuskan enam argumen untuk membuktikan bahwa bumi itu sebenarnya berbentuk sebuah bola. Sejak saat itu, gagasan tentang bumi bulat telah diterima secara umum di kalangan geografer dan ilmuwan lainnya.

Herodotus

Gambar 2.  Rekonstruksi peta dunia menurut Herodotus (ca 430 SM)

Sekitar tahun 300 SM, Dicaearchus, seorang murid Aristoteles, menempatkan garis orientasi pada peta dunia, berarah timur dan barat melalui Gibraltar dan Rhodes. Eratosthenes, Marinus Tirus dan Ptolemy berturut-turut mengembangkan prinsip garis referensi sampai dengan sistem paralel dan meridian yang cukup komprehensif, serta metode memproyeksikannya.

Dicaearchus

Gambar 3.  Rekonstruksi peta dunia menurut Dicaearchus (ca 300 SM)

Eratosthenes (276 – 194 SM) menggambarkan peta dunia dengan lebih baik, dengan menggabungkan informasi dari kampanye Alexander Agung dan para penerusnya. Asia menjadi lebih luas, mencerminkan pemahaman baru mengenai ukuran yang sebenarnya. Eratosthenes adalah juga ilmuwan geografi pertama yang menggabungkan paralel dan meridian dalam penggambaran kartografinya, membuktikan pemahamannya tentang sifat bumi yang bulat.

Eratosthenes

Gambar 4.  Rekonstruksi peta Eratosthenes pada tahun 1883

Karya Posidonius (ca 150 – 130 SM) “tentang laut dan daerah sekitarnya” adalah merupakan diskusi geografis umum, menunjukkan bagaimana semua kekuatan memiliki dampak pada satu sama lain dan diterapkan juga untuk kehidupan manusia. Ia mengukur lingkar bumi dengan mengacu pada posisi bintang Canopus. Ukurannya adalah 240.000 stadia yang diterjemahkan ke 24.000 mil, mendekati lingkar sebenarnya yaitu 24.901 mil. Ia mengambil pendekatan tersebut dari Eratosthenes, yang satu abad sebelumnya menggunakan ketinggian Matahari di lintang-lintang yang berbeda. Panjang keliling bumi oleh kedua orang tersebut adalah luar biasa akurat, karena masing-masing saling mengkompensasi kesalahan dalam pengukurannya. Namun, versi perhitungan Posidonius yang dipopulerkan oleh Strabo direvisi dengan memperbaiki jarak antara Rhodes dan Alexandria menjadi 3.750 stadia, mengakibatkan panjang lingkarnya menjadi 180.000 stadia, atau 18.000 mil. Ptolemy membahas dan menyukai ukuran Posidonius yang direvisi daripada Eratosthenes dalamGeographia, dan ilmuwan selama Abad Pertengahan terbagi kedalam dua kubu mengenai keliling Bumi, satu sisi mengidentifikasi dari perhitungan Eratosthenes dan yang lainnya dengan ukuran Posidonius yaitu 180.000 stadia. Tergantung pada nilai stadia yang digunakan, mungkin benar bahwa Posidonius, dalam usaha untuk memperbaiki Eratosthenes, memperkirakan ukuran bumi lebih kecil, selanjutnya disalin oleh Ptolemy, dan kemudian tersebar ke Renaisans Eropa.

Posidonius

Gambar 5.  Rekonstruksi pada tahun 1628 mengenai gagasan Posidonius tentang posisi benua

Strabo (ca 64 SM – 24 M) terkenal dengan karya besarnya berjudul Geographica yang terdiri dari 17 jilid, menyajikan sejarah deskriptif orang dan tempat dari berbagai daerah di dunia yang dikenal pada jamannya. Geographica pertama kali muncul di Eropa Barat di Roma yaitu terjemahan Latin yang diterbitkan sekitar tahun 1469. Meskipun Strabo mengacu kepada para astronom Yunani kuno Eratosthenes dan Hipparchus, dan mengakui upaya astronomi dan matematika mereka terhadap geografi, ia mengklaim bahwa pendekatan deskriptif adalah lebih praktis. Geographica menyediakan sumber informasi yang berharga tentang dunia kuno, terutama ketika informasi ini dikuatkan oleh sumber-sumber lain. Dalam bukuGeographica tedapat peta Eropa. Peta dunia secara keseluruhan menurut Strabo dapat direkonstruksi dari teks tertulis itu.

Strabo

Gambar 6.  Rekonstruksi peta dunia menurut Strabo pada tahun 1815

Pomponius Mela (ca 43 AD) adalah unik di antara geografer kuno yang lain, dengan membagi bumi menjadi lima zona, hanya dua yang dihuni. Ia menegaskan keberadaanantichthones, masyarakat yang mendiami zona beriklim panas di selatan yang tidak dapat diakses oleh masyarakat dari daerah beriklim panas di utara karena tidak dapat menahan panas dari rintangan sabuk panas terik. Pada bagian dan batas-batas Eropa, Asia dan Afrika, ia mengulangi Eratosthenes; seperti semua geografer klasik pada masa Alexander Agung (kecuali Ptolemy) ia menganggap Laut Kaspia sebagai inlet “Lautan Utara”, seperti halnya teluk-teluk di Persia (Teluk Persia) dan Arab (Laut Merah) di selatan.

Pomponius Mela

Gambar 7.  Rekonstruksi pandangan Pomponius Mela tentang Dunia pada tahun 1898

Sosok terbesar dunia kuno dalam kemajuan geografi dan kartografi adalah Claudius Ptolemaeus (Ptolemy; 90 – 168 AD). Sebagai seorang astronom dan ahli matematika, ia menghabiskan bertahun-tahun belajar di perpustakaan di Alexandria, sebuah repositori terbesar pengetahuan ilmiah pada waktu itu. Ia mempelopori penggunaan meridian melengkung paralel dan konvergen pada peta. Peta Ptolemy adalah “spesifik Mediterania”, sangat umum, dan hampir sepenuhnya mengabaikan belahan bumi selatan. Namun, hal itu adalah langkah maju yang signifikan dalam pembuatan peta dan lebih maju pada masa itu, dapat digunakan dengan baik pada masa Renaisans.

Ptolemy

Gambar 8.  Peta dunia Ptolemy oleh Johane Schnitzer (Ulm: Leinhart Holle, 1482). Peta asli telah hilang.

Seorang geografer Arab, Muhammad Al-Idrisi (1154 AD), memasukkan pengetahuan tentang Afrika, Samudera Hindia dan Timur Jauh yang dikumpulkan oleh pedagang dan penjelajah Arab dengan informasi yang diwariskan oleh geografi klasik untuk membuat peta dunia yang paling akurat pada waktu itu. Peta tersebut menjadi peta dunia yang paling akurat untuk tiga abad berikutnya. Tabula Rogeriana digambar oleh Al-Idrisi pada tahun 1154 untuk Raja Normandy, Roger II dari Sisilia, setelah tinggal delapan belas tahun di istana, dimana ia mengerjakan komentar-komentar dan ilustrasi peta. Peta yang ditulis dalam bahasa Arab tersebut menunjukkan benua Eurasia secara keseluruhan, tetapi hanya menunjukkan bagian utara benua Afrika.

Al-Idrisi

Gambar 9.  Tabula Rogeriana, digambar oleh Al-Idrisi untuk Roger II dari Sisilia pada tahun 1154

Peta dunia oleh Henricus Martellus Germanus (Heinrich Hammer), ca 1490, adalah sangat mirip dengan bola dunia terestrial yang dibuat kemudian oleh Martin Behaim pada tahun 1492, Erdapfel. Keduanya menunjukkan pengaruh kuat Ptolemy, dan keduanya mungkin berasal dari peta yang dibuat sekitar 1485 di Lisbon oleh Bartolomeo Columbus. Meskipun Martellus diyakini telah lahir di Nuremberg, kota asal Behaim, ia tinggal dan bekerja di Florence pada 1480 – 1496.

Martellus

Gambar 10.  Peta dunia Martellus (1490)

Cantino planisphere adalah peta paling awal yang masih ada, yang menunjukkan penemuan geografis Portugis di timur dan barat. Peta ini dinamai dari Alberto Cantino, seorang agen untuk Duke of Ferrara, yang berhasil menyelundup dari Portugal ke Italia pada tahun 1502. Peta itu sangat penting dalam menggambarkan catatan fragmentaris pantai Brasil, ditemukan pada tahun 1500 oleh penjelajah Portugis Pedro Álvares Cabral, dan dalam menggambarkan pantai Afrika sisi-sisi Samudra Atlantik dan India dengan akurasi yang luar biasa dan detail. Peta tersebut bermanfaat pada awal abad keenam belas karena menunjukkan informasi strategis yang rinci dan mutakhir pada saat pengetahuan geografis dunia tumbuh dengan cepat. Informasi tersebut juga penting pada saat ini karena mengandung informasi sejarah unik yang sangat menarik tentang eksplorasi maritim dan evolusi kartografi laut dalam masa itu. Cantino planisphere adalah peta nautikal awal yang masih ada dimana tempat-tempat (di Afrika dan bagian Brasil dan India) telah digambarkan sesuai dengan pengamatan garis lintang astronomi.

Cantino

Gambar 11.  Cantino planisphere (1502), Biblioteca Estense, Modena, Italia

Peta Caverio, juga dikenal sebagai peta Caveri atau peta Canerio, adalah peta yang digambar oleh Nicolay de Caveri, sekitar tahun 1505. Peta ini digambar tangan pada perkamen dan berwarna, yang terdiri dari sepuluh bagian atau panel, berukuran 2,25 kali 1,15 meter (7,4 kali 3,8 kaki). Sejarawan percaya bahwa peta yang tidak bertanggal dan ditandai dengan tulisan “Nicolay de Caveri Januensis” adalah diselesaikan pada tahun 1504 – 1505. Peta ini mungkin dibuat di Lisbon oleh Genoa Canveri, atau disalinnya di Genoa dari peta yang sangat mirip Cantino. Peta ini menunjukkan pantai timur Amerika Utara dengan rincian yang mengejutkan, jika pantai timur Amerika Utara dibandingkan dengan peta modern, kita akan segera heran dengan adanya kesamaan dengan garis pantai yang membentang dari Florida ke Delaware atau Sungai Hudson, apabila kita mengacu pada pandangan umum bahwa Eropa tidak pernah melihat atau menginjakkan kaki di pantai selatan negara-negara bagian Amerika Serikat sekarang. Peta ini adalah salah satu sumber utama yang digunakan untuk membuat peta Waldseemüller pada tahun 1507. Peta Caverio saat ini berada di Bibliotheque Nationale de France di Paris.

Caverio

Gambar 12.  Peta Caverio (ca 1505), Bibliothèque Nationale de France, Paris

Cerita tentang sekelompok kecil intelektual Renaisans yang bekerja di San Die, sebuah kota kecil di Alzace (Perancis) dari tahun 1500 dan seterusnya adalah cukup terkenal. Tim ini dibiayai oleh Duc Rene II de Lorraine, yang diwakili dalam tim oleh Walter Ludd. Martin Ringmann adalah penulisnya dan Martin Waldseemüller adalah geografernya. Mereka mengatur diri mereka sendiri untuk menganalisis informasi geografis baru yang diperoleh dari penemuan dalam pelayaran sebelumnya dan mengintegrasikan informasi tersebut kedalam peta dan atlas yang ada. Upaya tersebut menghasilkan sebuah publikasi buklet yang cukup penting, Universalis Cosmographia (1507); salah satu peta dinding dunia yang paling penting dan pernah diterbitkan, dan bola dunia yang diterbitkan pada tahun yang sama. Dari revolusi kartografi ini, barisan baru edisi Geographia Ptolemy telah lahir (1513; 1520; 1522; 1535; 1541) yang membawa pengetahuan dunia kuno bersama-sama dengan yang baru.

Peta dunia besar Waldseemüller adalah produk yang paling menarik dari upaya penelitian tersebut, dan meliputi data yang dikumpulkan selama pelayaran Amerigo Vespucci ke Dunia Baru pada tahun 1501 – 1502. Waldseemüller menamai sebuah daratan sebagai “Amerika” untuk mengakui pemahaman Vespucci mengenai benua baru yang telah ditemukan sebagai hasil pelayaran Columbus dan penjelajah lainnya pada akhir abad kelimabelas. Peta ini adalah salinan yang masih ada dan hanya terdiri dari edisi cetak pertama, yang diyakini terdiri dari 1.000 eksemplar.

Peta Waldseemüller ini mendukung konsep revolusioner Vespucci dengan menggambarkan Dunia Baru sebagai benua yang terpisah, yang sampai saat itu tidak diketahui oleh orang Eropa. Peta pertama, baik yang dicetak atau naskahnya, menggambarkan jelas belahan bumi Barat secara terpisah, dengan Pasifik sebagai samudera yang terpisah. Peta ini merupakan sebuah lompatan besar dalam ilmu pengetahuan, mengakui daratan Amerika yang baru ditemukan dan selamanya mengubah pemahaman Eropa bahwa dunia hanya dibagi menjadi tiga bagian – Eropa, Asia dan Afrika.

Waldseemüller

Gambar 13.  Universalis Cosmographia, peta dinding Waldseemüller, 1507

Lorenz Fries (ca 1490 – 1531) adalah seorang dokter, peramal dan geografer yang mungkin paling dikenal sebagai penyusun peta yang merupakan pengerjaan ulang peta Martin Waldseemüller dengan Geographia-nya Ptolemy. Karrow menunjukkan dalam Pembuat Peta Abad Ke-enambelas dan Peta-petanya bahwa Fries pernah belajar di Wina, Montpellier, Piacenza dan Pavia sebelum bekerja di Schlettstadt, Colmar, Fribourg dan Strasbourg. Publikasi awal Fries adalah terkait dengan obat-obatan dan ia telah mendapatkan beberapa keberhasilan dalam bidang tersebut. Penerbitnya adalah Gruninger di Strasbourg, yang juga diketahui telah bekerjasama dengan Waldseemuller dalam Chronica Mundi, sebuah kosmografi yang direncanakan untuk dipublikasikan. Nampaknya volume kecil ini adalah merupakan keterlibatan yang cukup besar Fries dalam peta Waldseemüller. Yang pertama dikerjakan oleh Fries dalam mengerjakan ulang peta Waldseemüller, dan juga dikerjakan oleh Peter Apian, adalah Tipus Orbis Universalis pada tahun 1520, yang didasarkan pada peta dunia Waldseemüller tahun 1507.

Lorenz Fries and Peter Apian

Gambar 14.  Tipus Orbis Universalis, peta Waldseemüller yang dikerjakan ulang oleh Lorenz Fries dan Peter Alpian, 1520

Pada saat yang sama dengan peta dunia yang sedang diterbitkan, Fries juga mengerjakan edisi Ptolemy “Geographia”. Chronica Mundi yang disebutkan diatas tidak mencapai publikasi, mungkin karena meninggalnya Waldseemüller pada tahun 1518, dan Gruninger, penerbitnya, memutuskan agar Fries mengerjakan sebuah edisi Ptolemy menggunakan peta yang mungkin telah dimasukkan dalam Chronica Mundi. Dengan demikian, edisi pertama peta Ptolemy Waldseemüller oleh Fries telah terbit di Strasbourg pada tahun 1522 – sangat mirip dengan peta versi Waldseemüller tahun 1513 meskipun Fries memotong petanya pada ukuran yang sedikit berkurang. Diterbitkan tiga peta baru pada edisi ini (meskipun didasarkan pada peta Waldseemüller tahun 1507), yaitu Dunia, Asia Tenggara dan Asia Timur (menyebutkan Tiongkok dan Tartary). Peta papan kayunya Fries digunakan lagi dalam tiga edisi berikutnya pada tahun 1525, yang diterbitkan di Strasbourg dan diedit oleh Willibald Pirkheimer pada tahun 1535, yang diterbitkan di Lyons dan diedit oleh Michael Servetus pada tahun 1541, juga diterbitkan di Lyons – cetak ulang dari edisi tahun 1535.

Geographia, edited by Lorenz Fries

Gambar 15.  Peta dunia Ptolemy, Geographia, diedit oleh Lorenz Fries, 1522

Abraham Ortelius (1527 – 1598) secara konvensional diakui sebagai pencipta atlas modern pertama. Pada tahun 1564 ia menerbitkan peta pertamanya, Typus Orbis Terrarum, peta dinding dunia delapan daun, dimana ia mengidentifikasi Regio Patalis dengan Locach sebagai perpanjangan kearah utara Terra Australis, mencapai sejauh Nugini. Banyak peta-peta atlasnya didasarkan pada sumber yang tidak lagi ada atau sangat jarang. Ortelius menambahkan daftar sumber yang unik (Katalog Auctorum), yang mengidentifikasi nama-nama kartografer kontemporer, beberapa di antaranya sudah tidak diketahui.

Abraham Ortelius

Gambar 16.  Typus Orbis Terrarum oleh Abraham Ortelius (1564)

Kembali ke Daftar Isi

Peta Dunia Ptolemy

Claudius Ptolemaeus, lebih dikenal sebagai Ptolemy (ca 90 – 168 M) memberikan banyak kontribusi penting dalam ilmu geografi dan spasial. Seorang keturunan Yunani, ia berasal dari Alexandria di Mesir, dan dikenal sebagai orang yang paling bijaksana dan terpelajar pada zamannya. Meskipun sedikit yang diketahui tentang kehidupannya, ia menulis tentang banyak topik, termasuk geografi, astrologi, teori musik, optik, fisika dan astronomi.

Tulisan Ptolemy mencapai Italia dari Konstantinopel pada sekitar tahun 1400 dan diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Jacobus Angelus dari Scarperia sekitar tahun 1406. Edisi cetak pertama yang disertai peta diterbitkan pada tahun 1477 di Bologna, juga merupakan buku pertama yang dicetak dengan ilustrasi ukiran. Banyak edisi berikutnya (lebih sering menggunakan ukiran kayu di masa-masa awal), beberapa berikut versi peta tradisional, dan yang lainnya dengan perbaruan. Sebuah edisi cetak di Ulm pada tahun 1482 adalah yang pertama dicetak di utara Pegunungan Alpen. Juga pada tahun 1482, Francesco Berlinghieri mencetak edisi pertama dalam bahasa Italia.

Karya Ptolemy dalam astronomi dan geografi telah membuatnya terkenal selama berabad-abad, meskipun faktanya bahwa banyak teori-teorinya pada abad-abad berikutnya terbukti salah atau berubah. Ptolemy mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan pengetahuan geografisnya sehingga dapat diteruskan dan disempurnakan oleh generasi berikutnya. Gagasan-gagasannya meliputi pengungkapan lokasi dalam bentuk bujur dan lintang, yang mewakili bola bumi pada permukaan yang datar, dan pengembangan yang pertama kali proyeksi peta dengan luasan yang sama. Kecakapan Ptolemy mencerminkan pemahamannya tentang hubungan spasial antara tempat-tempat di bumi dan hubungan spasial bumi dengan benda-benda langit lainnya.

Kontribusi terbesar Ptolemy bukanlah petanya itu sendiri, tetapi konsep di balik peta tersebut.Geographia, sebuah karya tujuh jilid, merupakan buku teks geografi standar sampai abad ke-15, menyumbangkan sejumlah besar detail topografi kepada para ilmuwan Renaisans, dan mempengaruhi konsepsi mereka yang mendalam tentang dunia. Berisi instruksi dalam menggambar peta untuk seluruh oikoumenè (dunia yang dihuni), Geographia adalah apa yang sekarang kita sebut atlas. Karyanya ini meliputi sebuah peta dunia, 26 peta kawasan dan 67 peta daerah yang lebih kecil.

Ia menyampaikan tiga metode yang berbeda dalam memproyeksikan permukaan bumi pada peta (proyeksi luasan yang sama, proyeksi stereografi dan proyeksi kerucut), dan perhitungan koordinat lokasi untuk kurang lebih delapan ribu tempat di Bumi. Ia menemukan konsep lintang dan bujur, sistem pemetaan yang masih umum digunakan sampai saat ini. Lintang diukur secara horizontal dari khatulistiwa, tetapi Ptolemy lebih suka mengungkapkannya sebagai lamanya siang terpanjang daripada derajat busur (lama siang pada pertengahan musim panas meningkat dari 12 jam sampai 24 jam apabila berjalan dari khatulistiwa menuju lingkaran kutub), sedangkan bujur diukur dari daratan barat yang dikenal pada saat ini dengan El Hierro, salah satu pulau di Kepulauan Canary di lepas pantai Spanyol. Melalui publikasinya, Ptolemy mendominasi kartografi Eropa selama hampir satu milenium dan menginspirasi para penjelajah seperti Christopher Columbus untuk menguji batas-batas spasial dunia. Ptolemy sangat menyadari bahwa ia hanya mengetahui seperempat wilayah dunia.

Ptolemy telah memetakan seluruh dunia dari Fortunatae insulae (Cape Verde atau Kepulauan Canary) ke arah timur sampai pantai timur Magnus Sinus. Sebagian dunia yang dikenal tersebut terdiri dari 180 derajat bujur. Pada ekstrim timur Ptolemy menempatkan Serica (Tanah Sutera), Sinarum Situs (Pelabuhan Sinae), dan emporium Cattigara. Pada tahun 1489, pada peta dunia oleh Henricus Martellus, yang didasarkan pada peta Ptolemy, Asia diakhiri di titik paling tenggara pada sebuah semenanjung, Tanjung Cattigara. Cattigara yang dipahami oleh Ptolemy adalah merupakan sebuah pelabuhan pada Sinus Magnus, atau Teluk Besar, yang sebenarnya Teluk Thailand, pada delapan setengah derajat utara Khatulistiwa, di pantai Kamboja, dimana ia menempatkannya sebagai tempat suci dan kota terkenal. Kota tersebut adalah pelabuhan paling timur yang dapat dicapai melalui perdagangan laut dari Yunani-Romawi menuju Timur Jauh.

Kemampuannya untuk mengambil dan memahami sejumlah informasi yang luar biasa, yang dikembangkan sebelum masa hidupnya, menambahkannya, dan mensintesis menjadi peta atau buku mengubah cara orang memahami, melihat dan menggambarkan dunia. Salinan dan cetak ulang peta dunia Ptolemy menjadikan peta navigasi dan faktual yang mayoritas selama berabad-abad berikutnya, memberikan informasi dasar bagi penjelajah awal Eropa. Ptolemy juga menstandarkan orientasi peta, dengan Utara di sebelah atas dan Timur di sebelah kanan, menempatkan peta global di kiri atas, adalah standar yang tetap digunakan sampai sekarang.

Geographia meliputi daftar nama-nama sekitar 8.000an tempat serta perkiraan lintang dan bujurnya. Kecuali beberapa yang disusun melalui pengamatan, sebagian besar lokasi-lokasi tersebut diambil dari peta kuno sebelumnya, dengan perkiraan jarak dan arah yang diperoleh dari para penjelajah lain. Diluar pemetaan yang lebih akurat oleh Philo dan Josephus 100 tahun sebelumnya, Ptolemy tetap melanjutkan tradisi panjang geografi Yunani (Strabo, Eratosthenes, Herodotus, Hesiod dan Hecataeus).

Kita tidak banyak tahu tentang kehidupan Ptolemy. Ia melakukan pengamatan astronomi di Alexandria di Mesir selama tahun 127 – 141 M. Pengamatan pertama yang dilakukan oleh Ptolemy dan didapatkan tanggal persisnya adalah pada tanggal 26 Maret 127 sementara yang terakhir dilakukan adalah pada tanggal 2 Februari 141. Bahkan tidak ada bukti bahwa Ptolemy pernah ke tempat lain selain Alexandria.

Tidak mengherankan bahwa peta yang disusun oleh Ptolemy adalah tidak akurat di banyak tempat karena ia tidak bisa melakukan lebih dari menggunakan data yang tersedia sehingga kualitasnya menjadi sangat buruk untuk semua yang berada diluar Romawi, dan bahkan sebagian wilayah Kekaisaran Romawi juga sangat terdistorsi. Salah satu kesalahan mendasar yang dilakukan oleh Ptolemy dan memiliki efek meluas adalah dalam hal lebih kecilnya ukuran Bumi. Ia menunjukkan Eropa dan Asia membentang lebih dari setengah dunia, yang sebenarnya hanya 130 derajat. Demikian pula, rentang Mediterania terbukti lebih kecil 20 derajat dari perkiraan Ptolemy. Pengaruh kesalahan Ptolemy adalah berlarut-larut sampai 13 abad kemudian ketika Christopher Columbus salah memperkirakan jarak menuju Tiongkok dan Hindia yang merupakan sebagian dari rekapitulasi kesalahan mendasar ini.

Metode yang digunakan dalam pemetaan pada zaman kuno adalah dengan peta topologi perjalanan dan indeks geografi yang dimanfaatkan oleh pengguna sebagai panduan perjalanan yang terbaik. Kebutuhan utama bagi kebanyakan penjelajah adalah pengetahuan tentang rute yang pasti dan yang relatif tak berbahaya. Gagasan tentang suatu peta dunia yang menempatkan suatu tempat relatif terhadap kerangka spasial independen, tentu adalah keingintahuan ilmiah yang menarik, adalah sangat tidak akurat dan tidak informatif (medan, angin, arus laut, dll) untuk digunakan secara praktis. Ptolemy sepenuhnya menyadari bahwa menyalin peta visual akan mengakibatkan sejumlah besar kesalahan. Hal ini cukup jelas mengapa upaya untuk mengkorelasikan peta Ptolemy dengan lokasi yang dikenal sekarang adalah hampir tidak mungkin. Untuk mengurangi masalah penyampaian itu, Geographiadipisahkan menjadi dua bagian. Pertama, selain metodologi, dijelaskan cara menggambar peta sesuai dengan dua proyeksi yang berbeda. Yang kedua adalah katalog lokasi, daftar kota dan fitur geografis yang diketahui dengan perkiraan lintang dan bujurnya.

Benua-benua yang ditampilkan adalah Eropa, Asia dan Libya (Afrika). Lautan Dunia (Samudera Atlantik) hanya terlihat kearah barat. Pada peta terdapat dua laut besar yang tertutup: Mediterania dan India (Indicum Pelagus). Karena kesalahan Marinus dan Ptolemy dalam mengukur lingkar bumi, Laut Mediterania menjadi terlalu panjang dalam hal derajat busur. Karena mengacu kepada Hipparchus, mereka telah keliru menutup Lautan Hindia dengan pantai timur dan daratan selatan yang tidak diketahui, sehingga tidak dapat mengidentifikasi pantai barat Lautan Dunia. India diapit oleh Sungai Indus dan Gangga, namun dengan semenanjung yang pendek. Semenanjung Melayu dinyatakan dengan Semenanjung Emas bukan yang sebelumnya “Daratan Emas”, yang diperoleh dari pengetahuan India terhadap tambang di Sumatera (atau Kalimantan). Di luar Semenanjung Emas, Teluk Besar (Magnus Sinus) membentuk kombinasi Teluk Thailand dan Laut Tiongkok Selatan yang diapit oleh daratan yang tidak diketahui yang dikiranya sebagai penutup Samudera Hindia. Tiongkok dibagi menjadi dua wilayah – Qin (Sinae) dan Tanah Sutera (Serica) – karena diperoleh dari dua informasi Jalan Sutera yang berbeda yaitu Rute Kafilah dan Rute Maritim.

Kembali ke Daftar Isi

Definisi India

Di Eropa abad pertengahan, konsep “tiga India” telah beredar umum. India Besar adalah bagian selatan Asia Selatan, India Kecil adalah bagian utara Asia Selatan, dan India Tengah adalah wilayah sekitar Ethiopia. Istilah India Besar (Portugis: India Maior) digunakan setidaknya dari pertengahan abad ke-15. Istilah tersebut, yang tampaknya telah digunakan dengan presisi yang bervariasi, kadang-kadang berarti hanya sub-benua India; Eropa menggunakan berbagai istilah yang terkait dengan Asia Selatan untuk menunjuk semenanjung Asia Selatan, termasuk India Atas, India Besar, India Luar dan India Aquosa.

Namun, dalam beberapa pengertian pelayaran laut Eropa, India Besar (atau India Mayor) diperpanjang dari Pantai Malabar (sekarang Kerala) sampai ke India Extra Gangem (“India yang melampaui Gangga”, dan secara umum adalah Hindia atau Indies, yaitu kepulauan Asia Tenggara sekarang) dan India Kecil dari Malabar ke Sind. Selanjutnya, India kadang-kadang meliputi semua Asia Tenggara sekarang ini dan kadang-kadang hanya bagian daratan saja.

Pada geografi akhir abad ke-19, “India Besar” disebut sebagai Hindustan (Sub-benua Baratlaut) yang meliputi Punjab, Himalaya dan diperpanjang ke arah timur sampai ke Indochina (termasuk Burma), sebagian Indonesia (yaitu Kepulauan Sunda, Kalimantan dan Sulawesi) dan Filipina. Atlas Jerman kadang-kadang membedakan Vorder-Indien (Anterior India) sebagai semenanjung Asia Selatan dan Hinter-Indien sebagai Asia Tenggara.

Kembali ke Daftar Isi

Pulau Taprobana

Taprobana, dibawah nama “Daratan Antichthones” atau “Tanah-Seberang”, sudah lama dipandang sebagai dunia lain. Nama tersebut sepenuhnya tidak dikenal di Eropa sebelum Alexander Agung menyerang India pada tahun 327 SM. Para penulis yang berbicara tentang Taprobana adalah Onesicritus, Eratosthenes, Megasthenes, Hipparchus, Strabo, dan Pliny.

Ada dua periode yang berbeda dimana Taprobana disebutkan; dan periode ketiga ketika tempat itu, termasuk namanya, telah benar-benar dilupakan. Periode pertama adalah oleh penulis masa awal dan kuno dari zaman Alexander Agung sampai Kaisar Claudius. Periode ini meliputi pemberitaan oleh Onesicritus, Megasthenes dan Pliny. Mereka semua tidak menggunakan nama lain selain Taprobana. Periode kedua mencakup masa dari Ptolemy sampai dengan Cosmas Indicopleustes.

Sekitar dua puluh tahun setelah wafatnya Alexander, Megasthenes dikirim sebagai duta besar oleh Kaisar Seleucus Nicator untuk Sandracottus (Chandragupta Maurya) pada tahun 302 SM. Dari informasi yang diperoleh di istana Sandracottus, Megasthenes menjelaskan Taprobana sebagai pulau yang sangat subur terbagi oleh sebuah sungai. Bagian yang satu dipenuhi oleh binatang buas dan gajah, dan yang lainnya dihuni oleh kolonis Prachii, menghasilkan emas dan permata.

Eratosthenes juga telah memberitakan dimensi pulau ini, yaitu 7.000 stadia panjangnya dan 5.000 stadi lebarnya. Ia menyatakan juga bahwa tidak ada kota, tapi desa dengan jumlah 700. Pulau itu terletak di Laut Timur dan letaknya jauh di seberang India [Besar], sisi timur dan barat. Pulau ini dulunya dapat dilayari 20 hari dari negara Prasii, pada saat navigasinya terbatas pada kapal yang terbuat dari papirus untuk mengarungi Sungai Nil, tetapi di kemudian hari, dapat dilayari tidak lebih dari 7 hari pelayaran, mengacu pada kecepatan yang bisa dicapai dengan konstruksi kapal mereka.

Menurut Pliny, pada masa pemerintahan Claudius (41 – 54 M), seorang budak yang telah bebas, Annius Plocamus, yang bertani untuk kas pendapatan Laut Merah, saat berlayar di sekitar Arabia terbawa oleh angin kencang dari sebelah utara Carmania. Dalam 15 hari ia terdampar di Hippuri, sebuah pelabuhan di Taprobana, dimana ia dapat diterima secara manusiawi dan dengan hormat disambut oleh raja, dan memerlukan waktu enam bulan untuk mempelajari bahasa mereka. Terlebih lagi, raja tersebut sangat terkesan dengan karakter bangsa Romawi, seperti yang ditunjukkan oleh fakta bahwa dinar yang dimiliki oleh budak bebas tersebut semua bobotnya sama, meskipun gambar-gambarnya yang jelas berbeda menunjukkan bahwa telah mengalami pemerintahan beberapa kaisar. Ia tetap tinggal disana beberapa waktu lebih lama, kemudian mengajak beberapa orang untuk berkenalan dengan pemerintahnya. Ia akhirnya membawa utusan untuk dikirim ke Romawi, yang terdiri dari 4 orang dan dipimpin oleh Rachia.

Strabo mengumpulkan banyak informasi terinci dari utusan tersebut. Di Taprobana terdapat 500 kota dan desa, ada pelabuhan yang menghadap ke selatan, dan berbatasan dengan kota Palaesimundus, salah satu dari 10 kota yang paling terkenal di pulau tersebut, tempat raja tinggal, dan memiliki populasi 200.000 orang. Ada sebuah danau di pedalaman yang disebut Megisba, kelilingnya 375 mil, tempat asalnya sungai yang disebut Palaesimundus, mengalir melalui kota dengan nama yang sama, terdiri dari 3 saluran, yang tersempit 5 stadia lebarnya, yang terlebar 15; dan yang lainnya, namanya Cydara, ke utara menuju pantai India [Besar]. Ada karang, mutiara dan batu mulia; tanahnya subur; orangnya berumur panjang lebih dari seratus tahun; ada perdagangan dengan China daratan. Rajanya memakai kostum seperti Bapa Liber. Festival mereka dirayakan dengan perburuan, olahraga yang paling populer adalah berburu macan dan gajah. Tanahnya digarap dengan cermat; anggur tidak dibudidayakan disana, tapi buah-buahan lain sangat berlimpah. Mereka sangat gemar memancing, dan terutama dalam menangkap kura-kura; saking besarnya sehingga dibawah cangkangnya dapat menjadi tempat tinggal seluruh keluarga. Modus perdagangan dan barter antara penduduk sendiri adalah aneh, yang dilakukan pada malam hari. Negara dan orang-orangnya adalah maritim dan sangat komersial. Utusan tersebut membuat suatu pernyataan bahwa negaranya mengalami dua musim panas dan dua musim dingin, yang jelas menunjukkan bahwa negara tersebut mengangkangi kedua sisi khatulistiwa.

Penduduk, yang hidup seratus tahun, menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam berburu harimau dan gajah, dan memancing, terutama menangkap kura-kura, yang cangkangnya begitu besar digunakan sebagai tempat tinggal mereka. Para utusan membuat pernyataan yang mengejutkan bahwa mereka dapat melihat bintang-bintang utara, dan matahari terbit di sebelah kiri dan tenggelam di sebelah kanan. Titik terdekat dari pantai India [Besar] adalah sebuah semenanjung yang dikenal sebagai Coliacum, berjarak pelayaran 4 hari, dan di tengah-tengah antara mereka terdapat “Pulau Matahari”; lautnya berwarna kehijauan, memiliki banyak pohon (karang) yang tumbuh di dasarnya, dimana kemudi kapal dapat tersangkut apabila mengenainya ketika berlayar di atasnya.

Laut yang terletak diantara pulau dan daratan banyak yang dangkal, tidak lebih dari 6 langkah dalamnya; tetapi pada tempat tertentu kedalamannya luar biasa sehingga tidak ada angkur yang dapat mencapai dasarnya. Dengan alasan tersebut, kapal-kapalnya dibuat dengan haluan pada kedua ujungnya; sehingga tidak akan kandas saat melalui saluran ini, yang sangat sempit. Tonase kapal ini adalah 3.000 amphorae. Dalam melintasi laut mereka, orang-orang dari Taprobana tidak mengamati bintang-bintang, dan memang mereka tidak melihat bintang Beruang Besar; tapi mereka membawa burung ke laut, yang mereka biarkan terbang dari waktu ke waktu, dan mengikutinya saja karena mereka akan menuju ke daratan. Mereka hanya menggunakan waktu 4 bulan dalam setahun untuk kegiatan pelayaran, dan sangat berhati-hati serta tidak percaya diri di laut selama 100 hari ke depan setelah matahari musim panas berbalik, yaitu saat laut itu berada pada waktu tengah musim dingin.

Ptolemy, mengenai Taprobana, menyatakan bahwa namanya telah diubah menjadi Salike. Sementara Pliny memberikan beberapa nama-nama tempat di Taprobana, sedangkan Ptolemy, sebaliknya, memberikan informasi yang jauh lebih banyak perihal pulau tersebut, yang mengejutkan karena saking banyaknya, tidak hanya daftar nama-nama pantai dan pelabuhan yang lengkap, tetapi termasuk nama-nama tanjung, sungai dan kota-kota pelabuhan, juga nama-nama banyak kota dan suku-suku di pedalaman.

Taprobana

Gambar 17.  Taprobana oleh Ptolemy yang diterbitkan dalam Cosmographia Claudii Ptolomaei Alexandrini, 1535

Periplus Maris Erythraei (atau “Pelayaran Sekitar Laut Merah”), karya anonim pada sekitar pertengahan abad pertama Masehi ditulis oleh seorang pedagang Mesir yang berbicara bahasa Yunani, menunjukkan bahwa menuju kearah timur, membentang di laut yang menghadap ke barat adalah pulau Palaesimundu, yang dulu disebut orang dengan Taprobana. Bagian utaranya memerlukan perjalanan satu hari, bagian selatannya secara bertahap cenderung kearah barat, dan hampir menyentuh muara Azania. Pulau ini menghasilkan mutiara, batu transparan, kain kasa dan cangkang kura-kura.

Cosmas Indicopleustes (“Cosmas Pelayar India”), yang menulis The Christian Topografipada awal abad ke-6, beberapa kali menekankan untuk mengesankan pembacanya bahwa pulau yang disebut Serendib oleh India adalah yang sebelumnya disebut Taprobana oleh Yunani. Pada masa Cosmas nama Taprobana telah menghilang.

Kembali ke Daftar Isi

Hipotesis Kalimantan untuk Taprobana

Dari SM sampai Abad Pertengahan diikuti dengan Dunia Baru, berbagai peta dunia telah diciptakan dan dapat diamati, yang menunjukkan perkembangan pengetahuan Barat tentang seluruh bumi, dari yang sederhana sampai yang hampir mutakhir. Perkembangan ini didorong oleh kebutuhan untuk peta yang lebih akurat tentang rute perdagangan menuju dunia di timur, yang dikenal sebagai Jalan Sutera, yaitu dari Laut Mediterania, diikuti oleh Laut Merah, Laut Erythraean, Samudera Hindia , dan berakhir di Tiongkok. Pada awal abad, hanya itulah rute perdagangan yang paling banyak dikenal, sementara di luar daerah-daerah tersebut hanya sedikit informasi yang diperoleh dari pelaut yang telah mengunjunginya. Pulau Kalimantan adalah diluar rute tersebut sehingga lokasi itu tidak dikenal, atau mungkin sengaja disimpan secara rahasia karena pulau ini memiliki sumber daya yang menguntungkan dengan kualitas unggul yang sangat memikat untuk komoditas perdagangan. Hal ini menjadi subyek penulis untuk berhipotesis bahwa Taprobana adalah sebenarnya Kalimantan.

Kembali ke Daftar Isi

Perkembangan Peta Dunia

Pulau Taprobana ditampilkan pada peta-peta Dicaearchus (300 SM), Eratothenes (220 SM), Strabo (18 M), Pomponius Mela (43 M), Ptolemy (150 M), Al-Idrisi (1154 M), Martellus (1490 M) , Cantino (1502 M), Caverio (1505 M), Waldseemüller (1507 M), Lorenz Fries/Peter Alpian (1520 M) dan Ptolemy teredit oleh Lorenz Fries (1522 M), sedangkan peta Abad Pertengahan oleh Abraham Ortelius (1570 M) dan setelahnya sudah tidak menampilkan.

Peta-peta yang dibuat sebelum Ptolemy adalah tanpa pengetahuan geografi dan kartografi yang lebih maju, sehingga informasi yang disajikan pada peta agak jarang, bersifat umum dan tidak akurat. Fitur-fitur geografi digambarkan dari apa yang mereka lihat, dengar atau berdasarkan informasi dari wisatawan dan penjelajah. Dimulai oleh Dicaearchus pada abad ke-3 atau ke-4 SM, Taprobana telah ditampilkan pada peta dunia, berdasarkan apa yang mereka dengar, lihat atau informasi dari penjelajah lain, di Samudera Hindia tanpa mengetahui posisi yang tepat, di selatan, barat atau jauh ke barat dari semenanjung India.

Peta Ptolemy menampilkan seluruh dunia dari Fortunatae Insulae kearah timur sampai ke Tiongkok, membentang sekitar 180 derajat bujur dan 80 derajat lintang. Didalam bukunya,Geographia, terdapat daftar nama-nama kurang lebih 8.000 tempat beserta perkiraan garis lintang dan bujurnya. Sebagian besar tempat-tempat tersebut ditentukan berdasarkan peta kuno (Strabo, Eratosthenes, Herodotus, Hesiod dan Hecataeus), dengan perkiraan jarak dan arah yang diperoleh dari penjelajah lain dan pemetaan yang lebih akurat oleh Philo dan Josephus 100 tahun sebelumnya, kecuali beberapa yang dibuat melalui pengamatan langsung. Ptolemy sangat menyadari bahwa ia hanya mengetahui seperempat bagian dunia dan tidak bisa berbuat lebih banyak karena data yang tersedia adalah kualitasnya sangat buruk terutama yang diluar Kekaisaran Romawi. Hal ini menyebabkan peta dan data yang disusun oleh Ptolemy adalah tidak akurat di banyak tempat. Jika kita melihat peta dunianya dan membandingkannya dengan peta modern, kita dapat dengan jelas melihat penyimpangan yang luar biasa, sebagian besar pada bagian Asia. Kesalahannya dalam memperkirakan ukuran Bumi juga memberikan kontribusi lain dalam hal ketidakakuratan tersebut.

Ptolemy juga menyediakan 26 peta wilayah dan 67 peta daerah yang lebih kecil. Peta-peta tersebut sebagian besar berada di dan sekitar Kekaisaran Romawi, dan hanya sedikit yang berada di India Besar dan Tiongkok, diantaranya adalah Taprobana. Peta wilayah dan daerah yang lebih kecil tersebut memiliki akurasi yang lebih baik, apakah diperoleh dari pengamatan atau data dari wisatawan atau penjelajah lain. Meletakkan peta wilayah dan daerah tersebut pada peta dunia yang sama sekali tidak akurat yang berasal dari peta kuno menimbulkan kebingungan untuk mencari posisi tepatnya. Diduga, ia meletakkan Taprobana berdasarkan peta yang lebih tua apakah dari Eratothenes atau Strabo, yang sebenarnya tidak ada pulau di posisi tersebut, atau ia sengaja meletakkannya di tempat yang salah atau mengaburkan lokasinya sehingga tidak semua orang bisa sampai di sana. Namun, sejauh ini, peta tersebut dapat digunakan dengan baik pada masa Renaisans sampai 13 abad kemudian Christopher Columbus salah memperkirakan jarak ke Tiongkok dan India.

Dengan jatuhnya Konstantinopel ke Turki Ottoman pada tahun 1453, jalur darat ke Asia menjadi jauh lebih sulit dan berbahaya. Hal ini mengakibatkan kurangnya informasi di daerah yang meliputi Samudera Hindia, sampai penjelajah Portugis merintis jalan menuju ke Asia dengan berlayar mengitari Afrika dan dengan penaklukan Kesultanan Malaka pada tahun 1511. Dengan demikian, porsi Asia pada peta dunia setelah Ptolemy masih terus mengandalkan informasi yang diperoleh dari Geographia, dan menggabungkan pengetahuan yang diperoleh dari penjelajah Arab dan sumber yang tidak diketahui, seperti yang ditunjukkan pada peta Al-Idrisi, Martellus, Cantino, Caverio, Waldseemüller, Fries dan Alpian. Al-Idrisi memasukkan pengetahuan tentang Afrika, Samudera Hindia dan Timur Jauh yang dikumpulkan oleh pedagang dan penjelajah Arab. Peta Martellus menunjukkan pengaruh kuat Ptolemy tetapi Afrika telah dimasukkan. Peta Cantino menggambarkan pantai Brasil dan pantai Afrika sisi-sisi Atlantik dan Samudra India dengan akurasi yang luar biasa dan detail. Peta Caverio menunjukkan pantai timur Amerika Utara dengan rincian yang mengejutkan dimana sumbernya masih misteri. Peta Waldseemüller adalah rangkaian baru edisi Ptolemy Geographia dengan mengintegrasikan informasi geografis baru yang diperoleh dari pelayaran sebelumnya. Peta Fries dan Alpian adalah kerja-ulang peta Waldseemüller tersebut. Sebagian besar peta ini meletakkan Taprobana kurang lebih pada posisi yang sama seperti pada peta Ptolemy, kecuali peta Cantino dan Caverio yang menggambarkannya sebagai Sumatera.

Dengan mengamati dan membandingkan peta Ptolemy dan Martellus, kita dapat dengan jelas melihat bahwa ada kebingungan dalam memetakan Semenanjung India. Ptolemy menggambarkan dua wilayah utama, India Intra Gangem di sebelah barat dimana semenanjungnya tidak menjorok (dimana terdapat Laricae Ariasa dan Lymirca), dan India Extra Gangem di sebelah timur dimana semenanjungnya sangat menjorok (dimana terdapat Aurrea Chersonenus). Ia memetakan Indus dan Gangga masing-masing di bagian barat dan timur India Intra Gangem, dan Sinus Magnus di sebelah timur India Extra Gangem. Martellus menambahkan semenanjung lain di sebelah timurnya (dimana terdapat Catigara) berdasarkan data Ptolemy, sedangkan daerah lain masih menyerupai Ptolemy. Semenanjung ini seharusnya adalah Semenanjung Malaka sehingga Semenanjung India harusnya India Extra Gangem-nya Ptolemy. Peta-peta sesudahnya yang dibuat oleh Cantino, Caverio, Waldseemüller, Fries dan Alpian telah mengkonfirmasi hal ini.

Clarified Ptolemy’s map

Gambar 18.  Peta Ptolemy yang diperjelas

Clarified Martellus’ map

Gambar 19.  Peta Martellus yang diperjelas

Pada peta-peta Cantino dan Caverio terdapat dua buah pulau yang masing-masing menggambarkan Ceylam (Sri Lanka) dan Taprobana (Sumatera). Pada peta-peta Waldseemüller, Fries dan Alpian terdapat Seyla atau Seylam (Sri Lanka) dan Iava Minor (Sumatera) bersama dengan Taprobana tapi jauh lebih ke barat. Hal ini menjadi indikasi bahwa Taprobrana bukanlah Sri Lanka atau Sumatera, dan diduga bahwa pulau ini sengaja diletakkan di tempat yang salah atau dikaburkan lokasinya untuk merahasiakannya. Diperkirakan para pelaut mencoba untuk menuju pulau Taprobana menggunakan petanya Ptolemy namun tidak bisa menemukannya di lokasi tersebut tetapi kemudian berlayar lebih jauh dan akhirnya menemukan Sumatera yang dianggapnya Taprobana.

Peta Abraham Ortelius adalah atlas modern pertama yang mencakup hampir semua pulau-pulau besar dan tempat-tempat utama di India Besar. Selain menampilkan Zeilan (Sri Lanka) dan Sumatera, Taprobana menghilang dan Burneo (Kalimantan) serta pulau-pulau lain di Nusantara ditambahkan. Dengan demikian, hal itu menunjukkan pengetahuan kartografer yang sangat meningkat pada waktu itu.

Kembali ke Daftar Isi

Kondisi Geografi Taprobana

Eratosthenes menyebutkan bahwa Taprobana terletak di Laut Timur, jauh di seberang India Besar. Ia memberikan rincian dimensi pulau, yaitu 7.000 stadia (≈ 1.300 km) panjangnya, dan 5.000 stadia (≈ 925 km) lebarnya. Apabila kita mengukur Pulau Kalimantan, kita dapat menemukan bahwa dimensi ini sangat akurat. Utusan yang dikirim ke Roma, seperti yang ditulis oleh Pliny dan Strabo, membuat satu pernyataan bahwa daerahnya mengalami dua musim panas dan dua musim dingin, yang jelas menunjukkan bahwa daerahnya mengangkangi kedua sisi khatulistiwa. Hal ini menjadi bukti bahwa Eratosthenes, Pliny dan Strabo adalah benar bahwa mereka merujuk Kalimantan sebagai Taprobana.

Pliny dan Strabo menyatakan bahwa titik terdekat dari pantai India Besar adalah sebuah semenanjung yang dikenal dengan Coliacum, berlayar selama 4 hari, dan di tengah-tengahnya terdapat “Pulau Matahari”. Lautnya berwarna kehijauan, terdapat banyak karang di dasarnya, yang kemudi kapal-kapal dapat tersangkut apabila mengenainya ketika berlayar di atasnya. Semenanjung Coliacum yang dimaksud kemungkinan adalah Semenanjung Malaka, mereka memberi nama ini mengacu dari nama Kelantan atau yang lebih tua Kalantan yang terletak di pantai timur semenanjung itu. Kelantan memiliki sejarah paling awal berupa jejak pemukiman manusia yang kurun waktunya kembali ke zaman prasejarah, dan menjadi pusat perdagangan yang utama pada akhir abad ke-15.

Antara Kalimantan dan Semenanjung Malaka terdapat Selat Karimata, airnya dangkal dan berupa daratan pada Zaman Es. Hampir seratus pulau dan terumbu karang terdapat di selat ini – secara administratif berada dibawah Provinsi Kepulauan Riau dan Bangka-Belitung, Indonesia – dengan pulau-pulau utamanya adalah Natuna, Anambas, Bintan, Lingga, Bangka dan Belitung. Masyarakat di pulau-pulau ini terkenal dengan kepercayaan pemuja matahari. Laut dangkal dan karang yang terdapat di dasarnya menyebabkan warnanya kehijauan.

Ada beberapa pulau di sekitar Pulau Kalimantan. Mereka terdapat di Laut Jawa dan Selat Karimata, yang memiliki kedalaman yang dangkal sekitar 20 sampai 50 meter saja, berupa campuran pulau nyata dan terumbu karang. Antara pulau-pulau atau terumbu karang, kedalamannya bahkan lebih dangkal sehingga kapal harus berhati-hati dan siap dengan kondisi tersebut. Hal ini juga mengkonfirmasi pernyataan Pliny dan Strabo.

Sundaland - Taprobana

Gambar 20.  Pulau Kalimantan dan sekitarnya

Orang-orang Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan sebagian besar adalah pemburu dan petani. Pemimpin mereka memakai pakaian dan aksesoris seperti Bapa Liber, seperti apa yang Pliny dan Strabo katakan. Mereka juga memiliki tradisi tato yang paling kuno. Hewannya berlimpah dan tanahnya subur. Pulau ini juga kaya mineral logam seperti emas, perak dan tembaga, serta segala macam batu mulia. Tiram penghasil mutiara dibudidayakan di laut-laut sekitar pulau, sekarang menjadi 40% pemasuk mutiara dunia.

Gajah, macan dan kura-kura adalah dulunya berlimpah di pulau tersebut seperti yang digambarkan dalam tradisi, bahasa dan legenda suku Dayak tentang bagaimana mereka menyadari habitat dan kebiasaan hewan-hewan ini, tetapi karena tradisi mereka dalam berburu binatang, populasinya saat ini menyusut atau punah. Indonesia adalah tempatnya Stegodon kuno, suatu binatang seperti gajah dengan ukuran yang besar. Analisis DNA menunjukkan bahwa gajah Asia adalah asli Kalimantan (Fernando et al, 2003). Gajah kerdil Kalimantan (Elephas maximus borneensis) yang sekarang terancam punah adalah yang tersisa di Kalimantan saat ini, spesies yang sama di Jawa sudah punah sekitar 200 tahun yang lalu. Kalimantan, serta Sumatera, adalah habitatnya kura-kura raksasa (Orlitia borneensis) dan macan tutul (Neofelis nebulosa). Fakta-fakta ini mengkonfirmasi pernyataan Pliny, Strabo dan Ptolemy.

Dalam kehidupan sehari-hari, burung enggang (Rhinoplax vigil) dipuja oleh masyarakat Dayak di Kalimantan, sebagai pelajaran bagi masyarakat agar dapat belajar dari perilaku spesies ini. Terdapat banyak nama yang berbeda untuk menyebut burung ini, masyarakat Dayak memiliki banyak mitos dan legenda bahwa burung enggang adalah utusan para dewa dengan tugas menyampaikan pesan suci. Dalam keyakinan mereka, burung-burung tersebut memberikan contoh kehidupan dalam hal kesetiaan pasangan suami-istri dan tanggungjawabnya dalam keluarga. Masyarakat Dayak mengajarkan anak-anak mereka untuk tidak menyakiti atau membunuh burung suci tersebut. Perbuatan tersebut dianggap tabu. Pliny dan Strabo mengatakan bahwa dalam hal melaut, masyarakat Taprobana tidak mengamati bintang, tetapi mereka membawa burung ke laut, yang dibiarkan terbang dari waktu ke waktu, dan tinggal mengikutinya saja karena pasti kembali ke daratan asalnya. Burung-burung ini rupanya adalah burung enggang yang dipuja oleh masyarakat Dayak.

Pliny dan Strabo menyatakan bahwa pulau tersebut memiliki pelabuhan di pantai selatan, berbatasan dengan kota Palaesimundus. Ada sebuah danau besar bernama Megisba dimana Sungai Palaesimundus berasal terdiri dari 3 saluran masing-masing memiliki lebar antara 5 dan 15 stadia (sekitar 925 dan 2.775 meter), dan Sungai Cydara berada di sebelah utara danau. Ketiga sungai tersebut diperkirakan adalah Sungai Barito, Kapuas-Murung dan Kahayan. Sungai Barito lebarnya hampir 3 kilometer, Sungai Kapuas-Murung lebarnya sekitar 1 kilometer dan Sungai Kahayan lebarnya sekitar 1,5 kilometer pada bagian-bagian didekat laut, sesuai dengan yang disebutkan oleh Pliny dan Strabo. Sebuah danau besar mungkin saja dapat terbentuk pada daerah dataran karena terjadinya banjir besar dari pegunungan dengan kecepatan aliran yang lebih tinggi yang dapat mengikis bagian atas dataran, tetapi bagian bawah adalah datar dan rata sehingga kecepatannya jauh berkurang dan bahan yang terkikis mengendap di tempat tersebut membentuk tanggul dan danau. Sebuah danau dangkal pada daratan yang datar dapat lenyap hanya dalam beberapa ratus tahun. Kondisi wilayah yang ada sekarang adalah rawa-rawa yang luas.

Menurut peta kuno, terdapat kota Tanjungpura yang terletak di pantai selatan Kalimantan merupakan kota terkemuka. Beberapa naskah kuno menyebutkan juga nama ini. Arti harfiahnya adalah “kota (pura) pohon tanjung”. Pohon tanjung (Mimusops elengi) adalah pohon berukuran sedang yang ditemukan di hutan tropis di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Australia bagian utara. Nama Sansekertanya adalah “Bakula” sehingga sebuah naskah kuno dari Kerajaan Singasari di Jawa mengacu kota tersebut sebagai Bakulapura. “Tanjung” juga bisa berarti daratan yang menjorok ke laut seperti yang digunakan pada beberapa nama tempat, tetapi bukan halnya untuk kasus ini.

Dalam catatan sejarah, terdapat sebuah komunitas di dekat kota Tanjung sekarang yang bernama Tanjungpuri. Salah satu peninggalannya adalah Candi Agung yang terletak di Desa Sungaimalang, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan. Uji karbon terhadap salah satu artefak menunjukkan usia sekitar 200 SM. Tanjungpuri mungkin adalah awal mula Tanjungpura. Pelabuhan Hippuri yang disebutkan oleh Pliny kemungkinan adalah Tanjungpuri.

Pada awalnya, penduduk asli Kalimantan tidak menerapkan sistem kerajaan. Kehidupan sosial mereka didasarkan pada adat istiadat dan kepercayaan yang dikembangkan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Komunitas ini pada mulanya dibentuk dari sejumlah kecil orang dan jumlah lahan yang diperlukan untuk hidup dan bertani. Dalam perjalanan waktu, mereka berkembang menjadi komunitas yang lebih besar yang membuat adat istiadat mereka lebih kompleks, dan membutuhkan lebih banyak lahan juga. Membuka lahan baru akan menciptakan sebuah komunitas baru sehingga dari waktu ke waktu beberapa komunitas telah terbentuk tetapi mengikuti kebiasaan yang sama dan menghuni daerah yang sama. Mereka menyebut seluruh masyarakat yang memiliki kebiasaan sosial budaya yang sama dan menghuni suatu wilayah sebagai “banua”, yang berarti “dunia”, mirip dengan “mundus” dalam bahasa Latin. Masyarakat di Kalimantan masih dengan kuat menganut konsep “banua” tersebut hingga saat ini.

Pemimpin sosial mereka disebut “raja” atau “rajah”. Nama pemimpin utusan ke Romawi seperti yang dinyatakan oleh Pliny adalah Rachia, mungkin ini adalah seorang “rajah”. James Brooke juga diangkat sebagai “rajah”, yang berkuasa di seluruh wilayah barat Sarawak pada abad ke-19.

Kerajaan diperkenalkan kedalam adat mereka oleh imigran Melayu dari Sumatera sekitar abad ke-4 atau ke-5. Tanjungpura adalah mungkin sebuah “banua” di abad-abad awal dan SM, sehingga nama panjangnya menjadi “Banua Tanjungpura”. Beberapa peta kuno menyebutkannya sebagai “Taiopuro”, yang kemungkinan oleh orang Eropa kemudian disebut dengan nama panjang “Taiopuro Banua”. Untuk menjadikan empat konsonan dalam sebuah nama, kemudian disingkat menjadi “Taprobana” yang juga menjadi nama untuk seluruh pulau, artinya sama dengan “Banua Tanjungpura”.

Tentang nama “Salike” yang diberikan oleh Ptolemy, ada sebuah kata Austronesia “salaka” yang berarti “logam berwarna putih”. Logam ini mungkin adalah campuran emas dan perak, atau “elektrum” dalam bahasa Yunani. Logam ini dapat ditemukan secara alami di wilayah Kalimantan bagian selatan sebagai produk sampingan pertambangan emas. Kata ini sekarang digunakan untuk nama sebuah tanjung, yaitu Tanjung Salaka, yang terletak di pantai selatan Kalimantan yang lokasinya hampir di sekitar lokasi Tanjungpura pada peta kuno.

Budak bebas Annius Plocamus kemungkinan terdampar di sekitar Banjarmasin sekarang, sesuai dengan yang ia sebutkan yaitu di pantai selatan Taprobana. Disebutkan juga bahwa wilayahnya dibagi menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh sebuah sungai. Bagian yang satu dipenuhi oleh binatang buas dan gajah, dan yang lainnya dihuni oleh kolonis Prachii, menghasilkan emas dan permata. Sungai tersebut adalah kemungkinan Sungai Barito yang sekarang dan kolonis Prachii adalah suku Banjar yang memang bersifat kolonis di beberapa pulau di Indonesia. Pada peta-peta kuno, suku Banjar disebutkan sebagai Paco, Bancy, Biajo, Bander dan Banjar, dan oleh Ptolemy sebagai Bacchi. Banjarmasin oleh Odoric dari Pordenone (seorang misionaris Fransiskan Italia) disebutkan sebagai Thalamasyn. Banjarmasin oleh lidah Romawi berubah menjadi Palaesimundus.

Alexander Agung dan Kekaisaran Romawi mungkin sengaja menyimpan nama sebenarnya secara rahasia dan dikaburkan dengan nama lain karena pulau ini memiliki sumberdaya yang menguntungkan dengan kualitas unggul yang sangat memikat untuk komoditas perdagangan.

Selain beberapa nama klasik lain, Kalimantan pernah disebut denga nama Nusakencana, secara harfiah berarti “pulau emas”, sebagaimana dinyatakan dalam Ramalan Jayabaya dari Kerajaan Kadiri di Jawa pada abad ke-12. Prasasti Muarakaman ditemukan di daerah hulu Sungai Mahakam di Kalimantan timur tertanggal abad ke-4 juga membuktikan bahwa raja Mulawarman mengadakan amalan banyak emas. Kata “nusakencana” adalah bahasa Austronesia; terjemahannya dalam bahasa Sansekerta adalah “suwarnadwipa”. Suwarnadwipa secara luas dikenal sebagai pulau Sumatera oleh sejarawan tetapi tidak ada prasasti yang secara jelas merujuknya sebagai nama pulau Sumatera, sehingga alternatif lain dari Suwarnadwipa adalah Kalimantan karena pulau ini lebih berlimpah dengan emas daripada Sumatera. Selain itu, Cosmas Indico-pleustes menyebutkan bahwa “Serendip”, lidah Eropa untuk “Suwarnadwipa”, adalah pulau Taprobana.

Kembali ke Daftar Isi

Peta-peta Kuno Kalimantan

Peta-peta di bawah ini menunjukkan perkembangan peta Kalimantan dari abad ke-16 sampai ke-19, dimulai dari peta Abraham Ortelius, yang merupakan atlas modern pertama. Peta Taprobana oleh Ptolemy juga disertakan. Kita bisa melihat dari peta ini bahwa pulau Kalimantan memperoleh bentuk nyata diatas peta baru pada pertengahan abad ke-19.

Para Kartografer peta-peta tersebut semestinya tahu bahwa Kalimantan sebenarnya adalah Taprobana, terlihat pada sangat banyaknya kesamaan nama geographis, tata letak, lokasi, fitur dan deskripsi pulau dan sekitarnya, antara peta Ptolemeus dan peta-peta mereka.

150 Ptolemy

Gambar 21. Ptolemy, Taprobana, 150 M

1570 Abraham Ortelius

Gambar 22. Abraham Ortelius, 1570 M

1572 Abraham Ortelius

Gambar 23. Abraham Ortelius, 1572 M

1594 Petrus Plancius

Gambar 24. Petrus Plancius, 1594 M

1598 Petrus Plancius

Gambar 25. Petrus Plancius, 1598 M

1606 Hondius Jodocus

Gambar 26. Hondius Jodocus, 1606 M

1616 Petrus Bertius

Gambar 27. Petrus Bertius, 1616 M

1619 Gerard Mercator

Gambar 28. Gerard Mercator, 1619 M

1627 Bertius

Gambar 29. Bertius, 1627 M

1630 Ioão Teixeira

Gambar 30. Ioão Teixeira, 1630 M

1632 Johannes Cloppenburgh

Gambar 31. Johannes Cloppenburgh, 1632 M

1638 Joan Janssonius

Gambar 32. Joan Janssonius, 1638 M

1650 Willem Blaeu

Gambar 33. Willem Blaeu, 1650 M

1662 Frederik de Wit

Gambar 34. Frederik de Wit, 1662 M

1680 Pierre Duval

Gambar 35. Pierre Duval, 1680 M

1683 Alain Manesson Mallet

Gambar 36. Alain Manesson Mallet, 1683 M

1687 Giovanni Giacomo De Rossi

Gambar 37. Giovanni Giacomo De Rossi, 1687 M

1688 Robert Morden

Gambar 38. Robert Morden, 1688 M

1689 Vincenzo Maria Coronelli

Gambar 39. Vincenzo Maria Coronelli, 1689 M

1701 Bowrey

Gambar 40. Bowrey, 1701 M

1706 Pieter Vander

Gambar 41. Pieter Vander, 1706 M

1710 Ioachim Ottens

Gambar 42. Ioachim Ottens, 1710 M

1721 John Senex

Gambar 43. John Senex, 1721 M

1721 Nicholas de Fer and J Robbe

Gambar 44. Nicholas de Fer dan J Robbe, 1721 M

1723 Chevigny

Gambar 45. Chevigny, 1723 M

1725 Pierre Vander

Gambar 46. Pierre Vander, 1725 M

1726 Herman Moll

Gambar 47. Herman Moll, 1726 M

1730 Christoph Homanno

Gambar 48. Christoph Homanno, 1730 M

1740 Isaac Tirion

Gambar 49. Isaac Tirion, 1740 M

1747 Nicolaus Bellin

Gambar 50. Nicolaus Bellin, 1747 M

1762 Robert de Vaugondy

Gambar 51. Robert de Vaugondy, 1762 M

1766 Thomas Salmon

Gambar 52. Thomas Salmon, 1766 M

1770 M Bonne

Gambar 53. M Bonne, 1770 M

1771 M Bonne

Gambar 54. M Bonne, 1771 M

1776 Antonio Zatta

Gambar 55. Antonio Zatta, 1776 M

1778 Thomas Jefferys

Gambar 56. Thomas Jefferys, 1778 M

1780 M Bonne

Gambar 57. M Bonne, 1780 M

1799 Clement Cruttwell

Gambar 58. Clement Cruttwell, 1799 M

1801 John Cary

Gambar 59. John Cary, 1801 M

1810 Ambrosse Tardieu

Gambar 60. Ambrosse Tardieu, 1810 M

1818 Pinkerton

Gambar 61. Pinkerton, 1818 M

1835 David H Burr

Gambar 62. David H Burr, 1835 M

1851 Tallis

Gambar 63. Tallis, 1851 M

1855 Joseph Hutchins Colton

Gambar 64. Joseph Hutchins Colton, 1855 M

1893 JH de Bussy

Gambar 65. JH de Bussy, 1893 M

1895 Richard Andree

Gambar 66. Richard Andree, 1895 M

Kembali ke Daftar Isi

Identifikasi Nama-nama Geografi

Penulis mengidentifikasi nama-nama dan lokasi-lokasi geografis seperti yang disebutkan oleh Ptolemy dengan cara mengkorelasikan antara yang ada dalam peta kuno dengan nama-nama sekarangnya. Kompas belum ditemukan pada masa Ptolemy sehingga petanya memiliki kualitas yang sangat rendah dalam hal skala, orientasi dan lokasi geografis. Berikut adalah nama-nama yang teridentifikasi. Kita bisa melihat bahwa banyak nama-nama serta lokasi-lokasi tersebut sangat mirip dengan yang disebutkan oleh Ptolemy. Hal ini menunjukkan begitu banyaknya bukti bahwa Taprobana adalah sebenarnya Kalimantan.

• Ceteum, promontorium → (Cotan, Catalan, Satalang, Salaton, Salatan) → Tanjung Selatan

Tanjung Selatan adalah sebuah semenanjung yang signifikan terletak di bagian tenggara Kalimantan.

• Nanigiri, wilayah → (Nagara, Nagarra) → Negara

Negara adalah nama tempat yang dikenal dan sering disebutkan pada peta kuno, sekarang sebuah desa dan nama sungai di Provinsi Kalimantan Selatan.

• Baracus, fluvius → Barito River

Beberapa peta menyebutkan Sungai Barito sebagai Sungai Banjar, Sungai Banjarmasin atau salah tempat sebagai Sungai Sukadana.

• Bacchi, civitas → (Paco, Bancy, Biajo, Bander, Banjar) → Banjar

Banjar adalah kelompok etnis di Kalimantan selatan yang mendirikan kerajaan Banjarmasin dari tahun 1520 sampai 1860. Banjarmasin kini menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Beberapa peta kuno menyebutkan Banjarmasin sebagai Bandarmassin, Bendermassin, Bendermaβin, Bandermachri, Bendarmafsin, Bindermasin, Baniarmafseen, Brandermassin, Banjarmassen, Banjar Massin atau Banjarmaffen.

Orang Banjar adalah kolonis; beberapa dari mereka telah melakukan perjalanan ke banyak tempat di Nusantara dan mendirikan kantong-kantong pemukiman. Megasthenes menjelaskan bahwa Taprobana dihuni oleh kolonis Prachii, kemungkinan adalah Orang Banjar.

• Corcobara, tempat → (Tamiampura, Taiampura, Taiapura, Taiaopura, Taiaopuro, Tanjapura) → Tanjungpura

Tanjungpura adalah nama sebuah kerajaan kuno. Berdasarkan peta-peta tua, lokasinya tidak statis tetapi umunya di selatan dan barat daya pantai Kalimantan.

• Orneon, extrema → (Simanauw) → Sebangau

“Orneo”, “ornis” dan “ornêon” dalam bahasa Latin berarti “burung”, “unggas” atau “bangau”. Sebangau sekarang menjadi nama sungai dan teluk di pantai selatan Kalimantan.

• Azanus, fluvius → Kayan, Kahayan River

Ada beberapa sungai dengan nama Kayan (atau Kahayan), di Kalimantan Barat, selatan dan timur. Kayan juga merupakan nama beberapa suku Dayak. Sungai Azanus mungkin adalah Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah.

Periplus Maris Erythraei menunjukkan bahwa bagian selatan pulau perlahan-lahan menyerong ke arah barat, dan hampir menyentuh tepi Azania (atau Azanus).

• Louis, extrema → (Lao, Lave, Laue, Lava, Laua, Lawa) → Lawi, Lawai

Lawi atau Lawai adalah sebuah kota kuno di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Nama ini sering disebutkan pada peta kuno tetapi lokasi tepatnya masih diperdebatkan. Tomé Pires, seorang penjelajah Portugis, menggambarkannya sebagai daerah yang kaya berlian, jarak perjalanannya empat hari dari Tanjompure (Tanjungpura). Lawi juga merupakan nama sebuah sungai, anak sungai Sungai Kayan. Lawi kadang-kadang dikaitkan dengan Melawi, sebuah kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat.

• Nubartha, civitas → (Sambuer, Sambaur, Sambor, Sobar, Sambar, Sambahar, Sambbae, Samban) → Tanjung Sambar

Tanjung Sambar adalah sebuah semenanjung di Taman Nasional Muara Kandawangan.

• Malea, mons → (Melahoei, Melawai) → Melawi

Melawi adalah nama sebuah kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, juga nama sungai, terletak dan memiliki hulu di pegunangan Schwaner-Muller, memiliki puncak-puncak tertinggi di Kalimantan.

• Priapides, portus → (Tamaratas, Tamaratos, Tamarates, Tameorato, Iamanatos, Hormata, Carimata, Matan, Ketapan) → Karimata, Ketapang

Tamaratos dan Hormata sering disebutkan dalam peta kuno, ini mungkin yang sekarang kota Ketapang. Karimata sekarang adalah nama sebuah pulau di lepas pantai Ketapang dan selat yang memisahkan Kalimantan dan Sumatera. Ketapang adalah kota tertua di Kalimantan Barat.

• Sindocanda, civitas; Sandocand?, wilayah → (Succadano, Succaduno, Succudana, Succadana, Socadana, Sucadana) → Sukadana

Sukadana sering disebutkan dalam peta kuno, adalah sebuah kerajaan kuno dengan produknya berlian dan besi. Sukadana kini adalah ibukota Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat.

• Poduce, tempat → (Landa, Salimbau) → Sekadau

Landa sering disebutkan dalam peta kuno, ini mungkin Sekadau yang terletak di tepi Sungai Kapuas. Sekadau kini adalah sebuah nama kabupaten dan juga ibukotanya, di Provinsi Kalimantan Barat.

• Soana, fluvius; Soani, wilayah → (Sonee, Senar, Soné, Sone, Sona, Soengi) → [Sungai] Sambas

Nama-nama diatas ditemukan pada peta abad ke-18 dan ke-19 menunjukkan tiga sungai (atau tempat) di sekitar Sungai Sambas Besar, secara harfiah berarti “sungai”. Nama ini ditulis sebagai Sone Sambas, Sone Luban dan Sone Napor, mungkin adalah sungai-sungai Sambas Kecil, Teberau dan Subah yang saling berdekatan. Sambas adalah sebuah kerajaan dari sebelum abad ke-14 sampai 1950 M, sekarang ibukota Kabupaten Sambas di Provinsi Kalimantan Barat.

• Anarif-mundi, promontorium → (Sisar, Soric, Siric) → Tanjung Sirik

Tanjung Sirik adalah sebuah semenanjung yang terletak di Bahagian Sarikei, Sarawak

• Anurogrammum, tempat, Anurogrammi, wilayah → masyarakat Dayak

Anurogrammum adalah mirip dengan Anurognathus, sebuah genus pterosaurus kecil. Orang-orang Dayak asli adalah pemuja burung enggang, memiliki banyak mitos dan legenda dimana burung enggang adalah utusan para dewa dengan tugas menyampaikan pesan suci.Anurogrammum diduga berarti “pemuja burung enggang”, yaitu Orang Dayak.

• Iogana, civitas → (Malano, Malona, Melanoege) → Melanau

Orang Melanau adalah sebuah kelompok etnis pribumi di Sarawak, kelompok terbesar kelima (setelah Iban, Tiongkok, Melayu dan Bidayuh), tetapi membentuk sebagian besar ranah politik Sarawak. Melanau termasuk para pemukim awal di Sarawak, pada awalnya menetap sebagai komunitas yang tersebar di sepanjang anak-anak Sungai Rajang di Sarawak Tengah.

• Margana, civitas → Miri

Kota Miri berasal dari nama kelompok etnis minoritas yang disebut “Jatti Meirek” atau hanya “Mirek”, atau “Miriek” saja. Kelompok etnis ini adalah pemukim paling awal di wilayah Bahagian Miri, Sarawak.

• Galiba, extrema; Galibi, wilayah; Galibi, montres → (Balaba, Balabac) → Balabac

Balabac adalah pulau paling selatan di provinsi Palawan di Filipina, hanya sekitar 50 kilometer ke utara Sabah, Malaysia, melintasi Selat Balabac. Orang Molbog, yang juga disebut sebagai Molebugan atau Molebuganon terkonsentrasi di pulau tersebut. Orang Molbog diduga bermigrasi dari Borneo Utara, yang berasosiasi dengan orang-orang Tidung atau Tirum, kelompok adat yang terdapat di pantai timurlaut Sabah karena mereka memiliki dialek dan praktek sosial budaya yang sama.

Nama-nama Sabah, Pulau Balambangan dan Teluk Labuk mungkin juga berasal dari nama tersebut.

• Talakori, emporium → (Cancirao, Cancyra, Canciaro, Cancerao, Cancorao, Cancirau) → Keningau

Tempat ini sering disebutkan pada peta-peta abad ke-17 dan ke-18. Tempat persisnya tidak diketahui, mungkin Keningau, sebuah distrik di Bahagian Pedalaman, Sabah. Ini adalah kota tertua dan terbesar di wilayah pedalaman Sabah. Selama era kolonial Inggris, Keningau adalah salah satu pusat administrasi yang paling penting di Borneo Utara.

• Modutti, emporium; Mudutti, wilayah → (Marudo, Malloodoo) → Marudu atau Orang Murut

Marudu adalah sebuah kota dan distrik yang terletak di Bahagian Kudat,  Sabah.

Orang Murut adalah sebuah kelompok etnis pribumi, yang mendiami daerah pedalaman Borneo Utara, secara harfiah berarti “orang bukit”. Sebagian besar masyarakat Murut terdapat di pedalaman baratdaya Sabah, khususnya di distrik-distrik Keningau, Tenom, Nabawan dan Pensiangan, dan sepanjang Sungai Sapulut dan Padas. Orang Murut adalah kelompok etnis Sabah yang terakhir meninggalkan budaya pengayauan.

• Phafis, fluvius → (Sisar, Sisor) → Sungai Kinabatangan

Sungai Kinabatangan terletak di Sabah, sungai terpanjang kedua di Malaysia, hulunya berada di pegunungan barat daya Sabah, bermuara di Laut Sulu, sebelah timur Sandakan.

• Anubingara, civitas → Orang Lun Bawang

Orang Lun Bawang (sebelumnya dikenal sebagai Orang Murut Selatan) adalah kelompok etnis yang terdapat di Borneo Utara Tengah. Mereka berasal dari dataran tinggi Borneo Utara (Krayan, Malinau dan Long Bawan), Brunei (Temburong), baratdaya Sabah (Bahagian Pedalaman) dan wilayah utara Sarawak (Bahagian Limbang).

• Maagrammum, metropolis; Ganges, fluvius → (Bamcamanican, Pomanakam, Markaman) → Muarakaman dan Sungai Mahakam

Muarakaman, terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, dikenal karena keberadaan prasasti batu bertanggal sekitar abad ke-4 Masehi, ditulis pada tujuh pilar batu dalam huruf Palawa dan bahasa Sansekerta, dianggap sebagai prasasti tertua yang ada di Indonesia. Sebuah kerajaan Brahmana (Hindu) tertulis pada prasasti, yang terletak di Muarakaman, tepatnya di tepi Sungai Mahakam. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini, tapi dikenal sebagai Kutai Martadipura oleh para sejarawan.

Beberapa tempat suci bagi umat Hindu terletak di sepanjang tepi sungai dan dinamakan Sungai Gangga. Sungai Mahakam dimana Muarakaman terletak di tepinya kemungkinan besar dinamai juga sebagai Sungai Gangga.

• Spatana, portus → Bontang

Bontang adalah sebuah kota pelabuhan di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, yang terletak di pantai timur Kalimantan.

• Procuri, civitas → (Pasir, Pafsir, Passier, Passeir, Passir) → Orang Dayak Paser

Orang Dayak Paser adalah kelompok etnis pribumi yang terdapat di Kalimantan sebelah tenggara. Orang Dayak Paser kemungkinan memiliki persekutuan dengan Orang Dayak Lawangan, rumpun Dayak Ot Danum. Mereka membentuk sebuah kerajaan yaitu Sadungaras (kemudian dinamakan Kesultanan Pasir) dari abad ke-16 sampai awal abad ke-20. Paser sekarang menjadi nama sebuah kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur.

• Cumara, island → Semaras, Pulau Laut

Semaras adalah nama tempat yang terletak di pantai barat Pulau Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.

• Alaba, pulau → (Alambai, Calamba, Calambua, Calaubua, Calabo) → Kepulauan Kalambau

Kalambau adalah kepulauan yang terletak di lepas pantai selatan Kalimantan di Laut Jawa. Secara administratif, kepulauan ini berada dalam wilayah provinsi Kalimantan Selatan.

• Arana, pulau → (Arents, Arentes, Arantel, Keramian) → Kepulauan Karamian

Karamian adalah sebuah kepulauan atol yang terletak di lepas pantai selatan Kalimantan di Laut Jawa. Secara administratif, kepulauan ini berada dalam wilayah provinsi Jawa Timur.

• Balaca, pulau → (Balachaia, Balacuan, Blacana, Ciombra, Solambo, Solonbo, Solombo, Somanbo) → Kepulauan Masalembo

Masalembo adalah sebuah kepulauan yang terletak di lepas pantai selatan Kalimantan di Laut Jawa. Secara administratif, kepulauan ini berada dalam wilayah provinsi Jawa Timur.

• Baffa, pulau → (Lubok, Lubeck, Lubec, Lubek, Baboan, Bawean) → Pulau Bawean

Bawean adalah sebuah pulau yang terletak di lepas pantai selatan Kalimantan dan utara Jawa, di Laut Jawa. Secara administratif, pulau ini berada dalam wilayah provinsi Jawa Timur.

• Calandradua, pulau → (Quirimanjaba, Quirimajaba, Cariman Iava, Carimun Iava, Carimao Iava, Carimoon Iava, Carimon Java, Carmon Java, Karimoen Djawa) → Kepulauan Karimunjawa

Karimunjawa adalah sebuah kepulauan yang terletak di lepas pantai utara Jawa, di Laut Jawa. Secara administratif, kepulauan ini berada dalam wilayah provinsi Jawa Tengah.

• Erene, pulau → (Clemencia, Klein Enkhnysen, Enkhnysen) → Terumbu Karang Enkhnysen

Terumbu Karang Enkhnysen adalah sekelompok terumbu karang yang terletak di Laut Jawa di lepas pantai Tanjung Sambar di dekat Pulau Mangkup.

• Carcus, pulau → (Banca, Banka, Bangka) → Bangka

• Phelicus, pulau → (Bibilitam, Billetoon, Billiton, Belitoeng) → Belitung

Kepulauan Bangka-Belitung adalah sebuah provinsi yang berada di lepas pantai Sumatera. Provinsi ini terdiri dari dua pulau utama, Bangka dan Belitung, dan beberapa yang lebih kecil. Selat Bangka memisahkan Sumatera dan Bangka, dan Selat Gaspar memisahkan Pulau Bangka dan Belitung. Laut Tiongkok Selatan terdapat di sebelah utara, Laut Jawa di sebelah selatan, dan dipisahkan dari Kalimantan di timur oleh Selat Karimata.

• Ammine, pulau → (Anamba, Anambas; Natuna, Naima, Natuma) → Kepulauan Anambas dan Natuna

Kepulauan Anambas dan Natuna terletak di Laut Tiongkok Selatan, di lepas pantai barat laut Kalimantan. Secara administratif, kepulauan tersebut merupakan wilayah sebuah kabupaten dalam Provinsi Kepulauan Riau.

• Monache, pulau → (Timao, Timaon, Timor, Timmoon, Timon, Timoan) → Pulau Tioman

Pulau Tioman adalah sebuah pulau di Pahang, terletak di lepas pantai timur negara bagian tersebut.

• Cory, pulau → (Pulo Ciri, Pulo Cecir, Pulo Cili, Pulo Siri, Pulo Seir) → Pulau Cu Lao Re atau Ly Son

Cu Lao Re atau Ly Son adalah sebuah pulau di lepas pantai Vietnam di Laut Tiongkok Selatan.

• Sufuara, pulau → (Paragoa, Paragua, Paragoya, Paragoy, Paragou, Parago, Palohan, Palawan) → Pulau Palawan

Pulau Palawan adalah pulau terbesar di Provinsi Palawan, Filipina. Pantai utara pulau ini berada di Laut Tiongkok Selatan, sementara pantai selatan merupakan bagian dari batas utara Laut Sulu.

• Nagadiba, pulau → (Baqueiraon, Biqueram, Boquerano, Bequeraon, Siboetoe) → Pulau Sibutu

Sibutu adalah sebuah pulau di Provinsi Tawi-Tawi, Filipina. Pulau ini terletak di sebelah timur pantai Sabah, Malaysia.

• Zibala, pulau → (Celebra, Celebus, Celebes, Cellebes) → Pulau Sulawesi

Pulau Sulawesi adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah timur Pulau Kalimantan. Pulau ini adalah pulau besar terdekat yang dapat dilihat dari pantai timur Kalimantan. Beberapa peta menyebutkan Celebes juga sebagai nama tempat di pantai barat Sulawesi, tetapi nama sekarang tempat ini tidak dapat diidentifikasi.

• Zaba, pulau → (Paternosters, Chapelat, Sebelasanak) → Kepulauan Sabalana

Kepulauan Sabalana adalah sebuah atol di Laut Flores, terletak di sebelah utara Kepulauan Nusatenggara, lebih dekat ke Sumbawa daripada Sulawesi. Secara administratif, pulau atol ini berada dalam wilayah provinsi Sulawesi Selatan.

Identified Geographic Names (2)

Gambar 67. Nama-nama yang telah teridentifikasi

Tabel 1. Nama-nama yang telah teridentifikasi

No

Ptolemy

Peta kuno

Sekarang

1

Ceteum

Cotan, Catalan, Satalang, Salaton, Salatan

Tanjung Selatan

2

Nanigiri

Nagara, Nagarra

Negara

3

Baracus

Banjar, Banjarmasin

Barito

4

Bacchi

Paco, Bancy, Biajo, Bander, Banjar

Banjar

5

Corcobara

Tamiampura, Taiampura, Taiapura, Taiaopura, Taiaopuro, Tanjapura

Tanjungpura

6

Orneon (burung, unggas, bangau)

Simanauw

Sebangau

7

Azanus

Kayan, Kahayan

8

Louis

Lao, Lave, Laue, Lava, Laua, Lawa

Lawi, Lawai

9

Nubartha

Sambuer, Sambaur, Sambor, Sobar, Sambar, Sambahar, Sambbae, Samban

Tanjung Sambar

10

Malea

Melahoei, Melawai

Melawi

11

Priapides

Tamaratas, Tamaratos, Tamarates, Tameorato, Iamanatos, Hormata, Carimata, Matan, Ketapan

Karimata, Ketapang

12

Sindocanda, Sandocand?

Succadano, Succaduno, Succudana, Succadana, Socadana, Sucadana

Sukadana

13

Poduce

Landa, Salimbau

Sekadau

14

Soana, Soani

Sonee, Senar, Soné, Sone, Sona, Soengi

[Sungai] Sambas

15

Anarif-mundi

Sisar, Soric, Siric

Tanjung Sirik

16

Anurogrammum, Anurogrammi

Orang Dayak

17

Iogana

Malano, Malona, Melanoege

Melanau

18

Margana

Miri

19

Galiba, Galibi

Balaba, Balabac

Balabac, Sabah, Balambangan, Teluk Labuk

20

Talakori

Cancirao, Cancyra, Canciaro, Cancerao, Cancorao, Cancirau

Keningau

21

Modutti, Mudutti

Marudo, Malloodoo

Marudu, Murut

22

Phafis

Sisar, Sisor

Kinabatangan (Sungai)

23

Anubingara

Orang Lun Bawang

24

Maagrammum, Ganges

Bamcamanican, Pomanakam, Markaman

Muarakaman, Sungai Mahakam

25

Spatana

Bontang

26

Procuri

Pasir, Pafsir, Passier, Passeir, Passir

Paser

27

Cumara

Semaras

28

Alaba

Alambai, Calamba, Calambua, Calaubua, Calabo

Kalambau

29

Arana

Arents, Arentes, Arantel, Keramian

Karamian

30

Balaca

Balachaia, Balacuan, Blacana, Ciombra, Solambo, Solonbo, Solombo, Somanbo

Masalembo

31

Baffa

Lubok, Lubeck, Lubec, Lubek, Baboan, Bawean

Bawean

32

Calandradua

Quirimanjaba, Quirimajaba, Cariman Iava, Carimun Iava, Carimao Iava, Carimoon Iava, Carimon Java, Carmon Java, Karimoen Djawa

Karimunjawa

33

Erene

Clemencia, Klein Enkhnysen, Enkhnysen

Enkhnysen

34

Carcus

Banca, Banka, Bangka

Bangka

35

Phelicus

Bibilitam, Billetoon, Billiton, Belitoeng

Belitung

36

Ammine

Anamba, Anambas

Anambas

37

Monache

Timao, Timaon, Timor, Timmoon, Timon, Timoan

Tioman

38

Cory

Pulo Ciri, Pulo Cecir, Pulo Cili, Pulo Siri, Pulo Seir

Cu Lao Re

39

Sufuara

Paragoa, Paragua, Paragoya, Paragoy, Paragou, Parago, Palohan, Palawan

Palawan

40

Nagadiba

Baqueiraon, Biqueram, Boquerano, Bequeraon, Siboetoe

Sibutu

41

Zibala

Celebra, Celebus, Celebes, Cellebes

Sulawesi

42

Zaba

Paternosters, Chapelat, Sebelasanak

Sabalana

Kembali ke Daftar Isi

Taprobrana dan Pencarian Atlantis

Plato menceritakan kisah Atlantis pada sekitar tahun 360 SM. Kurang lebih 30 tahun kemudian, Alexander Agung menyerang India dan Nearchus serta Onesicritus yang menyertainya selama kampanye mengungkapkan nama Taprobana untuk pertama kalinya. 30 tahun kemudian, Seleucus Nicator mengirim Megasthenes sebagai duta besar untuk Sandracottus (Chandragupta Maurya) pada 302 SM di mana ia juga mengungkapkan tentang nama Taprobana.

Kisah Atlantis telah menjadi obyek daya tarik di kalangan filsuf Barat dan sejarawan. Tentu saja, Alexander Agung tidak lepas perhatiannya terhadap suatu tempat yang cukup istimewa tersebut. Deskripsi Atlantis oleh Plato adalah sangat jelas dan rinci, tetapi pencarian Atlantis di sekitar Laut Mediterania tidak menghasilkan apa-apa. Alexander adalah murid Aristoteles yang juga murid Plato. Dapat diduga bahwa Alexander berpikir bahwa Atlantis tidak berada di daerah itu tetapi di Timur Jauh, di Samudera Hindia. Selama invasi ke India, Atlantis diduga telah ditemukan, namun penemuan ini dirahasiakan dan dikaburkan dengan nama lain, Taprobana oleh Nearchus dan Onesicritus, termasuk lokasinya. Usahanya untuk menaklukkan India kemudian dapat dihalau oleh Chandragupta tetapi dibentuklah sebuah aliansi. Setelah kematiannya, Seleucus melanjutkan aliansi tersebut dan kerahasiaan Atlantis dan Taprobana masih terus dijaga. Megasthenes menjelaskan Taprobana dengan sedikit lebih detail.

Pada masa pemerintahan Kaisar Claudius, empat orang dari pulau Taprobana dikirim sebagai utusan ke Roma. Sekali lagi, Claudius dan kaisar-kaisar sebelumnya tidak kehilangan perhatiannya tentang Atlantis. Karena digambarkan dengan jelas dan rinci oleh Plato, ia bisa berpikir bahwa Taprobana merupakan bagian dari Atlantis.

Kaisar-kaisar berikut juga pasti tahu bahwa Taprobana merupakan bagian dari Atlantis tetapi mereka terus melanjutkan kerahasiaannya. Taprobana telah dilaporkan oleh beberapa penulis pada masa itu. Pada masa pemerintahan Antoninus Pius (138-161 AD), Taprobana dipetakan secara detail oleh Ptolemy. Sekali lagi, Kekaisaran Romawi mungkin sengaja merahasiakan dan mengaburkan lokasinya. Bagian terakhir Critias, sebuah dialog karya Plato, yang diduga menyebutkan informasi yang lebih terinci mengenai Atlantis telah hilang. Peta asli Ptolemy juga telah hilang, sebuah indikasi bahwa mereka ingin menyembunyikannya.

Pada abad ke-6, nama Taprobana telah menghilang. Setelah jatuhnya Roma, geografi Eropa memasuki zaman kegelapan lebih dalam daripada disiplin-disiplin ilmu lain, dan fakta tentang Taprobana dan Atlantis telah terkubur. Banyak buku kuno dan karya ilmiah, terutama yang bertempat di Perpustakaan di Alexandria, hilang selama lebih dari seribu tahun. Pada akhir tahun 1400-an, karya-karya Plato dan Ptolemy ditemukan kembali; Atlantis dan Taprobana menjadi populer lagi.

Kolonialisme Barat di Asia Selatan dan Tenggara yang melibatkan Inggris, Perancis, Portugal dan Belanda diduga terinspirasi oleh godaan akan Taprobana serta Atlantis. Hal ini dipicu pada awal abad ke-15 yaitu pencarian rute perdagangan ke Timur Jauh yang mengarah langsung ke Era Penemuan, dan dimulainya Era Perang Modern. Pada awal abad ke-16, Era Pelayaran telah meluas pengaruhnya ke Eropa Barat dan berkembang menjadi Era Perdangan Rempah-rempah dibawah kolonialisme. Pembuat peta pada era ini semestinya telah tahu bahwa Taprobrana adalah Kalimantan, karena terlihat banyaknya kesamaan tata letak, lokasi, fitur, nama dan deskripsi geografis kedua pulau tersebut dan sekitarnya, antara peta Ptolemeus dan peta-peta mereka.

Kembali ke Daftar Isi

***

Hak Cipta © 2015, Dhani Irwanto

Berdasarkan naskah asli Taprobana is not Sri Lanka nor Sumatera, but Kalimantan

Sumber:

https://indonesiana.tempo.co/read/51202/2015/10/13/dhani_irwanto/taprobana-adalah-kalimantan-bukan-sri-lanka-atau-sumatera#pulau_taprobana

Bacaan terkait:

  1. Atlantis: Kota yang Hilang Ada di Laut Jawa
  2. Bukti-bukti bahwa Kota Atlantis Ada di Laut Jawa
  3. Taman Eden terdapat di Kalimantan
  4. Artikel-artikel asli dalam Bahasa Inggris
TOTAL NILAI :

Disclaimer

Semua posting di blog ini merupakan pendapat pribadi dan tanggung jawab masing-masing penulis sepenuhnya. Isi posting tidak selalu sejalan dengan sikap dan kebijakan kelompok usaha PT Tempo Inti Media Tbk.


ASMA’ DAN SIFAT ALLAH

$
0
0

ASMA’ DAN SIFAT ALLAH
Sekolah Hikmah Muta’aliyah Seri Irfan Sesi II

Dr. Husein Shahab, MA

Sebetulnya, tema Al-Asma Wa As-Sifat bisa kita lihat dari dua disiplin ilmu. Bisa dibahas dan didiskusikan dari sisi Filsafat dan juga bisa dibahas dari sisi ilmu Irfan (Tasawuf). Walaupun menurut Mulla Sadrapembahasan ini termasuk dari tema yang sangat rumit dan bahkan beliau mensyarahkan tentang sifat-sifat Allah dalam kitab Syarah Ushul Al-Kafi yang berisikan syarah yang rinci mengenai sifat-sifat Allah. Tema ini menjadi sangat manis (mudah) jika dibahas dari sisi irfan, namun menjadi sangat rumit jika dibahas dari sisi filsafat.

Para filosof ketika menyebut sifat-sifat Allah selalu saja sifat-sifat tersebut menjadi sangat tinggi dan sulit untuk dipahami karena lebih mengutamakan Tanzih yang menekankan bahwa Allah sangat luhur dan tidak dapat dipahami oleh siapapun. Sehingga pembahasan-pembahasan ke-Tuhanan dalam filsafat menjadi sangat melangit dan berat untuk diikuti oleh kebanyakan orang karena titik tekannya kepada konsistensi logis dan demonstrasi premis-premis filosofis. Namun jika kita membahas asma dan sifat Allah dari sisi irfan, Allah dapat dirasakan keberadaanya oleh rasa atau dengan kata lain Allah menjadi lebih membumi. Dalam hal ini kalangan urafa lebih cendrung kepada aspek tasybih (penyerupaan). Jika Filosof melihat Allah ada dilangit, namun sufi melihat Allah ada dibumi, menyatu dengan ciptaannya. Dalam Sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab yang berjudul Tauhid Musnad an al-harwi, dikatakan bahwa Ali ibn Abi Thalib ra berkata bahwa Rosululloh saw bersabda

ان لله تسعة وتسعين اسما اوما ئة الا واحدا من احصاهاد خل الجنة
Yang artinya,
“Sesungguhnya Allah memiliki 99 Nama yang jika seseorang berdoa dengannya maka akan dikabulkan, dan barang siapa yang memahaminya akan masuk kedalam surga”
Dalam Hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. ra yang berbunyi :

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا ، مِائَةً إِلا وَاحِدَةً ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Yang artinya,
“sesungguhnya Rosululloh saw bersabda bahwa allah memiliki 99 nama 100 kurang satu, siapa menghafalnya maka akan masuk kedalam surga”.

Sedemikian pentingnya asma Allah sehingga disebutkan barangsiapa yang berdoa dengan nama-nama tersebut maka akan dikabulkan dan merincinya (memahaminya) maka akan masuk kedalam surga. Dari hadits ini kita mendapati bahwa isu mengenai asma’ wa sifah tampak begitu penting dalam khazanah islam. Seperti misalnya dalam kisah tentang Adam, bahwa hal pertama yang diajarkan kepadanya adalah keseluruhan Asma’ dan karena pemahaman terhadap asma’ inilah Adam dibanggakan dihadapan para malaikat. Menurut Mulla Sadra, Asma’ atau nama-nama yang dimaksud adalah nama-nama Allah.

Banyak sekali riwayat yang berbicara tentang Asma’, misalnya riwayat tentang Ismul a’dzom. Riwayat ini menceritakan kisah Nabi Sulaiman as yang mendapat berita dari burung hud-hud yang memberitakan bahwa ada sebuah kerajaan yang menyembah matahari yakni kerajaan ratu balqis. Suatu hari Ratu Balqis hendak mengunjungi kerajaan Sulaiman as, maka Nabi Sulaiman as meminta kepada siapapun yang dapat memindahkan singgasana ratu Balqis. Seorang hamba Allah yang memiliki Ilmu kitab menyanggupinya dengan durasi kurang dari satu kedipan mata. Imam Jakfar.ra menjelaskan bahwa orang itu adalah Asif ibn Barkhiyah.ra dan yang dimaksud Ilmu al-Kitab tersebut dalam banyak riwayat adalah Ilsmul Allah al-adzom. Asif memiliki satu dari seluruh Ilmu a’dzom, yang dengannya Asif memiliki kemampuan menggerakan alam semesta. Ismul A’zam dalam pandangan para urafa nama-nama Allah yang berjumlah 99 atau bahkan lebih (dalam al-Quran tercatat 120 lebih, bahkan Allamah Thaba’thabai menyatakan jika seluruh asma’ Allah yang dijumlahkan dapat mencapai 200-an asma’).
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana Allah menyandang nama sedangkan Allah adalah eksistensi murni yang tidak dapat diatribusi dengan sifat apapun. Namun ternyata Allah menyatakan dirinya dialam al Quran dengan nama-nama (asma’). Maka dari sini muncullah pembahasan yang begitu rumit sehingga muncullah banyak sekali mazahab, madrasah dan pandangan dalam kasus ini. sebetulnya sifat dan asma’ memiliki konsekwensi dan inti yang sama. Sufi lebih suka dengan istilah asma’ dan filosof lebih menyukai istilah sifat. Allah memiliki nama ar-rahman, al- aziz dan sebagaimnya.

Kata-kata ini adalah asma’ dan juga sifat. Karena itu dalam irfan ketika menyebut asma’ Allah ada dua kategori, yakni asma’ jamaliah dan asma’ jalaliah atau dengan istilah lain sifat Jamaliah dan sifat Jalaliah. Dalam istilah kalam sifat tsubutiah dan sifat salbiyah. Para urafa mengatakan bahwa Asma’ Jamaliah adalah keindahan yang merefleksikan keindahan tak terbatas Allah swt. Asma’ Jalaliah adalah asma’ yang merefleksikan keagungan, kegagahan dan kekokohan. Sifat Jamaliah memunculkan harapan dan kerinduan. Sifat Jalaliah memunculkan kegentaran dalam diri manusia. Namun para urafa’ menyatakan bahwa dalam sifat-sifat allah yang jamal ada sisi jalaliah. Dari sisi JalaliahnNya ada jamaliahnyaNya. Hadis-hadis qudsi lebih banyak bercerita tentang sifat Allah yang jamal. Misalnya dalam hadis yang berbunyi “Wahai hambaku, sepanjang hidupmu kau telah lari dariku, dan dipenghujung hidupmu kau ingin kembali padaku. Ketahuilah bahwa aku lebih gembira kepada seorang hambaku yang kembali kepadaku melebihi dari perasaan seorang ibu yang menemukan anaknya yang telah hilang”.

Jika kita membaca sifat-sifat Jamal ini maka hati kita akan tergugah. Misalnya dalam sebuah doa yang berbunyi, “Ya Allah sesungguhnya magfirohMu lebih aku harapkan ketimbang amalku dan rahmatMu lebih luas daripada dosaku. Ya Allah, sekiranya dosaku banyak, maka ampunanMu lebih luas dan lebih banyak daripada dosaku”. Namun disisi lain kita menemukan perkataan Urafa’ yang mengakatan bahwa dalam sifat-sifat Allah yang lembut ini ada sifat keagungannya yang menggentarkan hati. Itulah kenapa para urafa mengingatkan kita bahwa jangan terlena dengan sifat-sifat jamal Allah karena sikap terlena itu mengundang setan untuk mengambil kesempatan. Sifat-sifat Rahman Allah seharusnya membuat seseorang bergegas kedalam ampunannya dan merasa takut dengan kemurkaannya. Para urafa’ berkata ketika membahas asma’ ini bahwa dalam asma’ ini ada yang disebut Dzatiah (esensi) dan Fi’liyat (perbuatan). Sifat-sifat dzatiah ini dipahami dari esensi Allah itu sendiri seperti sifat al-ahad atau al-wujud sedangkan sifat-sifat fi’liyat ini dipahami dari perbuatan Allah seperti al-Khaliq atau ar-Razaq. Sifat-sifat perbuatan ini diasumsikan karena adanya relasi antara Allah itu sendiri dengan aspek tindakannya. Para urafa tidak mempertanyakan sifat-sifat Fi’liyat ini karena sifat-sifat fi’liyat ini tidak dapat dipisahkan dari sifat-sifat dzatiah. Bagian yang paling sulit difahami adalah Asma’ Dzat nya. Mayoritas ulama mengatakan sulitnya untuk memahami hal ini, dan sebagian lagi mengatakannya hampir tidak mungkin. Namun para urafa’ menaruh perhatian lebih pada asma’ dzatiah ini. itulah kenapa banyak sekali dizikir-dzikir sufi yang berisikan asma’ dzatiyah. Contohnya pada dzikir Allahu lailaha illahuwa yang menjadi dzikir puncak para sufi. Kalimat dzikir ini adalah kalimah yang berisikan Isyaroh kepada Dzat.


Article 1

$
0
0

RINGKASAN MATERI SEKOLAH HIKMAH MUTA’ALIYAH

(Epistemologi. Kuliah Dr. Muhsin Labib )

Filsafat Hikmah Muta’aliyah adalah tampilan yang paling utuh dari semua filsafat. Matangnya Hikmah Muta’aliyah adalah karena kontribusi dari Filsafat-filsafat sebelumnya, bahkan dari filsafat yang paling awal, dari Thales hingga Suhrawardi. Kebesaran Hikmah Muta’aliyah adalah berasal dari sebuah bangunan filsafat yang megah dari berbagai zaman dan peradaban.

Filsafat Hikmah Muta’aliyah menjadi Unik, karena ia mengkomfirmasi seluruh argumen Filsafat masa lalu mengenai realitas. Perdebatan mengenai singularitas dan pluralitas wujud menjadi tuntas dalam argumen Mulla Sadra dalam kaidahnya “al Wahdah fi ainil kastrah, wa kastrah fi ainil wahdah”, singularitas dalam pluralitas, pluralitas dalam singularitas. Atau bahkan teori sadra mengenai pengetahuan yang di asosiasikan dalam filsafat-filsafat awal hanya sebagai bentuk korespondensi antara subjek dan objek. Sadra lebih radikal lagi, pengetahuan bukan hanya sebentuk korespondensi, namun penyatuan itu sendiri, yakni penyatuan antara yang mengetahui (subjek /alim) dan yang diketahui (objek/maklum).

Berbicara mengenai pengetahuan, artinya kita berbicara tentang epistemologi. Epistemologi disebutkan oleh banyak ahli sebagai bagian dari filsafat. Bahkan ada yang mengibaratkan epistemologi ibarat aktifitas wudhu dalam shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan jika kewajiban wudhu belum dipenuhi. Begitu juga filsafat, tidak akan dapat dijejaki sebelum seseorang memahami dulu epistemologi. Tradisi Barat bahkan membagi filsafat menjadi bagian-bagian seperti Epistemologi, Ontologi dan aksiologi, ketiga hal inilah yang disebut filsafat menurut barat. Berbeda dengan Tradisi Filsafat Islam, seperti misalnya alamah Thaba’tabai tidak menganggap penting pembagian seperti ini. Filsafat Islam tradisional langsung membahas bagian inti dalam filsafat itu sendiri yakni al-Wujud (Realitas).

Namun perkembangan selanjutnya, para murid allamah memandang bahwa penting untuk menambahkan sistematisasi dan pemilahan tema-tema seperti yang dilakukan dalam tradisi barat untuk menepis kekhawatiran sulitnya filsafat untuk dipahami atau bahkan disalah-pahami. Taqi Mizbah Yazdi, menaruh perhatian pada hal ini. Beliau seolah melihat adanya kesenjangan antara maqom tsubut (kebenaran itu sendiri) dan Maqom Itsbat (Pembuktian kebenaran itu sendiri). Epistemologi diperlukan untuk mengatasi kesenjangan ini. Inilah hal yang mendasari kenapa Taqi Mizbah Yazdi menulis Manhaj Al-Jadid (diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan judlul “Daras Filsafat). Tulisan Taqi Mizbah Yazdi ini mengambarkan kerangka dan sistematika filsafat Hikmah Muta’aliyah, berikut didalamnya hal-hal yang berkenaan dengan Epistemologi.

Epistemologi memperjelas kedudukan antara subjek dan objek (walaupun sebenarnya hal ini terbantahkan oleh kaidah “ittihadu aqil wa ma’qul/penyatuan subjek dan objek). Masalahnya, Objek dari Epistemologi hikmah muta’aliyah ini berbeda dengan objek yang dipahami dalam tradisi barat. Dalam tradisi Hikmah Muta’aliyah, Objek disini adalah realitas itu sendiri, baik konkrit maupun abstrak. Oleh karena itu objek ini sebenarnya telah terlebih dahulu jelas ketimbang ilmu yang digunakan untuk menjelaskannya. Permasalahannya adalah, kejelasan objek ini tidak serta merta membuat subjek dapat memahaminya. Kesiapan (Isti’dad) subjek untuk memahami ini menjadi tolak ukur terpahami kejelasan ini. Kejelasan realitas ini menuntut adanya kesadaran si subjek, kesadaran inilah yang dimaksud dengan kesiapan (Isti’dad). Oleh karena itu epistemologi sadra dimulai bukan dengan interaksi subjek dengan objek, melainkan dimulai dengan tema kesadaran si subjek terhadap dirinya. Karena dirinya itu sendiri adalah juga realitas yang konkrit baik secara material maupun imaterial. Dari kesadaran ini manusia mengetahui adanya kemutlakan, tak keterbatasan. Dari munculnya pengetahuan ini, si subjek mulai menyadari bahwa ia memiliki kemampuan untuk mempersepsi.

Tingkat kesadaran si subjek ini mempengaruhi tingkat kedekatan hasil-hasil persepsi tersebut dengan kemutlakan. Misalnya dalam kasus agama. Agama memiliki dua sisi, yakni kemutlakan dan sisi relatif. Wilayah kemutlakan pemahaman agama adalalah milik orang-orang yang memiliki tingkat kesadaran puncak karena mereka mendaptkan pengetahuan-pengetahuan ilahiah langsung dari wilayah kemutlakan tersebut, sehingga agama tersebut benar-benar sebagai realitas ontologis (a’yanun tsabitah) didalam dirinya. Merekalah para Utusan Tuhan. Berbeda dengan manusia kebanyakan yang memiliki kesiapan dan kesadaran diri yang rendah, maka persepsi-persepsi ini menjadi sangat relatif. Namun perlu diperhatikan bahwa persepsi-persepsi yang relatif ini bergantung kepada yang mutlak. Artinya ketika seseorang meyakini adanya yang bersifat relatif, maka dalam waktu yang sama ia juga meyakini adanya kemutlakan. Namun sebaliknya, jika seseorang yang memiliki kesadaran rendah, namun meyakini pandangan-pandangannya adalah bersifat mutlak, maka ia sebenarnya telah mengambil peran Tuhan atau peran para nabi. Masalahnya kebanyakan kita tidak pantas mengambil peran-peran tersebut. Epistemologi mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa setiap orang harus memiliki kesadaran bahwa realitas adalah sangat mandiri, mendasar dan Tunggal, namun persepsi-persepsi membuatnya menjadi relatif, bergantung dan beragam. Untuk mengatasi pandangan-pandangan yang beragam ini kita harus berpegang kepada yang mutlak dan disepakati oleh semua kesadaran manusia yang paling mendasar yakni dengan melihatnya dari sudut pandang pengetahuan-pengetahuan aksiomatik. (ed.bznlh)


Jokowi dan Solusi Penelitian Gunung Padang, Ditemukan Sungai Bawah Tanah?

$
0
0
HIGHLIGHT

Published: 19.10.14 19:16:36

Updated: 17.06.15 20:28:41
Jokowi dan Solusi Penelitian Gunung Padang, Ditemukan Sungai Bawah Tanah?
 Presiden Jokowi harus menghentikan kontroversi penelitian tentang Situs Megalitikum Gunung Padang terus berlangsung. Bahkan kini, hasil dari ‘penggalian’ pengunjung bisa melihat temuan terowongan berisi air yang mirip ‘sungai di bawah kaki Gunung Padang’. Yang menjadi pertanyaan, siapakah dan dari peradaban manakah, serta berapa ribu tahun peradaban itu dibuat? Apa fungsi ‘sungai’ dalam terowongan itu? Dengan dibantu oleh Tim Independen Penelitian Gunung Padang pengunjung bisa menemukan dan melihat ‘sungai buatan’ di bawah kaki sebelah kiri pintu masuk Situs Megalitikum Gunung Padang.

Kontroversi tentang penelitian Gunung Padang yang katanya ada pyramid harus diakhiri dengan menggunakan alat pemindai yang bisa melihat susunan bebatuan di bawah tanah – apakah berpola buatan manusia atau bukan. Dengan alat tersebut maka tak akan terjadi kerusakan.

Mengenai ‘sungai dalam tubuh Gunung Padang’ perlu dikesampingkan. Mari kita cermati berbagai penelitian di situs Gunung Padang yang justru menimbulkan pro-kontra di masyarakat baik pemerhati masalah arkeologi maupun sosial dan kepurbakalaan.

Pertama, penemuan artefak tak ada kaitan dengan adanya teknologi tinggi di bawah Gunung Padang apalagi Piramida. Aneka penemuan artefak di Gunung Padang oleh tim peneliti menunjukkan berbagai kejanggalan dan keanehan. Diduga ‘uang logam berlogo zaman Belanda’ adalah uang yang dipakai oleh pengunjung sebagai sesembahan dan bagian dari sesaji. Ada kebiasaan di Jawa memberikan sesaji di bawah pohon atau tempat keramat dengan uang logam. Situs Megalitikum Gunung Padang sudah sejak lama menjadi tempat persembahan dan sesaji sejak zaman Belanda – sebelum tempat tersebut dibersihkan. Dipastikan di bawah tubuh Gunung Padang – tempat situs Megalitikum berdiri – tak ada pyramid.

Bukti tidak adanya pyramid adalah dari kaki ‘sungai dalam Gunung Padang’ yang digali oleh Tim Peneliti Independen tak menemukan struktur batuan atau apapun yang menunjukkan sisa peradaban apalagi pyramid dan teknologi nuklir dan seterusnya.

Kedua, tata cara penggalian merusak situs Megalitikum. Tata cara dan teknik mereka dalam melakukan penelitian di Gunung Padang berpotensi merusak situs. Tim Penelitian melakukan berbagai cara yang merusak situs. Sebenarnya, jika memang mau meneliti dengan benar, maka tidak perlu menggorok dan mengebor serta menggali ke kedalaman Gunung Padang.

Tim Independen melakukan perusakan dengan menggali terowongan di kaki samping kiri pintu masuk ke Gunung Padang. Terowongan itu digali dengan maksud untuk mendapatkan kaki pyramid di bawah kaki Gunung Padang. Hasilnya adalah tanah padat dan tak ada tanda-tanda sisa teknologi dan jejak peradaban buatan manusia. Kini terowongan yang digali sekitar 50 meter masuk ke dalam Gunung Padang menjadi ‘kolam ikan mas dan mujahir kecil di sungai bawah’ Gunung Padang.

Penggalian dan penelitian dan penemuan ‘sungai dan artefak mirip uang benggol Belanda’ menunjukkan bahwa di dalam tubuh situs Gunung Padang tidak terdapat teknologi dan struktur bangunan pyramid. Publik dan pemerintah harus menghentikan cara penelitian yang merusak.

Sebenarnya, untuk meneliti situs Gunung Padang sangat sederhana. Jika tak mau merusak, dengan mudah bisa digunakan teknologi memindai struktur bangunan seperti yang dilakukan di Machu Picchu, Peru. Tanpa merusak satu buah susunan batuan, para peneliti di Machu Picchu menggunakan alat pemindai dan dengan tepat mampu menemukan susunan bebatuan di bawah parit, terowongan, sistem irigasi, sistem pembagian air dan drainase untuk Kaisar Pachacuti dan seluruh penghuni Kota Machu Picchu di pegunungan Andes Peru setinggi 2500 meter.

Anehnya, para anggota Tim melakukan ekskavasi, penggalian, pengeboran, dan pembuatan ‘sungai di terowongan bawah kaki Gunung Padang’. Tindakan itu tidak perlu dilakukan karena sebenarnya jika ingin kepastian tentang ada atau tak ada – saya memastikan tidak ada karena melihat struktur bebatuan dan serakan bebatuan di Gunung Padang yang mirip dengan yang ada di Machu Picchu yakni penggunaan ikatan batu tanpa perekat.

Teknik meletakkan batu ini yakni dengan mencari dan mencocokkan ukuran dan bentuk batu untuk saling mengait. Hasil dari sebaran bebatuan dan sistem dan teknologi menyusun batu tanpa perekat menunjukkan bahwa di bawah Gunung Padang hanya tanah padat alamiah belaka – seperti dibuktikan oleh kegiatan Tim Peneliti yang menggali bagian bawah kaki Gunung Padang yang sekarang menghasilkan ‘sungai di terowongan atau kolam’.

Seharusnya perusakan tak perlu terjadi jika teknologi tinggi digunakan untuk (1) mengakhiri kontroversi Gunung Padang yang diliputi mitos dan dugaan ngawur, (2) menghindari pengadaan proyek penelitian yang membuang uang negara, (3) berbiaya murah dan menyelamatkan uang negara, (4) tidak melanggar hukum Kepurbakalaan karena tidak merusak situs, (5) mengakhiri konflik kepentingan antara peneliti dan masyarakat di kampung tempat situs Megalitikum berada.

Dengan demikian, Jokowi perlu menghentikan penelitian atau memerintahkan pemamakaian alat pemindai susunan bebatuan – untuk menentukan adanya bangunan buatan manusia di dalam perut tanah Gunung Padang – sehingga tak merusak situs Megalitikum Gunung Padang sekaligus tidak melanggar aturan Undang-undang Kepurbakalaan. Plus tak menghamburkan uang untuk proyek sia-sia itu.

Oh ya. Siapa yang membuat sungai bawah tanah mirip terowongan berisi air? Tim peneliti. He he he.

Salam bahagia ala saya.

14136953501951625788

14136955441775193369

Ninoy N Karundeng

/ninoy

TERVERIFIKASI (BIRU)Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep “I am the mother of words – Saya Induk Kata-kata”. Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia …
Selengkapnya…

0
0
0
0
KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI TANGGUNGJAWAB PENU


LETAK I.B.U.K.O.T.A P.A.K.U.A.N Padjadjaran

$
0
0

Sandi Firmansyah

LETAK I.B.U.K.O.T.A P.A.K.U.A.N
Berita dari Naskah

12105877_10205673692707633_3518942936603575442_nDalam kropak (Tulisan pada rontal atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Museum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan.

Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama ” Carita Parahiyangan “.

Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.

Di dinya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati.

Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah.
Disiar ka hulu Cipakancilan.

Katimu Bagawat Sunda Mayajati.

Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa”.
(Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai (dibangun) lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan.Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa). Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari ” H.U.L.U C.I.P.A.K.A.N.C.I.L.A.N “.

Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung L.A.W.A.N.G G.I.N.T.U.N.G yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut C.I.A.W.I.

Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernam Cipakancilan.

Hanyalah juru pantun kemudian menterjemahkannya menjadi C.I.P.E.U.C.A.N.G. Dalam bahasa Sunda kuno dan Jawa kuno kata “Kancil” memang berarti “Peucang”.

Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan ” Cetakan Tangan ” untuk Universitas Leiden (Belanda).

Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada 4 orang ahli yang meneliti isinya.

Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.

Prasasti Batu Tulis di sungai Ciaruten

12088056_10205673695387700_5188418462556969063_n

Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903).

Dalam tulisan “Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg”
(Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor),
Pleyte menjelaskan :

” ..Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran’s koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten ..”

(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih dipercayai menunjuk kampung Batutulis yang sekarang sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran, masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).

Ahmad Y. Samantho di Prasasti Batutulis Ciaruteun Ciampea Bogor, 10 September 2013Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang.

Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.

Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas ” D.A.L.E.M K.I.T.H.A ” (Jero kuta) dan ” J.A.W.I K.I.T.H.A ” (Luar kuta).

Pengertian yang tepat adalah ” Kota Dalam ” dan ” Kota Luar “.

Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jl. Siliwangi dengan Jl. Batutulis.

Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat.

Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang.

Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang oleh data kepurbakalaan dan sumber sejarah.

Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa ” L.E.U.W.I S.I.P.A.T.A.H.U.N.A.N ” yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ciliwung dalam Kebun Raya Bogor.

Menurut kisah klasih, “Leuwi” (Lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi oleh puteri-puteri penghuni istana.
Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari “Leuwi Sipatahunan” itu.

Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen “Cakrabirawa” (Kesatrian) dekat perbatasan kota.
Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama “M.I.L.A K.A.N.C.A.N.A”.

Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan.

Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya.
Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar.

Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini “Kuta Maneuh”.

Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690).
Kunci laporan Winkler tidak pad sebuah “hoff” (Istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata ” P.A.S.E.B.A.N ” dengan 7 batang beringin pada lokasi Gang Amil.

Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas ” B.A.L.A.Y ” yang lama.

Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte.

Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti “Porte Brisee, bewaakte in-en uitgang
(pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya).

Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.Map of Jl. Lawang Saketeng, Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16123

Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop “Rangga Gading”.

Setelah menyilang Jl. Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut.

Deretan pertokoan antara Jl. Suryakencana dengan Jl. Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng.

Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung.

Deretan kios dekat simpangan Jl. Siliwangi – Jl. Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng.

Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded.

Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyiang Jl. Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jl. Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.

Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan “benteng alam” yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis.

Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan.598836_419161118106934_898957350_n

Tebing Cipakancilan memisahkan “ujung benteng” dengan “benteng” pada tebing Kampung Cincaw.

Foto Sandi Firmansyah.

Artikel Terkait:

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2014/02/04/petisi-selamatkan-situs-istana-pajajaran/

https://gentrapajajaran.wordpress.com/2013/01/25/batu-tempat-pelantikan-raja-raja-tarumanagara-dan-pajajaran/


Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda,

$
0
0
  • Sejarah;
    12105877_10205673692707633_3518942936603575442_nPakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.
  •   photo batutulis2.jpgHampir secara umum penduduk Bogor mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota Pakuan, ibukota Pajajaran. Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:

    Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
    K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar (“op rijen staande pakoe bomen”).
    G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian “paku”, akan tetapi harus diartikan “paku jagat” (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. “Pakuan” menurut Fouffaer setara dengan “Maharaja”. Kata “Pajajaran” diartikan sebagai “berdiri sejajar” atau “imbangan” (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti “Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit”. Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
    R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata “Pakuan” mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno “pakwwan” yang kemudian dieja “pakwan” (satu “w”, ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan “pakuan”. Kata “pakwan” berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti “istana yang berjajar”(aanrijen staande hoven).
    H. Ten Dam (1957). Sebagai Insinyur Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian “Pakuan” ada hubungannya dengan “lingga” (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian “paku”.
    Ia berpendapat bahwa “pakuan” bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata “pajajaran” ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara Sungai Besar dengan Sungai Tanggerang (disebut juga Ciliwung dan Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama “Pajajaran” muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau “Dayeuh Pajajaran”.
    Sebutan “Pakuan”, “Pajajaran”, dan “Pakuan Pajajaran” dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.
    Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi “Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata” (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
    Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut “pakuan” itu adalah “kadaton” yang bernama Sri Bima dan seterunya. “Pakuan” adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka-lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu “istana yang berjajar”. Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik “panca persada” (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.
    Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya: Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
    Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama “Dayo” (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama “Dayo” didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata “dayeuh” (bukan “pakuan”) bila bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata “dayeuh“, sedangkan dalam kesusastraan digunakan “pakuan” untuk menyebut ibukota kerajaan.
    Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut digunakan “Pakuan” untuk nama ibukota dan “Pajajaran” untuk nama negara, seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.

    LOKASI KUNO

    NASKAH KUNO

    Dalam kropak  (tulisan dari daun lontar atau daun nipah yang diberi nomor 406 di museum pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan.. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan (biasa tulisan dari daun lontar tulisan dari daun lontar atau daun  nipah yang diberi daun nipah yang diberi nomor 406 di Museum Pusat lontar atau daun nipah yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
    Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
    (Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
    Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak kraton diketaui bhawa Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak kraton tidak akan terlalu jauh dari hulu  Ci Pakancilan. Hulu Sungai ini terletak di dekat lokasi kampung lawang Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari “hulu Ci Pakancilan”. Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata “kancil” memang berarti “peucang”.

    BERITA-BERITA VOC

    Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC (“Verenigde Oost Indische Compagnie”/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC (“East India Company”), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.
    Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.

    LAPORAN SCIPIO

    Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:

    Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik “Unitex” sekarang. Catatannya adalah sbb.: “Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni”.
    Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat “Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit”. Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
    Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan “kesan wajah” kerajaan hanyalah “Situs Batutulis”.
    Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort” (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).
    Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan khayalan adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.

    LAPORAN ADOLF WINKLER(1690)

    Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur.

    Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut :

    Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut “twee lanen“. Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
    Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi “parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak (“de diepe dwarsgragt van Pakowang”) yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
    Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan  dan lahan antara Parung Angsana. Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks “Unitex” itu pada jaman Pajajaran merupakan “Kebun Kerajaan”. Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti “tanam, tanaman atau kebun”. Tajur Agung sama artinya dengan “Kebon Gede atau Kebun Raya”. Sebagai kebun kerajaan, Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku “Tulus Rejo” sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke “Sekip” dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung.
    Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (“het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben”). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh (7) batang pohon beringin.
    Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Batutulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca (“Purwa Galih”), maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh “Gang Amil”. Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung). Bale kambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.
    Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan “benteng batu” yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
    Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa “Istana Pakuan” itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).
    Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata “stond” (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.
    Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara “Kabuyutan” Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, “pohon campaka warna” (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.

    LAPORAN ABRAHAM VAN RIEBEECK(1703,1704,1709)

    Abraham adalah putera Joan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
    Rute perjalanan tahun 1703: Benteng – Cililitan – Tanjung – Serengseng – Pondok Cina – Depok – Pondok Pucug (Citayam) – Bojong Manggis (dekat Bojong Gede) – Kedung Halang – Parung Angsana (Tanah Baru).

    Rute perjalanan tahun 1704: Benteng – Tanah Abang – Karet – Ragunan – Serengseng – Pondok Cina dan seterusnya sama dengan rute 1703.

    Rute perjalanan tahun 1709: Benteng – Tanah Abang – Karet – Serengseng – Pondok Pucung – Bojong Manggis – Pager Wesi – Kedung Badak – Panaragan.
    Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang “de toegang” (jalan masuk) atau “de opgang” (jalan naik) ke Pakuan.

    BEBERAPA HAL YANG DAPAT DIUNGKAPKAN DARI KETIGA PERJALANAN VAN RIEBEECK ADALAH:

    Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
    Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada jaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
    Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota.

    Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.

    Pada kunjungan tahun 1704, di seberang “jalan” sebelah barat tempat patung “Purwa Galih” ia telah mendirikan pondok peristirahatan (“somerhuijsje”) bernama “Batutulis”. Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.

    HASIL PENELITIAN

    Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan “cetakan tangan” untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.

    Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau “Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor”, Pleyte menjelaskan,

    Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran’s koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten”.
    (Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih terpercaya, kampung Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggallah menelusuri letaknya yang tepat).
    Sedikit kotradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
    Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas “Dalem Kitha” (Jero kuta) dan “Jawi Kitha” (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah “kota dalam” dan “kota luar”. Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
    Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa “Leuwi Sipatahunan” yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari “Leuwi Sipatahunan” itu.
    Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen “Cakrabirawa” (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama “Mila Kencana”. Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini “Kuta Maneuh”.
    Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata “paseban” dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas “balay” yang lama.
    Panelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, “Lawang Saketeng” berarti “porte brisee, bewaakte
    in-en uitgang” (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
    Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng.
    Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi – Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
    Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan “benteng alam” yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan “ujung benteng” dengan “benteng” pada tebing Kampung Cinca

    PEMERINTAHAN DI PAKUAN PAJAJARAN

    Kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang di antaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
    Dalam Carita Parahiyangan disebutkan “estri larangan ti kaluaran”. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut “perundang-undangan” waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan.
    Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata).
    Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai “Susuhunan” karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
    Masa Akhir Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran berlangsung selama 97 tahun, yang secara berturut-turut dipimpin oleh

    Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521)
    Surawisesa (1521 – 1535)
    Ratu Dewata (1535 – 1534)
    Ratu Sakti (1543 – 1551)
    Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
    Raga Mulya (1567 – 1579)

    SUMBER: http://www.kotabogor.go.id/pariwisata/sejarah-bogor/4233-prasasti-batutulis

 


Telaga Purba Borobudur dan Awalmula Peradaban

$
0
0
SELASA 20 OKTOBER 2015 18:11 WIB
DIBACA (4347)
indonesiana-Dhani Irwanto by Dhani Irwanto
indonesiana-Borobudur_Lake.jpg

Lembah Progo, atau kadang-kadang disebut Lembah Kedu, adalah dataran vulkanik yang subur yang terletak di antara gunung-gunung berapi di Jawa Tengah, Gunung Sumbing dan Gunung Sundoro di sebelah barat, dan Gunung Merbabu dan Gunung Merapi di sebelah timur. Dataran tersebut juga berbatasan dengan Bukit Menoreh di sebelah barat daya dan Dataran Prambanan di sebelah tenggara. Sungai Progo mengalir di tengah-tengahnya, dari sumbernya di lereng Gunung Sumbing ke pantai selatan Jawa menuju Samudera Hindia. Dataran ini memiliki arti penting dalam sejarah Jawa Tengah selama lebih dari satu milenium, karena terdapat peninggalan-peninggalan Dinasti Sailendra serta Borobudur dan tempat-tempat lainnya. Menurut cerita rakyat setempat, Lembah Progo adalah tempat ‘suci’ di Jawa  dan dijuluki “taman Jawa” karena tingkat kesuburan pertaniannya yang tinggi.

Pulau Jawa merupakan bentangan memanjang daratan, panjangnya lebih dari 1000 km dan lebarnya sekitar 100 km dari utara ke selatan. Pantai utara yang menghadap Laut Jawa berbatasan dengan dataran aluvial dengan lebar yang bervariasi, antara 40 km sampai beberapa kilometer di Jawa Tengah. Lebih jauh ke pedalaman, terdapat Pegunungan Serayu Utara yang sejajar dengan pantai. Gunung-gunung utamanya adalah, dari barat ke timur, Slamet (3432 m), Ragajembangan (2177 m), Prahu (2.565 m) dan Ungaran (2050 m). Pegunungan Serayu Utara berlanjut ke timur sampai dengan Pegunungan Kendeng, yang mencapai ketinggian 899 m. Di sebelah selatan pegunungan ini terdapat Zona Depresi Tengah, yang meliputi dataran dengan ukuran yang bervariasi, seperti dataran-dataran Purwokerto, Magelang, Yogyakarta, Solo, Purwodadi dan Ngawi. Zona depresi ini sebagian dibatasi oleh serangkaian gunungapi yang tinggi: Sundoro (3155 m), Sumbing (3371 m), Merbabu (3145 m), Merapi (2947 m) dan Lawu (3265 m). Zona Depresi Tengah dibagi lagi dengan adanya Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan Menoreh. Hampir membentang di sepanjang pulau, Zona Depresi Tengah berbatasan di sebelah selatan dengan Pegunungan Selatan, sebuah rangkaian pegunungan terjal yang berbatasan dengan Samudera Hindia.

Di Jawa Tengah, dengan pengecualian bagian paling timur, Zona Depresi Tengah tidak dibatasi oleh pegunungan. Datarannya pelan-pelan menurun kearah selatan menuju ke Samudera Hindia. Sejarah Jawa Tengah, yang meliputi Lembah Progo dan daerah sekitarnya yang berbatasan langsung, merupakan zona transisi antara lanskap pegunungan barat yang tertutup dan dataran yang terbuka di sebelah timur. Secara geografi, Lembah Progo dapat dipandang sebagai perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sungai Serayu yang berujung di Gunung Sundoro mengalir ke barat melalui dataran Wonosobo-Purwokerto, hingga mencapai Samudera Hindia di sekitar Cilacap. Sungai Progo menjadi sungai utama dalam sejarah Jawa Tengah. Berbeda dengan sungai lainnya yang berasal dari Depresi Tengah dan berarah ke timur atau ke barat, Sungai Progo mengalir langsung dari utara ke selatan. Ujung utamanya di Gunung Sundoro, kecuali anak sungai utamanya, Sungai Elo, berujung di Gunung Merbabu.

Lembah Progo merupakan tempat bagi sejumlah besar candi-candi Dharma dan Buddha yang dibangun dari abad ke-8 sampai ke-9. Oleh karena itu, Lembah Progo dianggap sebagai tempat lahirnya peradaban klasik Indonesia. Candi-candi di kawasan ini mencakup sebagai berikut.

Borobudur: candi Buddha yang berupa mandala batu raksasa abad ke-8 yang dibangun oleh Dinasti Sailendra.

Mendut: candi Buddha abad ke-8 yang didalamnya terdapat tiga patung batu besar Wairosana, Awalokiteswara dan Wajrapani.

Pawon: candi Buddha kecil abad ke-8 di tepian Sungai Progo yang terletak antara Candi Mendut dan Candi Borobudur.

Ngawen: candi Budha abad ke-8 yang terletak sekitar 5 kilometer di sebelah timur Candi Mendut.

Banon: sebuah reruntuhan candi Dharma; terletak beberapa ratus meter di sebelah utara Candi Pawon. Namun, hanya sedikit sisa-sisa candi yang selamat, sehingga tidak mungkin untuk dilakukan rekonstruksi. Hanya patung Siwa, Wisnu, Agastya dan Ganesha yang telah ditemukan, sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Canggal: juga dikenal sebagai Candi Gunung Wukir. Merupakan salah satu candi Dharma yang tertua di daerah tersebut. Candi ini terletak di daerah Muntilan, di dekat candi telah ditemukan Prasasti Canggal yang terkait dengan Sri Sanjaya, raja Kerajaan Medang.

Gunungsari: berupa reruntuhan candi Dharma di atas bukit, yang terletak di dekat Candi Gunung Wukir, di pinggiran kota Muntilan.

Umbul: di Grabag, Magelang; berupa tempat mandi dan peristirahatan bagi raja-raja Medang.

 Distribution of Central Java Temples (2)

Gambar 1.  Sebaran candi di Jawa Tengah

Lebih dari 300 sisa-sisa candi pernah ditemukan di Jawa Tengah, tersebar di seluruh wilayah tersebut. Saat ini, sebagian besar reruntuhan candi telah lenyap. Beberapa diantaranya digunakan sebagai bahan untuk membangun rumah, masjid atau jembatan. Yang lainnya telah rusak dengan berjalannya waktu atau tertimbun akibat aktivitas manusia. Situasi yang hampir lebih baik masih dapat diamati dari situs-situs selebihnya: beberapa candi hanya menyisakan puluhan batu yang tersebar di kebun atau di sepanjang jalan. Diluar semua itu, beberapa candi tertentu masih relatif utuh dan telah dilakukan pemugaran untuk menghidupkannya kembali. Setelah selesai dipugar, candi-candi ini menunggu untuk dikunjungi dan dikagumi.

Candi Borobudur

Candi Borobudur adalah salah satu monumen Buddha terbesar di dunia, dibangun pada abad ke-8 dan ke-9 pada masa pemerintahan Dinasti Sailendra. Monumen ini terletak di Lembah Progo, di bagian selatan Jawa Tengah, di tengah pulau Jawa, Indonesia.

Borobudur Temple

Gambar 2.  Candi Borobudur

Candi utama berupa stupa-stupa yang dibangun dalam tiga tingkatan diatas bukit alami: bagian bawah berupa dasar piramida terdiri dari lima teras persegi yang konsentris, diatasnya berupa dasar kerucut dengan tiga lantai yang melingkar dan paling atas berupa sebuah stupa besar. Dinding dan langkannya dihiasi dengan relief, dengan luas permukaan total 2.520 m2. Pada lantai yang melingkar terdapat 72 stupa kurungan, masing-masing berisi sebuah patung Buddha.

Pembagian vertikal Candi Borobudur berupa dasar, tubuh dan suprastruktur adalah selaras sempurna dengan konsepsi alam semesta dalam kosmologi Buddha. Diyakini bahwa alam semesta ini dibagi menjadi tiga bidang lapisan, Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu, yang mewakili masing-masing bidang keinginan dimana kita terikat, dimana kita meninggalkan tetapi masih terikat dengan nama dan bentuk, dan bidang tak berbentuk dimana tidak ada lagi ikatan nama atau bentuk. Didalam Candi Borobudur, Kamadhatudiwakili oleh dasar, Rupadhatu oleh lima teras persegi, dan Arupadhatu oleh tiga lantai melingkar serta stupa besar. Seluruh struktur menunjukkan campuran unik ide-ide yang sangat sentral tentang pemujaan leluhur, yang berkaitan dengan gagasan gunung bertingkat, dikombinasikan dengan konsep Buddha mencapai Nirwana.

Candi ini juga harus dilihat sebagai sebuah monumen dinasti yang luar biasa yaitu Dinasti Sailendra yang memerintah Jawa selama sekitar lima abad sampai abad ke-10.

Kompleks Candi Borobudur terdiri dari tiga monumen: yaitu Candi Borobudur dan dua candi kecil yang terletak di sebelah timur pada sebuah sumbu yang langsung ke Borobudur. Kedua candi yang lain adalah Candi Mendut, berupa penggambaran Buddha yang terbuat dari batu monolit keras didampingi oleh dua Bodhisatwa, dan Candi Pawon, berupa sebuah candi kecil yang bagian dalamnya tidak mengungkapkan dewa siapa yang menjadi obyek pemujaan. Ketiga monumen mewakili fase-fase dalam pencapaian Nirwana.

Candi utama digunakan sebagai candi Buddha dari mulai konstruksi sampai suatu waktu antara abad ke-10 dan ke-15 yang kemudian ditinggalkan. Sejak penemuan kembali pada abad ke-19 dan restorasi pada abad ke-20, candi tersebut telah menjadi situs arkeologi Buddha.

Borobudur disebutkan dalam Serat Centhini, sebuah kompilasi dua belas volume tentang cerita dan ajaran Jawa, ditulis dalam bait-bait dan diterbitkan pada tahun 1814. Pengetahuan ke seluruh dunia tentang keberadaan Borobudur dipicu pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang kemudian menjadi penguasa Inggris di Jawa, setelah ditunjukkan lokasinya oleh orang Indonesia asli. Semenjak itu, Borobudur telah diperbaiki melalui beberapa pemugaran. Proyek pemugaran terbesar dilakukan antara tahun 1975 dan 1982 oleh pemerintah Indonesia dan UNESCO, setelah monumen itu terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Borobudur masih digunakan sebagai tempat upacara keagamaan; setahun sekali, umat Buddha di Indonesia merayakan Waisak di tempat tersebut, dan Borobudur merupakan daya tarik wisata penting yang paling banyak dikunjungi di Indonesia.

 Potongan-candi-borobudur-2

Gambar 3.  Potongan melintang Candi Borobudur. A: timbunan tanah; B, C dan D: lapisan horizon.

Letusan Gunung Merapi

Merapi (2.911 m) mungkin adalah gunungapi yang paling dikenal di sekitar cekungan Borobudur. Gunung ini adalah salah satu anggota kelompok empat gunungapi yang mencakup Ungaran, Telomoyo dan Merbabu. Merapi adalah gunungapi yang paling aktif di kepulauan Indonesia dan juga paling berbahaya, dengan aktivitas hampir terus menerus yang menjadi ancaman serius bagi penduduk sekitarnya (misalnya Newhall et al, 2000; Thouret et al, 2000). Oleh karena itu, Merapi telah menjadi obyek berbagai penelitian dalam letusan terakhirnya (misalnya Charbonnier dan Gertisser, 2008; Gomez et al, 2008; Lavigne dan Thouret, 2003), evolusi dan sejarah letusannya (misalnya Andreastuti et al, 2000; Camus et al, 2000; Gertisser dan Keller, 2003a; Kalscheuer et al, 2007; Newhall et al, 2000; Voight et al, 2000), serta bahaya dan risiko terkaitnya (misalnya Lavigne et al, 2008; Thouretet al, 2000).

Sebuah runtuhan struktur Merapi Purba diikuti oleh letusan-letusan yang mengakibatkan bencana telah membuang bahan runtuhan dan letusan ke daerah di sekitarnya (van Bemmelen, 1949). Mengadopsi ide awal yang dikemukakan oleh Ijzerman (1891) dan Scheltema (1912), dan dikembangkan oleh van Hinloopen Labberton (1922), van Bemmelen berpendapat bahwa runtuhan dan letusan yang terjadi pada 1006 M telah melemahkan peradaban Medang di Jawa Tengah, menyebabkannya untuk berpindah ke Jawa Timur. Letusan berikutnya telah membangun Merapi Baru yang sebagian besar mengisi kawah yang runtuh. Wirakusumah et al (1980, 1989) telah menyusun peta geologi yang meliputi Merapi Purba dan Baru, dan menambahkan kronologi radiokarbon awal; kemudian Wirakusumah et al (1986), Bronto dan Sayudi (1995), Bronto et al (1997) dan Andreastuti et al (2000) menambahkan lagi rincian stratigrafi yang penting.

 Geology of Merapi as inferred by van Bemmelen (1949) (2)

Gambar 4.  Geologi Merapi yang disimpulkan oleh van Bemmelen (1949)

Geological Setting of Merapi

Gambar 5. Tatanan geologi Merapi (Rahardjo et al, 1977)

Merapi memiliki sejarah yang kompleks dengan berbagai tahap, dengan usulan penjelasan yang berbeda-beda (misalnya Berthommier, 1990; Camus et al, 2000; Gertisser dan Keller, 2003b; Newhall et al, 2000). Diluar keragaman ini, dipilih untuk mengadopsi kerangka waktu berikut untuk tujuan praktis, meskipun temuan-temuannya memerlukan evaluasi ulang terhadap pengusiaan yang diusulkan dalam literatur: (1) periode pertama dari akhir Holosen sampai sekarang; (2) Merapi Purba dari ~ 10.000 tahun SS (sebelum sekarang) sampai akhir Holosen; (3) Proto-Merapi, sampai sebelum ≈ 10.000 tahun SS, menggunakan ‘proto’ seperti istilah aslinya.

Fase terbaru, dimana semua penulis setuju, ditandai dengan aliran piroklastik dan lahar yang menyertai tumbuh dan runtuhnya kubah lava puncak yang aktif. Meskipun kejadian-kejadian historis tersebut cenderung untuk mengendap di lereng gunung, endapan aliran piroklastik Holosen meliputi wilayah yang luas dan membentuk sebagian besar apron gunung.

Periode pertama berupa penutupan tebal lava andesit basalan diselingi dengan endapan piroklastik gunungapi purba, dimana para ilmuwan menamakannya Merapi Purba. Tidak ada pengusiaan yang tepat perihal tahap awal Merapi Purba ini. Newhall et al (2000) mengusulkan pengusiaan 9630 ± 60 tahun SS (pengusiaan 14C) dan Gertisser (2001) mengusiakan sedikit lebih awal yaitu 11.792 ± 90 tahun SS. Sedikit yang diketahui tentang periode ini, namun Andreastuti et al (2000) telah mengidentifikasi tahap akhirnya (3000 SS sampai 250 SS) dengan serangkaian letusan subplinian, plinian dan volcanian, sementara tahap ini didominasi oleh peristiwa-peristiwa yang terkait dengan runtuhan kubah.

Bagian gunungapi yang lebih tua ini (Merapi Purba) ditandai dengan berbentuknya sebuahSomma rim berbentuk tapal kuda, berorientasi kearah barat, dimana terbentuk teori tentang runtuhnya satu atau beberapa sektor dan mengakibatkan tumpukan material longsoran. Gagasan ini pertama kali diusulkan oleh Ijzerman (1891), kemudian Scheltema (1912) dan akhirnya dikembangkan oleh van Hinloopen Labberton (1922). Pada tahun 1949, van Bemmelen mengadopsi gagasan ini dan membahas sebuah runtuhan gunung Merapi Purba sekitar 1006 M, yang menjadi penyebab pindahnya kekuasaan peradaban Medang kearah Timur. Namun, Newhall et al (2000) merangkum bukti arkeologi bahwa pindahnya kerajaan Medang di Jawa Tengah tidak terjadi pada 1006 AD, tetapi hampir satu abad sebelumnya, dan menyarankan usia yang jauh lebih tua untuk runtuhnya sayap Merapi: 1900 ± 60 tahun SS. Pengusiaan ini ditantang oleh Camus et al (2000), yang mengusulkan runtuhnya adalah antara 6700 dan 2200 SS. Perlu dicatat bahwa semua upaya ini adalah terbatas pada waktu runtuhnya Merapi Purba (dan terkait dengan penumpukan material longsoran) yang didasarkan pada bukti tidak langsung, karena penumpukan material longsoran yang bisa dikaitkan dengan peristiwa tersebut belum ditemukan. Penumpukan material longsoran, jika ada, mungkin terkubur dibawah tumpukan yang lebih baru (Newhall et al, 2000). Memang, Candi Sumbersari (10 m tingginya) telah terkubur dibawah material klastik dalam waktu kurang dari seribu tahun, dan Candi Kedulan telah terkubur selama ~ 400 tahun sedalam 2,5 m. Dengan demikian, penumpukan material longsoran tidak mungkin muncul sebagai singkapan, jika ada.

Literatur yang ada juga menyampaikan gagasan mengenai telaga purba di cekungan Borobudur, terletak di sebelah barat Gunung Merapi, yang telah terbentuk sekitar 660 ± 11014C tahun SS (Newhall et al, 2000) oleh potensi material longsoran. Murwanto et al (2004) mengembangkan gagasan ini didasarkan pada beberapa penentuan usia 14C, memperpanjang keberadaan telaga dari Holosen sampai periode sejarah.

Aktivitas vulkanik Merapi tentu telah dimulai lebih awal dari tahap Merapi Purba seperti dijelaskan diatas. Berthommier (1990) dan Camus et al (2000) berpendapat bahwa perkembangan vulkaniknya dimulai dari akhir Pleistosen yaitu tahap ‘Merapi Purba’ (atau tahap ‘Proto-Merapi’; Newhall et al, 2000), ~ 40.000 tahun SS, berdasarkan pengusiaan U-Th yang dilakukan pada basal-basal Gunung Turgo/Plawangan.

Tahap awal Merapi ini telah terbangun diatas sebuah struktur vulkanik andesit basalan yang lebih tua, Gunung Bibi, pengusiaannya dengan metode K/Ar adalah pada 670.000 ± 250.000 tahun SS (Berthommier, 1990; Camus et al, 2000). Interpretasi struktur vulkanik purba ini masih kontroversial, karena didasarkan pada sebuah pengusiaan saja, dengan margin kesalahan yang signifikan. Bahkan, Newhall et al (2000) menyatakan bahwa Gunung Bibi bisa jadi adalah kerucut parasit muda Merapi.

Geologi Cekungan Borobudur

Terletak di Jawa Tengah, 30 km sebelah utara kota Yogyakarta, Cekungan Borobudur adalah sebuah depresi yang terletak diantara gunungapi Merapi dan Merbabu di sebelah timur, gunungapi Sumbing di sebelah utara dan pegunungan Menoreh di sebelah barat dan selatan. Akibatnya, Cekungan Borobudur sebagian terisi oleh material klastik diselingi dengan material sungai  (Gambar 6) dan tumpukan endapan telaga (Murwanto et al, 2004; Newhall et al, 2000). Sungai Progo, dan anak sungai utamanya, Sungai Elo, mengalir di cekungan Borobudur, memotong lembah endapan material sungai-telaga dan vulkanik dengan tepian yang curam.

 Location of the Borobudur basin and location of the four deep cores (Gomez et al, 2010)

Gambar 6. Lokasi Cekungan Borobudur dan lokasi empat bor inti dalam (dari Gomez et al, 2010)

Geology of MerapiMurwanto & Subandrio (1997) (2)

Gambar 7. Profil geologi Lembah Progo (dari Murwanto dan Subandrio, 1997)

Dataran aluvial di tengah lembah, sekitar Sungai Sileng dan Progo, terdiri dari material lepas abu-abu, cokelat kehitaman dari letusan Gunung Merapi dan Gunung Sumbing, dan batuan andesit beku dari Perbukitan Menoreh. Litologi daerah Borobudur di bagian utara-barat, utara-timur dan selatan-timur adalah batuan Kuarter masing-masing dari Gunung Sumbing, Merbabu dan Merapi; di sisi utara adalah breksi vulkanik Gunung Tidar. Di sisi barat, terdapat batuan porfiri diorit dan di selatan adalah breksi vulkanik formasi andesit tua. Murwanto (1996) mengatakan bahwa di bagian tengah, di sekitar bukit-bukit Borobudur, adalah material pasir tanahliat, berwarna abu-abu kehitaman, yang terbentuk oleh telaga purba Borobudur, dan ditutupi oleh lapisan piroklastik usia terbaru dari Gunung Merapi.

Batulumpur berpasir ditemukan di daerah ini berupa endapan telaga, sarat dengan serbuk sari dari tanaman habitat rawa yang berada di Cekungan Borobudur sampai akhir abad ke-13. Endapan tersebut tersingkap di lembah bawah Sungai Progo, Elo dan Sileng. Diatas batulumpur berpasir terdapat tufa lapili abu-abu kecoklatan yang mengandung fragmen berpori, batu apung kompak dengan ketebalan lebih dari sepuluh meter, akibat aktivitas vulkanik Kuarter di utara (Murwanto 1996).

Ekosistem daerah ini juga dipengaruhi oleh gunung Menoreh, dari kata Jawa Kuno yang berarti ‘menara’ (Soekmono, 1976), bagian dari formasi pegunungan Kulon Progo, daerah yang memberikan air ke Lembah Progo. Bukit Menoreh adalah formasi vulkanik berusia Tersier. Bukit Menoreh adalah rawan terhadap gerakan tanah dan longsor, terutama di daerah yang relatif curam, karena terdiri dari tanah liat tebal tercampur dengan pasir dan pelapukan breksi andesit. Pada musim kemarau, tanah bukit tersebut berpori dan mudah retak. Hujan dengan intensitas sedang selama dua jam sudah cukup untuk memicu tanah longsor di Bukit Menoreh.

Tanah tinggi di daerah Borobudur mencapai ketinggian sekitar 200 – 350 meter diatas permukaan laut. Sebagian besar lahannya relatif datar, dengan kemiringan bergelombang hingga 0 – 7 °. Daerah yang curam dengan kemiringan 25 – 40 ° sebagian besar berada di Pegunungan Menoreh.

Geomorfologi daerah Borobudur, menurut Van Bemmelen (1970), terbentuk oleh proses tektonik orogenesis Plio-Pleistosen pada periode Tersier Akhir, sekitar satu sampai dua juta tahun yang lalu. Sebagai hasil proses yang sedang berlangsung dari awal sampai sekarang, cekungan endapan tersier Kulonprogo terlipat, terangkat dan tersesar, membentuk kubah Kulonprogo. Di sisi utara, struktur kubah Kulonprogo terganggu oleh sesar normal beberapa tingkat dan membentuk ngarai dan tebing di Pegunungan Menoreh, yang membentang dari timur ke barat sepanjang hampir dua puluh kilometer. Sesar di bagian utara blok kubah Kulonprogo menunjam kebawah permukaan laut, sementara beberapa puncaknya terangkat, menciptakan deretan bukit terisolir (yaitu Bukit Gendol, Sari, Pring, Borobudur, Dagi dan Mijil). Daerah yang menunjam pada masa Kuarter berkembang lebih lanjut menjadi cekungan endapan Kuarter Borobudur.

Pada saat itu, cekungan Borobudur terhubung baik ke Samudera Hindia melalui celah Graben BantuI di selatan maupun ke Laut Jawa di utara. Adanya air asin di desa Candirejo, Sigug dan Ngasinan (yang berarti asin), dan juga di Kars Menoreh, adalah bukti bahwa daerah Borobudur pernah dibawah permukaan laut.

Mendekati akhir orogenesis Plio-Pleistosen, aktivitas magmatik mulai muncul di sisi utara Cekungan Borobudur, membentuk serangkaian gunungapi muda pada periode Kuarter seperti Sumbing, Sindoro, Tidar, Merbabu dan juga Merapi. Bahkan sekarang, Merapi adalah gunungapi yang paling aktif di dunia. Sejak itu, cekungan Borobudur secara bertahap berubah dari lingkungan laut ke laguna. Seiring dengan perkembangan tumbuhnya gunungapi, yang menjadi lebih tinggi dan lebih besar, cekungan tersebut seluruhnya terisolasi dari Samudera Hindia dan Laut Jawa. Akhirnya, cekungan antar gunung Borobudur terbentuk. Cekungan tersebut dikelilingi oleh deretan gunungapi muda dan Pegunungan Menoreh di sisi selatan. Cekungan tersebut adalah tertutup dan disebut cekungan terisolir (Sutikno et al, 2006). Selanjutnya, daerah ini diduga pernah menjadi telaga. Endapan telaga purba tersebut terkait erat dengan lingkungan yang membentuk air garam yang terkandung dalam batuan lempung hitam dalam endapan di tengah bawah telaga. Bukti dari hasil pengeboran selama proyek restorasi Borobudur pada tahun 1973 mendukung hal ini. Pada dataran bekas telaga terdapat air garam pada kedalaman lebih dari empat puluh lima meter, yang diduga sebagai air pembentuk.

Dalam 119.000 tahun terakhir, setidaknya dua peristiwa vulkanik besar tercatat di Cekungan Borobudur, tetapi cekungan belum terpengaruh oleh material longsoran besar dari Gunung Merapi, seperti yang diusulkan oleh beberapa penulis (van Bemmelen, 1949; Camus et al, 2000; Newhall et al, 2000). Selama dua peristiwa yang tercatat, rentang usia 119.000/115.000 tahun SS dan 31.000 tahun SS berdasarkan pengusiaan radiokarbon baru, meskipun sumber tumpukan tetap sulit dipahami. Diantara kedua peristiwa tersebut, gunung berapi yang mengelilingi Cekungan Borobudur mengalami beberapa letusan yang signifikan dan menghasilkan aliran piroklastik yang tersimpan di cekungan, selanjutnya membendung jaringan hidrografi dan menghasilkan setidaknya enam telaga purba selama 119.000 tahun terakhir. Telaga purba terbaru yang tercatat adalah sebelum 27.000 tahun SS dan menggenang sampai abad pertengahan di sekitar Sungai Sileng didekat Candi Borobudur. Jaringan hidrografi itu sangat terganggu oleh aktivitas gunungapi, menghasilkan tatanan endapan sungai dan telaga secara bergantian di lembah tersebut.

Sebuah studi oleh Gomez et al (2010) menguatkan interpretasi Murwanto et al (2004), bahwa, sebelum dan setelah konstruksi, Candi Borobudur berdiri disamping telaga purba, dan bahwa candi ini dan peradaban Medang tidak berpindah ibukota setelah ambigu letusan Merapi 1006 M (atau 928 M), dimana tidak ditemukan bukti apapun yang mendukung. Penelitian ini juga menekankan pada dua hal penting: (1) temuan ini menyerukan agar siap terhadap risiko yang lebih besar akan adanya bahaya besar ke depan yang perlu diantisipasi dan (2) pentingnya mengambil kesimpulan dari bukti yang kuat, dan dengan jelas memisahkan kesimpulan dan hipotesis. Misalnya, hipotesis van Bemmelen (1949) tentang letusan besar Merapi sekitar 1000 tahun yang lalu dan konsekuensinya terhadap Kerajaan Medang di Jawa Tengah, telah banyak ditulis dalam literatur, dan seakan-akan menjadi fakta yang diterima, sementara bukti-bukti baru belum dapat mempertahankan dugaan tersebut.

Hipotesis Telaga Borobudur

Pada tahun 1931, seorang seniman dan ilmuwan Belanda tentang arsitektur Dharma dan Buddha, WOJ Nieuwenkamp, mengembangkan suatu teori bahwa Lembah Progo pernah menjadi sebuah telaga dan Borobudur awalnya berupa bunga teratai yang mengapung diatas telaga. Bunga teratai yang ditemukan di hampir setiap karya seni Buddha, sering melambangkan tahta Buddha dan terukir pada dasar stupa. Arsitektur Borobudur itu sendiri menunjukkan gambaran teratai, dimana postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai, yang sebagian besar ditemukan di banyak teks penganut Buddha Mahayana (sekolah agama Buddha banyak tersebar di wilayah timur Asia). Tiga lantai atas yang melingkar juga diduga merupakan kelopak bunga teratai.

Nieuwenkamp menyarankan bahwa lanskap di dekat Borobudur meliputi sebuah telaga, sebuah candi diletakkan diatas telaga yang menyerupai bunga dan pola matematikanya dianggap menguntungkan, dan candi tersebut dihubungkan oleh jalan bersusunan bata dengan dinding di kedua sisinya. Telaga dan jalan tersebut kemudian tertimbun oleh abu vulkanik dari beberapa letusan Gunung Merapi, yang terletak sangat dekat di sebelah timurnya.

Teori Nieuwenkamp, bagaimanapun, dipertentangkan oleh banyak arkeolog, seperti Dumarçay dan Soekmono, yang mendebatkan bahwa lingkungan alam sekitar monumen itu adalah lahan kering. Teori ini kontroversial, tetapi bukti geologi baru-baru ini mendukung teori Nieuwenkamp tersebut.

Dumarçay bersama dengan Profesor Thanikaimoni telah mengambil sampel tanah pada tahun 1974 dan kemudian pada tahun 1977 dari parit uji yang digali pada bukit Borobudur, serta dari dataran di sebelah selatannya. Sampel ini kemudian dianalisis oleh Profesor Thanikaimoni, yang meneliti kandungan serbuk sari dan spora untuk mengidentifikasi jenis vegetasi yang tumbuh di daerah itu sekitar waktu pembangunan Borobudur. Mereka tidak dapat menemukan sampel serbuk sari atau spora yang merupakan karakteristik vegetasi yang diketahui tumbuh di lingkungan perairan. Daerah di sekitar Borobudur tampaknya telah dikelilingi oleh tanah pertanian dan pohon kelapa pada saat monumen dikonstruksi, seperti keadaan sekarang.

Caesar Voûte dan ahli geomorfologi JJ Nossin pada 1985-86 melakukan studi lapangan kembali untuk memeriksa hipotesis telaga Borobudur dan menyimpulkan bahwa tidak ada telaga di sekitar Borobudur pada saat konstruksi dan hanya digunakan secara aktif sebagai suaka alam.

Pada tahun 2000-an, para ahli geologi, di sisi lain, mendukung pandangan Nieuwenkamp ini, dengan menunjukkan endapan lempung yang terdapat di dekat situs. Sebuah studi stratigrafi, endapan dan sampel serbuk sari yang dilakukan pada tahun 2000 mendukung keberadaan lingkungan telaga purba didekat Borobudur tersebut, yang cenderung untuk mengkonfirmasi teori Nieuwenkamp.

Wilayah telaga berfluktuasi dengan waktu dan penelitian juga membuktikan bahwa Borobudur adalah berada didekat tepi telaga antara abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik telah membentuk lanskap di sekitarnya, termasuk telaga. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia, Gunung Merapi telah sangat aktif sejak Pleistosen.

Dalam mengkompromikan temuan-temuan tersebut, tampaknya pernah ada sebuah telaga di dekat Borobudur selama konstruksi dan pada saat aktif digunakan pada awal abad ke-9. Namun tidak sesuai dengan teori Nieuwenkamp – bahwa Borobudur adalah berupa sebuah teratai yang mekar di tengah kolam – telaga tidak sepenuhnya mengelilingi seluruh batuan dasar bukit Borobudur, tetapi hanya beberapa bagian kecil saja.

Ada kemungkinan bahwa bagian-bagian Lembah Progo yang lebih rendah di sekitar Borobudur di dekat sungai, pernah mengalami banjir dan menciptakan sebuah telaga dangkal kecil setidaknya pada abad ke-13 sampai ke-14. Bagian terdekat telaga memanjang ini diperkirakan berada sekitar 500 meter di sebelah selatan Borobudur di sepanjang sungai kecil yang mengalir ke tenggara yang kemudian bergabung dengan Sungai Progo. Telaga tersebut hanya menggenangi bagian bawah lembah yang terletak di sebelah selatan dan tenggara candi, sedangkan di sisi timur, barat dan utara adalah lahan kering yang mungkin dibudidayakan sebagai sawah, kebun dan pohon-pohon kelapa seperti sekarang. Ada kemungkinan terdapat telaga lain yang terletak beberapa ratus meter di sebelah selatan Candi Mendut pada pertemuan Sungai Progo dan Elo, dan di sebelah utara Candi Pawon sepanjang Sungai Progo. Telaga ini ada sampai antara abad ke-13 dan ke-14, ketika kemudian aktivitas vulkanik Merapi meruntuhkan bendungan alami dan akhirnya mengeringkan telaga.

Newhall et al, 2000

Setidaknya terdapat endapan pasir halus sampai lempung setebal 20 m membentang sampai dataran Progo dari titik barat-daya Merapi (Purbohadiwidjojo dan Sukardi, 1966; Nossin dan Voûte, 1986; Murwanto, 1996) (Gambar 4). Singkapan terbaik dapat dilihat di sepanjang Kali Sileng, anak Sungai Progo. Tak satu pun dari timbunan ini adalah endapan telaga diatom klasik putih; tetapi terdiri dari bahan klastik yang relatif baik, secara lokal dengan stratifikasi berskala halus. Dua satuan utama yang dikenal: urutan yang lebih tebal, hitam sampai abu-abu tertimbun dan tersimpan dalam lingkungan sempit, tertindih oleh urutan kuning-coklat yang lebih tipis, baik tertumpuk maupun selanjutnya dalam lingkungan oksidasi. Kayu yang diperoleh dari dekat dasar tumpukan endapan ini berusia 3430 tahun. Kayu dari bagian atas urutan endapan telaga ini berusia 860, 680 dan 660 tahun; pengusiaan oleh Murwanto, 1996.

Usia yang berbeda jauh mungkin menunjukkan: (a) sebuah telaga yang berumur panjang, pertama terbentuk sekitar 3430 tahun SS; (b) dua buah telaga, yang terbentuk dan menggenang sekitar 3430 tahun SS dan yang lain di daerah yang sama sekitar 860 – 660 tahun SS (sekitar 1200 – 1400 M); (c) sebuah telaga, terbentuk dan menggenang selama 1200 – 1400 M, dimana sepotong kayu yang jauh lebih tua terbawa; atau (d) perbedaan yang sistematis dan serius antara pengusiaan oleh dua laboratorium yang menguji.

Hipotesis (a) dan (b) adalah mungkin; (c) kurang mungkin karena kayunya tidak terkelupas seandainya terbawa dari erosi Merapi. Tidak ada alasan untuk mencurigai (d), karena belum ada pemisahan sampel yang dibagikan kepada kedua laboratorium untuk mengkonfirmasi konsistensinya. Hipotesis (b) mirip dengan kejadian di kaki Gunung Pinatubo, Filipina: sebuah telaga di kaki Pinatubo yang tertimbun lahar pada tahun 1991 telah terisi endapan sejak saat itu, dan penemuan sebuah perahu kuno di lokasi yang sama menunjukkan bahwa telaga tersebut juga terbentuk setelah letusan sebelumnya, dan telah menggenang sebelum adanya pemukiman modern (Umbal dan Rodolfo, 1996 dikutip oleh Newhall et al, 2000).

Dua sebab pembendungan yang mungkin: pengendapan cepat gunung api (seperti yang dijelaskan, misalnya oleh Umbal dan Rodolfo, 1996) atau pembendungan oleh material longsoran (misalnya oleh Siebert et al, 1987; Costa dan Schuster, 1988). Jika Sungai Progo sendiri terbendung, material pembendung yang relatif efektif adalah seperti oleh material longsoran yang tiba-tiba tampaknya lebih mungkin.

Nossin dan Voûte (1986) berpendapat bahwa terjadinya pembendungan Sungai Progo dan terbentuknya telaga Borobudur pasti terjadi pada waktu “jauh” sebelumnya, karena telaga harus terbendung oleh endapan, runtuh dan kemudian seluruh daerah harus terangkat secara tektonik sehingga terbentuk teras-teras yang terpotong pada endapan telaga. Namun, pengalaman pada pengendapan cepat di telaga Pinatubo menunjukkan skenario yang lebih sederhana: telaga dapat tergenang, terisi dan runtuh hanya dalam beberapa tahun sampai dekade, mungkin berabad-abad, dan teras-teras terbentuk terutama selama penyayatan kembali ke dasar. Pengangkatan tektonik tidak perlu terlibat.

Tiga usia muda radiokarbon endapan telaga Borobudur, berkisar 860 – 660 tahun SS menunjukkan adanya baik pengendapan lanjutan ataupun diperbaharui di telaga Borobudur. Seperti yang dibahas dalam kaitannya dengan Merapi Purba, penyebaran usia hampir 3000 tahun pada sedimen ini mungkin menunjukkan: (a) telaga berumur panjang, berlangsung sekitar 3430 – 660 tahun SS; atau (b) dua buah telaga, yang terbentuk dan tergenang sekitar 3430 tahun SS dan yang lain di daerah yang sama sekitar 860 – 660 tahun SS (sekitar 1200 – 1400 M). Catatan mengenai endapan tersebut adalah ambigu. Perubahan endapan dari hitam ke kuning menunjukkan bahwa sekitar 660 tahun SS, kondisi di dasar telaga lebih oksidan daripada sebelumnya, tetapi sedimen hitam tidak dapat dikaitkan dengan telaga awal dan sedimen kuning dengan telaga yang lebih muda, karena dua dari pengusiaan yang muda (860 dan 680 tahun SS) juga berupa batulempung hitam.

Kemungkinan bahwa telaga Borobudur (generasi 2?) ada, selama dan (atau) segera setelah pembangunan Candi Borobudur adalah informasi yang pasti akan menarik bagi para arkeolog.

Murwanto et al, 2004

Karakteristik stratigrafi, endapan dan serbuk sari batulempung mendukung keberadaan telaga purba Borobudur yang berselang-seling terbentuk antara masa glasial maksimum Pleistosen Akhir dan abad pertengahan akhir. Dalam selang 22.000 – 19.000 tahun SS, telaga tersebut membentang jauh ke utara dan timur. Sekitar 3000 SM luasan telaga menyempit dalam arah tenggara sampai baratlaut karena masuknya material vulkanik dari utara-timurlaut, dengan beberapa pulau diantara pertemuan Sungai Sileng dan Progo. Perubahan habitat terjadi berulang kali dari genangan air ke daratan, meskipun dengan frekuensi yang lebih tinggi di utara (inti Elo), yang lebih terbuka terhadap gerusan volkaniklastik dan konsentrasi endapan yang tinggi dalam aliran sungai, daripada di selatan (inti Sileng). Di sini, berada pada topografi rendah di kaki lereng curam Pegunungan Menoreh, kondisi telaga relatif lebih permanen. Hal ini terlihat jelas selama abad ke-13 sampai ke-14, ketika telaga terpisahkan menjadi dua bagian (Gambar 8). Tepian telaga yang mundur secara periodik terjadi akibat pengaruh kipas endapan Progo yang maju sejalan dengan fluktuasi endapan yang masuk dari hulu.

 Palaeolake Borobudur through space and time, a preliminary reconstruction.

Gambar 8. Rekonstruksi awal Telaga Borobudur (dari Murwanto et al, 2003)

Kurva ukuran butir unimodal 20% volume sedimen) ataupun aliran sungai normal (<20% volume sedimen). Oleh karena itu, stratigrafi inti tersebut tidak menunjukkan bukti pengaruh longsoran besar dari Gunung Merapi. Bukti yang cukup banyak ini menantang pandangan yang ada bahwa telaga tersebut merupakan konsekuensi kejadian tunggal setelah pembangunan Borobudur, misalnya pembendungan oleh bencana letusan atau material longsoran seperti yang pada awalnya diusulkan oleh van Bemmelen (1949). Dibandingkan dengan bagian lain daerah tropis, endapan tersebut lebih jauh lagi bukan karakteristik peristiwa erosif yang berkaitan dengan pembukaan lahan antropogenik, meskipun keberadaan serbuk sari Macaranga, spesies pohon sekunder, di lapisan paling atas batulempung adalah sugestif dari campur tangan manusia terhadap tutupan lahan setelah abad keempat belas.

Gomez et al (2010)

Selama 119.000 tahun terakhir, Gomez et al (2010) mengidentifikasi setidaknya 6 generasi telaga purba yang berbeda di cekungan Borobudur. Endapan telaga purba ini selalu bersalang-seling dengan material vulkanik dalam periode sebelumnya 31.000 tahun SS. Hal ini menunjukkan bahwa telaga purba tersebut terbentuk oleh pembendungan sementara endapan vulkanik dan kemudian terisi oleh material vulkanik baru. Hanya endapan telaga purba tertua di inti 4 (60 – 58 m) dan satu di 45 m di inti 4 tertutup dengan tanah. Hal ini menunjukkan bahwa, secara umum, telaga purba tersebut tidak memiliki waktu pengeringan diantara letusan atau material vulkanik mengikis tanah yang ada sebelum terendapkan.

Setelah peristiwa vulkanik besar kedua pada 31.000 tahun SS, endapan tanah liat telaga dari telaga purba besar, berusiakan 27.640 tahun SS dan 27.630 tahun SS, terdapat pada inti 1, 2 dan 3 dan di bagian bawah pertemuan antara Sungai Elo dan Progo. Perpanjangan spasial endapan ini menunjukkan adanya penyusutan telaga purba besar yang menjauh dari Sungai Elo dan Progo. Telaga purba ini kemudian muncul kembali secara lokal di sekitar abad ke-13 di Sungai Elo, tetapi, selama masa sejarah, telaga purba tersebut pasti terletak didalam sungai atau saluran purba, karena keberadaan candi mengesampingkan kemungkinan adanya sebuah telaga yang besar. Interpretasi ini sependapat dengan pengamatan Newhallet al (2000) bahwa telaga dalam masa sejarah semestinya sebagian besar telah dangkal, seperti sebuah rawa yang besar daripada sebuah telaga air tawar.

Di sebelah selatan cekungan, telaga purba tampaknya telah ada terus menerus dari 19.650/19.520 tahun SS sampai abad ke-13. Telaga purba ini tentu sudah ada sebelum masa tersebut, karena telah diambil endapan telaga pasir halus dan lempung hitam setebal 10 m dari inti dibawah yang telah terusiakan tersebut. Ketebalan endapan telaga purba ini sesuai dengan pengamatan Newhall et al (2000), yang juga diambil dari endapan telaga pasir halus sampai tanah liat setebal 20 m. Seperti endapan di sekitar Sungai Elo dan Progo, bagian telaga tersebut juga tampaknya dangkal. Newhall et al (2000) mendeskripsikan sedimen tersebut sebagai “sedimen telaga diatom putih bukan klastik”, dengan material klastik halus didalamnya; suatu deskripsi yang juga sesuai dengan pengamatan Gomez et al.

Ontogeni umum telaga purba yang berumur panjang dan dangkal ini konsisten dengan hasil dan bagian interpretasi Murwanto et al (2004). Memang, Gomez et al (2010) setuju dengan kesimpulan Murwanto et al (2004) tentang keberadaan telaga purba yang berselang-seling antara Pleistosen Akhir dan akhir abad pertengahan, dan menyempit ke arah barat, yang paling mungkin adalah karena masuknya material vulkanik. Namun, hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstensi spasial telaga-telaga purba yang diusulkan oleh Murwanto et al (2004) tersebut adalah  berlebihan secara signifikan. Lokasi candi tidak sesuai dengan batas telaga purba penulis (candi tenggelam dibawah air), dan endapan telaga purba tidak mencerminkan telaga air tawar yang besar, tetapi dangkal dan agak terbatas, yang juga tidak konsisten dengan batas telaga purba yang diusulkan oleh Murwanto et al (2004). Salah satu alasan perihal perbedaan antara hasil-hasil Gomez et al dengan Murwanto et al (2004) adalah mungkin Murwanto et al (2004) berdasarkan batas generasi-generasi telaga purba di cekungan Borobudur yang berbeda dengan topografi dan sistem hidrografi sekarang.

  Synthetic map of the Borobudur basin (Gomez et al, 2010)

 Gambar 9. Peta sintetis Cekungan Borobudur (dari Gomez et al, 2010). (1) saluran purba dan saluran drainase telaga purba; (2) teras; (3) bentangan telaga purba masa sejarah; (4) bentangan telaga purba maksimum; (5) Pegunungan Menoreh; (6) lokasi desa Sabrangrowo (“seberang rawa”) dan Danurejo (“pusat air”); (7) kelanjutan saluran purba dari bukti topografi; (8) kemungkinan kelanjutan saluran purba; (9) patahan seismik; (10) sungai saat ini; (11) lokasi candi; (12) sumur air tawar dengan pasir didalamnya – dalamnya 8 sampai 12 m; (13) sumur air tawar dengan lempung hitam endapan rawa didalam dan dasarnya – umumnya pada kedalaman 6 m.

Murwanto et al, 2014

Keberadaan telaga dibuktikan dengan adanya endapan rawa berupa lempung hitam mengandung serbuksari dari tanaman komunitas rawa. Murwanto (1996), mengidentifikasi bahwa serbuk sari pada batulempung hitam di Kawasan Borobudur antara lain mengandung: Nymphaea stellata, Cyperaceae, Eleocharis, Commelina, Hydrocharis dan sebagainya. Sebaran endapan lempung hitam ini cukup luas dan saat ini menyisakan bekas rawa atau dataran lakustrin yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk aktivitas pertanian.

Pegunungan Menoreh mempunyai ketinggian sekitar 900 m dpl, dengan banyak puncak yang menyerupai bentuk menara, salah satunya adalah puncak Suroloyo. Pegunungan ini terletak di bagian selatan telaga Borobudur dengan litologi berupa batuan breksi Old Andesite Formation (OAF). Kondisi morfologi pada Pegunungan Menoreh menunjukkan bahwa pada wilayah ini telah mengalami tingkat erosi yang sangat lanjut. Tingkat erosi ini selain disebabkan oleh adanya proses iklim juga dipengaruhi oleh proses tektonik yang berkembang pada wilayah tersebut. Iklim dan tektonik tersebut mengakibatkan kawasan Menoreh ini mudah terjadi tanah longsor. Bukti adanya longsor tersebut dapat diamati dari bekas atau sisa-sisa bidang longsor.

Dengan citra satelit struktur-struktur tersebut dapat terdeteksi, berupa kelurusan gawir sesar dengan deretan triangular facets, pergeseran off set blok sesar, kelurusan dan pembelokan secara tajam pola aliran sungai yang berkembang pada zona struktur. Kenampakan-kenampakan sesar tersebut terlihat jelas pada gawir Pegunungan Menoreh yang terletak di bagian selatan dari Candi Borobudur. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan adanya material longsoran dari Pegunungan Menoreh (breksi OAF) dengan ukuran bervariasi. Material-material tersebut banyak ditemukan di Desa Ngadiharjo dan Karanganyar Kecamatan Borobudur, baik di permukaan maupun pada lembah-lembah sungai. Material vulkanik tidak ditemukan di daerah tersebut. Kegiatan tektonik dan materi longsoran yang ditemukan di Sungai Sileng.

Batuan OAF dan endapan lempung hitam terpotong dan terangkat akibat aktivitas sesar. Berdasarkan pengamatan stratigrafi diketahui bahwa endapan lempung hitam tertutupoleh material hasil longsoran Pegunungan Menoreh. Hasil pengujian radiokarbon 14C menunjukkan bahwa endapan telaga berumur 22,140 BP.

 Aluvial fan at Borobudur paleolake (Murwanto et al, 2013)

Gambar 10. Kipas aluvial penutup telaha Borobudur (dari Murwanto et al, 2014)

Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa pada sisi selatan telaga purba Borobudur telah mengalami pendangkalan yang disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik dan longsor lahan dari Pegunungan Menoreh. Rekaman aktivitas tektonik yang terdapat di lapangan menunjukkan bahwa wilayah penelitian dikontrol oleh struktur geologi. Struktur geologi tersebut mengubah morfologi dan membuka jalan keluar bagi genangan air telaga. Aktivitas tektonik juga mengakibatkan terjadinya longsor lahan di Pegunungan Menoreh yang juga dipicu oleh curah hujan dan gravitasi bumi. Keberadaan struktur geologi akan membantu mempercepat terjadinya pelapukan batuan dan berpotensi terjadi longsor.

Nama-nama Tempat

Keberadaan telaga purba Borobudur didukung oleh nama-nama tempat di daerah yang memiliki arti yang berhubungan dengan air. Ada Bumisegoro (berarti “tanah air”), Sabrangrowo (berarti “seberang rawa”), Tanjungan, Tanjungsari dan Wanurejo (berarti “pusat air”). Aktivitas warga sekitar candi yang berkaitan dengan paleolake yang juga tercermin dalam relief Borobudur.

Rekonstruksi Penulis

Longsoran-longsoran yang berasal dari Menoreh adalah penyebab pembendungan Sungai Sileng yang paling mungkin. Dengan daerah tangkapannya di Borobudur yang hanya sekitar 29 kilometer persegi, aliran rata-rata adalah sekitar 1,5 m3/detik dan banjir dengan kala ulang 100 tahunnya adalah sekitar 100 m3/detik. Longsoran-longsoran yang menutupi Sungai Sileng mungkin tidak dapat runtuh dengan aliran tersebut sehingga telaga akan tetap ada. Pengeringan telaga tersbut lebih disebabkan oleh pengendapan dari bahan yang terbawa oleh aliran dari daerah tangkapannya dan abu vulkanik dari letusan Merapi.

Lain halnya dengan Sungai Progo. Dengan daerah tangkapannya yang sekitar 1600 kilometer persegi, aliran rata-ratanya lebih dari 50 m3/detik dan banjir dengan kala ulang 100 tahunnya adalah hampir mencapai 2.000 m3/detik. Pembendungan Sungai Progo dengan endapan dari longsoran bisa menciptakan sebuah telaga, tetapi dapat runtuh hanya dalam beberapa tahun atau dekade, mungkin kurang dari satu abad.

Penulis merekonstruksi telaga purba berdasarkan hipotesis yang ada seperti ditunjukkan pada gambar berikut.

 Borobudur Lake Map

Gambar 11. Rekonstruksi telaga purba Borobudur oleh penulis

Awalmula Peradaban

Borobudur dibangun pada abad ke-9, di Lembah Progo yang bersejarah, sebuah tempat lahirnya peradaban di Pulau Jawa di lereng subur Gunung Merapi sebagai pusat kerajaan Medang i Bhumi Mataram. Dinasti Sanjaya dan Sailendra memiliki basis awal kekuatan mereka disana.

Masyarakat Medang umumnya bermatapencaharian di sektor pertanian, terutama sebagai petani padi. Namun, selain itu juga terdapat mata pencharian lain, seperti pemburu, pedagang, tukang, pengrajin senjata, pelaut, tentara, penari, musisi, penjual makanan atau minuman, dll. Gambaran kekayaan kehidupan Jawa sehari-hari di abad ke-9 dapat dilihat di banyak relief candi. Budidaya padi telah menjadi dasar bagi perekonomian kerajaan dimana desa-desa di wilayah mengandalkan hasil padi tahunan mereka untuk membayar pajak kepada negara. Dengan mengeksploitasi tanah vulkanik yang subur di Jawa Tengah dan membudidayakan padi basah yang intensif menyebabkan penduduk tumbuh secara signifikan, yang berkontribusi pada ketersediaan tenaga kerja dan buruh untuk proyek-proyek publik negara. Desa-desa dan lahan tertentu diberi status sebagai tanah sima (bebas pajak) yang diberikan melalui dekrit kerajaan yang ditulis pada prasasti-prasasti. Hasil panen padi lahan sima biasanya dialokasikan untuk pemeliharaan bangunan keagamaan tertentu.

Sisa-sisa fosil bahan makanan pokok, yang terdiri dari jagung dan beras masih di dalam keranjang bambu, ditemukan di situs arkeologi Liyangan di lereng Gunung Sundoro, juga di Lembah Progo. Mereka juga telah menemukan banyak artefak dari negara lain, terutama Tiongkok yang berusiakan Dinasti Tang dari abad ke-9 sampai ke ke-10. Berdasarkan pengusiaan 14C, batang pohon terbakar yang ditemukan di situs tersebut memiliki usia 690 M, jauh lebih tua dari Borobudur.

Sebuah perahu kuno, berukuran 15,6 meter panjang dan lebar 4 meter ditemukan di Desa Punjulharjo, Kabupaten Rembang, di sebelah timur laut Lembah Progo. Hasil uji laboratorium menunjukkan perahu itu digunakan sekitar tahun 670 – 780 M.

Kalingga, ada antara abad ke-6 dan ke-7, adalah sebuah kerajaan di pesisir utara Jawa Tengah. Sumber Tiongkok berusiakan Dinasti Tang. Menurut seorang biksu Tiongkok Yijing, pada tahun 664 seorang biksu Tiongkok bernama Huining telah tiba di Heling (Kalingga) dan tinggal disana selama sekitar tiga tahun. Pada tahun 674 kerajaan diperintah oleh Ratu Shima. Menurut Carita Parahyangan, sebuah buku yang disusun dalam periode kemudian, cicit Shima adalah Sanjaya, yang adalah raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan juga pendiri Kerajaan Medang.

Prasasti Tritepusan, ditemukan di Lembah Progo bertanggalkan 842 M, menyebutkan mengenai tanah sima (bebas pajak) di desa Tritepusan yang diberikan oleh Sri Kahulunnan untuk menjamin pendanaan dan pemeliharaan sebuah kamulan yang disebut Bhumi Sambhara Bhudhara. Kamulan itu sendiri dari kata mula berarti “tempat asal”. Sejarawan Casparis menyarankan bahwa Bhumi Sambhara Bhudhara adalah nama asli Borobudur.

Diduga, peradaban telah ada di Lembah Borobudur jauh sebelum pembentukan kerajaan yang memiliki basis kekuatan mereka disana. Hal ini didukung oleh suburnya Lembah Progo, sehingga peradaban yang berbasis pertanian dengan mudah dan cepat berkembang. Dengan tujuan untuk menyebarkan agama Buddha kepada masyarakat tersebut, dinasti Sailendra membangun monumen-monumen, Borobudur dan lain-lain. Besarnya monumen Borobudur menunjukkan bahwa peradaban di daerah itu telah benar-benar meluas dan maju.

Berbagai budaya kuno di dunia yang dipisahkan oleh jarak dan waktu telah membangun berbagai macam gundukan tanah secara kolektif yang disebut Pembangun Gundukan untuk tujuan upacara keagamaan, penguburan dan perumahan elit. Budaya ini secara luas ditemukan di Nusantara yang selanjutnya berkembang menjadi struktur piramida tanah dan batu, yang disebut punden berundak. Pembangunan punden berundak didasarkan pada keyakinan masyarakat bahwa gunung dan tempat-tempat tinggi lainnya adalah tempat tinggal roh para leluhur, atau Hyang. Punden berundak adalah desain dasar Candi Borobudur.

Mengamati daerah tersebut, penulis menemukan tiga gundukan yang memiliki ukuran dan tinggi yang hampir sama pada pinggiran telaga purba, diidentifikasi sebagai Gumuk Bakal, Gumuk Ndagi dan Borobudur. “Gumuk” adalah kata Jawa untuk “gundukan”, “bakal” adalah untuk “calon” dan “ndagi” (dari “undagi”) adalah untuk “tukang”. Candi Borobudur dibangun di atas sebuah gundukan yang telah ada sebelumnya. Ketiga gundukan dapat menjadi obyek yang menarik untuk penelitian tentang peradaban awal di Lembah Progo.

Ada sebuah teori bahwa batu-batu Borobudur mungkin dipahat di Gumuk Ndagi karena arti nama tempat tersebut. Dikabarkan bahwa dulunya ada dua patung Dwarapala (penjaga gerbang) di Gumuk Ndagi tapi kemudian dibawa ke Thailand oleh Raja Chulalongkorn pada tahun 1896, sekarang dipamerkan di Museum Nasional Bangkok. Suatu tempat yang bernama Gopalan, dari “gopala”, sebuah sebutan singkat untuk Dwarapala adalah diduga sebagai pintu gerbang untuk memasuki Borobudur.

 Borobudur Mounds

Gambar 12. Tiga gundukan di sekitar Borobudur di tepian telaga purba: Gumuk Bakal, Gumuk Ndagi dan Borobudur

Referensi

D Karnawati, S Pramumijoyo, and H Hendrayana, Geology of Yogyakarta, Java: The dynamic volcanic arc city, IAEG2006 Paper number 363, 2006

Benjamin Clements, Robert Hall, Helen R Smyth and Michael A Cottam, Thrusting of a volcanic arc: a new structural model for Java, Petroleum Geoscience, Vol 15 2009, pp 159 – 174

Véronique Myriam Yvonne Degroot, Candi Space and Landscape: A Study on the Distribution, Orientation and Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains, Thesis to afford the degree of Doctor from the University of Leiden, 2009

H Murwanto, Y Gunnell, S Suharsono, S Sutikno and F Lavigne, Borobudur monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake: chronostratigraphic evidence and historical implications, The Holocene April 2004, 2004

CG Newhall, S Bronto, B Alloway, NG Banks, I Bahar, MA del Marmol, RD Hadisantono, RT Holcomb, J McGeehin, JN Miksic, M Rubin, SD Sayudi, R Sukhyar, S Andreastuti, RI Tilling, R Torley, D Trimble and AD Wirakusumah, 10,000 Years of explosive eruptions of Merapi Volcano, Central Java: archaeological and modern implications, Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) pp 9 – 50, 2000

C Gomez a, M Janin, F Lavigne, R Gertisser, S Charbonnier, P Lahitte, SR Hadmoko, M Fort, P Wassmer, V Degroot and H Murwanto, Borobudur, a basin under volcanic influence: 361,000 years BP to present, Journal of Volcanology and Geothermal Research 196 (2010) pp 245 – 264, 2010

Helmy Murwanto, Ananta Purwoarminta dan Darwin A Siregar, Pengaruh tektonik dan longsor lahan terhadap perubahan bentuklahan di bagian selatan Danau Purba Borobudur(“Tectonics and landslides control of the landform changes in the southern part of Borobudur ancient lake”), Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol 5 No 2 Agustus 2014 pp 143 – 158, 2014

***

Hak Cipta © 2015, Dhani Irwanto

Berdasarkan naskah asli Borobudur Paleolake and the Cradle of Civilization

Bacaan terkait:

  1. Atlantis: Kota yang Hilang Ada di Laut Jawa
  2. Bukti-bukti bahwa Kota Atlantis Ada di Laut Jawa
  3. Profesor Arysio Nunes dos Santos, Pencetus Teori bahwa Atlantis Ada di Indonesia
  4. Taprobana adalah Kalimantan, bukan Sri Lanka atau Sumatera
  5. Taman Eden terdapat di Kalimantan
  6. Artikel-artikel asli dalam Bahasa Inggris

 


Mahkota Raja Pajajaran dan perlengkapannya yang masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.

$
0
0
Foto Bogor Tempo doeloe.
Bogor Tempo doeloeSukai Halaman

‘ Mahkota Raja Pajajaran dan perlengkapannya yang masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang. ‘

Setelah Pakuan berhasil dihancurkan oleh Pasukan Banten, para keturunan, pejabat-pejabat kerajaan dan pengikut mengungsi ke Sumedang yang jaraknya sekitar 150 kilometer dari ibukota Pajajaran tersebut. Dengan membawa serta mahkota dan pusaka-pusaka kerajaan, kedatangan mereka disambut oleh Prabu Geusan Ulun, Raja dari Sumedanglarang.

Hingga kini keberadaan mahkota, pusaka, perlengkapan, barang-barang serta artefak peninggalan kerajaan Pajajaran yang berhasil diselamatkan dari serangan pasukan Banten masih bisa dilihat di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang

 


Benarkah Majapahit Kerajaan Islam?

$
0
0

Benarkah Majapahit Kerajaan Islam?

Selama ini, buku-buku sejarah mengungkap bahwa Islam mulai masuk ke Indonesia khususnya di Jawa sejak kerajaan Demak. Namun dari berbagai data seperti Babad Majapahit, cerita para sesepuh serta berbagai artefak di situs, candi, makam, dan masjid yang ada di Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY ternyata menunjukkan bahwa Islam masuk di Jawa jauh sebelum itu dan sejak zaman Majapahit kerajaan ini sudah Islam. Dari data itulah, Herman Sinung Janutama menulis buku yang berjudul “Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi”. Buku tersebut sengaja diluncurkan dalam rangka menyambut Muktamar I Abad Muhammadiyah atas permintaan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta. Untuk mengetahui latar belakang dan fakta-fata sejarah serta target dari diterbitkan buku tersebut, wartawan Republika, Neni Ridarineni mewawancarai penulis buku tersebut.

Bisa diceritakan latar belakang penulisan buku tersebut?


Semuanya serba kebetulan saja. Saya orangnya senang berziarah ke situs-situs. Dan ternyata banyak artefak dan bahan-bahan lain yang saya temukan, dari sinilah kemudian saya tulis dalam buku dan tidak menyangka bisa menjadi buku seperti ini. Memang untuk menggali informasi, saya dapatkan dari pernyataan pinisepuh pada tahun 2008. Dia berkata, “siapa bilang Majapahit itu Hindu?”

Kemudian setelah itu Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta bersedia menerbitkan buku ini dan dilaunching bersamaan dengan pembukaan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah.

Bisa dicontohkan bahan yang diperoleh dari ketldaksengajaan itu?

Di kompleks Trowulan Mojokerto terdapat situs yang dinamakan oleh masyarakat setempat sebagai Resi Maudoro atau Tribuwana Tungga Dewi. Situs tersebut berupa sebuah yoni yang berhiaskan ornamen-ornamen yang kalau diperhatikan merupakan tulisan Allah. Bagi saya kalau orang muslim mudah membacanya.

Kemudian di Sidoarjo ada artefak dengan lambang Surya Majapahit dengan menggunakan kata dan tulisan Arab yang terbacanya: Allah, Muhammad, Adam, Tauhid, Dzat, Asma, Sifat dan Ma’rifat. Dari lambang kerajaan ini dapat diperkirakan secara mudah bahwa Majapahit adalah sebuah kerajaan kesultanan Islam di Jawa atau Nusantara. Lambang Majapahit tersebut juga dapat dilihat pada sampul buku karya sejarawan berkebangsaan Perancis Denys Lombard yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris). Hal ini yang membuat kami berpikir sebetulnya bagaimana Islam masuk ke Indonesia.

Selain itu adakah bukti lalnnya?

Ada, seperti cerita rakyat di sekitar situs, selalu tentang Islam, tetapi kalau yang berbicara bahwa kerajaan Majapahit itu Hindu pasti orang-orang akademisi. Sehingga pertanyaan kami, mengapa animo masyarakat yang merespon situs sebagaimana muslim saja dan menjadi obyek ziarah umat Islam seperti makam Pitu Troloyo?

Lalu di Candi Panataran ada gambar orang berjenggot dan memberi wejangan. Di umpak Candi Panataran reliefnya sama dengan hiasan dinding di Masjid Demak. Ini yang membuat kami berpandangan tentu tidak mungkin bila ini tidak berarti apa-apa. Lantas di Masjid Lowano Bagelen Purworejo dan Karanganyar Solo, dari sisi tahun, merupakan peninggalan zaman Majapahit.

Di Jepara terdapat sebuah kompleks makam Islam peninggalan Majapahit yang disebut masyarakat Makam Bata Putih. Pada nisan makam-makam tersebut terdapat lambang Surya Majapahit dengan inskripsi kalimah Thayyibah ‘Laa ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah’.

Kemudian seperti kita ketahui berdirinya Demak itu karena restu Raja Majapahit Brawijaya V. Ini terbukti dengan dikirimnya saka Majapahit ke Demak menjadi serambi Masjid Demak. Saka ini diantar Kanjeng Sultan Brawijaya V sendiri dan dikawal oleh dua putranya yaitu Pangeran Bondan Kejawan dan Pangeran Bondan Surati. Dengan demikian Demak Bintara sungguh-sungguh merupakan Bandar Majapahit.

Hal seperti itu apakah belum pernah diungkap di buku-buku yang ditulis orang lain?
Kalau di buku-buku sejarah lain memang hal itu tidak banyak diungkap. Tetapi kalau di kalangan tradisi para sesepuh, cerita-cerita seperti itu biasa mereka bicarakan.

Dengan begitu, apakah buku ini baru satu-satunya yang mengulas secara detail tentang kerajaan Islam di zaman Majapahit?

Ya betul.

Saya hanya mengungkap apa yang selama ini dibicarakan oleh para sesepuh dan minimal dipertimbangkan bahwa para sesepuh memberi warisan narasi sejarah seperti itu. Meskipun untuk pembuktian ilmiah perlu waktu panjang.

Apa metodologi yang digunakan dalam pengumpulan data dan penulisan buku?

Dalam metodologi kami menggunakan strukturalisme sedangkan dalam hal membaca kami menggunakan semiotika Morgin Ferdinand de Sausure. Dan kami memandang budaya itu saling pengaruh dan dipengaruhi. Harus ada semangat pada zaman itu yang ditangkap. Karena itu dalam penelitian Majapahit kami buka dan cari relasi ke seluruh dunia seperti Putri Champa, Timur Tengah, Hadramaut, jalur sutra laut, jalur sutra darat, dan sebagainya.

Apakah ada rencana menulis lagi yang berkaitan dengan buku Ini?

Buku yang saya tulis ini baru jilid pertama yang isinya sekelumit tentang pendirian masa awal Majapahit dan isu-isu Majapahit secara umum. Nanti akan dilanjutkan dengan penulisan jilid dua dan tiga. Karena kami ingin detail. Jilid II dan III isinya tentang Zaman Rajasanagara, Sri Sultan Hayam Wuruk, Desa Warnana, Cheng Ho, Masa Akhir Majapahit transisi ke Demak.

Anda tidak takut berpolemik dengan masyarakat terutama kalangan akademisi?

Ya mau tidak mau harus berpolemik. Tapi bagi saya jauh lebih penting kalau berpolemik dalam hal data. Misalnya ada data ini. Karena saya bicara dengan data, karena itu para pengkritik juga berbicara dengan data juga sehingga memperkaya, bukan asumsi dan prestasi.

Dari mana nara sumber?

Dari makam, candi dan silsilah, masjid dan kami langsung ekspedisi ke situs-situs peninggalan Majapahit. Dalam silsilah Kraton pasti sampai terhubung ke Rasulullah SAW. Karena dalam tradisi Alawiyin para bendoro (priyayi agung) memang klannya ada Assegaf, Al-Aidrus dan ini mudah sekali menghubungkan dengan Rasulullah.

Tokoh-tokoh yang terlibat dalam buku ini siapa saja?

Kami tidak membuat kajian tokoh, tetapi ada juga beberapa yang kami sebut seperti Eyang Sayyid Jumadil Kubro, Eyang Maulana Malik Ibrahim, dll. Kami ingin membuat suatu buku yang alurnya mudah dinikmati oleh masyarakat, ada ceritanya. Di buku ini kami menyebut Eyang Sayyid Jumadil Kubro, Eyang Maulana Malik Ibrahim. Saya berani menggunakan kata Kesultanan berdasarkan batu batu nisan Eyang Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Di nisan tersebut ada inskripsi sekitar tujuh baris yang menyebutkan bahwa Eyang Maulana Malik adalah kebanggaan para Sultan dan Mentri.

Yang dimaksud kebanggaan Sultan dan Mentri ini siapa? Ini berarti Sultan dan Mentri Majapahit. Berarti saya bisa menyebutkan Majapahit itu kesultanan karena di dalam nisan disebut ‘salatin’ (para sultan). Eyang Maulana Malik Ibrahim ini wafat tahun 1419 sehingga berarti nisan ini memberi tahu pada kita bahwa beliau hidup sekitar 1350-an atau 1360-an dan ini berarti karir keulamaannya terjadi pada zaman Hayam Wuruk.

Sejak kapan dilakukan pengumpulan data?

Tahun 2007 sehingga sudah tiga tahun ini. Sebetulnya dulu kami tidak menyangka bisa diwujudkan dalam bentuk buku. Karena dulu kami suka dengan situs-situs dan berziarah. Pergi ke situs-situs ini sebetulnya karena hobi saja, dan hampir setiap hari ketemu data dan melakukan sharing data dengan teman-teman.

Adakah kesulitan dalam menggali data?

Kalau menurut saya tidak ada, karena ini selama ini kami mengunjungi situs-situs itu hobi saja. Dibukukan ini karena permintaan teman-teman.

Selama berapa lama mempersiapkan penulisan buku ini hingga terbit?

Kalau prosesnya yaitu dari diskusi-diskusi di PDM (Pengurus Daerah Muhammadiyah, red) hingga terbit selama satu setengah tahun, sedangkan databasenya sekitar tiga tahunan. Awalnya kami mengumpulkan data itu hanya untuk kepentingan komunitas saja. Tetapi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta pada Desember tahun 2008 meminta kami untuk presentasi. Setelah itu mereka merespon supaya ini dijadikan buku yang disampaikan dalam Muktamar, minimal untuk data dan mungkin Muhammadiyah bisa mempertimbangkan sebagai tambahan pelajaran sejarah di lingkungan Muhammadiyah.

Apa isi yang paling menarlk dalam buku ini?

Sebetulnya yang paling menarik adalah bagaimana kita berbeda dengan pandangan para sejarawan mengenai Islam masuk ke Indonesia pada umumnya. Kami berpandangan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Nabi Muhammad. Bahkan sebelum beliau wafat, Islam sudah ada di Nusantara. Beliau mengirimkan utusan ke Nusantara dan ini ada hadits dan datanya yaitu sahabat Ibnu Mas’ud yaitu pertama kali ke daerah Tatjek yang sekarang namanya Aceh.

Karena orang Aceh bilang bahwa leluhurnya ikut Perang Tabo, Perang Uhud. Hal ini berarti komunikasi orang Aceh dengan Madinah waktu itu luar biasa. Nah data-data begini (informasi tersebut) dari sesama teman yang suka mengkaji sejarah sambil lalu dan bukan para profesional.

Apa yang membedakan dengan buku tentang Majapahit lainnya?

Cara membaca data dan sejarah saja, saya menggunakan logika muslim. Sumbernya dari buku-buku konvensional saja yang kami baca ulang. Seperti Makam Troloyo, kami datang ke situsnya, kami pegang artefak dan kami tulis.

Dalam sehari berapa situs yang dibaca?

Satu situs mungkin bisa satu hari. Padahal banyak sekali situs sehingga bisa berhari-hari. Batu nisannya saja ada sekitar 30 buah. Yang kami datangi dari candi, makam hingga masjid bisa mencapai hampir 100-an buah.

Apa target dari penullsan buku?

Ingin membuat buku tentang Majapahit yang komprehensif dan ditulis dalam versi muslim, digunakan logika-logika muslim, bukan berarti dalam pandangan emosional. Misalnya Gadjahmada itu harusnya disambung. Menurut hukum sasandi dalam bahasa Sansekerta, kalau tulisan seperti Gadjahmada akan dipisah, maka nulisnya bukan Gadjah dan Mada melainkan Gadjah dan Ahmada. Jadi dalam versi muslim ini menunjukkan bahwa Gadjahmada itu nama orang muslim dan “gadjah” itu dalam tradisi Alawiyin berarti ulama dari Hadramaut. Seperti di dalam makam bupati Bantul zaman Mataram ada makam Gadjah Putih yang merupakan ulamanya Adipati Bantul pada masa itu yang merupakan orang dari Hadramaut.

Apa membedakan buku ini dengan buku tentang Majapahlt lainnya?

Terutama pada masa transisi ke Demak. Karena banyak orang mengira Demak itu musuh Majapahit. Padahal Raja Demak Raden Patah itu putra pangeran Brawijaya V yang berasal dari Tumapel. Sementara Majapahit ada dua ibukotanya yaitu Majapahit Daha dan Tumapel, Sehingga harus dipertanyakan isu bahwa Demak menyerbu Majapahit yang mana? Raden Patah menyerbu Majapahit yang ibu kota Daha yang rajanya Girindra Wardhana (Paman Raden Patah).

Tampaknya sejarah konvensional tidak detil sehingga ada yang menyebutkan Raden Patah anak durhaka dan ini menurut saya keterlaluan. Karena tidak diselami sejarahnya dahulu bagaimana Majapahit (itu). Padahal semenjak Raden Wijaya meninggal sudah dua ibukotanya yaitu Daha di Kediri dan Tumapel di Malang tetapi itu dihubungkan oleh Sungai Berantas. Jadi sebetulnya dua-duanya tidak musuhan, cuma untuk kepentingan kemudahan (saja). Tetapi masyarakat konvensional tahunya Majapahit itu satu dan diserbu oleh Demak dan ini yang perlu dipertanyakan.

Wawancara dengan Herman Sinung Janutama (Republika, Senin 5 Juli 2010)

Komentar
Ahmad Yanuana Samantho
Tulis komentar…
Langit Arizzu

Langit Arizzu Akan berbeda lagi dengan sejarah kerajaan ISlam di Madura, Balambangan – Banyuwangi., Kanjuruhan – kepanjen malang selatan, Lodoyong – Blitar/Tulungagung/Trenggalek, Wengker- Ponorogo., Hasyim., maupun kerajaan di Bali., dan banyak sekali kerajaan2 kecLihat Selengkapnya

Langit Arizzu

Langit Arizzu Bagi saya tidaklah masalah apakah Majapahit itu Hindu atau ISlam., atau lebih tepatnya era peralihan Hindu – Islam. Kebanggaan tidaklah terletak pada itu., tapi adalah pada kebesarannya., pernah berdiri kerajaan2 besar di jawa itmur dan jawa tengah, juLihat Selengkapnya

Langit Arizzu

Langit Arizzu Jadi era Mataram Islam itu di mulai di Matara Islam dengan Raja Sutawijaya. Semestinya jika penulis ingin membahas tentang kerajaan Islam, di wilayah jawa tengah dan jawa timur harusnya di mulai dari sini. setidaknya sekitar era Kerajaan Pajang.

DanLihat Selengkapnya

Langit Arizzu

Langit Arizzu Lalu masuklah era Islam., dimana sebagian dari majapahit tentu saja ada yang lebih dulu memeluk Islam di banding Rajanya. Namun secara legitimasi Prabu Brawijaya V masih memeliki tanggung jawab untuk mempertahankan silsilah dan kepercayaan Hindu. IStriLihat Selengkapnya

Langit Arizzu

Langit Arizzu Saya rasa ini terlalu memaksakan dalam hal penulisan berdasarkan Versi Muslim., padahal ada urutan sejarah berdasarkan rentan tahun dalam berbagai prasasti.

Penulis harusnya memahami keselurah setiap era yang ada dalam urutan kerajaan2 dan silsilah MaLihat Selengkapnya

Gatho Loco

Gatho Loco penulis kurang waras.

Miftahul Fajri

Miftahul Fajri Dan salah satu bukti lagi, bahwa maha patih yang terkenal dengan sumpah palapanya menggunakan nama islami “Gaj Ahmada” yang lebih populer dengan gajah mada

Langit Arizzu

Langit Arizzu Lalu bagaimana dengan kisah sumpah ” Sabdo Palon Noyo Genggong” ?

Langit Arizzu

Langit Arizzu Bagaimana dengan Lambang Penyembah Matahari., yang di sebut Surya Majapahit.,

Foto Langit Arizzu.
M Lutfi Fauzi

M Lutfi Fauzi Majapahit kok di tumapel? di kediri? #haheho

Ahmad Fahrur Rozi
Ahmad Fahrur Rozi jarene pak herman singosari juga ada kaitannya dengan

The New Rulers of The World

ISLAM SEBAGAI AGAMA HIBRIDA

$
0
0
Foto Fachrudin Hidayat.
Fachrudin Hidayat bersama Ahmad Yulden Erwin dan 44 lainnya.

ISLAM SEBAGAI AGAMA HIBRIDA
Oleh: Prof. Dr. H. Nurcholish Madjid, MA (11/12/2001)

Saya baru saja datang dari Los Angeles dan Berkeley untuk ikut serta dalam kegiatan yang menyangkut Indonesia di kedua Universitas, UC Berkeley dan UCLA. Ada perasaan campur-aduk dari sudut pandang orang luar terhadap keberagamaan bangsa Indonesia.

Di satu pihak ada harapan-harapan, di lain pihak ada kecemasan-kecemasan. Sekarang persoalannya adalah mewujudkan dan memperbesar harapan itu dan mengurangi kecemasan, dan kalau bisa menghilangkannya sama sekali.

Misalnya tentang masalah Islam. Indonesia kini sedang dilanda oleh beberapa gejala yang oleh orang-orang Barat didentifikasi sebagai ekstrimisme atau fundamentalisme. Mereka sangat khawatir dengan gejala ini. Tapi ketika kita ingatkan bahwa semua itu terjadi dalam kancah civil liberties, kecemasan mereka berkurang.

Semua gejala yang terjadi akhir-akhir ini adalah bagian dari kebebasan pembahasan atau wacana bebas. Dengan adanya wacana bebas ini, bukan hanya kejelasan-kejelasan yang diperoleh, tapi juga akan terjadi proses-proses penisbian, relatifisasi, bahkan lebih radikal dari itu adalah proses devaluasi.

Misalnya jihad. Jihad sekarang merupakan suatu kata-kata yang menjadi bagian dari wacana umum. Di dalam diskusi-diskusi tentang jihad, kesuburan untuk membuat argumen dipunyai oleh mereka yang baca. Bagi yang tidak membaca, sekalipun sangat rajin menggunakan jihad sebagai suatu retorika, akhirnya kehilangan landasan dan keseimbangan.

Akibatnya, perkataan jihad yang semula sedemikian menakutkan tetapi kemudian mengalami kejelasan. Dan dengan adanya kejelasan itu, maka terjadi devaluasi terhadap makna jihad sebagai retorika politik, dan karenanya kemudian menjadi isu harian semata.

Demikian juga fenomena keagamaan, terutama Islam, yang pada tahun 1980-an sering disambut dengan suatu antusiasme, bahkan sedikit banyak itu semacam teriakan tepuk tangan, yaitu apa yang disebut dengan kebangkitan Islam. Tetapi ketika itu menjadi maslah harian, maka terjadi semacam relativisasi.

Dunia Islam sekarang ini, seperti ditulis oleh para ahli, mengalami apa yang disebut predicament, semacam krisis atau kegoyahan. Salah satu indikasinya antara lain adalah fungsi dari perasaan konfrontatif dengan Barat. Saya sebut “perasaan,” karena konfrontasi sebetulnya tidak ada.

Yang ada adalah persepsi sebagai akibat dari pengalaman sejarah seperti misalnya yang secara retorika sering diulang: perang salib, penjajahan, dan lain-lain. Maka hal itu mengendap di dalam kesadaran umat Islam, atau bawah sadar umat Islam, sehingga memunculkan gejala yang sepertinya anti-Barat.

Hal itu sebetulnya merupakan suatu anomali, karena Alquran sendiri mengindikasikan, ketika dunia terbagi menjadi Roma (Barat) dan Persia (Timur), orang Islam memihak Roma, bukan memihak Persia. Begitu juga, ada surah al-Rum yang memberikan kabar gembira kepada pengikut Nabi Muhammad bahwa kekalahan Roma oleh Persia, yang sempat membuat orang-orang Mekkah, musuh Nabi, bergembira, akan disusul dengan kemenangan, dan itu terbukti.

Sekalipun secara geografis Arabia langsung berhubungan dengan Persia, bahkan di beberapa daerah di Jazirah Arab sempat mengalami Persianisasi, namun batin orang Islam atau pengikut Nabi sesungguhnya lebih dekat dengan orang-orang Roma, karena ada kaitannya dengan agama Nasrani.

Potensi pertentangan itu disadari oleh sarjana semacam Simon van Den Berg, penerjemah kitab polemisnya Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, yang sangat terkenal dan banyak mempengaruhi cara berpikir umat Islam. Di sini ada hal yang patut direnungkan.

Dalam pengantarnya, Simon van Den Berg mengatakan bahwa polemik ini adalah salah satu contoh yang orang Barat sendiri tidak menyadari mengenai Islam. Dia bilang: “Kalau benar kita boleh mengatakan bahwa budaya Barat pada hakekatnya adalah Maria Sopra Minerva –agama Kristen disesuaikan dengan pola budaya setempat– maka masjid (Islam) pun didirikan di atas puing-puing kuil Yunani. Sehingga apa yang disebut dengan ilmu kalam, theologia, adalah adaptasi –paling tidak dari segi metodologi—dari cara berpikir para filsuf Yunani, terutama Aristoteles.

Karena itu, kalau orang-orang yang disebut ahlussunnah waljamaah mengklaim sebagai pengikut al-Asy’ari, di dalam definisinya mengenai Tuhan melalui perumusan sifat 20, maka sifat 20 itu sesungguhnya sangat Aristotelian.
Di sana kita lihat ada perkataan “wajib,” “boleh,” dan “mustahil.” Sehingga kalau Tuhan itu disebut abadi (qadim), maka rumusannya menjadi: secara akal Tuhan itu harus qadim, harus alpha, artinya tidak ada permulaannya, dan mustahil Tuhan itu jadid, mustahil Tuhan itu baru, dalam arti didahului oleh ketiadaan. Jadi perkataan “wajib” dan “mustahil” itu sudah menunjukkan logika Aristoteles. Dan itu sekarang menjadi bagian yang sangat sentral dalam wacana kalam di kalangan ahlussunnah.
Menurut Ibn Taimiyah, sifat 20 itu bid’ah. Benar bahwa Tuhan itu qadim, tapi, kata Ibn Taimiyah, “so what?” Secara rasional itu benar, tapi apa fungsinya? Dalam sifat 20 itu, tidak dimasukkan sifat ghafur (maha pengampun) dan sifat wadud (kasih sayang).

Alasannya karena tidak mungkin dirumuskan dengan logika Aristoteles: bahwa “Tuhan itu secara akal wajib pengampun” tak bisa, tidak logis. Itu hanya kita terima karena Tuhan mengatakan begitu tentang dirinya. Tapi bahwa Tuhan itu ada dari semua, tanpa permulaan, itu secara akal bisa dimengerti.
Budaya Islam bersifat amalgam, atau hibrida dari berbagai budaya. Lihat saja masjid, yang paling sederhana. Di Pondok Indah ada masjid yang orang sering menyebutnya sebagai Masjid Biru. Tidak ada mihrabnya dan tidak ada ruang kecil untuk imam di depan. Mengapa? Karena arsiteknya, Ismail Sufyan, menganggap bahwa mihrab adalah tiruan dari gereja. Tapi kalau konsekwen, maka mestinya tidak ada menaranya. Sebab menara adalah adaptasi dari arsitektur Persia, arsitektur kaum Majusi.

“Manarah” artinya tempat api, karena orang Majusi, kaum Zoroaster, memahami Tuhan sebagai Zat yang tak bisa digambarkan. Maka akhirnya mereka simbolkan dengan api. Api adalah suatu substansi yang tidak bisa dipegang. Oleh karena itu orang Majusi kerap dianggap menyembah api.
Untuk memperkuat kesucian api, maka api itu ditempatkan di bangunan yang tinggi, namanya manarah, tempat api, yang kemudian menjadi “menara”. Dalam uraian tentang maulid di kampung-kampung, biasanya dikatakan: ketika jabang bayi Muhammad lahir, menara-menara orang Majusi itu runtuh.
Jadi, pada waktu umat Islam berkembang begitu rupa, suara azan harus mencapai radius yang seluas-luasnya, maka mereka terpikir untuk meminjam arsitektur Majusi ini, yaitu azan dari tempat tinggi. Di zaman Nabi, azan dilakukan cuma di atas atap. Bilal, muazin Nabi, hanya naik ke atas atap yang pendek. Tapi pada masa perkembangan Islam, menara menjadi bagian dari budaya Islam. Tapi itu tak ada salahnya, karena memang budaya tak mungkin eksklusif monolitik.
Yang murni Arab tidak ada. Di dalam Alquran banyak sekali bahasa-bahasa lain. Menurut seorang ulama Arab yang hidup 1100 lalu, dalam bukunya Al-Mu’arrab, banyak sekali istilah-istilah yang sangat sentral dalam Islam yang berasal dari bahasa lain.

Misalnya shirath; al-shirath al-mustaqim, jalan yang lurus. Shirath ternyata dari Bahasa Latin “strada”. Juga al-qisth (keadilan). Qisth ternyata berasal dari bahasa Yunani, yang setelah diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi just, sebab perubahan dari Q ke G atau J itu biasa. Maka qisth itu adalah just dalam Bahasa Inggris. Qisthash itu adalah justice. Jadi jangan dikira bahwa bahasa Arab dalam Alquran itu semuanya Arab murni.

Di dalam Alquran juga ada Bahasa Melayu: kafur. Dalam suatu lukisan “nanti kita di surga akan diberi minuman yang campurannya kapur” (wayusqauna biha ka’san kana mizajuha kafura). Yang dimaksud di situ adalah kapur dari barus, yang saat itu sudah merupakan komoditi yang sangat penting di Timur Tengah, bahkan ada indikasi sejak zaman Nabi Sulaiman.

Waktu itu yang disebut kapur barus tidak digunakan untuk kepinding seperti yang sekarang kita lakukan, tapi sebagai tonic. Ia dimasak menjadi tonic, menjadi minuman yang sangat menyegarkan, dan harganya mahal sekali karena harus diimpor dari Barus.

Maka “kapur” kemudian menjadi simbol dari sesuatu yang sangat mewah dan sangat menyenangkan, sehingga di dalam Alquran dipakai untuk ilustrasi bahwa nanti minuman orang yang di sorga adalah minuman dengan campuran kapur. Dan banyak lagi yang seperti itu.

Jadi sebetulnya tidak ada budaya yang monolitik. Semuanya hibrida.
* Tulisan ini merupakan bagian dari orasi ilmiah Prof Dr. Nurcholish Madjid di Taman Ismail Marzuki dalam rangka peresmian Islamic Culture Center (ICC)

 



5 Kitab Kuno yang Menjadi Bukti Bahwa Indonesia Hebat di Masa Lalu

$
0
0

By on November 2, 2015

Saat ini sastra di Indonesia bisa terbilang mulai merangkak, kadang mati suri mendadak. Penyebabnya adalah minat baca dan tulis manusia Indonesia zaman sekarang sangat rendah. Atau bisa dibilang tak ada sama sekali.

Well, untuk mengingat kehebatan bangsa kita di masa lalu. Mari kita bahas lima kitab kuno yang masih bertahan hingga sekarang!

1. Kitab Negarakertagama

Negarakertagama memiliki arti Negara dengan tradisi (agama) yang suci. Kitab ini pertama kali ditemukan di tahun 1894 di istana Raja Lombok. Seorang peneliti bernama J.L.A Brandes menyelamatkannya sebelum dibakar bersama seluruh buku di perpustakaan kerajaan. Naskah ini adalah naskah tunggal yang berhasil ditemukan dan selamat setelah selesai ditulis pada tahun 1365.

Kitab Negarakertagama [image source]

Kitab Negarakertagama [image source]

Kitab ini ditulis oleh empu Prapanca yang merupakan nama samaran dari Dang Acarya Nadendra. Seorang bekas pembesar agama Buddha di Kerajaan Majapahit saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa. Kitab yang merupakan syair kuno Jawa atau kakawin ini menceritakan kejayaan Kerajaan Majapahit saat itu. Salah satu tentang daerah kekuasaan dan juga silsilah keluarga raja. Penemuan kitab ini menjadi bukti jika di masa lalu, Indonesia pernah dikuasai kerajaan hebat dengan tradisi kelas tinggi.

2. Kitab Sutasoma

Kitab Sutasoma adalah sebuah kakawin atau syair Jawa Kuno yang berisi banyak bait. Orang yang yang menggubah kitab ini hingga terkenal sampai sekarang adalah Empu Tantular. Ia disuruh oleh Hayam Wuruk yang saat itu masih menjadi raja. Kitab ini berisi banyak sekali hal hebat yang masih dipakai sampai sekarang. Anyway, tahukah anda jika semboyan negara kita ini diambil dari kitab yang dibuat pada abad ke-14 itu?

Kitab Sutasoma [image source]

Kitab Sutasoma [image source]

Ya, Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda tapi tetap satu jua adalah petikan bait dari kitab ini. Karya sastra ini juga berisi banyak sekali pelajaran yang berharga. Salah satunya ada mengajarkan toleransi beragama. Sesuatu yang saat ini sudah mulai luntur. Jika kitab ini masih diajarkan sampai sekarang, mungkin Indonesia akan jadi negara yang damai. Tak ada perpecahan seperti yang sekarang terjadi.

3. Kitab Arjuna Wiwaha

Arjuna Wiwaha adalah sebuah karya sastra kuno yang dibuat dan digubah pertama kali pada abad ke-11 masehi. Seorang empu bernama Kanwa menulisnya saat masa pemerintahan Prabu Airlangga yang menguasai Jawa Timur sekitar tahun 1019-1042. Sastra ini menjadi pusaka berharga karena menjadi bukti peradaban manusia zaman dahulu yang ternyata sudah maju. Bahkan mengenal baca tulis meski hanya kalangan tertentu saja.

Kitab Arjuna Wiwaha [image source]

Kitab Arjuna Wiwaha [image source]

Kitab yang lagi-lagi berupa kakawin ini berisi syair mengenai perjuangan Arjuna. Sebuah tokoh pewayangan yang sangat hebat. Dikisahkan Arjuna sedang bertapa di Gunung Mahameru. Dewa mengujinya dengan mengirim tujuh bidadari yang sangat cantik. Bidadari itu disuruh menggodanya, namun Arjuna lulus godaan. Akhirnya Arjuna disuruh melawan raksasa yang mengamuk di kayangan. Karena berhasil ia boleh mengawini tujuh bidadari yang menggodanya tadi.

4. Serat Centhini

Serat Centhini atau dengan nama lain Suluk Tambangraras adalah sebuah karya sastra terbesar dalam kasusastran Jawa Baru. Di dalam kitab ini banyak sekali tersimpan tradisi, ilmu pengetahuan, dan banyak hal yang saat itu dikhawatirkan akan punah. Adalah Pakubuwana ke-V yang memiliki ide menghimpun segala budaya dan tradisi dari Jawa ini menjadi sebuah serat yang berisi tetembangan.

Serat Centhini [image source]

Serat Centhini [image source]

Diperkirakan serat ini dikerjakan pada pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Pakubuwana ke-V dibantu tiga orang pujangga istana merangkum semua hal agar tidak punah. Pujangga kerajaan ini disuruh berkelana dan menuliskan semuanya yang berkaitan dengan kebudayaan dan juga tradisi lokal. Saat ini Serat Centhini telah digubah dan dibuat versi modern oleh beberapa orang. Bahkan ada yang membuatnya dalam versi novel trilogi agar mudah dicerna.

5. La Galigo

La Galigo adalah karya sastra paling panjang di dunia saat ini. Berisi sekitar 6.000 halaman, dan 300.000 baris teks membuat La Galigo saat dikagumi di dunia. Karya ini dibuat sekitar abad ke-13 dan ke-15 masehi oleh bangsa Bugis Kuno. Huruf yang digunakan dalam La Galigo masih menggunakan huruf lontara kuno yang tak semua orang bisa membacanya.

La Galigo [image source]

La Galigo [image source]

La Galigo berisi banyak sekali sajak tentang penciptaan manusia. Selain itu juga cerita mitos hebat yang kadang masih diceritakan turun temurun. La Galigo dipercaya ditulis sebelum epik Mahabarata ditulis di India. Saat ini sebagian besar manuskrip asli dari La Galigo terselamatkan dan tersimpan rapi di Museum Leiden, Belanda.Dari lima kitab kuno karya sastra di atas, menunjukkan jika bangsa kita sangatlah hebat di masa lalu. Meski dengan keterbatasan, mereka bisa membuat sesuatu yang bisa dibilang abadi. Semoga generasi baru Indonesia saat ini bisa melanjutkan tradisi itu!

 


Melacak Jejak Imam Ali Melalui Bendera Macan Ali 

$
0
0

Melacak Jejak Imam Ali Melalui Bendera Macan Ali

Cirebon adalah kota di tepi pantai utara Jawa bagian barat.  Tome Pires dalam kunjungannya ke Cirebon pada tahun 1513 Masehi mencatat bahwa Cirebon adalah kota yang memiliki pelabuhan yang mutakhir. Kemudahan akses menuju Cirebon dari wilayah laut, mungkin menjadi salah satu sebab mengapa kota ini menjadi tempat awal bersemainya ajaran Islam dan menjadi jembatan bagi tersebarnya ajaran Islam ke wilayah pedalaman Jawa Barat. Salah satu watak dari penyebaran Islam di Nusantara adalah menguatnya keberadaan figur-figur tokoh yang mengarah pada terbentuknya komunitas-komunitas, yang kemudian disempurnakan dengan berdirinya lembaga kesultanan. Menurut penelitian Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara, para penyebar agama Islam di Nusantara telah berhasil membangun kekuasaan Islam dengan mendirikan sekitar 40 kesultanan Islam yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk Cirebon (Irianto, 2012:2-3).

Perintis kesultanan Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan adiknya, Nyimas Ratu Rarasantang. Atas perintah guru mereka, Syekh Nurjati, mereka pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di Mekah, Nyimas Ratu Rarasantang yang setelah berhaji diberi gelar Hajjah Syarifah Mudaim, dinikahi oleh Raja Mesir keturunan Bani Hashim, bernama Syarif Abdullah (bergelar Sultan Mahmud). Dari pernikahan ini, lahirlah putra bernama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M. Syarif Hidayatullah dibesarkan di Mesir, namun kemudian menuntut ilmu-ilmu agama dan tasawuf di Mekah dan Baghdad. Setelah itu, dia memilih pergi ke Cirebon untuk mensyiarkan ajaran Islam di tanah air ibunya.

Syarif Hidayatullah kemudian berdakwah di Jawa dan diberi gelar Sunan Gunung Jati. Keilmuan dan kewaliannya sedemikian cemerlang, sehingga akhirnya Sunan Gunung Jati diserahi tampuk kepemimpinan kesultanan Cirebon  dengan helar Susuhunan Jati. Di bawah kepemimpinannya, Cirebon menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagaimana umumnya kerajaan atau negara, Cirebon memiliki sebuah bendera kenegaraan, yang disebut Bendera Macan Ali. Bendera ini pernah dibawa dalam medan perang di Sunda Kelapa. Saat itu, pasukan Cirebon yang dipimpin Falatehan (menantu Sunan Gunung Jati) bersama pasukan Kesultanan Demak dan Banten, bahu-membahu mengusir Portugis yang hendak menguasai Sunda Kelapa (Irianto, 2012:3-4).

Saat ini, Bendera Macan Ali kuno disimpan di Museum Tekstil Jakarta, namun yang ditampilkan untuk publik adalah bendera tiruannya. Bendera Macan Ali dibuat dengan teknik batik tulis dan bertanda tahun 1776. Bendera ini menyimpan jejak sejarah yang sangat kaya, sehingga perlu dipelajari dengan seksama oleh bangsa Indonesia, khususnya generasi muda.  Atas dasar itulah, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga, pada tanggal 11 September 2013 lalu mengadakan Seminar Bedah Naskah Bendera Kesultanan Cirebon.

Dalam seminar ini, hadir tiga pakar naskah kuno, Prof.DR. H.A. Sobana Harjasaputra, Drs Tawalinuddin Haris, MS, dan drh. Bambang Irianto, B.A. Dalam paparannya, Prof. Sobana menyatakan bahwa bendera Macan Ali sudah cukup dikenal oleh masyarakat Cirebon. Namun, bagaimana asal-usul dan penggunaan bendera itu, belum terungkap jelas. Oleh karenanya, yang bisa dilakukan oleh peneliti adalah memaknai berbagai tulisan dan simbol yang ada di bendera tersebut dan mengaitkannya dengan data-data yang tersedia mengenai sejarah Kesultanan  Cirebon.  Bendera Kesultanan Cirebon ini berbentuk segi panjang bersudut lima berujung lancip, seperti tanda penunjuk arah. Warna dasar bendera itu adalah biru kehitaman. Di bagian tengah bendera terdapat gambar pedang cagak (pedang bermata dua); gambar pedang ini terinspirasi dari pedang Dzulfiqar yang dihadiahkan Rasulullah kepada Sayyidina Ali.

Selain itu, ada kaligrafi berbentuk ?Macan Ali’ yang berjumlah tiga buah, dan di sekelilingnya dipenuhi tulisan berhuruf Arab berupa kalimat-kalimat dari Al Quran. Pada sisi kanan adalah kalimat basmalah, pada sisi atas adalah Surah Al Ikhlas, pada sisi bawah Surah Al An’am ayat 103, yang berarti ?Dia tidak dapat dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang keliahatan, dan Dia-lah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui’. Gambar pedang cagak sendiri melambangkan huruf lam-alif, yaitu huruf pertama dari kalimah syahadat. Menurut Prof Sobana, dituliskannya ayat-ayat Al Quran dalam bendera itu menunjukkan bahwa bendera itu dibuat seiring dnegan penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Diduga kuat, ayat-ayat itulah yang banyak digunakan para pendakwah Islam masa itu dalam mengajarkan ketauhidan dan keberserahdirian kepada Allah SWT.

Sementara itu, Bambang Irianto, yang juga penulis buku Bendera Cirebon, Ajaran Kesempurnaan Hidup (Terbitan Museum Tekstil Jakarta, 2012) memaparkan berbagai makna tasawuf dari bendera Macan Ali ini, dengan berlandaskan hasil penelitiannya terhadap naskah-naskah kuno Cirebon. Antara lain, bentuk bendera yang berbentuk penunjuk arah, melambangkan petunjuk hidup di dunia. Bingkai bendera yang berwarna kuning menunjukkan upaya mencapai kebahagiaan dan cita-cita yang tinggi. Kalimat Basmalah menunjukkan adanya tekad kuat dalam memulai segala sesuatu. Surah Al Ikhlas menunjukkan keikhlasan rububiyah sebagai landasan untuk melakukan keikhlasan amaliah. Surah Al Anam:103 menunjukkan bahwa manusia harus selalu berbuat benar dan sabar karena selalu dimonitor oleh Allah SWT.

Menurut Irianto, berdasarkan hasil penelusurannya di naskah milik Kraton Keprabonan, pedang cagak disebut juga sebagai pedang Dzulfaqor dan Dzulfikar. Dzulfaqor memiliki makna? yang mempunyai harapan’, sedangkan Dzulfikar bermakna? yang mempunyai pikiran. Maksudnya adalah setiap amal dan perbuatan hendaknya selalu direncanakan dengan pemikiran berganda (berulang-ulang). Gambar macan besar yang berada di ujung pedang melambangkan pemimpin besar yang memandu rakyatnya dengan kalimat syahadat, karena pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, atas kepemimpinannya. Letak kaligrafi berbentuk macan itu berada persis di depan pedang cagak menandai bahwa seorang pemimpin harus sangat berhati-hati karena bila tidak, dirinya dan bangsanya akan mudah diserang oleh musuh.

Pernyataan menarik muncul dari Tawalinuddin Haris. Dia menyebut bahwa nama bendera Macan Ali sama sekali tidak ada hubungannya dengan Ali Bin Abi Thalib. Menurutnya, kata? Ali’ bermakna  yang tinggi/luhur’, bukan mengacu pada Imam Ali. Namun kemudian salah satu peserta seminar mengkritisi pendapat ini dengan menyebut bahwa dalam kultur Cirebon dikenal tarekat-tarekat yang di dalam ritual-ritual mereka disebut-sebut nama Sayyidina Ali. Selain itu, dalam kisah-kisah sastra Sunda kuno juga disebut-sebut nama Sayyidina Ali. Ditambah lagi, ayat-ayat yang ditulis dalam bendera itu adalah ayat-ayat yang sufistik dan biasa dilafazkan dalam ritual tarekat-tarekat di Cirebon. Pernyataan ini disetujui oleh Drh. Bambang Irianto yang asli Cirebon dan ternyata juga pengikut tarekat Sattariah. Menurutnya, memang banyak ilmu-ilmu sufistik yang diajarkan dalam tarekat itu yang dinisbahkan kepada Sayyidina Ali.

Meskipun begitu, dalam makalahnya, Haris juga menyebutkan bahwa kaligrafi berbentuk macan itu kemungkinan merupakan adaptasi pengaruh budaya Persia. Di Persia, kalimat-kalimat yang mengacu pada pengagungan Sayyidina Ali dibentuk dalam wujud singa, sedangkan dalam kesenian Cirebon, kaligrafi kalimat syahadat dibentuk membentuk figur macan. Dasar pemikiran Haris adalah bahwa masuknya Islam ke Indonesia memang tidak langsung dari Arab melainkan melalui Iran atau India. Dalam kultur Cirebon, kaligrafi Macan Ali mendapat penghormatan yang tinggi dan digantung di masjid-masjid. (IRIB Indonesia)

Cirebon Kuno dan Kini (80); Bendera Kerajaan Cirebon

Cirebon Kuno dan Kini (80); Bendera Kerajaan Cirebon

 

-dok Erick North/NMN

TAK ada satu negara pun di dunia ini yang tidak memiliki bendera.  Bendera merupakan lambang suatu negara dan merupakan identitas dari negara itu sendiri.  Sejak masa sebelum masehi (SM) bendera dan umbul-umbul selalu diikutsertakan dalam berbagai peperangan. Bendera ini pun diperebutkan, siapa yang mampu merebutnya, maka dialah yang dianggap sebagai pemenang. Sebaliknya menurunkan bendera yang berkibar dari tiangnya dengan cara-cara paksa dipastikan sebagai penghinaan terhadap lambang negara.

Bagaimana bendera Negara Cirebon pada masa lalu ? Menurut penelitian drh.H. R. Bambang Irianto (2012), bendera Cirebon menurut fungsinya merupakan simbol kenegaraan bagi Caruban Nagari saat itu. Bendera tersebut menurut sumber lisan, dibawa Fatahillah  ketika menyerang Sunda Kelapa pada 1527 M.

Penggunaan bendera Cirebon, menurut Bambang sebagai pendukung bendera utama/bendera kebesaran Kesultanan Demak. Mengutip tradisi lisan, bendera kebesaran Kesultanan Demak berupa   bendera gula kelapa, yaitu cikal bakal sang saka merah putih, bendera Kebangsaan Republik Indonesia. Bahkan bendera tersebut pernah digunakan pada zaman Majapahit.

Makna simbolik dari bendera “gula kelapa” ini adalah keberanian yang dilandaskan pada kesucian. “Kesucian berarti keikhlasan beramal yang berasal dari ikhlas rububiyah/ikhlas berketuhanan yang Maha Esa menuju cita-cita yang harus diraih dengan usaha yang penuh keberanian, yaitu nasrumminallah wa fathun qarib, yang berujung pada kegembiraan atau kejayaan yang sempurna bagi orang-orang yang beriman. Di  Cirebon, bendera Cirebon merupakan “Aji Jaya Sampurna”.

Namun di Kesultanan Kanoman, bendera kerajaan yang dimilikinya berupa lambang “Macan Ali” dari kaligrafi Arab bergambar macan dan dua pedang dengan dasar kain berwarna hijau. “Macan  Ali” merupakan simbol keberanian dari sahabat nabi,  Ali bin Abi Thalib. Diduga simbol ini diciptakan Sunan Kalijaga yang bermazhab Syiah.

Bendera kebesaran tersebut dikibarkan setahun sekali pada “malam pelal” maulid tanggal 12 Robiulawal. Dikawal puluhan sentana dan prajurit tradisional.  Mereka membawa obor dan tombak-tombak kerajaan masa lalu.

Bendera Cirebon bertuliskan kalimat yang sempurna, kata Bambang lagi, berupa kalimat toyyibah, sebagai tanda ke-Islmanan, yaitu Laillaha illallah Muhammadur rasulullah,yang artinya “tidak ada Tuhan selain Allah,  Muhhamad utusan Allah”. Bendera Cirebon bersama  umbul-umbul waring mencerminkan kebanggaan jati diri Cirebon. Dalam bendera tersebut terdapat unsur-unsur antara lain, tiga buah kaligrafi harimau, yang dalam tradisi lisan disebut “Macan Ali” atau “Singa Barwang”.

Unsur lainnya adalah pedang berbilah dua yang biasa disebut “golong cawang”,  serta kaligrafi dari Al-Quran antara lain berupa bacaan Basmalah, surat Al-Ikhlas dan Al-An’am ayat 103, bintang Sulaiman,  rajah-rajah serta kaligrafi lain. Mengutip budayawan T.D. Sudjana (almarhum).kerabat Keraton Kanoman di Cirebon, yang bertugas merawat bendera tersebut. Bendera itu kemudian diserahkan kepada Keraton Mangkunegaran,  Surakarta. Alasannya sebagai tolak bala untuk menyembuhkan sakit Raja Mangkunagera dengan cara menyelimuti bendera itu saat tidur. (NMN)***

Nurdin M Noer, Pemerhati Kebudayaan Lokal

“BENDERA TAUHID” KASULTANAN CIREBON DAN YOGYAKARTA

Susiyanto, M.Ag.

Keberadaan bendera[1] kenegaraan bercorak Islam dengan kelengkapan berupa kalimat tauhid dan petikan ayat Al Quran telah menjadi bagian dari warisan sejarah dan kebudayaan Islam di Indonesia. Dengan mengaca pada sejarah masa lalu bangsa Indonesia, hal ini dapat dilacak kembali jejaknya. Catatan ini akan berupaya membahas tentang 2 (dua) bendera pusaka yang berasal dari Kasultanan Yogyakarta dan Kasultanan Cirebon.

 BENDERA KASULTANAN CIREBON

Bentuk Bendera Kasultanan Cirebon beserta keterangan maknanya. Dok: Susiyanto

Kunjungan penulis ke Cirebon pada 28 Nopember 2010 rasanya adalah yang paling berkesan. Ini bukan saja kunjungan penulis yang pertama namun juga disertai misi untuk menelusuri seluk-beluk Cirebon mulai dari perjalanan sejarah sejak awal hingga perkembangan dakwah beserta tantangan yang terjadi di sana. Boleh dikatakan kunjungan-kunjungan selanjutnya ke kota wali tersebut adalah untuk menggenapi rangkaian data yang dibutuhkan.

Selama di Cirebon, penulis menyaksikan dan melakukan banyak hal. Mengelilingi Keraton Cirebon, melaksanakan shalat di Masjid Agung “Ciptarasa” Pakungwati, menikmati nasi Jamblang, dan lain-lain. Hal yang paling menarik adalah ketika drh. Bambang Irianto memperlihatkan wujud bendera Kesultanan Cirebon. Memang bukan bentuk aslinya karena hanya melalui foto saja. Meskipun demikian hal ini tidak mengurangi ketertarikan penulis untuk mempelajari bentuk dan makna bendera tersebut. Apalagi yang memberikan penjelasan adalah drh. Bambang Irianto sendiri. Beliau adalah Ketua Pusat Konservasi dan Pemanfaatan Naskah Klasik Cirebon dan sekaligus Penata Budaya Keraton Cirebon. Pak Bambang ini rupanya juga memiliki darah biru di Kasultanan Cirebon. Meskipun tidak menampakkan gelar bangsawannya, akhirnya terungkap bahwa beliau adalah pemilik nama Raden Padmanegara.

Bendera Kasultanan Cirebon berbentuk persegi panjang dengan ujung yang lancip dan memiliki warna dasar biru tua. Menurut sejumlah sumber klasik Cirebon, bendera ini memiliki sebutan “Kad lalancana Singa Barwang Dwajalullah”. Kata “dwajalullah” di atas secara meyakinkan menunjukkan bahwa benda pusaka yang dimaksud merupakan bendera dari sebuah kerajaan (baca: negara) Islam. Kata ini merupakan gabungan antara kata dari Bahasa Sansekerta “dwaja” yang diserap ke dalam Bahasa Kawi dan nama Illah umat Islam yakni Allah. “Dwaja” sendiri artinya “bendera”.[2]Dengan demikian “dwajalullah” bisa dimaknai sebagai “bendera Allah”. Jadi secara keseluruhan nama bendera di atas bisa diterjemahkan sebagai “bendera (milik) Allah dengan lambang (berlencana) singa barong”.

Bagian pangkal bendera bertuliskan bacaan basmallah yang menjadi pangkal tolak semua tindakan. Bagian atas bendera ini bertuliskan Surat Al Ikhlas ayat 1 sampai 4. Hal ini menunjukkan bahwa Kesultanan Cirebon merupakan sebuah kerajaan yang berpayung ajaran tauhid.

‘Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Illah yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlash: 1-4)

Sedangkan dalam bendera bagian bawah terdapat sebaris kutipan dari Surat Al An’aam ayat 103: “laa tudrikuhul abshaaru wa huwa yudrikul abshaara wa huwallathiiful khabiir” yang artinya ”Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui”. Penggunaan ayat tersebut menunjukkan sifat kerajaan yang merasakan adanya pengawasan Allah. Ayat tersebut menunjukkan lemahnya penglihatan manusia dibandingkan kesempurnaan penglihatan Allah. Tiada sesuatu pun yang dapat melihat-Nya, sedangkan Dia melihat semua makhluk. Menurut tafsir Ibnu Katsir ayat tersebut bukan berarti menafikan bahwa manusia dapat melihat Allah di hari kiamat kelak. Di akhir zaman Allah akan memperlihatkan diri kepada kaum mukminin menurut apa yang dikehendaki-Nya. Adapun keagungan dan kebesaran-Nya, sesuai dengan zat-Nya Yang Maha tinggi lagi Maha suci serta Maha bersih, tidak dapat dicapai oleh pandangan mata.

Bagian pangkal bendera bertuliskan bacaan “Bismillahirrahmanirrahim” menunjukkan bahwa kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam yang senantiasa mendasarkan segala pemikiran, tindakan, dan memulai segala sesuatu berdasarkan atas nama Allah. Sedangkan bagian ujung terdapat kutipan dari Al Quran Surat Ash Shaaf ayat 13 yang menunjukkan tujuan utama dari kerajaan Cirebon untuk memperoleh karunia pertolongan dan kemenangan dari Allah: “nashru minallah wa fathan qariib“ (pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat)”. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pertolongan dari Allah dan kemenangan yang nyata ini bisa diperoleh dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya serta menolong agama-Nya.

Stempel Sultan Abdul Qadir Muhyiddin dari Kasultanan Tanette berbetuk Pedang Bermata Dua

Keberadaan golok bercabang dan lambang singa memiliki sejumlah penafsiran. Menurut drh. Bambang Irianto, Singa barwang atau macan Ali menunjukkan sifat keberanian dan keperwiraan.  Sedangkan pedang bermata dua atau golok cabang merupakan simbol dari pedang dzulfaqar. Motif mirip golok cabang, sebagaimana terdapat dalam bendera Kasultanan Cirebon, nampaknya merupakan simbol yang secara umum juga dimiliki oleh sejumlah Kasultanan Islam di Nusantara. Kasultanan Yogyakarta memiliki lambang serupa dalam bendera kerajaan yang disebut Kanjeng Kyai Tunggul Wulung. Stempel resmi milik Sultan Abdul Qadir Muhyiddin (1768-1807), raja Kasultanan Tanette – Sulawesi, diketahui juga menggunakan simbol pedang bermata dua yang bertuliskan aksara bugis: “Ca’na arunge ri Tanette ri asenge Abedollo Kadere Muheudini to mapesonangengngi ri Alla taala sininagauna” (Cap raja Tanette bernama Abdul Qadir Muhyiddin, yang mempercayakan semua pekerjaannya kepada Allah yang Maha Tinggi).[3]

Dalam sejumlah karya sastra klasik Cirebon, penafsiran terhadap keberadaan simbol singa dan golok bercabang dua tersebut juga dapat ditemukan. Dalam pengajaran Syaikh Nurjati kepada Somadullah (Pangeran Walang Sungsang, Putra Prabu Siliwangi) digambarkan keterangan sebagai berikut:

“ … Lalu engkau diberi pula golok cabang yang dapat berbicara dan dapat terbang. Dapat mengalahkan singa, dapat menghancurkan gunung yang gagah perkasa, dan dapat pula mengeringkan air laut yang sedang meluap-luap. Nama golok cabang itu berasal dari perkataan khuliqa lisab’ati asyyaa-a”, artinya dijadikan untuk tujuh perkara. Maksudnya jika engkau menghendaki mendapatkan apa yang engkau kehendaki, engkau harus menghadapi ketetapan anggota badan yang tujuh, ialah anggota sujud. Jelasnya, jika engkau ingin mencapai segala sesuatu, hendaknya engkau tunduk sujud kepada Allah.”[4]

Babad Tanah Sunda – Babad Cirebon versi Sulaeman Sulendraningrat justru menyediakan pemaknaan bersifat mistik terhadap keberadaan golok cabang. Tersirat pernyataan bahwa golok inilah yang mampu mengeliminasi superioritas dan kuasa para dewa dalam pantheon Hinduisme. Nampaknya pemaknaan secara luas terhadap golok cabang ini memang semestinya diarahkan sebagai representasi kehadiran Islam itu sendiri di tanah Cirebon. Babad yang dimaksud bercerita demikian: “Ini golok cabang pusaka para leluhur terimalah. Ini golok bisa bicara bahasa manusia dan bisa terbang dan bisa keluar api, tiap yang terkena niscaya lebur, walaupun dewa tidak tahan, gunung ambruk dan laut kering”.[5]

Sedangkan lambang singa (sebenarnya: harimau) sebelum masuknya Islam di tanah Cirebon sering diidentikkan dengan simbol kerajaan Pajajaran, sebuah kerajaan Hindhu dan Budha. Kesenian Genjring memposisikan simbol singa sebagai perwujudan Bathari Durga, dewi kejahatan dalam Hindu yang kemudian berhasil diislamkan. Tubuh singa dalam bendera tersebut menunjukkan kecenderungan penafsiran dengan makna ini. Menurut tradisi tutur yang berkembang, singa barwang dalam bendera ini berhiaskan ornamen kaligrafi kalimat tauhid “Laa ilaha illallah” (Tiada illah selain Allah). Dengan mengikuti tradisi ini maka lambang Singa dan Golok Cabang itu melambangkan Islam yang mampu menaklukkan anasir Hinduisme.

 Dakwah awal di Cirebon memang tidak bisa tidak harus dihubungkan dengan runtuhnya supremasi Hinduisme di lingkungan Praja Pajajaran. Proses itu menurut tradisi dimulai ketika keturunan Prabu Siliwangi mulai menerima Islam. Syaikh Nurjati merupakan salah satu perintis dakwah di Cirebon. Nama kecilnya adalah Datul Kahfi bin Syaikh Ahmad. Ia pernah menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di Baghdad. Selanjutnya ia melakukan perjalanan ke Jawa dan menetap di sebuah bukit kecil bernama Giri Amparan Jati. Dari sinilah dakwahnya dimulai dan secara berangsur-angsur memperoleh murid. Di antara murid yang pernah berguru kepadanya adalah dua orang putra-putri Prabu Siliwangi, yaitu Raden Walang Sungsang dan Nyai Rarasantang.[6] Raden Walang Sungsang yang kemudian dikenal sebutan Cakrabumi dan Cakrabuana  inilah yang telah mengembangkan Cirebon sehingga menjadi sebuah pust penyebaran agama Islam di Jawa. Ketika masih menimba ilmu sebagai murid Syaikh Nur Jati dirinya diberi namaSomadullah yang dalam sejumlah babad diidentifikasi sebagai pemilik golok cabang.

BENDERA KASULTANAN YOGYAKARTA

Sketsa kasar bendera Pusaka Kraton Yogyakarta bernama Kanjeng Kyai Tunggul Wulung. (Dok. PS)

Sejak awal Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan pewaris dan penerus Kesultanan Mataram Islam, yang memegang nilai-nilai kepemimpinan berdasarkan syari’at Islam. Nilai-nilai syari’at Islam itu kemudian diaktualisasikan dalam bungkus budaya Jawa. A. Adaby Darban memperlihatkan bukti bahwa dalam ihwal ilmu pemerintahan dan ketatanegaraan, etika pemerintahan raja digambarkan dengan mengupas sejumlah sifat yang dihubungkan dengan Allah seperti jalalullah, jamalullah,kamalullah, kaharullah, qudrat, iradat, khayat, sama’,bashar, kalam, dan wahdaniyat. Tema-tema ini terangkum secara jelas dalam kitab bernama Kanjeng Kyai Surya Raja.[7]

Kraton Kasultanan Ngayogyakarta memiliki bendera pusaka yang dikenal dengan nama Kanjeng Kyai Tunggul Wulung. Nama ini nampaknya mengacu pada kainnya yang berwarna hitam bersemu biru tua atau dalam istilah Jawa disebut warna wulung. Bendera berbentuk persegi ini dibuat dari potongan kain kiswah (selubung penutup Ka’bah) sebagai hadiah seorang Sayid besar di Makkah saat penobatan Pangeran Harya Mangkubumi sebagai Susuhunan Paku Buwana Senapati Mataram (gelar ini berbeda dengan gelar Sunan Pakubuwana di Surakarta) atau Susuhunan Kabanaran (karena penobatan dilakukan di Banaran, sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kulon Progo) tanggal 1 Sura tahun Alif 1675 atau 11 Desember 1749. Kain ini lantas dibuat menjadi bendera atau panji kerajaan pada masa Pangeran Mangkubumi bertahta di Ngayogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I.[8]

Bagi sebagian masyarakat Nusantara, kepemilikan terhadap potongan kain kiswah semacam ini seringkali dihubungkan dengan suatu keyakinan spiritual tertentu. Maka tidak mengherankan jika ada dari jama’ah haji Indonesia yang bersedia membeli potongan-potongan kiswah yang sudah tidak terpakai.[9] Atas alasan itu pula, maka sebuah bendera yang dibuat dari potongan kiswah dianggap memiliki nilai spiritual yang tinggi oleh masyarakat.

Seorang abdi dalem sedang memegang bendera Kanjeng Kyai Tunggul Wulung.

Motif yang ada dalam bendera ini adalah sebentuk pedang bermata dua. Bentuk pedang ini mirip dengan lambang golok cabang yang sama terpampang dibendera Kasultanan Cirebon maupun dalam stempel Sultan Abdul Qadir Muhyiddin (1768-1807) dari Kasultanan Tanette di Sulawesi. Pedang bercabang ini menurut salah satu tafsir merupakan hasil stilisasi dari huruf lam alif, huruf pertama dari kalimat tauhid “laa ilaaha illallah”.

 Di bilah pedang tersebut terdapat tulisan Arabic antara lain dua kalimat syahadat sebagai tanda persaksian atas keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad, beberapa nama Allah yang berasal dari Asmaul Husna, dan Surat Al-Kautsar. Surat Alkautsar sendiri adalah salah satu surat dalam Al Quran yang memerintahkan manusia untuk mengerjakan shalat dan berkurban sebagai tanda rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dianugerahkan.

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS. Alkautsar: 1-3)

Bendera ini biasanya dikeluarkan oleh Kraton dalam upacara-upacara tertentu seperti Grebeg Mulud atau upacara tolak balak. Diantaranya saat Yogyakarta mengalami wabah influenza, bendera Kyai Tunggul Wulung pernah dikeluarkan di Malam Jum’at Kliwon 2 Mulud Tahun Wawu 1849 atau 6 Desember 1918. Juga pernah dikeluarkan dalam upacara yang sama pada Malam Jumat Kliwon 22 Januari 1932, dan terakhir kali pada tahun 1948.[10]

Bendera Kanjeng Kyai Tunggul Wulung (sebelah kiri) dan bendera Pare Anom (sebelah kanan) sedang dibawa abdi dalem keluar dari Kraton. (Dok. PS)

Bendera yang sekarang sering dipakai Keraton Yogyakarta dalam upacara adalah bendera Putran(tiruan) yang dibuat pada masa Sultan Hamengkubuwana VII. Proses pembuatannya dimulai pada hari Jum’at Kliwon 12 Besar Tahun Jimakir 1834 atau 17 Februari 1905 dan selesai pembuatannya pada hari Kamis Pon 25 Besar Jimakir 1834 atau 2 Maret 1905. Bendera ini dibuat mirip dengan aslinya dan diberi nama Kanjeng Kyai Santri. Sedangkan tongkat benderanya diberi nama Kyai Duda namun kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Slamet. Sebelumnya pada masa Sultan Hamengkubuwana V juga telah dibuat bendera pusaka yang disebut Kanjeng Kyai Pare Anom. Bendera yang disebut terakhir ini kemudian juga dibuat tiruannya mulai hari Jum’at Wage 26  Besar Jimakir 1834 atau 3 Maret 1905 dan diselesaikan pada hari Jumat Kliwon 22 Sapar Alif 1825 atau 28 April 1905. Selanjutnya bendera-bendera itu, baik asli maupun putran, ditempatkan di Gedhong Hinggil, yang terletak di sebelah barat Masjid Panepen.[11]

Awalnya bendera-bendera pusaka ini dikeluarkan dalam upacara penting semacam Grebeg Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Dari Gedhong Hinggil pusaka ini dibawa ke Bangsal Witana berdekatan dengan Sultan yang sedang dihadap para abdi dalem dalam Pasewakan. Bendera ini lantas dibawa keluar ke serambi masjid agung. Namun sekarang bendera tersebut hanya dikeluarkan di Bangsal Kencana saja. Hal ini dilakukan mengingat usia bendera tersebut yang sudah semakin menua. [Susiyanto]

FOOTNOTE

[1] Kata “bendera” pertama kali masuk ke dalam Bahasa Indonesia sebagai pengaruh dari penjajahan bangsa Spanyol dan Portugis. Dalam Bahasa Italia, yang termasuk rumpun Bahasa Romawi, kata ini berbunyi “bandiera”. Kata benderaini selanjutnya menjadi kata yang populer di kalangan masyarakat Indonesia dibanding sebutan dalam bahasa setempat untuk benda yang sama diantaranya tunggul, panji, merawal, dwaja, pataka, dan lain sebagainya. Dalam Bahasa Jawa kata “bendera” diserap menjadi “bandera” atau “gendera”. Lihat: Mr. Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Mérah-Putih, Jakarta: Penerbitan Siguntang, 1951, hlm. 42

[2] Lihat: Mr. Muhammad Yamin, 6000 Tahun …, hlm. 42; C.F. Winter Sr. dan R. Ng. Ranggawarsita, Kamus Kawi-Jawa, Cetakan XVIII, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003, hlm. 43; Sabari, Kamus Basa Jawi, Surakarta: Seti-Aji, 2005, hlm. 50

[3] Stempel ini secara resmi digunakan dalam surat menyurat yang dilakukan oleh Sultan Abdul Qadir Muhyiddin. Surat-surat sultan dari Tanette tersebut didokumentasikan dalam: Mu’jizah, Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19, Jakarta: Gramedia, 2009, hlm. 136-143

[4] Lihat: drh. H. Bambang Irianto dan Siti Fatimah, M. Hum, Syekh Nurjati (Syaikh Datul Kahfi): Perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon: STAIN Press, 2009, hlm. 22-23

[5] Lihat: P.S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda-Babad Cirebon, Cirebon: TP, 1984, hlm. 9

[6] H. Bambang Irianto, Syekh Nurjati (Syaikh Datul Kahfi): Perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon: STAIN Press, 2009, hlm. 1-15; Lihat juga: Dr. Muhaimin Ag, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, hlm. 235-237; Kedua putra Prabu Siliwangi tersebut merupakan anak dari pasangannya yang bernama Nyai Subang Krancang atau Nyai Subang Larang. Suatu ketika Raden Jayadewata atau Pamanah Rasa, yaitu nama Prabu Siliwangi muda, memenangkan sayembara berhasil memenangkan sayembara pertarungan untuk bisa melamar Nyai Subang Karancang (Larang) yang menjadi murid Syekh Quro. Raden Pamanah Rasa diberi juga syarat agar mencari Kartika kertiyang berjumlah seratus biji. (maksudnya tasbih). Prabu Siliwangi kemudian diceritakan masuk Islam meskipun tidak untuk seterusnya. Setelah sang istri wafat ia lantas kembali kepada keyakinan lamanya. Dari hasil perkawinan dengan Nyai Subang Larang Prabu Siliwangi memiliki 3 putra yaitu Raden Walang Sungsang (lahir 1423) dan Nyai Lara atau Rara Santang (lahir 1426), dan Raja Sengara lahir 1428. Lihat: Prof. Dr. H. Rokhmin Dahuri, MS, Drh. Bambang Irianto, BA, dan Eva Nur Arovah, Sag. Mhum, Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi, Jakarta: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, 2004, hlm. 56

[7] Lihat: Kanjeng Kyai Suryaraja: Kitab Pusaka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2002, hlm. 40

[8] Hugo M. Satyapara, Ngawekani Pageblug Kanthi Miyose Kangjeng Kyai Tunggul Wulung, dalam Panjebar Semangat No. 25 / 19 Juni 2010, Surabaya, hlm. 8

[9] Prof. Dr. H. Aboebakar Aceh, Sejarah Ka’bah dan Manasik Haji, Cetakan IV, Surakarta: Ramadhani, 1984, hlm. 116

[10] Hugo M. Satyapara, Ngawekani Pageblug …, hlm. 9

[11] Hugo M. Satyapara, Ngawekani Pageblug …, hlm. 8-9

Sumber:

http://susiyanto.com/bendera-tauhid-kasultanan-cirebon-dan-yogyakarta/


Menuju Paradigma Sains Islam Nusantara

$
0
0

Menuju Paradigma  Sains Islam Nusantara

By:

Ahmad Yanuana Samantho, MA

 AND ALLAH HAS BROUGHT YOU FORT FROM THE WOMBS OF YOUR MOTHER – YOU DID NOT KNOW ANYTHING – AND HE GAVE YOU HEARING AND SIGHT AND HEARTS THAT YOU MAY GIVE THANKS.”

( QS AN-NAHL, 16: 78 )

 Latar: Krisis Multidimensional Akibat Modernisme-Materialisme

 Secara hipotetis-filosofis dapat dikatakan bahwa krisis multidimensional mutakhir yang dihadapi umat manusia saat ini adalah efek negatif dari Modernisme dan Postmodernisme yang telah semakin meningkat dan terbukti secara bersamaan dari hari ke hari di era kontemporer ini. Sayangnya tidak cukup jumlah orang yang menyadari bahwa krisis multidimensional global dalam seluruh kehidupan asasi manusia hari ini benar-benar berakar lebih dalam pada  paradigma filosofis Modernisme mereka. ….

Masalah utama modernisme (dan juga postmodernisme) pada kehidupan manusia modern disebabkan oleh dominasi pandangan dunia sekuler-materialistik (materialisme, humanisme sekuler dan sekularisme) yang bercampur dengan agnostisisme, antropho-sentrisme dan ateisme, sebagai alat dan “filosofi dasar” ideologi materialisme liberalisme-kapitalisme.[1]

Pada gilirannya dominasi ini modernisme sekuler-materialistik ini telah menyebabkan banyak masalah krusial dan gawat bagi kehidupan manusia di bumi. Krisis multidimensi  yang terjadi  dari hari ke hari, telah menakutkan sebagian besar orang di dunia saat ini, tanpa manusia modern dapat memecahkan masalah mendasar mereka secara tuntas dan komprehensif. Masalah ini akan penulis elaborasi  dalam deskripsi analitis berikutnya tentang masalah modernisme,  kritik modernisme dan postmodernisme juga dan solusi alternatif untuk masalah tersebut menurut sudut pandang Seyyed Hossein Nasr.

Dalam mengambarkan kondisi kehidupannya, menurut Nasr, manusia modern telah terusir ke tepian lingkaran roda realitas eksistensialnya (keberadaan nyatanya), yang jauh dari porosnya. Ini adalah krisis eksistensial yang diderita oleh manusia modern, karena mereka melupakan realitas diri mereka sendiri. Nasr menulis:

“Dunia masih terlihat oleh diatur kekuatan dan elemen yang  kosong dari suatu horizon spiritual, bukan karena tidak hadirnya cakrawala spiritual  seperti  itu, tapi karena mereka  seringkali memandang lanskap kontemporernya  seperti manusia yang tinggal di tepian lingkaran roda eksistensi dan karena itu memandang segala sesuatu dari pinggiran lingklaran roda. Dia tetap acuh tak acuh terhadap jari-jari roda dan benar-benar tidak menyadari Sumbu dan Pusatnya, yang bagaimanapun tetap tak pernah diakses ke tengahnya dari pinggirannya.”

“Masalah kehancuran yang dibawa teknologi kepada lingkungan, yang menyebabkan krisis ekologi dan sejenisnya, semua itu  adalah masalah akibat penyakit amnesia atau lupa diri yang diderita manusia modern serta post-modern. Manusia modern telah lupa siapa hakikat jati dirinya. Hidupnya berada di pinggiran lingkaran eksistensinya sendiri, walau ia telah mampu untuk mendapatkan kuantitas pengetahuan yang banyak tapi dangkal kualitas ilmu pengetahuan dunianya. Dia telah memproyeksikan citra kulit luaran dan dangkal pengetahuan tentang dirinya mengenai dunia.”[2]

Menurut Nasr,  di Barat manusia pertama-tama memberontak terhadap pengaruh Langitan akibat pengaruh falsafah-ideologi humanisme zaman Renaissance di Eropa Abab 16; pada saat awal ilmu modern hadir mewujud. Antropologi humanistik renaissance adalah latar belakang yang mendorong Revolusi Ilmiah pada abad ketujuh belas dan penciptaan Ilmu pengetahuan (science) yang meskipun di satu sisi bersifat non-manusiawi, dalam arti lain, akal rasional manusia dianggap yang paling anthropomorphic dan bentuk ilmu pengetahuan yang paling mungkin, itu yang menjadikan nalar humanis dan data empiris yang hanya didasarkan pada indera manusia sebagai satu-satunya kriteria untuk keabsahan (validitas) semua pengetahuan.[3]

Nasr juga menyatakan bahwa dekadensi kemanusiaan di zaman modern ini disebabkan oleh hilangnya kemanusiaan dari humaniora di zaman modern ini, yang disebabkan oleh karena manusia  telah kehilangan pengetahuan langsung tentang dirinya sendiri dan juga tentang Diri yang sejatinya, yang sebenarnya ia selalu memilikinya, dan karena ketergantungannya pada sebuah sudut pandang luar, sebuah pengetahuan tentang dirinya sendiri yang supevisial (dibuat-buat), yang ia berusaha untuk mendapatkan dari luar lingkaran. Secara harfiah adalah pengetahuan “dangkal” yang diambil dari pingir lingkaran dan tanpa sebuah kesadaran diri akan poros roda dan jari-jari yang dapat menghubungkan dia seperti sinar cahaya matahari ilahiah.[4]

Modernisme, sebagai sebuah pandangan dunia materialistik-sekuler dan paradigma filosofis yang masih dominan pada sebagian besar kebanyakan orang di dunia sejak zaman modern sampai sekarang, secara hipotetis atau sangat diasumsikan oleh Nasr, telah menyebabkan banyak masalah dan mendorong krisis multidimensional bagi kehidupan manusia. Masalah-masalah ini akan dipelajari dan dielaborasi lebih jelas dan dikaji secara  kritis bukti-buktinya dalam pandangan cahaya Filsafat Islam dan metodologinya (secara ontologis & epistemologis) oleh penulis.

Masalah kedua yang muncul sebagai reaksi ekstrim terhadap modernisme – adalah munculnya “fundamentalisme” ekstrim  paham keagamaaan di mana mereka melakukan penafsiran harfiah (literal) yang salah dan aplikasi religius yang salah (terutama dalam aspek eksoterisme/kulit luaran Islam) yang diajarkan hari ini. Pada satu sisi hal ini juga akhinya telah menyebabkan berbagai bencana terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan  ajaran Agama Islam dan Tuhan.

Apa yang benar-benar terjadi pada modernisme, berapa banyak aspek kehidupan modern telah menjadi krisis kemanusiaan dan kehancuran? Bagaimana hal ini dapat menyebabkan kerusakan dan mendorong krisis multidimensional manusia modern sampai beberapa waktu terakhir? Apa masalah utama dan karakteristik prinsip dalam paradigma modernisme yang menyebabkan krisis multidimensional global manusia modern saat ini, termasuk gerakan kekerasan fundamentalisme literal keagamaan ?

Setelah kita mengidentifikasi dan menguraikan permasalahan & krisis modernisme, seberapa jauh kita bisa menawarkan paradigma alternatif baru untuk memecahkan masalah tersebut? Apa itu paradigma alternatif baru yang dapat memecahkan masalah tersebut menurut Seyyed Hossein Nasr? Berapa jauh terkait dengan beberapa kesadaran baru, Sophia Perrenialism (kebijaksanaan abadi) dan mistisisme (ilmu suci tradisional) yang telah meningkat dan terlahir kembali di waktu kontemporer baru-baru ini? Bagaimana dan mengapa relevan dengan Teori Fisika Quantum dalam melihat kosmologi baru? Dapatkah filsafat, tradisi dan agama bersatu dan akan menyelaraskan dalam satu paradigma baru holistik-integral (terpadu dan menyeluruh) di masa depan?

Apa yang disarankan oleh Seyyed Hossein Nasr ini tentang pentingnya Traditional Sacred Science (Ilmu Pengetahuan Sakral/Suci Tradisional) serta Sophia Perennialisme (Kearifan Kuno-Abadi) ini, ternyata menurut hipothesis penulis menemukan relevansi dan signifikasinya dengan warisan kearifan lokal asli Nusantara atau dengan nilai-nilai dan ajaran tradisional sakral/suci Nusantara yang telah menjadi semacam Sophia Perennialism, yang mungkin tak hanya akan bermanfaat bagi masa depan bangsa kita, tetapi juga akan bermanfaat bagi masa depan kemanusiaan sedunia.

 Tujuan

Hasil penelitian penulis yang ditulis dalam buku ini mencoba untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis berbagai bencana dan krisis multidimensi global manusia modern dan apa penyebab utamanya secara prinsipil?

Setelah kita mengidentifikasi dan mengelaborasi problema dan krisis modernisme, penulis akan berusaha mencari alternative paradigma baru untuk memecahkan berbagai masalah ini dari akarnya berdasarkan resep yang disarankan oleh Seyyed Hossein Nasr di abad modern ini dan juga oleh para bijak berstari serta para orang suci serta Nabi Allah sepanjang sejarah kemanusiaan di dunia ini.

Penelitian yang mendahului proses penulisan buku ini yang didahului oleh penelitian thesis magister filsafat Islam penulis, juga akan menganalisa, sejauh mana hal ini terhubung dengan beberapa kesadaran baru, Sophia perennialism dan mysticism (traditional sacred science) yang telah bermunculan dan lahir kembali di zaman kontemporer mutakhir ini?  Bagaimanakah hal in terkait dan relevan dengan kemunculan teori fisika baru Quantum Physics dan pandangan kosmologis baru? Dapatkah filsafat  (termasuk science) dan agama bersatu dan menjadi harmonis dalam sebuah paradigma baru yang integral holistic di masa depan.

 Jawaban nyata atas pertanyaan dan masalah ini, mudah-mudahan akan menawarkan layanan bagi basis intelektual, filosofis dan spiritual untuk memecahkan masalah secara radikal dan fundamental. Dengan kata lain, penelitian ini akan menyajikan saran untuk mengaktualisasikan atau meng-aktivasi “pergeseran paradigma” menuju paradigma yang holistik dan integral yang mendekati untuk memahami Realitas: integrasi dan harmonisasi antara Tuhan Allah, manusia dan alam semesta, dalam sudut pandang  Filsafat Islam atau pandangan dunia Islam.

Penelitian ini juga mencoba untuk mengungkap dan mendeskripsikan beberapa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan penemuan terbaru seperti terkait dengan teori Fisika Quantum dan beberapa fakta yang mengarah untuk membuka realitas alam semesta dan spiritual makhluk yang tidak terpisahkan. Sejalan dengan kemajuan ilmu baru pada Quantum Physic, penelitian ini juga mencoba untuk menyajikan kesinambungan dan hubungan antara fakta & teori dengan beberapa pendekatan pengajaran mistis yang dilayani oleh tasawuf dan Irfan (Mistisisme Islam) dan mistisisme agama-agama lainnya. Penelitian ini juga akan menyajikan dan menguraikan dan wacana penting tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama sebagai konsekuensi dari penelitian inti keseluruhan dalam penulisan thesis ini.

Signifikansi

Buku yang dikembangkan dari hasil penelitian Program Magister Filsafat Islam (2010) ini tentu sangat penting dan akan memberikan banyak manfaat dan signifikansi untuk kehidupan sehari-hari saat ini dan masa depan kita. Setidaknya hasil penelitian ini sangat signifikan untuk meningkatkan dan membuat dekonstruksi yang berlanjut pada reformulasi (dan rekonstruksi) dari paradigma kita secara filosofis. Pada gilirannya, pada tingkat epistemologi dan aksiologi, pendekatan paradigma holistik dan integral ini dan nilai-nilai dalam pencerahan Filsafat Islam dan Tasawuf Islam (Irfan & Tasawuf) dapat memecahkan banyak masalah manusia modern secara bertahap, baik untuk tujuan individu dan juga dalam sistem sosial-ekonomi-politik-budaya dan di dalam supremasi percerahan terbaru, dan peradaban yang lebih baik.

Lebih spesifik, manfaat yang saya harap dapat tercapai setelah thesis dan buku ini diselesaikan adalah penelitian ini dapat berfungsi sebagai pedoman untuk menyusun ulang filsafat ilmu kita (atau minimal epistemologinya) dan kemudian dapat menjabarkan pandangan dunia baru dan sebuah ideologi yang dapat memainkan peran penting sebagai pedoman untuk proyek rekonstruksi kurikulum ilmu baru dan untuk melakukan penulisan ulang semua isi buku teks dalam ilmu pengetahuan dan teknologi untuk keperluan pendidikan dan akademik  menuju rekonstruksi peradaban manusia baru dalam cahaya misi Islam Rahmatan lil ‘Alamin.

Tentu saja ada telah ada beberapa studi yang berkaitan dengan kritik pada modernisme menurut pandangan Seyyed Hossein Nasr, seperti apa yang teman penulis di ICAS Jakarta, Humaedi telah tulis dalam thesisnya berjudul: “Konsep Nasr dalam Knowledge: Pengetahuan Sakral, kontribusi kepada Epistemologi Modern “

Tentu saja bahwa beberapa studi yang juga berkaitan dengan pandangan Seyyed Hossein Nasr dan kritiknya kepada modernisme dan post modernisme sangat berguna untuk penelitian penulis sebagai referensi, terutama untuk  pemahaman dan deskripsi latar belakang thesis penulis & rumusan masalah yang  akan penulis pelajari.

Penelitian thesis penulis lebih fokus pada relevansi resep Nasr atau saran untuk mempromosikan ilmu pengetahuan suci atau pandangan tradisional agamis dan mistisisme atau esoterisme sebagai kebijaksanaan abadi (Sophia Perennis) untuk memecahkan masalah modernisme dan postmodernisme. Paradigma alternatif  tentang Sacred Science dan Perennial Wisdom ini akan diikuti oleh elaborasi penulis terkait dengan kecenderungan terbaru dan wacana dalam pengembangan atau penemuan ilmu fisika baru terutama dalam teori fisika kuantum yang memiliki hubungan yang kuat dengan kesadaran (consciousness) yang baru dalam ilmu: filsafat ilmu pengetahuan integral dan holistik dan pandangan agama (Paradigma holistik-Integral). Pendekatan ini dan pilihan untuk topik ini, saya pikir masih unik dan memiliki studi asli di bidang penelitian Filsafat Islam.

Sumber utama saya untuk penelitian thesis ini adalah beberapa buku penting dan mendasar di antara keduanya dari Seyyed Hossein Nasr seperti “The Plight of Modern Man” and “The Need for A Sacred Science”, “The Knowledge and The Sacred”,  “Ideal and Reality” and “Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, Philosophy in The Land of Prophecy”,  dll.

Sumber-sumber primer akan dibandingkan, dielaborasi dan dikompilasi dengan sumber-sumber sekunder yang terkait dengan wacana tentang wacana Perennialisme, ilmu pengetahuan dan agama, teori fisika baru Quantum Physic, seperti: “The Greatest Achievement in Life: Five Traditions of Mysticism, Mystical Approaches to Life”, oleh R.D Krumpos; “Tawheed and Science: Essays on The History and Philosophy of Islamic Science” oleh Osman Bakar; “Nature, Human Nature and God, …”, (terjemahan Indonesianyta berjudul: “Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama”) oleh  Ian G Barbour; “The Web of Live, A New Synthesis of Mind and Matter”, oleh Fritjof Capra; and “The Holy Qur’an and The Sciences” by Mehdi Golshani;   “Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami”,  oleh  Armahedi Mahzar,  sebagaimana dapat kita lihat dalam daftar pustaka saya (referensi) di halaman terakhir dari thesis ini, serta beberapa artikel yang memuat kearifan lokal Nusantara sebagai warisan budaya dan Peradaban Adiluhung Nusantara yang masih tersisa, yang bisa menjadi contoh betapa Leluhur Nusantara sudah mewariskan Kearifan Perennial dan Traditional Sacdred Science tersebut.

MASALAH KRISIS MODERNISME:

Krisis Multidimensional yang Disebabkan oleh Paradigma Ontologis–Epistemologis    Materialialisme-Sekulerisme Barat dalam Ilmu Dan Kebudayaan

  • Pengertian Modernisme

Modernisme yang masih memainkan peran hegemonik dan berpengaruh besar di dunia saat ini, telah mendapatkan dasar gerakannya  sejak Renaissance di Perancis (abad ke-14-17 M) dan beberapa revolusi sosial-politik pada setengah pertama abad kesembilan belas di Eropa.

Modernisme yang  kita kaji di sini adalah kompilasi dari beberapa filsafat modern barat. Dalam pemahaman umum:

“Modernisme, dalam definisi yang paling luas, adalah pemikiran modern, dan karakter yang mudah menjadi usang atau baru dalam praktek ekonomi, sosial dan politik. Lebih khusus lagi, istilah modernism ini  menggambarkan seperangkat kecenderungan budaya dan berbagai gerakan budaya yang terkait, yang awalnya timbul dari perubahan masyarakat Barat dalam skala luas dan jauh jangkauannya di akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Istilah ini mencakup kegiatan dan hasil dari mereka yang meninggalkan hal-hal yang ‘tradisional’ dalam bentuk seni, arsitektur, sastra, keyakinan agama, organisasi sosial dan kehidupan sehari-hari yang merupakan  kondisi dari sepenuhnya muncul dunia industri.”[5]

Modernisme menolak kepastian yang tersisa dari pemikiran Pencerahan (Enlightenment), dan juga menolak keberadaan (eksistensi) Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Pencipta Yang Maha Kuat[6]. Ini bukan untuk mengatakan bahwa semua modernis atau gerakan modernis menolak semua agama atau semua aspek pemikiran Pencerahan, melainkan modernisme yang dapat dilihat sebagai selalu mempertanyakan aksioma zaman sebelumnya.

Karakteristik penting dari modernisme adalah kesadaran diri. Hal ini sering kali menyebabkan eksperimen dengan berbagai bentuk, dan pekerjaan yang menarik perhatian pada proses dan bahan yang digunakan (dan kecenderungan lanjut abstraksi)[7]. Saran paradigmatik penyair Ezra Pound adalah untuk “Make it New!” Apakah motto “membuat yang baru” dari kaum modernisme merupakan era sejarah baru yang bisa diperdebatkan. Filsuf dan komposer Theodor Adorno memperingatkan kita:

“Modernitas adalah sebuah kategori kualitatif, bukan kronologis, karena hal seperti itu tidak dapat direduksi menjadi bentuk abstrak, dengan kebutuhan yang sama itu harus kembali pada koherensi permukaan konvensional, penampilan harmoni, urutan yang dikuatkan hanya dengan replikasi.” [8]

Adorno ingin kita memahami modernitas sebagai penolakan terhadap rasionalitas palsu, harmoni, dan koherensi pemikiran, seni, dan musik era Pencerahan dari Jerman. Tapi masa lalu membuktikannya lengket. Perintah umum Pound yang penting untuk membuat baru, dan nasihat Adorno untuk menantang koherensi palsu dan harmoni, menghadapi penentangan TS Eliot tentang hubungan antara seniman ke tradisi. Eliot menulis:

“Kita sering akan menemukan bahwa tidak hanya yang terbaik, tapi bagian yang paling individu dari karya seorang penyair, mungkin orang-orang di mana penyairnya mati, nenek moyangnya menegaskan keabadian mereka yang paling penuh semangat.” [9]

Sarjana sastra Peter Childs menyimpulkan kompleksitasnya:

“Ada paradoks jika tidak ada kecenderungan menentang ke arah posisi revolusioner dan reaksioner, takut terhadap hal yang baru dan menyenangkan pada hilangnya yang tua, nihilisme dan antusiasme fanatik, kreativitas dan keputusasaan.” [10]

Oposisi ini melekat pada modernisme: itu adalah yang dalam arti luas penilaian budaya masa lalu yang berbeda dengan zaman modern, pengakuan bahwa dunia menjadi lebih kompleks, dan bahwa “otoritas final” lama (seperti: Tuhan, pemerintah, ilmu pengetahuan, dan penalaran) yang akan menjadi tunduk pada pengawasan kritis intens.

Interpretasi mutahir tentang modernisme sangatlah bervariasi. Beberapa reaksi membagi abad ke-20 ke dalam modernisme dan postmodernisme, sedangkan yang lainnya melihat mereka sebagai dua aspek dari gerakan yang sama.

Untuk memahami resume singkat tentang modernisme, saya mengutip dari penjelasan tentang Filsafat Barat Modern dari Sang Dosen di The Islamic College for Advanced Study (ICAS) Jakarta, 2004, Dr. Fransisco Budi Hardiman, di bawah ini: [11]

  • Arus Utama dan Karakteristik Filsafat Modern:

Menurut Fransico Budi Hardiman, Ph.D dalam kuliah-kuliahnya di ICAS Universitas Paramadina tahun 2004 yang penulis ikuti, ada beberapa arus utama dalam Filsafat Barat Modern (Modernisme), yaitu:

  1. Rasionalisme (Descartes, Spinoza, Leibniz, Malebranche, Pascal)
  2. Empirisme (Hobbes, Locke, Berkeley, Hume)
  3. Kritisisme (Kant)
  4. Idealisme (Fichte, Schelling, Hegel, Schopenhauer)
  5. Materialisme (Feuerbach, Marx)
  6. Positivisme (Comte, Mach)
  7. Eksistensialisme (Kierkegaard)
  8. Vitalisme (Nietzsche)

Modern” berarti  yang “baru” dan “sekarang”. Modern adalah orientasi temporal  ‘di sini dan sekarang’ [tidak ada ‘di sana dan di masa lalu’ dari mentalitas abad pertengahan]. Istilah ini berhubungan dengan konsep waktu: kemajuan linear [bertentangan dengan konsep siklus waktu]. Konsep kunci dari modernitas: “kemajuan teknologi”, “revolusi”, “pertumbuhan ekonomi”.

Tiga Karakteristik Filsafat moderen:

  1. Berpusat pada masalah kesadaran atau subjektivitas manusiawi [bertentangan dengan theo-sentrisme]
  2. Radikalisasi konsep epistemologis kritik [bertentangan dengan dogmatisme]
  3. Teleologis dan Konsep kemajuan sejarah umat manusia [bertentangan dengan status quo]
  • 1)  Filsafat Modern Adalah Filsafat Subjek:

Secara keseluruhan kita dapat melihat filsafat modern Barat sebagai program penelitian tentang masalah epistemologis dan metafisik kesadaran seperti itu [subjek atau subjectum]. Jadi Habermas menyebutkan itu filosofi Subjek [die Subjekt philosophie] [12]

  1. Asal usul kesadaran (misalnya Descartes dan Locke)
  2. Perkembangan kesadaran (misalnya Hegel, Kierkegaard, Comte)
  3. Runtuhnya kesadaran (misalnya Schopenhauer, Nietzsche)
  • Kritik Sebagai Konsep Sentral Dalam Filsafat Modernisme:

Kritik adalah dianggap rata-rata dari proses emansipasi; yang  berfungsi sebagai:

  1. Refleksi pengetahuan diri (kritik pengetahuan atau epistemologi)
  2. Pemecah benteng manipulasi ideologis (kritik ideologi atau pencerahan)
  3. Perjuangan melawan ketidakadilan politik (kritik terhadap rezim atau revolusi)

Catatan: Kritik bukanlah penolakan belaka terhadap sesuatu, tapi negasi wajar dengan kondisi epistemologis yang kompleks. Ini berasal selama munculnya ilmu pengetahuan alam modern yang mereka sangat skeptis terhadap pemikiran metafisik abad pertengahan. Kritik adalah seorang pembela faktual.

  • 3) Sejarah Memiliki Struktur Teleologis (Kebermanfaatan):

Sejarah tidak sewenang-wenang, namun memiliki akhir yang dapat diantisipasi. Para idealis Jerman mencoba menemukan skema rasional di balik peristiwa empiris sejarah. Mereka percaya bahwa ‘telos’ sejarah adalah kebebasan manusia dan masyarakatnya. Proses peradabannya cara untuk kebebasan manusia.

Marx percaya bahwa manusia (khususnya kaum proletar) adalah aktor sejarah yang mendorong ke ujungnya melalui transformasi sosial (revolusi). Baginya akhir dari sejarah adalah masyarakat tanpa kelas.

Comte menyatakan bahwa ujungnya masyarakat positivis, peradaban ilmiah dari umat manusia.

Hegel melukiskan akhir sejarah sebagai rekonsiliasi akhir gagasan dengan diri, yaitu sejarah yang tahu diri.

Catatan: pemikiran teleologis (Kebermanfaatan) adalah sumber dari utopianisme dalam teori sosial modern.

  • C. Renaissance dan Filsafat Humanisme [13]

Semangat filsafat modern mulai dibangun di zaman Renaissance. Kelahiran kembali peradaban Yunani dan Romawi di Italia selama abad ke-16 tercermin dalam banyak aspek budaya seperti sastra, arsitektur, filsafat, seni dll. Agen utama gerakan renaissance itu adalah kaum humanis seperti Dante, Petrarkha, Rabelais, Thomas Morus, dll. Para humanis mengajarkan kefasihan bicara, sejarah, puisi, moral (sebanding dengan sofis di Yunani kuno).

Manusia sebagai Makhluk Alami (Natural Being): budaya Renaissance memandang manusia sebagai makhluk alami. Dia tidak datang dari langit, tetapi tumbuh dari bumi dan dilengkapi dengan bakat alam dan vitalitas. Jadi figur-figur patung telanjang di galeri renaissance yang mengagungkan keindahan alami manusia ini adalah ciri khas kebangkitan kembali peradaban Yunani di Eropa.

Manusia sebagai Individu: Individu (bukan  kolektif) adalah tema sentral dari seni dan sastra dalam budaya renaissance. Dalam filsafat barat paradigma-pergeseran terjadi selama renaissance, yaitu dari pemikiran theo-sentrisme abad pertengahan menjadi pemikiran antroposentrisme (individualism) modern.

Machiavelli dan “Virtu”: teori kekuasaan Machiavelli adalah contoh dari pergeseran paradigma ini: menurut dia kekuatan politik bukanlah  karunia Tuhan Allah yang diterima melalui keberuntungan (Italia: Fortuna), tetapi sesuatu yang bisa dirampas melalui usaha manusia dan keahliannya (Italia: virtu). Manusia (dalam hal ini sang pangeran) – bukan Tuhan – adalah pusat kekuasaan, dan dari tangannya-lah daya kekuasaan tumbuh, dan stabil dengan tangannya itu, yaitu melalui strategi rasional.

Reformasi Protestan, Renaissance memahami subjektivitas manusia sebagai kemampuan rasional. Tapi reformasi menekankan iman itu sebagai subyektif. Keduanya adalah sama dalam pemberontakan mereka melawan mentalitas abad pertengahan yang berpusat pada ‘alasan obyektif’ atau ‘iman obyektif’. [14]:

  • Hubungan Antara Agama Dan Sains

Menurut Nancey Murphy, diskusi filosofis tentang hubungan antara ilmu pengetahuan modern dan agama secara historis telah cenderung berfokus pada ke-Kristenan, karena dominasinya di Barat. Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama Kristen telah terlalu kompleks untuk dijelaskan oleh model ‘perang’ yang dipopulerkan oleh AD White (1896) dan JW Draper (1874). Perhitungan yang memadai dari dua abad terakhir membutuhkan perbedaan antara posisi konservatif dan liberal. Kristen konservatif cenderung melihat teologi dan ilmu pengetahuan sebagai sebagian yang saling beririsan dalam  tubuh pengetahuan. Firman Allah dinyatakan (diwahyukan) di tengah ‘dua buku’:  Alkitab dan alam Semesta. Idealnya, sains dan teologi harus menyajikan perhitungan  yang konsisten tentang realitas yang tunggal; tetapi sebenarnya ada kasus di mana hasil capaian yang ilmu pengetahuan miliki rupanya  bertentangan Kitab Suci, khususnya berkaitan dengan usia alam semesta dan asal-usul spesies manusia.[15]

Kaum Liberal cenderung untuk melihat ilmu pengetahuan dan agama sebagai pelengkap tetapi  tidak berinteraksi satu sama lain, karena memiliki kekhawatiran yang begitu berbeda untuk membuat konflik tidak mungkin. Pendekatan ini dapat ditelusuri ke Immanuel Kant, yang telah membedakan dengan tajam antara akal murni (sains) dan alasan praktis (moralitas). Versi kontras ilmu pengetahuan yang lebih baru, yang berkaitan dengan apa dan bagaimana dunia alam, dan agama, yang berkaitan dengan makna, atau kontras ilmu dan agama karena mempekerjakan bahasa yang berbeda.

Namun, sejak 1960-an semakin banyak sarjana dengan kecenderungan teologis liberal yang telah mengambil minat dalam ilmu pengetahuan dan telah membantah bahwa dua disiplin tersebut dapat diisolasi satu sama lain. Topik dalam ilmu pengetahuan yang menawarkan poin bermanfaat untuk dialog kosmologi dengan teologi termasuk teori Big Bang dan implikasi yang mungkin untuk doktrin penciptaan, konstanta ‘fine-tuning kosmologi dan kemungkinan implikasi dari hal ini untuk argumen desain, dan evolusi dan genetika, dengan implikasinya terhadap pemahaman baru dari individu manusia.

Mungkin impor yang lebih besar adalah hubungan langsung antara ilmu pengetahuan dan teologi. Fisika Newton memupuk pemahaman tentang alam dunia sebagai ditentukan secara ketat oleh hukum-hukum alam; ini pada gilirannya memiliki konsekuensi serius untuk memahami tindakan ilahi dan kebebasan manusia. Perkembangan abad kedua-puluh seperti fisika kuantum dan teori kekacauan telah memanggil fisikawan untuk merevisi pandangan tentang sebab-akibat. Kemajuan dalam filsafat ilmu pada paruh kedua abad kedua puluh memberikan keterangan yang jauh lebih canggih pengetahuan daripada yang tersedia sebelumnya, dan ini memiliki implikasi penting untuk metode argumen dalam teologi.

  • Agama dan Pendahulu Ilmu Pengetahuan Barat

Kepentingan Barat dalam perhitungan sistematis alam adalah warisan dari tradisi Yunani kuno dan bukan dari tradisi Ibrani, yang cenderung berfokus pada dunia manusia. Konsep alam Yunani tidak ditetapkan lebih terhadap konsep alam super, seperti yang telah berabad-abad yang lebih baru, sehingga sangat mungkin untuk mengatakan bahwa filsafat alam Yunani adalah inheren teologis. Sarjana Kristen awal terbagi dalam pendekatan mereka tentang filsafat alam Yunani, beberapa membuat penggunaan besar untuk tujuan apologetik[16],  yang lain menolaknya[17]

Setelah jatuhnya Roma, pusat keilmuan bergeser ke arah timur. Para ilmuwan  Islam di Abad Pertengahan sebagian besar bertanggung jawab untuk melestarikan pelajaran dari orang Yunani, serta untuk perkembangan ilmiah yang signifikan dari mereka sendiri dalam bidang optik, kedokteran, astronomi dan matematika. Melalui Muslim di Spanyol karya ilmiah yang penting Aristoteles diperkenalkan ke Eropa Barat pada abad kedua belas. Pengaruh karya ini pada pemikiran Kristen memuncak di “Two Summas“-nya Thomas Aquinas (Aquinas, T., Aristotelianisme).

  • Ilmu Pengetahuan Modern Awal dan Pandangan Dunia

Pada akhir abad kesembilan belas, White (1896) dan Draper (1874) telah mempromosikan pandangan sains dan agama sebagai musuh tradisionalisme. Namun, sejarah revisionis pada akhir abad kedua puluh menyajikan gambaran yang jauh lebih kompleks. Memang benar bahwa Gereja Katolik telah membungkam Galileo pada tahun 1633, sehingga  konsepsi  mekanisme materi René Descartes dikutuk, dan sensor yang menakutkan, memiliki efek umumnya mengerikan bagi  teori ilmiah sepanjang abad ketujuh belas. Namun, harus dicatat bahwa tidak semua pendeta Katolik menentang Galileo. Selain itu, sejumlah ilmuwan terbesar abad ini adalah Katolik: Pierre Gassendi, Marin Mersenne, Blaise Pascal dan Nicolas Steno, serta Galileo dan Descartes. Orde Jesuit adalah rumah bagi sejumlah ilmuwan yang bukan saja ahli teori yang luar biasa tapi memberikan kontribusi signifikan terhadap ilmu pengetahuan eksperimental.

            Pada periode modern awal, sulit untuk membedakan konflik antara sains dan agama di satu sisi dari konflik intra teologis dan konflik antara ilmu baru dan sintesis skolastik Aristotelian di sisi lain. Perkara  Galileo perlu ditafsirkan ulang dalam penerangan  dari kedua komplikasi ini, karena tidak mungkin untuk memahami resistensi terhadap astronomi Galileo tanpa menyadari fakta bahwa itu mempertanyakan seluruh tatanan sosio-politik yang telah mapan tentang gambaran kosmos dan tempat manusia di dalamnya.  Urusan itu juga tentang perjuangan internal gereja mengenai interpretasi yang tepat dari Kitab Suci. Perkara Galileo yang  mengikuti Agustinus bahwa Kitab Suci harus ditafsiran ulang dan harus direvisi ketika ditemukan konflik dengan ilmu pengetahuan lainnya. Hal ini menempatkan dia dalam konflik dengan para pendeta gereja konservatif lainnya yang mengadopsi strategi interpretatif lebih literalis. Sebuah komplikasi lebih lanjut adalah kenyataan bahwa ilmu baru sering bebas dicampur dengan sihir dan astrologi, yang Gereja Katolik mengutuknya baik karena mereka bereksperimen dengan iblis dan karena kecurigaan bahwa mereka membenarkan pandangan determinisme Calvinis terhadap pandangan kehendak bebas Katolik.

Robert Merton (1938) berpendapat bahwa puritanisme telah mempromosikan revolusi ilmiah, tesis ini masih diperdebatkan lebih dari setengah abad kemudian. Sementara tesis Merton itu dilebih-lebihkan, ada kemungkinan bahwa doktrin Reformed tertentu dari kedaulatan Allah – bahwa kedaulatan Allah mengecualikan semua kontribusi aktif dari makhluk yang lebih rendah untuk karya ciptaaNya – membuat konsepsi ilmiah dan materi filosofis modern sebagai kelembaman atau pasif lebih diterima oleh Isaac Newton, Robert Boyle dan Protestan selain itu.

Di sini sekali lagi adalah penting untuk mengenali interaksi Aristoteles dan sengketa intra-teologis. Konsepsi Mekanis materi adalah penolakan langsung baik dari konsepsi magis Neo-Platonisme dan dari teleologis Aristotelian dan pandangan organik, bahwa ‘bentuk’ yang melekat pada zat yang menyediakan kekuatan dan tujuan built-in. Pada saat yang sama, itu ditindaklanjuti dengan keyakinan teologis pertama diungkapkan oleh teolog nominalis di akhir abad pertengahan. Ini adalah salah satu ironi besar dalam sejarah, kemudian, bahwa konsepsi mekanika Newton tentang materi alam semesta telah begitu cepat berkembang menjadi murni materialis dan pandangan determinis Pierre Simon de Laplace, yang terakhir ini benar-benar tidak sesuai dengan agama.

G.     Geologi, Evolusi dan Usia Planet Bumi

Fisika dan astronomi adalah fokus ilmiah utama bagi para teolog di abad XVII dan XVIII; geologi dan biologi mengadakan tempat analog di abad kesembilan belas dan kedua puluh. Selama berabad-abad, narasi Alkitab tentang Penciptaan sampai tentang Kristus dan Pengadilan Terakhir yang diproyeksikan telah memberikan garis besar kerangka piutang dari alam serta sejarah manusia. Misalnya, kisah Nabi Nuh dan banjirnya menyediakan  penjelasan yang berguna tentang fosil laut yang ditemukan di atas permukaan laut. Namun, pada abad ketujuh belas, sejarah rentang pendek yang dihitung dari Alkitab ditantang dari sejumlah arah. (James Ussher, seorang Uskup Agung Irlandia abad ketujuh belas, telah dikreditkan dengan perhitungan bahwa penciptaan terjadi hanya  4004 tahun sebelum Kristus). Meskipun upaya sporadis untuk mendamaikan sejarah geologi dengan kitab Kejadian (Gennesis) berlanjut hingga saat ini, pada abad kedelapan belas besar sejumlah ahli geologi sudah mengakui bahwa hipotesis Banjir tidak bisa menjelaskan pengembangan ilmu pengetahuan tentang stratifikasi batu dan penempatan fosil. Sejarah lebih lama dari Bumi, sebelum sejarah manusia, harus dianggap. Pada saat yang sama  catatan Mesir dan Cina memanggil untuk  mempertanyakan sejarah jangka pendek manusia jika dihitung dari Alkitab.

Sementara beberapa oposisi kontemporer untuk teori evolusi yang melibatkan  “kronologi bumi yang lebih muda”,  reaksi negatif kepada buku  Charles Darwin, pada abad kesembilan belas, The Origin of Species (1859) yang lebih sering berisi keberatan terhadap Darwinisme sosial dan klaim bahwa manusia berkerabat dengan ‘hewan yang lebih rendah”; reaksi negatif lain berfokus pada kenyataan bahwa seleksi alam telah memberikan sebuah alternatif rancangan ilahi untuk menjelaskan kesiapan organisme dengan lingkungan mereka, sehingga merusak argumen aplogetik yang penting. Meskipun demikian, banyak teolog dan orang beriman lainnya siap menerima teori dan menilai perubahan yang diperlukan dalam teologi untuk menjadi yang bermanfaat daripada sekadar akomodasi, (lihat Darwin, teori Evolution).

  • Ilmu Biologi

Teori evolusi adalah masalah panas  yang mengejutkan lagi pada akhir abad kedua puluh. Sebuah jajak pendapat Gallup yang diterbitkan dalam majalah AS News and World Report  (23 Desember 1991) melaporkan bahwa mayoritas orang Kristen Amerika Utara skeptis mengenai paradigma evolusi makro. Penjelasan terbaik untuk perlawanan ini mungkin adalah kenyataan bahwa masalah ini telah menjadi dibingkai dalam hal penciptaan, dibandingkan kesempatan sebagai pertimbangan asal-usul spesies manusia. Bahwa masalah dapat dirumuskan dalam hal ini adalah karena sebagian untuk teori tindakan ilahi (yang cacat) yang mengkontraskan tindakan kreatif Tuhan dengan proses alami, daripada membiarkan bahwa Tuhan dapat bekerja melalui proses alam, termasuk yang melibatkan peristiwa acak. Kontroversi ini diperparah oleh penggunaan  biologi evolusioner untuk  propaganda ateisme.

Ilmu Genetika menyediakan area baru bagi dialog antara agama dan ilmu biologi. Studi menunjukkan dasar genetika tentang karakteristik dan perilaku manusia yang menimbulkan pertanyaan tentang status pribadi manusia – misalnya, pertanyaan tentang kehendak bebas dan determinisme – yang telah menjadi bagian provinsi filsafat dan agama. Kepentingan tertentu adalah studi kembar yang menunjukkan faktor genetik dalam perilaku keagamaan (misalnya, Eaves et al. 1990).

Penelitian genetik secara umum dan rekayasa genetik pada khususnya telah mengangkat sejumlah pertanyaan etis yang berhubungan dengan etika teologis. Sebagai contoh, sementara sebagian orang menikmati pengobatan genetik untuk penyakit, banyak yang menentang intervensi rekayasa genetik, yang akan mempengaruhi semua generasi berikutnya. Beberapa keberatan didasarkan pada posisi kuasi-religius: ilmuwan seharusnya tidak ‘berperan sebagai Tuhan’. Garis batas pemikiran panggilan untuk pemeriksaan teologis: tidakkah manusia itu sendiri diciptakan untuk berpartisipasi dalam proses kreatif Allah yang sedang berlangsung? Perlu dicatat bahwa pada tahun 1991, US National Institutes of Health telah memberikan hibah pertama pernah ke lembaga Pusat Teologi dan Ilmu Pengetahuan Alam  (Berkeley, California) untuk mempelajari implikasi teologis dan etis dari Human Genome Initiative, proyek untuk memetakan DNA manusia .

  • Kosmologi

Kosmologi fisik adalah cabang ilmu yang mempelajari alam semesta secara keseluruhan. Dimulai pada tahun 1920-an, perkembangan di bidang ini telah memicu perdebatan yang hidup yang berhadapan antara teologi dan sains. Teori The Big Bang, yang berdasarkan perluasan alam semesta dan berbagai data lain, mendalilkan bahwa alam semesta berasal dari sebuah ‘singularitas’  yang sangat padat, sangat panas sekitar 15 sampai 20 milyar tahun lalu. Banyak orang Kristen, termasuk Paus Pius XII, telah menyambut teori ini sebagai konfirmasi dari ajaran Alkitab tentang penciptaan. Tidak hanya orang-orang beragama yang melihatnya seperti itu; Frederick Hoyle membela model steady-state (keadaan mapan) alam semesta, di mana atom hidrogen terwujud di seluruh rentang waktu yang tak terbatas, sebagian karena ia melihatnya sebagai lebih kompatibel dengan ateisme-nya .

      Diskusi antara para teolog tentang relevansi-kosmologi Big Bang dengan doktrin penciptaan melibatkan kontroversi atas sifat teologi. Sebagaimana disebutkan di atas, telah umum di kalangan teolog liberal sejak Schleiermacher untuk mengklaim bahwa makna religius yang sepenuhnya independen dari fakta ilmiah. Para teolog yang memegang posisi ini mengklaim bahwa doktrin penciptaan, harus melakukan dengan hubungan dari semua yang ada hanya kepada Tuhan, dengan mengatakan apa-apa tentang asal-usul temporal alam semesta, dan karena itu sama-sama kompatibel dengan model kosmologi.

Sebuah wilayah penelitian yang lebih baru yang telah disebabkan spekulasi teologis dapat disebut sebagai masalah prinsip anthropoid. Sejumlah faktor di alam semesta awal harus disesuaikan dengan cara yang sangat tepat untuk menghasilkan alam semesta yang kita miliki. Faktor-faktor ini meliputi massa alam semesta, kekuatan empat gaya dasar (elektromagnetisme, gravitasi, dan kekuatan nuklir kuat dan lemah), dan lain-lain. Perhitungan menunjukkan bahwa jika salah satu dari angka-angka ini telah menyimpang bahkan sedikit dari nilai sebenarnya, alam semesta akan berkembang dengan cara yang sangat berbeda, membuat kehidupan seperti yang kita tahu itu – dan mungkin kehidupan apapun – tidak mungkin. Sebuah contoh dari penyerasan gelombang (‘fine-tuning‘) diperlukan adalah bahwa jika rasio kekuatan elektromagnetisme dengan gravitasi telah bervariasi sebanyak satu bagian dalam 1040, tidak akan ada bintang seperti matahari kita.

Banyak yang mengklaim bahwa penyelarasan gelombang dari alam semesta untuk kehidupan membutuhkan penjelasan. Untuk beberapa orang, tampaknya memberikan dasar untuk argumen desain baru (argumen keberadaan Tuhan). Yang  lain percaya bahwa hal itu dapat dijelaskan dalam istilah ilmiah -misalnya, dengan menyarankan bahwa ada jauh lebih banyak alam semesta, baik sejaman dengan kita sendiri atau secara berurutan, yang masing-masing melembagakan  konstanta fundamental yang berbeda. Yang  satu atau lebih dari alam semesta ini akan diharapkan untuk dapat mendukung kehidupan, dan itu hanya di rupa alam semesta sehingga pengamat akan hadir untuk meningkatkan pertanyaan tentang penyelarasan gelombang. Apakah penyelarasan gelombang diambil sebagai bukti keberadaan Tuhan atau tidak, ia memiliki konsekuensi penting bagi teologi yang beberapa filsuf percaya bahwa itu berpendapat terhadap perhitungan intervensionis melanjutkan penciptaan dan tindakan ilahi, karena prasyarat untuk keberadaan manusia dibangun ke alam semesta dari awal.

  • J.      Fisika dan Metafisika

Berbagai perkembangan dalam fisika sejak akhir abad kesembilan belas telah mempertanyakan pandangan dunia determinis. Fisika kuantum telah memperkenalkan ketidakpastian ke dalam pandangan dunia fisika. Teori Quantum umumnya memungkinkan hanya untuk prediksi probabilistik mengenai kelas peristiwa, bukan untuk prediksi peristiwa individu. Tidak jelas apakah pembatasan ini hanya mewakili batas pengetahuan manusia, atau apakah itu menandakan ketidakpastian asli di alam. [18]

Namun, pendapat ilmiah cenderung ke arah pandangan yang kedua. Dengan demikian, kebanyakan fisikawan menolak determinisme dari pandangan dunia Newtonian, setidaknya pada tingkat ini. ‘non-lokalitas Quantum’ mengacu pada fakta aneh bahwa elektron dan entitas sub-atom lainnya yang pernah berinteraksi terus berperilaku dengan cara yang terkoordinasi, bahkan ketika mereka terlalu jauh untuk setiap interaksi kausal dikenal dalam waktu yang tersedia. Fenomena ini secara radikal disebut mempertanyakan gambaran alam semesta Newtonian sebagai partikel diskrit yang bergerak, berinteraksi dengan cara kekuatan fisik yang dikenal. Jika determinisme Newtonian memiliki implikasi yang kuat untuk teori tindakan ilahi, itu pasti terjadi bahwa perkembangan dalam fisika kuantum ini harus memiliki implikasi teologis juga. Apa implikasi ini masih sangat banyak pertanyaan terbuka.

Sebuah perkembangan yang lebih baru, yang melintasi fisika dan ilmu-ilmu alam lainnya, adalah teori chaos.[19] Ini adalah studi tentang sistem yang perilakunya sangat sensitif terhadap perubahan kondisi awal. Apa artinya ini dapat diilustrasikan dengan contoh dari dinamika klasik: gerakan bola biliard diatur dalam cara langsung oleh hukum Newton, tapi sangat sedikit perbedaan dalam sudut dampak tongkat biliard telah sangat memperbesar efek setelah beberapa tabrakan; Selain itu, perbedaan awal yang membuat perbedaan besar dalam perilaku kemudian terlalu kecil untuk diukur, sehingga sistem secara intrinsik tak terduga. Sistem chaos ditemukan di seluruh alam – dalam sistem termodinamika yang jauh dari keseimbangan, dalam pola cuaca dan bahkan pada populasi hewan. Teori chaos relevan dengan diskusi tentang tindakan ilahi bukan karena sistem chaos yang tak tentu (yaitu, tidak ditentukan secara kausal/sebab-akibat) dan dengan demikian terbuka untuk tindakan ilahi tanpa melanggar hukum alam. Sebaliknya pengakuan mana-mana sistem chaos menunjukkan keterbatasan intrinsik dari pengetahuan manusia, dan mengarah pada kesimpulan negatif tetapi penting yang satu ini jarang (atau tidak pernah) dalam posisi untuk tahu bahwa Allah tidak bertindak dalam proses alami.

Perkembangan lain seluruh ilmu pengetahuan dengan implikasi penting bagi masalah determinisme dan tindakan ilahi adalah pengakuan dari ‘penyebab atas-bawah’. Ilmu pengetahuan dapat dipahami sebagai sebuah hirarki di mana ilmu yang lebih tinggi mempelajari sistem yang lebih kompleks: fisika mempelajari hal yang terkecil, komponen yang paling sederhana dari alam semesta; kimia mempelajari organisasi partikel fisik yang kompleks (atom dan molekul); biokimia mempelajari senyawa kimia yang sangat kompleks yang membentuk organisme kehidupan, dan sebagainya. Impian para positivis logis adalah untuk memberikan penjelasan tentang ilmu-ilmu di mana hukum ilmu tingkat tinggi semua bisa dikurangi dengan hukum fisika. Konsep reduksionisme jelas diikuti secara alami dari reduksionisme ontologis yang telah menjadi prinsip penting dari pandangan dunia ilmiah modern: jika semua entitas dan sistem yang pada akhirnya terdiri dari entitas dipelajari oleh fisika, perilaku mereka seharusnya dapat dipahami dalam kerangka hukum fisika. Jadi ontologis dan reduksionisme jelas memerlukan reduksionisme kausal, atau “penyebab atas-bawah’. Jika hukum fisika yang deterministik, kami memiliki perhitungan deterministik seluruh alam. Namun, hal itu telah menjadi jelas bahwa perilaku entitas pada berbagai tingkat hirarki kompleksitas tidak selalu bisa dipahami sepenuhnya dari segi perilaku bagian mereka; memperhatikan interaksi mereka dengan fitur non-tereduksi dari lingkungan mereka juga diperlukan. Dengan demikian, negara atau perilaku dari sistem-tingkat yang lebih tinggi penerapan pengaruh kausal atas-bawah pada komponen-komponennya.

Arthur Peacocke (1990) telah menggunakan perkembangan ini dalam pemikiran ilmiah untuk mengusulkan arah baru untuk memahami tindakan ilahi. Dalam padangan bukunya ‘panentheist’, alam semesta adalah ‘ada di dalam’ Tuhan Allah, dan pengaruh Tuhan di alam semesta kemudian dapat dipahami oleh analogi dengan penyebab atas-bawah seluruh hirarki tingkat alami. Sementara usulan ini tidak menjawab pertanyaan tentang bagaimana Allah mempengaruhi peristiwa tertentu dalam kosmos, itu membubarkan masalah lama determinisme kausal.

  • Kritik terhadap Modernisme

Hal ini sangat penting bagi kami sebagai pemikir muslim untuk memahami paradigma modernisme dalam cara yang lebih kritis dan lebih komprehensif, dalam pandangan integral dan holistik, baik dalam dasar analisis filosofis-agama dan juga dalam pengaruh dan efek negatif yang disebabkan oleh paradigma modern yang memimpin dan mengarahkan banyak aspek dan dimensi budaya, ilmu, peradaban manusia dan ekologi di bidang hegemonik Filsafat Modern Barat di sebagian besar bagian dari dunia baru-baru ini secara global.

Dalam menggambarkan penderitaan manusia modern Seyyed Hossein Nasr dengan  tegas menulis:

“Manusia modern telah membakar tangannya dalam api yang ia sendiri telah nyalakan ketika ia membiarkan dirinya lupa siapa diri dia. Setelah menjual jiwanya dalam cara Faust untuk mendapatkan kekuasaan atas lingkungan alam, ia telah menciptakan situasi di mana kontrol lingkungan sangat berubah menjadi pencekikan, yang membawa di belakangnya tidak hanya pemusnahan lingkungan, tetapi juga, pada akhirnya, tindakan bunuh diri”.[20]

 Krisis multidimensional kita baru-baru ini hari ini harus diidentifikasi, dianalisis, dan dikaji untuk memecahkan banyak masalah yang disebabkan oleh pelaksanaan paradigma modernisme dan post-modernisme (barat).

Merujuk kepada Seyyed Hossein Nasr, penyebab krisis multi-dimensional manusia modern adalah krisis eksistensial. Nasr mengatakan:

“Dunia masih terlihat oleh Kekuatan dan elemen yang mengatur sebagai cakrawala tanpa kehadiran spiritualitas, tetapi juga karena mereka yang memandang lanskap kontemporer adalah manusia yang paling sering tinggal di tepian lingkaran roda eksistensinya dan karena itu memandang segala sesuatu dari pinggiran. Dia tetap acuh tak acuh terhadap jari-jari dan benar-benar tidak menyadari sumbu dan Pusat, yang bagaimanapun tetap tak pernah diakses kepadanya melalui mereka. ” [21]

Menurut pendapat saya, apa yang  Nasr bicarakan tentang krisis eksistensial manusia modern adalah sangat benar. Karena mereka telah melupakan realitas keberadaan eksistensial mereka sebagai makhluk spiritual di luar casing jasmani mereka, dan mereka telah lupa sumber utama dari mana mereka datang, dan ke mana hidup mereka akan berakhir dan jiwa mereka akan kembali, maka kehidupan duniawi untuk manusia modern  itu tak berarti dan tanpa-guna. Dari tradisi Islam kita tahu beberapa hadits itu; “Siapa pun yang telah lupa diri mereka, mereka akan lupa Tuhan Allah mereka”, “Siapa yang tahu diri mereka, sehingga mereka akan mengetahui siapa Tuhan Allah mereka”.

Lebih jelas, kelupaan manusia modern ini pada Realitas eksistensial mereka digambarkan oleh Nars sebagai berikut:

Masalah kehancuran lingkungan akibat kemajuan teknologi, krisis ekologi dan sejenisnya, semua masalah derita manusia modern serta postmodern berasal dari penyakit amnesia atau lupa diri dari mana manusia berasal. Manusia modern telah lupa siapa diri dia yang sebenarnya. Mereka hidup di pinggiran lingkaran eksistensinya sendiri, ia telah mampu untuk mendapatkan pengetahuan secara kuantitatif mengejutkan tentang dunia tetapi secara kualitatif dangkal. Dia telah memproyeksikan citra externalized dan dangkal dirinya atas dunia.”[22]

Menurut Armahedi Mahzar dalam teks Pendahuluannya untuk buku karya Hussain Heriyanto tentang “Paradigma Holistik”, bahwa dalam pertengahan abad yang lalu, telah disadari perlunya adanya perubahan paradigma atau kecenderungan  merubah paradigma yang lebih baru dalam ilmu pengetahuan. Paradigma adalah asumsi filosofis yang menjadi dasar-dasar atau prinsip-prinsip dasar untuk setiap bidang peradaban seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Paradigma yang dominan di awal abad terakhir adalah paradigma materialistik-mekanistik yang dikenal sebagai Paradigma Cartesian-Newtonian.[23]

Keberhasilan teori gravitasi dan mekanika Newton, yang telah diperkuat dengan teori lain seperti metode hipotetik deduktif yang rasional-spekulatif yang dikembangkan oleh Rene Descartes, dengan  metode eksperimen-induktif dan obyektif-empirik berlebihan, yang dikembangkan oleh Roger Bacon.

Descartes telah mencoba untuk menemukan sebuah filosofi   yang tak tergoyahkan dalam rangka memerangi sikap skeptis, ia menggunakan indubtability (tidak meragukan) keraguan dirinya sebagai landasan filsafatnya (“Aku Berfikir maka Aku Ada” / “Co gito ergo sum”). Selain itu, adanya ego dari peragu dan pemikir adalah wajar didasarkan pada fondasi itu. Dia memperkenalkan kejelasan dan keunikan sebagai kriteria indubitability, yang ia membuat standar untuk membedakan ide-ide yang benar dari ide-ide yang salah. Dia juga berusaha untuk menggunakan pendekatan matematis untuk filsafat, dan bahkan berusaha untuk memperkenalkan logika baru.

Oleh karena itu, untuk mulai dengan keraguan sebagai titik awal untuk berdebat dengan kaum skeptis adalah wajar. Namun, jika seseorang membayangkan bahwa tidak ada yang begitu jelas dan pasti, dan bahkan keberadaan peragu harus disimpulkan dari keraguan, ini tidaklah akan valid. Sebaliknya keberadaan ego sadar dan berpikir setidaknya sama jelasnya dan tentu sebagai adanya keraguan itu sendiri yang merupakan salah satu dari negara-negara tersebut.

Pemikiran Descartes  sangat layak untuk dihargai dalam memerangi skeptisisme di jamannya, tetapi kita tidak dapat menerima ide utamanya tentang ‘cogito ergo sum’ ​​(“Aku Berfikir maka  aku Ada”),[24] karena, ide utama Descartes (dengan ide Newtonian tentang prinsip-prinsip mekanik) adalah dasar-dasar yang telah mengembangkan dan mendirikan paradigma materialistik dan mekanistik pada filsafat Barat dan ilmu Pengetahuan. Paradigma materialistik–mekanistik ini, dan sekularisme, bertentangan dengan filsafat Islam tentang  Eksistensi Spiritual dan Realitas Tunggal.

Paradigma materialistik-mekanistik dalam sains, yang berdasarkan pada metode Cartesian dan Newtonian  tentang “hipotesa (deduktif)-eksperimental (induktif)”, telah membawa kecenderungan reduksionisme-materialistik. Oleh karena itu, kehidupan, bahkan kesadaran telah dikurangi menjadi dipandang  hanyalah sekedar merupakan gerakan mekanistik-material belaka. Arus utama ide sekuler ini menyebar dan mempengaruhi berbagai bidang filsafat-ideologi, budaya dan ilmu pengetahuan kehidupan manusia modern. Misalnya Adam Smith berbicara tentang “mekanisme pasar” mengenai  ekonomi, Charles Darwin dalam biologi berbicara tentang “mekanisme evolusi” dan psikolog Sigmund Freud, bicara tentang “mekanisme pertahanan psikologis”. Semuanya serba mekanis.

Mekanisme-Reduksionisme ini, yang berakhir pada ontologi atomistik dan mekanistik ini, secara otomatis menolak dan mengabaikan peran ilahi di alam semesta (sekularisme) dan bahkan meniadakan keberadaan Tuhan. Hal ini bertentangan dengan realitas dan keyakinan pokok tradisi suci dan agama-agama dunia dan terutama Islam.

Selain itu, seperti yang dinyatakan oleh Armahedi Mahzar, M.Sc dalam ceramahnya tentang  Filsafat Ilmu Islami di ICAS Paramadina University:  “Dominasi Paradigma Cartesian-Newtonian pada ilmu pengetahuan  modern, telah membawa dan menjebak peradaban manusia kepada kegelapan krisis multidimensi bagi kehidupan manusia. Krisis ini, baik berupa krisis internal maupun eksternal. Krisis internal paradigma ini ditunjukkan oleh Prinsip Relativitas Einstein, prinsip Heisenberg  tentang “ketidakpastian, dan Teorema Gödel tentang “ketidaklengkapan”.

Krisis eksternal ilmu modern (yang ber-Paradigma Cartesian-Newtonian/ materialistik-mekanistik) ini yang menyebabkan beberapa masalah kritis seperti: pemusnahan massal manusia oleh militer dengan senjata nuklir, senjata kimia, dan senjata biologis pemusnah massal; degradasi lingkungan yang disebabkan oleh depletions, polusi, degradasi, dan kehancuran lingkungan; fragmentasi sosial yang disebabkan oleh industrialisasi, urbanisasi & fragmentasi sosial; keterasingan psikologis manusia dari lingkungan alam, sosial, dan teknologis. [25]

Kritik eksternal terhadap ilmu pengetahuan modern terjadi pada setidaknya tiga kritik :

  • Teologi (ilmu pengetahuan bersifat parsial dengan menolak Realitas Supernatural),
  • Filsafat :
    1. Kritik filosofis fenomenolog (ilmu hanyalah men-skema-kan pengalaman manusia);
    2. Kritik filosofis Post-strukturalisme (ilmu hanya cerita lain);
  • Kritik ideologis yang dilakukan oleh kaum:
    1. Neo-Marxisme (bahwa ilmu pengetahuan hanyalah untuk kepentingan pemodal),
    2. Neo-Feminisme (bahwa ilmu pengetahuan hanyalah untuk kepentingan laki-laki),
    3. Ekologi Radikal (bahwa ilmu pengetahuan adalah hanya untuk kepentingan manusia, bukan lingkungan) &
    4. Etnisis Agama (bahwa ilmu pengetahuan adalah hanya untuk kepentingan orang ras kulit putih).[26]

Sebagai kesimpulan hipotetik, ternyata kita dapat mengatakan bahwa ilmu pengetahuan modern tidaklah benar-benar lengkap, tidaklah rasional, tidaklah objektif, dan tidaklah netral.  Mengapa hal itu dapat terjadi dalam ilmu modern atau paradigma Cartesian-Newtonian? Pertama, menurut teori penulis, hal itu mungkin disebabkan oleh epistemologi ilmu pengetahuan modern terlalu  over-rasionalisme, ‘over-empirisme, ‘over-reduksionisme, alias lebay (berlebihan pada aspek rasionalisme-empirisme dan reduksionisme semua fakta alam semesta). Epistemologi semacam ini lebih mempengaruhi paradigma ontologis, berupa: materialisme, mekanisme, atomisme; dan membawa paradigma aksiologis tentang netralisme, humanisme dan individualisme.

Jadi kalau kita ingin selamat dunia-akhirat, kita harus mau meninjau ulang dan merekonstruksi paradigma sains dan kemanusiaan kita menjadi paradigma holistik dan integral sesuai dengan arah prinsip Tauhid Islam tentang Ketuhanan, alam dan manusia. Yang pertama-tama, kita harus memulainya dari rekonstruksi epistemologisnya. Oleh karena itu, di sini dalam buku  ini saya ingin mengkaji dan melakukan rekonstruksi dalam pikiran kita untuk mencari jalan keluar dan solusi filosofis untuk memecahkan masalah utama dan krisis kehidupan manusia dan peradaban modern yang sedang sakit dan sekarat ini.

Dalam pemikiran Seyyed Hossein Nasr, untuk tujuan melakukan rekonstruksi terhadap paradigma baru ini, seperti untuk memecahkan masalah krisis modernisme, solusi multidimensi yang penting, yang paling signifikan dan relevan adalah bahwa kita harus kembali kepada Worldview (pandangan dunia) Tradisional kita yang merupakan Ilmu Pengetahuan Suci/Sakral/Divine/Ilahiyah, yang merupakan Sophia Perrenialsme dan Metafisika Transenden yang masih memainkan peran sebagai fundamen filosofis mendasar dan pondasi kecerdasan spiritual-intelektual yang holistik dan integral dari umat manusia sepanjang zaman lintas peradaban.

Dalam buku What Is Traditions, S.H. Nasr menjelaskan hubungan antara tradisi dan agama-agama dari perspektif filsafat perennial yang dapat diringkas sebagai berikut: sifat tradisi adalah merangkul semua agama, dan pada agama itulah terletak  asal-usul tradisi tersebut.  Dipahami dalam pengertian agama ini adalah apa yang mengikat manusia dengan Tuhan dan pada saat yang sama mengikat orang-orang satu sama lain. Agama Hindu dan Buddha Dharma, al-Din al-Islam, agama Tao, dan yang sejenisnya, adalah erat terkait dengan makna dari tradisi panjang tersebut, tapi tidak identik dengan itu, walaupun tentu saja dunia atau peradaban yang diciptakan oleh Hindu, Buddha, Taoisme, Yahudi, Kristen, Islam, atau dalam hal ini agama otentik lainnya, adalah dunia tradisional (SH Nasr, 1989, hal.67).

Dari perspektif itu, tradisi, karena itu bertentangan prinsip modernisme. Tradisionalisme ini seolah ingin menumbangkan kejahatan dunia modernisme dalam rangka menciptakan sesuatu kehidupan yang normal (Needleman [end] 1974). Tujuannya bukan untuk menghancurkan apa yang positif dari dunia modern, tetapi untuk menghapus selubung ketidaktahuan dan kebodohan yang memungkinkan ilusi muncul sebagai kenyataan, yang negatif sebagai positif dan yang palsu sebagai benar (SH Nasr 1989).

Sebagaimana Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara telah tulis dalam makalahnya bahwa: “Jika kita membandingkan antara perlakuan filosofis atau tantangan dalam 1.000 tahun yang lalu, tantangan filosofis yang dihadapi oleh umat Islam saat ini lebih serius dan lebih radikal, karena tantangan yang dihadapi oleh al-Ghazali pada zaman itu berasal dari filsuf yang masih sangat percaya dengan realitas metafisik, tetapi tantangan yang dihadapi oleh Muslim Intelektual hari ini berasal dari filsuf dan ilmuwan yang telah kehilangan kepercayaan kepada Tuhan YME dan pada pondasi metafisik lainnya.”[27]

Tidak cukup dengan itu, mereka juga telah menyebarkan pandangan anti-metafisik mereka dengan menyerang landasan metafisik seperti dikatakan sebagai ilusi (khayalan) dan tak berarti.  Jadi tantangan yang lebih dan lebih serius dan radikal, karena mereka tidak hanya memberikan penafsiran non-ortodoks dengan realitas metafisik, tetapi juga mereka melakukan negasi/penolakan itu dengan menyerang status ontologis dari realitas metafisik itu sendiri .

Tantangan filosofis yang paling berbahaya untuk dunia metafisik yang berasal dari “Positivisme“. Menurut pandangan Positivisme, satu-satunya realitas yang ada adalah bahwa kenyataan “positif”, hanyalah yang dapat teramati oleh indera. Semua yang di luar dunia fisik (metafisika) hanyalah dianggap spekulasi pikiran manusia yang belum tentu kebenaran realitas ontologisnya dari kesadaran manusia. Konsep-konsep keagamaan pada Tuhan, akhirat, malaikat, dan makhluk ghaib lainnya, diasumsikan sebagai ciptaan pikiran manusia pada awal dari perkembangan mereka. (sebagaimana pandangan Freud).  Pada perkembangan selanjutnya, manusia merevisi konsep agama mereka dengan mengembangkan sistem filosofis yang lebih rasional. Tapi pandangan terakhir itu, menurut mereka, masih berbasis ilusi karena mereka masih percaya pada dunia metafisik. Yang terbaru dan paling sempurna dalam perkembangan pemikiran manusia adalah di tingkat positivisme, di mana manusia menemukan bahwa satu-satunya yang dianggap benar dari realitas hanyalah dunia fisik yang dapat diverifikasi secara obyektif dan positif. Apa yang mereka dapat hasilkan bukanlah sistem kepercayaan religius atau sistem filsafat rasional tetapi ilmu berdasarkan pengamatan akal semata.

Pengaruh positivisme yang lebih besar – dan tentu saja lebih berbahaya sebagai tantangan filosofis dan teologis agamawan – bagi kita – karena mereka memiliki banyak pendukung dari para ilmuwan dari berbagai disiplin, seperti astronomi, biologi, psikologi dan bahkan sosiologi. Pengaruh itu bisa dilihat misalnya, dari tidak sukanya banyak ilmuwan untuk melihat entitas metafisik, seperti Tuhan atau malaikat, sebagai penyebab utama dan sumber untuk alam semesta. Dalam pandangan mereka, Tuhan telah berhenti menjadi apa pun. Dia telah berhenti sebagai pencipta, pemelihara,  pemberi rezeki dan manajer dari alam semesta. Mereka lebih memilih untuk melihat alam semesta sebagai mekanika raksasa yang dijalankan oleh hukum alam, dan fenomena alam yang dapat dijelaskan oleh hukum alam semesta daripada menganggap sebagai ciptaan Tuhan.

Pandangan naturalis positivis ini mudah diketemukan dalam karya-karya atau pernyataan dari ilmuwan Barat yang terkenal dan berpengaruh, seperti Pierre de Laplace, Darwin, Freud, dan Emile Durkheim. Meskipun tidak semua ilmuwan setuju dengan pandangan mereka, tetapi pengaruh mereka dalam ilmu alam masih besar dan dominan. Mereka masih dianggap sebagai “nabi ilmu pengetahuan”. Jadi pemikiran mereka masih memiliki tantangan substantif dan mengancam sistem keimanan Islami. Pierre de Laplace (w. 1827), seorang astronom dan matematikawan Perancis yang dikenal sebagai penemu teori “Big Bang” (bersama-sama dengan Emanuel Kant), merasa tidak perlu bicara tentang Tuhan, ketika dia menjelaskan teori penciptaan alam semesta dalam bukunya The Celestial Mechanism. Alasannya adalah, baginya, Tuhan Allah adalah hipotesis yang tidak diperlukan dalam penjelasan astronomi, atau dalam pernyataannya sendiri nya: “Je nai pas besoin de cet hypothesie.

Charles Darwin (w. 1882) seorang naturalis Inggris yang terkenal dengan teori evolusinya, menyatakan bahwa semua makhluk biologis di alam semesta ini bukan Ciptaan Tuhan Allah Yang Maha Bijaksana, tetapi hanya hasil dari hukum mekanisme seleksi alam. Dalam otobiografinya, Darwin mengatakan: “Ada waktu sebelumnya, dapat dikatakan bahwa bukti keberadaan Allah adalah harmoni dan ketertiban alam. Tapi setelah teori seleksi alam ditemukan, kita tidak bisa mengatakan bahwa kapak bersama kerang laut yang indah, harus menjadi makhluk agent luar dirinya (Tuhan), sama seperti kita mengatakan bahwa engsel sambungan pintu bersama kapak bukan ciptaan Tuhan.”

Pengaruh pandangan positivisme juga muncul dalam Sigmund Freud (w. 1939), seorang dokter dan penemu psiko-analisis. Dalam bukunya The Future of an Illusion, Freud melihat agama sebagai ilusi ini yang berasal dari ketidak-berdayaan manusia dalam menghadapi kekuatan alam eksternal dan daya imajinatif internal dalam dirinya sendiri. Kebangkitan agama dalam waktu yang pertama dari perkembangan umat manusia, ketika mereka belum menggunakan akal mereka (rasio) untuk menghadapi dunia eksternal dan dunia internal, sehingga mereka harus mengontrol dan menekan daya eksternal tersebut dengan bantuan eksternal yang efektif. Karena mereka tidak dapat mengontrol dengan akal mereka, sehingga kebutuhan “kontra efek emosional” untuk mengontrol dan menekan apa yang dia tidak bisa menanggungnya secara rasional. Jika agama dipandang sebagai ilusi, maka secara otomatis agama yang percaya dengan realitas metafisik seperti Allah, malaikat, roh dan akhirat juga dianggap khyalan/ilusi. Itu masalah sama yang telah menjadi pemikiran filsuf Perancis dan sosiolog Emile Durkheim  (w. 1917). Dalam karya-karyanya, ia melihat agama hanya sebagai proyeksi dari nilai-nilai sosial, dan Tuhan hanyalah  ciptaan masyarakat itu sendiri, dan bukan entitas pribadi metafisikal, seperti yang kita percayai.

Serangan untuk metafisika juga dilakukan terhadap sistem Epistemologi Islam, terutama yang berkaitan dengan sumber-sumber pengetahuan. Karena negasi/penolakan ke dunia metafisik, sehingga satu-satunya sumber pengetahuan, untuk kaum positivis hanyalah pengalaman, atau dalam kata lain, sesuatu yang masuk akal. Mereka tidak percaya kepada sumber-sumber lain, yang sangat penting dalam Epistemologi Islam, seperti: akal, intuisi dan wahyu dari Allah. Laplace mengatakan: “Saya tidak mempercayai apa pun kecuali akibat langsung dari pengamatan dan perhitungan.” Jadi mereka tidak percaya pada wahyu dan juga “pengalaman mistik” sebagai salah satu sumber pengetahuan. Meskipun dalam tradisi epistemologi Islam, bahwa ada tiga sumber pengetahuan – yang Mulla Sadra (w.1050/1640) seorang filsuf muslim di abad ke-17, sebut sebagai ” burhan, irfan dan Qur’an“- yang diterima sebagai sumber pengetahuan yang valid sebagai yang hal yang sama dengan akal inderawi.[28]

Kaum Positivis, tentu saja, hanya menerima indra (via pengamatan) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang valid dan satu-satunya yang terpercaya. Sumber pengetahuan lainnya, seperti wahyu dan intuisi, dianggap tidak bisa dipercaya karena tidak mendasarkan pada realitas tetapi pada ilusi manusia. Alasan mengapa mereka mengatakan itu adalah karena wahyu dan pengalaman mistik membutuhkan hubungan yang erat dengan alam metafisik, sehingga validitasnya tergantung pada status keberadaan (ontologi) metafisika alam itu sendiri. Setelah keberadaan alam metafisik ditolak, maka validitas sumber pengetahuan – yang bergantung pada mereka – juga secara otomatis ditolak. Karena wahyu dan pengalaman mistik memiliki karakteristiknya, maka validitas mereka dapat diterima jika kita menegaskan status ontologis wilayah metafisiknya. Sekali keberadaan realitas yang ditolak, maka kemungkinan adalah, bahwa wahyu dan pengalaman mistik yang didasarkan pada mereka juga ditolak secara otomatis dan dianggap tidak memiliki dasar logis. Bahkan kita tahu apa yang terjadi jika wahyu (dalam hal ini al- Qur’an) ditolak sebagai sumber pengetahuan yang valid, sehingga semua sistem kepercayaan, teologi, dan filsafat-mistik  Islam akan runtuh. Inilah yang Prof. Mulyadhi Kartanegara sebut sebagai tantangan filosofis kontemporer serius dari positivisme Barat yang telah menganggap tiadanya Sistem Epistemologi Islam. Maka Kita sebagai intelektual muslim memiliki kewajiban untuk memberikan respon filosofis yang sama, bahkan lebih baik dan lebih meyakinkan daripada argumen mereka.[29]

Tantangan lain yang berkaitan dengan serangan dari kaum positivis terhadap metafisika, juga telah mempengaruhi bangunan etika Islam, baik secara agama dan secara filosofis, tentu saja sampai tingkat tertentu berdasarkan perintah Allah SWT. Tetapi jika keberadaan Tuhan itu sendiri sebagai entitas metafisik ditolak, ajaran etika Islam sehingga kehilangan dasar mereka. Freud mengatakan: “Jika validitas norma etika berdasarkan Perintah Tuhan, sehingga masa depan etika berdiri dan runtuh dengan ada atau tidak adanya Kepercayaan pada Tuhan. Dan karena Freud menganggap bahwa bila iman keagamaan menghilang, jadi dia percaya bahwa jika kita mempertahankan hubungan antara agama dan etika, itu akan menghancurkan nilai-nilai moral untuk dirinya sendiri. “

Oleh karena itu, bagi modernism Freud, satu-satunya sistem etika yang mereka terima adalah sistem etika humanisme saja, berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaan manusiawi, bukan berasal dari sumber transenden lainnya. Untuk mereka, apa yang disebut sebagai wahyu, yang tidak sekedar pemikiran manusia (dalam hal ini: Nabi), dan bukan sebagai emanasi (pancaran ciptaan) dari alam ilahi, yang mereka tolak keberadaannya.  Jadi, nilai-nilai apa saja yang ada dalam wahyu dilihat tidaklah mutlak dan tidak dapat diterapkan untuk sepanjang waktu, seperti yang diyakini oleh pengikutnya. Wahyu, untuk mereka serta pemikiran manusia lainnya, dan tentu saja relatif dan tenggelam di bawah perubahan ruang dan waktu, sehingga dapat berubah jika diperlukan oleh zaman. Ini adalah pandangan kaum positivis tentang nilai-nilai etika skriptural, yang serta karya-karya filsafat umum, yang aneh dan tidak stabil terhadap perubahan dan bahkan total wajib dikoreksi .

Kritik yang sama juga ditujukan kepada pengalaman mistik mereka dan keabsahannya sebagai etika yang bias. Kaum Positivis pernah mengasumsikan pengalaman mistik sebagai salah satu halusinasi. Bahkan mereka mengalamatkan validitas pengalaman intelektual yang mendukung realitas metafisik. Semua itu mereka lakukan karena mereka telah kehilangan iman kepada alam metafisik. Bagi mereka, satu-satunya dasar yang dapat kepercayaan untuk etika adalah justru pengetahuan berdasarkan pengalaman dengan alam. Etika menurut Freud tidak didasarkan pada kepercayaan agama yang merupakan “ilusi”, tapi dengan memberdayakan akal manusia.

Ini adalah beberapa tantangan yang dihadapi oleh Cendekiawan Muslim saat ini, tantangan yang lebih radikal dan serius dari tantangan yang dihadapi oleh Muslim Intelektual pada saat al-Ghazali.[30]

  • L. Krisis Eksistensial: Sumber Krisis Multidimensional

Menurut Dr. Hussein Heriyanto, dunia Eropa abad keenam belas telah menyatakan kedaulatan manusia itu sendiri. Dengan berakar pada rasionalisme, manusia (di Barat/Eropa) merasa telah menemukan identitasnya melalui gerakan renaissance, dengan filsafat antroposentrisme/pemikiran modern, reformasi dan pencerahan (enlightenment/Aufklarung). Dengan motto Sapere Aude (berani berpikiran sendiri! )  manusia menghendaki otonom dan bebas dari segala belenggu otoritas dan tradisi (agama & budaya). Zaman Aufklarung, abad ke-18 Masehi, adalah puncak dari kekuatan optimisme dan rasionalisme sebagai pengganti kesejahteraan pembawa obor iman umat manusia.[31]

Manusia modern telah memberontak terhadap cara pandang metafisik atau pemikiran teologis. Langit suci dihancurkan oleh interpretasi prematur kosmologi Copernican. Ilmu pengetahuan transendental Ilahiyah didesakralisasi (sekularisasi) melalui rasionalisme dan empirisme. Pesona alam semesta ini dihancurkan oleh ‘cogito ergo sum’ dari Descartes dan mekanika Newton.  Agama dan gereja bersama-sama dengan pendetanya lah yang meminggirkannya. Nilai-nilai moral tradisional dibuang. Norma agama dikatakan sebagai belenggu kebebasan dan otonomi subjek.

Seiring dengan perkembangan kesadaran modernitas, sekularisasi adalah menjadi klaim historis dan kesadaran manusia modern. Sekularisasi adalah suatu proses di mana manusia berpaling dari “dunia luar” (di luar dunia atau akhirat) dan hanya terfokus pada “kehidupan di sini dan sekarang”. Dengan sekularisasi ini, orang-orang merasa bebas dari kontrol dan komitmen terhadap nilai-nilai agama. Kesadaran sekuler diwujudkan dalam pemisahan agama dari dimensi kehidupan, terutama dalam bidang sains, sosial, ekonomi, dan politik. Agama hanya dipandang sebagai fenomena warisan budaya dan manusia. Agama hanyalah subjek belaka antropologi dan sejarah.

Pendulum peradaban manusia, yang mengarah kepada pemberontakan terhadap agama manusia modern, terus terjadi. Setelah agama, teologi dan metafisika berhasil dihapus dari wacana ilmiah, kehidupan sosial dan kemanusiaan, dengan membuatnya hanya sebagai urusan murni individual; pemberontakan diarahkan langsung ke jantung keyakinan agama, yaitu Tuhan Allah. Feuerbach menyebutkan bahwa yang disebut Tuhan itu tidak lain adalah cita-cita (ciptaan pikiran) manusia, yang hanya merupakan proyeksi dari nilai-nilai harapan kemanusiaan itu sendiri, seperti pengetahuan, kekuasaan dan kemuliaan. Oleh karena itu, Feuerbach mengusulkan untuk menghapuskan dan menggantinya dengan teologi antropologi. Karl Marx menyebutkan Tuhan sebagai karakter atau konsep penemuan kapitalis-borjuis untuk membius kaum proletar. Kemudian Nietzsche menyatakan pembebasan kematian Tuhan sebagai puncak dari swasembada manusia.

Namun, tidak cukup berhenti di situ, oposisi sekuler dan pelecehan ateisme terhadap agama terus berlangsung. Kaum Positivis ini menilai agama sebagai satu susunan khayalan (ilusi dan delusi) apa pun, karena mereka tidak dapat diverifikasi secara logis ilmiah. Freud bahkan menyebutkan kesadaran beragama adalah produk atau sublimasi dari aspirasi libido seksual yang tidak dapat disalurkan; bahwa orang-orang beragama adalah orang-orang yang memiliki penyakit mental.

Jarum jam sejarah terus bergerak. Abad ke-20 adalah masa menuai badai. Psikoanalisis Freud tidak hanya menghina agama. Melampaui harapan manusia modern, sejauh ini menjatuhkan prestise dan kebanggaan rasionalitas psikoanalisis dan kesadaran otonomi subjek. Freud yang sangat dipengaruhi oleh Darwinisme, mengumumkan hasil penelitiannya, bahwa sebagian besar perilaku manusia didorong oleh libido biologis semata, insting bawah sadar hewaniyah; bahwa rasio kesadaran manusia yang dimainkan hanyalah sedikit seperti dari puncak gunung es di lautan yang merupakan alam bawah sadar manusia. Darwinisme dan Freudianisme telah mengguncang pilar keimanan manusia modern dengan kehebatan rasio.

Abad ke-20 dan 21 adalah abad menuai badai. The “New Left“, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt melengkapi kejatuhan rasionalitas modernisme. Melalui analisis filosofis-sosiologis dan psikoanalisis, mereka mengekspos perilaku masyarakat modern seperti keserakahan terhadap sumber daya alam, irasionalitas, konsumerisme, tirani, hegemoni, fasisme, tribalisme. Horkheimer mengatakan bahwa kebebasan individu saat ini adalah palsu, karena kebebasan hanya dibayangkan saja, sementara pada kenyataannya individu secara tidak sadar diperbudak oleh masyarakat yang didorong oleh kekuatan pasar dan modal.  Individu dan masyarakat modern didorong oleh “kekuatan impersonal”  kapitalisme-konsumerisme yang digaungkan oleh dunia periklanan dan hiburan, dan pasar raya (mall), dan pasar modal. “Kekuatan impersonal” itu siang-malam menarik dan menjanjikan semua harapan. Orang-orang modern terpesona dengan slogan iklan dan hiburan, dan mereka bersedia untuk memberikan diri mereka diperbudak oleh “kekuatan impersonal”. Manusia modern telah menjadi robot dan sekrup kecil mesin sosial yang  tidak bisa lagi berpikir jernih memilih apa yang benar-benar baik baginya, berdasarkan sifat kesadarannya sendiri.

Akibatnya, proyek pembebasan manusia, yang diprakarsai oleh renaissance, reformasi, dan Aufklarung telah gagal, karena manusia modern telah dibelenggu oleh mitos-mitos baru, berhala baru, ilusi baru, takhayul baru, dan dewa-dewa baru, yang diromosikan secara intenfif dan masif serta global oleh kekuatan intelektual konspirasi illuminati-freemasonry global.

Dunia di abad ke-20 sampai ke awal abad 21, telah menuai badai. Perkembangan terbaru dari setiap ilmu pengetahuan, melampaui harapan dan harapan manusia modern, manusia modern telah merusak kepercayaan dari pemahaman ilmiah positivisme[32], yang tampaknya sejauh ini menjadi dua pilar iman mereka .

Munculnya fisika modern dengan munculnya teori relativitas Einstein dan Mekanika kuantum telah merubuhkan teori mekanika klasik dan paradigma mekanistik-positivis Newtonian yang selama tiga abad dianut oleh manusia modern. Alam semesta faktual adalah misteri yang ternyata menyimpan review tak berujung. Kesadaran muncul pada manusia modern, terutama di kalangan akademisi dan berpendidikan, bahwa mereka belum tahu apa-apa tentang seluruh alam semesta dan realitas; bahwa manusia secara faktual dan alam semesta saling berhubungan secara mendalam.

Kesadaran ini, untuk mereka yang berpendidikan, dapat menghancurkan keinginan manusia modern untuk membungkuk dan mengeksploitasi alam, karena secara bersamaan alam telah memberontak terhadap eksploitasi sewenang-wenang manusia, dalam bentuk polusi udara, air dan tanah, memanasnya iklim dan cuaca global, penipisan lapisan ozon. Pada tingkat teori, yaitu epistemologi dan kosmologi, kesadaran yang mengguncang kepercayaan manusia modern dalam ilmu pengetahuan. Akibatnya, pergerakan skeptisisme dan nihilisme yang telah dikembangkan yang tidak lagi memiliki apresiasi ilmu  pengetahuan dan juga bahkan, terhadap semua pengetahuan manusia. Generasi sofisme modern telah dilahirkan kembali. Manusia telah mundur 2500 tahun kembali ke zaman sofisme Yunani klasik .

Abad ke-20 ke abad ke-21 menuai badai. Ilmu pengetahuan dan teknologi diandalkan oleh manusia modern untuk mencapai kebahagiaan ternyata berbalik mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Dua perang dunia yang besar telah terjadi dengan ratusan juta korban manusia dengan rekayasa teknologi senjata. Berbagai senjata canggih, mulai dari senjata kimia untuk bom nuklir, yang dirancang untuk membunuh banyak manusia, atau setidaknya digunakan untuk mengancam dan menggertak negara-negara lain, seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Israel terhadap negara-negara yang tidak mau menyerah kepada arogansi Amerika Serikat & Israel.

Manusia modern melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara faktual tidak berkorelasi positif terhadap kesejahteraan umat manusia. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan di ulang tahun PBB 24 Oktober 1999 lalu, menyebutkan bahwa abad ke-20 sebagai abad paling gelap dan paling keras dalam sejarah umat manusia, abad yang paling ramai dengan cerita penderitaan manusia. Para pemikir yang bijaksana dan intelektual akan mengkhawatirkan munculnya berbagai bencana kemanusiaan dan bencana alam di abad ke-21 mendatang[33]. Oleh karena itu, Anthony Giddens menyebutkan saat ini ditandai dengan ketidakpastian yang diproduksi yaitu periode ketidakpastian dan menyebabkan konsekuensi risiko tinggi.[34]

Kisah penderitaan manusia untuk menemukan realitasnya sendiri, belum berakhir. Krisis modernisme tidak berhenti pada irasionalitas dan krisis moral, krisis epistemologis, krisis ekologi dan krisis kekerasan saja. Tapi krisis modernisme, yang juga melanda Indonesia, tidak berhenti hanya pada krisis epistemologis dan metodologis seperti ini. Lebih akut, terjadi pada tingkat ontologis berkenaan dengan krisis eksistensial manusia mengenai sifat, tujuan dan makna dalam hidupnya. Manusia modern telah dilemparkan ke dalam sebuah krisis eksistensial, kehampaan spiritual, krisis legitimasi makna dan misi hidupnya, serta kehilangan penglihatan dan terasing dari alam semesta, dari Tuhan dan dirinya sendiri. Albert Camus menjelaskan bagaimana segala upaya manusia untuk menemukan esensi dari siapa dia, selalu bertemu dengan kegagalan, sehingga sampai kesimpulan bahwa hidup ini adalah tidak masuk akal, tidak memiliki arti. Kehidupan adalah seperti orang yang berjuang untuk mendaki gunung tanpa harapan tidak akan pernah mencapai tujuan. Albert Camus sehingga mempertanyakan mengapa manusia, yang tidak tahu dan tidak punya tujuan dalam hidup masih akan hidup di dunia yang tidak berarti ini. Mengapa manusia tidak lebih baik bunuh diri?

Abad ke-20 abad ke-21 menuai badai. Setelah 6 abad manusia menyatakan kedaulatannya dan menyatakan kematian Tuhan sendiri, situasi sekarang terbalik. Jarum sejarah telah mengguncang sendi kepercayaan manusia modern; rukun iman mereka itu jatuh. Rasionalitas , subjek otonom, antroposentrisme, positivisme, ilmu pengetahuan dan teknologi, kini bersiap-siap menjadi puing-puing fosil peradaban. Energi yang hilang. Roh telah menghilang. Bulan Purnama dari peradaban manusia modern telah menjulang di kelopak mata. Manusia modern telah meninggal.

Manusia harus mati? Beberapa dari mereka kemudian membuat dirinya tampil seperti dalam perilaku Cheerful Robot (robot yang ceria), orang yang mencoba melarikan diri dari kecemasan mental mereka dan kecemasan eksistensial dengan menerjunkan diri dalam hiburan, kesenangan sensual (terutama seksual), konsumsi produk-produk mewah, melakukan perjalanan ke tempat terdekat yang menyenangkan, dan sibuk dengan daya tarik permainan yang beragam. Semua itu dilakukan secara tidak sadar, dan sepenuhnya tunduk pada rekayasa psikologis kapitalis-imperialis “pedagang kesenangan”. Banyak lagi yang berperilaku seperti zombie, zombie yang menghantui di jalan-jalan mencari mangsa, tanpa emosi berdarah dingin, bertindak anarkis–destruktif, seperti yang ditampakkan oleh bebagai aksi terorisme seperti serangan militant ISIS di Syiria dan Serangan Koalisi Arab Saudi kepada sesama Muslim di negeri Yaman (2015) atau pembantaian rakyat Palestina oleh tentara Israel.

Lebih Jauh, terutama di kalangan terdidik, ditandai dengan kecemasan eksistensial mereka dengan meninggalkan eksistensi mereka sendiri, yaitu dengan mengambil sikap apatis, skeptis terhadap semua hal, nihilistik, dan jika perlu, bunuh diri dan bergelimang dengan kemabukan minuman keras, candu dan narkoba.[35]

Menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat: “Ketika mereka menyingkirkan Tuhan Allah, mereka sebenarnya tidak hanya terasing dari Allah. Mereka terlemparkan ke dunia tanpa mengetahui ke mana mereka harus pergi. Mereka tersesat. “Sebagai hasil dari proyek kedaulatan manusia yang diresmikan oleh Renaissance dan Aufklarung (reformasi) yang telah gagal, karena manusia modern telah dibelenggu oleh mitos-mitos baru, berhala baru, ilusi baru,  takhayul baru, dan para dewa baru! Orang-orang telah terbelenggu oleh petualangan liarnya sendiri, sampai hilang dan terlemparkan dari dirinya sendiri, terasing dari alam semesta dan dari Tuhan Yang Sejati.[36]

Krisis eksistensial ini berlandaskan pada aspek ontologis atau masalah metafisika yang telah ditutup korelasi dan implikasinya dengan mode epistemologis Barat modern mereka dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern, jadi kita juga harus menjelaskan dan mendiskusikan masalah-masalah epistemologis ilmu modern.

  • M. Memahami Epistemologi

Istilah epistemologi digunakan pertama kali pada tahun 1854 oleh JF Feriere. Epistemologi adalah cabang filsafat yang mencoba untuk menjawab pertanyaan dasar seperti yang Kant Katakan: “Was  kann ich wissen?” (“Apa yang bisa saya ketahui?”).[37] Karena jawabannya adalah tentang masalah pusat pemikiran manusia, sehingga epistemologi memiliki posisi sentral, sebagai mana Ayn Rand sebutkan, epistemologi adalah dasar dari ilmu-ilmu filosofis. Epistemologi merupakan salah satu bidang utama Filsafat. Hal ini berkaitan dengan sifat, sumber dan batas pengetahuan.[38]

Istilah Epistemologi ini berasal dari kata Yunani: ‘Episteme’ dan ‘Logos’. Episteme berarti ‘pengetahuan’ atau ‘kebenaran’ dan ‘logos‘ berarti ‘berpikir’, ‘kata’, atau ‘teori’. Runes mengatakan bahwa ‘epistemologi adalah cabang filsafat yang menjelaskan sumber, struktur, dan metode dan validitas pengetahuan.[39]

Pada abad ke-5 SM, para sofis Yunani mempertanyakan kemungkinan pengetahuan yang dapat diandalkan dan obyektif. Dengan demikian, seorang sofis terkemuka, Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar ada, bahwa jika sesuatu memang ada itu tidak bisa diketahui, dan bahwa jika pengetahuan itu mungkin, itu tidak bisa dikomunikasikan. Sofis lain yang menonjol, Protagoras, menyatakan bahwa tidak ada pendapat seseorang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain, karena masing-masing adalah satu-satunya hakim dari pengalaman sendiri.[40]

Plato, mengikuti gurunya yang terkenal Socrates, mencoba untuk menjawab kaum Sofis dengan mendalilkan adanya dunia yang berubah dan tak terlihat bentuknya, atau ide-ide, tentang mana yang dimungkinkan untuk memiliki pengetahuan yang tepat dan pasti. Hal-hal yang orang melihat dan menyentuhnya, yang mereka pertahankan, adalah salinan sempurna dari bentuk-bentuk murni yang dipelajari dalam matematika dan filsafat. Dengan demikian  hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang menghasilkan pengetahuan sejati, sedangkan ketergantungan pada persepsi rasa menghasilkan pendapat tidak jelas dan tidak konsisten. Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis dunia gaib adalah bentuk tujuan tertinggi dari kehidupan manusia.

Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai ‘The Theory of Knowledge’. Epistemologi dalam penjelasannya terdiri dari dua bagian: ‘epistemologi umum’ dan ‘epistemologi khusus’ atau ‘teori pengetahuan khusus’, terutama untuk pengetahuan ilmiah; sehingga dapat menyebutkan sebagai “Filsafat Ilmu”[41]. The Philosophy of Science  (Pengetahuan) dan Epistemologi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Filsafat Ilmu didasarkan pada epistemologi, terutama pada masalah validitas ilmiah.[42] Validitas ilmiah terdiri dari tiga konsep teori kebenaran: korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Korespondensi membutuhkan keselarasan antara ide dan fakta eksternal (alam semesta), kebenarannya adalah empiris-deduktif; koherensi membutuhkan keharmonisan antar pernyataan logis, kebenaran ini bersifat formal-deduktif; sementara pragmatis memerlukan kriteria instrumental atau kebutuhan, kebenaran ini adalah bersifat fungsional.

Produk Korespondensi adalah ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi, sosiologi; produk koherensi adalah ilmu abstrak seperti: matematika dan logika, sedangkan produk-produk pragmatis diterapkan ilmu seperti: kedokteran. Jadi epistemologi merupakan dasar fundamental filsafat ilmu, terutama untuk membuat identifikasi untuk pengetahuan ilmiah, atau pengetahuan sehari-hari, dan bagaimana menggunakan metodologi yang tepat dan prosedur untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah.[43]

  • Implikasi Agama Kristen terhadap Ilmu Pengetahuan /Sains

Sebagian besar entri ini difokuskan pada implikasi dari ilmu agama. Namun, juga terjadi bahwa agama memiliki implikasi bagi ilmu pengetahuan. Telah dikatakan bahwa ajaran Kristen adalah kontributor penting untuk kebangkitan ilmu pengetahuan modern: kebebasan Allah mensyaratkan bahwa fitur dari dunia alam tidak bisa disimpulkan apriori dari prinsip-prinsip rasional, namun kebaikan dan kesetiaan Tuhan menyatakan bahwa dunia tidak akan begitu kacau untuk dapat dipahami. Keberadaan agama adalah pengingat yang berharga bahwa ada batas-batas luar yang tidak bisa dijelasan secara ilmiah, dan doktrin-doktrin yang membantu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berada di luar batas-batas itu. Era Newtonian melihat pemisahan filsafat alam (science) dari teologi natural, dan sejak saat itu telah menjadi anggapan metodologis dari ilmu yang harus memberikan penjelasan murni alami. Ilmu pengetahuan telah demikian menetapkan batas-batas kompetensi sendiri, tapi ini tidak berarti bahwa apa yang di luar kompetensinya karena itu tidak penting (atau tidak ada/eksis).

Kosmologi dan fisika menimbulkan pertanyaan yang mereka tidak bisa menjawabnya: Mengapa proses alam berperilaku seperti hukum? Apa yang menyebabkan Big Bang? Mengapa ada alam semesta sama sekali? Sementara teologi dan sains dapat berinteraksi dengan cara yang kecil dalam setiap domain yang tepat, itu adalah di sini bahwa penjelasan teologis datang dengan sendirinya.

  • Hubungan Tak langsung antara Metafisika dan Epistemology

Jika konflik langsung antara teologi Kristen dan berbagai teori ilmu pengetahuan modern telah sering ditekankan, efek merusak pada teologi adalah konflik tak langsung antara agama dan ilmu pengetahuan yang telah terlalu sedikit menerima perhatian. Interaksi tak langsung ini dapat dianggap di bawah judul metafisika dan epistemologi.

Pandangan Mekanika Descartes tentang materi sebagai perpanjangan murni, yang disertai dengan pandangan pikiran sebagai  ‘berpikir substansial ala Descartes’,  yang telah meresmikan dualisme metafisik,  yang telah menggantikan pandangan yang lebih tua dan lebih bernuansa pandangan antropologi Kristen. Sejauh dualisme ini telah terbukti secara filosofis tidak bisa dipertahankan, Kristen, dengan pandangannya tentang jiwa dan kehidupan setelah kematian, telah muncul dipertahankan juga.

Gambaran alam semesta sebagai Jarum jam seperti suatu sistem partikel yang bergerak tertutup, yang diatur ketat oleh hukum fisika (gambaran yang dicontohkan pada abad kesembilan belas oleh karya Laplace), menciptakan masalah dalam memandang tindakan ilahiyah Tuhan. Berbagai deisme populer menawarkan akun yang paling masuk akal: Tuhan adalah pencipta alam semesta, dan bertanggung jawab atas hukum alam, tetapi tidak memiliki interaksi yang berkelanjutan dengan dunia alam atau dengan sejarah manusia. Alternatif untuk theis (mereka yang masih percaya Tuhan) adalah perhitungan intervensi ajaib atau pertimbangan Allah sebagai penopang imanen proses alam (Miracles). Yang pertama tampaknya membuat Allah irasional (bertentangan dengan ketetapan Tuhan Allah sendiri) atau tidak kompeten (perlu menyesuaikan sistem).             Pandangan yang terakhir membuatnya sulit untuk mempertahankan rasa lebih keterlibatan pribadi Tuhan Allah dalam kehidupan manusia daripada yang mungkin untuk Deists tersebut. Sebagian besar perbedaan antara kaum Kristen liberal dan konservatif dapat ditelusuri ke dalam teori tindakan Tuhan: kaum konservatif cenderung untuk mengambil Tuhan yang bisa intervensi, sebuah pandangan kaum liberal tentang Tuhan yang imanentis (menyelemuti).

Epistemologi. Teolog abad pertengahan memiliki dua set kategori epistemologis yang mereka miliki, yang berkaitan dengan scientia (pengetahuan demonstratif atau ilmiah) dan yang berkaitan dengan opinio (‘kemungkinan’ keyakinan, termasuk yang didasarkan pada otoritas). Jadi kesimpulan teologis tersebut yang tidak bisa disimpulkan dari prinsip-prinsip pertama yang bisa dengan senang hati didasarkan pada otoritas tak tercela, sangat bernuansa firman Allah. Namun, pada periode modern, berbagai ilmu pengetahuan yang dikontrak oleh bidang matematika dan logika formal; Hume dan Kant keduanya memberikan kritik kuat argumen deduktif bagi keberadaan Allah dan teologi alam pada umumnya. Selanjutnya, ketika kemungkinan pengetahuan mengambil rasa pengetahuan kontemporer berdasarkan bukti empiris yang berat, menarik menjadi tidak relevan bagi otoritas, dan yang paling dinilai mustahil untuk memberikan bukti empiris untuk klaim teologis. Jadi pertanyaan sentral bagi para teolog modern liberal adalah bagaimana, jika teologi adalah mungkin sama sekali.

            Teologi liberal menyimpang dari rekening yang lebih tradisional sebagai hasil dari strategi untuk memenuhi masalah yang diangkat langsung atau tidak langsung oleh ilmu pengetahuan. Setelah Friedrich Schleiermacher, banyak teolog liberal telah memahami agama untuk membentuk bola sendiri dari pengalaman, tidak berhubungan dengan pengetahuan ilmiah. Doktrin teologis adalah ekspresi dari kesadaran religius, bukan rekening dari alam supranatural. Tuhan bekerja secara imanen, bukan oleh intervensi,  baik dalam dunia alam atau sejarah manusia. Dengan demikian teologi liberal telah menghindari konflik langsung dengan ilmu pengetahuan modern, pada biaya (atau dengan konsekuensi menguntungkan) dari revisi sangat radikal tentang konsep agama dan teologi. Namun, Isu Ian Barbour dalam Sains dan Agama (1966) mempresentasikan gambaran ensiklopedis titik-titik di mana klaim ilmiah yang relevan dengan pemikiran keagamaan, dan dalam Mitos, Model, dan Paradigma (1974) ia berpendapat kesamaan epistemologis yang signifikan antara ilmu pengetahuan dan agama. Sejak saat itu, semakin banyak ilmuwan ulama dari sayap liberal dari Kristen telah mulai memanggil divisi modern wilayah dipertanyakan.

  1. Pentingnya Merevisi Epistemologi tersebut

Mengapa epistemologi sangat penting bagi kehidupan manusia? Menurut Murthadha Muthahhari: “Dalam era baru-baru ini, banyak filsafat sosial, mazhab pemikiran (Mazhab), isme, ideolog , itu sudah hal penting, karena semua orang perlu memiliki suatu bentuk pemikiran tertentu bahwa kegiatan kehidupannya akan bergantung pada dan berdasarkan itu. Pada zaman kontemporer sering ada konflik yang terjadi di antara berbagai ideologi dan aliran pemikiran dari banyak kelompok, masyarakat, bangsa, negara.”[44]

Bahkan menurut Samuel J. Huntington, katanya ada ‘pertentangan peradaban’ di milenium ketiga di dunia. Saat ini, kita melihat Militer Amerika dan Inggris yang menaklukkan sumber-sumber alam yang besar seperti minyak dan gas dan untuk melindungi ambisi Zionisme-Israel  telah membuat Irak dan Afghanistan serta Syiria diserang dan diinvasi.

Semuanya dilakukan oleh manusia didasarkan pada pemikiran dan ideologinya. Dan ‘ideologi’ tertentu tergantung pada ‘pandangan dunia’ tertentu.[45] Sementara ‘pandangan dunia’ didasarkan pada epistemologi dalam filsafatnya. Itulah sebabnya epistemologi sangat penting untuk kajian dan penelitian.

Menurut Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi dalam Buku Daras  Filosofis (Philosophycal Instructions), Sebuah Pengantar Filsafat Islam Kontemporer [46]: “Ada serangkaian masalah mendasar yang dihadapi manusia sebagai makhluk sadar yang kegiatannya muncul dari  kesadarannya; dan jika manusia menjadi lalai dalam usahanya untuk menemukan jawaban yang benar untuk masalah ini, ia akan menemukan diri fakta sebaliknya dari ia telah melintasi batas antara kemanusiaan dan kebinatangan. Tetap dalam keraguan – selain ketidakmampuan untuk memenuhi kebenaran nuraninya – tidak akan ada yang memungkinkan manusia untuk menghilangkan kecemasan tentang kemungkinan tanggung jawab-nya. Ia akan ditinggalkan merana atau, seperti yang kadang-kadang terjadi, berubah menjadi makhluk yang berbahaya. Karena solusi yang keliru dan menyimpang, seperti materialisme dan nihilisme, tidak bisa memberikan kenyamanan psikologis atau sebagai makhluk sosial yang baik, kita harus mencari penyebab mendasar korupsi individual dan sosial dalam pandangan dan pikiran yang menyimpang. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain kecuali untuk mencari jawaban atas masalah ini dengan tegas dan resolusi tak kunjung padam. Kita tidak mungkin berusaha sampai kita membangun cadangan dasar bagi kehidupan manusia kita sendiri dan dengan cara ini membantu orang lain juga, dan menangkap pengaruh dalam masyarakat pikiran yang tidak benar dan ajaran yang menyimpang, yang saat ini.

Sekarang bahwa perlunya sebuah upaya intelektual dan filosofis telah menjadi jelas dan tidak ada ruang yang telah ditinggalkan untuk keraguan atau ketidakpastian, tetap bagi kita untuk mengambil langkah pertama dalam perjalanan wajib ini dan tidak dapat dihindari atas mana kita telah selesaikan dengan menghadap ke pertanyaan berikut:  Apakah akal manusia dapat memecahkan masalah ini?

Pertanyaan ini membentuk inti tentang masalah di mana epistemologi dipusatkan. Sampai kita memecahkan masalah cabang filsafat ini, kita tidak akan dapat sampai pada solusi terhadap masalah-masalah ontologi atau untuk cabang lain dari filsafat. Sampai nilai pengetahuan intelektual ditentukan, klaim yang disajikan sebagai solusi nyata untuk masalah tersebut akan menjadi sia-sia dan tidak dapat diterima. Akan selalu tetap ada pertanyaan seperti tentang bagaimana kecerdasan dapat memberikan solusi yang tepat untuk masalah ini.

Banyak tokoh terkenal dari filsafat Barat, seperti Hume, Kant, August Comte, dan semua kaum positivis yang telah melakukan kesalahan. Dengan pandangan yang tidak benar, mereka telah tidak dapat menemukan dasar-dasar budaya masyarakat Barat, dan bahkan para sarjana dari ilmu-ilmu lainnya, mereka telah tersesatkan terutama kalangan psikolog behavioris. Sayangnya, pemukulan dan penghancuran gelombang ajaran tersebut juga telah menyebar ke bagian lain dari dunia, dan terpisah dari puncak yang tinggi dan tebing ketidakpastian dengan alasan yang tersisa dan menetapkan latar filsafat ilahi, semuanya kurang lebih telah datang di bawah pengaruh mereka.

Oleh karena itu, kita harus berusaha untuk mengambil langkah pertama yang mantap dengan meletakkan dasar-dasar bagi rumah ide-ide filosofis kita dengan kokoh dan sampai tegap, dengan bantuan Tuhan Yang Maha Esa, kita layak untuk menapak melalui tahap lainnya dan tiba di tujuan yang kita inginkan.

  • Q. Epistemologi dan Bahasa

Pergeseran dari epistemologi abad pertengahan ke empirisme modern memerlukan revisi radikal dalam epistemologi agama. Berbagai strategi yang digunakan selama periode modern untuk menunjukkan teologi menjadi epistemologis yang terhormat. Namun, peningkatan prevalensi ateisme di kalangan ilmiah menunjukkan bahwa strategi ini belum berhasil. Pada titik dalam sejarah intelektual di mana beberapa akan menyebutnya sebagai akhir periode modern, teori pengetahuan telah cukup berubah bahwa pertanyaan tentang status epistemic teologi perlu diperiksa lagi. Perhatian kita di sini akan hanya dengan perubahan yang berkaitan langsung dengan ilmu pengetahuan.

            Pernyataan teolog terkadang telah berhenti dengan alasan bahwa mereka menggambarkan keadaan urusan yang tak terbayangkan. Namun, teori fisika kuantum dan perkembangan ilmiah baru lainnya menggambarkan realitas fisik yang sama tak terbayangkan dan, sebagian orang akan mengatakan, panggilan ke dalam logika tradisional pertanyaan dua-nilai. Argumen ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pandangan pengetahuan lebih rendah hati daripada periode modern disebut untuk; realitas yang lebih kompleks dan misterius dari apa bahasa kita dan konsep memungkinkan kita untuk menangkap .

Hal ini sering dikatakan (terutama oleh para teolog) bahwa teologi berbeda secara radikal dari ilmu pengetahuan dalam hal ilmu pengetahuan yang obyektif sementara semua ilmu agama adalah pengetahuan diri –yang melibatkan, produk dari interaksi antara Tuhan dan subjek manusia. Cara lain di mana ilmu pengetahuan telah marah terhadap pandangan tua pengetahuan, dan mempersempit perbedaan antara ilmu pengetahuan dan teologi, dalam pengakuan bahwa pengetahuan ilmiah itu sendiri adalah interaktif. Pengukuran interaksi dengan fenomena yang diukur, terutama pada tingkat sub-atomik.

Kebanyakan pemikir modern telah dinilai mustahil untuk memberikan dukungan empiris untuk teologi. Namun, dimulai dengan karya Ian Barbour (1974), telah ada penyelidikan dari cara di mana penalaran teologis menyerupai ilmu pengetahuan, termasuk rekening data yang sesuai untuk teologi. Perkembangan ini dimungkinkan oleh kemajuan dalam filsafat ilmu yang menunjukkan ilmu itu sendiri menjadi lebih rumit, dan lebih manusiawi, usaha yang  diasumsikan daripada kaum positivis.

SARAN SEYYED HOSSEIN NASR:

“KEMBALI KE ILMU PENGETAHUAN SUCI TRADISIONAL DAN KEARIFAN ABADI (PERENNIALISM)” Untuk  Menyelesaikan Krisis Multidimensi Manusia Modern

Dalam Bab ini, saya ingin mencoba untuk mengetahui beberapa penjelasan singkat yang menjadi saran atau resep dari cara pandang alternatif untuk mengatasi krisis multidimensi manusia modern yang telah disebabkan oleh pandangan dunia materialistik-sekuler dalam modernisme-materialisme, yaitu dengan menghidupkan kembali Traditional Sacred Science, atau kearifan tradisional yang sakral/suci yang merupakan Sophia Perennialism atau Kearifan  dan Kebijaksanaan Abadi yang dibawa oleh para Nabi Allah dan orang-orang suci (para filosof-irfani dan para wali dan panditha-pujangga) sepanjang sejarah umat manusia.

  • Filsafat dan Tradisi Kenabian

Menurut Seyyed Hossein Nasr ketika ia menulis dalam pengantarnya tentang hubungan antara Filsafat dan Kenabian: “Dalam iklim budaya saat ini di Barat serta bagian lain dari dunia yang dipengaruhi oleh modernisme dan postmodernisme, filsafat dan kenabian dipandang sebagai dua hal yang sangat berbeda, dan di mata banyak orang, pendekatannya dianggap bertentangan dengan pemahaman tentang sifat realitas.

Sepertinya tidak begitu, bagaimanapun, dalam kasus ini berbagai peradaban tradisional sebelum munculnya dunia modern. Juga tidak terjadi bahkan hari ini untuk sejauh bahwa pandangan dunia tradisional telah bertahan. Tak perlu dikatakan, dengan “kenabian/nubuwah” berarti kita meramalkan masa depan, tetapi kenabian membawa pesan dari perintah dari yang lebih tinggi atau lebih dalam realitas “kenabiannya” yang  jelas sebagaimana dalam dunia Mesir kuno, Yunani klasik, dan Hindu, jika tidak berbicara tentang Monoteisme Abrahamik di mana peran kenabian jadi pusatnya.

Jika kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kenabian kepada  tampilan Ibrahimik itu, kita bisa melihat adanya kenabian dalam iklim keagamaan yang sangat beragam di hampir semua yang tidak hanya dari makna hukum, etika dan spiritual, tetapi juga dari satu sapiensial (kebijaksanaan-kearifan) bersangkutan dengan pengetahuan.

Kita melihat kenyataan ini dalam dunia resi di India dan Dukun agama (Shamans) dalam perdukunan yang beragam sebagaimana dalam iatromantis (Nabi-Penyembuh) di dalam agama Yunani dan Taoisme yang abadi, dalam penerangan Buddha dan kemudian di dalam master Zen Buddha yang memiliki pengalaman pencahayaan/pencerahan atau satori, serta para nabi dari agama-agama Iran seperti Zoroaster dan tentu saja para nabi Abrahamik. Akibatnya dalam semua dunia ini, kapanpun dan di manapun filsafat dalam arti universal telah berkembang, telah berhubungan dengan kenabian dalam berbagai cara.”[47]

Bahkan jika kita membatasi definisi Filsafat dengan aktivitas intelektual di Yunani kuno, yang pemahaman sejarah Barat modern anggap sebagai tempat asal spekulasi filosofis, hubungan antara filsafat dan kenabian dapat dilihat menjadi sangat dekat pada saat asal-usul paling awal filsafat Yunani. Kami juga menyadari bahwa kerenggangan hanya terjadi kemudian, tapi  tidak dipisahkan satu sama lain pada awal tradisi filsafat Yunani. Mari kita hanya mempertimbangkan tiga tokoh yang paling penting pada asal spekulasi filsafat Yunani. Pythagoras, yang dikatakan telah menciptakan istilah Filsafat, itu tentu bukan filsuf biasa seperti Descartes atau Kant. Dia dikatakan telah memiliki kekuatan kenabian yang luar biasa dan dirinya seperti seorang nabi yang mendirikan sebuah komunitas religius baru.[48] Kaum Muslim sebenarnya menyebutnya monoteis (muwahhid) dan beberapa menyebutnya sebagai seorang nabi.

Orang yang sering disebut “Bapak logika Barat dan Filsafat“ adalah Parmenides, yang biasanya ditampilkan sebagai rasionalis, yang kebetulan telah menulis sebuah puisi berkualitas biasa-biasa saja. Tapi sebagaimana hasil studi baru-baru ini, Peter Kingsley secara brilian telah jelas menunjukkan, jauh dari menjadi rasionalis dalam pengertian modern, ia telah terbenam dalam dunia kenabian dalam arti agama Yunani dan merupakan seorang pelihat yang visioner.[49] Dalam puisinya, yang berisi pesan-pesan filosofis, Parmenides telah terpimpin ke dunia lain oleh Putri Matahari yang datang dari Istana  Cahaya (Mansion of Light) yang terletak di tingkat eksistensi yang terjauh.[50]  Jawaban untuk Pertanyaan bagaimana perjalanan ini berlangsung adalah “inkubasi”, “sebuah praktek spiritual yang terkenal dalam agama Yunani, di mana seseorang akan diam beristirahat sepenuhnya, sampai jiwanya akan dibawa ke tingkat realitas yang lebih tinggi, dan misteri keberadaan akan terungkap.

Dengan demikian Parmenides melakukan perjalanan batin sampai ia bertemu “para dewa/malaikat Tuhan” yang mengajarkan segala yang penting, yaitu, mengajarkan kepadanya apa yang dianggap menjadi puncak  asal spekulasi filsafat Yunani. Sungguh luar biasa bahwa ketika “Dewa” menemui Parmenides, Dewa menyebut dia sebagai Kouros, artinya anak muda. Fakta ini luar biasa dan menarik karena dalam tradisi Islam istilah yang sangat tepat untuk ksatria spiritual (Futuwwah dalam bahasa Arab, dan jawãnmardi di bahasa Persia) dikaitkan dengan kata untuk pemuda (FATA / Jawan), dan ksatria spiritual ini dikatakan telah ada sebelum Islam dan telah diberi kehidupan baru dalam Islam di mana sumbernya dikaitkan dengan ‘Ali bin Abi Thalib [51], yang menerima Islamnya dari Nabi dan di mana hal itu diintegrasikan ke dalam tasawuf. Selain itu, Syaidina Ali telah dikaitkan oleh sumber-sumber Islam tradisional dengan pendirian metafisika Islam. [52]

Sosok lain Yunani yang diberi gelar kouros adalah Epimenides dari pulau Kreta yang juga berangkat ke dunia lain, di mana ia bertemu Keadilan dan yang membawa kembali hukum ke dunia ini. Seperti Parmenides, ia juga menulis puisi. Sekarang Epimenides dikenal sebagai nabi-penyembuh atau iatromantis yang kepadanya semuanya telah terungkap melalui inkubasi (Meditasi/uzlah) pada saat ia berbaring tak bergerak di sebuah gua selama bertahun-tahun.[53]  Parmenides terkait dengan tradisi ini. Perjalanan Iatromantis ke dunia lain seperti dukun shamans dan tidak hanya mereka telah mampu menggambarkan perjalanannya, tetapi juga menggunakan bahasa sedemikian rupa untuk membuat perjalanan ini mungkin bagi orang yang lainnya untuk memahaminya. Mereka menggunakan mantra/doa-doa dalam puisi mereka yang kita juga lihat di karya-karya Parmenides. Mereka juga memperkenalkan cerita dan legenda Timur bahkan sejauh Tibet dan India, yang sangat menarik karena komunitas Parmenides di Anatolia di Italia selatan itu sendiri dipuji berasal dari Timur di mana dewa Apollo telah mengadakan penghargaan khusus sebagai model ilahi dari iatromantis yang ia terinspirasi sebagai nabi untuk menulis puisi hipnotis yang berisi pengetahuan tentang realitas.

Penggalian arkeologis dalam beberapa dekade terakhir di Velia di Italia selatan, yang merupakan rumah Parmenides, telah mengungkapkan prasasti yang menghubungkan secara langsung ke Apollo dan iatromantis. Sebagaimana Kingsley tulis, “Kami sedang dipertunjukkan bahwa Parmenides sebagai anak dewa Apollo, yang bersekutu dengan tokoh-tokoh puisi iatromantis misterius, yang ahli dalam penggunaan puisi incantory dan untuk membuat perjalanan ke dalam dunia.”[54]  Jika kita ingat bahwa, bila berbicara secara esoteric: “Apollo bukanlah dewa Cahaya tetapi Cahaya Tuhan itu sendiri”[55],  menjadi jelas seberapa dalam filsafat, sebagai mana diuraikan oleh  Pastor Yunani Parmenides, terkait tentang saat asal usulnya dengan kenabian bahkan dipahami dalam terminology (Nabi) Ibrahimik telah menyediakan seseorang dengan tidak mengabaikan makna batin kenabian yang segera kita akan bahas. Sebuah tradisi semua para imam penyembuh telah diciptakan dalam pelayanan Apollo Oulios (Apollo Sang Penyembuh), dan dikatakan bahwa Parmenides adalah pendirinya. Sangat menarik untuk dicatat bahwa meskipun aspek-aspek ajaran Parmenides kemudian dilupakan di Barat, mereka diingat justru dalam kalangan filsafat Islam di mana sejarawan Muslim yang tergabung dalam filsafat tidak hanya Islam, tetapi juga filsafat Yunani yang erat dengan kenabian[56]. Seseorang harus ingat di sini terkenal diktum Arab: yanba ‘al-Hikmah min Mishkat al-nubuwwah, yaitu “filsafat/hikmah muncul dari  ceruk kenabian”

Menarik untuk dicatat bahwa guru Parmenides telah dikatakan jelas miskin dan bahwa apa yang diajarkannya di atas segalanya kepada murid-muridnya adalah keheningan (nyepi) atau hesychia. Ini sangat penting bahwa figur yang kemudian seperti Plato, berusaha untuk memahami Parmenides yang menggunakan istilah hesychia lebih daripada kata lain untuk menggambarkan pemahaman berikutnya terhadap realitas. “Bagi Parmenides, melalui keheningan itu kita datang ke keheningan. Melalui keheningan kita mengerti keheningan. Melalui praktek keheningan kita datang untuk mengalami realitas yang ada di luar dunia indra ini.[57] “Sekali lagi itu adalah kepentingan yang luar biasa untuk mengingat penggunaan hesychia terkait dengan diwujudkan oleh ajaran esoterik dari Gereja Ortodoks, ajaran yang tujuannya adalah pencapaian kesucian dan gnosis/irfan.

Dalam puisi Parmenides dia diberitahu secara eksplisit oleh para dewa (Tuhan YME) untuk mengambil apa yang dia telah pelajari, untuk diajarkan kembali ke dunia dan menjadi utusan-Nya.  Kingsley membuat jelas apa artinya istilah utusan dalam konteks ini.  “Ada satu nama tertentu yang menggambarkan dengan baik  jenis utusan Parmenides yang menemukan dirinya menjadi: nabi (prophets).  Arti sebenarnya dari kata ‘nabi’ tidak ada hubungannya dengan kemampuan melihat (peramal)  ke masa depan. Istilah itu hanya berarti seseorang yang tugasnya adalah untuk berbicara atas nama suatu “kekuatan besar, seseorang atau sesuatu yang lain.”[58] “Fungsi kenabian” Parmenides ini termasuk tidak hanya menjadi seorang filsuf, penyair, dan penyembuh tetapi juga, seperti Epimenides, seorang pembawa hukum.

Hubungan antara Parmenides dan kenabian, bagaimanapun, tidak terutama hanya dalam hubungan sosial, hukum, dan eksoteris, tapi lebih dalam, yang memulai dan esoteris. Puisinya, jika dipahami dengan benar, itu sendiri merupakan inisiasi ke dunia lain, dan “semua tanda-tanda bahwa hanya orang bodoh akan memilih untuk melewatkan, adalah bahwa ini adalah teks untuk inisiasi (bai’at).”[59]  Dalam hal ini ia bergabung dengan  Pythagoras dan Empedocles yang filsafatnya juga ditujukan hanya untuk mereka yang mampu menerima pesannya dan berbicara dengan benar secara dimensi esoteris (batiniah) ketimbang dimensi eksoteris (syariah-lahiriyah) dari agama Yunani, yang membutuhkan inisiasi untuk pemahaman penuh. Sungguh luar biasa lagi dalam pertanyaan ini, bagaimana filsafat Islam menyerupai begitu banyak visi dan pemikiran  filosofis figur tokoh-tokoh pra-Socrates seperti Pythagoras, Parmenides, dan Empedocles, yang semuanya sangat dihormati oleh para filosof Islam, terutama dari mazhab Isyraqi (illuminationist/Pencerahan bathin).

Menjupai  sosok misterius Empedocles, sekali lagi kita melihat seorang filsuf yang juga seorang penyair serta penyembuh dan yang dianggap oleh banyak orang sebagai juga seorang nabi. “Selain sebagai seorang dukun (Sorcerer), dan penyair, ia juga seorang nabi dan penyembuh. Salah satu nabi-penyembuh yang saya telah bicarakan tentangnya.”[60]   Empedocles juga menulis tentang kosmologi dan ilmu alam seperti fisika, tetapi bahkan dalam hal ini domain karya-karya ini tidak ditulisnya hanya untuk sekedar memberikan fakta-fakta, tetapi “untuk menyelamatkan jiwa manusia”[61],  sangat mirip dengan kosmologi sejumlah filsuf Islam, termasuk Suhrawardi dan bahkan Ibnu Sina dalam bukunya Visionary resital.[62] Apa yang penting adalah menyadari sebagian besar dari semua bahwa Empedocles melihat dirinya sebagai seorang nabi dan puisinya sebagai karya esoteris (kebatinan/ruhaniyah).

Menarik untuk menyebutkan bahwa ketiga tokoh tersebut yang datang pada asal-usul tradisi filsafat Yunani juga adalah penyair/sastrawan. Ini merupakan karakteristik dari banyak filosof yang berkembang selama berabad-abad di bawah sinaran matahari kenabian. Kita hanya butuh untuk ingat bahwa para bijak Hindu kuno juga penyair/sastrawan dan juga para bapak  pemikiran filsafat Hindu dalam arti tradisional atau banyak orang bijak Cina yang menyatakan ekspresi dirinya dalam bentuk puisi. Dalam dunia monoteisme Nabi Ibrahim, hal ini harus terlihat di antara sejumlah filsuf Yahudi dan Kristen, tetapi lagi-lagi ini dapat ditemukan terutama di kalangan filsuf Islam seperti Ibnu Sina, Nasir-I Khusraw, Umar Khayyam, dan Suhrawardi  sampai ke Afdal al-Din Kasyani, Mir Damad, dan Mulla Sadra sampai ke Haji Mulla Hadi Sabziwari, yang hidup pada abad ketiga belas masehi.[63]

Dalam dunia di mana kita hidup saat ini, filsafat telah direduksi menjadi hanya sekedar rasionalisme atau terlebih  menjadi irrationalism dan di mana tidak hanya esoterisme, tetapi bahkan agama itu sendiri itu ditolak atau dipinggirkan, interpretasi yang diberikan tentang para pendiri Filsafat Barat tersebut di atas akan ditolak dalam banyak kalangan, dan hubungan antara filsafat dan kenabian pada umumnya dan filsafat, puisi dan esoterisme pada khususnya akan dihentikan atau dianggap sebagai konsekuensi yang kecil saja.

Tapi anehnya bagi pembaca Barat, hubungan antara filsafat, kenabian, dan esoterisme, justru ditegaskan oleh sejumlah sarjana Barat kontemporer, yang ditemukan menjadi pusat tradisi filsafat Islam, yang dengannya sebagian besar dari buku-buku SH Nasr ini akan peduli. Kami telah menyertakan pembahasan tokoh-tokoh Yunani di sini untuk menunjukkan bahwa hubungan antara filsafat dan kenabian, meskipun terputus ke tingkat yang semakin besar di Barat dari akhir Abad Pertengahan dan seterusnya, adalah sangat penting, tidak hanya untuk pemahaman Filsafat Islam, tetapi juga untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang asal-usul filsafat Barat itu sendiri, asal-usul bahwa filsafat Barat telah berbagi saham dengan filsafat Islam, tetapi dapat dipahami dengan cara yang sangat berbeda oleh dua arus pemikiran filsafat Barat yang datang kemudian, yang semakin besar menjauhkan diri dari filsafat perennial dan dari teologi Kristen.

Tentu saja ada mode-mode dan derajat kenabian yang berbeda, sebuah fakta bahwa  jika seseorang menyadarinya, ketika mempelajari berbagai tradisi agama dan bahkan jika seseorang membatasi diri untuk tradisi tunggal, seperti yang kita lihat dalam Yudaisme dan Islam di mana peran kenabian Yunus atau Daniel tidak sama seperti yang dilakukan Musa atau Nabi Islam (Muhammad SAW). Namun ada unsur-unsur umum dalam berbagai pemahaman kenabian sejauh tantangan yang dimiliki filsafat yang bersangkutan. Pertama-tama kenabian menyiratkan tingkatan realitas, apakah ini dipertimbangkan sebagai  hirarki objektif atau subyektif. Jika hanya menjadi ada satu tingkat realitas obyektif yang terkait dengan dunia jasmani dan subyektif dengan kesadaran biasa, kami menganggapnya sebagai satu-satunya bentuk kesadaran yang sah dan diterima, kenabian sebagai fungsi membawa pesan dari dunia lain atau tingkat Kesadaran lain, akan menjadi tidak berarti karena akan ada dunia lain atau tingkat kesadaran, dan suatu klaim bahwa keberadaan mereka akan ditolak dan dianggap sebagai halusinasi subyektif. Seperti pada kenyataannya dengan kasus saintisme modern dan pandangan umum desakralisasi dunia, yang keduanya mengecualikan perspektif Realitas transenden mereka dan tingkat yang lebih tinggi dari keberadaan (eksistensi) vis-à-vis dunia ini serta Diri imanen dan tingkat kesadaran yang lebih dalam dari yang biasa-biasa saja.

Tetapi dalam dunia di mana semua realitas kenabian telah dijalankan dengan satu atau lain cara, penerimaan tingkat yang lebih tinggi dari realitas dan/atau level kesadaran yang lebih dalam yang telah diambil untuk diberikan sebagai cara yang benar untuk memahami sifat dari realitas total di mana manusia hidup.[64] Diformulasikan dengan cara ini, pernyataan ini termasuk monoteisme Ibrahim bersama dengan agama-agama India, Taoisme dan Konghucu serta agama kuno Mediterania dan Iran, dan Shamanisme bersama dengan Buddhisme, yang menekankan tingkat kesadaran daripada derajat eksistensi objektif.

Di dalam dunia ini, di mana semua kenabian merupakan realitas utama, yang menciptakan konsekuensi, yang dengannya filsafat harus berurusan. Kenabian memberikan ajaran moral dan hukum, etika, politik, dan hukum  bagi masyarakat, sehingga filsafat harus mempertimbangkannya. Selain itu, klaim kenabian memberikan pengetahuan tentang hakikat realitas, termasuk pengetahuan tentang Asal atau Sumber dari segala sesuatu, dari penciptaan kosmos dan strukturnya atau kosmogoni dan kosmologi, sifat jiwa manusia, yang akan mencakup apa yang tepat harus disebut “Pneumatology” dan psikologi tradisional dan akhir segala hal, hal akhirat atau eskatologi.  Buah dari kenabian adalah pengetahuan tentang semua aspek utama dari realitas yang dialami atau spekulasi tentang manusia, termasuk sifat ruang dan waktu, bentuk dan substansi, hukum sebab-akibat/kausalitas, takdir, dan berbagai masalah lain yang dengannya filsafat secara umum juga bersangkutan.

Selain itu, bentuk-bentuk tertentu dari kenabian harus dilakukan dengan pengetahuan batin, dengan esoteris dan mistiskal, dengan visi tingkat lain dari realitas yang tidak dimaksudkan untuk masyarakat umum yang luas. Kita telah melihat hubungan asal-usul filsafat Yunani dengan dimensi esoteris agama Yunani, dan kita dapat menemukan banyak contoh lain dalam tradisi-tradisi lain, termasuk tradisi agama Buddha dan khususnya Islam, di mana filsafat menjadi terkait lebih dalam di abad kemudian dengan dimensi batin wahyu Quran. Hubungan antara filsafat dan esoterisme, yang merupakan dimensi kenabian sebagaimana didefinisikan di sini dalam arti universal, juga memiliki sejarah panjang di Barat yang berlangsung sampai gerakan Romantic Jerman.

Dari abad ketujuh belas dan seterusnya, filsafat Barat merasa dipaksa untuk berfilsafat tentang gambaran dunia yang dilukis oleh ilmu pengetahuan modern dan menjadi lebih  merupakan hamba ilmu pengetahuan modern terutama dengan pemikiran Emanuel Kant, dan mencapai banyak puncaknya pada abad kedua puluh dengan filsafat Anglo-Saxon, yang lebih sedikit terikat daripada jejak logika pada pandangan dunia ilmiah.

Dalam cara yang serupa, di berbagai dunia tradisional di mana realitas kenabian dan wahyu adalah menjadi pusatnya, apakah perwujudan dari kenabian ini telah menjadi kitab suci atau bentuk lain dari pesan yang dibawa dari surga atau utusan Tuhan sebagai mana dalam kasus para avatar Hindu, Buddha, atau Kristus, filsafat tidak punya pilihan selain untuk mengambil realitas sentral ini menjadi pertimbangannya. Filsafat harus berfilsafat tentang sesuatu, dan di dunia tradisional tersebut bahwa sesuatu selalu mencakup realitas yang terungkap melalui kenabian, yang berkisar dalam bentuk dari iluminasi dari rhesi Hindu dan Buddha, seperti Tuhan Allah berbicara kepada Nabi Musa di Gunung Sinai atau malaikat Jibril yang mewahyukankan Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW.

Dalam dunia tradisional pertanyaan tersebut, filsafat belum menjadi sesederhana teologi, karena beberapa orang telah berpendapat begitu, kecuali satu batasan definisi positivistik filsafat modern, jika dalam kenyataannya tidak ada filsafat non-Barat atau dalam hal ini filsafat Barat abad pertengahan, yang tidak membicarakannya.

Tetapi jika kita menerima definisi filsafat yang diberikan oleh orang yang dikatakan pertama kali telah menggunakan istilah itu yaitu Pythagoras – dan melihatnya sebagai cinta (philo) kepada Shopia (kebenaran), atau jika kita menerima menurut definisi Plato filsafat sebagai “praktek persiapan kematian” yang menurut filosofinya meliputi aktivitas intelektual dan latihan rohani, maka pasti ada banyak mazhab filsafat di berbagai dunia tradisional, beberapa yang masih ada sampai sekarang, hanya dalam bentuk lisan sebagai salah satunya yaitu  tradisi pribumi Australia (aborigin) dan penduduk asli Amerika (indian),[65] sementara yang lain telah menghasilkan volume tulisan-tulisan filosofis selama berabad-abad.

            Bahkan jika ada orang yang memutuskan untuk hanya berurusan dengan karya-karya filsafat tertulis, orang bisa menulis volume tentang subjek filsafat di tanah kenabian yang berurusan dengan Tao dan tradisi filsafat Konfusianisme Cina, dengan orang-orang Tibet dan Buddhisme Mahayana termasuk mazhab-mazhab Jepang, semua yang memiliki karakteristik khusus mereka sendiri, dan tentu saja dengan tradisi filsafat yang sangat kaya dari Hindu India.

Kita juga bisa beralih ke dunia tradisi agama Ibrahimik dan menulis tentang mazhab filsafat Yahudi, Kristen dan Islam dari perspektif kegiatan filosofis dalam dunia yang didominasi oleh kenabian. Juga tak satu pun menemukan perawatan semacam ini benar-benar lengkap paralel untuk tiga adik tradisi-agama Ibrahimik,  meskipun terkenal kesamaan, karena sementara konsepsi kenabian Yahudi dan Islam dan kitab sucinya yang berdekatan, namun bahwa Kekristenan agak berbeda, di mana pendiri agamanya (Yesus) dipandang sebagai inkarnasi dari Keilahian, berbeda dalam banyak hal baik dari materi Yahudi dan pandangan Islam. Perbedaan ini sangat penting secara filosofis seperti yang kita lihat dalam perlakuan filosofis inkarnasi dalam filsafat Kristen dan “filsafat kenabian” dalam konteks Islamnya. [66]

Untuk memberikan argumen mengapa kita perlu untuk mencari saran atau resep alternatif untuk memecahkan masalah dan krisis modernisme, saya menemukan beberapa artikel yang baik dan jelas dari situs The Center of Science Sacred (http://www.centerfor sacredsciences.org) bellow:

  • Mengapa Kita Perlu Pandangan Dunia yang Baru?

Ketika astronom Polandia Nicholas Copernicus, hampir lima ratus tahun yang lalu, mengusulkan bahwa matahari-lah, dan bukan bumi, yang menjadi pusat alam (tata surya), ia memulai sebuah revolusi ilmiah yang telah mengubah kehidupan manusia dengan cara yang dramatis dan belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk satu hal, ilmu pengetahuan dan teknologi (sains-tek) baru yang dilahirkan ini mungkin telah membuat perbaikan yang cepat dalam bidang-bidang seperti pertanian, manufaktur, obat-obatan, perjalanan, komunikasi dan pendidikan, yang kesemuanya telah memperbaiki standar hidup untuk sebagian besar populasi dunia. Namun, karena seperti yang mungkin menyambut perkembangan ini, hal ini tidak datang tanpa harga. Seiring dengan manfaatnya yang tidak dapat dipungkiri, sains-teknologi ini telah juga membawa di belakangnya sejumlah masalah yang tidak terduga. Kelebihan dan kepadatan penduduk, pencemaran lingkungan, degradasi ekologi (menurunnya kualitas lungkungan), pemanasan global, dan penemuan senjata pemusnah massal, semuanya telah mengancam kita dengan bencana yang jauh bisa lebih besar daripada apa pun akibat perkembangan ilmu pengetahuan yang telah begitu jauh terjadi. [67]

Bagaimanapun yang lebih mengkhawatirkan, adalah kenyataan bahwa meskipun solusi teknologi bagi banyak masalah-masalah ini sudah diketahui, tampaknya kita semakin tidak mampu mempersiapkan diri untuk melaksanakannya. Kelumpuhan psiko-spiritual ini menjadi poin kolektif kami, yang lebih halus namun kita harus tidak/kurang serius membayarnya dengan harga mahal, karena sains-teknologi dengan tidak perlu diragukan lagi, telah merusak keimanan seperti – hilangnya bantalan moral dan spiritual.

Sebenarnya, kerugian ini tidak datang begitu banyak dari sains per-se (yang, tegasnya, hanyalah merupakan metode), tapi dari kita telah menerima pandangan dunia materialisme-nya yang menjadi basis sains-teknologi.  Masalah pada pandangan dunia materialisme ini adalah bahwa banyak penjelasan tentang bagaimana kosmos bekerja, bertentangan penjelasannya dengan yang  pandangan-dunia agamis yang lebih tua, yang telah memberikan panduan moral dan spiritual bagi sebagian besar sejarah umat manusia. Apalagi, mengingat keberhasilan yang tampak dari penjelasan materialis itu telah menjadi lebih mengeras dan sulit bagi orang yang terdidik untuk menganggap serius setiap penjelasan keagamaan.  Apakah para petani modern, misalnya, akan mengandalkan doa-doa dan mantera, daripada pupuk untuk meningkatkan hasil panen? Apakah ibu-ibu modern akan memilih ritual perdukunan tinimbang obat antibiotik untuk mengobati infeksi anaknya?

Perbedaan antara penjelasan yang ditemukan di dalam pandangan-dunia materialis ini dengan pandangan-dunia agamis mungkin tidak dengan sendirinya menjadi masalah, jika bukan karena fakta bahwa fungsi penting dari setiap pandangan dunia adalah untuk memberi pengikutnya pertimbangan internal yang koheren dan konsisten tentang realitas. Akibatnya, bila kita mempertanyakan satu aspek dari pandangan dunia tentu menimbulkan pertanyaan terhadap semua aspek lainnya juga. Dalam merusak penjelasan agama tentang cara kerja kosmos (alam Semesta), pandangan dunia materialisme juga menggerogoti nilai-nilai moral dan spiritual agama-agama tradisional yang telah mapan. Dan, yang membuat keadaan menjadi lebih buruk, karena pandangan dunia materialisme tidak mengakui dimensi spiritual dari kosmos, maka pada dasarnya tidak mampu memasok nilai-nilai spiritual dan moral itu sendiri.

Akibatnya, hari ini banyak orang (terutama di Barat) yang telah meninggalkan pandangan-dunia agama mereka sama sekali dan hidup dalam kekosongan moral dan spiritual. Orang lain telah menyerah kepada sejenis ‘skizofrenia filosofis’ di mana mereka bergantung pada pandangan dunia materialisme untuk pelaksanaan urusan praktis mereka, sementara mencari pandangan dunia agama yang bertentangan untuk membimbing kehidupan rohani mereka.

Pertanyaannya, kemudian, secara alami muncul: “Apakah mungkin untuk menciptakan pandangan dunia baru yang dapat menjelaskan dengan baik keberhasilan ilmu pengetahuan modern sambil mempertahankan nilai-nilai fundamental moral dan spiritual? Sebelum menjawab pertanyaan penting ini, bagaimanapun, kita pertama harus jelas mengenai apa pengertian pandangan dunia itu.

  • Definisi Pandangan Dunia (Worldview)

Secara ringkas, pandangan dunia adalah sebuah konsep yang koheren, yang disepakati tentang peta kosmos. Secara lebih spesifik, pandangan dunia dapat memasok suatu komunitas tertentu dengan:

  • asumsi dasar tentang apa yang nyata dan apa yang tidak nyata, dan kriteria untuk membedakan apa yang benar dari apa yang salah;
  • terminologi untuk membahas asumsi-asumsi dasar dan kriteria tersebut, dan untuk menarik kesimpulan logis darinya;
  • nilai-nilai yang memberikan bimbingan moral dan spiritual bagi tindakan-tindakan kita;
  • contoh-contoh historis yang berfungsi sebagai model peran tentang bagaimana asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai bisa berhasil digunakan dalam rangka untuk memberikan makna hidup kita dan koherensinya.

Apakah kita menyadarinya atau tidak akan hal itu, semua kita memiliki pandangan dunia. Sebagian besar dari kita menerima pandangan dunia kita dari masyarakat di mana kita dilahirkan dan tetap berkomitmen untuk itu sepanjang hidup kita. Beberapa dari kita, bagaimanapun juga, menghadapi situasi atau memiliki pengalaman yang tidak dapat dijelaskan dengan pandangan dunia yang kita warisi tersebut. Ini biasanya berupa endapan krisis kepercayaan yang dapat diselesaikan dalam satu dari dua cara: entah kita sampai pada pemahaman yang lebih dalam tentang pandangan dunia yang  kita warisi, yang menunjukkan bagaimana dapat menjelaskan situasi anomali (keanehan) atau pengalaman, atau kita mengubahnya dengan pandangan dunia lain, yang dianut oleh sebuah komunitas yang berbeda, yang telah memiliki penjelasan built-in untuk anomali yang kita temui.

Kadang-kadang seluruh anggota komunitas akan menghadapi anomali yang tidak dapat dijelaskan oleh pandangan dunia yang ada. Ketika ini terjadi, masyarakat secara keseluruhan memasuki masa krisis. Orang-orang di masyarakat mulai kehilangan indera arah. Mereka tidak lagi merasa jelas tentang apa yang mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukannya. Pada titik ini, anggota kaum intelektual masyarakat mulai mencari pandangan dunia baru. Jika mereka gagal untuk menemukannya, masyarakat akhirnya akan hanyut ke sejenis disintegrasi (perpecahan) yang digambarkan oleh Yeats sebagai: “Hal-hal yang berantakan, pusat tidak bisa menahannya; anarki dilepaskan atas dunia.” Konflik antara pandangan dunia ilmu pengetahuan materialisme dan pandangan-dunia agama tradisional telah membawa umat manusia hanya kepada krisis seperti itu, dan krisis ini hanya bisa diselesaikan melalui penciptaan pandangan dunia baru.

Kami, penulis buku ini dan beberapa sarjana yang ada di Center for Sacred Sciences,  percaya adalah sangat mungkin untuk menciptakan pandangan dunia baru di mana kebenaran sains dan agama dipandang sebagai cara yang cocok (kompatibel) dalam melihat Realitas dasar yang sama. Ada beberapa alasan mengapa kami percaya hal  ini mungkin:

  • A New Worldview

Beberapa ilmuwan di Center for Sacred Sciences (Pusat Ilmu Suci), sama seperti kami, percaya adalah mungkin untuk menciptakan sebuah pandangan dunia baru di mana kebenaran sains dan agama dipandang sebagai cara yang kompatibel (cocok satu sama lain) dalam melihat Realitas dasar yang sama.[68] Ada beberapa alasan mengapa kami percaya hal ini mungkin:

  • 1. Fisika Modern Bertentangan Materialisme

Alasan pertama adalah bahwa munculnya fisika kuantum pada kuartal pertama abad kedua puluh telah memberikan gambaran bahwa pandangan dunia materialisme ilmiah tidak dapat lagi dipertahankan. Asumsi dasar dari pandangan dunia materialisme adalah bahwa benda-benda fisik ada secara independen dari kesadaran, yang dianggap sebagai epiphenomenon hanya proses fisik yang terjadi di otak. Menurut fisika kuantum, bagaimanapun, ini tidak benar. Benda-benda tidak ada dalam cara yang pasti terlepas dari kesadaran subjek yang mengamati mereka. Kedua aspek realitas kesadaran dan kesadaran-benda tidak dapat dipisahkan.[69] Dengan demikian, bukti ilmu itu sendiri bertentangan dengan perhitungan murni materialistik alam semesta. Akibatnya, ilmu pengetahuan telah harus meninggalkan pandangan dunia materialism-nya dan saat ini sedang mencari beberapa penjelasan lain untuk hasil temuannya.

Ini tidak berarti bahwa ilmu pengetahuan saat ini telah memberikan bukti untuk pandangan dunia spiritual, sebagaimana beberapa pemikir modern secara prematur menyimpulkannya. Bagaimanapun ini berarti bahwa materialisme adalah tidak pernah dapat lagi memberikan dasar yang kuat untuk ilmu pengetahuan. Dengan demikian, suatu hambatan yang besar untuk setiap pemulihan hubungan antara sains dan agama telah efektif telah dihapus.

  • 2. Kesepakatan Perjanjian antara Mistikus

Alasan kedua kita percaya adalah mungkin untuk menciptakan pandangan dunia yang komprehensif berasal dari perkembangan modern dalam pemahaman kita tentang perbedaan antara tradisi-tradisi keagamaan. Seringkali konsep agama sendiri telah bertentangan dengan satu sama lain, masing-masing mengklaim bahwa pandangan dunia tertentu sendiri adalah satu-satunya yang sah. Tapi situasi ini, juga telah berubah. Selama beberapa dekade terakhir para ulama-ilmuwan dan para penerjemah telah menyediakan sebuah badan pengetahuan yang semakin besar dari teks asli kitab suci yang diambil dari semua tradisi agama besar di dunia. Dari perspektif global yang diberikan oleh studi perbandingan teks-teks ini, kita sekarang dapat mulai melihat bahwa, sementara para filsuf dan teolog dari berbagai tradisi ini masih memiliki banyak perbedaan pendapat tentang Nature of Ultimate Reality, hal ini tidak terjadi dengan mistik (dunia kebatinan/ruhaniyah/spiritualitas). Sebaliknya, kesaksian mereka menunjukkan tingkat kesepakatan yang sangat tinggi. Antara lain, mereka semua bersikeras bahwa Nature of Ultimate Reality bisa langsung direalisasikan meskipun Gnosis (Ma’rifat/Pencerahan) yang melampaui segala pandangan dunia, bahkan dari orang-orang tradisi mereka sendiri. Jika kita mengambil Realisasi mistis ini atau Gnosis untuk membentuk wawasan inti yang memunculkan berbagai tradisi agama, maka semua yang diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan agama adalah untuk membuat sambungan antara sains dan mistisisme (Irfan).

  • E. Koneksi antara Sains dan Mistisisme (Irfan)

Pada kenyataannya, ada dua koneksi antara sains dan mistisisme. Yang pertama, berkaitan dengan kesamaan dalam metodologi mereka. Sama seperti para para ilmuwan mempertahankan bahwa kebenaran teori mereka dapat diverifikasi (diuji kebenarannya) oleh siapa saja yang melakukan pengamatan yang tepat dan eksperimen, para mistikus juga mempertahankan bahwa Kebenaran ajaran mereka dapat diverifikasi oleh siapa saja yang bersedia untuk melakukan disiplin dan praktek spiritual yang sesuai. Dengan demikian, perbedaan antara ilmu pengetahuan dan agama tidak (karena banyak orang mengira) bahwa salah satu bergantung pada penyelidikan empiris dan yang lainnya pada keyakinan yang membuta. Sebaliknya, perbedaan terletak pada domain yang akan diselidiki dan jenis kebenaran yang akan diverifikasi.

Picture 1: Diagram hubungan antara Science and Mysticism

Sementara para ilmuwan memfokuskan investigasi mereka pada perilaku objek dalam kesadaran, para mistikus berkonsentrasi  pada kesadaran subjek – yang ‘diri’ atau ‘aku’ kepada siapa objek itu tampil. Dan sementara para ilmuwan berusaha untuk mengembangkan teori-teori yang lebih halus dan komprehensif tentang bagaimana realitas bekerja, para mistikus berusaha untuk Mewujudkan Kebenaran tentang alam fundamental yang terletak di luar jangkauan teori apapun. Perlu dicatat bahwa, jauh dari menempatkan sains dan mistisisme dalam konflik, perbedaan-perbedaan antara domain masing-masing dan fungsi sebenarnya apa yang membuat kompatibilitasnya mungkin.

Tidak hanya ilmu pengetahuan dan mistisisme memiliki metodologi yang paralel/sejajar, tetapi mistik benar-benar dapat memberikan pemahaman spiritual/filosofis yang koheren tentang bagaimana ilmu pengetahuan bekerja. Salah satu ajaran penting yang disepakati oleh para mistikus dari semua tradisi menyangkut hubungan antara kesadaran dan objek-nya hubungan yang sangat terletak di jantung dari krisis filosofis dalam fisika modern (seperti yang telah kita lihat).  Apa yang para mistikus klaim bahwa perbedaan antara subjek pada kesadaran dan benda-benda yang timbul dalam kesadaran adalah imajiner. Pada kenyataannya, Kesadaran (tentang Allah, Brahman, Buddha-Pikiran, atau Tao) merupakan lahan dasar yang  tak berbentuk (Formless Ground) dari mana semua bentuk timbul sebagai tak terpisahkan sebagai gelombang yang timbul dari lautan yang tunggal. Dengan demikian, ajaran-ajaran mistisisme mengambil tepat di mana teori-teori ilmiah modern telah meninggalkannya. Dan itu ada di sini, pada saat ini antara dua domain mereka, bahwa kontinuitas sebenarnya antara ilmu pengetahuan dan mistisisme mulai menampakkan dirinya. (lihat dan renungkan kembali diagram hubungan sains dan mistisisme di atas).

Setelah ini dipahami, masalah membangun pandangan dunia baru pada dasarnya bermuara untuk formulasi pertanyaan: “Dapatkah kontinuitas (keberlangsungan) antara ajaran-ajaran mistisisme dan teori-teori ilmiah dinyatakan dalam bahasa ketat tunggal yang dipahami oleh keduanya?

  • E. Peran Matematika

Hal ini membawa pada alasan terakhir untuk kita percaya bahwa pandangan dunia baru adalah sangat mungkin. Sudah ada bahasa yang dapat mengekspresikan kesinambungan antara sains dan mistisisme. Bahkan, bahasa ini pada awalnya dikembangkan untuk tujuan ini oleh keturunan mistikus Yunani kuno yang dimulai dengan Pythagoras dan Plato. Dan, meskipun sebagian besar telah kehilangan pandangan tentang asal-usul mistik sendiri, hari ini diakui sebagai bahasa universal ilmu pengetahuan modern. Kami, tentu saja, mengacu pada bahasa matematika.

Terlepas dari kenyataan bahwa kekuatan sains mengagumkan justru berasal dari kemampuannya untuk hubungan menyatakan hubungan matematis antara fenomena fisik, pertanyaan yang dimiliki ilmuwan yang paling bingung sendiri adalah: Mengapa karya ini, mengapa alam semesta ini obyektif begitu sempurna mematuhi persamaan matematik yang berasal dari pikiran subjektif ? Hebatnya, jika klaim mistik adalah benar – bahwa perbedaan antara kesadaran dan benda-benda adalah imajiner – maka pertanyaan yang mendalam ini memiliki jawaban yang radikal meskipun sederhana: Matematika tidak menggambarkan dunia objek yang ada secara independen; namun  menciptakan benda-benda ini dengan tindakan imajinasi dalam Kesadaran itu.

Bahkan, proses ini telah diberikan formulasi matematis yang eksplisit. Dalam karya yang berpengaruh: Law of  Forms (1969), matematikawan G. Spencer-Brown menunjukkan bagaimana, mulai dari kekosongan yang tak berbentuk, tindakan sederhana membuat perbedaan secara alami dapat menimbulkan hukum yang paling primitif yang mendasari logika dan aritmatika. Sekarang, jika kita mengambil kekosongan (suwung) ini adalah bahwa Kesadaran tak berbentuk yang disaksikan oleh kaum mistik, bahasa pembedaan ini dapat memberikan ekspresi matematika yang tepat untuk beberapa ajaran mistik tertinggi (misalnya, seperti yang digambarkan di Thomas McFarlane “The Play of Distinction“). Terlebih lagi, pekerjaan berikutnya oleh Jack Engstrom, Louis Kauffman, Jeffrey James, dan Thomas McFarlane membawa kita percaya bahwa untuk seluruh tubuh matematika yang dipekerjakan oleh ilmu pengetahuan modern dapat ditelusuri kembali dari undang-undang tentang bentuk (laws of forms) di garis yang tak terputus antara bentuk yang sama dan Void (kekosongan) yang dari mereka muncul.

Jika ini terbukti menjadi kasus, maka kedua temuan ilmu pengetahuan modern serta ajaran-ajaran mistik telah akan dibawa ke dalam lingkup bahasa yang umum untuk semacam pandangan dunia baru yang hanya kita miliki dalam pikiran. Dalam pandangan dunia seperti kebenaran ilmu pengetahuan akan terlihat mengalir mulus dari dalam Realitas Kebenaran yang lebih disadari oleh para mistikus dari semua tradisi keagamaan, sedangkan tradisi-tradisi itu sendiri akan dipandang sebagai berbagai cabang dari Tradisi Besar yang tunggal yang telah menghiasi kemanusiaan dengan moral yang sangat diperlukan dan bimbingan rohani sejak fajar kerberadaan spesies kita.

Membantu untuk membangun dan mengembangkan cara pandangan dunia seperti ini adalah salah satu tujuan utama Pusat Ilmu Suci didirikan. Mereka tidak berada di bawah ilusi bahwa pandangan dunia baru dapat sepenuhnya dibangun atau disebarluaskan dalam semalam. Pemenuhan visi seperti itu adalah tugas sejarah yang mungkin memakan waktu beberapa generasi untuk menyelesaikan. [70]

  • F. Tradisionalisme, Filsafat Perennial, dan Studi Islam

Salah satu aspek yang paling dikenal dari penolakan terhadap modernisme Barat telah terjadi di pinggiran pertemuan peradaban Eropa dengan Islam. Meskipun para ilmuwan sosial yang bekerja dalam studi Timur Tengah telah merasa aman mampu mengabaikan Filsafat perennial/abadidan eksponen Tradisi, para spesialis dalam studi agama tiba-tiba memiliki lebih banyak eksposur ke mazhab pemikiran post-modern ini. [71]

The Journal of the American Academy of Religion telah menampilkan artikel tentang eksponen Perennialism,[72] dan Konsultasi Esotericism dan Perennialism (dengan organisasi saudaranya, Academy Hermetik) yang telah selama beberapa tahun menyelenggarakan panel makalah pada konferensi tahunan AAR. Asal-usul filosofi ini dapat dicari dalam posisi tradisionalis yang dikembangkan oleh sejumlah pemikir ultramontane Katolik Perancis abad kesembilan belas, terutama Joseph de Maistre (w. 1821), L. de Bonald (w. 1840), dan FR de Lammenais (w. 1854). Tradisionalisme pada dasarnya merupakan filsafat sejarah yang menentang rasionalisme para filsuf Pencerahan, dan tradisi yang terlalu ditinggikan (terutama gereja Katolik) ke posisi otoritas ilahi dan mutlak. Jadi ini adalah oposisi ekstrem dari beberapa tradisionalis kepada modernisme sehingga mereka dikucilkan pada tahun 1855 untuk penolakan mereka terhadap akal (reason).

Namun kritik tradisionalis kepada modernisme masih memegang daya banding, dan kemudian diadopsi oleh anggota okultisme dan esoteris bawah tanah Perancis pada pergantian abad. Adalah gagasan penting dari tradisi, yang bahkan untuk Lammenais termasuk wahyu primitif atau primordial yang tidak terbatas pada agama Kristen (ini nanti akan muncul kembali sebagai monoteisme primitif Wilhelm Schmidt). Tradisi suci bisa diberi nomor dalam bentuk jamak, dan dengan demikian semua agama itu harus dianggap sebagai manifestasi dari Filsafat Perennial yang satu dan abadi (frase “filsafat perennial” dari karya Latin Philosophia perennis oleh sarjana Renaissance Augustinus Steuchus, ditulis dalam tahun 1540, dan itu kemudian dijemput oleh Leibniz, tapi tidak halnya dengan implikasi ekumenis yang luas seperti dalam Tradisionalisme kontemporer).

Apa yang sangat relevan untuk studi Islam adalah bahwa, meskipun penghormatan teoretis mereka untuk Katolikisme, sebagian besar penganut Filsafat perennial/abadilebih tertarik dengan Islam, meskipun ada beberapa yang lebih erat terkait dengan Buddhisme (Marco Pallis, AK Coomaraswamy) atau Taoisme (de Pourvourville). Apa daya tarik tradisionalisme, dan mengapa mayoritas tradisionalis menemukan Islam menjadi tradisi suci tunggal yang memenuhi aspirasi mereka?

Ketidakpuasan terhadap ekses dari Pencerahan Eropa dan modernisme tampaknya menjadi alasan utama. Abad kesembilan belas melahirkan sejumlah keturunan ideologis yang memiliki pengaruh yang sangat buruk: nasionalisme pseudo-agama, keyakinan positivistik dalam ilmu pengetahuan, rasisme dan evolusionisme sebagai alasan untuk imperialisme yang tak terkendali, erosi peran publik agama. Terhadap usaha Promethean ini yang kaum Perennialists bertahan lebih dari manusia yang punya otoritas wahyu primordial, gnosis ilahiyah disesuaikan untuk memberi rahmat kepada keadaan yang berbeda dalam bentuk agama, dan pandangan sejarah devolutionistic yang melihat modernitas sebagai pemberontakan yang direndahkan dan setan terhadap realitas.

Dengan tempat ini dalam pikiran, kita dapat melihat bagaimana Islam sebagai tradisi suci secara alami akan menempati posisi sentral. Penekanan teologis persatuan Islam, konsep historiografi Islam sebagai wahyu terakhir dalam urutan turunnya kenabian, dan posisi oposisi dari negara-negara Islam sebagai blok terbesar mengalami kolonisasi Eropa, semuanya membuat sudut pandang alami tradisionalis Islam untuk mencari afiliasi otentik. Kristen telah babak belur terlalu parah dan rusak untuk melayani sebagai tempat berlindung (ultra-Katolik Rama Coomaraswamy menganggap kepausan saat ini tidak sah karena telah meninggalkannya ritual abad pertengahan). Hal ini tidak mudah untuk mengkonversi ke agama Hindu, Yahudi ortodoks, atau tradisi suku, dan agama Buddha mungkin bukan pilihan yang valid di Barat. Yang tampaknya meninggalkan Islam.

Kaum Tradisionalis yang berpindah agama ke Islam, beberapa di antaranya berafiliasi dengan tarekat Sufi Alawi-Shadhili, termasuk pelukis Swedia Ivan Aguéli (`Abd al-Hadi, d. 1917), esotericists Perancis: Leon Champrenaud (`Abd al-Haqq) dan René Guenon (‘Abd al-Wahid Yahya, d. 1951 di Kairo), dan rekan Guenon yang orang Swiss, Titus Burckhardt dan Frithjof Schuon (Isa Nur al-Din, sekarang tinggal di Bloomington, Indiana). Terjemahan dari teks-teks mistik Islam mereka (terutama dari mazhab Ibn `Arabi) dan serangkaian buku tentang Islam dan agama menemukan pembaca yang menerimanya. Jurnal Perancis, Études Traditionnelles, dan imbangannya yang berbahasa Inggris, Tommorow, yang kemudian dinamai Studies in Comparative Religion mempopulerkan pandangan mazhab ini, perwakilan koleksi esai ditemukan dalam The Sword of Gnosis (1974), yang diedit oleh Jacob Needleman. Perspektif tradisionalis kini dibagi bersama terutama oleh sejumlah kecil intelektual tapi berpengaruh, pada sebagian besar Muslim di Eropa dan Amerika, tetapi semakin juga di negara lain seperti Pakistan, Indonesia dan Malaysia. Buku-bukunya  yang dikaji semuanya ditulis oleh penulis Muslim yang tradisionalis, penganut Filsafat perennial/abadidalam arti hanya menjelaskan, meskipun masing-masing memiliki penekanan khusus dan sudut pandangnya sendiri.

King of the Castle karya Charles Le Gai Eaton adalah ulangan dari karya yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1977, dengan kata pengantar singkat baru yang mengomentari karakter pribadi dari buku dan asal usulnya dari karya yang lebih tua disebut The Riches Vein (1947). Tujuannya adalah “untuk mewartakan keanehan zaman modern dan membuka kedok pretensinya”. Judul ironisnya menggambarkan situasi manusia modern dalam hal permainan satu-upmanship anak-anak. Dalam serangkaian delapan esai seperti bab (tidak ada indeks), Eaton berturut-turut mengambil topik  masyarakat, ekonomi, antropologi filosofis, dan agama. Lebih bersedia memberikan komentar secara langsung sebagai konservatif politik daripada tradisionalis lainnya, Eaton dikutip telah melihat totalitarianisme (baik Nazi dan Komunis) sebagai produk modernitas anti-tradisional yang paling khas.

Serangan terhadap pejabat birokrasi dibenarkan oleh kebangkitan nostalgia kemerdekaan pengusaha kecil dan petani (di sini konservatif Katolik Gustave Thibon disebut dalam faksi yang mendukung). Gayanya intens, dramatis, dan ironis verging pada sarkasme ketika modernitas ditujukan (yaitu, sebagian besar waktu). Otoritas spiritual seperti Al-Qur’an dan Rumi yang sering dikutip, dan banyak analogi dan anekdot yang digunakan sebagai kaitan untuk menggantung argumen. Tujuan utamanya, bagaimanapun, tidak menganjurkan mistik, tetapi untuk menanamkan doktrin yang akan memperkuat daya tahan seseorang terhadap  kekuatan korosif modernitas; ini merupakan khotbah yang diperpanjang, dari posisi Islam universal, memperjuangkan peran agama yang kesepian di zaman yang jahat.

Martin Lings yang dikenal sebagai Islamicists dalam  studi kaligrafi Al Qur’an, untuk biografi Sufi Aljazair Syaikh Ahmad al-`Alawi (A Sufi Saint of the Twentieth Century), dan untuk biografi Nabi Muhammad. Sebelumnya sebagai seorang kurator naskah Oriental di British Museum, ia juga menulis tentang Shakespeare dan mata pelajaran lain. Buku kecil ini adalah kumpulan dari sepuluh esai tentang simbolisme dalam berbagai tradisi agama. Bab pertama, “What is Symbolism?” menggunakan contoh-contoh Al-Qur’an untuk mendefinisikan simbol sebagai refleksi dari realitas yang lebih tinggi dalam gambar yang mengungkapkan hubungan antara mikrokosmos ke makrokosmos; pengetahuan tentang hubungan ini, diperoleh melalui kitab suci dan ritual tradisional, yang diperlukan untuk mengatasi jatuh dari kesempurnaan manusia primordial. Esai berikutnya mencerminkan relatif tentang pentingnya simbol seperti benteng batu bentrok yang menghalangi jalan ke dunia spiritual (“The Decisive Boundary”), polaritas (“The Simbolism of Pairs), trinitas (“The Symbolism of the Triad of Primary Colours“), Raja-Paus/King-Pontiff (“The Archetypes of Devotional Homage“), dan liturgi suci (“The Language of the Gods“). Topik yang lebih khusus dipertimbangkan dalam “The Quranic Simbolisme of Water“,The Symbolism of the Luminaries in Old Lithuanian Songs“, “The Seven Deadly Sins” dan “The Symbolism of the Mosque and the Cathedral.” Metode analisis yang digunakan adalah komparatif, mengikuti Coomaraswamy dalam menggunakan beberapa contoh dari tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda dan mengurangi mereka untuk makna metafisik tunggal. Lings percaya diri untuk menggunakan satu tradisi untuk menjelaskan yang lain, misalnya, Brahma, Siwa, dan Wisnu menjelaskan Trinitas Kristen, sedangkan Injil Yohanes menggambarkan karakter Nabi Muhammad. Buku ini adalah contoh yang baik dari program penafsiran dari metafisika tradisionalis sebagai disistematis-kan oleh Schuon.

Karya Seyyed Hossein Nasr Traditional Islam and the Modern World (Tradisional Islam dan Dunia Modern) adalah kumpulan dari delapan belas esai yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1987, yang membela Islam tradisional terhadap kedua modernisme (apakah Eropa atau Islam) dan yang bertentangannya: fundamentalisme (ekstrimisme-radikalisme, pent). Nasr, yang terkenal karena banyak studi ilmu pengetahuan Islamnya, budaya, dan spiritualitas, di sini menyinggung beragam subjek dalam upaya untuk memperbaiki, tidak hanya distorsi standar Orientalisme, tetapi juga salah tafsir yang berasal dari jurnalisme politik, Marxisme, dan apa yang disebut “kebangkitan kembali Islam.”

Bagian pertama, “Facets of the Islamic Tradition (Wajah Tradisi Islam), membahas jihad, etos kerja, dan hubungan pria-wanita untuk menunjukkan gagasan tradisi sebagai wahyu suci yang mencakup segalanya melalui sejarah dan alam. Bangunan eksplisit Filsafat perennial/abadiini menurut Guenon dan Schuon, bagian ini khusus mengikat touchstones/tombol sentuh Tradisi Islam: istilah din dan sunnah, koleksi hadits standar (baik Sunni dan Shi`i), dan tasawuf Safawi Iran. Pada saat yang sama, mungkin akan dikatakan bahwa abstraksi sangat neologisme tertentu yang digunakan di sini (misalnya, “Islamicity/keislaman“,Syariat“), dan ketegangan sintetis transendensi sejarah seperti antara Sunni dan Syiah, titik arah alam baru-baru ini dan sifat retrospektif pertahanan tradisi.

Bagian II, “Traditional Islam and Modernism,” menggali lebih lanjut tetang kontras antara kurangnya prinsip-prinsip antropomorfik modern dan keutuhan dan karakteristik transendensi dari sikap tradisional. Kritik Nasr tentang sifat modernistik (terutama pengurangan politik agama kepada ideologi dan etika) sering cerdik dan mengungkapkan.

Bagian III, “Tradition and Modernism—tensions in Various Cultural Domains” (Ketegangan Tradisi dan Modernisme di Berbagai Wilayah Budaya,)”  membangun kritik modernisme kumulatif dengan tujuh esai yang segera memanggil intelektual Muslim untuk peduli kepada penderitaan mereka. Area utama yang dibahas di sini adalah pendidikan, filsafat, dan arsitektur, dalam semua yang, menurut pendapat Nasr pengaruh Barat secara sistematis telah mengikis dasar asli Islam di sebagian besar negara-negara Muslim.

Bagian IV, “Western Interpreters of the Islamic Tradition  (Penafsir Barat atas Tradisi Islam)” memberikan kesaksian hangat tentang sedikit sarjana Eropa yang telah melampaui Orientalisme dengan keterlibatan pribadi yang intens dengan Islam. Seorang Katolik (Louis Massignon), seorang Protestan (Henry Corbin), dan Muslim (Titus Burckhardt) telah ditampilkan sebagai pengingat bahwa mungkin telah terjadi pertemuan spiritual asli dengan Islam pada bagian dari intelektual Barat yang belum menyerah pada sekularisme dan modernisme. Bagian penutup “Postscript” menambahkan mesianisme ke daftar tanggapan Muslim terhadap modernisme, dan memberikan refleksi akhir tentang pentingnya modernisme itu sendiri, berbagai tren yang biasa disatukan sebagai “fundamentalisme”, dan wakil-wakil yang tersisa dari Islam tradisional. Nasr berbicara dengan penuh semangat tapi ironisnya abai dari kebutuhan untuk dimensi intelektual terhadap kritik modernisme. Buku ini mungkin adalah contoh terbaru terbaik dari perspektif tradisionalis Islam.

Volume yang disunting oleh Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality Manifestation adalah pasangan dari Islamic Spirituality Foundation. Kedua volume tentang Islam ini telah berusaha untuk menghindari historisisme dan skeptisisme rasionalistik, yang keduanya kecenderungan yang digambarkan sebagai asing bagi  Islam.

Sebagai bagian dari seri Spiritualitas Dunia, buku ini memperlakukan tasawuf sebagai aspek batin atau spiritual Islam, dan editor menggambarkan koleksi ini dari artikel sebagai upaya pertama untuk memperlakukan tasawuf dalam skala global. Seperti dalam volume pertama, penulis artikel terpisah ini adalah sebagian besar umat Islam (termasuk sejumlah tradisionalis).

Pendahuluan dan Prelude tentang Tarekat Sufi ini adalah kontribusi oleh Nasr, yang diikuti oleh dua puluh lima esai tentang topik yang terpisah.

Bagian Satu, “Spiritualitas Islam yang diwujudkan dalam tasawuf di dalam Ruang dan Waktu,” berisi lima belas esai tentang sufi tertentu, mazhab, dan daerah.

Bagian Kedua, “Sastra Islam sebagai Cermin Spiritualitas Islam,” memiliki enam esai tentang sastra Islam dalam bahasa Arab, Persia, Turki, Indo-Muslim, Melayu, dan literatur Afrika.

Bagian Ketiga, “Pesan Spiritual Seni dan Pemikiran Islam”, memiliki empat esai umum topik khusus tentang teologi dan filsafat, ilmu yang tersembunyi, musik dan tari, dan seni. Sayangnya tidak ada daftar ilustrasi selain dari kredit judul untuk tujuh belas foto yang direproduksi di sini. Dalam jumlah ruang terbatas yang tersedia, maka hal tersebut pasti memerlukan tinjauan singkat dan ringkasan yang akan membantu terutama untuk siswa dalam mencari orientasi pertama bibliografi topik tertentu.

Sejumlah penulis sarjana terkemuka dalam studi tasawuf (yaitu KA Nizami, A. Schimmel, J. Nurbaksh) yang memiliki presentasi padat terpaksa dibuat dalam penjelasan penuh rinci di tempat lain. Namun, beberapa artikel singkat dan sepintas yang mengecewakan, sejauh menjadi tidak lebih dari daftar nama; yang sangat tidak memadai adalah artikel tentang sastra Sufi Arab, subjek yang berteriak untuk perlakuan penuh.

Menurut Carl W. Ernst artikel yang paling sukses adalah oleh William Chittick tentang  Ibn `Arabi dan Rumi, yang merupakan esai programatik oleh Nasr tentang “Teologi, Filsafat, dan Spiritualitas,” dan survei yang dilakukan oleh Jean-Louis Michon tentang “Tarian Suci dan Musik dalam Islam”. Karena tidak semua kontributor berbagi perspektif filosofis yang sama, kita tidak mendapatkan dari sebuah volume pandangan Perennialist atau tasawuf yang jelas dan seragam

Apa arti penting dari mazhab tradisionalis untuk studi Islam? Penolakan mereka terhadap historisisme menimbulkan kesulitan bagi sebagian besar ahli tentang Islam, apakah dia humanis atau ilmuwan sosial. Jika premis dari Filsafat Perennial kebobolan, maka banyak aparat keulamaan/kesarjanaan modern, yang mengakui produk Pencerahan, telah dihukum. Sketsa yang diberikan di atas mencoba untuk menguraikan latar belakang intelektual tradisionalisme sebagai respon terhadap modernisme Eropa; penempatan sejarah ironisnya membuat Tradisionalisme tidak tradisional atau khas Islam. Sebelum krisis budaya tertentu yang disebabkan oleh modernisme, itu tidak perlu dan tidak mungkin untuk merumuskan pembelaan tradisi seperti itu. Namun kita juga dapat melihat mengapa Filsafat perennial/abadiakan menjadi pilihan yang menarik bagi para pemikir Muslim dalam mencari posisi yang melawan imperialisme budaya Barat yang sekuler. Jika pemikir Muslim menerima alasan otonom pencerahan Eropa, tidak ada lagi ruang untuk transendensi, maupun pembenaran intelektual untuk Muslim sisanya. Tradisionalisme, kemudian, adalah kritik teologis terhadap modernisme yang telah menemukan titik kumpul alami dalam tradisi yang paling terancam oleh Barat, yaitu Islam. Modernisme ditantang di berbagai bidang. Penegasan perlunya doktrin suci dan Tradisi, bagaimanapun, terus terang otoriter, dan itu hanya akan menarik bagi minoritas; sementara saingannya fundamentalis yang berusaha untuk mencari pengikut massal, Tradisionalisme akan terus menjadi pilihan intelektual untuk beberapa Muslim (dan non-Muslim) dalam dunia post-modern.

Dalam bukunya What is Tradition, S.H. Nasr menjelaskan hubungan antara tradisi dan agama dari perspektif filsafat perennial yang dapat diringkas sebagai berikut: Sifat tradisi adalah merangkul semua, dan agama terletak pada asal-usul tradisi tersebut. Dipahami dalam pengertian agama ini adalah apa yang mengikat manusia dengan Tuhan dan pada saat yang sama mengikat orang-orang satu sama lain. Agama Hindu dan Buddha Dharma, al-din al-Islam, Taoist Tao, dan sejenisnya erat terkait dengan makna dari tradisi panjang tersebut, tapi tidak identik dengan itu, walaupun tentu saja dunia atau peradaban yang diciptakan oleh Hindu, Buddha, Taoisme, Yahudi, Kristen, Islam, atau dalam hal ini agama otentik lainnya, adalah dunia tradisional (SH Nasr 1989 hal.67). Dari perspektif itu, tradisi karena itu bertentangan prinsip modernisme. Ini ingin membunuh dunia modern dalam rangka menciptakan sesuatu normal (Needleman (end) 1974). Tujuannya bukan untuk menghancurkan apa yang positif dari modernism, tetapi untuk menghapus selubung ketidaktahuan modernism yang memungkinkan ilusi muncul sebagai nyata, negatif positif dan palsu sebagai benar (SH Nasr 1989).

  • G. Filsafat perennial/abadi (Filsafat yang Abadi)

The philosophia perennis atau Filsafat perennial/abadi menegaskan bahwa wawasan langsung ke dalam sifat dari Realitas adalah kemungkinan universal manusia – apakah itu bisa diperoleh setelah latihan disiplin spiritual dan studi kitab suci tertentu, atau melalui sepenuhnya pengalaman pencerahan  menjadi persatuan tak terduga dengan Tuhan atau the Ultimate. Hasil dari kesadaran tersebut adalah keyakinan bahwa kita telah berasal dari Satu Sumber tunggal dan proses pembangunan spiritual kita itu selesai dan disempurnakan ketika kita kembali kepada Yang Satu itu.

Menyebut  perennial  ini adalah untuk mengatakan bahwa wawasan semacam itu muncul kembali dalam waktu dan tempat yang beragam, yang tidak terbatas pada budaya khusus, kelas, atau masyarakat tertentu. Dalam kata-kata yang lebih formal, filosofi ini telah digambarkan sebagai “metafisika yang mengakui Realitas illahiyah di balik segala dunia benda, jiwa dan pikiran; psikologi yang menemukan dalam diri seseorang yang identik dengan Realitas illahiyah dan etika yang menempatkan tujuan akhir [seseorang] dalam pengetahuan tentang latar Imanen (yang mencakup/meliputi) dan Transenden (yang luhur) dari segala sesuatu. “

Dalam kata lain, istilah philosophia perennis dimaksudkan untuk menggambarkan filosofi yang telah dirumuskan oleh orang-orang yang telah mengalami penyatuan  (Itihad /manunggaling) langsung dengan Allah atau The Ultimate. Betapapun  singkatnya, pengalaman itu mengubah pemikiran orang yang mengalaminya, sehingga mereka tidak pernah sama lagi. Penyataan pengalaman tersebut, dapat ditangkap, namun tampak samar-samar dalam simbol-simbol yang disediakan oleh bahasa manusia atau apapun ekspresi yang artistik, namun sering kali diulang selama berabad-abad oleh orang-orang dari semua ras, jenis kelamin, budaya dan keyakinan agama, yang terbuka kepada Perennial Philosophy.

Lebih dari setengah abad yang lalu, Aldous Huxley memberikan judul ini kepada sebuah antologi yang ia edit. Dalam jenis pengalaman yang berpusat padanya, apakah yang disebut yang kuno atau primordial atau mistis, selubung materialitas adalah pinjaman  dan kepastian yang keliru yang akan terhalau.

Untuk para pembaca, antologi Huxley mungkin dapat memvalidasi dan memverifikasi saat  di mana self-knowledge seseorang merasa bergerak melampaui keterbatasan diri dari sekedar “a foul stinking lump of himself, (sebuah benjolan bau busuk dari dirinya sendiri),” sebagai mana teks Inggris klasik tentang instruksi spiritual, The Cloud of Unknowing telah menggambarkannya. Apakah teks-teks seperti instruksi spiritual dan pengalaman mistik tradisional ini masih bernilai saat ini? Filsafat Perennial merespon dengan tegas, Ya !

Salah satu cara untuk mengungkapkan wawasan sentral dari Filsafat perennial/abadi adalah dengan kalimat  That Thou Art, yang diambil dari bahasa Sansekerta dari kitab Upanishad kuno. Ungkapan ini mengajarkan bahwa Diri abadi yang imanen diwujudkan menjadi satu dengan Prinsip Absolute/Mutlak dari semua Eksistensi, dan bahwa takdir sejati manusia adalah untuk menemukan fakta ini untuk diri mereka sendiri, untuk mengetahui Siapa dan Apakah mereka sebenarnya. Di antara ekspresi hidup lain dari pandangan ini adalah:

  • BYAZID OF BISTUM: “Saya pergi dari Tuhan Allah kepada Tuhan Allah, sampai mereka menangisi saya dari dalam diri saya,” O Dia – Aku”!
  • ST. CATHERINE OF GENOA: “Saya adalah (bagian dari) Tuhan Allah, juga saya tak mengenali yang lain kecuali Tuhan Allah sendiri.”
  • YUNG-CHIA-TA-SHIH: “Cahaya batin adalah di luar dari pujian dan sikap menyalahkan, seperti ruang, itu tidak mengenal batas, bahkan di sini, di dalam diri kita, pernah mempertahankan ketenangan dan kepenuhannya, hanya ketika Anda memburunya, Anda kehilangan itu. Anda tidak dapat memegang itu, tapi pada saat yang sama, Anda tidak bisa menyingkirkan itu. “
  • MEISTER ECKHART:. “Semakin Tuhan ada dalam segala hal, semakin Dia berada di luar mereka, semakin Dia berada di dalam, semakin tanpanya. Hanya yang transenden, yang lainnya yang lengkap, dapatkah menjadi yang imanen tanpa mengubah oleh yang menjadi di dalamnya yang berdiam.”
  • Dan apakah itu yang Engkau dapat menemukan dirinya untuk menjadi?
  • RUYSBROECK: “Dalam Realitas Kemenyatuan yang dikenal dengan mistik … kita tidak bisa berbicara makhluk apapun lagi, melainkan hanya dari satu Being (Keberadaan) … Ada kita semua adalah Satu sebelum penciptaan kita, karena ini adalah esensi-super kita. “
  • ST. BERNARD: “Siapakah Tuhan Allah? Saya bisa memikirkan tidak ada jawaban yang lebih baik daripada siapa Dia. Tidak ada yang lebih sesuai dengan kekekalan sebagaimana Tuhan Allah. Jika Anda sebut Allah itu baik, atau Maha Besar, atau Maha memberkati atau Maha Bijaksana, atau apa pun semacam ini.., itu termasuk dalam kata-kata ini, yaitu, Dia lah. “

Bagaimana seseorang dapat mencapai kepastian batin itu?

Filsafat Perennial menawarkan jawaban yang tampaknya paradoks. Hambatan bagi pengetahuan Kemenyatuan (Unitive) itu adalah kesadaran obsesif menjadi diri yang terpisah.Yang dilampirkan kepada aku, saya atau milik saya, tidak termasuk pengetahuan unitive tentang Allah.

  • WILLIAM LAW: “Manusia tidak berada di neraka karena Allah marah dengan mereka … mereka berdiri di bagian kedaaan perpecahan dan pemisahan dengan gerakan mereka sendiri, yang mereka telah membuatnya untuk diri mereka sendiri.
  • ST. JOHNTHE CROSS: “Jiwa yang masih melekat pada apa pun, betapapun banyaknya kebaikan yang mungkin ada di dalamnya, tidak akan sampai pada kebebasan kesatuan ilahiyah … yang diselenggarakan oleh ikatan kasih sayang manusiawi, … betapapun mereka mungkin sedikit, kita tidak bisa, selagi masih ada, membuat jalan kita kepada Tuhan Allah. “
  • ALDOUS HUXLEY: “Kita melewati dari waktu kepada keabadian ketika mengidentifikasi dengan spirit/semangat dan melewati lagi dari keabadian kepada waktu ketika kita memilih untuk mengidentifikasi dengan tubuh.”
  • Bantuan apa yang tersedia?
  • PHILO DARI ALEKSANDRIA: “Mereka berada di jalan kebenaran yang memahami Tuhan Allah dengan cara yang ilahi, diterangi oleh Cahaya (Cahaya di atas Cahaya.)”
  • Kapan tersedia? Pertimbangkan afirmasi berikut ini:
  • JOEL GOLDSMITH:. “Saya dalam persatuan dengan Kecerdasan Ilahiyah masa lalu, masa kini dan masa depan. Tidak ada rahasia spiritual yang tersembunyi dari saya … Ada Being yang Transendental ini dalam diri saya, yang adalah saya dan yang saya memiliki akses Itu selamanya …. Kesadaran ilahiyah yang tak terbatas dari Tuhan Allah, Kesadaran dari masa lalu, dan masa sekarang dan masa depan, adalah kesadaran saya saat ini. “
  • ALDOUS HUXLEY:.. “Kita berada di dalam sebuah proses menyapu kembali menuju titik yang sesuai dengan tempat awal di kebinatangan kita, tapi ada ketidaksamaan di atasnya. Sekali lagi kita hidup tinggal di saat itu. Kehidupan sekarang dari makhluk yang cintanya telah mengusir rasa takut, visi telah mengambil tempat harapan duniawi, dan mementingkan diri sendiri telah menghentikan egoisme positif dari puasnya kenangan dan egoisme negatif penyesalan.”
  • “Saat ini adalah satu-satunya singkapan melalui mana jiwa bisa lewat dari waktu ke dalam kekekalan, di mana karunia kasih bisa lulus dari keabadian ke dalam jiwa, dan di mana cinta dapat lulus dari satu jiwa pada waktunya untuk jiwa lain dalam waktu.

Lebih dari dua puluh lima abad telah berlalu sejak apa yang telah disebut Filsafat perennial/abadi pertama kali berkomitmen untuk ditulis; dan dalam perjalanannya berabad-abad telah ditemukan ekspresi, kadang bersifat parsial, kadang lengkap, kadang dalam bentuk ini, kadang dalam hal itu, lagi dan lagi. Dalam tradisi kenabian Vedanta dan  Ibrani, dalam Tao The King and Dialog Plato, dalam kitab Injil menurut St John dan teologi Mahayana, dalam Plotinus dan Aeropagite, di antara para Sufi Muslim Persia dan mistikus Kristen Abad Pertengahan dan Renaissance, Filsafat perennial/abadi telah dibicarakan hampir dalam semua bahasa di Asia dan Eropa, dan telah membuat penggunaan istilah dan tradisi dari setiap salah satu agama yang lebih tinggi. Tetapi di bawah semua kebingungan ini dalam tradisi lisan dan mitos, dari sejarah lokal dan doktrin partikularistik, tetap ada Faktor umum Tertinggi yang merupakan Filsafat perennial/abadi dalam apa yang  kimiawi-nya disebut dalam keadaan murni. Kemurnian akhir ini tidak pernah, tentu saja, akan dapat diungkapkan oleh pernyataan lisan filsafat, bagaimana pun pernyataan ini tak-dogmatis, namun sengaja sinkretis. Kenyataan bahwa itu ditetapkan pada waktu tertentu oleh seorang penulis tertentu, menggunakan ini atau bahasa itu, secara otomatis membebankan bias sosiologis dan pribadi tertentu pada doktrinnya begitu dirumuskan. Ini hanyalah tindakan kontemplasi ketika kata-kata dan bahkan kepribadian yang melampaui, bahwa dalam keadaan murni Filsafat perennial/abadi sebenarnya dapat diketahui. Catatan yang ditinggalkan oleh orang-orang yang telah dikenal dengan cara ini membuatnya sangat jelas bahwa mereka semua, apakah Hindu, Buddha, Yahudi, Tao, Kristen, atau Islam, sedang berusaha untuk menggambarkan Fakta dasarnya sama yang tak terlukiskan.

Tulisan suci asli dari kebanyakan agama adalah puitis dan tidak sistematis. Teologi, yang umumnya mengambil bentuk sebuah komentar yang menalar perumpamaan dan kata-kata mutiara dari kitab suci, cenderung membuat penampilan pada tahap berikutnya dari sejarah agama. Bhagavad Gita menempati sebuah posisi perantara antara Kitab Suci dan teologi; karena itu menggabungkan kualitas puitis yang pertama dengan methode yang   jelas yang kedua.  Buku yang dapat dijelaskan, yang ditulis Ananda K. Coomaraswamy dalam bukunya yang Mengagumkan:  Hindu dan Budha , “Sebagai sebuah ringkasan dari seluruh doktrin Veda yang dapat ditemukan dalam Veda sebelumnya, dalam Brahmana dan Upanishad, dan karena itu menjadi dasar dari semua perkembangan yang kemudian, yang dapat dianggap sebagai fokus dari semua agama India”,  yang juga merupakan salah satu ringkasan paling jelas dan paling komprehensif dari Filsafat Perennial yang pernah telah dibuat.

Oleh karena itu nilainya itu bertahan, tidak hanya untuk orang India, tetapi untuk seluruh umat manusia.

Pada intinya dari Filsafat perennial/abadi kita menemukan empat doktrin fundamental.

Pertama: dunia fenomenal materi dan kesadaran individual – dunia benda dan hewan dan manusia dan bahkan para dewa – adalah manifestasi dari Latar Ilahiyah  di mana semua realitas parsial memiliki keberadaan mereka, dan bila terlepas dari-NYA, mereka akan tidak ada (tidak eksis).

Kedua: manusia mampu tidak hanya dapat mengetahui tentang Latar Ilahiyahnya dengan penalaran; mereka juga dapat menyadari keberadaan-Nya oleh intuisi langsung, yang lebih unggul dari penalaran diskursif. Pengetahuan langsung ini menyatukan yang mengetahui dengan apa yang diketahui.

Ketiga: manusia memiliki sifat alami ganda, ego fenomenal dan Diri yang abadi, yang merupakan batiniah manusia, semangat (spirit/ruh), percikan keilahian dalam jiwa. Hal ini dimungkinkan bagi seorang manusia, jika ia menginginkan, untuk mengidentifikasi dirinya dengan Semangat (Spirit/Ruh), dan oleh karena itu dengan Latar Ilahiyah, yang merupakan sifat yang sama atau mirip dengan Semangat (Spirit/Ruh),.

Keempat: kehidupan manusia di bumi hanya memiliki satu ujung dan tujuan: untuk mengidentifikasi dirinya dengan Diri abadinya dan sebagainya untuk datang ke pengetahuan kemenyatuan (unitive/itihad)  dengan Latar Ilahiyah.

Dalam agama Hindu yang doktrin pertamanya dari empat doktrin yang dinyatakan dalam istilah yang paling kategoris. Landasan/Latar  Ilahiyah/Ketuhanan adalah Brahman, Tuhan Yang Maha Pencipta, Yang Maha mempertahankan dan mengubah aspek yang diwujudkan trinitas Hindu. Sebuah hirarki manifestasi yang menghubungkan benda mati dengan manusia, dewa, para dewa tinggi, dan Ketuhanan yang tak dapat dibedakan dari luar.

Dalam Landasan/Latar Ketuhanan  Mahayana Buddhisme disebut Pikiran atau Cahaya Kesunyian Murni, tempat para dewa tertinggi telah diambil oleh Dhyani-Buddha.

Konsepsi serupa yang cocok sempurna dengan Kristen dan kenyataannya telah dihibur, secara eksplisit maupun implisit, oleh banyak mistik Katolik dan Protestan, ketika merumuskan filsafat agar sesuai fakta yang diamati oleh intuisi super-rasional. Jadi, bagi Eckhart dan Ruysbroeck, ada ruang dalam tanpa dasar (Abyss) Ketuhanan yang mendasari Trinitas, seperti Brahman mendasari Brahma, Wisnu dan Siwa. Suso bahkan telah meninggalkan diagram gambar dari hubungan kehidupan antara Ketuhanan, Trinitas Tuhan dan Makhluk. Dalam gambaran yang sangat memancing rasa ingin tahu dan menarik ini, rantai manifestasi menghubungkan simbol misterius Latar Ilahiyah dengan tiga Pribadi Tritunggal, dan Tritunggal pada gilirannya terhubung dalam skala yang turun dengan malaikat dan manusia. Yang Terakhir ini, seperti gambaran jelas menunjukkan, dapat membuat salah satu dari dua pilihan. Mereka dapat baik menjalani kehidupan manusia lahiriah, kehidupan kedirian yang separatis; dalam hal ini mereka hilang (karena, dalam kata-kata dari Theologia Germanica, “tidak ada yang terbakar di neraka tapi akibat diri sendiri”). Atau mereka dapat mengidentifikasi diri mereka dengan batiniah manusia, dalam hal ini menjadi mungkin bagi mereka, seperti Suso tunjukkan, untuk naik lagi, melalui pengetahuan unitive, kepada Trinitas dan bahkan, di luar Trinity mereka, dengan Ultimate Unity (Kemenyatuan Mutlak) dari Ground/ Latar Ilahiyah.

Dalam tradisi Islam rasionalisasi seperti pengalaman mistik langsung ini akan menjadi berbahaya bagi kaum unortodoks. Namun demikian, kita memiliki kesan, pada saat membaca teks-teks sufi tertentu, bahwa yang penulis mereka lakukan adalah benar, memunculkan  alhaqq, the Real, sebagai Latar/Landasan Ilahiyah atau Kesatuan/Keesaan Allah (Tauhidullah), yang mendasari aspek aktif dan pribadi Ketuhanan.

Doktrin kedua dari Filsafat perennial/abadi – adalah bahwa mungkin untuk mengetahui latar Ilahi oleh intuisi langsung yang  lebih tinggi daripada penalaran diskursif – yang dapat ditemukan dalam semua agama besar dunia. Seorang filsuf yang puas hanya untuk mengetahui tentang Realitas utama – secara teoritis dan melalui desas-desus – dibandingkan dengan Buddha dengan laki-laki gembala sapi lain. Mohammad bahkan menggunakan metafora lumbung rumahan. Baginya filsuf yang belum menyadari metafisika adalah seperti keledai yang hanya membawa beban buku. Para guru Kristen, Hindu, guru Tao tidak kurang tegas menulis tentang pretensi absurd bila hanya belajar dari penalaran analitik. Dalam kata-kata Buku Doa Anglikan, kehidupan kekal kita, sekarang dan selanjutnya, “berdiri dalam pengetahuan tentang Allah”; dan pengetahuan ini tidak diskursif, tetapi “di dalam hati”,  intuisi supra-rasional, langsung, sintetis dan abadi .

Doktrin ketiga Perennial Philosophy, bahwa yang menegaskan sifat ganda manusia, jika mendasar dalam semua agama yang lebih tinggi. Pengetahuan unitive (kemenyatuan/Manunggaling) Latar/Landasan Ilahiyah sebagai kondisi yang diperlukannya, telah siap untuk pengorbanan diri dan amal baik. Hanya dengan cara pengorbanan diri dan amal baik yang bisa membersihkan kita dari kejahatan, kebodohan dan ketidaktahuan yang merupakan hal yang kita sebut kepribadian kita, dan yang mencegah kita dari menyadari percikan keilahian yang menerangi batiniah manusia, tapi percikan dalam ini mirip dengan latar Ilahiyah. Dengan mengidentifikasi diri dengan yang pertama kita bisa datang ke pengetahuan unitive kedua. Fakta-fakta empiris dari kehidupan spiritual ini telah dirasionalisasikan dalam berbagai teologi dari berbagai agama. Hindu secara kategoris menegaskan bahwa Engkau Itu – bahwa berdiamnya Atman sama dengan Brahman. Untuk Kristen ortodoks tidak ada identitas antara percikan Tuhan dan Tuhan. Penyatuan jiwa manusia dengan Tuhan terjadi – penyatuan begitu lengkap sehingga kata pendewaan diterapkan untuk itu; tetapi bukan penyatuan identik substantial/zat. Menurut teologi Kristen, orang suci (santo) adalah” didewakan”, bukan karena Atman adalah Brahman, tetapi karena Tuhan Allah telah berasimilasi pada jiwa manusia yang dimurnikan ke substansi ilahiyah  dengan tindakan karunia kasih Nya. Teologi Islam tampaknya membuat perbedaan serupa. Sufi, Mansur al-Hallaj, yang dieksekusi karena memberikan kata-kata “Persatuan” dan “Penuhanan” yang makna literalnya sama dengan yang ada dalam tradisi Hindu. Untuk tujuan kita ini, bagaimanapun, fakta penting adalah bahwa kata-kata ini benar-benar digunakan oleh orang Kristen dan Muslim pengikut Muhammad atau Mohamedan untuk menggambarkan fakta-fakta empiris realisasi metafisika dengan cara langsung, intuisi super-rasional .

Dalam kaitan dengan tujuan akhir manusia, semua agama yang lebih tinggi dalam perjanjian lengkap. Tujuan hidup manusia adalah penemuan kebenaran, pengetahuan unitive Ketuhanan. Sejauh mana pengetahuan unitive ini dicapai di bumi akan menentukan sejauh mana itu akan dinikmati di akhirat. Kontemplasi kebenaran adalah tujuan akhir, tindakan adalah alat. Di India, di Cina, di Yunani kuno, di Eropa Kristen, hal ini dianggap sebagai bagian yang paling jelas dan aksiomatik dari ortodoksi. Penemuan mesin uap yang dihasilkan revolusi industri, tidak hanya dalam teknik industri, tetapi juga jauh lebih signifikan dalam filsafat. Karena mesin bisa dibuat semakin lebih maju dan lebih efisien, orang Barat kemudian percaya bahwa manusia dan masyarakat secara otomatis akan mendaftarkan perbaikan moral dan spiritual yang sesuai. Perhatian dan kesetiaan datang yang harus dibayar, bukan untuk keabadian, tapi untuk masa depan utopis datang dianggap sebagai lebih penting bahwa keadaan pikiran tentang keadaan eksternal, dan akhir kehidupan manusia dianggap tindakan, dengan kontemplasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Doktrin-doktrin palsu dan historis, yang menyimpang dan sesat kini secara sistematis diajarkan di sekolah-sekolah kita dan diulang, hari demi hari, oleh para penulis naskah iklan anonim yang, lebih dari guru-guru lain, memberikan orang dewasa Eropa dan Amerika dengan filosofi pada saat mereka ini hidup. Dan propaganda ini telah begitu efektif sehingga bahkan orang Kristen yang mengaku menerima ajaran sesat tanpa bertanya dan cukup sadar lengkap ketidakcocokan dengan agama mereka sendiri atau orang lain.

Keempat doktrin yang merupakan Filsafat perennial/abadi dalam bentuk minimal dan dasar. Seorang manusia yang dapat mempraktekkan apa yang orang India menyebutnya Jnana yoga (disiplin diskriminasi metafisik antara yang nyata dan tampak) tak meminta apa-apa lagi. Hipotesis yang bekerja sederhana ini sudah cukup untuk tujuan-Nya. Tapi diskriminasi tersebut sangat sulit dan hampir tidak dapat dipraktekkan, pada setiap tingkat pada tahap awal kehidupan spiritual, kecuali oleh orang yang diberkahi dengan jenis tertentu dari konstitusi mental. Itulah sebabnya sebagian besar pernyataan dari Filsafat Perennial/abadi telah memasukkan doktrin lain, menegaskan keberadaan satu atau lebih adalah reinkarnasi manusia dari Latar (Ground) Ilahiyah, yang oleh mediasi dan rahmat penyembah dibantu untuk mencapai tujuannya – bahwa pengetahuan unitive Ketuhanan, manusia dan kebahagiaan yang hidup yang kekal. Bhagavad Gita adalah salah satu pernyataan seperti itu. Di sini, Krishna adalah inkarnasi Latar Ilahi dalam bentuk manusia. Demikian pula, dalam teologi Kristen dan Buddha, Yesus dan Gautama adalah inkarnasi keilahian. Namun, sementara di dalam Hindu dan Buddha lebih dari satu Inkarnasi Ketuhanan adalah mungkin (dan dianggap sebenarnya telah terjadi), bagi orang Kristen telah ada dan bisa hanya satu.

Sebuah Inkarnasi dari Ketuhanan dan, pada tingkat lebih rendah, setiap saint (wali) yang teosentris, bijak atau nabi adalah manusia yang tahu siapa dia dan karena itu dia dapat secara efektif mengingatkan manusia lain dari apa yang telah membiarkan diri mereka lupa: yaitu, bahwa jika mereka memilih untuk menjadi apa yang mereka sudah berpotensi, mereka juga bisa selamanya bersatu dengan Ground/Latar Ilahiyah.

Ibadah dari Inkarnasi dan perenungan sifat-sifat-Nya yang bagi kebanyakan pria dan wanita adalah persiapan terbaik untuk pengetahuan unitive Ketuhanan. Namun apakah pengetahuan itu sendiri dapat dicapai dengan cara ini adalah pertanyaan lain. Banyak penganut mistik Katolik telah membenarkan bahwa, pada tahap tertentu dari doa kontemplatif, di mana, menurut para teolog paling otoritatif, kesempurnaan kehidupan Kristen akhirnya terdiri, perlu untuk mengesampingkan semua pikiran dari Inkarnasi sebagai hal yang mengganggu dari pengetahuan yang lebih tinggi itu yang telah menjelma. Dari fakta ini telah muncul kesalahpahaman di banyak intelektual dan sejumlah kesulitan. Di sini, misalnya, adalah apa yang Abbot Josh Chapman tulis dalam salah satu Surat Spiritual mengagumkan-nya: “Masalah rekonsiliasi (bukan hanya menyatukan) mistisisme dengan agama Kristen lebih sulit. The Abbot (Abbot Marmion) mengatakan bahwa St Yohanes of The Cross adalah seperti penuh spons kekristenan. Anda dapat menekan semuanya, dan teori mistis tetap penuh. Akibatnya, selama lima belas tahun atau lebih, aku benci St Yohanes of Th Cross dan memanggilnya sebagai seorang Buddhis. Aku mencintai St Teresa, dan membaca-nya berulang-ulang,  pertama Dia seorang Kristen, hanya secara sekunder seorang mistik. Kemudian saya menemukan bahwa saya telah menyia-nyiakan lima belas tahun, sejauh doa khawatir. “Namun, ia menyimpulkan, meskipun dari karakter “Buddhis”, praktik mistisisme (atau, untuk memasukkannya ke dalam istilah lain, realisasi  Filsafat perennial/abadi) membuat orang Kristen jadi yang baik. Dia mungkin telah menambahkan bahwa hal itu juga membuat umat Hindu yang baik, Buddha yang baik, Tao yang baik, Muslim yang baik dan Yahudi yang baik.

Solusi untuk masalah Abbot Chapman harus dicari dalam domain, bukan filsafat, tetapi psikologi. Manusia tidak dilahirkan identik. Ada banyak temperamen dan konstitusi yang berbeda; dan dalam setiap kelas psiko-fisik seseorang dapat menemukan orang-orang pada tahap perkembangan spiritual yang berbeda. Bentuk ibadah dan disiplin spiritual yang mungkin berharga untuk satu individu mungkin tidak berguna atau bahkan positif berbahaya bagi yang lain yang memiliki kelas yang berbeda dan berdiri, dalam kelas itu, pada tingkat lebih rendah atau lebih tinggi dari perkembangan. Semua ini jelas diatur dalam Gita, di mana fakta-fakta psikologis terkait dengan kosmologi umum melalui dalil dari Gunas.

Krishna, yang ada di sini adalah potongan mulut/lisan Hindu dalam segala manifestasinya, sangat alamiah menemukan bahwa manusia yang berbeda harus memiliki metode yang berbeda dan bahkan tampaknya obyek ibadah berbeda. Semua jalan menuju Roma – asalkan, tentu saja, bahwa itu adalah Roma dan bukan kota lain yang wisatawan benar-benar ingin mencapainya. Sikap serupa amal inklusivitas, agak mengejutkan dalam Islam, dengan indah dinyatakan dalam perumpamaan Musa dan penggembala hewan, diberitahu oleh Jalaluddin Rumi dalam buku kedua dari Masnawi.  Dan lebih eksklusif dalam tradisi Kristen masalah dari temperamen dan tingkat pembangunan ini telah diselidiki dalam hubungannya dengan cara Maria dan cara Martha pada umumnya dan khususnya untuk panggilan dan pengabdian pribadi individu .

Kami sekarang harus mempertimbangkan prasyarat etis dari Filsafat Perennialism-abadi. “Kebenaran”, kata St. Thomas Aquinas, “adalah akhir final  untuk seluruh alam semesta, dan kontemplasi kebenaran adalah pekerjaan utama dari kebijaksanaan.” Kebajikan moral, katanya di tempat lain, milik kontemplasi, memang tidak esensial dasarnya, tetapi sebagai predisposisi/pendahuluan yang diperlukan. Kebajikan, dengan kata lain, bukanlah akhir, tetapi sarana yang sangat diperlukan untuk pengetahuan tentang realitas ilahiyah. Shankara, komentator tentang Gita, yang terbesar dari India, memegang doktrin yang sama. Tindakan yang benar adalah cara untuk pengetahuan; untuk itu memurnikan pikiran, dan itu hanya untuk memurnikan pikiran dari egoisme bahwa intuisi Latar Ilahiyah bisa datang.

Pengorbanan diri, menurut Gita , dapat dicapai dengan praktek dua kebajikan – cinta inklusif bagi semua dan ketidak-melekatan (nonattachment), yang terakhir adalah hal yang sama seperti yang “ketidakpedulian yang suci”, di mana St Francois de Sales tidak pernah lelah bersikeras. “Dia yang mengacu setiap tindakan kepada Tuhan Allah”, tulis Camus, meringkas ajaran tuan gurunya”, dan tidak memiliki tujuan menyimpan kemuliaan-Nya, yang akan menemukan sisanya di mana-mana, bahkan di tengah-tengah keributan paling kejam. “Selama kita berlatih ketidakpedulian suci ini ke hasil dari tindakan”,  tidak ada pekerjaan yang sah yang akan memisahkan kita dari Tuhan Allah; Sebaliknya, hal itu dapat kita jadikan sarana penyatuan yang lebih dekat. “Di sini kata ‘halal’ memasok kualifikasi yang diperlukan untuk pengajaran yang, tanpa itu, tidak lengkap dan bahkan berpotensi berbahaya.  Beberapa tindakan pada hakekatnya adalah jahat atau tidak; dan tidak adanya niat baik, tidak ada kesadaran yang menawarkan mereka kepada Allah, tidak ada penolakan dari buah dapat mengubah karakter dasar mereka. Ketidakpedulian Kudus membutuhkan untuk diajarkan dalam hubungannya tidak hanya dengan satu set perintah yang melarang kejahatan, tetapi juga dengan konsepsi yang jelas tentang apa yang di Delapan Jalan Buddha disebut sebagai “mata pencaharian yang benar.” Dengan demikian  untuk Buddhis, penghidupan benar tidak sesuai dengan pembuatan senjata mematikan dan minuman keras; bagi orang Kristen abad pertengahan, dengan pengambilan bunga rente dan dengan berbagai praktek monopoli yang sejak datangnya dianggap sebagai bisnis yang sah baik. John Woolman, Quaker Amerika, memberikan contoh yang paling mencerahkan dari cara di mana seorang manusia bisa hidup di dunia, saat berlatih ketidak-melekatan (non-attachment) sempurna dan tersisa sangat sensitif terhadap klaim penghidupan yang benar. Jadi, meskipun itu akan menjadi menguntungkan dan sempurna halal baginya untuk melihat gula India Barat dan rum kepada pelanggan yang datang ke tokonya, Woolman menahan diri dari melakukannya, karena hal-hal ini adalah produk dari tenaga kerja budak. Demikian pula, ketika ia berada di Inggris, itu akan menjadi baik halal dan nyaman bagi dia untuk bepergian dengan pemanggul kursi/kereta. Namun demikian, ia lebih suka untuk membuat perjalanannya dengan berjalan kaki. Mengapa? Karena kenyamanan perjalanan cepat hanya bisa dibeli dengan mengorbankan kekejaman besar untuk kuda dan kondisi kerja yang paling mengerikan untuk anak laki-laki-pemanggul. Di mata Woolman itu, sistem transportasi seperti itu adalah intrinsik yang tidak diinginkan, dan tidak ada jumlah pribadi non-ikatan bisa membuat apa-apa, tapi tidak diinginkan. Jadi dia memanggul sendiri ranselnya dan berjalan.

Di halaman-halaman sebelumnya Huston Smith telah mencoba untuk menunjukkan bahwa Filsafat perennial/abadi dan prasyarat etika  yang merupakan Faktor umum tertinggi, hadir dalam semua agama besar di dunia. Untuk menegaskan kebenaran ini tidak pernah lebih penting daripada imperatif pada saat ini. Tidak pernah akan ada perdamaian abadi kecuali dan sampai manusia datang untuk menerima filsafat hidup yang lebih memadai untuk fakta kosmik dan psikologis  ini, daripada pemberhalaan gila terhadap iklan nasionalisme dan iman apokaliptik manusia dalam Kemajuan menuju Yerusalem Baru yang mekanik. Semua elemen dari filosofi ini hadir, seperti telah kita lihat, dalam agama-agama tradisional. Namun dalam situasi yang ada tidak ada kesempatan sedikit pun bahwa salah satu agama-agama tradisional akan memperoleh penerimaan universal. Orang Eropa dan Amerika akan melihat tidak ada alasan untuk diubah menjadi Hindu, misalnya, atau Buddhisme.

Dan orang-orang Asia tidak dapat diharapkan untuk meninggalkan tradisi mereka sendiri untuk tulus untuk mengaku Kristen, yang oleh kaum imperialis yang selama empat ratus tahun dan lebih, telah secara sistematis diserang, dieksploitasi, dan ditindas, dan sekarang berusaha untuk menyelesaikan  penghentian karya perusakan oleh “upaya mendidik” mereka.  Tapi bahagianya masih ada Faktor umum tertinggi dari semua agama  dalam pandangan Filsafat Perennial yang selalu dan di mana-mana menjadi sistem metafisik para nabi, orang-orang suci/kudus dan orang bijak. Hal ini sangat mungkin bagi orang untuk tetap menjadi Kristen yang baik, Hindu, Budha, atau Muslim yang baik dan walau belum bersatu dalam perjanjian penuh pada ajaran-ajaran dasar Perennial Philosophy.

Bhagavad Gita mungkin adalah pernyataan kitab suci yang paling sistematis dari Filsafat perennial/abadi ke sebuah dunia saat perang, sebuah dunia yang, karena tidak memiliki prasyarat intelektual dan spiritual untuk perdamaian, hanya bisa berharap untuk menambal semacam gencatan senjata bersenjata yang genting, ia berdiri menunjuk, jelas dan jelas-jelas, satu-satunya jalan untuk melarikan diri dari kebutuhan diri dikenakan penghancuran diri. Untuk alasan ini kami harus berterima kasih kepada Swami Prabhavananda dan Mr. Isherwood karena telah memberi kita versi baru dari buku ini – versi yang dapat dibaca, tidak hanya tanpa rasa sakit kusamnya estetika yang diakibatkan oleh terlalu banyak terjemahan bahasa Inggris dari bahasa Sansekerta, tapi secara positif dengan kenikmatan.

  1. Inti Mistik Tradisi Agama Besar

Enam agama besar telah membentuk peradaban utama yang ada saat ini: ketiga agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan tiga agama Timur (Hindu, Buddha, dan Taoisme/ Konghucu). Agama-agama ini tampaknya cukup bertentangan satu sama lain ketika kita lihat dari luar, atau dari bentuk eksoteris mereka. Tidak hanya apakah mereka memiliki ritual, doa dan ajaran yang berbeda tetapi dalam banyak kasus doktrin mereka yang paling mendasar tentang sifat Realitas tampaknya bertentangan satu sama lain. Misalnya, Yudaisme menagatakan: “Jangan ada Allah lain selain Aku” tampaknya berdiri bertentangan secara langsung dengan penyembahan orang Hindu terhadap tiga juta dewa. Ketuhanan Tritunggal Kekristenan  kontras tajam dengan Jalan Taoisme yang tak berbentuk, sementara prinsip utama Islam: “Tidak ada tuhan selain Allah”, muncul benar-benar bertentangan dengan desakan Buddhisme bahwa tidak ada Tuhan sama sekali. [73]

Jika kita menggali lebih dalam, bagaimanapun, kami menemukan dalam masing-masing tradisi agama itu, aspek batin atau esoteris, aliran ajaran yang diberikan oleh kaum mistik – orang  pria dan wanita mereka yang mengklaim telah memiliki Realisasi langsung, atau Gnosis (Makrifat), dari Alam Realitas Mutlak. Apalagi jika kita membandingkan kesaksian mistik ini tentang Sifat Realitas ini, kami menemukan bahwa, meskipun ada pemisahan luas dalam waktu, tempat,  bahasa, dan budaya, mereka sangat mirip – begitu banyak sehingga banyak sarjana telah datang untuk melihat mereka sebagai ajaran yang  merupakan filsafat abadi tunggal yang, seperti beberapa bunga tak tertahankan, terus mekar lagi dan lagi dalam jiwa manusia.

Salah satu tujuan utama dari Pusat Ilmu Suci (Center for Sacred Sciences) adalah untuk melestarikan dan mempromosikan ajaran mistik ini dan untuk menunjukkan secara tepat apa yang mereka memiliki kesamaan. Di sini, misalnya, sembilan point disepakati oleh mistikus dari semua tradisi besar, bersama-sama dengan contoh kutipan yang menunjukkan Kesepakatan ini.

  1. Semua mistikus setuju bahwa Ultimate Reality (Realitas Mutlak) – apakah itu disebut Allah, Brahman, sifat-Buddha, En-Sof, Tuhan, atau Tao tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh pikiran manusia atau dinyatakan dalam kata-kata. (Bahkan, arti kata mistik berhubungan dengan kata bisu, yang keduanya berasal dari akar kata mustes Yunani, yang berarti “tutup-mulut.”)

“Tao yang dapat diberi nama bukanlah Tao yang sejati.” – Lao Tzu (Tao)

“Roh tertinggi adalah tak dapat diukur, tidak dapat dipahami, di luar konsepsi, tidak pernah dilahirkan,  di luar penalaran,  di luar pikiran.” – Upanishad (Hindu)

“Kata dan kalimat yang diproduksi oleh hukum sebab-akibat dan saling mengkondisikan  – mereka tidak bisa mengungkapkan Realitas tertinggi.”  – Lankavatara Sutra (Buddha)

“Salah satu yang yang melampaui semua pikiran,  tidak dapat dibayangkan oleh semua pikiran.” – Dionysius, anggota majelis Areopagus (Kristen)

“Kaum Gnostik (Arifin) tahu, tapi apa yang mereka ketahui tidak bisa dikomunikasikan. Hal ini tidak dalam kuasa para pemilik maqom (kedudukan) paling menyenangkan ini … untuk membentuk kata yang akan menunjukkan apa yang mereka ketahui.” – Ibn ‘ Arabi ( Muslim )

 

  1. Alasan Realitas Mutlak tidak dapat ditangkap oleh pikiran atau dikomunikasikan dengan kata adalah bahwa pikiran dan kata-kata, menurut definisi, membuat perbedaan dan, karenanya, merupakan dualitas. Bahkan tindakan sederhana penamaan sesuatu menciptakan dualitas karena membedakan hal yang diberi nama dari semua hal lain yang tersisa, yang tidak disebutkan namanya. Namun, para mistikus dari semua tradisi besar setuju bahwa segala perbedaan adalah khayalan dan bahwa Alam Ultimate Reality adalah non-ganda.

“Pada dasarnya hal-hal,  tidaklah dua tapi satu.  Semua dualitas adalah yang secara palsu dibayangkan.” – Lankavatara Sutra (Buddha)

“Tidak peduli apa seorang manusia tertipu mungkin berpikir bahwa dia memahami, dia benar-benar melihat Brahman dan tidak lain selain Brahman. … Alam semesta ini, yang ditumpangkan pada Brahman, tidak lain hanyalah sebuah nama.” – Shankara (Hindu)

“Jika kita akan melihat hal-hal yang benar-benar, mereka adalah asing untuk kebaikan, kebenaran dan segala sesuatu yang mentolerir perbedaan apapun. Mereka adalah kawan karib dari Yang Satu, yang telanjang dari apapun keragaman dan perbedaan.”  Meister Eckhart (Kristen)

“Kesatuan yang ada, di sisi lain dari deskripsi dan keadaan. Tidak ada sesuatu tapi dualitas memasuki lapangan permainan  kata-kata itu.” – Rumi (Muslim)

“Segala sesuatu yang Ada adalah sebagai Satu; Perbedaan antara “hidup” dan “mati”, “tanah” dan “laut”, telah kehilangan maknanya. – Master Hasid Anonim (Yahudi)

 

  1. 3. Meskipun mistik tidak dapat mendefinisikan Realitas Mutlak dalam kata-kata, mereka masih menggunakan kata-kata untuk menunjuk kepada Hal yang melampaui kata-kata. Misalnya, semua mistikus setuju bahwa, sementara Realitas Mutlak itu merupakan sifat sejati dari segala sesuatu, dalam dirinya sendiri Hal ini adalah bukan.

“Neti neti” (bukan ini, bukan itu) – Upanishad (Hindu)

“Kekosongan (shunyata) … adalah sifat utama dari segala sesuatu yang ada.” – Lama Yeshe (Buddha)

“Makhluk-makhluk segudang di dunia yang lahir dari sesuatu, dan sesuatu dari bukan apa-apa.” – Lao Tzu (Tao)

“Ini adalah dalam kecerdasan kita, jiwa dan tubuh, di surga, di bumi, dan sementara tetap sama dalam Dirinya sendiri, Hal ini sekaligus dalam, di sekitar dan di atas dunia, langit-super, esensi-super, sebuah matahari, bintang, api, air, semangat, embun, awan, batu, batu, semua itu adalah; semua hal ini bukanlah apa-apa. – Dionysius, anggota majelis Areopagus (Kristen)

“Dia tidak disertai dengan keapaan, kami juga tidak menganggap hal itu kepada-Nya. Negasi dari kekosongan dari-Nya merupakan salah satu sifat penting-Nya. – Ibn ‘Arabi (Muslim)

“Tuhan Allah yang tersembunyi, menjadi yang terdalam Being-Ketuhanan sehingga untuk membicarakan-NYA, kita tidak  memiliki kualitas atau atribut. – Gerson Scholem (Yahudi)

 

  1. Meskipun mistik mengatakan Realitas Mutlak bukanlah suatu hal, mereka juga setuju bahwa kekosongan ini atau ke-bukan-apa-apa-an adalah vakum belaka. Hal ini bersinar dengan terang Roh Murni, Kesadaran Primordial, Pikiran Buddha, atau Kesadaran Diri

“Dia adalah Abadi di antara hal-hal yang berlalu, Kesadaran murni makhluk yang sadar.” – Upanishad (Hindu)

“Semua Buddha dan semua makhluk hidup tidak lain adalah Satu Pikiran, selainnya  yang tidak ada.” Huang Po(Buddha)

“Lampu di mana jiwa diterangi, agar dapat melihat dan benar-benar memahami segala sesuatu … adalah Tuhan Allah sendiri.” – St . Augustine (Kristen)

“Dia adalah roh kosmos, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, serta tangan-Nya. Melalui Dia kosmos mendengar, melalui Dia itu melihat, melalui Dia itu berbicara, melalui Dia itu menggenggam, melalui Dia berjalan.” – Ibn ‘Arabi (Muslim)

“Pikiran ini berasal dari sumber yang luhur dan benar-benar bersatu di atas; itu terbagi hanya karena masuk ke dalam alam semesta perbedaan.” – Menahem Nahum (Yahudi)

  1. Kaum Mistik dari semua tradisi juga setuju bahwa ketika perbedaan yang diciptakan oleh imajinasi diambil untuk menjadi nyata – khususnya perbedaan antara subyek’ dan ‘obyek‘ , ‘aku’ dan ‘lainnya’, ‘diri’ dan ‘dunia‘ – kita kehilangan pandangan Sifat Mutlak dari Realitas dan jatuh ke dalam delusi/khayalan. Ini adalah penyebab semua penderitaan kita.

“Disfungsi mendasar pikiran kita mengambil bentuk pemisahan antara saya dan yang lainnya. Kita secara palsu berpegang pada “Aku” yang merupakan lampiran cangkokan diri sendiri pada saat yang sama seperti yang kita pahami dari “yang lain” yang merupakan dasar dari penghindaran.” – Bokar Rinpoche (Buddha)

“Selama rasa “aku” dan “milikku”  tetap ada, terikat menjadi kesedihan dan inginkan dalam kehidupan individu. – Anandamayi Ma (Hindu)

“Setiap orang memiliki banyak alasan untuk kesedihan tapi dia sendiri memahami alasan universal yang mendalam bagi kesedihan yang dia alami.” –Cloud of Unknowing (Kristen)

“Selama Anda adalah ‘kamu’,  Anda akan sengsara dan miskin.” – Javad Nurbaksh (Muslim)

“Bagaimana bisa setiap kapal (kendaraaan)  yang terbatas berharap untuk mengandung Tuhan yang tak berujung? Oleh karena itu, melihat diri Anda sebagai bukan apa-apa; satu-satunya yang merasa bukan apa-apa dapat berisi kepenuhan Kehadiran.” – Menahem Nahum (Yahudi)

  1. 6. Fakta bahwa perbedaan pada akhirnya tidak berarti nyata, bahwa kita bukan diri yang benar-benar terpisah. Dalam Realitas, semua mistikus menyatakan, Alam Sejati kita adalah Tuhan Allah, Brahman, Buddha – Nature, Tao, atau Kesadaran itu

“Jati Diri kita yang Sangat adalah Buddha, dan terpisah dari alam ini tidak ada yang lain selain Buddha.” – Hui-Neng (Buddha)

“Setelah meninggalkan ke samping  Hidup dan Kematian, sekarang ia benar-benar dengan Transmutasi universal.” – Kuo Hsiang   (Tao)

“Allah adalah Diri sendiri Seseorang, nafas-nafas dari seseorang yang bernafas, kehidupan dari hidup seseorang, Atman.” – Anandamayi Ma (Hindu)

“Beberapa orang sederhana berpikir bahwa mereka akan melihat  Tuhan Allah seolah-olah Dia sedang berdiri di sana dan mereka di sini.  Hal ini tidak begitu. Tuhan dan saya, kita adalah satu.”  Meister Eckhart (Kristen)

“Engkau adalah Dia, tanpa salah satu dari keterbatasan ini. Kemudian jika kamu mengetahui keberadaan-Mu sendiri dengan demikian, maka engkau tahu Tuhan Allah; dan jika tidak, maka tidak.” – Ibn ‘Arabi (Muslim)

“Untuk saat ini ia tidak lagi dipisahkan dari Tuan Guru, dan lihatlah dia tuannya dan Gurunya dia.” – Abraham Abulafia (Yahudi)

  1. 7. Meskipun kebenaran identitas seseorang dengan Realitas Mutlak tidak dapat ditangkap oleh pikiran, semua mistikus bersaksi bahwa Hal ini dapat Direalisasikan/Diwujudkan atau Dikenali melalui Kebangkitan Makrifat/Gnostik (Pencerahan) yang olehnya – pikiran melewati berpikir sama sekali .

“Saatnya akan datang ketika pikiran Anda tiba-tiba akan berhenti seperti tikus tua yang menemukan dirinya di dalam cul-de-sac. Kemudian akan ada orang terjun ke hal yang tidak diketahui dengan teriakan, “Ah, ini!” – Yun Man(Buddha)

“Ketika cermin dari pikiran saya menjadi jelas … saya melihat bahwa Tuhan Allah tidak lain dari pada saya  dan pengetahuan non-dualistik  ini benar-benar menghancurkan semua pikiran dari “kamu” dan “Saya”. Aku datang untuk mengetahui bahwa seluruh dunia ini tidak berbeda dari Tuhan Allah. – Lalleshwari (Hindu)

“Di sini, menyangkal semua bahwa pikiran dapat mengandungnya, dibungkus sepenuhnya dalam hal yang tak berwujud dan tak terlihat, ia milik sepenuhnya Dia yang kepadaNya, orang yang berada di luar segalanya. Di sini  yang tidak diri sendiri maupun orang lain, seseorang sangat disatukan oleh ketidaktahuan yang tidak aktif sama sekali dari semua pengetahuan, dan tahu di luar pikiran dengan tak mengetahui apa-apa. – Dionysius, anggota majelis Areopagus (Kristen)

“Dia hanya melihat Tuhan sebagai apa yang ia lihat, mengamati pelihat untuk menjadi sama dengan yang terlihat. Ini cukup, dan Tuhan Allah adalah pemberi rahmat, Panduan.”- Ibn ‘Arabi (Muslim)

“Hal ini dengan turun ke kedalaman diri sendiri bahwa manusia mengembara melalui semua dimensi dunia; dalam dirinya sendiri ia mengangkat hambatan yang memisahkan satu lingkungan  dari yang lain; dalam diri sendiri, akhirnya , ia melampaui batas-batas nalar dan pada akhir dari jalan, tanpa, seolah-olah, satu langkah di luar dirinya, ia menemukan bahwa Tuhan Allah adalah ‘semuanya’ dan ada ‘apa-apa kecuali dia’.” – Gerson Scholem (Yahudi)

  1. Semua mistikus setuju bahwa mewujudkan Identitas kita dengan Realitas Mutlak ini membawa kebebasan dari penderitaan dan kematian .

“Ketika seorang manusia mengenal Tuhan Allah, ia bebas: kesedihannya berakhir, dan kelahiran dan kematian tidak ada lagi.” – Upanishad (Hindu)

“Apa itu penderitaan? Apa itu kematian? Pada kenyataannya, mereka tidak memiliki eksistensi apapun. Mereka muncul dalam kerangka manifestasi yang dihasilkan oleh pikiran yang terbungkus dalam sebuah ilusi. … Dalam kekosongan pikiran, tidak ada kematian. Tidak ada yang meninggal. Tidak ada penderitaan dan tidak takut.” – Bokar Rinpoche (Buddha)

“Ketika penangkapan palsu dinegasikan … dari jantung hati yang tercerahkan, maka “kematian akan ditelan selamanya dan Allah akan menghapus air mata dari setiap wajah.” – Abraham Abulafia (Yahudi)

“Tiba-tiba  saya menyadari … ” itu benar-benar seperti ini, pada kenyataannya tidak ada satu hal! ” Dengan pikiran tunggal ini, semua belitan yang rusak. Tiba-tiba, seolah-olah beban seratus pound jatuh ke tanah dalam sekejap. Seolah-olah kilat telah menembus tubuh dan menembus kecerdasan.”- Kao – P’an – Lung (Konghucu)

“Manusia ini tinggal di satu Cahaya dengan Allah, dan karena itu tidak ada dalam dirinya baik penderitaan atau berlalunya waktu, tapi keabadian yang tak berubah.”  Meister Eckhart (Kristen)

“Aku telah diselamatkan dari ego dan kehendak-diri, hidup atau mati, apa penderitaan! Tapi hidup atau mati, saya tidak punya tanah air selain Karunia Allah.” – Rumi (Muslim)

  1. 9. Akhirnya, mistikus dari semua tradisi setuju bahwa ajaran mereka tentang Sifat Realitas Mutlak tidak harus diambil pada keimanan itu sendiri. Sama seperti teori-teori ilmiah yang dapat diverifikasi oleh siapa saja yang bersedia untuk melakukan eksperimen yang tepat, ajaran-ajaran mistis dapat diverifikasi oleh siapa saja yang bersedia untuk terlibat dalam praktek-praktek spiritual yang tepat dan disiplin. (Ini, kebetulan, adalah mengapa kita di Pusat percaya ajaran dan praktik mistis yang dikatakan benar merupakan ilmu pengetahuan yang kudus.)

“Mereka yang mempraktekkan tahu apakah realisasi dapat dicapai atau tidak, sama seperti mereka yang minum air tahu apakah itu panas atau dingin.“ – Dogen (Buddha)

“Kebenaran murni Atma , yang terkubur di bawah dunia Maya dan efek Maya, dapat dicapai dengan meditasi, kontemplasi dan disiplin spiritual lainnya seperti orang berpengetahuan Brahman mungkin meresepkan.”    – Shankara (Hindu)

“Jika Anda tidak mencuci batu dan pasir, bagaimana Anda dapat memilih emas? Turunkan kepala dan masuklah ke dalam lubang terbuka membosankan yang non-reifikasi, hati-hati mencari jantung langit dan bumi dengan tekad kuat. Tiba-tiba, Anda akan melihat hal yang asli!” – Liu I- ming (Tao)

“Para patriarkh membuka saluran pikiran di dunia, mengajarkan semua orang yang datang ke dunia bagaimana menggali dalam diri mereka musim semi air kehidupan, untuk bersatu dengan sumber mereka, akar kehidupan mereka.” – Menahem Nahum (Yahudi)

“Jalan orang sufi adalah cara dari gnosis (Irfan) yang tepat dari Tuhan Allah, dan pengetahuan tentang cara-cara beragam pelatihan diri yang diperlukan untuk Arif bi Allah (Mengenal Allah)” – ‘Abd al-Wahab Sya’rani (Muslim)

“Jika Anda mengikuti ajaran saya, maka Anda benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan datang ke sebuah Makrifat (Gnosis) dari kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” – Yesus dari Nazaret (Kristen)

                  

  1. Apakah Fisika Quantum dan Spiritualitas terkait ?

Sangatlah berharga untuk mendiskusikan pertanyaan tentang fisika kuantum dan spiritualitas bersama-sama, untuk melihat hubungan antara mereka dari sudut pandang Gereja Baru dan juga dari perspektif Filsafat Islam Nusantara. Ada alasan mendesak untuk mendiskusikan link ini, karena ada orang yang ingin mengidentifikasi hal-hal ini. Ada perasaan yang meluas bahwa entah bagaimana mereka terhubung, tetapi di beberapa ‘zaman baru’ orang ingin mengatakan bahwa fisika kuantum mengatakan pada kita tentang spiritualitas. Kita tahu dari Swedenborg Scientific Association bahwa ada sambungan yang tidak begitu sederhana, jadi kita perlu memahami lebih terinci apa yang sedang terjadi.

D. Peran Pikiran

Semua filsuf Muslim percaya bahwa di atas indra ada jiwa rasional. Ini memiliki dua bagian: intelek praktis dan teoritis. Intelek teoritis bertanggung jawab untuk pengetahuan; intelek keprihatinan praktis sendiri hanya dengan manajemen yang tepat dari tubuh melalui ketakutan hal tertentu sehingga dapat melakukan yang baik dan menghindari yang buruk. Semua filsuf Muslim utama, dimulai dengan al-Kindi, menulis risalah tentang sifat dan fungsi intelek teoritis, yang dapat disebut sebagai rumah pengetahuan.

Selain indra dan intelek teoritis, filsuf Muslim termasuk dalam diskusi mereka dari instrumen pengetahuan faktor ketiga. Mereka mengajarkan bahwa dunia ilahi berisi, antara lain, kecerdasan, yang terendah dari yang adalah apa yang al-Kindi menyebut Akal Pertama (al-‘Aql al-Awwal), lebih dikenal dalam filsafat bahasa Arab sebagai ‘agen intelek’ (al -‘aql al-fa’al), nama yang diberikan kepadanya oleh al-Farabi, or’the pemberi bentuk ‘(Wahib as-suwar). Mereka berpendapat bahwa dunia di sekitar kita diperlukan untuk pencapaian pengetahuan filosofis. Beberapa, seperti Ibnu Bajja, Ibnu Rusyd dan kadang-kadang Ibnu Sina, mengatakan bahwa universal dicampur dalam imajinasi yang telah berasal dari dunia luar melalui indera pada akhirnya dimurnikan sepenuhnya oleh cahaya intelek agen, dan kemudian tercermin ke intelek teoritis.

Al-Farabi dan pandangan umum Ibnu Sina, bagaimanapun, adalah bahwa ini universal membayangkan hanya menyiapkan akal teoritis untuk penerimaan universal dari intelek agen yang sudah berisi mereka. Ketika mengekspresikan pandangan ini, Ibnu Sina menyatakan bahwa itu bukan universal dalam imajinasi sendiri yang ditransmisikan ke intelek teoritis tapi bayangan mereka, yang dibuat ketika cahaya intelek agen ditumpahkan pada universal ini. Hal ini mirip, katanya, untuk bayangan obyek, yang tercermin pada mata ketika sinar matahari dilemparkan pada objek itu. Sedangkan cara di mana universal dalam imajinasi dapat mempersiapkan akal teoritis untuk pengetahuan pada umumnya tidak jelas, itu samar-samar berkomentar oleh al-Farabi dan Ibnu Sina bahwa persiapan ini adalah karena kesamaan universal ini ke universal murni, dan untuk keakraban intelek teoritis dengan universal dibayangkan karena kedekatannya dengan imajinasi. Dengan kata lain, keakraban intelek ini dengan apa yang menyerupai benda yang tepat mempersiapkan untuk itu. Penerimaan dari benda-benda ini dari intelek agen.

E. filosofis dan Pengetahuan Nabi

Cara kenabian adalah jauh lebih mudah dan sederhana path (lihat Prophecy). Tidak perlu mengambil tindakan apapun untuk menerima universal ilahi yang diberikan; satu-satunya persyaratan tampaknya menjadi milik jiwa yang kuat mampu menerima mereka. Sedangkan cara filosofis bergerak dari imajinasi ke atas untuk intelek teoritis, cara kenabian mengambil jalur sebaliknya, dari intelek teoritis untuk imajinasi. Untuk alasan ini, pengetahuan filsafat adalah pengetahuan tentang sifat dari hal-hal sendiri, sementara pengetahuan tentang nubuatan adalah pengetahuan tentang sifat dari hal-hal seperti terbungkus dalam simbol-simbol, bayangan imajinasi.

Kebenaran filosofis dan kenabian adalah sama, tetapi dicapai dan dinyatakan secara berbeda. Ibnu Tufail yang Hayy ibn Yaqzan adalah ilustrasi terbaik dari harmoni filsafat dan agama (lihat Ibnu Tufail). Yang disebut teori kebenaran ganda salah memandang dua jalur ini untuk pengetahuan sebagai dua jenis kebenaran, sehingga menghubungkan Ibnu Rusyd pandangan asing untuk filsafat Islam. Salah satu kontribusi paling penting dari filsafat Islam adalah upaya untuk mendamaikan filsafat Yunani dan Islam dengan menerima jalur filosofis dan kenabian sebagai mengarah ke kebenaran yang sama.

Filsuf Muslim setuju bahwa pengetahuan intelek teoritis melewati tahap. Bergerak dari potensi ke aktualitas dan dari aktualitas untuk refleksi pada kenyataannya, sehingga memberikan intelek teoritis nama masing-masing potensi kecerdasan, kecerdasan yang sebenarnya dan diperoleh intelek. Beberapa filsuf Muslim menjelaskan bahwa yang terakhir adalah yang disebut ‘diperoleh’ karena pengetahuan datang untuk itu dari luar, sehingga dapat dikatakan untuk memperolehnya. Intelek yang diperoleh adalah pencapaian manusia tertinggi, keadaan suci yang conjoins manusia dan alam ilahi oleh conjoining intelek teoritis dan agen.

Mengikuti jejak Alexander dari Aphrodisias, al-Farabi, Ibn Bajja dan Ibnu Rusyd percaya bahwa kecerdasan teoritis potensi oleh alam, dan karena itu hancur kecuali menggenggam benda abadi, universal penting, untuk diketahui dan berpengetahuan adalah satu . Ibnu Sina menolak pandangan bahwa kecerdasan teoritis potensi oleh alam. Dia berpendapat sebaliknya bahwa itu adalah kekal oleh alam karena kecuali itu, itu tidak dapat memahami benda-benda yang kekal. Baginya, kebahagiaan dicapai dengan menggenggam ini intelek tentang obyek kekal, untuk menggenggam seperti menyempurnakan jiwa. Filsuf Muslim yang percaya keabadian yang dicapai hanya melalui pengetahuan juga setuju dengan Ibnu Sina pengetahuan yang sempurna dan kesempurnaan adalah kebahagiaan.

F.  Konsep Pengetahuan Islam[17]

Berbagai isu epistemologis telah dibahas dalam filsafat Islam dengan orientasi berbeda dari epistemologi Barat. Upaya saat ini sedang dilakukan untuk memahami isu-isu dasar epistemologis dalam hal orientasi itu.

Dengan pandangan ini, dilakukan usaha dalam makalah ini untuk menggambarkan nuansa yang berbeda dan konotasi dari ilm istilah ‘, yaitu, pengetahuan, dalam konteks Islam. Diharapkan upaya singkat ini akan berfungsi sebagai langkah untuk dasar masa depan untuk pembangunan kerangka kerja untuk teori Islam pengetahuan.

Dalam teori Islam pengetahuan, istilah yang digunakan untuk pengetahuan dalam bahasa Arab adalah ‘ilm, yang, seperti Rosenthal telah dibenarkan menunjukkan, memiliki konotasi yang lebih luas daripada sinonim dalam bahasa Inggris dan bahasa Barat lainnya. Pengetahuan di dunia Barat berarti informasi tentang sesuatu, ilahi atau ragawi, sedangkan ‘ilm adalah istilah yang mencakup semua meliputi teori, aksi dan pendidikan. Rosenthal, menyoroti pentingnya istilah ini dalam peradaban Islam dan Islam, mengatakan bahwa hal itu memberi mereka bentuk yang khas.

Dapat dikatakan bahwa Islam adalah jalan “pengetahuan.” Tidak ada agama atau ideologi lain telah begitu banyak menekankan pentingnya ‘ilm. Dalam Al Qur’an kata ‘alim telah terjadi di 140 tempat, sementara al-‘ilm di 27. Dalam semua, jumlah total ayat di mana’ ilm atau turunannya dan kata-kata terkait yang digunakan adalah 704. Hal ini penting untuk dicatat bahwa pena dan buku sangat penting untuk akuisisi pengetahuan. Wahyu Islam dimulai dengan kata iqra ‘(‘ baca! ‘Atau’ membaca! ‘).
Menurut Al-Qur’an, kelas pengajaran pertama untuk Adam dimulai segera setelah penciptaan dan Adam diajarkan ‘semua Nama’.

Allah adalah guru pertama dan panduan mutlak kemanusiaan. Pengetahuan ini tidak disampaikan untuk bahkan para malaikat. Dalam Ushul al-Kafi ada tradisi yang diriwayatkan oleh Imam Musa al-Kazim (‘a) bahwa’ ilm adalah tiga jenis: ayatun muhkamah (tanda-tanda yang tak terbantahkan dari Allah), faridatun ‘Adilah (hanya kewajiban) dan sunnah al-qa’ imah (didirikan tradisi Nabi [s]). Ini berarti bahwa ‘ilm, pencapaian yang wajib bagi semua umat Islam meliputi ilmu-ilmu teologi, filsafat, hukum, etika, politik dan kebijaksanaan disampaikan kepada umat oleh Nabi
‘Ilm adalah tiga jenis: informasi (sebagai lawan ketidaktahuan), hukum alam, dan pengetahuan dengan dugaan. Jenis pertama dan kedua pengetahuan dianggap berguna dan akuisisi mereka dibuat wajib. Adapun jenis ketiga, yang mengacu pada apa yang dikenal melalui dugaan dan dugaan, atau disertai dengan keraguan, kami akan mengambil yang menjadi pertimbangan nanti, karena dugaan atau keraguan kadang-kadang penting untuk pengetahuan sebagai sarana, tetapi bukan sebagai tujuan.

Dalam dunia Islam, gnosis (ma’rifah) dibedakan dari pengetahuan dalam arti perolehan informasi melalui proses logis. Dalam dunia non-Islam yang didominasi oleh tradisi Yunani, hikmah (kebijaksanaan) dianggap lebih tinggi dari pengetahuan. Tapi ilm dalam Islam ‘bukanlah pengetahuan belaka. Hal ini identik dengan gnosis (ma’rifah). Pengetahuan dianggap berasal dari dua sumber: ‘aql dan’ ilm huduri (dalam arti pengetahuan tanpa perantara dan langsung diperoleh melalui pengalaman mistik).
Hal ini penting untuk dicatat bahwa ada banyak penekanan pada pelaksanaan intelek dalam Al-Qur’an dan tradisi, terutama dalam hal ijtihad.

Latihan intelek (‘aql) adalah sangat penting dalam literatur Islam seluruh, yang memainkan peran penting dalam pengembangan semua jenis pengetahuan, ilmu pengetahuan atau sebaliknya, di dunia Muslim. Pada abad kedua puluh, pemikir Muslim India, Iqbal di Rekonstruksi nya Agama Pemikiran dalam Islam, menunjukkan bahwa ijtihad adalah prinsip dinamis dalam tubuh Islam. Dia menyatakan bahwa banyak sebelum Francis Bacon prinsip induksi ilmiah ditekankan oleh Al-Qur’an, yang menyoroti pentingnya observasi dan eksperimen di tiba pada kesimpulan tertentu. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa fuqaha dan mufassirun Muslim memanfaatkan metode analisis linguistik dalam menafsirkan perintah Alquran dan sunnah Nabi (S). Al-Ghazalis Tahatut al-Falasifah mungkin risalah filosofis pertama yang memanfaatkan metode analisis linguistik untuk mengklarifikasi isu-isu filosofis tertentu.

Ada dibuat perbedaan antara hikmat (hikmah) dan pengetahuan dalam filsafat pra-Islam yang dikembangkan di bawah pengaruh pemikiran Yunani. Dalam Islam tidak ada perbedaan seperti itu. Mereka yang membuat perbedaan itu dipimpin Muslim berpikir ke arah Islami berpikir. Para filsuf seperti al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina dianggap hakims (filsuf) dan dalam kapasitas ini unggul ‘ulama’, dan fuqaha kesalahpahaman ini mengakibatkan serangan al-Ghazali pada filsuf. Islam adalah agama yang mengajak pengikutnya untuk latihan kecerdasan mereka dan memanfaatkan pengetahuan mereka untuk mencapai kebenaran hakiki (haqq). Pemikir Muslim mengadopsi jalan yang berbeda untuk mencapai tujuan ini. Mereka yang disebut filsuf mengabdikan diri untuk logika dan metode ilmiah dan sufi derogated mereka, meskipun beberapa dari mereka, seperti Ibnu Sina, al-Farabi dan al-Ghazali mengambil jalan ke jalan mistik dalam pencarian mereka dari kebenaran pada tahap tertentu . ‘Ilm mungkin tidak diterjemahkan sebagai pengetahuan belaka; harus ditekankan bahwa itu adalah juga gnosis atau ma’rifah. Satu mungkin menemukan unsur-unsur pengalaman mistik dalam tulisan-tulisan filsuf Muslim. Dalam tradisi filsafat Barat ada perbedaan antara pengetahuan tentang Ilahi dan pengetahuan yang berkaitan dengan dunia fisik. Tapi dalam Islam tidak ada perbedaan seperti itu. Ma’rifah adalah pengetahuan utama dan muncul dari pengetahuan tentang diri (Man ‘arafa nafsahu fa qad’ arafa Rabbbahu, ‘Satu yang menyadari diri seseorang sendiri menyadari Tuhannya’). Proses ini juga mencakup pengetahuan tentang dunia fenomenal. Oleh karena itu, kebijaksanaan dan pengetahuan, yang dianggap sebagai dua hal yang berbeda di dunia non-Muslim, adalah satu dan sama dalam perspektif Islam.

Dalam diskusi pengetahuan, pertanyaan penting muncul adalah bagaimana seseorang dapat mengatasi keraguannya mengenai doktrin tertentu tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia. Hal ini umumnya percaya bahwa dalam Islam, sejauh keyakinan yang bersangkutan, tidak ada tempat untuk meragukan dan mempertanyakan keberadaan Tuhan, kenabian Muhammad dan perintah Ilahi, bahwa Islam mengharuskan pengajuan tegas untuk perintah nya. Kepercayaan umum ini adalah kesalahpahaman dalam terang penekanan Islam pada ‘aql.
‘Ilm disebut dalam banyak ayat-ayat Alquran sebagai’ cahaya ‘(nur), dan Allah juga digambarkan sebagai nur utama. Ini berarti bahwa ‘ilm dalam pengertian umum adalah identik dengan’ cahaya ‘dari Allah. Lampu ini tidak bersinar selamanya untuk semua orang percaya. Jika kadang-kadang tersembunyi oleh awan keraguan yang timbul dari pikiran manusia. Keraguan kadang-kadang ditafsirkan dalam Quran sebagai kegelapan, dan kebodohan juga digambarkan sebagai kegelapan di sejumlah ayat nya. Allah digambarkan sebagai nur, dan pengetahuan juga dilambangkan sebagai nur. Ketidaktahuan adalah kegelapan dan ma’rifah ringan. Dalam ayat al-kursi Allah berfirman: (Allah adalah Terang langit dan bumi …

Allah adalah Master orang percaya dan Dia menuntun mereka keluar dari kegelapan menuju cahaya). Biasanya kegelapan ditafsirkan sebagai ketidakpercayaan dan ringan seperti iman kepada Allah. Ada begitu banyak orang-orang yang berjuang melawan kegelapan bisa mencapai ayat dalam Al-Quran serta tradisi para nabi yang menekankan cahaya itu.
Dalam ilm Islam ‘tidak terbatas pada perolehan pengetahuan saja, tetapi juga mencakup aspek sosial-politik dan moral. Pengetahuan tidak sekedar informasi; membutuhkan orang-orang percaya untuk bertindak atas keyakinan mereka dan berkomitmen untuk tujuan, yang bertujuan Islam di Mencapai.

Islam tidak pernah menyatakan bahwa hanya teologi berguna dan ilmu-ilmu empiris tidak berguna atau berbahaya. Konsep ini dibuat bersama oleh ulama semi-melek huruf, atau oleh timeservers di antara mereka yang ingin menjaga Muslim umum di kegelapan kebodohan dan iman buta sehingga mereka tidak akan mampu menentang penguasa yang tidak adil dan menolak ulama melekat pada pengadilan tiran . Sikap ini mengakibatkan kecaman tidak hanya ilmu pengetahuan empiris tetapi juga ‘ilm al-kalam dan metafisika, yang mengakibatkan penurunan Muslim dalam politik dan ekonomi. Bahkan saat ini segmen besar masyarakat Muslim, baik orang biasa dan banyak ulama menderita penyakit ini. Sikap yang tidak sehat dan anti-pengetahuan ini melahirkan beberapa gerakan, yang dianggap buku SD teologi sebagai cukup untuk seorang Muslim, dan berkecil asimilasi atau penyebaran pengetahuan empiris sebagai mengarah ke melemahnya iman.

Setelah penurunan penyelidikan filosofis dan ilmiah di timur Muslim, filsafat dan ilmu berkembang di Muslim barat karena usaha dari para pemikir asal Arab seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Tufail, Ibnu Bajja, dan Ibn Khaldun, bapak sosiologi dan filsafat sejarah. Filsafat Ibn Khaldun dari sejarah dan masyarakat adalah berbunga karya awal oleh para pemikir Muslim di bidang etika dan ilmu politik seperti yang dari Miskawaih, al-Dawwani, dan Nasir al-Din al-Tusi. Kredit untuk memberikan perhatian serius untuk filsafat sosial-politik pergi ke al-Farabi, yang menulis buku tentang masalah ini di bawah judul Madinat al-Fadilah, Ara ‘ahl al-Madinat al-Fadilah, al-Millah al-Fadilah, Fusul al-Madang, Sirah Fadilah, K. al-Siyasah al-Madaniyyah, dll

Muslim tidak pernah mengabaikan masalah-masalah ekonomi dan sosial-politik lainnya yang berkaitan dengan fisik serta realitas sosial. Mereka memberikan kontribusi kaya untuk peradaban manusia dan dianggap oleh penyelidikan berani dan bebas mereka di berbagai bidang pengetahuan bahkan dengan risiko yang dikutuk sebagai bidat atau lebih tepatnya orang-orang kafir. Percaya sejati dan teguh dalam keyakinan Islam, seperti al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibnu Bajja, al-Haytham, Ibn ‘Arabi dan Mulla Sadra, dan dalam beberapa kali Sayyid Ahmad Khan, Iqbal dan al-Maududi pun tak luput fatwa kufur oleh partisan imitasi buta yang memusuhi prinsip ijtihad, penelitian dan pemikiran kritis.

Seiring dengan astronom, matematikawan, ilmuwan alam Muslim dan dokter seperti Ibnu Sina, Zakariyya al-Razi, dan lain-lain yang berperan dalam pengembangan pengetahuan dan peradaban manusia, itu akan menjadi tidak adil untuk tidak menyebutkan kontribusi yang signifikan dari Ikhwan al-Safa (Majelis Purity) sekelompok ulama Syi’ah Ismailiyah-dan pemikir yang menulis risalah asli pada berbagai mata pelajaran filosofis dan ilmiah, upaya yang menandakan upaya pertama untuk mengkompilasi sebuah ensiklopedi dalam

Singkatnya, mungkin dibenarkan mengklaim bahwa teori Islam pengetahuan bertanggung jawab untuk mekar dari budaya penyelidikan bebas dan berpikir ilmiah rasional yang juga mencakup lingkup teori dan praktek.

G. Epistemologi di Pikiran Islam

Meskipun ada anggapan bahwa filsafat Islam adalah perluasan dari filsafat Yunani, [18] sejarah menunjukkan bahwa hanya karena rantai yang menghubungkan dunia Islam dengan Yunani melalui asimilasi antara budaya. Karya filsuf Muslim seperti al-Kindi (d 260 H / 873), al-Farabi (d 339 H / 950), Ibnu Sina (d 428 H / 1037), al-Ghazali (d 505 H / 1111), dan Ibn Rusyd (d 595 H / 1198).

Filsafat kenabian, adalah merek dagang dari filsafat Islam yang tidak dapat ditemukan dalam karya-karya Yunani itu. Salah satu buku Ibnu Bajja (d 533 H / 1138 M) dan Ibnu Tufail (d 581 H / 1185 M) “Hayy bin Yaqzhan” asli. Pada sudut pandang ini, al-Qur’an membawa doktrin benar-benar baru untuk mengamati Tuhan dan alam semesta, juga hukum yang belum diperkenalkan oleh filsafat Yunani.

Dalam Al-Qur’an dan hadits, ada banyak ayat yang berkaitan dengan pengetahuan, baik pentingnya atau keterbatasan pengetahuan serta. [19] Pertanyaan apakah filsafat dan wahyu bisa dihubungkan bersama adalah karya besar dari filsuf Muslim seperti al Kindi . Filsuf lain Ibn Rusyd dalam bukunya “Fashl al-Maqal” (Treatise Tegas) menjelaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara filsafat (hikmah) dan agama. [20]

Setelah berabad-abad dari menurunnya minat dalam pengetahuan rasional dan ilmiah, filsuf Gramedia Ibn Rusyd dan filsuf Islam lainnya dari bergerak membantu untuk mengembalikan kepercayaan di akal dan pengalaman, pencampuran metode rasional dengan iman ke dalam sistem terpadu keyakinan. Ibn Rusyd diikuti Aristoteles dalam mengenai persepsi sebagai titik awal dan logika sebagai prosedur intelektual untuk sampai pada pengetahuan yang dapat diandalkan alam, tapi ia menganggap iman dalam otoritas kitab suci sebagai sumber utama keyakinan agama.

IV. Ilmu dalam filsafat Islam [21]

           Islam mencoba untuk mensintesis akal dan wahyu, pengetahuan dan nilai-nilai, dalam pendekatan untuk mempelajari alam. Pengetahuan yang diperoleh melalui upaya manusia yang rasional dan melalui Al-Qur’an dipandang sebagai pelengkap: keduanya ‘tanda-tanda Allah’ yang memungkinkan manusia untuk mempelajari dan memahami alam. Antara abad kedua dan kedelapan AH (abad kedelapan dan kelima belas AD), ketika peradaban Islam berada di puncaknya, metafisika, epistemologi dan studi empiris alam menyatu untuk menghasilkan ledakan of’scientific semangat ‘. Para ilmuwan dan ulama seperti Ibn al-Haytham, al-Razi, Ibnu Tufail, Ibnu Sina dan al-Biruni ditumpangkan ide Plato dan Aristoteles akal dan objektivitas iman Islam mereka sendiri, sehingga menghasilkan sebuah sintesis yang unik dari agama dan filsafat. Mereka juga menempatkan penekanan besar pada metodologi ilmiah, memberikan pentingnya pengamatan sistematis, eksperimen dan membangun teori.

Awalnya, penyelidikan ilmiah ini disutradarai oleh praktek sehari-hari Islam. Misalnya, perkembangan astronomi dipengaruhi oleh fakta bahwa waktu salat Muslim didefinisikan astronomis dan arahnya didefinisikan secara geografis. Pada tahap selanjutnya, pencarian kebenaran untuk kepentingan diri sendiri menjadi norma, yang menyebabkan banyak penemuan-penemuan baru dan inovasi. Ilmuwan Muslim tidak mengakui batas-batas disiplin antara ‘dua budaya’ ilmu pengetahuan dan humaniora, dan sarjana individu cenderung sebagai aturan umum menjadi polymaths. Baru-baru ini, para sarjana Muslim telah mulai mengembangkan filsafat Islam kontemporer ilmu dengan menggabungkan konsep-konsep dasar Islam seperti ‘ilm (pengetahuan), khilafah (perwalian alam) dan istisla (kepentingan umum) dalam kerangka kebijakan ilmu pengetahuan yang terintegrasi.

A. Ilmu dan metafisika

       Inspirasi Muslim untuk studi alam datang langsung dari Al-Qur’an. Al-Qur’an secara khusus dan berulang kali meminta umat Islam untuk menyelidiki fenomena alam secara sistematis, tidak hanya sebagai kendaraan untuk uunderstanding alam tetapi juga sebagai sarana untuk semakin dekat dengan Allah. Dalam Surah 10, misalnya, kita membaca:
“Dia itu yang telah membuat matahari cahaya bersinar dan bulan cahaya [tercermin], dan telah ditentukan untuk itu fase sehingga Anda mungkin tahu bagaimana menghitung tahun dan untuk mengukur [waktu] … di alternatif malam dan siang , dan dalam semua bahwa Allah telah menciptakan di langit dan di bumi, ada pesan memang untuk orang-orang yang bertakwa “(QS 10: 5-6).

Al-Qur’an juga mencurahkan sekitar sepertiga dari ayat-ayat untuk menggambarkan kebajikan alasan. Penyelidikan ilmiah, berdasarkan alasan, dengan demikian terlihat dalam Islam sebagai bentuk ibadah. Akal dan wahyu adalah metode komplementer dan terintegrasi untuk mengejar kebenaran.

Filsafat ilmu dalam Islam klasik adalah produk dari fusi metafisika ini dengan filsafat Yunani. Tempat ini lebih jelas daripada dalam teori Ibnu Sina pengetahuan manusia (lihat Ibnu Sina) yang, berikut al-Farabi, transfer skema Qur’an wahyu untuk filsafat Yunani. Dalam Al Qur’an, Sang Pencipta alamat satu orang – Nabi – melalui agen malaikat Gabriel; di Ibnu Sina skema Neo-Platonisme, kata ilahi ditularkan melalui akal dan pemahaman untuk apapun, dan setiap, orang yang peduli untuk mendengarkan. Hasilnya adalah campuran dari rasionalisme dan etika. Untuk sarjana dan ilmuwan Muslim, nilai-nilai yang obyektif dan baik dan jahat adalah karakteristik deskriptif dari realitas yang tidak kalah ‘ada’ dalam hal-hal daripada kualitas mereka yang lain, seperti bentuk dan ukuran. Dalam kerangka ini, semua pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang Allah, dapat diperoleh dengan alasan saja. Kemanusiaan memiliki kekuatan untuk mengetahui serta bertindak dan dengan demikian bertanggung jawab untuk hanya dan tidak adil tindakan. Apa filosofi ini mensyaratkan baik dari segi studi alam dan membentuk perilaku manusia digambarkan oleh Ibnu Tufail dalam novel intelektualnya, Hayy ibn Yaqzan. Hayy adalah manusia yang terjadi secara spontan yang terisolasi di sebuah pulau. Melalui kekuasaannya dari pengamatan dan penggunaan kecerdasan, Hayy menemukan fakta umum dan khusus tentang struktur material dan spiritual alam semesta, menyimpulkan keberadaan Tuhan dan tiba di sistem teologis dan politik (lihat Epistemologi dalam filsafat Islam; Etika dalam filsafat Islam).

Sementara Mu’tazilah ulama memiliki perbedaan filosofis serius dengan lawan utama mereka, para teolog Asy’ariyah, kedua sekolah menyetujui studi rasional alam. Dalam bukunya al-Tamhid, Abu Bakr al-Baqillani mendefinisikan ilmu sebagai ‘pengetahuan dari objek, karena benar-benar’. Sementara bereaksi terhadap pelanggaran Mu’tazilah pada domain iman, kaum Asy’ariyah mengakui perlunya studi obyektif dan sistematis alam. Memang, beberapa ilmuwan terbesar dalam Islam, seperti Ibn al-Haytham (d. 1039), yang menemukan hukum dasar optik, dan al-Biruni (d. 1048), yang diukur lingkar bumi dan membahas rotasi bumi pada porosnya, adalah pendukung teologi Asy’ariyah (lihat Ash’ariyya dan Mu’tazilah).

 Perhatian keseluruhan ilmuwan Muslim adalah penggambaran kebenaran. Ibn al-Haytham menyatakan, ‘kebenaran dicari untuk kepentingan diri sendiri’, dan al-Biruni dikonfirmasi dalam pengantar nya al-Qanun al-Mas’udi: ‘. Saya tidak menghindari kebenaran dari sumber apa pun datang’ Namun, ada perselisihan tentang cara terbaik untuk kebenaran rasional. Untuk Ibnu Sina, pertanyaan umum dan universal datang pertama dan menyebabkan pekerjaan eksperimental. Dia mulai nya al-Qanun fi’l-tibb (Kanon Kedokteran), yang merupakan teks standar di Barat sampai abad kedelapan belas, dengan diskusi umum tentang teori obat. Untuk al-Biruni, bagaimanapun, universal keluar dari praktis, karya eksperimental; teori yang dirumuskan setelah penemuan. Namun demikian baik, kritik adalah kunci untuk kemajuan menuju kebenaran. Ibn al-Haytham menulis, ‘adalah wajar untuk semua orang menganggap ilmuwan menguntungkan …. Namun, Allah tidak diawetkan ilmuwan dari kesalahan dan tidak dijaga ilmu dari kekurangan dan kesalahan ‘(lihat Sabra 1972). Inilah sebabnya mengapa para ilmuwan begitu sering tidak setuju di antara mereka sendiri. Mereka yang peduli dengan ilmu pengetahuan dan kebenaran, Ibn al-Haytham melanjutkan, ‘harus mengubah diri menjadi kritikus bermusuhan’ dan harus mengkritik ‘dari setiap sudut pandang dan dalam semua aspek’. Secara khusus, kekurangan dalam karya pendahulu seseorang harus kejam terkena akan. Ide-ide Ibn al-Haytham, al-Biruni dan Ibnu Sina, bersama dengan banyak ilmuwan Muslim lainnya, meletakkan dasar-dasar dari ‘semangat ilmiah’ seperti yang kita telah datang untuk tahu itu.

B. Metodologi

‘Metode ilmiah’ (lihat metode ilmiah), seperti yang dipahami saat ini, pertama kali dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim. Pendukung kedua Mu’tazilism dan Ash’arism menempatkan banyak penekanan pada pengamatan sistematis dan eksperimen. Desakan pada pengamatan akurat berlimpah ditunjukkan dalam zij, literatur buku pegangan astronomi dan meja. Tersebut terus diperbarui, dengan para ilmuwan memeriksa dan mengoreksi karya ulama sebelumnya. Dalam pengobatan, pengamatan klinis rinci dan sangat akurat Abu Bakar Muhammad al-Razi pada awal abad ketiga AH (abad kesembilan AD) memberikan kami dengan model universal. Al-Razi adalah orang pertama yang mengamati secara akurat gejala cacar dan dijelaskan banyak sindrom ‘baru’. Namun, itu tidak hanya pengamatan akurat yang penting; sama-sama signifikan adalah kejelasan dan presisi dimana pengamatan dijelaskan, seperti yang ditunjukkan oleh Ibnu Sina dalam tulisan-tulisannya.

Penekanan pada konstruksi model dan bangunan teori dapat dilihat dalam kategori sastra astronomi Islam dikenal sebagai ‘ilm al-haya, atau’ ilmu struktur (alam semesta) ‘, yang terdiri dari eksposisi umum prinsip-prinsip yang mendasari teori astronomi. Itu pada kekuatan dari kedua akurat observasi dan model pembangunan yang astronomi Islam melancarkan serangan ketat pada apa yang dianggap satu set ketidaksempurnaan di Ptolemaic astronomi (lihat Ptolemy). Ibn al-Haytham adalah orang pertama yang menyatakan dengan tegas bahwa pengaturan yang diusulkan untuk gerakan planet di Almagest yang ‘palsu’. Ibnu Shatir (d. 1375) dan astronom di observatorium terkenal di Maragha, Adharbayjan, dibangun pada abad ketiga belas oleh Nasir al-Din al-Tusi, mengembangkan beberapa Tusi dan teorema untuk transformasi model eksentrik menjadi yang epicyclic. Itu model matematis ini bahwa Copernicus digunakan untuk mengembangkan gagasan tentang heliosentris, yang memainkan peran penting dalam Eropa ‘revolusi ilmiah’.

Terlepas dari ilmu-ilmu eksakta, daerah yang paling tepat dan menarik di mana pekerjaan teoritis memainkan peran penting adalah obat. Dokter Muslim berusaha untuk meningkatkan kualitas materia medica dan penggunaan terapi mereka melalui pengembangan teori terus. Penekanan juga ditempatkan pada pengembangan terminologi yang tepat dan memastikan kemurnian obat, perhatian yang menyebabkan sejumlah bahan kimia awal dan prosedur fisik. Sejak penulis Muslim penyelenggara baik pengetahuan, teks murni farmakologi mereka sendiri sumber untuk pengembangan teori. Evolusi teori dan penemuan obat baru terkait pertumbuhan kedokteran Islam untuk kimia, botani, zoologi, geologi dan hukum, dan menyebabkan elaborasi luas klasifikasi Yunani. Pengetahuan farmakologi sehingga menjadi lebih beragam, dan menghasilkan jenis baru sastra farmakologis. Sebagai sastra ini dianggap subjek dari sejumlah perspektif disiplin ilmu yang berbeda dan berbagai macam arah baru, ada mengembangkan cara baru dalam memandang farmakologi; daerah baru dibuka untuk eksplorasi lebih lanjut dan penyelidikan lebih rinci. Pembuatan kertas membuat publikasi yang lebih luas dan lebih murah daripada menggunakan perkamen dan papirus, dan ini pada gilirannya membuat pengetahuan ilmiah jauh lebih mudah diakses oleh siswa.

Sementara para ilmuwan Muslim ditempatkan iman yang cukup besar dalam metode ilmiah, mereka juga menyadari keterbatasan. Bahkan sangat percaya pada realisme matematika seperti al-Biruni berpendapat bahwa metode penyelidikan adalah fungsi dari sifat investigasi: metode yang berbeda, semua sama-sama valid, diminta untuk menjawab berbagai jenis pertanyaan. Al-Biruni sendiri memiliki jalan lain untuk sejumlah metode. Dalam risalahnya tentang mineralogi, Kitab al-Jamahir (Kitab Batu Mulia), dia adalah yang paling tepat dari ilmuwan eksperimental. Namun, dalam pengantar studi tanah-melanggar nya India ia menyatakan bahwa ‘untuk melaksanakan proyek kami, belum memungkinkan untuk mengikuti metode geometrik’; Oleh karena itu ia resort untuk sosiologi komparatif.

Karya seorang sarjana dari kaliber dan perkembang-biakan al-Biruni pasti menentang klasifikasi sederhana. Menurut dia, pada mineralogi, geografi, kedokteran, astrologi dan berbagai macam topik yang berurusan dengan kencan festival Islam. Al-Biruni adalah produk tertentu dari filsafat ilmu yang mengintegrasikan metafisika dengan fisika, tidak atribut baik posisi superior atau inferior, dan menegaskan bahwa keduanya layak studi dan sama-sama valid. Selain itu, metode belajar penciptaan besar Allah – dari pergerakan bintang-bintang dan planet-planet dengan sifat penyakit, sengatan semut, karakter kegilaan, keindahan keadilan, kerinduan spiritual manusia, ekstasi dari mistik – semua sama-sama valid dan bentuk pemahaman di daerah masing-masing penyelidikan. Dalam kedua filosofi dan metodologi, Islam telah berupaya sintesis lengkap ilmu pengetahuan dan agama.

Polymaths seperti al-Biruni, al-Jahiz, al-Kindi, Abu Bakar Muhammad al-Razi, Ibnu Sina, al-Idrisi, Ibnu Bajja, Omar Khayyam, Ibnu Zuhr, Ibn Tufayl, Ibn Rusyd, al-Suyuti dan ribuan ulama lainnya tidak terkecuali tetapi aturan umum dalam peradaban Muslim. Peradaban Islam dari periode klasik adalah luar biasa untuk jumlah polymaths itu diproduksi. I

  1. Islamic Concept of Knowledge[17]

Various epistemological issues have been discussed in Muslim philosophy with an orientation different from that of Western epistemology. Today attempts are being made to understand the basic epistemological issues in terms of that orientation.

With this view, an attempt is made in this paper to delineate the different shades and connotations of the term ‘ilm, i.e., knowledge, in the Islamic context. It is hoped that this brief attempt will serve as a step for future groundwork for the construction of a framework for an Islamic theory of knowledge.

In the Islamic theory of knowledge, the term used for knowledge in Arabic is ‘ilm, which, as Rosenthal has justifiably pointed out, has a much wider connotation than its synonyms in English and other Western languages. Knowledge in the Western world means information about something, divine or corporeal, while ‘ilm is an all-embracing term covering theory, action and education. Rosenthal, highlighting the importance of this term in Muslim civilization and Islam, says that it gives them a distinctive shape.

It may be said that Islam is the path of “knowledge.” No other religion or ideology has so much emphasized the importance of ‘ilm. In the Qur’an the word ‘alim has occurred in 140 places, while al-‘ilm in 27. In all, the total number of verses in which ‘ilm or its derivatives and associated words are used is 704. It is important to note that pen and book are essential to the acquisition of knowledge. The Islamic revelation started with the word iqra’ (‘read!’ or ‘recite!’).

According to the Qur’an, the first teaching class for Adam started soon after his creation and Adam was taught ‘all the Names’.

Allah is the first teacher and the absolute guide of humanity. This knowledge was not imparted to even the Angels. In Usul al-Kafi there is a tradition narrated by Imam Musa al-Kazim (‘a) that ‘ilm is of three types: ayatun muhkamah (irrefutable signs of God), faridatun ‘adilah (just obligations) and sunnat al-qa’imah (established traditions of the Prophet [s]). This implies that ‘ilm, attainment of which is obligatory upon all Muslims covers the sciences of theology, philosophy, law, ethics, politics and the wisdom imparted to the Ummah by the Prophets

‘Ilm is of three types: information (as opposed to ignorance), natural laws, and knowledge by conjecture. The first and second types of knowledge are considered useful and their acquisition is made obligatory. As for the third type, which refers to what is known through guesswork and conjecture, or is accompanied with doubt, we shall take that into consideration later, since conjecture or doubt are sometimes essential for knowledge as a means, but not as an end.

In the Islamic world, gnosis (ma’rifah) is differentiated from knowledge in the sense of acquisition of information through logical processes. In the non-Islamic world dominated by the Greek tradition, hikmah (wisdom) is considered higher than knowledge. But in Islam ‘ilm is not mere knowledge. It is synonymous with gnosis (ma’rifah). Knowledge is considered to be derived from two sources: ‘aql and ‘ilm huduri (in the sense of unmediated and direct knowledge acquired through mystic experience).

It is important to note that there is much emphasis on the exercise of the intellect in the Qur’an and the traditions, particularly in the matter of ijtihad.

Exercise of the intellect (‘aql) is of significance in the entire Islamic literature, which played an important role in the development of all kinds of knowledge, scientific or otherwise, in the Muslim world. In the twentieth century, the Indian Muslim thinker, Iqbal in his Reconstruction of Religious Thought in Islam, pointed out that ijtihad was a dynamic principle in the body of Islam. He claims that much before Francis Bacon the principles of scientific induction were emphasized by the Qur’an, which highlights the importance of observation and experimentation in arriving at certain conclusions. It may also be pointed out that Muslim fuqaha and mufassirun made use of the method of linguistic analysis in interpreting the Quranic injunctions and the sunnah of the Prophet (S). Al-Ghazalis Tahatut al-Falasifah is probably the first philosophical treatise that made use of the linguistic analytical method to clarify certain philosophical issues.

There was made a distinction between wisdom (hikmah) and knowledge in the pre-Islamic philosophy developed under the influence of Greek thought. In Islam there is no such distinction. Those who made such a distinction led Muslim thought towards un-Islamic thinking. The philosophers such as al-Kindi, alFarabi and Ibn Sina are considered to be hakims (philosophers) and in this capacity superior to ‘ulama‘, and fuqaha this misconception resulted in al-Ghazali’s attack on the philosophers. Islam is a religion that invites its followers to exercise their intellect and make use of their knowledge to attain the ultimate truth (haqq). Muslim thinkers adopted different paths to attain this goal. Those who are called philosophers devoted themselves to logic and scientific method and the Sufis derogated them, though some of them, such as Ibn Sina, alFarabi and al-Ghazali took recourse to the mystic path in their quest of the truth at some stage. ‘Ilm may not be translated as mere knowledge; it should be emphasized that it is also gnosis or ma’rifah. One may find elements of mystic experience in the writings of Muslim philosophers. In the Western philosophical tradition there is a distinction between the knowledge of the Divine Being and knowledge pertaining to the physical world. But in Islam there is no such distinction. Ma’rifah is ultimate knowledge and it springs from the knowledge of the self (Man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa Rabbbahu, ‘One who realizes one’s own self realizes his Lord’). This process also includes the knowledge of the phenomenal world. Therefore, wisdom and knowledge, which are regarded as two different things in the non-Muslim world, are one and the same in the Islamic perspective.

In the discussion of knowledge, an important question arises as to how one can overcome his doubts regarding certain doctrines about God, the universe, and man. It is generally believed that in Islam, as far as belief is concerned, there is no place for doubting and questioning the existence of God, the prophethood Muhammad and the Divine injunctions, that Islam requires unequivocal submission to its dictates. This general belief is a misconception in the light of Islam’s emphasis on ‘aql.

Ilm is referred to in many Quranic verses as ‘light’ (nur), and Allah is also described as the ultimate nur. It means that ‘ilm in the general sense is synonymous with the ‘light’ of Allah. This light does not shine forever for all the believers. If is hidden sometimes by the clouds of doubt arising from the human mind. Doubt is sometimes interpreted in the Quran as darkness, and ignorance also is depicted as darkness in a number of its verses. Allah is depicted as nur, and knowledge is also symbolized as nur. Ignorance is darkness and ma’rifah is light. In the ayat al-kursi Allah says: (Allah is the Light of the heavens and the earth … Allah is the Master of the believers and He guides them out of the darkness into light). Usually darkness is interpreted as unbelief and light as faith in God. There are so many those who struggle against darkness may attain verses in the Quran as well as the traditions of the Prophets that emphasize that light.

In Islam ‘ilm is not confined to the acquisition of knowledge only, but also embraces socio-political and moral aspects. Knowledge is not mere information; it requires the believers to act upon their beliefs and commit themselves to the goals, which Islam aims at attaining.

Islam never maintained that only theology was useful and the empirical sciences useless or harmful. This concept was made common by semi-literate clerics or by the timeservers among them who wanted to keep common Muslims in the darkness of ignorance and blind faith so that they would not be able to oppose unjust rulers and resist clerics attached to the courts of tyrants. This attitude resulted in the condemnation of not only empirical science but also ‘ilm al-kalam and metaphysics, which resulted in the decline of Muslims in politics and economy. Even today large segments of Muslim society, both the common man and many clerics suffer from this malady. This unhealthy and anti-knowledge attitude gave birth to some movements, which considered elementary books of theology as sufficient for a Muslim, and discouraged the assimilation or dissemination of empirical knowledge as leading to the weakening of faith.

After the decline of philosophical and scientific inquiry in the Muslim east, philosophy and sciences flourished in the Muslim west due to endeavours of the thinkers of Arab origin like Ibn Rushd, Ibn Tufayl, Ibn Bajja, and Ibn Khaldun, the father of sociology and philosophy of history. Ibn Khaldun’s philosophy of history and society is the flowering of early work by Muslim thinkers in the spheres of ethics and political science such as those of Miskawayh, al-Dawwani, and Nasir al-Din al-Tusi. The credit for giving serious attention to sociopolitical philosophy goes to al-Farabi, who wrote books on these issues under the titles of Madinat al-FadilahAra’ ahl al-Madinat al-Fadilah, al-Millah al-Fadilah, Fusul al-Madang, Sirah Fadilah, K. al-Siyasah al-Madaniyyah, etc.

Muslims never ignored socio-political economic and other problems pertaining to the physical as well as social reality. They contributed richly to human civilization and thought by their bold and free inquiry in various areas of knowledge even at the risk of being condemned as heretics or rather unbelievers. True and firm believers in Islamic creed, like al-Ghazali, Ibn Rushd, Ibn Bajja, al-Haytham, Ibn ‘Arabi and Mulla Sadra, and in recent times Sayyid Ahmad Khan, Iqbal and al-Mawdudi were not spared fatwas of kufr by the partisans of blind imitation who were hostile to the principle of ijtihad, research and critical thought.

Along with the Muslim astronomers, mathematicians, natural scientists and physicians like Ibn Sina, Zakariyya alRazi, and others who were instrumental in the development of human knowledge and civilization, it would be unjust not to mention the significant contribution of Ikhwan alSafa (The Brethren Purity) a group of Shi’i-Ismaili scholars and thinkers who wrote original treatises on various philosophical and scientific subjects, an effort which signifies the first attempt to compile an encyclopaedia in the

In brief, it may be justifiably claimed that the Islamic theory of knowledge was responsible for blossoming of a culture of free inquiry and rational scientific thinking that also encompassed the spheres of both theory and practice.

 

  1. Epistemology in Islamic Thoughts

Although there is an assumption that Islamic philosophy is an extension of Greek philosophy,[18] history shows that it only because of the chains that link the Islamic world with the Greek through the assimilation between cultures. The masterpieces of Muslim philosophers such as al-Kindi (d 260 H/873), al-Farabi (d 339 H/950), Ibn Sina (d 428 H/1037), al-Ghazali (d 505 H/1111), and Ibn Rushd (d 595 H/1198).

Prophetic philosophy, is a trademark of Islamic philosophy that could not be found in the Greek’s works. One of the books of Ibn Bajja (d 533 H/1138 M) and Ibn Tufayl (d 581 H/1185 M) “Hayy bin Yaqzhan” is original. At this point of view, al-Qur’an brings absolutely new doctrines to observe God and the universe, also laws that had not been introduced by the Greek philosophy.

In Qur’an and hadith, there are many verses that related to knowledge, either the importance or the limitations of knowledge as well.[19] Questions whether philosophy and revelation could be linked together were the major works of Muslim philosophers such as al Kindi. The other philosopher Ibn Rushd in his book “Fashl al-Maqal” (Decisive Treatise) explained that there is no contradiction between philosophy (hikmah) and religion.[20]

After many centuries of declining interest in rational and scientific knowledge, the Scholastic philosopher Ibn Rushd and other Islamic philosophers of peripatetic helped to restore confidence in reason and experience, blending rational methods with faith into a unified system of beliefs. Ibn Rushd followed Aristotle in regarding perception as the starting point and logic as the intellectual procedure for arriving at reliable knowledge of nature, but he considered faith in scriptural authority as the main source of religious belief.

  1. Science in Islamic philosophy[21]

Islam attempts to synthesize reason and revelation, knowledge and values, in its approach to the study of nature. Knowledge acquired through rational human efforts and through the Qur’an are seen as complementary: both are ‘signs of God’ that enable humanity to study and understand nature. Between the second and eighth centuries AH (eighth and fifteenth centuries AD), when Muslim civilization was at its zenith, metaphysics, epistemology and empirical studies of nature fused to produce an explosion of‘scientific spirit’. Scientists and scholars such as Ibn al-Haytham, al-Razi, Ibn Tufayl, Ibn Sina and al-Biruni superimposed Plato’s and Aristotle’s ideas of reason and objectivity on their own Muslim faith, thus producing a unique synthesis of religion and philosophy. They also placed great emphasis on scientific methodology, giving importance to systematic observation, experimentation and theory building.

Initially, scientific inquiry was directed by everyday practices of Islam. For example, developments in astronomy were influenced by the fact that the times of Muslim prayer were defined astronomically and its direction was defined geographically. In the later stage, the quest for truth for its own sake became the norm, leading to numerous new discoveries and innovations. Muslim scientists did not recognize disciplinary boundaries between the ‘two cultures’ of science and humanities, and individual scholars tended as a general rule to be polymaths. Recently, Muslim scholars have started to develop a contemporary Islamic philosophy of science by combining such basic Islamic concepts as ‘ilm (knowledge), khilafa (trusteeship of nature) and istisla (public interest) in an integrated science policy framework.

 

  1. Science and metaphysics

 

The Muslim inspiration for the study of nature comes straight from the Qur’an. The Qur’an specifically and repeatedly asks Muslims to investigate systematically natural phenomena, not simply as a vehicle for uunderstanding nature but also as a means for getting close to God. In Surah 10, for example, we read:

“He it is who has made the sun a radiant light and the moon a light [reflected], and has determined for it phases so that you might know how to compute years and to measure [time]…in the alternative of night and day, and in all that God has created in the heavens and on earth, there are messages indeed for people who are conscious of Him.” (Surah 10: 5-6)

The Qur’an also devotes about one-third of its verses to describing the virtues of reason. Scientific inquiry, based on reason, is thus seen in Islam as a form of worship. Reason and revelation are complementary and integrated methods for the pursuit of truth.

The philosophy of science in classical Islam is a product of the fusion of this metaphysics with Greek philosophy. Nowhere is this more apparent than in Ibn Sina’s theory of human knowledge (see Ibn Sina) which, following al-Farabi, transfers the Qur’an scheme of revelation to Greek philosophy. In the Qur’an, the Creator addresses one man – the Prophet – through the agency of the archangel Gabriel; in Ibn Sina’s Neo-Platonist scheme, the divine word is transmitted through reason and understanding to any, and every, person who cares to listen. The result is an amalgam of rationalism and ethics. For Muslim scholars and scientists, values are objective and good and evil are descriptive characteristics of reality which are no less ‘there’ in things than are their other qualities, such as shape and size. In this framework, all knowledge, including the knowledge of God, can be acquired by reason alone. Humanity has power to know as well as to act and is thus responsible for its just and unjust actions. What this philosophy entailed both in terms of the study of nature and shaping human behaviour was illustrated by Ibn Tufayl in his intellectual novel, Hayy ibn Yaqzan. Hayy is a spontaneously generated human who is isolated on an island. Through his power of observations and the use of his intellect, Hayy discovers general and particular facts about the structure of the material and spiritual universe, deduces the existence of God and arrives at a theological and political system (see Epistemology in Islamic philosophy; Ethics in Islamic philosophy).

While Mu‘tazilite scholars had serious philosophic differences with their main opponents, the Ash‘arite theologians, both schools agreed on the rational study of nature. In his al-Tamhid, Abu Bakr al-Baqillani defines science as ‘the knowledge of the object, as it really is’. While reacting to the Mu‘tazilite infringement on the domains of faith, the Ash‘arites conceded the need for objective and systematic study of nature. Indeed, some of the greatest scientists in Islam, such as Ibn al-Haytham (d. 1039), who discovered the basic laws of optics, and al-Biruni (d. 1048), who measured the circumference of the earth and discussed the rotation of the earth on its axis, were supporters of Ash‘arite theology (see Ash‘ariyya and Mu‘tazila).

The overall concern of Muslim scientists was the delineation of truth. As Ibn al-Haytham declared, ‘truth is sought for its own sake’, and al-Biruni confirmed in the introduction to his al-Qanun al-mas‘udi: ‘I do not shun the truth from whatever source it comes.’ However, there were disputes about the best way to rational truth. For Ibn Sina, general and universal questions came first and led to experimental work. He begins his al-Qanun fi’l-tibb (Canons of Medicine), which was a standard text in the West up to the eighteenth century, with a general discussion on the theory of drugs. For al-Biruni, however, universals came out of practical, experimental work; theories are formulated after discoveries. But either way, criticism was the key to progress towards truth. As Ibn al-Haytham wrote,‘it is natural to everyone to regard scientists favourably…. God, however, has not preserved the scientist from error and has not safeguarded science from shortcomings and faults’ (see Sabra 1972). This is why scientists so often disagree amongst themselves. Those concerned with science and truth, Ibn al-Haytham continued, ‘should turn themselves into hostile critics’ and should criticize ‘from every point of view and in all aspects’. In particular, the flaws in the work of one’s predecessors should be ruthlessly exposed. The ideas of Ibn al-Haytham, al-Biruni and Ibn Sina, along with numerous other Muslim scientists, laid the foundations of the ‘scientific spirit’ as we have come to know it.

 

  1. Methodology

 

The ‘scientific method’ (see Scientific method), as it is understood today, was first developed by the Muslim scientists. Supporters of both Mu‘tazilism and Ash‘arism placed a great deal of emphasis on systematic observation and experimentation. The insistence on accurate observation is amply demonstrated in the zij, the literature of astronomical handbooks and tables. These were constantly updated, with scientists checking and correcting the work of previous scholars. In medicine, Abu Bakr Muhammad al-Razi’s detailed and highly accurate clinical observations in the early third century AH (ninth century AD) provide us with a universal model. Al-Razi was the first to observe accurately the symptoms of smallpox and described many ‘new’ syndromes. However, it was not just accurate observation that was important; equally significant was the clarity and precision by which the observations are described, as was demonstrated by Ibn Sina in his writings.

The emphasis on model construction and theory building can be seen in the category of Islamic astronomical literature known as ‘ilm al-haya, or ‘science of the structure(of the universe)’, which consists of general exposition of principles underlying astronomical theory. It was on the strength of both accurate observation and model construction that Islamic astronomy launched a rigorous attack on what was perceived to be a set of imperfections in Ptolemaic astronomy (see Ptolemy). Ibn al-Haytham was the first to declare categorically that the arrangements proposed for planetary motions in the Almagest were ‘false’. Ibn Shatir (d. 1375) and the astronomers at the famous observatory in Maragha, Adharbayjan, built in the thirteenth century by Nasir al-Din al-Tusi, developed the Tusi couple and a theorem for the transformation of eccentric models into epicyclic ones. It was this mathematical model that Copernicus used to develop his notion of heliocentricity, which played an important part in the European ‘scientific revolution’.

Apart from the exact sciences, the most appropriate and interesting area in which theoretical work played an essential role was medicine. Muslim physicians attempted to improve the quality of materia medica and their therapeutic uses through continued theoretical development. Emphasis was also placed on developing a precise terminology and ensuring the purity of drugs, a concern that led to a number of early chemical and physical procedures. Since Muslim writers were excellent organizers of knowledge, their purely pharmacological texts were themselves a source for the development of theories. Evolution of theories and discovery of new drugs linked the growth of Islamic medicine to chemistry, botany, zoology, geology and law, and led to extensive elaborations of Greek classifications. Pharmacological knowledge thus became more diversified, and produced new types of pharmacological literature. As this literature considered its subject from a number of different disciplinary perspectives and a great variety of new directions, there developed new ways of looking at pharmacology; new areas were opened up for further exploration and more detailed investigation. Paper-making made publication more extensive and cheaper than use of parchment and papyrus, and this in turn made scientific knowledge much more accessible to students.

While Muslim scientists placed considerable faith in scientific method, they were also aware of its limitations. Even a strong believer in mathematical realism such as al-Biruni argued that the method of inquiry was a function of the nature of investigation: different methods, all equally valid, were required to answer different types of questions. Al-Biruni himself had recourse to a number of methods. In his treatise on mineralogy, Kitab al-jamahir (Book of Precious Stones), he is the most exact of experimental scientists. However, in the introduction to his ground-breaking study India he declares that ‘to execute our project, it has not been possible to follow the geometric method’; he therefore resorts to comparative sociology.

The work of a scholar of the caliber and prolificacy of al-Biruni inevitably defies simple classification. He wrote on mineralogy, geography, medicine, astrology and a whole range of topics which dealt with the dating of Islamic festivals. Al-Biruni is a specific product of a philosophy of science that integrates metaphysics with physics, does not attribute to either a superior or inferior position, and insists that both are worthy of study and equally valid. Moreover, the methods of studying the vast creation of God – from the movement of the stars and planets to the nature of diseases, the sting of an ant, the character of madness, the beauty of justice, the spiritual yearning of humanity, the ecstasy of a mystic – are all equally valid and shape understanding in their respective areas of inquiry. In both its philosophy and methodology, Islam has sought a complete synthesis of science and religion.

Polymaths such as al-Biruni, al-Jahiz, al-Kindi, Abu Bakr Muhammad al-Razi, Ibn Sina, al-Idrisi, Ibn Bajja, Omar Khayyam, Ibn Zuhr, Ibn Tufayl, Ibn Rushd, al-Suyuti and thousands of other scholars are not an exception but the general rule in Muslim civilization. The Islamic civilization of the classical period was remarkable for the number of polymaths it produced. This is seen as a testimony to the homogeneity of Islamic philosophy of science and its emphasis on synthesis, interdisciplinary investigations and multiplicity of methods.

  1. Revival attempts

At the end of the twentieth century, scholars, scientists and philosophers throughout the Muslim world are trying to formulate a contemporary version of the Islamic philosophy of science. Two dominant movements have emerged. The first draws its inspiration from Sufi mysticism (see Mystical philosophy in Islam) and argues that the notions of ‘tradition’ and the ‘sacred’ should constitute the core of Islamic approach to science. The second argues that issues of science and values in Islam must be treated within a framework of concepts that shape the goals of a Muslim society. Ten fundamental Islamic concepts are identified as constituting the framework within which scientific inquiry should be carried out, four standing alone and three opposing pairs: tawhid(unity), khilafa (trusteeship), ‘ibada (worship), ‘ilm (knowledge), halal (praiseworthy) and haram (blameworthy), ‘adl (justice) and zulm (tyranny), and istisla(public interest) and dhiya (waste). It is argued that, when translated into values, this system of Islamic concepts embraces the nature of scientific inquiry in its totality; it integrates facts and values and institutionalizes a system of knowing that is based on accountability and social responsibility. It is too early to say whether either of these movements will bear any real fruit.

 

 

 

  1. Holistics-Integralistics Paradigm & Methodology in Mulla Sadras’ Thought.

 

The very advanced attempt to searching andexploring the truth and reality was made by Mulla Sadra (1236-1311 AD ).He is the prominent Islamic scholar who sintetized and combine several approach and methodology had ever build in Islamic History andhuman civilizations in the harmonious & proportional way, such as peripateticism (rationalty & empiricism / masyaiyah from Palto & Aristolesfrom Greek era, Al Kindi [801-873 AD],Al Farabi [ 865-925 AD], Ibnu Sina [980-1037 AD], and Ibn Rusyd [1126-1198 AD] ), al-Razy [1149-1209] and iluminationism (isyraqiyah, by Sukhrawardi [1153-1191]and Theosophy and Mysticism(Gnostics / Irfan) from Ibn Arabi [1165-1240 AD], Nasirudin Al Thusi [1201-1274] and Al Qunawi [12090-1240 AD] and Trancendent Theosophy of Mulla Sadra (al Hikmah al Muta’aliyah).

Mulla Sadras principle theory and ontological paradigm are: The Four Jouorney (al asfar al Arba’ah), Transubtantial Movement (al Harakat al Jauhariyah),as-Shalat al-Wujud , Tasykik al-Wujud. In Epistemolgy, Mulla Sadra, and of course another several Islamic Scholars, had been following the Islamic Epistemology on Philosophy and ‘Islamicate‘ Science (vis a vis modern western-secular science) as we mention before.

 

Mulla Sadra (Sadr al-Din Muhammad al-Shirazi) (1571/2-1640)[22]

Sadr al-Din al-Shirazi (Mulla Sadra) is perhaps the single most important and influential philosopher in the Muslim world in the last four hundred years. The author of over forty works, he was the culminating figure of the major revival of philosophy in Iran in the sixteenth and seventeenth centuries. Devoting himself almost exclusively to metaphysics, he constructed a critical philosophy which brought together Peripatetic, Illuminationist and gnostic philosophy along with Shi‘ite theology within the compass of what he termed a ‘metaphilosophy’, the source of which lay in the Islamic revelation and the mystical experience of reality as existence.

Mulla Sadra’s meta philosophy was based on existence as the sole constituent of reality, and rejected any role for quiddities or essences in the external world. Existence was for him at once a single unity and an internally articulated dynamic process, the unique source of both unity and diversity. From this fundamental starting point, Mulla Sadra was able to find original solutions to many of the logical, metaphysical and theological difficulties which he had inherited from his predecessors. His major philosophical work is the Asfar (The Four Journeys), which runs to nine volumes in the present printed edition and is a complete presentation of his philosophical ideas.

1 The primacy of existence

 

Sadr al-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya al-Qawami al-Shirazi, known variously as Mulla Sadra, Sadr al-Muta’allihin, or simply Akhund, was born in Shiraz in central Iran in AH 979-80/AD 1571-2. He studied in Isfahan with, among others, Mir Damad and Shaykh Baha’ al-Din al-‘Amili, Shaykh-e Baha’i, before retiring for a number of years of spiritual solitude and discipline in the village of Kahak, near Qum. Here he completed the first part of his major work, the Asfar (The Four Journeys). He was then invited by Allah-wirdi Khan, the governor of Fars province, to return to Shiraz, where he taught for the remainder of his life. He died in Basra in AH 1050/AD 1640 while on his seventh pilgrimage on foot to Mecca.

Safavid Iran witnessed a noteworthy revival of philosophical learning, and Mulla Sadrawas this revival’s most important figure. The Peripatetic (mashsha’i) philosophy of Ibn Sina had been elaborated and invigorated at the beginning of the Mongol period by Nasir al-Din al-Tusi, and there existed a number of important contributors to this school in the century before Mulla Sadra. Illuminationist (ishraqi) philosophy, originated by Shihab al-Din al-Suhrawardi, had also been a major current (see Illuminationist philosophy). The speculative mysticism of the Sufism of Ibn al-‘Arabi had also taken firm root in the period leading up to the tenth centuryAH (sixteenth century AD), while theology (kalam), particularly Shi‘ite theology, had increasingly come to be expressed in philosophical terminology, a process which was initiated in large part by al-Tusi (see Mystical philosophy in Islam; Islamic theology). Several philosophers had combined various strands from this philosophical heritage in their writings, but it was Mulla Sadra who achieved a true fusion of all four, forming what he called ‘metaphilosophy’ (al-hikma al-muta‘aliya), a term he incorporated into the title of his magnum opus, al-Hikma al-muta‘aliya fi’l-asfar al-‘aqliyya al-arba‘a (The Transcendent Wisdom Concerning the Four Intellectual Journeys), known simply as the Asfar.

Mulla Sadra made the primacy of existence (asalat al-wujud) the cornerstone of his philosophy. Aristotle (§§11-12) had pointed out that existence was the most universal of predicates and therefore could not be included as one of the categories, and al-Farabi added to this that it was possible to know an essence without first knowing whether it existed or not, existence thus being neither a constitutive element of an essence nor a necessary attribute, and that therefore it must be an accident. But it was Ibn Sina who later became the source for the controversy as to how the accidentality of existence was to be conceived. He had held that in the existence-quiddity (wujud-mahiyya) or existence-essence relationship, existence was an accident of quiddity. Ibn Rushd had criticized this view as entailing a regress, for if theexistence of a thing depended on the addition of an accident to it, then the same principle would have to apply to existence itself. This was merely an argument against the existence-quiddity dichotomy, but al-Suhrawardi had added to this another argument, asserting that if existence were an attribute of quiddity, quiddity itself would have to exist before attracting this attribute in order to be thus qualified. From this, al-Suhrawardi deduced the more radical conclusion that existence is merely a mental concept with no corresponding reality, and that it is quiddity which Constitutesreality.

It was this view, that of the primacy of quiddity (asalat al-mahiyya), which held sway in philosophical writing in Iran up to Mulla Sadra’s time. Indeed, Mir Damad, Mulla Sadra’s teacher, held this view. However, Mulla Sadra himself took the opposite view, that it is existence that constitutes reality and that it is quiddities which are the mental constructs. By taking the position of the primacy of existence, Mulla Sadra was able to answer the objections of Ibn Rushd and the Illuminationists by pointing out that existence is accidental to quiddity in the mind in so far as it is not a part of its essence. When it is a case of attributing existentiality to existence, however, what is being discussed is an essential attribute; and so at this point the regress stopped, for the source of an essential attribute is the essence itself.

 

2 The systematic ambiguity of existence

 

A concomitant of Mulla Sadra’s theory that reality and existence are identical is that existence is one but graded in intensity; to this he gave the name tashkik al-wujud, which has been usefully translated as the ‘systematic ambiguity’ of existence. Al-Suhrawardi, in contrast to the peripatetics, had asserted that quiddities were capable of a range of intensities; for example, when a colour, such as blue, intensifies it is not a new species of ‘blueness’ which replaces the old one, but is rather the same ‘blue’ intensified. Mulla Sadra adopted this theory but replaced quiddity with existence, which was for him the only reality. This enabled him to say that it is the same existence which occurs in all things, but that existential instances differ in terms of‘priority and posteriority, perfection and imperfection, strength and weakness’ (making reality similar to al-Suhrawardi’s Light). He was thus able to explain that it was existence and existence alone which had the property of combining ‘unity in multiplicity, and multiplicity in unity’.

Reality is therefore pure existence, but an existence which manifests itself in different modes, and it is these modes which present themselves in the mind as quiddities. Even the term ‘in the mind’, however, is merely an expression denoting a particular mode of being, that of mental existence (al-wujud al-dhihni), albeit an extremely attenuated mode. Everything is thus comprehended by existence, even ‘nothingness’, which must on being conceived assume the most meagre portion of existence in order to become a mental existent. When reality (or rather a mode of existence) presents itself to the mind, the mind abstracts a quiddity from it – being unable, except in exceptional circumstances, to grasp existence intuitively – and in the mind the quiddity becomes, as it were, the reality and existence the accident. However, this ‘existence’ which the mind predicates of the quiddity is itself merely a notion or concept, one of the secondary intelligibles. It is this which is the most universal and most self-evident concept to which the Aristotelians referred, and which al-Suhrawardi regarded as univocal. But in reality there are not two ‘things’, existence and quiddity, only existence – not the concept, but the reality – and so ‘existence’ cannot be regarded as a real attribute of quiddity; for if this were possible quiddity would have to be regarded as already existent, as al-Suhrawardi had objected.

 

3 Substantial Motions

Another of the key properties of existence for Mulla Sadra is its transubstantiality, effected through what he termed motion in substance (al-haraka fi’l-jawhar) or substantial motion (al-haraka al-jawhariyya). The peripatetics had held that substance only changes suddenly, from one substance to another or from one instant to another, in generation and corruption (and therefore only in the sublunar world), and that gradual motion is confined to the accidents (quantity, quality, place). They also held that the continuity of movement is something only in the mind, which strings together a potentially infinite series of infinitesimal changes – rather in the fashion of a film – to produce the illusion of movement, although time as an extension is a true part of our experience. What gives rise to movement is an unchanging substrate, part of the essence of which is that it is at an indefinite point in space at some instant in time; in other words, movement is potential in it and is that through which it becomes actual. Mulla Sadra completely rejected this, on the grounds that the reality of this substance, its being, must itself be in motion, for the net result of the peripatetic view is merely a static conglomeration of spatio-temporal events. The movement from potentiality to actuality of a thing is in fact the abstract notion in the mind, while material being itself is in a constant state of flux perpetually undergoing substantial change. Moreover, this substantial change is a property not only of sublunary elemental beings (those composed of earth, water, air and fire) but of celestial beings as well. Mulla Sadra likened the difference between these two understandings of movement to the difference between the abstracted, derivative notion of existence and the existence which is reality itself.

Existence in Mulla Sadra’s philosophical system, as has been seen, is characterized by systematic ambiguity (tashkik), being given its systematic character by substantial motion, which is always in one direction towards perfection. In other words, existence can be conceived of as a continual unfolding of existence, which is thus a single whole with a constantly evolving internal dynamic. What gives things their identities are the imagined essences which we abstract from the modes of existence, while the reality is ever-changing; it is only when crucial points are reached that we perceive this change and new essences are formed in our minds, although change has been continually going on. Time is the measure of this process of renewal, and is not an independent entity such that events take place within it, but rather is a dimension exactly like the three spatial dimensions: the physical world is a spatio-temporal continuum.

All of this permits Mulla Sadra to give an original solution to the problem which has continually pitted philosophers against theologians in Islam, that of the eternity of the world. In his system, the world is eternal as a continual process of the unfolding of existence, but since existence is in a constant state of flux due to its continuous substantial change, every new manifestation of existence in the world emerges in time. The world – that is, every spatio-temporal event from the highest heaven downwards – is thus temporally originated, although as a whole the world is also eternal in the sense that it has no beginning or end, since time is not something existing independently within which the world in turn exists (see Eternity).

4 Epistemology

 

Mulla Sadra’s radical ontology also enabled him to offer original contributions to epistemology, combining aspects of Ibn Sina’s theory of knowledge (in which the Active Intellect, while remaining utterly transcendent, actualizes the human mind by instilling it with intellectual forms in accordance with its state of preparation to receive these forms) with the theory of self-knowledge through knowledge by presence developed by al-Suhrawardi. Mulla Sadra’s epistemology is based on the identity of the intellect and the intelligible, and on the identity of knowledge and existence. His theory of substantial motion, in which existence is a dynamic process constantly moving towards greater intensity and perfection, had allowed him to explain that new forms, or modes, of existence do not replace prior forms but on the contrary subsume them. Knowledge, being identical with existence, replicates this process, and by acquiring successive intelligible forms – which are in reality modes of being and not essential forms, and are thus successive intensifications of existence – gradually moves the human intellect towards identity with the Active Intellect. The intellect thus becomes identified with the intelligibles which inform it.

Furthermore, for Mulla Sadra actual intelligible are self-intelligent and self-intellected, since an actual intelligible cannot be deemed to have ceased to be intelligible once it is considered outside its relation to intellect. As the human intellect acquires more intelligible, it gradually moves upwards in terms of the intensification and perfection of existence, losing its dependence on quiddities, until it becomes one with the Active Intellect and enters the realm of pure existence. Humans can, of course, normally only attain at best a partial identification with the Active Intellect as long as they remain with their physical bodies; only in the case of prophets can there be complete identification, allowing them to have direct access to knowledge for themselves without the need for instruction. Indeed, only very few human minds attain identification with the Active Intellect even after death.

 

5 Methodology

 

Even this brief account of Mulla Sadra’s main doctrines will have given some idea of the role that is played in his philosophy by the experience of the reality which it describes. Indeed he conceived of hikma (wisdom) as ‘coming to know the essence of beings as they really are’ or as ‘a man’s becoming an intellectual world corresponding to the objective world’. Philosophy and mysticism, hikma and Sufism, are for him two aspects of the same thing. To engage in philosophy without experiencing the truth of its content confines the philosopher to a world of essences and concepts, while mystical experience without the intellectual discipline of philosophy can lead only to an ineffable state of ecstasy. When the two go hand in hand, the mystical experience of reality becomes the intellectual content of philosophy.

The four journeys, the major sections into which the Asfar is divided, parallel a fourfold division of the Sufi journey. The first, the journey of creation or the creature (khalq) to the Truth (al-haqq), is the most philosophical; here Mulla Sadra lays out the basis of his ontology, and mirrors the stage in the Sufi’s path where he seeks to control his lower nafs under the supervision of his shaykh. In the second journey, in the Truth with the Truth, the stage at which the Sufi begins to attract the divine manifestations, Mulla Sadra deals with the simple substances, the intelligences, the souls and their bodies, including therefore his discussion of the natural sciences. In the third journey, from the Truth to creation with the Truth, the Sufi experiences annihilation in the Godhead, and Mulla Sadra deals with theodicy; the fourth stage, the journey with the Truth in creation, where he gives a full and systematic account of the development of the human soul, its origin, becoming and end, is where the Sufi experiences persistence in annihilation, absorbed in the beauty of oneness and the manifestations of multiplicity.

Mulla Sadra had described his blinding spiritual realization of the primacy of existence as a kind of ‘conversion’:

In the earlier days I used to be a passionate defender of the thesis that the quiddities are the primary constituents of reality and existence is conceptual, until my Lord gave me spiritual guidance and let me see His demonstration. All of a sudden my spiritual eyes were opened and I saw with utmost clarity that the truth was just the contrary of what the philosophers in general had held…. As a result [I now hold that] the existences (wujudat) are primary realities, while the quiddities are the ‘permanent archetypes’ (a‘yan thabita) that have never smelt the fragrance of existence. (Asfar, vol. 1, introduction).

Therefore it is not surprising that Mulla Sadra is greatly indebted to Ibn al-‘Arabi in many aspects of his philosophy. Ibn Sina provides the ground on which his metaphilosophy is constructed and is, as it were, the lens through which he views Peripatetic philosophy. However, his work is also full of citations from the Presocratics (particularly Pythagoras), Plato, Aristotle, the Neoplatonists (see Neoplatonism in Islamic philosophy) and the Stoics (taken naturally from Arabic sources), and he also refers to the works of al-Farabi, and Abu’l Hasan al-‘Amiri, who had prefigured Mulla Sadra’s theory of the unity of intellect and intelligible. This philosophical heritage is then given shape through the illuminationism of al-Suhrawardi, whose universe of static grades of light he transformed into a dynamic unity by substituting the primacy of existence for the latter’s primacy of quiddity. It is in this shaping that the influence of Ibn al-‘Arabi, whom Mulla Sadra quotes and comments on in hundreds of instances, can be most keenly felt. Not only is that apparent in Mulla Sadra’s total dismissal of any role for quiddity in the nature of reality, but in the importance which both he and Ibn al-‘Arabi gave to the imaginal world (‘alam al-mithal, ‘alam al-khayal).

In Ibn Sina’s psychology, the imaginal faculty (al-quwwa al-khayaliyya) is the site for the manipulation of images abstracted from material objects and retained in the sensus communis. The imaginal world had first been formally proposed by al-Suhrawardi as an intermediate realm between that of material bodies and that of intellectual entities, which is independent of matter and thus survives the body after death. Ibn al-‘Arabi had emphasized the creative aspects of this power to originate by mere volition imaginal forms which are every bit as real as, if not more real than, perceptibles but which subsist in no place. For Mulla Sadra, this world is a level of immaterial existence with which it is possible for the human soul (and indeed certain higher forms of the animal soul) to be in contact, although not all the images formed by the human soul are necessarily veridical and therefore part of the imaginal world. For Mulla Sadra, as also for Ibn al-‘Arabi, the imaginal world is the key to understanding the nature of bodily resurrection and the afterlife, which exists as an immaterial world which is nevertheless real (perhaps one might say more real than the physical world), in which the body survives as an imaginal form after death.

Philosophy has always had a tense relationship with theology in Islam, especially with the latter’s discourse of faith (iman) and orthodoxy. In consequence, philosophy has often been seen, usually by non-philosophers, as a school with its own doctrines. This is despite the assertions of philosophers themselves that what they were engaged in was a practice without end (for, as Ibn Sina had declared that what is known to humankind is limited and could only possibly be fulfilled when the association of the soul with the body is severed through death), part of the discipline of which consisted in avoiding taqlid, an uncritical adherence to sects (see Islam, concept of philosophy in). It is the notable feature of Mulla Sadra’s methodology that he constantly sought to transcend the particularities of any system – Platonic, Aristotelian, Neoplatonic, mystical or theological – by striving to create through his metaphilosophy an instrument with which the soundness of all philosophical arguments might be tested. It is a measure of his success that he has remained to the present day the most influential of the ‘modern’ philosophers in the Islamic world.

 

  1. Conclusion

To summarize this epistemological discussion, let us quote the comparation schema from Dr. Haidar Bagir lectures & his paper: Contemporary Criticism of Methodology in Epistemology in Islamic Philosophy, 7 p, as follow:

 

ASPECT OF EPISTEMOLOGY WESTERN EPISTEMOLOGY EPISTEMOLOGY IN ISLAMIC KNOWLEDGE
1. Sources of Knowledge :
  1. Empirical-observable
  2. Rational
1. Empirical-observable world

2. Rational (Analitical; Reason)

3. Imaginal Realm (khayal/barzakh)

4. Intuition (hight Intelect, Qalb, Fuad)

5. Historical fact

6. Sacred Text (revelation/wahyu)

2. Limit of Knowledge Rational science (ratiocination) No limit expect to know Dzat al Wujud (God)
3.Structure of Knowledge In the modern era there is separable view between Subject & Object (Objectivity) 1.  Ilm al Husuli (Aquired Knowledge)

2.  ilm al Hudhuri(Presential knowledge) &Ilmu Laduni

3.  Subject & Object are unity

4. Validity of Knowledge
  1. Logical Coherence
  2. Correspondence
  3. Pragmatic Funtion
1. Logical Coherence (Rational-Bayani)

2. Correspondence with Fact & History (Demonstartive/Burhani)

3. Pragmatic Function

4.  Harmoni with Divine Guidelines

5.  Irfani (iluminationist)

6.  ect.

5. Main Division & Relation
  1. Theoritical Philosophy
  2. Practical Philosophy
    1. Theoritical Philosophy (al Hikmah Nazhariyah)
    2. Practical Philosophy (al hikmah Amaliyah)
Principle:

Practical Phylosophy (Science-technology)  must relies on, or based on Theoritical Phylosophy.

Hence, Islamic Holistic and Integralistic Paradigm on epistemology, on ontology and on axiology are the prime principles that we are need to reviewing and reconstructing our philosophy, our sciences, our ideology and our civilization.

According to Mr. Armahedi Mahzar in Integralist Reflection there are Evolutionary Cycle of existential stages and Dynamic Integrality between Ultimate Reality (God, Allah SWT) and Human Actuality with evolution and devolution. This is the principle of : Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.Wallahu ‘alam.

List of works of Mulla Sadra [Sadr al-Din al-Shirazi]

(c.1628) al-Hikma al-muta‘aliya fi-’l-asfar al-‘aqliyya al-arba‘a (The Transcendent Wisdom Concerning the Four Intellectual Journeys), ed. R. Lutfi et al., Tehran and Qum: Shirkat Dar al-Ma‘arif al-Islamiyyah, 1958-69?, 9 vols; vol. 1, 2nd printing, with introduction by M.R. al-Muzaffar, Qum: Shirkat Dar al-Ma‘arif al-Islamiyyah, 1967.(This is Mulla Sadra’s major work, often known simply as Asfar (The Four Journeys). The full edition includes partial glosses by ‘Ali al-Nuri, Hadi al-Sabzawari, ‘Ali al-Mudarras al-Zanuzi, Isma‘il al-Khwaju’Ial-Isfahani, Muhammad al-Zanjani and Muhammad Husaynal-Tabataba’i.)

Mulla Sadra [Sadr al-Din al-Shirazi] (c.1628) Kitab al-masha‘ir (The Book of Metaphysical Penetrations), ed., trans. and intro. by H. Corbin,Le livre des pénétrations métaphysiques, Paris: Départment d’Iranologie de l’Institut Franco-Iranien de Recherche, and Tehran: Librairie d’Amerique et d’Orient Adrien-Maisonneuve, Bibliothèque Iranienne vol. 10, 1964; French portion re-edited Lagrasse: Verdier, 1988; ed. and trans. P. Morewedge, The Metaphysics of Mulla Sadra, New York: Society for the Study of Islamic Philosophy and Science, 1992. (Corbin is a synopsis of Mulla Sadra’s ontology, with a useful bibliography of Mulla Sadra’s writings and introduction by Corbin. Morewedge provides a parallel Arabic-English edition; the translation is based on Corbin’s edition of the text.) Mulla Sadra [Sadr al-Din al-Shirazi] (c.1628) al-Hikma al-‘arshiyya (The Wisdom of the Throne), ed. with Persian paraphrase by G.R. Ahani, Isfahan, 1962; trans. and intro. J.W. Morris, The Wisdom of the Throne: An Introduction to the Philosophy of Mulla Sadra, Princeton, NJ: Princeton University Press, 1982.(A useful summary of Mulla Sadra’s views on theology and eschatology; the introduction to the English translation provides an informative general introduction to Mulla Sadra work.)

 

References and further reading

Barbour, I. (1966) Issues in Science and Religion, New York: Harper & Row.(Very accessible survey of relationsbetween science and Christianity, beginning in the modern period.)

Barbour, I. (1974) Myths, Models and Paradigms, New York: Harper & Row. (Methodological comparison ofscience and religion, making use especially of Thomas Kuhn’s philosophy of science. Very accessible.)

Barbour, I. (1990) Religion in an Age of Science: The Gifford Lectures, 1989-1991, San Francisco, CA:

HarperCollins, vol. 1.(Combines and updates material from previous books. A particularly good  introduction.)

Bakar, O. (1996) ‘Science’, in S.H. Nasr and O. Leaman, History of Islamic Philosophy, London: Routledge, ch. 53, 926-46.(Discussion of some of the main thinkers and principles of science in Islam.)

Dani, A.H. (1973) Al-Biruni’s India, Islamabad: University of Islamabad Press.(Al-Biruni’s research on the people and country of India.)

Darwin, C. (1859) The Origin of Species, London: John Murray.(Classic statement of Darwin’s thesis.)

Draper, J.W. (1874) History of the Conflict between Religion and Science, New York: D. Appleton.(A once-popular denunciation of Catholicism for its interference with scientific development.)

Eaves, L.J., Martin, N.G. and Heath, A.C. (1990) ‘Religious Affiliation in Twins and Their Parents: Testing a Model of Cultural Inheritance’, Behaviour Genetics 20 (1): 1-21.(Provides some evidence for a genetic component in religious behaviour.)

Fakhry, M. (1983) A History of Islamic Philosophy, London: Longman, 2nd edn.(A general introduction to the role of reason in Islamic thought.)

Hill, D. (1993) Islamic Science and Engineering, Edinburgh: Edinburgh University Press.(The classic work on the practical aspects of Islamic science.)

Hefner, P. (1993) The Human Factor: Evolution, Culture, and Religion, Minneapolis, MN: Fortress Press.(Example of theological use of the theory of evolution.)

Hourani, G. (1975) Essays on Islamic Philosophy and Science, Albany, NY: State University of New York

Press.(An important collection of articles on particular theoretical issues in the philosophy of science.)

Hourani, G. (1985) Reason and Tradition in Islamic Ethics, Cambridge: Cambridge University Press.(A discussion of the clash between reason and tradition in Islamic culture as a whole, especially in ethics.)

Ibn Tufayl (before 1185) Hayy ibn Yaqzan (The Living Son of the Vigilant), trans. S. Oakley, The Improvement of Human Reason Exhibited in the Life of Hai Ebn Yokhdan, Zurich: Georg Olms Verlag, 1983.(This translation of Hayy ibn Yaqzan was first published in 1708.)

Kirmani, Z. (1992) ‘An Outline of Islamic Framework for a Contemporary Science’, Journal of Islamic Science 8 (2): 55-76.(An attempt at conceptualizing modern science from an Islamic point of view.)

Izutsu Toshihiko (1971) The Concept and Reality of Existence, Studies in the Humanities and Social Relations 13, Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies.(Although concerned primarily with the philosophical ideas of Mulla Sadra’s principal nineteenth century follower, Mulla Hadi al-Sabzawari, this work contains an extremely valuable exposition of the history of the existence-essence controversy in metaphysics, and deals with Mulla Sadra’s views in many places.) Leaman, O. (1985) An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge: Cambridge University Press.(A general approach to the role of philosophy in Islam.)

Leslie, J. (1989) Universes, London: Routledge.(An accessible account of the anthropic or fine-tuning issue.)

Lindberg, D.C. (1992) The Beginnings of Western Science: The European Scientific Tradition in Philosophical,Religious, and Institutional Context, 600 BC to AD 1450,Chicago, IL: University of Chicago Press.(Accessible.)

Lindberg, D.C. and Numbers, R.L. (eds) (1986) God and Nature: Historical Essays on the Encounter betweenChristianity and Science, Berkeley, CA: University of California Press. (Criticizes accounts of the historyof science and religion that presuppose the warfare model.)

Merton, R. (1938) Science, Technology and Society in Seventeenth-Century England,New York: Harper & Row,repr. 1970. (Presents the thesis that the development of science was encouraged by Puritanism.)

Murphy, N. (1990) Theology in the Age of Scientific Reasoning, Ithaca, NY: Cornell University Press.(On therelation between theological method and philosophy of science. Presupposes some knowledge of philosophy.)

Murphy, N. and Ellis, G.F.R. (1996) On the Moral Nature of the Universe: Theology, Cosmology, and Ethics, Minneapolis, MN: Fortress Press.(Comprehensive model for relating natural and social sciences to theology and ethics. Moderate technicality.)

Nasr, S.H. (1978) Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works, Tehran: Imperial Academy of Philosophy.(The first part of a planned, but so far uncompleted, two-volume work, the second volume of which is intended to deal with Mulla Sadra’s philosophical ideas; contains the best bibliography of Mulla Sadra’s works.)

Nasr, S.H. (1996) ‘Mulla Sadra: His Teachings’, in S.H. Nasr and O. Leaman (eds) History of Islamic Philosophy, London: Routledge, 643-52.(Short summary of Mulla Sadra’s thought.)

Nasr, S.H. (1993) The Need for a Sacred Science, Richmond: Curzon Press.(An argument for the significance of religion in any understanding of science.)

Pines, S. (1964) ‘Ibn al-Haytham’s Critique of Ptolemy’, in Actes du Xe Congrès internationale d’histoire des sciences, Paris: Ithaca.(One of the most important works in Islamic astronomy.)

Peacocke, A.R. (1979) Creation and the World of Science: The Bampton Lectures, 1978, Oxford: Clarendon Press.(Thorough survey of issues in the relation of contemporary science to Christian theology. Expands onissues of evolution and creation, and the hierarchical ordering of the sciences. Less accessible than arbour.)

Peacocke, A.R. (1990) Theology for a Scientific Age, Oxford: Blackwell; enlarged edn,Minneapolis, MN: FortressPress, 1993.(Relates top-down causation to divine action.)

Rahman, F. (1975) The Philosophy of Mulla Sadr (Sadr al-Din al-Shirazi), Albany, NY: State University of New York Press. (To date, the only full-scale study of Mulla Sadra’s philosophy in English.)

Ziai, H. (1996) ‘Mulla Sadra: His Life and Works’, in S.H. Nasr and O. Leaman (eds) History of Islamic Philosophy, London: Routledge, 635-42.(Biographical essay discussing Mulla Sadra’s influence and works.)

Rolston, H. (1987) Science and Religion: A Critical Survey, New York: Random House.(A good introduction to the field; less readable than Barbour, but aesthetically pleasing.)

Russell, R.J., Murphy, N. and Peacocke, A. (eds) (1994) Chaos and Complexity: Scientific Perspectives on Divine Action, Vatican City State: Vatican Observatory; distributed by University of Notre Dame Press.(A series of articles on divine action, of various levels of technicality.)Sabra, A.I. (1972) ‘Ibn al-Haytham’, in C.C.

Gillispie (ed.) Dictionary of Scientific Biography, New York: Charles Scribner’s Sons, 6th edn. (An excellent introduction to the thought and work of Ibn al-Haytham.) Pakistan, November 26-December 12, 1973, Karachi: Hamdard Academy.(Contains numerous papers discussing all the major works of al-Biruni.)

Saliba, G. (1991) ‘The Astronomical Tradition of Maragha: A Historical Survey and Prospects for Future Research’,Arabic Sciences and Philosophy 1 (1): 67-100.(A study of a particularly well-developed period of astronomical research in the Islamic world.)

Sardar, Z. (1989) Explorations in Islamic Science, London: Mansell.(Some contemporary debates on the nature ofIslamic science.)

Young, M.J.L., Latham, J.D. and Serjeant, R.B. (1990) Religion, Learning and Sciences in the Abbasid Period, Cambridge: Cambridge University Press.(The leading work on the most important period for science in the Islamic world.)

White, A.D. (1896) A History of the Warfare of Science with Theology in Christendom, New York: D. Appleton, 2 vols.(Referred to in introduction and §2.) Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London: Routledge

Footnote

 [1] Koento Wibisono, Dasar-Dasar Filsafat, (Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka, 1989), p. 517.

[2] Peter D. Klein, Routledge Encyclopedia of Philosophy, (Routledge: London and New York, 1998), version 1.0.

[3] Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (Totowa New Jersey: Adams & Co., 1971), p. 94.

[4] George Thomas White Patrick, Introduction to Philosophy, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), p. 325.

  1. Wibisono, Op.Cit., p.517.

6 Doni Gahral Adian, Menyoal Objektifisme Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Teraju, 2002), p. 17.

7 Ibid., p. 19.

8 Murthadha Muthahhari, Mengenal Epistemology, translated from Iranian book: Mas’ale Syenokh, (Teheran:Intisyaarate Shadra, 1989), p. 180.

[8]

9 Ibid.

[10] Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Philosophical Instruction, An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, (New York: Binghamton, University Global Publications, 1999), p. 85-6.

[13] Nancey Murphy, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1, London.

[14] Oliver Leaman, Routledge Encyclopedia of Islamic Philosophy, Version 1.0, (London and New York:Routledge, 1998), p. 2.

[15] Shams C. Innati, Routledge Encyclopedia of Islamic Philosophy, Version 1.0, (London: Routledge, 1998), p. 43-7.

[17] Dr. Wahid Akhtar, Islamic Concept of Knowledge,http://www.muslimphilosophy.com.

[18] For further information’s according to this discourse check Musa Kazhim in “Kekhasan Filsafat Islam”, an introduction to Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan, 2001). This book is transliteration from Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, (London: Oneworld Publication, Oxford, 1977).

[19] Sari Nusaibeh, “Epistemology”, in History of Islamic Philosophy, ed. S. H. Nasr and Oliver Leaman, (London and New York: Routledge, 1996), Part II, p. 824-40.

[20] Ibn Rushd star his risalah with provokating question according to legality of philosophy. See Ibn Rushd, Fashl Al-Maqal fima baina Al-Hikmah wa Al-Syari`ah min Al-Ittishal, (Kairo: tt.), p. 2.

[21] ZiauddinSardar,Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London: Routledge

[22] JOHN COOPERRoutledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London: Routledge

[1] Ini adalah  hipotesis dari Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya; Islam and The Plight of Modern Man... (Revised and Enlarged Edition),  ABC International Group, Inc, Chicago, 2001, p.4-5

[2] Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, (Revised and Enlarged Edition),  ABC International Group, Inc, Chicago, 2001, p.4-5

[3] Mengenai kesalahan bertahap gambaran citra manusia moden di Barat,, lihatlah G. Durrand, Defiguration Philosophique et figure traditionelle de I’homme en Occident,” Eranos-Jahrbuch, XXXVIII, 1971, pp.45-93; Sherrard, The Rape of Man and Nature, Ipswich (UK), Golgooonoza Press, 1987. Chap. 2 and 3, pp 42-89; and S.H. Nasr, Knowledge and the Sacred, Albany (NY), the  State University of  New York Press, 1999. Chap. 5, pp. 160-188. For a treatment of this subject from the perspective of a Western Seeker who has turned to traditional Islam see J. Herlihy, The Search of The Trurth—contemporary Raflection of Traditional Islamic Themes, Kuala Lumpur, Dewan Pustaka Islam, 1990.

[4] Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, , (Revised and Enlarged Edition),  ABC International Group, Inc, Chicago, 2001, p.6

[5] http://en.wikipedia.org/wiki/Modernism#cite_note-1

[6] Pericles Lewis, Modernism, Nationalism, and the Novel (Cambridge University Press, 2000). pp 38-39.  [James] Joyce‘s Ulysses is a comedy not divine, ending, like Dante’s, in the vision of a God whose will is our peace, but human all-too-human…” Peter Faulkner, Modernism (Taylor & Francis, 1990). p 60., quoted from http://en.wikipedia.org/wiki/Modernism#cite_note-1, acsessed  at  August,  2010

[7] Gardner, Helen, Horst De la Croix, Richard G. Tansey, and Diane Kirkpatrick. Gardner’s Art Through the Ages (San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, 1991). ISBN 0155037706. p. 953. quoted from http://en.wikipedia.org/wiki/Modernism#cite_note-1, acsessed  at  August , 2010

[8] Adorno, TheodorMinima Moralia. Verso 2005, p. 218. quoted from http://en.wikipedia.org/wiki/Modernism#cite_note-1, acsessed  at  August , 2010

[9] Tradition and the individual talent” (1919), in Selected Essays. Paperback Edition. (Faber & Faber, 1999). quoted from http://en.wikipedia.org/wiki/Modernism#cite_note-1, acsesed in August 2010

[10] Childs, Peter. Modernism (Routledge, 2000). ISBN 0415196477. p. 17. , quoted from http://en.wikipedia.org/wiki/ Modernism#cite_note-1, Accessed on 2009-02-08

[11] F. Budi Hardiman, Sejarah Filsafat Barat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta, 2004. For next quotients it will mention by  F. Budi Hardiman,  Sejarah Filsafat Barat Modern…..

[12] F. Budi Hardiman,  Sejarah Filsafat Barat Modern

[13] F. Budi Hardiman,  Sejarah Filsafat Barat Modern…..

[14] F. Budi Hardiman,  Sejarah Filsafat Barat Modern…..

[15] Adopted from Nancey Murphy, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1, London.

[16] lihat Origen; Augustine, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1, London [16]

[17] liha Tertullian, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1, London

[18] Lihat “ interpretation of Quantum mechanics”,  in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1, London

[19] Lihat  “Chaos theory”, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1, London

[20] Seyyed Hossein Nasr, The Plight of Modern Man, (Revised and Enlarged Edition), page 4, ABC International Group, Inc. Chicago, 2001. For next Quotations it will mention by Seyyed Hossein Nasr, The Plight of Modern Man

[21] Seyyed Hossein Nasr, The Plight of Modern Man, p. 4

[22] Seyyed Hossein Nasr, The Plight of Modern Man, p.5

[23] Armahedi Mazhar, “Kata Pengantar” (Introduction) in Hussein Heriyanto, Paradigma Holistik, p.xiii, Penerbit Teraju, Jakarta, 2003. p.xiii

[24] Descartes, R. Discourse and Methods (Translated by Jhon Veitch), J.M.  Dent & Sons Ltd, London, 1960.

[25] Armahedi Mahzar, Lecture Presentation of  master program of Islamic Philosophy at Islamic College for Advance Studies (ICAS) Jakarta, June 18, 2005. For the next quotation it will mention by  Armahedi Mahzar, Lecture Presentation…..

[26] Armahedi Mahzar, Lecture Presentation of  master program of Islamic Philosophy at Islamic College for Advance Studies (ICAS) Jakarta, June 18, 2005. For the next quotation it will mention by  Armahedi Mahzar, Lecture Presentation…..

[27] Mulyadhi Kartanegara,  Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf (PUSKAFIT) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005. For next quotation it will mention by Mulyadhi Kartenegara, Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf,

[28] Mulyadhi Kartanegara,  Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf (PUSKAFIT) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005. For next quotation it will mention by Mulyadhi Kartenegara, Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf,

[29]. Mulyadhi Kartenegara, Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf, (PUSKAFIT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005.

[30] Mulyadhi Kartanegara,  Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf (PUSKAFIT) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005. For next quotation it will mention by Mulyadhi Kartenegara, Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf,

[31] Hussein Heriyanto, Paradigma Holistik, Teraju-Mizan Jakarta, 2003

[32] One of radical variant of Cartesian-Newtonian Paradigm is Positivism. Positivism paradigm placed language and the method of physical sciences as the only methods for scientific activity, including for social sciences and cultures. The concepts in psychology, sociology, politics and anthropology were said scientific if refer to basic principles of Newtonian physics.  Even for Egon G. Guba,, Cartesian-Newtonian paradigm is identical with positivism, since assumed with dualistic epistemology (determination between subject and object), Please read The Paradigm Dialog (edited by Egon G. Guba), Sage Publication, California, 1990.

[33] Dikutip dari harian KOMPAS news paper, October 25, 199..

[34] Giddens, A. Beyond left and Right, Polity  Press, Cambridge, 1984, p.4

[35] Hussein Heriyanto, Paradigma Holistik, Teraju-Mizan Jakarta, 2003

[36] Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Mizan Bandung, 1997

[37] Koento Wibisono, Dasar-Dasar Filsafat, (Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka, 1989), p. 517

[38] Peter D. Klein, Routledge Encyclopedia of Philosophy, (Routledge): London and New York, 1998, version 1.0.

[39] Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (Totowa New Jersey: Adams & Co., 1971), p. 94.

[40] George Thomas White Patrick, Introduction to Philosophy, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), p. 325

[41] Koento Wibisono, Dasar-Dasar Filsafat, (Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka, 1989), p. 517

[42] Doni Gahral Adian, Menyoal Objektifisme Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Teraju, 2002), p. 17

[43] Doni Gahral Adian, Menyoal Objektifisme Ilmu Pengetahuan, p.17

[44] Murthada Mutahhari, Mengenal Epistemology, Translated from Iranian Book: Mas’ale Syenokh  (Teheran, Intisyaarate Shadra, 1989), p.180

[45] Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Philosophical Instruction, An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, (New York: Binghamton, University Global Publications, 1999), p. 85-6. For the next quotation it will mention by Taqi Misbah Yazdi, Philosophical Instruction, An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy.

[46] Taqi Misbah Yazdi, Philosophical Instruction, An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, p. ..

[47] Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from its Origin to the Present, State University of New York Press, 2006

[48] Kita harus ingat bahwa Pythagoras mendirikan sebuah masyarakat religious di Croton yang berpusat di sekitar Apollo, dam dia menyediakan peraturan kehidupan seperti para Nabi lain para pendiri agama-agama. Lihatlah Kenneth S. Guthrie, kompilasi dan terjemahan., The Pythagorean Sourcebook and Library, (Grand Rapids, MI: Phanes, 1987); khususnya lihatlah “The Life of Pythagoras” oleh  lamblichus.pp.57ff. di mana di sana bahkan ada perbandingan bahwa Pythagoras sebagai makhluk ilahiyah dan diidentifikasikan sebagai Dewa Apollo itu sendiri (p.80). Lihat juga misalnya karya agunhg Peter Kingsley, Ancient Philosophy, Mystery and Magic (Oxford: Clarendon, 1995), yang terkait dengan baiuk Pythagoras maupun Empedocles

[49] Lihat Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom (Inverness, CA: The Golden Sufi Center, 1999); and Reality, (Inverness, CA: The Golden Sufi Center, 2004). Untuk kutipan berikutnya yang akan diambil dari Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom, and Peter Kingsley, Reality

[50] Dalam apa yang diikuti tentang  Parmenides, Seyyed Hossein Nasr telah menunjukkan dalam karya Kingsley, Reality. Pp. 31ff

[51] Lihat Seyyed Hossein “Spiritual Chivalry”, in ed. S.H. Nasr, Islamic Spirituality, Vol. 2 (New York: Crossroad, 1991), pp.304-15

[52] Lihat juga:  ‘Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’I, Ali wa al-Hikmat al-ilahiyyah, in his Majmu a-yi rasa’il, Syayyid Hadi Khusrawshahi (ed). (Tehran: Daftar-i- Nashr-I farhang-I Islami, 1370, A.H. [solar], pp. 191ff

[53] Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom, p.33

[54] Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom p.40

[55] Martin Lings, The Secret of Shakespeare (New York: Inner Traditions International, 1984), p. 18

[56] Di dalam teks Islami, Nabi Idris atau Ukhnukh (Enoch), yang diidentikkan dengan Hermes, telah diberi gelar Abu al-Hukama,atau Bapak Para Filosof,.  Lihat “Hermes and Hermetic Writing in the Islamic World” in Nasr, Islamic Life anf Thought , (Chicago: ABC International Group, 2001), pp.102-19

[57] Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom.,p.46

[58] Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom.p.87

[59] Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom p.62

[60] Ibid., p.320. See also Kingsley, Ancient Philosophy, Mysticism, and Magic, in Passim.

[61] Kingsley, Reality, P.323

[62] See, S.H. Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines  (Albany: State University of New York Press, 1993), Chapter 15, “Nature and The Visionary Recitals,” pp.263-74

[63] Lihat Huston Smith, Forgotten Truth (San Fransico: Harper, 1992), especially chapter 3, “Levels of Selfhood,” pp.60-95; also Rene Guenon, The Multiple States of being, Trans. Joscelyn Godwin (Burdett, NY: Larson, 1984).

[64] Lihat Huston Smith, Forgotten Truth  (San Francisco: Harper, 1992), especially chapter 3, “Levels of Reality,” pp. 34-59; and Chapter 4, “Levels of Selfhood,” pp.60-95; also Rene Guenon, The Multiple Stages of Being, Trans. Joscelyn Godwin (Burdett, NY: Larson, 1986).

[65] Kita hanya perlu membaca tentang ajaran besar tokoh bijaksana Sioux Elk Hitam untuk menyadari filosofi yang mendalam apa yang ada meskipun secara lisan antara orang-orang untuk siapa kenabian adalah realitas pusat kehidupan spiritual mereka. Lihat Joseph E. Browrn, The Pipe Suci (New York: Pengguin Metaphysical Library, 1986).

[66] Henry Corbin telah sangat peduli dengan issue ini dalam banyak karyanya yang kita akan beralih kemudian setelah volume ini.

[67] An New Worldview, http://www.centerfor sacredsciences.org,  accessed at October  2010

[68] Dalam Pandangan dunia Islami kita percaya bahwa alam semesta, manusia dan Tuhan adalah dalam SATU REALITAS (In Islamic worldview we believe that universe, man and God are in One Reality). Inilah konsep “Wahdat al-Wujud” dalam konsep ‘Arabi, or konsep “Al-Shalat al-Wujud” dalam istilah Mulla Sadra

[69] Dalam ajaran Mulla Sadra, ini diterangkan dengan konsep  “Itihad baina Aqil wa Ma’qul

[70] Resources and Link’s: As a starting point for further research on mysticism, science, and worldviews, we recommend the following resource: CSS Resources: Holos: Forum for a New Worldview: Holos Journal published by the Center for Sacred Sciences;  Articles : Science and Mysticism in the 20th Century by Joel, Questioning the Scientific Worldview by Tom McFarlane, The Illusion of Materialism by Tom McFarlane Other Resources Books: The Need for a Sacred Science by Seyyed Hossein Nasr, The Structure of Scientific Revolutions by Thomas Kuhn, A Study of History by Arnold Toynbee, The Passion of the Western Mind by Richard Tarnas, The Social Construction of Reality by Peter Berger, Laws of Form by G. Spencer-Brown Audio:  Religious Diversity in America by Huston Smith and Diana Eck. A thirty-minute ReadAudio stream of a presentation sponsored by the Cambridge Forum a few weeks after 9/11/01. In the first half, Prof. Smith contrasts the traditional religious worldview with the modern materialistic worldview. In the second half, Prof. Eck discusses the present state of religious diversity in America and the different ways of dealing with these differences among us; Websites: The Center for Integral Science: (http://www.intergralscience.org), Laws of Form (http://www.lawsofform.org),

[71] Sub Judul ini adalah Article dari  Carl W. Ernst, University of North Carolina at Chapel Hill Middle East Studies Association Bulletin vol. 28, no. 2 (December 1994), pp. 176-81. Based on references bellows; Gai Eaton.  King of the Castle:  Choice and Responsibility in the Modern World.  216 pages.  2nd ed., Cambridge:  The Islamic Texts Society, 1990 [1977]; Martin Lings.  Symbol & Archetype:  A Study of the Meaning of Existence.  viii + 141 pages.  Index.  Cambridge:  Quinta Essentia, 1991.  ISBN 1-870196-04-X, 1-870196-05-8 paperback; Seyyed Hossein Nasr.  Traditional Islam and the Modern World.  London:  Kegan Paul International, 1990; Seyyed Hossein Nasr, ed.  Islamic Spirituality:  Manifestations.  World Spirituality, An Encyclopedic History of the Religious Quest, vol. 20.  xxviii + 548 pages.  Preface to the Series by Ewert Cousins, Introduction, Bibliography, Contributors, Photographic Credits, Index of Names.  New York:  The Crossroad Publishing Company, 1991.  ISBN 0-8245-0768-1.

[72] Huston Smith, “Is there a Perennial Philosophy?”, JAAR LV (1987):553-66; James S. Cutsinger, “The Knowledge that Wounds Our Nature:  The Message of Frithjof Schuon,” JAAR LX (1992):465-92.

[73] http://www.centerforsacredsciences.org/traditions.html


IC-THuSI : Membangun Infrastruktur Pemahaman Islam-Humanis-Transenden

$
0
0
Press Release
International Conference – Thoughts on Human Sciences in Islam (IC-THuSI)
18-19 November 2015, Gedung BPPT II Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat
 
IC-THuSI : Membangun Infrastruktur Pemahaman Islam-Humanis-Transenden
 
Sejalan dengan tiga asas yang menjadi infrastruktur pengembangan ilmu-ilmu manusia  (sosial-humaniora) yang diluncurkan oleh IC-THuSI, yaitu asas ketuhanan (spiritualitas), asas kemanusiaan, dan asas keberadaban komunitas dan bangsa, konferensi internasional kedua tahun 2015 ini digelar dengan visi membangun paham Islam-humanis-transenden agar tercipta kondisi seperti yang ditulis oleh Professor Tariq Ramadan dalam pesannya, “Konferensi (IC-THuSI) ini adalah sebuah upaya yang luar biasa dan kita perlu mendukungnya secara spiritual dan intelektual sebagai langkah ke depan bagi dunia Muslim untuk kembali menjadi sebuah kontribusi positif kepada dunia”.

Titik awal membangun “infrastruktur pemahaman Islam-humanis-transenden” itu adalah dengan melangsungkan interaksi dua arah secara dinamis antara perspektif kemanusiaan dan perspektif keislaman. Di satu sisi, mendorong perbincangan dan pembahasan isu-isu manusia dan masyarakat dengan segenap permasalahnnya dalam perspektif Islam, dan di lain sisi menelaah secara mendasar isu-isu keagamaan atau praksis kehidupan beragama dari perspektif kemanusiaan. Dialog timbal balik antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu manusia harus dibangun dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga saling memperkaya kedua ranah ilmu tersebut. Ilmu-ilmu keislaman menjadi lebih relevan dan aktual dengan problem-problem sosial kemanusiaan, dan sebailknya ilmu-ilmu manusia juga menjadi lebih sesuai dengan realitas asli (fitrah) manusia yang mendambakan pencerahan spiritual.
Dalam konteks dan tujuan itulah sebuah pertemuan sarjana dunia yang berminat dengan studi manusia dalam perspektif Islam digelar; itulah IC-THuSI, singkatan dari International Conference – Thoughts on Human Sciences in Islam. Diorganisir oleh Sadra International Institute-Jakarta, tahun ini adalah konferensi yang kedua setelah sukses pada konferensi pertama tahun lalu 2014 menghadirkan 70-an sarjana dari 15 negara.  Pertemuan ilmiah ini adalah salah satu medium untuk mendorong para sarjana Muslim (pengkaji filsafat, ‘irfan, studi Islam, sosiologi, psikologi, antropologi, politik, ekonomi) untuk melakukan penelitian, permenungan, dan penelitian lanjutan lagi dalam mengembangkan ilmu-ilmu manusia (sosial humaniora) yang lebih sesuai dengan realitas kemanusiaan (fitrah) dan sejalan dengan dimensi transendensi dan keruhanian Islam, yang pada gilirannya lebih mampu menjawab permasalahan kemanusiaan hari ini yang amat kompleks dan multidimensional. 
Dalam konferensi THuSI 18-19 November 2015 mendatang, ada seorang sarjana Amerika Serikat, Dr. Syu’aib Eirc
Winkel, yang akan mempresentasikan papernya “Ibn ‘Arabi’s Love and Socio-cultural Implications”. Peneliti yang telah menerjemahkan ribuan halaman karya-karya Syaikh Akbar ini berusaha menjelaskan pengertian cinta dan Tuhan sebagai Pencinta lalu relevansinya atau implikasi pandangan ini secara sosial-kultural dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Dari dalam negeri tampil Dr. Haidar Bagir yang akan mengekplorasi perspektif ‘irfani dalam memahami isu relasi Islam dan budaya lokal termasuk di dalamnya akan menyinggung gagasan populer “Islam Nusantara”.  Dari Iran, negeri yang banyak mencetak filsuf dan sufi, ada Prof. Dr. Hujjatul Islam Hamid Parsania – penulis buku Spiritual Anthropology– yang akan mengulas karakteristik epistemologi Islam dan relevansinya dengan pengembangan paradigma baru ilmu-ilmu manusia yang holistik. Sementara dari Malaysia, tampil Prof. Dr. Azila Ahmad Sarkawi – yang mengirim tiga paper bersama timnya dari International Islamic University of Malaysia (IIUM)- akan banyak mendeskripsikan apa yang disebutnya sebagai “Islamization of human knowledge”dalam konteks institusi IIUM.
Akan hadir pula pengajar Qatar University, Dr. Edwar Omar Moad, yang akan membahas konsep “Islamic State” secara historis dan kritis-analitik dengan merujuk kepada pemikiran Wael Hallaq. Sementara Dr. Syed Mehboob Hasan Bukhori (Karachi University, Pakistan) akan menyuguhkan pandangan kritisnya terhadap agenda “Islamization of science” dengan menyebutnya sebagai bentuk pengukuhan identitas yang melahirkan problem “sense of the other”.  Melanjutkan kontribusinya tahun lalu, Prof. Dr. Masudul Alam Choudhury, salah seorang dedengkot sarjana ekonomi Islam yang aktif di Kanada, juga akan menyampaikan paper “Interrelations between the Principles of Tawhid, Al-Wasatiyyah, and Maqasid al-Shariah”.  Dan masih banyak lagi sarjana tanah air dan beberapa negara lainnya yang telah turut menyumbang pemikiran ilmiah mereka (terhitung 87 judul paper/abstrak).
Penyampaian hasil penelitian dan kajian para sarjana ini merupakan bagian penting dari apa yang disebut “membangun infrastruktur pemahaman Islam-humanis-transenden” melalui serangkaian aktivitas ilmiah dalam ilmu-ilmu manusia. Dengan memulai tradisi kajian epistemologis dan metodologis terhadap ilmu-ilmu manusia dalam perspektif Islam ini, diharapkan dan ditargetkan bahwa studi manusia menjadi terkait secara organis-integratif dengan studi-studi keislaman. Jika hal itu tercapai secara ilmiah dan metodologis (tidak hanya jargon teologis), maka secara dini di dunia pendidikan Islam para pelajar kita akan dididik untuk memiliki pandangan yang humanistik-transenden yang bertemali dan satu napas dengan pemahaman keagamaan dan pengalaman keruhanian mereka.  Dan hal itu merupakan elemen terpenting dari program deradikalisasi pemahaman agama secara mendasar, alami, dan menyeluruh.
 
Dr. Husain Heriyanto
Ketua Panitia Pengarah
International Conference – Thoughts on Human Sciences in Islam (IC-THuSI)
Sadra International Institute, Jakarta

IC-THuSI untuk Islam Berkeadaban

$
0
0
Refleksi Aktual Menjelang Konferensi THuSI 18-19 Nov 2015
IC-THuSI untuk Islam Berkeadaban
 
Husain Heriyanto
Ketua IC-THuSI
 
Dua serangan terorisme yang berturut-turut terjadi di Beirut dan Paris pekan lalu, yang diduga kuat dilakukan oleh kelompok ISIS, kian mendesak kita untuk berbuat sesuatu yang lebih serius, sistematis, dan komprehensif untuk menanggulangi ekstrimisme yang tidak pernah mengendurkan keberingasan sekaligus angin pesimisme terhadap kemanusiaan dan peradaban. Ya, kekerasan dan terorisme adalah bentuk keputusasaan dan puncak pesimisme terhadap kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan saling menghargai.

Oleh karena itu, kita tidak cukup hanya mengecam dan mengutuk atau bahkan melakukan tindakan represif dan militer, apalagi hanya sporadis dan show-up saja (seperti yang ditunjukkan kerajaan Yordania dan Perancis yang menyerang ISIS sesaat setelah tentara dan rakyat mereka menjadi korban serangan ISIS). Percuma saja Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya di Eropa dan Timur Tengah mengutuk ISIS akan tetapi mereka justru menciptakan infrastruktur kognitif dan psikologis yang membiakkan terorisme di mana-mana.
Tentu saja kita harus mengutuk dan menindak keras pelaku-pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini, akan tetapi realitas menunjukkan bahwa represi militer dan kutukan saja tidak memadai memberantas kekerasan dan terorisme. Karena, akar terorisme terletak pada mindset atau cara pandang tertentu dalam memahami dunia, masyarakat, dan diri manusia itu sendiri. Belum lagi fakta terjadinya fabrikasi terorisme, yaitu munculnya pihak-pihak ketiga – umumnya yang memiliki kekuatan senjata, intelijen dan dolar atau petrodolar – yang memproduksi dan memanfaatkan mindset paham radikal untuk menghancurkan musuh-musuh politik atau geopolitik mereka, yang dikenal sebagai proxy-war.  Kenyataan yang harus diakui adalah bahwa komunitas yang paling menderita oleh kebiadaban terorisme selama ini adalah umat Islam, baik secara fisik, psikologis, sosial, ekonomis, politis, moral, maupun budaya. Meskipun demikian, terorisme hakekatnya adalah musuh bersama semua umat manusia lintas agama dan negara.
Karen Armstrong (The Battle for God: A History of Fundamentalism, 2001) menjelaskan bahwa fudamentalisme radikal agama merupakan sebuah respons irasional terhadap sekulerisme dan krisis spiritual dunia modern.  Kaum fundamentalis menghadapi situasi yang sulit mereka pahami bagaimana hidup sebagai seorang yang beriman dalam dunia modern dan sebaliknya bagaimana mengakomodasi tantangan-tantangan modern dalam horizon keimanan mereka. Bertali-temali dengan isu-isu sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan global, marjinalisasi, perasaan terasing dari peradaban dunia (the other) maka lahirlah paham fundamentalisme sebagai respons yang paling mudah dan instan.
Armstrong menyatakan bahwa fundamentalisme tidaklah turun dari langit begitu saja dan mencuat ke permukaaan dari kevakuman latar belakang sosial budaya.  Ia adalah sebuah modus respons, yang Armstrong sebut sebagai sesuatu yang alamiah bagi setiap komunitas dalam memelihara identitas mereka.  Karena itu, kita tidak mungkin bisa menghalangi siapapun di dunia ini memiliki pandangan dunia tertentu.  Adalah mustahil melarang anak manusia untuk berpikir, bermimpi, dan bercita-cita atau memiliki pemahaman tertentu tentang dunia, masyarakat, dan sejarah.
Pencetus teori strukturasi, Anthoni Giddens (The Constitution of Society, 1995), mengungkapkan bahwa ruang tindakan para individu dalam dunia yang saling terhubungkan seperti sekarang ini semakin terbuka lebar.  Peran individu melalui modus-modus kesadarannya (diskursif, praktis, dan tak sadar) kian menentukan dalam membentuk struktur dan tatanan masyarakat melalui tindakan-tindakan voluntaristik sang individu.
Saya teringat sebuah peristiwa teror di tanah air beberapa waktu lalu.  Seseorang yang bernama M. Thoriq marah besar kepada pemerintah Myanmar yang menganiaya Muslim Rohingya dan hal itu mendorongnya untuk melakukan teror. Pola persepsi dan struktur kognitif yang dia miliki mengarahkannya untuk bertindak melalui terorisme. Dalam wasiat yang sempat dia tulis kepada keluarganya, dia menyatakan bahwa kesediannya menjadi ‘pengantin’ adalah sebuah tugas suci yang akan mendapat imbalan surga. Mungkin sebagian anak muda di negeri ini  yang tergiring untuk mengadopsi struktur kognitif ala Thoriq tersebut akan memilih cara yang sama.
Nah, sejalan dengan doktrin McLuhan bahwa dunia hari ini adalah sebuah desa global (a global village), maka akan semakin sering peristiwa sejarah yang digerakkan oleh individu-individu yang terpola dalam sebuah jaringan. Itu sebabnya kita sering terkejut menyadari bahwa tetangga kita yang selama ini rukun dan baik- baik saja tiba-tiba menjadi buronan Densus atau menjadi pelaku bom bunuh diri. Dalam dunia online yang sudah saling terjaringkan satu sama lain, seorang anak muda di sebuah pinggiran kota bisa mengakses dengan mudah website-website aliran garis keras dan lalu terpengaruh dan terprovokasi.
Itulah yang dimaksud Giddens bahwa struktur dan tatanan masyarakat bukanlah sebuah entitas yang hadir begitu saja di luar kesadaran individu.  Struktur dan tatanan bekerja melalui tindakan pelaku, yaitu individu-individu dengan segenap pola pikir, kerangka penafsiran, persepsi, dan perspektif  yang dihayati, dipraktekkan dan dipolakan; terlepas hal itu disadari atau tidak.  Hal ini berimplikasi pada kesimpulan bahwa modus-modus kesadaran dan interaksi (diantaranya tindakan komunikasi) merupakan faktor primer sedangkan struktur dan sistem sosial adalah faktor sekunder.  Ini memang paradoks era teknostruktur.  Ketika dunia kita semakin mampu dideskripsikan sebagai sebuan entitas jaringan melalui infrastruktur teknologi, ekonomi, dan lingkungan, potensi kreativitas pelaku dalam mengkonstitusi struktur dan tatanan juga kian tertantang dan tersingkap. 
Konsekuensi praktisnya adalah bahwa kesadaran, signifikansi dan proses mediasi menjadi faktor dominan dalam menata masyarakat.  Dalam konteks ini, penumpasan terorisme, pada esensinya, adalah sebuah upaya membangun pola tertib, damai, sejahtera, dan beradab tatanan masyarakat. Karena itu, program deradikalisasi mesti melibatkan gerakan penyadaran yang bekerja pada level-level diskursif (kesadaran reflektif), praktis dan tak sadar (collective consciousness). Gerakan ini harus dilangsungkan secara simultan, terus menerus, dan kreatif sesuai dengan dinamika zaman (jangan kalah kreatif oleh calon teroris).   
 
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kisah M. Thoriq di muka diangkat bukan sama sekali untuk “memaklumi’ latar belakang mengapa dia menjadi teroris. Namun untuk menunjukkan bahwa selugu apapun seseorang, sebagai manusia yang memiliki pikiran, dia pasti memiliki cara berpikir dan mindset atau sistem maknawi tertentu untuk memahami dunia lingkungannya. Nah, selama mindset ini masih mengisi akal pikirannya atau jiwa anak-anak muda lain, maka pelbagai aneka kekerasan dan terorisme akan terus berulang.  Ibarat pepatah “gugur satu, tumbuh seribu”, calon-calon teroris terus muncul dengan segala pemicunya selama tanpa perubahan mindset dan cara pandang.
Oleh karena itu, satu-satunya cara deradikalisasi yang langgeng dan juga lebih humanis adalah menggantimindset mereka –terutama para generasi muda- dengan menawarkan mindset yang lain. Kita tidak boleh hanya berhenti pada jargon-jargon bahwa Islam adalah agama rahmatan lil’alamin; Islam di Indonesia adalah Islam Nusantara yang cinta damai, dan seterusnya. Rumusan-rumusan taktis ini memang berguna untuk  menyederhanakan pesan agar mudah dipahami, akan tetapi ia menjadi jargon kosong jika tidak diterjemahkan dan ditransformasikan ke dalam kerangka kerja yang membentuk infrastruktur kognitif dan mental umat yang sejalan dengan rumusan-rumusan tersebut.
Program deradikalisasi mesti mampu membuang karakter irasionalitas respons yang Armstrong sebutkan di muka.  Hal ini dikerjakan dengan membangun mentalitas rasional. Tidak ada cara lain yang lebih menjanjikan dalam menumpas jaringan terorisme hingga ke akar-akarnya kecuali melalui pengembangan kebudayaan dan tradisi yang menghargai akal sehat, pertimbangan nalar, kecakapan merenung, keterlatihan berpikir panjang, dan kepekaan nurani kemanusiaan universal.  Melalui pembudayaan mental rasionalitas itulah, kita membangun fundasi yang di atasnya akan lahir secara alamiah (bukan hal yang dicangkokkan dari luar) sikap kritis, pola pikir terbuka, toleransi, dan perilaku yang proporsional dan penuh pertimbangan
Nah, dalam konteks inilah kehadiran IC-THuSI bisa membantu menyediakan konstruksi mental dan nalar untuk mempersepsi dunia lebih humanis, bermuatan spiritual, dan optimis menatap sejarah.  IC-THuSI mendorong para sarjana Muslim untuk melakukan kajian ilmiah dan pengembangan ilmu-ilmu manusia (sosial humaniora) yang lebih mampu memahami persoalan kompleks manusia dalam perspektif yang lebih luas dan dalam serta memberi inspirasi yang lebih mencerahkan tentang manusia, masyarakat dan sejarah.
Beberapa paper konferensi THuSI 18-19 Nov. mendatang yang terkait dengan apa yang disebutkan di muka bisa disebutkan di sini. Di hari pertama, Dr. Edward Omar Moad (Qatar University) mempresentasikan paper berjudul “Historicism and Impossibility of Impossible State (ISIS?)”, yang menguji kemungkinan berdirinya konsep negara Islamic State model ISIS berdasarkan analisis sejarah dan logis.  Di hari kedua, Dr. Haidar Bagir dengan paper berjudul “Islam Nusantara: An Irfani Perspective on the Relation between Islam and Local Culture” mencoba mengisi istilah Islam Nusantara dari perspktif tasawwuf dalam melihat hubungan alamiah antara Islam dan budaya lokal. Jika saja isu hubungan agama dan budaya lokal dapat dijelaskan, maka akan banyak ketegangan sosial-budaya yang akan berkurang.   Demikian pula paper Dr. Eric Winkel yang berjudul “Ibn ‘Arabi’s Love and Socio-cultural Implications” akan mengupas pengertian cinta dalam irfan Ibn ‘Arabi beserta implikasi sosial-budayanya.
Selamat ketemu pada konferensi 18-19 November 2015, esok lusa ..

Viewing all 1300 articles
Browse latest View live