AE Priyono membagikan kirimanJosa Herman Rozali.
BACAAN MUDIK — Mengenali medan politik Jawa Tengah dan Jawa Timur mutakhir; dan jejak-jejak kotor JK dan SBY untuk melumat basis politik Jokowi
Analisis Anonim (bagian 1 dari 2 ulasan)
PINTU MASUK SS MELALUI OPERASI PURBALINGGA
“Mungkin KPK tak Akan Terbentuk Kalau tak Ada Sudirman Said”
(Chandra Hamzah, Senin 27 Oktober 2014)
Ucapan Chandra Hamzah yang kemudian banyak dimuat di media online soal peranan Sudirman Said dalam pendirian KPK, sekaligus juga secara implisit pengaruh kuat Sudirman Said di KPK, menjadikan persoalan pilkada Jateng 2018 tak lepas dari bagaimana KPK (yang digerakkan oleh oknum koneksi Sudirman Said) menjadi alat pertaruhan politik Sudirman Said dalam ‘memukuli’ Ganjar, dan bisa jadi menjadi ‘gacoan’ paling akhir dalam serangan politik terhadap Ganjar.
Sebuah “langkah putus asa” namun diharapkan kubu Sudirman bisa berpotensi membalikkan hal yang tak mungkin. Dari ucapan Chandra Hamzah inilah bisa dijelaskan secara gamblang, bagaimana “Peristiwa Purbalingga” dijadikan pintu masuk menjebak Ganjar Pranowo di situasi Injury Time Pilkada Jateng 2018. Tentunya tak lepas dari pengaruh koneksi Sudirman Said di KPK.
Sudirman Said tak bisa dipisahkan dari bagian perlawanan “orang-orang pecatan” yang digerakkan oleh Jusuf Kalla untuk membungkam kantong-kantong politik Jokowi di Pulau Jawa, setelah kemenangan Pilkada DKI oleh kelompok JK, maka sasaran kemudian adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dalam kasus Jawa Tengah, Sudirman Said menjadi operatornya maka Jawa Timur adalah Khofifah menjadi operator perebutan wilayah Jatim ke tangan JK.
Baik Anies Baswedan dan Sudirman Said dibina oleh JK sejak mereka menguasai Universitas Paramadina pada tahun 2007. Sementara Khofifah menjadi pilihan JK sebagai representasi kekuatan JK di wilayah kantong NU Jatim dan jadi bagian hubungan persekutuan antara JK dengan SBY sekaligus merontokkan kantong kantong politik Jokowi di Jatim. Pada tahun 2018 wilayah Jateng dan Jatim adalah pertaruhan terbesar untuk menghadang kekuatan Jokowi.
Awalnya Sudirman Said masuk ke Jateng dengan perhitungan politik yang mudah, saat itu masih eforia tinggi sekali soal keberhasilan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam mengalahkan Ahok dan Djarot di DKI Jakarta. Bagaimanapun juga DKI Jakarta adalah basis PDI Perjuangan, dengan mengalahkan Ahok, langkah selanjutnya bagi lawan-lawan politik Jokowi adalah “menguasai” basis PDI Perjuangan lainnya yaitu : Jawa Tengah. Ada dua hal yang bisa dilakukan oleh Sudirman Said, menggunakan ‘cara-cara Pilkada DKI” dan “Kasus E-KTP”.
Dalam banyak pertemuan-pertemuan politik, seperti di Hyatt Yogyakarta c pada awal Januari 2018 dimana beberapa operator politik Sudirman Said baik dari Jakarta ataupun kelompok Semarang berkumpul, Sudirman Said mendapatkan banyak masukan oleh para pendukung gerakan politiknya, bahwa menaklukkan Jawa Tengah sangat mudah, dengan memanfaatkan kasus E-KTP dan melabur nama besar PDI Perjuangan seperti “Menghancurkan kesan Jateng sebagai “Kandang Banteng” dengan banyak persepsi negatifnya.
Awalnya Sudirman Said merasa senang dengan konsep kampanye seperti itu, tapi ternyata kenyataan di lapangan gerakannya mengalami kegagalan yang memalukan.
Bahkan Prabowo pada bulan April 2018 sampai memanggil Sudirman Said dan bertanya ada apa dengan Jawa Tengah?, beberapa kali laporan survey internal yang dibawa oleh Ferry Juliantono, menunjukkan bahwa hasil survey Sudirman Said dan Ida Fauziah, secara memalukan kalah telak dengan Ganjar-Yasin.
Bahkan survey Kompas yang kerap menjadi rujukan banyak pengamat politik menunjukkan bahwa Ganjar menguasai 76,6%, dan Sudirman Said hanya meraup suara andai Pilkada diadakan pada hari tersebut, Pilkada dipilih pada hari itu sebesar 15%. Atas dasar fakta politik itulah kemudian Prabowo melakukan pidato politik ke khalayak Jawa Tengah, bahwa agar pemilih dirinya memihak pada Sudirman Said.
Sikap emosional Prabowo justru membangkitkan warga Jateng bahwa “Jateng jangan disamakan dengan DKI Jakarta”, terbukti dengan dibantu pidato Prabowo sekalipun dimana secara gamblang Prabowo meminta warga Jateng yang bersimpati pada dirinya memilih Sudirman Said, setelah pidato itu survey internal dari pihak Gerindra masih saja melaporkan bahwa Ganjar Pranowo masih unggul keras.
Hal inilah yang kemudian membuat Gerindra melemparkan masalah sepenuhnya pada Sudirman Said sendiri akhirnya setelah mendapatkan situasi kuldesak, Sudirman Said terpaksa menggunakan senjata pamungkasnya yaitu : “Pemanggilan KPK” atas saksi kasus E-KTP, pemanggilan ini harus menunggangi kasus yang akan diblow up KPK jelang lebaran, maka dilakukanlah operasi yang disebut “Operasi Purbalingga” disini kemudian jadi pintu masuk untuk menjeblokkan elektabilitas Ganjar .
Ganjar sudah melakukan politik pemihakan dengan tegas, bahwa wilayah Jawa Tengah adalah “wilayah yang harus menjaga elektabilitas Jokowi”, ucapan ini tegaskan dalam sebuah acara debat Pilkada Jateng 2018 dalam menjawab pertanyaan penanya “Prabowo atau Jokowi” dengan nada penuh gojekan tapi serius Ganjar menyahut “Ya Jokowi dong”. Ucapan Ganjar ini sangat serius secara politis, karena sudah menunjukkan wilayah Jawa Tengah harus dijaga sebagai “lumbung suara politik Jokowi.”
Beberapa koneksi Sudirman Said di KPK membidik nama Puan Maharani dan Pramono Anung, bidikan itu sangat keras dan merupakan bagian dari permainan diam-diam dengan menjadikan Novanto sebagai “sasaran pertaruhan” justice collaborator, namun akhirnya Novanto dibohongin untuk dijadikan “JC” setelah operasi politik koneksi KPK Sudirman Said gagal menuding Puan dan Pram.
Sementara JK masih sibuk soal penenggelaman Novanto, ia tidak mau memperluas medan perang dengan Puan Maharani. JK malah menyatakan tuduhan pada Puan Maharani tidak berdasar, dan ini membuat langkah Sudirman Said surut ke belakang. Tuduhan pada Puan oleh “klik Sudirman Said” ternyata gagal karena pihak Sudirman Said sudah membaca kasus lama-nya di Aceh akan terungkap.
Setelah kegagalan kasus Puan, Sudirman Said mencari cara lain untuk menghajar Ganjar Pranowo. Lalu ia mencoba peruntungan dengan menggunakan “Cara Cara Jakarta”, sebelumnya Sudirman Said dalam pengondisian kasus DKI Jakarta pergi umroh untuk menemui Habib Rizieq, disini Sudirman mau mencoba kekuatan massa bisa digalang di Jateng dan kemudian muncul video Sugik Nur di Solo dengan bahasa bahasa kasar membangkitkan emosi massa, namun kemudian lagi-lagi ia tidak bisa membakar massa rakyat Jateng, karena warga Jateng sudah mengerti bahwa Sudirman Said adalah representasi kasus DKI Jakarta dimana Ahok menjadi korban “permainan politik identitas”.
Eksperimen politik “Strategi Pilkada DKI 2017” hancur total dan Sudirman Said nampaknya belum punya nyali untuk mencoba menggalang massa dan melakukan gerakan gerakan massa riil di lapangan. Warga Jateng yang melek media sosial juga sudah melihat betapa Jakarta sedemikian berantakannya setelah dipegang duo sohib Sudirman Said : Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, berantakannya Jakarta ramai difoto di media sosial, sungai sungai kotor dan bau, trotoar berantakan dan birokrasi yang semakin gelap arahnya.
Disinilah kemudian banyak warga Jateng menjaga bahwa Ganjar harus dipertahankan agar Jateng tidak bernasib seperti DKI Jakarta, dan memang di Jateng adalah basis dukungan politik Jokowi di tingkat nasional.
Beberapa kasus seperti “penyebaran berita hoax melalui koran yang mirip cara cara obor rakyat” di Pati Jateng, sampai pada pengondisian Ganjar di “Ahok”-kan lewat kasus puisi Gus Mus, berhasil dipatahkan oleh tim advokasi Ganjar dengan cara cepat dan tidak menyebar.
Posisi berbalik dimana operator-operator politik Sudirman Said ditingkat bawah dikejar oleh tuntutan hukum, sehingga ketika operasi politik sudah gagal ditingkat bawah, maka komando di tingkat atasnya sama sekali tidak berbunyi, bahkan politisasi kasus Ambulans Gerindra yang ditolak sebuah keluarga dan memilih menandu jenasah karena bersikap netral dalam Pilkada 2018, bisa menjadi bumerang keras bagi Sudirman Said.
Jelas seluruh operasi politik Sudirman Said terhadap Ganjar Pranowo gagal total, sementara Ganjar sendiri tidak menyerang Sudirman Said, dia hanya bersikap jenaka seperti layaknya di debat Pilkada 2018, dimana Sudirman Said sangat serius dan berwajah tegang, sementara Ganjar kebanyakan ketawa, dan Ganjar tau tanpa adanya tsunami politik, kekuatan Banteng tidak bisa dikalahkan di Jawa Tengah, walaupun diserang oleh susupan-susupan yang memanfaatkan kasus Kendeng, juga beberapa gerakan sporadis buatan Sudirman Said di beberapa wilayah ‘panas’ namun bisa diredam, praktis wilayah Jateng aman.
Bahkan kedatangan Sandiaga Uno ke Brebes dan menjanjikan soal macam-macam saluran produksi ke Jakarta gagal menaikkan elektabilitas Sudirman Said.
Waktu bergerak cepat, tanggal 27 Juni 2018 di depan mata, sementara tingkat elektabilitas Sudirman Said payah sekali, bahkan bisa dikatakan tingkat elektabilitas Sudirman Said paling rendah dibandingkan dengan kandidat para petarung Pilkada di seluruh Indonesia pada tahun 2018, maka apalagi yang bisa dilakukan Sudirman Said selain mengeluarkan amunisi peluru politik setelah strategi Pilkada DKI gagal dilakukan di Jateng selain menggunakan koneksi-koneksinya di KPK.
Lalu Sudirman Said tahu bahwa ada operasi khusus penangkapan Bupati Purbalingga, Operasi Penangkapan ini harus segera cepat ditunggangi, dengan “pemanggilan Ganjar Pranowo”, kasus pemanggilan Ganjar Pranowo oleh KPK, di tengah ‘situasi genting Kampanye’ jelas tidak punya fatsoen dalam berpolitik, sekaligus menjelaskan pada kita betapa kuat pengaruh koneksi Sudirman Said di KPK. Inilah yang harus diketahui para pemain politik di Kubu Ganjar, bahkan langkah pemanggilan tersebut bukan lagi ‘wilayah hukum’ tapi sudah menjadi ‘bahasa politik’.
Memang ada kamuflase yaitu dipanggilnya anggota-anggota DPR lainnya, namun sekali lagi Sudirman Said masih bisa berharap dengan pemanggilan ini akan menaikkan elektabilitasnya, dia juga menggunakan kampanye politik survey NCID (Nurjaman Centre For Indonesian Democracy) untuk mempublish keunggulan Sudirman-Ida ketimbang Ganjar Pranowo-Taj Yassin, jelaslah kubu Prabowo yang memang suka menggunakan survey sesukanya seperti kasus Pilpres 2014 sampai Prabowo sujud syukur mengklaim kemenangan karena survey bodong, ternyata digunakan juga oleh Sudirman Said untuk memanipulasi persepsi publik, survey dikeluarkan hampir bersamaan dengan pemanggilan Ganjar Pranowo.
Seperti diuraikan dalam prolog tulisan ini, ucapan Chandra Hamzah sebenarnya sangat serius dalam kasus KPK dan Pilkada Jateng : “”Mungkin KPK tak Akan Terbentuk Kalau tak Ada Sudirman Said”ucapan ini menjadi pegangan bagi para pelaku-pelaku politik di Jawa Tengah, apabila memang Ganjar dipaksa untuk mondar mandir KPK di saat waktu injury time, maka ini adalah permainan politik Sudirman Said yang melibatkan koneksi-koneksinya di KPK.
Sementara tim khusus advokasi hukum, dan para Partai Pendukung Ganjar sudah seharusnya melakukan taktik penghadangan dari oknum-oknum koneksi Sudirman Said di internal KPK yang ingin melakukan pemanggilan Ganjar sebagai strategi akhir di Pilkada Jateng 2018. Para pendukung Ganjar harus membuat kecurigaan akan adanya barisan koneksi Sudirman Said di KPK, karena pemanggilan ini jelas merupakan bahasa politik, dan tudingan KPK terhadap Ganjar di menit-menit terakhir bisa dikatakan Ad captandum vulgus, sebuah tudingan hukum yang hanya bertujuan “mengambil perhatian rakyat” bukan sebagai sebuah langkah substansi.
hal ini harusnya digugat dulu oleh pihak advokasi tim sukses Ganjar Pranowo. Bila ternyata memang terbukti bahwa pemanggilan itu hanya untuk memancing elektabilitas Sudirman Said dengan tujuan tujuan politiknya, sudah seharusnya ada pembersihan di internal KPK yang terkait dengan “jaringan gelap Sudirman Said” di dalam gedung KPK dan para alumnus KPK yang terkoneksi dengan Sudirman Said dalam upayanya merebut kekuasaan di wilayah Jawa Tengah dan kemungkinan berpeluang untuk bermain pada Pilpres 2019.
CERMAT DAN WASPADA SITUASI YG ADA

BACAAN MUDIK (sambil melintas di jalan tol baru) sepanjang Jawa Tengah dan Jawa Timur, dua provinsi pertarungan terkeras Jokowi vs. JK & SBY
[Bagian terakhir dari 2 ulasan anonim]
DIBALIK PERMAINAN TABU ANTARA SS DAN “JARINGAN GELAP” KPK
Ada hal menarik bila kita bisa menyusun puzzle-puzzle dalam serangkaian cerita politik saat ini, seperti : naiknya Sudirman Said setelah dipecat Presiden Jokowi menjadi aktor penting dalam Pilkada DKI 2017 dan kemudian digadang gadang menjadi Gubernur Jateng menantang Ganjar Pranowo, hubungan Sudirman Said dengan Jusuf Kalla dan Anies Baswedan yang dibina setelah menggeser kelompok Yudi Latief serta gerbong Cak Nur di Paramadina, permainan kasar menendang Yudi Latief di Paramadina sekaligus menyingkirkan kelompok Nurcholish Madjid yang membuat isteri Nurcholish Madjid, Omi Komaria Madjid marah besar terhadap Anies Baswedan.
Kemudian pertemanan Sudirman Said dan Anies Baswedan itu berlanjut untuk menggempur Ahok, lalu tenggelamnya Setya Novanto dan rekayasa hinaan publik yang luar biasa, ada Bambang Widjajanto yang kemudian ramai diberitakan membentuk Komite Pencegahan Korupsi DKI yang kemudian muncul dipublik olok olok KPK KW 2, munculnya Abraham Samad dengan sasaran politiknya sebagai Cawapres 2019, ungkapan Wiranto agar KPK tidak terkesan main politik, sampai pada ucapan Ketua KPK Agus Rahardjo “bahwa ada peserta Pilkada 2018 bakal dijadikan tersangka” dan tentunya ada Ganjar Pranowo berdiri di sudut ring pertarungan Pilkada Jateng sedang berdiri di perahu kayu dengan gelombang besar bernama E-KTP dan menunggu lonceng berbunyi dari Gedung KPK di Jalan Kuningan. Lalu gong-nya dari seluruh rangkaian itu adalah desakan agar KPK mendiskualifikasi tersangka KPK ketika Survey Kompas menempatkan Ganjar Pranowo tertinggi dalam tingkat keterpilihan dimana Sudirman Said njomplang dihadapan Ganjar Pranowo.
Apa yang terjadi?, bagaimana kemudian puzzle-puzzle ini terbentuk, lalu apa yang ada sesungguhnya di balik kejadian kejadian ini. Apakah kemarahan Fahri Hamzah kepada KPK sudah mengantarkan kita pada jalan terbentuknya puzzle puzzle dibalik teka teki KPK yang akan membongkar sebuah permainan jorok di balik ini?, permainan tabu yang akan mengejutkan banyak orang dimana KPK menjadi menjadi sebuah tempat yang sudah tidak pada khittah-nya sebagai “mesin percepatan pemberantasan korupsi” telah menjadikan dirinya “mesin politik” satu kelompok tertentu. Mungkin Fahri bagi sebagian orang semacam ruang kegaduhan, tapi bila kita simak saja sedikit kicauan Fahri kita bisa mengambil benang merah dari situasi ini dan menjabarkannya ke dalam layar terkembang dunia politik kita, sebuah permainan tabu sedang dijalankan.
Permainan Tabu “Jaringan Gelap” KPK
Ingatkah anda pada kasus Abraham Samad, banyak orang fokus pada kesalahan Abraham Samad pada kasus pemalsuan identitas dan kelonan dengan perempuan bukan isterinya di sebuah Hotel, selalu itu yang diangkat angkat dan sengaja disodorkan ke publik, padahal kejatuhan Abraham Samad adalah sebuah permainan tabu yang sangat brutal, yaitu menjadikan Lembaga KPK sebagai alat tawar politik dimana ia menginginkan dirinya sebagai Cawapres Jokowi pada Pemilu 2014 dengan menggunakan KPK sebagai alat tawar kekuatan politik kepada PDIP . Kasus ini meledak pada bulan Januari 2015. Terbukti di bulan bulan ini Abraham Samad sudah tidak malu malu lagi mau nawarkan dirinya jadi Cawapres 2019.
Lalu kasus RJ Lino yang sudah sampai ditangan KPK, namun tidak dijalankan. Publik secara umum sudah tau siapa dibelakang Lino, kasus ini menjadi perhatian publik saat Komjen Buwas sebagai Kabareskrim yang memeriksa RJ Lino tiba-tiba dicopot, lalu RJ Lino tidak memiliki kelanjutan kasusnya. Kalau didalami pihak independen ada intervensi apa di KPK sehingga kasus Lino tidak berlanjut, ini harus dibuktikan. Siapakah orang kuat dibelakang Lino yang kemudian bisa melakukan intervensi KPK.
Kemudian Bambang Widjajanto (BW) masuk ke tim Anies Baswedan, dan banyak tim Anies adalah bagian tak terpisahkan dari Sudirman Said dimana konfigurasi pekerjaan dimasa lalu kemudian menjadi awal berdirinya KPK dan ini kemudian diakui oleh Anies Baswedan dalam sebuah statemen-nya di media pada 13 Desember 2017 bahwa “Sudirman Said berada di balik KPK” lalu bisakah dijelaskan ke publik dimanakan posisi eks pendiri MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) kemudian malah menjadikan kekuatan instrumen hukum yang sakral seperti KPK menjadi alat politiknya. Sudirman Said, Bambang Widjajanto, Anies Baswedan adalah bagian dari garis Jusuf Kalla.
Ingatkah anda dengan kasus Setya Novanto, siapakah yang bermain dibelakang itu?, siapakah yang punya rekaman soal percakapan Novanto, Reza Chalid dan Direktur PT Freeport Maroef Sjamsudin, siapakah yang merekam. Coba buka bukaan, yang merekam ini adalah KPK bukan seperti sangkaan publik yang mereka Maroef, dan itu bagian dari permainan politik, sayangnya pihak Golkar kubu Novanto-Luhut terlalu lugu membaca ini, dan membiarkan pertarungan internal Golkar antara kubu JK dengan kubu Novanto-Luhut. Kegaduhan internal Golkar ini baru beres beberapa tahun sesudahnya. Bila kemudian ada yang mengangkat bahwa yang merekam ini adalah KPK, kemudian di framing untuk membantai lawan politik, apakah ini bisa terjadi pada siapa saja? . Seperti memang ambisi Sudirman Said sejak ‘ngenger’ dengan Ari Soemarno di Pertamina untuk memukul Petral yang sebenarnya adalah pertarungan penuh dendam antara Riza Chalid dan gurunya Nazrat Muzzayin gara gara Riza Chalid maen dibelakang dengan pihak Keluarga Cendana sehingga gurunya Nazrat merasa disikat coba telusuri ini secara mendalam karena dari sinilah ambisi penguasaan energi sedang berlangsung dalam jaringan politik Sudirman Said.
Lalu bisakah Sudirman Said dituntut publik bagaimana dia kemudian menggunakan KPK saat akan masuk komposisi kabinet Presiden Jokowi sebagai Menteri ESDM, kalau ini dibuktikan dan ada jaringan Sudirman Said bermain maka permainan tabu akan terkuak lebar-lebar dimana Sudirman Said memanfaatkan oknum KPK untuk kepentingan politiknya. Karena saat itu ada seorang yang lebih kapabel dibanding Sudirman Said, akan dijadikan Menteri ESDM tapi ternyata oleh oknum KPK ada catatan merahnya, laporan ini dibuat Sudirman Said dan kemudian yang gol malah Sudirman Said menjadi Menteri ESDM.
Sudirman Said Hantam Ganjar Lewat Permainan Tabu KPK
Banyak tak disadari orang bahwa KPK dalam kasus kasus tertentu sudah bermain politik, atau sudah menjadi “alat politik” bagi kelompok-kelompok yang memiliki koneksi terhadap KPK. Sulit misalnya menjadikan Sudirman Said berasumsi lepas dari kelompok internal KPK untuk menjalankan kepentingan politiknya dalam pertarungan Pilkada Jateng 2018 dan “Operasi Gebuk Jokowi 2019”.
Satu satunya kekuatan KPK adalah opini publik bahwa KPK adalah mesin pemberantasan korupsi yang jujur dan jauh dari kepentingan politik. Permainan politik KPK adalah melakukan penyergapan penyergapan koruptor sungguhan kemudian diekspose ke publik, seperti pamer kendaraan mewah, bongkar brankas para bajingan korup itu. Tapi di lain pihak ada kasus kasus khusus yang kemudian KPK tidak lepas dari kepentingan politik, citra KPK yang memang kejam dalam menghajar kaum korup seakan akan tidak ada kabut yang menghalangi pandangan publik bahwa permainan jaringan gelap KPK Sudirman Said sudah mengarah pada pertaruhan politik tingkat tinggi.
Sudirman Said adalah petaruh besar politik yang menggunakan koneksi koneksinya dan ‘orang yang ditanam’ dalam KPK sehingga dari sinilah puzzle puzzle jaringan gelap KPK sudah menjadi alat permainan politik terbentuk.
Pilkada Jateng adalah contoh terbaik bagaimana KPK memainkan kepentingan politik Sudirman Said. Ada beberapa pertanyaan soal status Ganjar Pranowo sebelum masa penentuan kandidat calon Kepala Daerah Jateng, namun sepertinya disengaja nama Ganjar Pranowo digantung dan diumumkan pada saat yang tepat. Keputusan Sudirman Said masuk ke dalam gelanggang pertarungan Pilkada Jateng 2018 karena sudah mempertimbangkan bahwa ia tau bagaimana cara mempermainkan jaringannya di KPK untuk menghajar Ganjar. Walaupun dalam BAP (Berita Acara Penyidikan) Ganjar tidak menerima aliran dana sama sekali, tapi kasus ini bisa di framing untuk menyudutkan Ganjar dengan menaikkan nama Ganjar dalam pengumuman KPK di tengah tengah berlangsungnya kampanye Pilkada Jateng 2018. Skenario ini menjadikan pegangan Sudirman Said dalam keyakinannya memenangkan Pilkada Jateng 2018.
Skenario Sudirman Said ternyata berjalan dan dieksekusi jaringannya di KPK di tengah perjalanan Pilkada 2018 tiba tiba pihak KPK menyatakan bakal ada penangkapan, lalu disambar rekayasa opini saat ditengah perjalanan kampanye bahwa bila Calon Kepala Daerah ditangkap maka pencalonannya dibatalkan atau didiskualifikasi, dalam pencernaan pemahaman politik, sulit rasanya menghindari kesan ada permainan tabu KPK dengan konteks Pilkada 2018 antara penjatuhan Ganjar dengan munculnya Sudirman Said.
Adegan adegan penangkapan mulai dari Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati Ngada Marinus Sae, sampai penangkapan massal di Malang dan banyak kepala daerah lainnya seolah menjadi prolog untuk menangkap ikan besarnya Ganjar Pranowo dan Sudirman Said diharapkan menang WO dengan didiskualifikasikan Ganjar, sementara Ganjar sendiri sudah mendapatkan berita acara bahwa dia tidak menerima dana yang disebut sebut sebagai E-KTP kesalahan Ganjar cuman satu, dia senang bercanda dan bergaya santai seraya nyeletuk “kalau segitu ya kurang” celetukannya inilah yang kemudian jadi sasaran politik serius.
Bila diurai dari mulai naiknya Sudirman Said menjadi Menteri ESDM dengan bantuan oknum KPK, munculnya rekaman antara Setya Novanto, Reza Chalid dengan Maroef Sjamsoeddin yang dikira publik adalah rekaman milik Maroef tapi nyatanya itu simpanan lama rekaman KPK yang kemudian dimanfaatkan oleh Sudirman Said atas perintah JK untuk menghajar Novanto sekaligus Luhut serta membawa kepentingan Ari Soemarno membereskan Riza Chalid, kemudian berkumpulnya beberapa mantan komisioner KPK dalam satu kelompok Sudirman Said dengan geng-nya dalam satu kubu tersendiri melawan Jokowi dimana JK berada di baliknya dengan entitas Tim Transisi DKI untuk mengelabui publik bahwa sebuah calon pemerintahan berisi orang orang eks KPK yang merasa “dikriminalisasi” tapi faktanya mereka memang tersingkir karena terungkap menggunakan kekuasaan di KPK dalam permainan politik, lalu majunya Sudirman Said ke Pilkada Jateng 2018 walaupun tingkat keterkenalannya kecil, namun Sudirman Said merasa memiliki data yang bisa dipelintir soal Ganjar Pranowo, sulit rasanya melepaskan segala macam manuver KPK dengan keadaan politik saat ini dengan ujungnya adalah “ Operasi Politik Gebukin Jokowi” pada Pilpres 2019. Dan semua muara ini berpusar pada diri Sudirman Said.
Siapakah Sudirman Said ini dalam menebak labirin jaringan KPK yang dijadikan alat politik.
Pada Awalnya adalah MTI
Pondasi awal karir Sudirman Said adalah MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), kelak di MTI inilah banyak memberikan kontribusi pada KPK termasuk banyak orang MTI menjadi bagian tak terpisahkan dari nama KPK. Kemudian Sudirman Said ditarik ke Pertamina mendampingi Ari Soemarno dalam kemelut kerja di Pertamina Sudirman Said berhadapan pada isu Petral Riza Chalid melawan Kelompok Hazrat Muzzayin, yang kemudian melahirkan ISC dimana kemudian muncul nama perusahaan Concord. Dalam pertarungan itu Ari dan Sudirman Said tersingkirkan. Lalu sejenak nama Sudirman Said tenggelam.
Nama Sudirman Said muncul kembali, setelah Rini Soemarno memainkan peranan penting dalam pembentukan tim sukses Jokowi dan tim transisi pemerintahan Jokowi-JK, di masa tim transisi inilah peran Rini Soemarno sangat dominan dalam membentuk lansekap kabinet Jokowi-JK, padahal dalam pembentukan tim transisi, JK marah besar dan merasa kecolongan. Lalu hadirlah Sudirman Said sebagai bagian dari bentuk kompromi antara Rini Soemarno dan JK. Untuk masuk ke dalam jajaran kabinet kerja, Sudirman Said menggunakan jasa KPK memuluskan ambisinya memegang jabatan Menteri ESDM, ini bisa dicarikan bukti lewat proses investigatif jurnalistik bahwa seseorang yang sebenarnya kapabel dalam kedudukan itu, “dikerjain” lewat proses titipan “Setip Merah” KPK Sudirman Said.
Di masa kepemimpinannya di Kementerian ESDM, ternyata menjadikan Sudirman Said lebih dekat ke Jusuf Kalla, sementara Ari Soemarno eks Boss-nya dulu terlalu kesulitan mengendalikan Pertamina semua diserahkan pada Sudirman Said. Langkah pertama uji kesetiaan Sudirman Said pada Jusuf Kalla ada mulusnya perjanjian kerjasama Pertamina dengan kelompok Jusuf Kalla, yaitu dibangunnya terminal penerima gas alam cair (LNG Receiving Terminal) di Bojonegara, Banten. Disinilah kemudian Jusuf Kalla merasa nyaman dengan peran Sudirman Said yang bisa mengeksekusi kepentingan proyek proyeknya. Proyek itu sekaligus menyatukan kepentingan Rini Soemarno, Ari Soemarno dan JK.
Sudirman Said lantas banyak mengamankan proyek-proyek Jusuf Kalla, baik di PLN maupun di Pertamina, kalau mau dibuka berapa banyak perusahaan perusahaan yang berafiliasi dengan Jusuf Kalla dan ada peranan Sudirman Said di PLN dan Pertamina. Dalam beberapa waktu kerja Sudirman Said dengan Jusuf Kalla membuat nyaman JK, namun ada sisi yang mengganjal JK yaitu ia belum bisa sepenuhnya menguasai Golkar. Padahal JK ingin mengulangi kesuksesan 2004, dimana ia memenangkan Pilpres 2004 bersama SBY dimana dia tidak dicalonkan oleh Golkar, namun dengan kemenangannya itu ia justru menguasai Golkar, di tahun 2014 dengan cara yang sama ia melakukan politik penguasaan Golkar, tapi sayang kemudian Golkar dikuasai oleh pihak yang berseberangan dengan dirinya : Setya Novanto.
Setya Novanto (SN) sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari Aburizal Bakrie (Ical), pesaing Jusuf Kalla. Namun karena Ical sendiri harus menjaga Prabowo, maka SN ditempatkan untuk mendekat pada Jokowi, disinilah JK merasa tidak nyaman bila SN merapat ke Jokowi. Watak lobbying SN yang lihai mampu menawan hati Jokowi, sehingga hubungan antara Jokowi dan SN dijembatani oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP) orang yang paling dipercaya Jokowi. LBP sendiri tampaknya tidak ingin kehilangan kendali atas Golkar dan menjadikan dirinya rival dari Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla melihat adanya Setya Novanto dan LBP menghalangi ambisi politiknya dari sanalah JK kemudian meminta kembali Sudirman Said untuk melakukan operasi politik menjatuhkan SN dan LBP. Permintaan JK untuk mencari jalan agar Setya Novanto bisa disingkirkan dari Golkar ternyata membuat Sudirman Said bergembira, karena ia punya laporan data rekaman koleksi KPK antara Setya Novanto, Reza Chalid dan Maroef Syamsudin direktur PT Freeport Indonesia, di saat itulah Sudirman Said merasa bisa menghantam Setya Novanto atas pesanan JK sekaligus menggebuk Riza Chalid sesuai keinginan Ari Soemarno dan menjadi PR lama yang belum terselesaikan.
Publik harus tahu data rekaman ini adalah milik KPK yang diserahkan pada Sudirman Said dalam operasi pendongkelan Novanto dan menghantam Luhut dan ini adalah permainan tabu KPK. Operasi pembeberan Sudirman Said atas rekaman ini bukanlah operasi politik suci membantai koruptor, tapi sebuah operasi politik murni perebutan kekuasaan, dan Sudirman Said menggunakan data rekaman KPK untuk tujuan tujuan perebutan kekuasaan. Banyak yang mengira data rekaman itu milik Maroef, padahal data rekaman yang dibeberkan ke publik adalah data rekaman KPK yang tujuannya hanya satu : “Penyingkiran Novanto dan Melabur hitam nama Luhut Binsar Panjaitan” dalam pertarungan di ring satu Istana dan konflik internal Golkar. Bila kemudian Sudirman Said terbukti menggunakan data rekaman KPK itu untuk tujuan tujuan politik maka disinilah KPK sudah diceburkan Sudirman Said pada lembah kelam sejarah.
Setelah kejadian ini, muncullah kegaduhan luar biasa. Beruntung Presiden Jokowi sudah memasukkan Rizal Ramli yang awalnya digunakan untuk menjadi pesaing Rini Soemarno di Kabinet, justru tanpa sengaja Rizal Ramli membeberkan pada publik bahwa pertarungan antara Sudirman Said dan Setya Novanto juga Riza Chalid yang dilibatkan disini, adalah pertarungan antar Mafia geng Sudirman Said melawan Geng Mafia kubu SN. Disini Rizal Ramli mengambil jarak dan menjadi pengamat atas pertarungan Jusuf Kalla melawan beberapa kelompok yang melingkari Presiden dan analisa analisa Rizal Ramli menjadi referensi penting publik dalam menilai situasi saat konflik Sudirman Said melawan Setya Novanto memanas. Akhirnya terjadilah tragedi Reshuffle jilid 2 dimana Sudirman Said dicopot karena Presiden sudah mencurigai Sudirman Said sedang memainkan proyek proyek energi sebagai sebuah “Jaringan Mafia” bukan sebagai “bentuk kerja tulus” dalam membangun Republik, serta Rizal Ramli dicopot dengan alasan “pembuat gaduh”, sudah menjadi tipikal Jokowi bila melakukan eksekusi politik, ia harus mencopot dua hal yang kelihatannya berseteru dalam hal ini Sudirman Said vs Rizal Ramli. Padahal Presiden sendiri tau sasaran politiknya bukanlah Rizal Ramli, tapi Sudirman Said dan Anies Baswedan yang sudah membawa kepentingan kepentingan politik tertentu dari Jusuf Kalla. Kelak dugaan Presiden benar, bahwa dua nama ini sedang merancang sebuah kekuatan baru dengan menggunakan jaringan politik agama dan jaringan KPK sebagai alat dalam merebut kekuasaan, dan Pilkada DKI 2017 membuktikan kekuatan Jusuf Kalla ini dalam membantai Ahok dan menggiring Ahok ke dalam penjara.
Setya Novanto adalah orang paling lemah dan gampang dibikin menjadi sebuah isu besar korupsi, ia seorang hedonis sejati, dan memang tidak jujur dalam perjalanan kehidupan berpolitiknya. Ia menjadi penguasa anggaran DPR sejak awal kekuasaan SBY. Hubungan SBY dan Novanto amatlah dekat, bahkan ada hotline langsung dari SBY ke Novanto, disinilah harus dicari titik temu hubungan Novanto dan SBY yang dekat dalam desain besar kasus-kasus korupsi dimasa SBY.
Kecurigaan media seperti TEMPO terhadap kelakuan Novanto dikenal cukup lama, bahkan publik sudah tau perseteruan antara Novanto dan TEMPO dimasa masa kekuasaan SBY, kerap kali TEMPO menurunkan berita tentang Novanto, namun dengan “Operasi Khusus Pembelian Majalah” pada jam lima pagi diseluruh agen agen besar sampai lapak kecil, nama Novanto aman. Mungkin hanya wajah Novanto-lah yang paling banyak menjadi Cover bagi Majalah TEMPO sepanjang sejarahnya, namun ketika wajah Novanto itu naik maka majalah TEMPO habis lenyap. Di masa SBY, Novanto adalah belut yang sangat licin ia menjadi pemain anggaran dan success fee atas anggaran-anggaran yang berhasil dicairkan, namun ia selalu lolos dari incaran politik, operasi-operasi pencarian logistik untuk Golkar dari kubu Novanto selalu aman, dari permainan-permainan politik di Kafe Tee Box menjadi saksi bagaimana desain desain permainan anggaran selama masa SBY dijalankan dengan efektif. Disinilah perlahan Novanto menjadi orang paling kuat dari Golkar sejak awal tahun 2000-an. Cara terbaik ia mendapatkan success fee dari hasil nilepnya adalah menaruh aliran dana ke beberapa saham-saham perusahaan sehingga jaringan korupsi ini tidak terlihat, dan dari Novanto pula-lah nama Nazarrudin muncul, Nazar adalah “anak kecil” yang mencoba bermain politik tanpa mengerti arti ideologis politik bagi dia politik adalah alat untuk mencari duit, hubungan Nazar dan Setya Novanto terjalin sejak awal 2000-an dan kerap bertemu di Hotel Dharmawangsa, saat Novanto masih tinggal di Apartemen Dharmawangsa. Saat itu Nazar masih bernaung di PPP, Nazar bisa dikatakan adalah “anak ideologis” Novanto dalam urusan perduitan dalam dunia politik. Hubungan Nazar-Novanto juga unik untuk dijadikan perenungan besar “Pertarungan apa yang sedang dimainkan dalam konteks info-info KPK?”
Novanto adalah seorang pendiam, akuntan sejati, royal namun penuh perhitungan. Ia selalu lolos dalam incaran incaran kasus korupsi, bahkan dari serangan rekaman Sudirman Said “Papa Minta Saham” dengan mengadakan sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang kemudian jadi bahan olok-olok publik dengan menyandingkan Presiden Jokowi berhadapan para pelawak yang diundang ke Istana. Publik mengira bahwa Jokowi mengundang pelawak itu seakan akan mentertawakan lakon MKD dengan sebutan terkenal “Yang Mulia”. Namun sesungguhnya pesan politik Jokowi dalam mengundang pelawak-pelawak itu menertawakan aksi Sudirman Said menggunakan rekaman KPK sebagai sebuah usaha awal menggusur Presiden Jokowi dengan LBP sebagai sasaran tembak pertamanya. Terbukti usaha itu gagal, dan cukup ditertawakan.
Novanto akhirnya bisa dicopot dan digantikan Ade Komarudin (Akom) politisi Golkar dari kubu Jusuf Kalla, untuk sementara kubu JK memenangkan pertarungannya di internal Golkar. Namun kejutan mendadak terjadi, SN akhirnya bisa menjadi ketua DPR kembali, dan agenda utama SN adalah merapat ke Jokowi dan memerintahkan setiap kantor cabang memajang wajah Jokowi 2019. Namun Jokowi tampaknya tau bahwa ia harus menghindari banyak jebakan, dalam masa-masa bulan madu Golkar dengan Jokowi muncullah nama Airlangga Hartarto, politisi yang tidak high profile, namun masih ‘bersih’ ketika Novanto ditangkap KPK dengan aksi aksi konyolnya, Jokowi sudah menggandeng Airlangga Hartarto dan memberikan konsesi bagi Novanto dengan menempatkan “anak didik” kesayangan Novanto, Idrus Marham menjadi Menteri di dalam kabinet Jokowi. Dan jilid berikutnya Novanto sudah masuk terlempar ke kandang Sudirman Said lewat jaringan gelapnya di KPK. Disinilah Novanto harus menyelamatkan dirinya dari gempuran orang-orang Sudirman Said.
Tekanan Psikologis Novanto dan Tembakan Tembakan Politik Sudirman Said
Apa yang terjadi pada diri Novanto, kasus E-KTP dan penyebutan nama-nama bukan lagi menjadi sebuah alasan pembersihan korupsi, tapi sudah masuk ke dalam bahasa-bahasa politik. Ucapan Novanto seperti hal-nya dengan ucapan Nazaruddin adalah “ucapan titipan”. Novanto sebagai alat barter menutupi dosa dosa besar korupsinya di masa lalu, mulai dari kasus Bank Bali, penyelundupan beras impor Vietnam, dugaan suap PON di tahun 2012 sampai E-KTP ia sudah tersudut habis, satu satunya jalan adalah transaksi atas kasusnya, dan ini dimanfaatkan benar oleh jaringan gelap Sudirman Said di KPK.
Untuk menggambarkan bagaimana ucapan Nazaruddin sebagai “ucapan titipan” sebagaimana hal-nya Novanto yang berusaha menjadi “Justice Collaborator” (JC), adalah saat Jusuf Kalla (JK) mengunjungi Irman Gusman pada 29/9/2016, sesungguhnya JK hanya menjenguk Irman Gusman hanya beberapa menit, yang ditemuinya lama adalah Nazaruddin. Dalam pertemuannya dengan Nazaruddin, JK minta agar Nazar bersaksi soal Novanto untuk kasus E-KTP, kalau ini diangkat dan menjadi bukti kuat, terbukti sudah ada benang merah antara : Nazaruddin, JK, Sudirman Said dan Jaringan Gelap KPK untuk bermain politik.
Hal yang sama juga terjadi pada Novanto dalam penyebutan fakta fakta persidangan. Disebutkannya nama Puan Maharani dan Pramono Anung oleh Setya Novanto adalah bagian dari permainan Sudirman Said.
Operasi politik penghancuran basis basis PDIP oleh kelompok Sudirman Said sudah menjadi skenario politik Sudirman Said di Jateng, pertama saat ia mengucapkan “Tidak Nyaman Jateng disebut Kandang Banteng”, maka basis basis politik Kandang Banteng harus dihancurkan, ini artinya wilayah pendukung Jokowi terkuat harus dibereskan. Ada hampir 13 juta suara masuk ke Jokowi, saat Pilpres 2014 dan misi Sudirman Said bukan sekedar masuk dalam pertarungan Pilkada Jateng 2018, tapi juga tugas utamanya adalah menghancurkan basis suara Jokowi dalam hal ini yang muncul ke publik adalah menghabisi PDIP dengan menghadapkan PDIP pada KPK.
Jaringan gelap Sudirman Said di KPK, paham bahwa Jokowi adalah seorang “Grand Master” dalam opini publik. Jaringan gelap KPK milik Sudirman Said tak mungkin bisa mengalahkan opini itu dan mereka tidak memilih Jokowi sebagai sasaran tembak langsung, namun mereka melihat PDIP amat lemah di mata publik, dan sasaran yang paling bisa menjadi sasaran olok-olok publik adalah Puan Maharani.
Tujuan penyebutan Puan Maharani atas titipan Sudirman Said pada Novanto, adalah melemahkan basis basis suara PDI Perjuangan di Jateng. Puan Maharani adalah politisi terkuat di Jateng, dia meraih suara hampir 370 ribu suara pada Pilkada Jateng 2014. Namun bukan itu saja arti penting Puan bagi Jateng, dia adalah penjaga suara di seluruh wilayah Jateng. Dengan menyebut Puan Maharani, dan menjadikan Puan sebagai mainan opini publik, maka operasi darat penghancuran basis basis kandang Banteng akan segera di eksekusi. Dengan begitu, “Operasi Penggerusan Wilayah Politik Jokowi” secara efektif bisa dilakukan.
Lalu sasaran berikutnya adalah Pramono Anung, ia adalah representasi PDI Perjuangan di Jawa Timur, operasi operasi politik jaringan gelap Sudirman Said di Jawa Timur sudah lama dilakukan, dan menggunakan kehebohan publik untuk menghancurkan basis suara PDIP, sekaligus sasaran jangka panjangnya adalah perebutan suara di Jawa Timur. Namun pesan politik Sudirman Said sebenarnya lebih mengarah pada “Saya sudah bisa menyentuh ke dalam ring satu Presiden RI”. Sudirman Said jelas memiliki dendam yang amat mendalam terhadap Jokowi karena dipecat dari Menteri ESDM dan dipermalukan oleh Jokowi dalam kasus PLN ketika Jokowi mengungkap banyaknya proyek proyek mangkrak PLN yang berasal dari jaringan bisnis Jusuf Kalla.
Apakah Sasaran Sesungguhnya ?
Sudirman Said dan Jaringan Gelap-nya KPK adalah drama penting dalam permainan politik di 2018-2019 dengan sasaran utamanya melumpuhkan kekuatan politik Jokowi pada 2019, hanya banyak yang tidak menyadarinya. Publik sekarang lebih terpesona pada hiruk pikuk Ahok, mengolok olok Amien Rais, menertawakan Prabowo soal 2030, sampai pada tebak tebakan siapa Cawapres Jokowi 2019 dan siapa yang akan menjadi lawan Jokowi setelah Prabowo agak ragu maju menjadi Presiden RI karena kekurangan logistik.
Publik tidak sadar bahwa ada permainan besar dengan memperalat KPK sebagai barter politik yang dilakukan sebuah faksi kuat di dalam tubuh KPK, dan membentuk jaringan gelap yang terkoneksi dengan Sudirman Said.
Ketidaksadaran ini bukan saja hinggap di tubuh publik secara umum, pihak analis analis politik juga masih terkecoh dan tidak sadar Sudirman Said bermain penting dalam permainan politik dengan memperalat KPK, dan tidak pernah ada investigasi serius soal hubungan Sudirman Said dan jaringan gelapnya di KPK.
Ketika Novanto dibawah tekanan kelompok Sudirman Said, dan kemudian menyatakan bahwa Puan Maharani dan Pramono Anung terlibat, seperti ada kekagetan dari PDIP. Nampaknya PDIP juga tidak siap dan tidak sadar bahwa mereka sudah berada dalam jebakan Sudirman Said, dan PDIP tidak bertindak membungkam Sudirman Said, justru yang menarik adalah kelihaian Presiden Jokowi yang kemudian secara jelas, mempersilahkan saja penyidikan tapi “silahkan buka bukti kejadian”. Disini nampaknya Presiden Jokowi sudah menyadari bahwa dia dalam jebakan Sudirman Said, dan kemungkinan juga Presiden sudah mendapatkan info-info permainan Sudirman Said di KPK. Bahkan dengan kelihaian Sudirman Said, PDIP malah diarahkan berbenturan dulu dengan Demokrat dan SBY, padahal di Jateng, Demokrat adalah sekutu PDIP. Hal ini tidak disadari kedua kelompok tersebut, dan memang Golkar kelompok Luhut-Bakrie, PDIP serta Demokrat menjadi sasaran operasi politik Sudirman Said untuk menciptakan posisi penting Sudirman Said di 2019.
Adanya jaringan gelap Sudirman Said di KPK, dan juga beberapa kelompok Sudirman Said mulai bermain politik praktis seperti Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Anies Baswedan dan juga ada yang bergerak di sektor energy seperti Amien Sunaryadi, juga beberapa kelompok pengusaha besar di belakang Sudirman Said perlu diwaspadai. Ada sekelompok barisan eks MTI yang sudah masuk ke segala sektor dan siap muncul tiba-tiba menjadi kekuatan politik yang memperalat KPK.
Dari sektor logistik politik, Sudirman Said tidak lagi mengandalkan Achyar yang ditempatkan di Pindad, tapi sudah mengandalkan bidang energy karena ia paham betul seluk beluk disitu, dari sisi politik Sudirman Said menggunakan KPK sebagai alat tekan dan dari sisi massa tentunya dengan jaringan Pilkada 2017 yang bermain dalam “penjatuhan Ahok”. Tiga hal ini yang kemudian menjadi kunci kemenangan Sudirman Said dalam menguasai Indonesia di tahun 2019.
Sikap sikap tidak fair dalam berpolitik dengan menggunakan KPK tentunya harus menjadi penyelidikan serius, dan bila terdapat alat bukti lebih dari dua adanya skenario penggunaan KPK maka pihak yang dirugikan bisa melaporkan pada pihak Kepolisian RI. Selama ini sudah terlihat sekali ada “kelompok gelap” Sudirman Said yang bermain di KPK, namun belum bisa dibongkar baik dari pihak Kepolisian maupun dari investigasi jurnalistik.
Bila tidak terbongkar permainan-permainan Sudirman Said di KPK, maka tidak mungkin “kartu Sudirman Said” akan jadi kartu penting dalam menjebak Jokowi dalam 2019.
KPK didirikan dengan semangat anti korupsi dan percepatan pemberesan korupsi, namun kemudian KPK oleh sekelompok oknum dibawah arahan Sudirman Said malah menjadi pemain politik dan seakan akan menjadi “Partai Politik Malam” yang bisa menyergap siapa saja dalam kondisi tak terduga.
Banyak korban dari permainan Sudirman Said ini, ikan besarnya adalah Ganjar Pranowo sebelum menjebak sasaran tembak 2019 yaitu Jokowi.
Pertarungan dalam soal KPK ini bukan lagi menyentuh wilayah moralitas dan hukum, tapi sebenarnya sudah wilayah politik. Manuver manuver KPK yang berkaitan dengan politik Pilkada 2018, juga dibaca dari permainan politik, bila kemudian permainan KPK yang salah satu domain wilayahnya dipermainkan oleh “jaringan gelap KPK Sudirman Said” maka itu semacam domba menyerahkan pada serigala berbulu domba. Tak mungkinlah permainan permainan gaya Machiavellian Sudirman Said dijawab dengan kepatuhan akan hukum dan moral gaya Savonarola yang kemudian dimakan habis tanpa sisa. Bila pada Pilkada 2017, sakralitas agama yang dipermainkan dalam politik, maka pilkada 2018 sakralitas KPK yang dimainkan oleh jaringan Sudirman Said dan Jusuf Kalla, lalu 2019 adalah gabungan sakralitas agama dan sakralitas KPK menjadi arus utama pertarungan.
Permainan politik Sudirman Said dengan memperalat beberapa oknum KPK dan jaringan
MTI yang kemudian banyak menanamkan pengaruhnya di KPK serta eks komisioner KPK harus secara cantik dibuktikan oleh para lawan politik Sudirman Said dengan mengajukan fakta hukum dan pembongkaran jaringan gelap KPK sehingga pihak Kepolisian bisa bertindak menangkapi para petualang petualang politik yang memperalat KPK…
Karena pada akhirnya, semua akan sadar ketika seseorang menguasai jaringan gelap di tubuh KPK, orang itu sudah menjadi “Raja Tanpa Mahkota” sebelum merebut peci regalia kepresiden RI.

DIBALIK PERMAINAN TABU ANTARA SS DAN “JARINGAN GELAP” KPK
Ada hal menarik bila kita bisa menyusun puzzle-puzzle dalam serangkaian cerita politik saat ini, seperti : naiknya Sudirman Said setelah dipecat Presiden Jokowi menjadi aktor penting dalam Pilkada DKI 2017 dan kemudian digadang gadang menjadi Gubernur Jateng menantang Ganjar Pranowo, hubungan Sudirman Said dengan Jusuf Kalla dan Anies Baswedan yang dibina setelah menggeser kelompok Yudi Latief serta gerbong Cak Nur di Paramadina, permainan kasar menendang Yudi Latief di Paramadina sekaligus menyingkirkan kelompok Nurcholish Madjid yang membuat isteri Nurcholish Madjid, Omi Komaria Madjid marah besar terhadap Anies Baswedan.
Kemudian pertemanan Sudirman Said dan Anies Baswedan itu berlanjut untuk menggempur Ahok, lalu tenggelamnya Setya Novanto dan rekayasa hinaan publik yang luar biasa, ada Bambang Widjajanto yang kemudian ramai diberitakan membentuk Komite Pencegahan Korupsi DKI yang kemudian muncul dipublik olok olok KPK KW 2, munculnya Abraham Samad dengan sasaran politiknya sebagai Cawapres 2019, ungkapan Wiranto agar KPK tidak terkesan main politik, sampai pada ucapan Ketua KPK Agus Rahardjo “bahwa ada peserta Pilkada 2018 bakal dijadikan tersangka” dan tentunya ada Ganjar Pranowo berdiri di sudut ring pertarungan Pilkada Jateng sedang berdiri di perahu kayu dengan gelombang besar bernama E-KTP dan menunggu lonceng berbunyi dari Gedung KPK di Jalan Kuningan. Lalu gong-nya dari seluruh rangkaian itu adalah desakan agar KPK mendiskualifikasi tersangka KPK ketika Survey Kompas menempatkan Ganjar Pranowo tertinggi dalam tingkat keterpilihan dimana Sudirman Said njomplang dihadapan Ganjar Pranowo.
Apa yang terjadi?, bagaimana kemudian puzzle-puzzle ini terbentuk, lalu apa yang ada sesungguhnya di balik kejadian kejadian ini. Apakah kemarahan Fahri Hamzah kepada KPK sudah mengantarkan kita pada jalan terbentuknya puzzle puzzle dibalik teka teki KPK yang akan membongkar sebuah permainan jorok di balik ini?, permainan tabu yang akan mengejutkan banyak orang dimana KPK menjadi menjadi sebuah tempat yang sudah tidak pada khittah-nya sebagai “mesin percepatan pemberantasan korupsi” telah menjadikan dirinya “mesin politik” satu kelompok tertentu. Mungkin Fahri bagi sebagian orang semacam ruang kegaduhan, tapi bila kita simak saja sedikit kicauan Fahri kita bisa mengambil benang merah dari situasi ini dan menjabarkannya ke dalam layar terkembang dunia politik kita, sebuah permainan tabu sedang dijalankan.
Permainan Tabu “Jaringan Gelap” KPK
Ingatkah anda pada kasus Abraham Samad, banyak orang fokus pada kesalahan Abraham Samad pada kasus pemalsuan identitas dan kelonan dengan perempuan bukan isterinya di sebuah Hotel, selalu itu yang diangkat angkat dan sengaja disodorkan ke publik, padahal kejatuhan Abraham Samad adalah sebuah permainan tabu yang sangat brutal, yaitu menjadikan Lembaga KPK sebagai alat tawar politik dimana ia menginginkan dirinya sebagai Cawapres Jokowi pada Pemilu 2014 dengan menggunakan KPK sebagai alat tawar kekuatan politik kepada PDIP . Kasus ini meledak pada bulan Januari 2015. Terbukti di bulan bulan ini Abraham Samad sudah tidak malu malu lagi mau nawarkan dirinya jadi Cawapres 2019.
Lalu kasus RJ Lino yang sudah sampai ditangan KPK, namun tidak dijalankan. Publik secara umum sudah tau siapa dibelakang Lino, kasus ini menjadi perhatian publik saat Komjen Buwas sebagai Kabareskrim yang memeriksa RJ Lino tiba-tiba dicopot, lalu RJ Lino tidak memiliki kelanjutan kasusnya. Kalau didalami pihak independen ada intervensi apa di KPK sehingga kasus Lino tidak berlanjut, ini harus dibuktikan. Siapakah orang kuat dibelakang Lino yang kemudian bisa melakukan intervensi KPK.
Kemudian Bambang Widjajanto (BW) masuk ke tim Anies Baswedan, dan banyak tim Anies adalah bagian tak terpisahkan dari Sudirman Said dimana konfigurasi pekerjaan dimasa lalu kemudian menjadi awal berdirinya KPK dan ini kemudian diakui oleh Anies Baswedan dalam sebuah statemen-nya di media pada 13 Desember 2017 bahwa “Sudirman Said berada di balik KPK” lalu bisakah dijelaskan ke publik dimanakan posisi eks pendiri MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) kemudian malah menjadikan kekuatan instrumen hukum yang sakral seperti KPK menjadi alat politiknya. Sudirman Said, Bambang Widjajanto, Anies Baswedan adalah bagian dari garis Jusuf Kalla.
Ingatkah anda dengan kasus Setya Novanto, siapakah yang bermain dibelakang itu?, siapakah yang punya rekaman soal percakapan Novanto, Reza Chalid dan Direktur PT Freeport Maroef Sjamsudin, siapakah yang merekam. Coba buka bukaan, yang merekam ini adalah KPK bukan seperti sangkaan publik yang mereka Maroef, dan itu bagian dari permainan politik, sayangnya pihak Golkar kubu Novanto-Luhut terlalu lugu membaca ini, dan membiarkan pertarungan internal Golkar antara kubu JK dengan kubu Novanto-Luhut. Kegaduhan internal Golkar ini baru beres beberapa tahun sesudahnya. Bila kemudian ada yang mengangkat bahwa yang merekam ini adalah KPK, kemudian di framing untuk membantai lawan politik, apakah ini bisa terjadi pada siapa saja? . Seperti memang ambisi Sudirman Said sejak ‘ngenger’ dengan Ari Soemarno di Pertamina untuk memukul Petral yang sebenarnya adalah pertarungan penuh dendam antara Riza Chalid dan gurunya Nazrat Muzzayin gara gara Riza Chalid maen dibelakang dengan pihak Keluarga Cendana sehingga gurunya Nazrat merasa disikat coba telusuri ini secara mendalam karena dari sinilah ambisi penguasaan energi sedang berlangsung dalam jaringan politik Sudirman Said.
Lalu bisakah Sudirman Said dituntut publik bagaimana dia kemudian menggunakan KPK saat akan masuk komposisi kabinet Presiden Jokowi sebagai Menteri ESDM, kalau ini dibuktikan dan ada jaringan Sudirman Said bermain maka permainan tabu akan terkuak lebar-lebar dimana Sudirman Said memanfaatkan oknum KPK untuk kepentingan politiknya. Karena saat itu ada seorang yang lebih kapabel dibanding Sudirman Said, akan dijadikan Menteri ESDM tapi ternyata oleh oknum KPK ada catatan merahnya, laporan ini dibuat Sudirman Said dan kemudian yang gol malah Sudirman Said menjadi Menteri ESDM.
Sudirman Said Hantam Ganjar Lewat Permainan Tabu KPK
Banyak tak disadari orang bahwa KPK dalam kasus kasus tertentu sudah bermain politik, atau sudah menjadi “alat politik” bagi kelompok-kelompok yang memiliki koneksi terhadap KPK. Sulit misalnya menjadikan Sudirman Said berasumsi lepas dari kelompok internal KPK untuk menjalankan kepentingan politiknya dalam pertarungan Pilkada Jateng 2018 dan “Operasi Gebuk Jokowi 2019”.
Satu satunya kekuatan KPK adalah opini publik bahwa KPK adalah mesin pemberantasan korupsi yang jujur dan jauh dari kepentingan politik. Permainan politik KPK adalah melakukan penyergapan penyergapan koruptor sungguhan kemudian diekspose ke publik, seperti pamer kendaraan mewah, bongkar brankas para bajingan korup itu. Tapi di lain pihak ada kasus kasus khusus yang kemudian KPK tidak lepas dari kepentingan politik, citra KPK yang memang kejam dalam menghajar kaum korup seakan akan tidak ada kabut yang menghalangi pandangan publik bahwa permainan jaringan gelap KPK Sudirman Said sudah mengarah pada pertaruhan politik tingkat tinggi.
Sudirman Said adalah petaruh besar politik yang menggunakan koneksi koneksinya dan ‘orang yang ditanam’ dalam KPK sehingga dari sinilah puzzle puzzle jaringan gelap KPK sudah menjadi alat permainan politik terbentuk.
Pilkada Jateng adalah contoh terbaik bagaimana KPK memainkan kepentingan politik Sudirman Said. Ada beberapa pertanyaan soal status Ganjar Pranowo sebelum masa penentuan kandidat calon Kepala Daerah Jateng, namun sepertinya disengaja nama Ganjar Pranowo digantung dan diumumkan pada saat yang tepat. Keputusan Sudirman Said masuk ke dalam gelanggang pertarungan Pilkada Jateng 2018 karena sudah mempertimbangkan bahwa ia tau bagaimana cara mempermainkan jaringannya di KPK untuk menghajar Ganjar. Walaupun dalam BAP (Berita Acara Penyidikan) Ganjar tidak menerima aliran dana sama sekali, tapi kasus ini bisa di framing untuk menyudutkan Ganjar dengan menaikkan nama Ganjar dalam pengumuman KPK di tengah tengah berlangsungnya kampanye Pilkada Jateng 2018. Skenario ini menjadikan pegangan Sudirman Said dalam keyakinannya memenangkan Pilkada Jateng 2018.
Skenario Sudirman Said ternyata berjalan dan dieksekusi jaringannya di KPK di tengah perjalanan Pilkada 2018 tiba tiba pihak KPK menyatakan bakal ada penangkapan, lalu disambar rekayasa opini saat ditengah perjalanan kampanye bahwa bila Calon Kepala Daerah ditangkap maka pencalonannya dibatalkan atau didiskualifikasi, dalam pencernaan pemahaman politik, sulit rasanya menghindari kesan ada permainan tabu KPK dengan konteks Pilkada 2018 antara penjatuhan Ganjar dengan munculnya Sudirman Said.
Adegan adegan penangkapan mulai dari Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati Ngada Marinus Sae, sampai penangkapan massal di Malang dan banyak kepala daerah lainnya seolah menjadi prolog untuk menangkap ikan besarnya Ganjar Pranowo dan Sudirman Said diharapkan menang WO dengan didiskualifikasikan Ganjar, sementara Ganjar sendiri sudah mendapatkan berita acara bahwa dia tidak menerima dana yang disebut sebut sebagai E-KTP kesalahan Ganjar cuman satu, dia senang bercanda dan bergaya santai seraya nyeletuk “kalau segitu ya kurang” celetukannya inilah yang kemudian jadi sasaran politik serius.
Bila diurai dari mulai naiknya Sudirman Said menjadi Menteri ESDM dengan bantuan oknum KPK, munculnya rekaman antara Setya Novanto, Reza Chalid dengan Maroef Sjamsoeddin yang dikira publik adalah rekaman milik Maroef tapi nyatanya itu simpanan lama rekaman KPK yang kemudian dimanfaatkan oleh Sudirman Said atas perintah JK untuk menghajar Novanto sekaligus Luhut serta membawa kepentingan Ari Soemarno membereskan Riza Chalid, kemudian berkumpulnya beberapa mantan komisioner KPK dalam satu kelompok Sudirman Said dengan geng-nya dalam satu kubu tersendiri melawan Jokowi dimana JK berada di baliknya dengan entitas Tim Transisi DKI untuk mengelabui publik bahwa sebuah calon pemerintahan berisi orang orang eks KPK yang merasa “dikriminalisasi” tapi faktanya mereka memang tersingkir karena terungkap menggunakan kekuasaan di KPK dalam permainan politik, lalu majunya Sudirman Said ke Pilkada Jateng 2018 walaupun tingkat keterkenalannya kecil, namun Sudirman Said merasa memiliki data yang bisa dipelintir soal Ganjar Pranowo, sulit rasanya melepaskan segala macam manuver KPK dengan keadaan politik saat ini dengan ujungnya adalah “ Operasi Politik Gebukin Jokowi” pada Pilpres 2019. Dan semua muara ini berpusar pada diri Sudirman Said.
Siapakah Sudirman Said ini dalam menebak labirin jaringan KPK yang dijadikan alat politik.
Pada Awalnya adalah MTI
Pondasi awal karir Sudirman Said adalah MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), kelak di MTI inilah banyak memberikan kontribusi pada KPK termasuk banyak orang MTI menjadi bagian tak terpisahkan dari nama KPK. Kemudian Sudirman Said ditarik ke Pertamina mendampingi Ari Soemarno dalam kemelut kerja di Pertamina Sudirman Said berhadapan pada isu Petral Riza Chalid melawan Kelompok Hazrat Muzzayin, yang kemudian melahirkan ISC dimana kemudian muncul nama perusahaan Concord. Dalam pertarungan itu Ari dan Sudirman Said tersingkirkan. Lalu sejenak nama Sudirman Said tenggelam.
Nama Sudirman Said muncul kembali, setelah Rini Soemarno memainkan peranan penting dalam pembentukan tim sukses Jokowi dan tim transisi pemerintahan Jokowi-JK, di masa tim transisi inilah peran Rini Soemarno sangat dominan dalam membentuk lansekap kabinet Jokowi-JK, padahal dalam pembentukan tim transisi, JK marah besar dan merasa kecolongan. Lalu hadirlah Sudirman Said sebagai bagian dari bentuk kompromi antara Rini Soemarno dan JK. Untuk masuk ke dalam jajaran kabinet kerja, Sudirman Said menggunakan jasa KPK memuluskan ambisinya memegang jabatan Menteri ESDM, ini bisa dicarikan bukti lewat proses investigatif jurnalistik bahwa seseorang yang sebenarnya kapabel dalam kedudukan itu, “dikerjain” lewat proses titipan “Setip Merah” KPK Sudirman Said.
Di masa kepemimpinannya di Kementerian ESDM, ternyata menjadikan Sudirman Said lebih dekat ke Jusuf Kalla, sementara Ari Soemarno eks Boss-nya dulu terlalu kesulitan mengendalikan Pertamina semua diserahkan pada Sudirman Said. Langkah pertama uji kesetiaan Sudirman Said pada Jusuf Kalla ada mulusnya perjanjian kerjasama Pertamina dengan kelompok Jusuf Kalla, yaitu dibangunnya terminal penerima gas alam cair (LNG Receiving Terminal) di Bojonegara, Banten. Disinilah kemudian Jusuf Kalla merasa nyaman dengan peran Sudirman Said yang bisa mengeksekusi kepentingan proyek proyeknya. Proyek itu sekaligus menyatukan kepentingan Rini Soemarno, Ari Soemarno dan JK.
Sudirman Said lantas banyak mengamankan proyek-proyek Jusuf Kalla, baik di PLN maupun di Pertamina, kalau mau dibuka berapa banyak perusahaan perusahaan yang berafiliasi dengan Jusuf Kalla dan ada peranan Sudirman Said di PLN dan Pertamina. Dalam beberapa waktu kerja Sudirman Said dengan Jusuf Kalla membuat nyaman JK, namun ada sisi yang mengganjal JK yaitu ia belum bisa sepenuhnya menguasai Golkar. Padahal JK ingin mengulangi kesuksesan 2004, dimana ia memenangkan Pilpres 2004 bersama SBY dimana dia tidak dicalonkan oleh Golkar, namun dengan kemenangannya itu ia justru menguasai Golkar, di tahun 2014 dengan cara yang sama ia melakukan politik penguasaan Golkar, tapi sayang kemudian Golkar dikuasai oleh pihak yang berseberangan dengan dirinya : Setya Novanto.
Setya Novanto (SN) sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari Aburizal Bakrie (Ical), pesaing Jusuf Kalla. Namun karena Ical sendiri harus menjaga Prabowo, maka SN ditempatkan untuk mendekat pada Jokowi, disinilah JK merasa tidak nyaman bila SN merapat ke Jokowi. Watak lobbying SN yang lihai mampu menawan hati Jokowi, sehingga hubungan antara Jokowi dan SN dijembatani oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP) orang yang paling dipercaya Jokowi. LBP sendiri tampaknya tidak ingin kehilangan kendali atas Golkar dan menjadikan dirinya rival dari Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla melihat adanya Setya Novanto dan LBP menghalangi ambisi politiknya dari sanalah JK kemudian meminta kembali Sudirman Said untuk melakukan operasi politik menjatuhkan SN dan LBP. Permintaan JK untuk mencari jalan agar Setya Novanto bisa disingkirkan dari Golkar ternyata membuat Sudirman Said bergembira, karena ia punya laporan data rekaman koleksi KPK antara Setya Novanto, Reza Chalid dan Maroef Syamsudin direktur PT Freeport Indonesia, di saat itulah Sudirman Said merasa bisa menghantam Setya Novanto atas pesanan JK sekaligus menggebuk Riza Chalid sesuai keinginan Ari Soemarno dan menjadi PR lama yang belum terselesaikan.
Publik harus tahu data rekaman ini adalah milik KPK yang diserahkan pada Sudirman Said dalam operasi pendongkelan Novanto dan menghantam Luhut dan ini adalah permainan tabu KPK. Operasi pembeberan Sudirman Said atas rekaman ini bukanlah operasi politik suci membantai koruptor, tapi sebuah operasi politik murni perebutan kekuasaan, dan Sudirman Said menggunakan data rekaman KPK untuk tujuan tujuan perebutan kekuasaan. Banyak yang mengira data rekaman itu milik Maroef, padahal data rekaman yang dibeberkan ke publik adalah data rekaman KPK yang tujuannya hanya satu : “Penyingkiran Novanto dan Melabur hitam nama Luhut Binsar Panjaitan” dalam pertarungan di ring satu Istana dan konflik internal Golkar. Bila kemudian Sudirman Said terbukti menggunakan data rekaman KPK itu untuk tujuan tujuan politik maka disinilah KPK sudah diceburkan Sudirman Said pada lembah kelam sejarah.
Setelah kejadian ini, muncullah kegaduhan luar biasa. Beruntung Presiden Jokowi sudah memasukkan Rizal Ramli yang awalnya digunakan untuk menjadi pesaing Rini Soemarno di Kabinet, justru tanpa sengaja Rizal Ramli membeberkan pada publik bahwa pertarungan antara Sudirman Said dan Setya Novanto juga Riza Chalid yang dilibatkan disini, adalah pertarungan antar Mafia geng Sudirman Said melawan Geng Mafia kubu SN. Disini Rizal Ramli mengambil jarak dan menjadi pengamat atas pertarungan Jusuf Kalla melawan beberapa kelompok yang melingkari Presiden dan analisa analisa Rizal Ramli menjadi referensi penting publik dalam menilai situasi saat konflik Sudirman Said melawan Setya Novanto memanas. Akhirnya terjadilah tragedi Reshuffle jilid 2 dimana Sudirman Said dicopot karena Presiden sudah mencurigai Sudirman Said sedang memainkan proyek proyek energi sebagai sebuah “Jaringan Mafia” bukan sebagai “bentuk kerja tulus” dalam membangun Republik, serta Rizal Ramli dicopot dengan alasan “pembuat gaduh”, sudah menjadi tipikal Jokowi bila melakukan eksekusi politik, ia harus mencopot dua hal yang kelihatannya berseteru dalam hal ini Sudirman Said vs Rizal Ramli. Padahal Presiden sendiri tau sasaran politiknya bukanlah Rizal Ramli, tapi Sudirman Said dan Anies Baswedan yang sudah membawa kepentingan kepentingan politik tertentu dari Jusuf Kalla. Kelak dugaan Presiden benar, bahwa dua nama ini sedang merancang sebuah kekuatan baru dengan menggunakan jaringan politik agama dan jaringan KPK sebagai alat dalam merebut kekuasaan, dan Pilkada DKI 2017 membuktikan kekuatan Jusuf Kalla ini dalam membantai Ahok dan menggiring Ahok ke dalam penjara.
Setya Novanto adalah orang paling lemah dan gampang dibikin menjadi sebuah isu besar korupsi, ia seorang hedonis sejati, dan memang tidak jujur dalam perjalanan kehidupan berpolitiknya. Ia menjadi penguasa anggaran DPR sejak awal kekuasaan SBY. Hubungan SBY dan Novanto amatlah dekat, bahkan ada hotline langsung dari SBY ke Novanto, disinilah harus dicari titik temu hubungan Novanto dan SBY yang dekat dalam desain besar kasus-kasus korupsi dimasa SBY.
Kecurigaan media seperti TEMPO terhadap kelakuan Novanto dikenal cukup lama, bahkan publik sudah tau perseteruan antara Novanto dan TEMPO dimasa masa kekuasaan SBY, kerap kali TEMPO menurunkan berita tentang Novanto, namun dengan “Operasi Khusus Pembelian Majalah” pada jam lima pagi diseluruh agen agen besar sampai lapak kecil, nama Novanto aman. Mungkin hanya wajah Novanto-lah yang paling banyak menjadi Cover bagi Majalah TEMPO sepanjang sejarahnya, namun ketika wajah Novanto itu naik maka majalah TEMPO habis lenyap. Di masa SBY, Novanto adalah belut yang sangat licin ia menjadi pemain anggaran dan success fee atas anggaran-anggaran yang berhasil dicairkan, namun ia selalu lolos dari incaran politik, operasi-operasi pencarian logistik untuk Golkar dari kubu Novanto selalu aman, dari permainan-permainan politik di Kafe Tee Box menjadi saksi bagaimana desain desain permainan anggaran selama masa SBY dijalankan dengan efektif. Disinilah perlahan Novanto menjadi orang paling kuat dari Golkar sejak awal tahun 2000-an. Cara terbaik ia mendapatkan success fee dari hasil nilepnya adalah menaruh aliran dana ke beberapa saham-saham perusahaan sehingga jaringan korupsi ini tidak terlihat, dan dari Novanto pula-lah nama Nazarrudin muncul, Nazar adalah “anak kecil” yang mencoba bermain politik tanpa mengerti arti ideologis politik bagi dia politik adalah alat untuk mencari duit, hubungan Nazar dan Setya Novanto terjalin sejak awal 2000-an dan kerap bertemu di Hotel Dharmawangsa, saat Novanto masih tinggal di Apartemen Dharmawangsa. Saat itu Nazar masih bernaung di PPP, Nazar bisa dikatakan adalah “anak ideologis” Novanto dalam urusan perduitan dalam dunia politik. Hubungan Nazar-Novanto juga unik untuk dijadikan perenungan besar “Pertarungan apa yang sedang dimainkan dalam konteks info-info KPK?”
Novanto adalah seorang pendiam, akuntan sejati, royal namun penuh perhitungan. Ia selalu lolos dalam incaran incaran kasus korupsi, bahkan dari serangan rekaman Sudirman Said “Papa Minta Saham” dengan mengadakan sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang kemudian jadi bahan olok-olok publik dengan menyandingkan Presiden Jokowi berhadapan para pelawak yang diundang ke Istana. Publik mengira bahwa Jokowi mengundang pelawak itu seakan akan mentertawakan lakon MKD dengan sebutan terkenal “Yang Mulia”. Namun sesungguhnya pesan politik Jokowi dalam mengundang pelawak-pelawak itu menertawakan aksi Sudirman Said menggunakan rekaman KPK sebagai sebuah usaha awal menggusur Presiden Jokowi dengan LBP sebagai sasaran tembak pertamanya. Terbukti usaha itu gagal, dan cukup ditertawakan.
Novanto akhirnya bisa dicopot dan digantikan Ade Komarudin (Akom) politisi Golkar dari kubu Jusuf Kalla, untuk sementara kubu JK memenangkan pertarungannya di internal Golkar. Namun kejutan mendadak terjadi, SN akhirnya bisa menjadi ketua DPR kembali, dan agenda utama SN adalah merapat ke Jokowi dan memerintahkan setiap kantor cabang memajang wajah Jokowi 2019. Namun Jokowi tampaknya tau bahwa ia harus menghindari banyak jebakan, dalam masa-masa bulan madu Golkar dengan Jokowi muncullah nama Airlangga Hartarto, politisi yang tidak high profile, namun masih ‘bersih’ ketika Novanto ditangkap KPK dengan aksi aksi konyolnya, Jokowi sudah menggandeng Airlangga Hartarto dan memberikan konsesi bagi Novanto dengan menempatkan “anak didik” kesayangan Novanto, Idrus Marham menjadi Menteri di dalam kabinet Jokowi. Dan jilid berikutnya Novanto sudah masuk terlempar ke kandang Sudirman Said lewat jaringan gelapnya di KPK. Disinilah Novanto harus menyelamatkan dirinya dari gempuran orang-orang Sudirman Said.
Tekanan Psikologis Novanto dan Tembakan Tembakan Politik Sudirman Said
Apa yang terjadi pada diri Novanto, kasus E-KTP dan penyebutan nama-nama bukan lagi menjadi sebuah alasan pembersihan korupsi, tapi sudah masuk ke dalam bahasa-bahasa politik. Ucapan Novanto seperti hal-nya dengan ucapan Nazaruddin adalah “ucapan titipan”. Novanto sebagai alat barter menutupi dosa dosa besar korupsinya di masa lalu, mulai dari kasus Bank Bali, penyelundupan beras impor Vietnam, dugaan suap PON di tahun 2012 sampai E-KTP ia sudah tersudut habis, satu satunya jalan adalah transaksi atas kasusnya, dan ini dimanfaatkan benar oleh jaringan gelap Sudirman Said di KPK.
Untuk menggambarkan bagaimana ucapan Nazaruddin sebagai “ucapan titipan” sebagaimana hal-nya Novanto yang berusaha menjadi “Justice Collaborator” (JC), adalah saat Jusuf Kalla (JK) mengunjungi Irman Gusman pada 29/9/2016, sesungguhnya JK hanya menjenguk Irman Gusman hanya beberapa menit, yang ditemuinya lama adalah Nazaruddin. Dalam pertemuannya dengan Nazaruddin, JK minta agar Nazar bersaksi soal Novanto untuk kasus E-KTP, kalau ini diangkat dan menjadi bukti kuat, terbukti sudah ada benang merah antara : Nazaruddin, JK, Sudirman Said dan Jaringan Gelap KPK untuk bermain politik.
Hal yang sama juga terjadi pada Novanto dalam penyebutan fakta fakta persidangan. Disebutkannya nama Puan Maharani dan Pramono Anung oleh Setya Novanto adalah bagian dari permainan Sudirman Said.
Operasi politik penghancuran basis basis PDIP oleh kelompok Sudirman Said sudah menjadi skenario politik Sudirman Said di Jateng, pertama saat ia mengucapkan “Tidak Nyaman Jateng disebut Kandang Banteng”, maka basis basis politik Kandang Banteng harus dihancurkan, ini artinya wilayah pendukung Jokowi terkuat harus dibereskan. Ada hampir 13 juta suara masuk ke Jokowi, saat Pilpres 2014 dan misi Sudirman Said bukan sekedar masuk dalam pertarungan Pilkada Jateng 2018, tapi juga tugas utamanya adalah menghancurkan basis suara Jokowi dalam hal ini yang muncul ke publik adalah menghabisi PDIP dengan menghadapkan PDIP pada KPK.
Jaringan gelap Sudirman Said di KPK, paham bahwa Jokowi adalah seorang “Grand Master” dalam opini publik. Jaringan gelap KPK milik Sudirman Said tak mungkin bisa mengalahkan opini itu dan mereka tidak memilih Jokowi sebagai sasaran tembak langsung, namun mereka melihat PDIP amat lemah di mata publik, dan sasaran yang paling bisa menjadi sasaran olok-olok publik adalah Puan Maharani.
Tujuan penyebutan Puan Maharani atas titipan Sudirman Said pada Novanto, adalah melemahkan basis basis suara PDI Perjuangan di Jateng. Puan Maharani adalah politisi terkuat di Jateng, dia meraih suara hampir 370 ribu suara pada Pilkada Jateng 2014. Namun bukan itu saja arti penting Puan bagi Jateng, dia adalah penjaga suara di seluruh wilayah Jateng. Dengan menyebut Puan Maharani, dan menjadikan Puan sebagai mainan opini publik, maka operasi darat penghancuran basis basis kandang Banteng akan segera di eksekusi. Dengan begitu, “Operasi Penggerusan Wilayah Politik Jokowi” secara efektif bisa dilakukan.
Lalu sasaran berikutnya adalah Pramono Anung, ia adalah representasi PDI Perjuangan di Jawa Timur, operasi operasi politik jaringan gelap Sudirman Said di Jawa Timur sudah lama dilakukan, dan menggunakan kehebohan publik untuk menghancurkan basis suara PDIP, sekaligus sasaran jangka panjangnya adalah perebutan suara di Jawa Timur. Namun pesan politik Sudirman Said sebenarnya lebih mengarah pada “Saya sudah bisa menyentuh ke dalam ring satu Presiden RI”. Sudirman Said jelas memiliki dendam yang amat mendalam terhadap Jokowi karena dipecat dari Menteri ESDM dan dipermalukan oleh Jokowi dalam kasus PLN ketika Jokowi mengungkap banyaknya proyek proyek mangkrak PLN yang berasal dari jaringan bisnis Jusuf Kalla.
Apakah Sasaran Sesungguhnya ?
Sudirman Said dan Jaringan Gelap-nya KPK adalah drama penting dalam permainan politik di 2018-2019 dengan sasaran utamanya melumpuhkan kekuatan politik Jokowi pada 2019, hanya banyak yang tidak menyadarinya. Publik sekarang lebih terpesona pada hiruk pikuk Ahok, mengolok olok Amien Rais, menertawakan Prabowo soal 2030, sampai pada tebak tebakan siapa Cawapres Jokowi 2019 dan siapa yang akan menjadi lawan Jokowi setelah Prabowo agak ragu maju menjadi Presiden RI karena kekurangan logistik.
Publik tidak sadar bahwa ada permainan besar dengan memperalat KPK sebagai barter politik yang dilakukan sebuah faksi kuat di dalam tubuh KPK, dan membentuk jaringan gelap yang terkoneksi dengan Sudirman Said.
Ketidaksadaran ini bukan saja hinggap di tubuh publik secara umum, pihak analis analis politik juga masih terkecoh dan tidak sadar Sudirman Said bermain penting dalam permainan politik dengan memperalat KPK, dan tidak pernah ada investigasi serius soal hubungan Sudirman Said dan jaringan gelapnya di KPK.
Ketika Novanto dibawah tekanan kelompok Sudirman Said, dan kemudian menyatakan bahwa Puan Maharani dan Pramono Anung terlibat, seperti ada kekagetan dari PDIP. Nampaknya PDIP juga tidak siap dan tidak sadar bahwa mereka sudah berada dalam jebakan Sudirman Said, dan PDIP tidak bertindak membungkam Sudirman Said, justru yang menarik adalah kelihaian Presiden Jokowi yang kemudian secara jelas, mempersilahkan saja penyidikan tapi “silahkan buka bukti kejadian”. Disini nampaknya Presiden Jokowi sudah menyadari bahwa dia dalam jebakan Sudirman Said, dan kemungkinan juga Presiden sudah mendapatkan info-info permainan Sudirman Said di KPK. Bahkan dengan kelihaian Sudirman Said, PDIP malah diarahkan berbenturan dulu dengan Demokrat dan SBY, padahal di Jateng, Demokrat adalah sekutu PDIP. Hal ini tidak disadari kedua kelompok tersebut, dan memang Golkar kelompok Luhut-Bakrie, PDIP serta Demokrat menjadi sasaran operasi politik Sudirman Said untuk menciptakan posisi penting Sudirman Said di 2019.
Adanya jaringan gelap Sudirman Said di KPK, dan juga beberapa kelompok Sudirman Said mulai bermain politik praktis seperti Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Anies Baswedan dan juga ada yang bergerak di sektor energy seperti Amien Sunaryadi, juga beberapa kelompok pengusaha besar di belakang Sudirman Said perlu diwaspadai. Ada sekelompok barisan eks MTI yang sudah masuk ke segala sektor dan siap muncul tiba-tiba menjadi kekuatan politik yang memperalat KPK.
Dari sektor logistik politik, Sudirman Said tidak lagi mengandalkan Achyar yang ditempatkan di Pindad, tapi sudah mengandalkan bidang energy karena ia paham betul seluk beluk disitu, dari sisi politik Sudirman Said menggunakan KPK sebagai alat tekan dan dari sisi massa tentunya dengan jaringan Pilkada 2017 yang bermain dalam “penjatuhan Ahok”. Tiga hal ini yang kemudian menjadi kunci kemenangan Sudirman Said dalam menguasai Indonesia di tahun 2019.
Sikap sikap tidak fair dalam berpolitik dengan menggunakan KPK tentunya harus menjadi penyelidikan serius, dan bila terdapat alat bukti lebih dari dua adanya skenario penggunaan KPK maka pihak yang dirugikan bisa melaporkan pada pihak Kepolisian RI. Selama ini sudah terlihat sekali ada “kelompok gelap” Sudirman Said yang bermain di KPK, namun belum bisa dibongkar baik dari pihak Kepolisian maupun dari investigasi jurnalistik.
Bila tidak terbongkar permainan-permainan Sudirman Said di KPK, maka tidak mungkin “kartu Sudirman Said” akan jadi kartu penting dalam menjebak Jokowi dalam 2019.
KPK didirikan dengan semangat anti korupsi dan percepatan pemberesan korupsi, namun kemudian KPK oleh sekelompok oknum dibawah arahan Sudirman Said malah menjadi pemain politik dan seakan akan menjadi “Partai Politik Malam” yang bisa menyergap siapa saja dalam kondisi tak terduga.
Banyak korban dari permainan Sudirman Said ini, ikan besarnya adalah Ganjar Pranowo sebelum menjebak sasaran tembak 2019 yaitu Jokowi.
Pertarungan dalam soal KPK ini bukan lagi menyentuh wilayah moralitas dan hukum, tapi sebenarnya sudah wilayah politik. Manuver manuver KPK yang berkaitan dengan politik Pilkada 2018, juga dibaca dari permainan politik, bila kemudian permainan KPK yang salah satu domain wilayahnya dipermainkan oleh “jaringan gelap KPK Sudirman Said” maka itu semacam domba menyerahkan pada serigala berbulu domba. Tak mungkinlah permainan permainan gaya Machiavellian Sudirman Said dijawab dengan kepatuhan akan hukum dan moral gaya Savonarola yang kemudian dimakan habis tanpa sisa. Bila pada Pilkada 2017, sakralitas agama yang dipermainkan dalam politik, maka pilkada 2018 sakralitas KPK yang dimainkan oleh jaringan Sudirman Said dan Jusuf Kalla, lalu 2019 adalah gabungan sakralitas agama dan sakralitas KPK menjadi arus utama pertarungan.
Permainan politik Sudirman Said dengan memperalat beberapa oknum KPK dan jaringan
MTI yang kemudian banyak menanamkan pengaruhnya di KPK serta eks komisioner KPK harus secara cantik dibuktikan oleh para lawan politik Sudirman Said dengan mengajukan fakta hukum dan pembongkaran jaringan gelap KPK sehingga pihak Kepolisian bisa bertindak menangkapi para petualang petualang politik yang memperalat KPK…
Karena pada akhirnya, semua akan sadar ketika seseorang menguasai jaringan gelap di tubuh KPK, orang itu sudah menjadi “Raja Tanpa Mahkota” sebelum merebut peci regalia kepresiden RI.
https://www.kompasiana.com/…/benarkah-sudirman-said-kendali…