Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah
Catatan Korator dari Mohamad Habrul Ulum Othman (16/1/2017):Wali Songo
Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah is your (Ahmad Yanuana Samantho) 11th great grandfather.
You→R.R. Lieke Sri Suryaningsih your mother→Rd. Hussein Martoseputro
her father→Martoseputro his father→Ngabehi Martodirjo his father→
Njai Ageng Semali in Pabelan his mother→Kjai Sastrodinonggo in Semali
her father→R Arjo GondoKoesoemo in Semali Muntilan his father→
Kanjeng Panembahan Purubaya I / K. Pangeran Poerbojo in Semali Muntilan
his father→
Kanjeng Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya) (1584-1601) Ki Ageng Pemanahan/Ngabdullah, II his father→
[64] Nyi Sabinah Bint Ki Ageng Saba his mother→
Pangeran Made Pandan Raden Oemar her father→
[62] Nyi Mas Ratu Ayu Bint Syarif Hidayatullah his mother→


Jenis Kelamin: | Laki-laki |
---|---|
Lahir: | Sekitar 1450 Cairo, Cairo Governorate, Egypt |
Meninggal | Sekitar 1569 (111-127) West Java, Indonesia |
Keluarga Dekat: | Anak laki-laki dari Sultan Maulana Sharif Abu Abdu’llah Mahmud Umdat ud-din dan NRM Rara Santang Suami dari NM Siti Babadan [Versi MP] ,; ? -banten; Nyai Mas Ratu Rara Sumandingongtin; Dewi Hisah; ??? dan 14 lainnya Ayah dari Raden Inten; Nyai Mas Ratu Rara Ayu Dalem Hafsah; R. Abdul Jalil (Siti Jenar, Jepara); Dewi Sufiyah; Pangeran Mohamad Husin “Temenggung Merah” dan 23 lainnya Saudara laki-laki dari Syarif Nurullah Saudara tiri laki-laki dari Sultan Abul Muzaffar Waliullah Ibni Syarif Abu Abdullah; Sayyid Babullah [Versi MP] dan Sultan Alam Akhbar Al-Fatah |
Ditambah oleh: | Unknown, 12 Desember 2007 |
Dikelola oleh: | Erni Muthalib dan 50 others |
Dikurasi oleh: | Mohamad Habrul Ulum Othman |
Ayah[sunting | sunting sumber] Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.
Ibu[sunting | sunting sumber] Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda’im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung Jati di Komplek Astana Gunung Sembung ( Cirebon )
Silsilah[sunting | sunting sumber] Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin Sayyid ‘Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin Sayyid ‘Ali Nuruddin Al-Khan @ ‘Ali Nurul ‘Alam bin Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar al-Husaini Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin Sayyid Abdullah Al-‘Azhomatu Khan bin Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India) bin Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) bin Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin Sayyid Alawi Ats-Tsani bin Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Sayyid Alawi Awwal bin Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin Sayyidina Ja’far As-Sodiq bin Sayyidina Muhammad Al Baqir bin Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Al-Imam Sayyidina Hussain Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad Silsilah dari Raja Pajajaran[sunting | sunting sumber] Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Rara Santang (Syarifah Muda’im) Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali) Niskala Wastu Kancana @ Prabu Siliwangi I Prabu Linggabuanawisesa @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat) Pertemuan orang tuanya[sunting | sunting sumber] Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibu dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Datuk Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang, kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayah dan kakeknua datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri dari Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.
Riwayat hidup[sunting | sunting sumber] Proses belajar[sunting | sunting sumber] Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Pernikahan[sunting | sunting sumber] Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480, ia menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, ia mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Kesultanan Demak[sunting | sunting sumber] Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana ia memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini, ia berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Maulana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunannya juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Gangguan proses Islamisasi[sunting | sunting sumber] Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 pada tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Perundingan Yang Sangat Menentukan[sunting | sunting sumber] Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayatullah adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum ia wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan, ia adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
Name in Alawiyin website: SY.HIDAYATULLAH-Abdullah-24(7. Sunan*GunungJati)
Reference Link: http://familytreemaker.genealogy.com/users/a/s/y/Naqobatul-Asyrof-Jakarta/WEBSITE-0001/UHP-0827.html
Salah seorang Wali Songo yg menyebarkan Islam di Cerebon, Jawa Barat. Menurunkan ulama’-ulama’ dan sultan-sultan Banten di Jawa Barat dan Palembang, dan keturunan Raden.
Ancestor of the royal houses of Banten, Cheribon and Palembang.
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
(sumber: Wikipedia Indonesia)
One of Walisongo in West Java
Sunan Gunung Jati.Versions: “Terah Bojongjati” and “Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda”.
Lahir 1448, wafat 19 september 1568 di Cirebon, makamnya di Astana Gunung Jati (Cirebon).
Raja Pakungwati (Cirebon), 1479-1568.
Susuhunan Cirebon.
Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah s.a.w.
Pandita Ratu, Pate Cherimon, Pati Cirebon, Adipati Cirebon.
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati
Notes on relationship between Pangeran Panjunan and Sunan Gunung Jati:
In this Tree, based on book “Sadjarah Raden Kandoeroean Soema di Pradja”:
Pangeran Panjunan, son of Ratu Petak, son of Pangeran Pasarean, son of Sunan Gunung Jati.
Info from Moggi March 2009 (Azmatkhan Tree):
Pangeran Panjunan / Sayyid Abdurrahman, brother of Syekh Datuk Kahfi, Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan) and Syarifah Ratu Baghdad (married to Sunan Gunung Jati), son of Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi.
Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, brother of Sayyid Husain, one of his son Sayyid Ali Nurul Alam, one of his son Sayyid Abdullah, father of Syarif Nurullah and Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Notes on May 20, 2009:
His name in Joyce FG: Sunan Gunung Jati, link to his other profile:
Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah
http://www.petra.ac.id/eastjava/walisongo/jati.htmSyarif Hidayatullah, Muhammad Nuruddin, Sayyid Kamil, Syekh Nurullah, and Faletehan are just some of the names which have been given to Sunan Gunung Jati, the wali who is said to have converted the western third of Java Islam virtually single-handed and to have founded the independent State of Cirebon.
Concerning the birth, life, and death of this member of the Wali Songo, there are several conflicting stories, yet the main thread runs as follows:
Syarif Hidayatullah or Syekh Nurullah was born in Pasei, North Sumatra. According to some people, he was the son of Syekh Maulana Ishak and half-brother of Sunan Giri. Following the Portugese invasion of his homeland in 1521, he travelled to Mecca, where he stayed for three years. On his return, he entered the service of Sultan Trenggana of Demak, whose younger sister he married.
During the next few years, as a brilliant military commander, he succeeded in subjugating the north west coast of Java as well as the State of Banten. After successfully blocking an attempt by the Portugese to land at Sunda Kelapa (Jakarta) in 1527, he settled in the region of Cirebon, where he continued to live and teach until his death in A.D. 1570.
Sunan Gunung Jati: His Life Upon His Journey
Posted on July 26, 2008 by Nia
© 2008 Nia’s Match
http://niaimaniah.wordpress.com/2008/07/26/sunan-gunung-jati-his-life-upon-his-journey/
An Egyptian sultan named Sultan Maulana Mahmud got married to a princess from Pajajaran in 1447, named Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Mudaim) in Tursina mosque. As a result of their marriage, they had two children, named Syarif Hidayatullah (born: 1448 AD) and Syarif Nurullah (born: 1450 AD). Both Egyptian-Pajajaran spouses made this following agreement: Their sons would act as persons who would convert all people in Java and their counterparts into Islam.
On the Islamic date 5, in the month of Jumadilawal, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah made his way to learn Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). On his way to learn Islam, Syarif Hidayatullah also met Prophet Solomon and Prophet Ilyas. Syarif Hidayatullah understood the languages used by jinn (English: genie), satans, angels, animals, and wind. He also instinctively knew the restorative power of plants and fruits. He was also capable of bringing the dead efficacious plants to life, and was capable of speaking to the dead. He had the power to chill fire, and was capable of staying dry in water. He was also capable of reaching his place destination in no time, within the blink of eyes.
On the Islamic date, 28th Rajab, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah ascended to the 6th heaven and met Prophet Muhammad (peace be upon him). At this time, he was learning Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). In this year, he received the title ‘Insankamil’ from Prophet Muhammad. After embracing the full knowledge taught by Prophet Muhammad (peace be upon him), he descended to the 5th heaven, and eventually reached the 1st heaven. He descended to to the Ajrak court from the 1st heaven by riding on white clouds.
In Nispu Sya’ban year 1466 AD, Maulana Insankamil Syarif Hidayatullah came to see his mother, Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Muda’im) in the Egyptian court. His journey from the beginning to the end resulted in satisfaction.
In 1468 AD, Syarif Hidayatullah (Maulana Insankamil) became an Egyptian sultan, named Sultan Maulana Mahmud. In 1472, He was already in Cirebon and met the village chief, named Abdullah Iman = Cakrabuana = Prabu Siliwangi Pajajaran = Prabu Anom = Sri Mangana to introduce Islam. Sultan Syarif Nurullah acted as his replacement as an Egyptian sultan.
Syarif Hidayatullah took Ki Syekh Nur Jati as his guru (teacher) in Cirebon and Sunan Ampel in Ampeldenta. In 1479, he was installed as the Head of Cirebon State with the name ‘Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Penata Agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullah Solallohu Alaihi Wassalam. Until now, he is known as Sunan Gunung jati from Cirebon.
During his journey to China, he was successful in converting high-ranking officials, prominent people, and many people in Tartar and its neighbouring states. In 1481 AD, the Great Princess from China, named Princess Ong Tien met Sunan Gunung Jati. The Great King of China, Princess Ong Tien’s father, made an experiment. The experiment is explained as follows: Princess Ong Tien put a brass bowl (Indonesian: bokor kuningan) on her stomach made to look like as if she had been pregnant.
The Great King asked Sunan Gunung Jati to answer his question, whether his daughter was pregnant or had a disease. Sunan Gunung Jati answered that Princess Ong Tien was pregnant. Princess Ong Tien was furious, Sunan Gunung Jati was lashed out and chased away. In fact, she WAS pregnant under God’s will without having a sexual intercourse with an opposite sex.
Sunan Gunung Jati continued his journey on his Islamic mission from one place to another, until he reached the Cirebon court close to Gunung Sembung.
Princess Ong tien and The Great King of China along with 1524 people riding on three ships and the treasures inside sailed to catch Sunan Gunung Jati in Cirebon. Sunan Gunung Jati was in Luragung court. The Great King of China, Princess Ong Tien, and their entourage went to Luragung to meet Sunan Gunung Jati. At that time, Sunan Gunung Jati was sitting with his assistant, named Gedeng Kemuning. The Great King of China handed over the pregnant Princess Ong Tien along with all of his belongings to Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati treated The Great King of China and Princess Ong Tien well.
The time came for Princess Ong tien to give birth. Her son was named Prince Kuningan (Arya Kemuning). Arya Kemuning lived in Kuningan, Cirebon. The Great King of China and Princess Ong Tien converted to Islam. Princess Ong Tien married to Sunan Gunung Jati, and she received a title, “Nyi Mas Rara Sumanding”.
After several years, Princess Ong Tien or Nyi Mas Rara Sumanding died.
Salah seorang Wali Songo yg menyebarkan Islam di Cerebon, Jawa Barat. Menurunkan ulama’-ulama’ dan sultan-sultan Banten di Jawa Barat dan Palembang, dan keturunan Raden.
Ancestor of the royal houses of Banten, Cheribon and Palembang.
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
(sumber: Wikipedia Indonesia)
One of Walisongo in West Java
Sunan Gunung Jati.Versions: “Terah Bojongjati” and “Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda”.
Lahir 1448, wafat 19 september 1568 di Cirebon, makamnya di Astana Gunung Jati (Cirebon).
Raja Pakungwati (Cirebon), 1479-1568.
Susuhunan Cirebon.
Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah s.a.w.
Pandita Ratu, Pate Cherimon, Pati Cirebon, Adipati Cirebon.
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati
Notes on relationship between Pangeran Panjunan and Sunan Gunung Jati:
In this Tree, based on book “Sadjarah Raden Kandoeroean Soema di Pradja”:
Pangeran Panjunan, son of Ratu Petak, son of Pangeran Pasarean, son of Sunan Gunung Jati.
Info from Moggi March 2009 (Azmatkhan Tree):
Pangeran Panjunan / Sayyid Abdurrahman, brother of Syekh Datuk Kahfi, Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan) and Syarifah Ratu Baghdad (married to Sunan Gunung Jati), son of Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi.
Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, brother of Sayyid Husain, one of his son Sayyid Ali Nurul Alam, one of his son Sayyid Abdullah, father of Syarif Nurullah and Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Notes on May 20, 2009:
His name in Joyce FG: Sunan Gunung Jati, link to his other profile:
Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah
http://www.petra.ac.id/eastjava/walisongo/jati.htmSyarif Hidayatullah, Muhammad Nuruddin, Sayyid Kamil, Syekh Nurullah, and Faletehan are just some of the names which have been given to Sunan Gunung Jati, the wali who is said to have converted the western third of Java Islam virtually single-handed and to have founded the independent State of Cirebon.
Concerning the birth, life, and death of this member of the Wali Songo, there are several conflicting stories, yet the main thread runs as follows:
Syarif Hidayatullah or Syekh Nurullah was born in Pasei, North Sumatra. According to some people, he was the son of Syekh Maulana Ishak and half-brother of Sunan Giri. Following the Portugese invasion of his homeland in 1521, he travelled to Mecca, where he stayed for three years. On his return, he entered the service of Sultan Trenggana of Demak, whose younger sister he married.
During the next few years, as a brilliant military commander, he succeeded in subjugating the north west coast of Java as well as the State of Banten. After successfully blocking an attempt by the Portugese to land at Sunda Kelapa (Jakarta) in 1527, he settled in the region of Cirebon, where he continued to live and teach until his death in A.D. 1570.
Sunan Gunung Jati: His Life Upon His Journey
Posted on July 26, 2008 by Nia
© 2008 Nia’s Match
http://niaimaniah.wordpress.com/2008/07/26/sunan-gunung-jati-his-life-upon-his-journey/
An Egyptian sultan named Sultan Maulana Mahmud got married to a princess from Pajajaran in 1447, named Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Mudaim) in Tursina mosque. As a result of their marriage, they had two children, named Syarif Hidayatullah (born: 1448 AD) and Syarif Nurullah (born: 1450 AD). Both Egyptian-Pajajaran spouses made this following agreement: Their sons would act as persons who would convert all people in Java and their counterparts into Islam.
On the Islamic date 5, in the month of Jumadilawal, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah made his way to learn Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). On his way to learn Islam, Syarif Hidayatullah also met Prophet Solomon and Prophet Ilyas. Syarif Hidayatullah understood the languages used by jinn (English: genie), satans, angels, animals, and wind. He also instinctively knew the restorative power of plants and fruits. He was also capable of bringing the dead efficacious plants to life, and was capable of speaking to the dead. He had the power to chill fire, and was capable of staying dry in water. He was also capable of reaching his place destination in no time, within the blink of eyes.
On the Islamic date, 28th Rajab, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah ascended to the 6th heaven and met Prophet Muhammad (peace be upon him). At this time, he was learning Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). In this year, he received the title ‘Insankamil’ from Prophet Muhammad. After embracing the full knowledge taught by Prophet Muhammad (peace be upon him), he descended to the 5th heaven, and eventually reached the 1st heaven. He descended to to the Ajrak court from the 1st heaven by riding on white clouds.
In Nispu Sya’ban year 1466 AD, Maulana Insankamil Syarif Hidayatullah came to see his mother, Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Muda’im) in the Egyptian court. His journey from the beginning to the end resulted in satisfaction.
In 1468 AD, Syarif Hidayatullah (Maulana Insankamil) became an Egyptian sultan, named Sultan Maulana Mahmud. In 1472, He was already in Cirebon and met the village chief, named Abdullah Iman = Cakrabuana = Prabu Siliwangi Pajajaran = Prabu Anom = Sri Mangana to introduce Islam. Sultan Syarif Nurullah acted as his replacement as an Egyptian sultan.
Syarif Hidayatullah took Ki Syekh Nur Jati as his guru (teacher) in Cirebon and Sunan Ampel in Ampeldenta. In 1479, he was installed as the Head of Cirebon State with the name ‘Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Penata Agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullah Solallohu Alaihi Wassalam. Until now, he is known as Sunan Gunung jati from Cirebon.
During his journey to China, he was successful in converting high-ranking officials, prominent people, and many people in Tartar and its neighbouring states. In 1481 AD, the Great Princess from China, named Princess Ong Tien met Sunan Gunung Jati. The Great King of China, Princess Ong Tien’s father, made an experiment. The experiment is explained as follows: Princess Ong Tien put a brass bowl (Indonesian: bokor kuningan) on her stomach made to look like as if she had been pregnant.
The Great King asked Sunan Gunung Jati to answer his question, whether his daughter was pregnant or had a disease. Sunan Gunung Jati answered that Princess Ong Tien was pregnant. Princess Ong Tien was furious, Sunan Gunung Jati was lashed out and chased away. In fact, she WAS pregnant under God’s will without having a sexual intercourse with an opposite sex.
Sunan Gunung Jati continued his journey on his Islamic mission from one place to another, until he reached the Cirebon court close to Gunung Sembung.
Princess Ong tien and The Great King of China along with 1524 people riding on three ships and the treasures inside sailed to catch Sunan Gunung Jati in Cirebon. Sunan Gunung Jati was in Luragung court. The Great King of China, Princess Ong Tien, and their entourage went to Luragung to meet Sunan Gunung Jati. At that time, Sunan Gunung Jati was sitting with his assistant, named Gedeng Kemuning. The Great King of China handed over the pregnant Princess Ong Tien along with all of his belongings to Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati treated The Great King of China and Princess Ong Tien well.
The time came for Princess Ong tien to give birth. Her son was named Prince Kuningan (Arya Kemuning). Arya Kemuning lived in Kuningan, Cirebon. The Great King of China and Princess Ong Tien converted to Islam. Princess Ong Tien married to Sunan Gunung Jati, and she received a title, “Nyi Mas Rara Sumanding”.
After several years, Princess Ong Tien or Nyi Mas Rara Sumanding died.
Sunan Gunung Jati. Merge Terah Bojongjati with book Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Lahir 1448, wafat 19 september 1568 di Cirebon, makamnya di Astana Gunung Jati (Cirebon). Raja Pakungwati (Cirebon), 1479-1568. Susuhunan Cirebon. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah s.a.w. Pandita Ratu, Pate Cherimon, Pati Cirebon, Adipati Cirebon.
=================================================================
Additional notes in GENI Notes from Ismail 23 Jan 2009: Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati Notes from Erni 15 April 2009: Notes on relationship between Pangeran Panjunan and Sunan Gunung Jati: In this Tree, based on book “Sadjarah Raden Kandoeroean Soema di Pradja”: Pangeran Panjunan, son of Ratu Petak, son of Pangeran Pasarean, son of Sunan Gunung Jati. Info from Moggi March 2009 (Azmatkhan Tree): Pangeran Panjunan / Sayyid Abdurrahman, brother of Syekh Datuk Kahfi, Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan) and Syarifah Ratu Baghdad (married to Sunan Gunung Jati), son of Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi. Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, brother of Sayyid Husain, one of his son Sayyid Ali Nurul Alam, one of his son Sayyid Abdullah, father of Syarif Nurullah and Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Notes on May 20, 2009: His name in Joyce FG: Sunan Gunung Jati, link to his other profile: Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah Name in Alawiyin website: SY.HIDAYATULLAH-Abdullah-24(7. Sunan*GunungJati) Reference Link: http://familytreemaker.genealogy.com/users/a/s/y/Naqobatul-Asyrof-Jakarta/WEBSITE-0001/UHP-0827.html
SY.HIDAYATULLAH-Abdullah-24(7. Sunan*GunungJati).
http://www.petra.ac.id/eastjava/walisongo/jati.htm Syarif Hidayatullah, Muhammad Nuruddin, Sayyid Kamil, Syekh Nurullah, and Faletehan are just some of the names which have been given to Sunan Gunung Jati, the wali who is said to have converted the western third of Java Islam virtually single-handed and to have founded the independent State of Cirebon. Concerning the birth, life, and death of this member of the Wali Songo, there are several conflicting stories, yet the main thread runs as follows: Syarif Hidayatullah or Syekh Nurullah was born in Pasei, North Sumatra. According to some people, he was the son of Syekh Maulana Ishak and half-brother of Sunan Giri. Following the Portugese invasion of his homeland in 1521, he travelled to Mecca, where he stayed for three years. On his return, he entered the service of Sultan Trenggana of Demak, whose younger sister he married During the next few years, as a brilliant military commander, he succeeded in subjugating the north west coast of Java as well as the State of Banten. After successfully blocking an attempt by the Portugese to land at Sunda Kelapa (Jakarta) in 1527, he settled in the region of Cirebon, where he continued to live and teach until his death in A.D. 1570. Sunan Gunung Jati: His Life Upon His Journey Posted on July 26, 2008 by Nia © 2008 Nia’s Match <http://niaimaniah.wordpress.com/2008/07/26/sunan-gunung-jati-his-life-upon-his-journey/> An Egyptian sultan named Sultan Maulana Mahmud got married to a princess from Pajajaran in 1447, named Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Mudaim) in Tursina mosque. As a result of their marriage, they had two children, named Syarif Hidayatullah (born: 1448 AD) and Syarif Nurullah (born: 1450 AD). Both Egyptian-Pajajaran spouses made this following agreement: Their sons would act as persons who would convert all people in Java and their counterparts into Islam. On the Islamic date 5, in the month of Jumadilawal, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah made his way to learn Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). On his way to learn Islam, Syarif Hidayatullah also met Prophet Solomon and Prophet Ilyas. Syarif Hidayatullah understood the languages used by jinn (English: genie), satans, angels, animals, and wind. He also instinctively knew the restorative power of plants and fruits. He was also capable of bringing the dead efficacious plants to life, and was capable of speaking to the dead. He had the power to chill fire, and was capable of staying dry in water. He was also capable of reaching his place destination in no time, within the blink of eyes. On the Islamic date, 28th Rajab, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah ascended to the 6th heaven and met Prophet Muhammad (peace be upon him). At this time, he was learning Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). In this year, he received the title ‘Insankamil’ from Prophet Muhammad. After embracing the full knowledge taught by Prophet Muhammad (peace be upon him), he descended to the 5th heaven, and eventually reached the 1st heaven. He descended to to the Ajrak court from the 1st heaven by riding on white clouds. In Nispu Sya’ban year 1466 AD, Maulana Insankamil Syarif Hidayatullah came to see his mother, Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Muda’im) in the Egyptian court. His journey from the beginning to the end resulted in satisfaction. In 1468 AD, Syarif Hidayatullah (Maulana Insankamil) became an Egyptian sultan, named Sultan Maulana Mahmud. In 1472, He was already in Cirebon and met the village chief, named Abdullah Iman = Cakrabuana = Prabu Siliwangi Pajajaran = Prabu Anom = Sri Mangana to introduce Islam. Sultan Syarif Nurullah acted as his replacement as an Egyptian sultan. Syarif Hidayatullah took Ki Syekh Nur Jati as his guru (teacher) in Cirebon and Sunan Ampel in Ampeldenta. In 1479, he was installed as the Head of Cirebon State with the name ‘Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Penata Agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullah Solallohu Alaihi Wassalam. Until now, he is known as Sunan Gunung jati from Cirebon. During his journey to China, he was successful in converting high-ranking officials, prominent people, and many people in Tartar and its neighbouring states. In 1481 AD, the Great Princess from China, named Princess Ong Tien met Sunan Gunung Jati. The Great King of China, Princess Ong Tien’s father, made an experiment. The experiment is explained as follows: Princess Ong Tien put a brass bowl (Indonesian: bokor kuningan) on her stomach made to look like as if she had been pregnant. The Great King asked Sunan Gunung Jati to answer his question, whether his daughter was pregnant or had a disease. Sunan Gunung Jati answered that Princess Ong Tien was pregnant. Princess Ong Tien was furious, Sunan Gunung Jati was lashed out and chased away. In fact, she WAS pregnant under God’s will without having a sexual intercourse with an opposite sex. Sunan Gunung Jati continued his journey on his Islamic mission from one place to another, until he reached the Cirebon court close to Gunung Sembung. Princess Ong tien and The Great King of China along with 1524 people riding on three ships and the treasures inside sailed to catch Sunan Gunung Jati in Cirebon. Sunan Gunung Jati was in Luragung court. The Great King of China, Princess Ong Tien, and their entourage went to Luragung to meet Sunan Gunung Jati. At that time, Sunan Gunung Jati was sitting with his assistant, named Gedeng Kemuning. The Great King of China handed over the pregnant Princess Ong Tien along with all of his belongings to Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati treated The Great King of China and Princess Ong Tien well. The time came for Princess Ong tien to give birth. Her son was named Prince Kuningan (Arya Kemuning). Arya Kemuning lived in Kuningan, Cirebon. The Great King of China and Princess Ong Tien converted to Islam. Princess Ong Tien married to Sunan Gunung Jati, and she received a title, “Nyi Mas Rara Sumanding”. After several years, Princess Ong Tien or Nyi Mas Rara Sumanding died
Keluarga Dekat
Menampilkan 12 dari 57 orang
-
-
wife
-
-
daughter
-
son
-
son