ATLANTIS DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA
Radhar Panca Dahana, budayawan Indonesia terkemuka, mengungkapkan bahwa sejak 5000 tahun sebelum Masehi hingga awal Masehi, bangsa Atlantis yang tersisa mengalami perubahan orientasi budaya dari budaya kontinental menjadi budaya maritim, yaitu budaya yang lebih terbuka dan toleran sehingga mudah menyesuaikan diri dengan wilayah samudera lainnya. Budaya maritin pada saat itu dikenal sebagai pelaut Nusantara. Hipotesis di atas juga diperkuat oleh Dick-Read (2008) dalam bukunya yang berjudul “Penjelajah Bahari”.
Hasil penelusurannya menemukan bukti-bukti mutakhir bahwa pelaut Nusantara pada awal tahun Masehi telah menaklukkan samudra Hindia dan berlayar sampai Afrika jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai penjelajahan bahari mereka. Antara abad ke-5 dan ke-7 M, kapal-kapal Nusantara banyak mendominasi pelayaran dagang di Asia. Pada waktu itu perdagangan bangsa Cina banyak bergantung pada jasa para pelaut Nusantara. Adalah fakta bahwa perkapalan Cina ternyata banyak mengadopsi teknologi dari Indonesia, sebagai contoh: kapal Jung. Demikian pula nelayan Madagaskar dan pesisir Afrika Timur banyak menggunakan Kano, sejenis perahu yang mempunyai penyeimbang di kanan-kiri, yang mirip perahu khas Asia timur.
Hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut Indonesia pada masa pasca zaman Es atau masa akhir keberadaan Atlantis. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia di abad ke-5 M dari Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun yang lalu nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati. Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.
Banyaknya jejak kebudayaan di seluruh Afrika seperti adanya keterkaitan antara kebudayaan suku Bajo dan Mandar di Sulawesi dengan Suku Bajun dan Manda di pesisir Afrika Timur. Bukti lain pengaruh Indonesia terhadap perkembangan Afrika adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik dengan yang ada di Nusantara. Di sana, ditemukan sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Malahan gambang ditemukan di Sierra Lions letak sebuah negara di wilayah pesisir Afrika Barat. Selain itu juga adanya kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife di Nigeria dengan patung dan relief perahu yang ada di Borobudur.
Peradaban Maritim Di Indonesia
Relief Kapal Laut Nusantara di Borobudur |
Radhar Panca Dahana, dalam makalahnya yang berjudul Adab Maritim Indonesia yang dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Alam, Budaya dan Falsafah Peradaban Sunda Kuno, di Bogor 27 Oktober 2010 lalu, mengungkapkan beberapa pertanyaan kritis dan gugatan mengenai kondisi bangsa Indonesia kini bila dibandingkan dengan sejarahnya luhur di bidang kelautan (maritim).
- Apa yang nampaknya membuat pemimpin negeri ini bangga dan percaya diri saaat ini, karena mereka merasa memiliki pencapaian pembangunan yang mengesankan, 6-1,1% persen secara ekonomi tahun ini?
Menurut Radhar, ada beberapa alasan yang sebenarnya membuat rasa kebanggaan itu menjadi terasa banal juga artificial:
Sebagai negara keempat terbesar, dari jumlah penduduk, Indonesia sebenarnya berposisi paling lemah atau pariah, dari sudut yang paling diandalkannya secara ekonomi, dibanding tiga negara lainnya: Cina, India, AS. Bahkan jika dibanding dengan negara-negara besar di bawahnya, seperti Rusia, Brasil, Afrika Selatan, atau Argentina. Bahkan, lebih jauh lagi, dari beberapa negara Asia Tenggara yang ternyata mencatat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, seperti Singapura (10%), Vietnam (9%), Malaysia, Thailand bahkan Filipina yang bisa mencapai (8%).
Relief Kapal Laut Nusantara di Borobudur |
Begitupun dalam derajat politiknya. Kita tahu negara-negara besar seperti Cina, India dan AS, saat ini memiliki posisi politik yang sangat dan kuat strategis, dalam kapasitasnya mendesakkan pengaruh atau kepentingan nasionalnya di hadapan dunia. Berbagai kebijakan mereka, dalam soal kurs hingga pengembangan nuklir seperti membuat negeri lain tak berdaya, karena kekuatan politik dan diplomasinya. Begitupun negara-negara lain yang di bawah Indonesia, seperti Rusia, Brasil dan Afrika Selatan, yang kian hari kian menjadi penentu solusi-solusi setidaknya pada tingkatan regional. Sementara Indonesia, Nampak begitu gamang dengan posisinya sebagai traditional leader di kawasan, misalnya dengan ketidaktegasan menghadapi sengketa dengan Malaysia atau Singapura, dan melempemnya diplomasi yang hanya bisa bermain akomodatif.
Akhirnya dalam soal dignity, martabat dan harkat sebagai sebuah bangsa, kekuatan karakter dari pemimpin serta rakyatnya, kini mengalami degradasi habis-habisan dengan kultur elit dan pemimpin yang kian peduli hanya pada kepentingan diri sendiri, mengalienasi publik, dan pada akhirnya dialienasi oleh public dengan menyatakan ketidakpercayaannya pada negara. Publik sendiri, hampir tanpa pemimpin (negara), saat mereka melakukan berbagai tindak menyimpang, bahkan kriminal, atas orang atau kelompok lain. Kekerasan serta perilaku tanpa adab (sopan santun) di jalan raya, misalnya, sudah menjadi makanan batin kita sehari-hari.
- Banyak penyebab yang dapat diidentifikasi untuk menjelaskan latar belakang dari beberapa konstatasi di atas. Setidaknya ada dua argumen yang secara umum dapat menjelaskan hal itu. Menjelaskan terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang pada akhirnya menciptakan keprihatinan dalam hati kita, yang mungkin kian bimbang: “Apa sesungguhnya memang demikian diriku (kita) ini?” Satu persoalan yang harus segera mendapatkan jawaban, sebelum semuanya menjadi keterlanjuran, dan kita mengalami kegagalan bukan hanya sebagai sebuah negara, tapi juga sebagai sebuah bangsa, sebagai sebuah peradaban yang sejak ribuan tahun lalu diakui dunia.
Kedua argumen penyebab terkuat itu adalah:
Pilihan atas cara kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebuah pilihan yang akhirnya memberi konsekuensi pada kita untuk menggunakan sebuah mekanisme atau sistem, untuk mengatur cara kita hidup, menciptakan masa depan dan menetapkan cara bagaimana mencapainya. Sebuah pilihan, yang ternyata dan amat disayangkan, ternyata hanya menjadi bagian dari konspirasi elit (mereka yang memegang tampuk kekuasan dan mendominasi proses-proses pengambilan kebijakan), yang kemudian ditetapkan sebagai fait accompli bagi konstituennya, alias rakyat pada umumnya. Maka hiduplah kita sekarang, misalnya, dalam sistem politik, sistem hukum, atau sistem ekonomi tertentu, yang sangat kita ketahui, dalam prakteknya ternyata hanya menjadi cover atau pelindung, benteng kokoh pertahanan, dari kepentingan para elit saja. Rakyat secara sistematis dan structural –akhirnya—hanya menjadi konsumen, tepatnya korban, dari penerapan sistem-sistem itu. Rakyat memang dinafikan, dialienasikan, lebih jauh lagi dihumiliasi, dihinakan.
Hal berikut, yang mungkin lebih utama dari atas, adalah pengingkaran kita bersama, sebagai juga hasil konspirasi dari kepentingan elitnya, pada realitas (jati) diri kita sesungguhnya, baik sebagai individu, komunitas atau sebagai sebuah bangsa. Sebuah realitas (jati) diri yang sebenarnya terbangun sejak jauh hari di belakang, sebelum –katakanlah—sistem kapitalistik mengendap di negeri ini sejak masa VOC didirikan atau setidaknya sejak Gubernur Jenderal Daendels berkuasa. Kita pun hidup kemudian dalam realitas yang tidak real, palsu, arifisial, atau hanya bayang-bayang (wayang) dari refleksi diri yang diciptakan oleh para orientalis, indonesianis, atau kapitalis yang mencengkeram kuat tubuh dan pikiran bangsa ini, sekurangnya dala satu abad belakangan.
- Untuk itu tidak lain, secara imperatif kita diminta untuk menemukan kembali (reinventing) apa dan siapa diri kita sebenarnya. Sebuah penemuan kembali yang akan memperjelas keberadaan (existence) kita saat ini di atas bola dunia ini, dari mana sebenarnya kita berasal, hendak kemana kita pergi, dan bagaimana caranya kita bisa sampai di tempat tujuan. Tanpa mengidentifikasi hal-hal dasar yang ontologism itu, tentu saja kita tak berhasil menemukan epistemologi yang adekuat untuk merumuskan tujuan dan cara, paradigma yang tangguh untuk mendapatkan pemahaman tentang kenyataan-kenyataan baru, hal-hal yang mungkin menjadi rintangan kita untuk maju.
- Tentu saja untuk usaha penemuan kembali itu diperlukan sebuah kerja yang keras, dan yang mesti mampu mengonvergensi semua upaya yang ada, dari semua disiplin yang tersedia, baik yang kita sebut –dengan banyak praasumsi—sebagai modern dan tidak modern (tradisional).
Dan ternyata untuk menemukan kembali diri sendiri, penelusuran diri ke belakang adalah satu hal yang tak terelakkan. Sayangnya berbagai buku-buku panduan yang tersedia untuk itu, termasuk yang disediakan oleh negara, bukan hanya tidak mencukupi, tapi hari dikaji ulang jika tidak harus dimusnahkan. Berbagai penemuan mutakhir memperlihatkan bagaimana buku-buku sejarah yang sudah sekian dekade menjadi pengisi memori bangsa ini, ternyata memuat data yang tidak akurat, bahkan keliru, terutama dalam kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya.
Sejarah bangsa ini misalnya, selalu diyakini dimulai dari abad ke-5 Masehi, saat ditemukannya beberapa prasasti (di Kutai dan Bogor) yang bertarikh di masa itu. Sebuah identifikasi yang mengabarkan –seakan—sudah pada galib dan kodratnya kita adalah pewaris sah dari kerajaan-kerajaan konsentris (pedalaman) berbasis agama Hindu dan Buddha. Sehingga kita kemudian menerima secara taken for granted dan melegitimas realitas kekinian kita yang hanya merupakan kelanjutan –dengan pembaruan seadanya di tingkat superfisial—dari adab dan budaya kerajaan pedalaman itu. Bahkan orang Jawa, lewat Mangkunegara IV, hingga kini meyakini hampir dengan taqlid bahwa nenek moyang mereka adalah seorang pangeran bernama Ajisaka, yang datang ke Jawa pada 78 M, tarikh dimana hitungan atau kalender Jawa bermuasal.
Tapi siapakah Ajisaka itu? Apa sesungguhnya makna dari produk kultural utama yang dia hasilkan, sehingga semua orang Jawa menautkan eksistensi diri padanya, sebuah runtutan alphabet ha-na-ca-ra-ka da-ta-sa-wa-la pa-da-ja-ya-nya ma-ga-ba-ta-nga? Siapakah dia, Dewata Cengkar, raksasa pemakan manusia, durjana yang konon dikalahkan oleh pangeran? Kerajaan macam apa, sistem seperti apa, kedurjanaan yang bagaimana yang sebenarnya dikuasai dan dimiliki oleh Dewata Cengkar? Adakah sesuatu atau hal lain yang berada di balik Dewata Cengkar, sebuah tradisi, adab, atau kebudayaan yang mungkin jauh hari sudah ada sebelum raja jawa kuno itu?
Mungkin belum ada penjelasan yang adekuat atau –katakanlah—ilmiah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun setidaknya kita dapat mengidentifikasi beberapa konsekuensi logis dari kisah di atas. Pertama, sebelum Ajisaka sebenarnya telah berdiri sebuah kerajaan lain, yang lebih asli, yang bukan India, Hindu atau Buddha. Kedua, kerajaan lain atau asal itu tentu memiliki sistem, adat, kepercayaan ketuhanannya sendiri. Ketiga, ia berlangsung sudah cukup lama sehingga ia cukup kuat sehingga harus ditaklukan oleh pendatang. Keempat, logika ini sudah menjelaskan bahwa sebenaranya sang pendatang (Ajisaka) melakukan sebuah ofensi, perebutan kekuasaan, pengalihan adab dan kebudayaan, yang dalam terminologi modern disebut sebagai kolonialisme atau imperialisme. Dan kelima, dari mana sebenarnya adab dan budaya kerajaan kuno Jawa itu berasal, apa yang ada dan berkembang dalam adab dan budaya kuno itu?
- Penjelasan awal yang paling sederhana dari beberapa pertanyaan logis di atas bisa diambil dari pendekatan yang sangat dasar, yang berlaku untuk segala zaman, entah itu modern, tradisional atau primitif, yakni: geografi.
Pendekatan ini dengan segera akan memberitahu kita tentang realitas atau kondisi alam yang melekat di kawasan ini. Pertama, negeri ini sekurangnya sejak masa pencairan akhir (Pleistocen akhir) adalah sebuah negeri yang terdiri dari ribuan pulau, sebuah kepulauan. Kedua, posisinya yang tepat di lintasan khatulistiwa membuatnya mendapat iklim yang tropis, dengan konsekuensi adaptasi-adaptasinya, konsekuensi yang melahirkan adab hidupnya. Ketiga, letak masyarakatnya yang mau tak mau tersegregrasi oleh pulau-pulau membuat mereka menghimpun kesatuan-kesatuan etnik atau sub-etnik yang sangat beragam. Keempat, teknologi, cara pikir, pola perilaku, hingga sistem-sistem kepercayaan dan bermasyarakat yang diterapkannya (hukum, ekonomi, politik dan diplomasi), mau tidak mau disesuaikan dengan realitas geografisnya itu: tropis dan kepulauan (maritim). Kelima, berdasar temuan-temuan di bidang arkeologi, paleontologi, dan geografi, kurun yang dilalui oleh masyarakat kuno (pra hindu/India, mungkin juga pra-Jawa) itu adalah kurun yang sangat panjang (beberapa bahkan puluhan millenia), jika setidaknya dihitung dari ditemukannya tulang-tulang sisa dari manusia purba di seantero negeri ini.
- Dalam perkembangannya di masa kini, semua konstatasi di atas, mulai mendapatkan bukti-bukti fisik/mati (artefak) dan non-fisik/hidup (ecofak), yang membuat mata kita lebih terang dalam melihat diri sendiri. Jauh lebih terang ketimbang bacaan-diri yang direfleksikan oleh kacamata para peneliti atau pengamat asing. Bukti-bukti itu, secara konstitutif, ada dalam beberapa hal berikut:
- Arkeologi maritim menemukan banyak bangkai kapal di bawah laut negeri ini, dengan tahun pembuatan mulai dari abad 7 SM, dengan teknologi pembuatan yang belum ada duanya dunia.
- Catatan-catatan dari para penjelajah, geographer, atau sejarawan berbagai bangsa dunia (Mesir, Yunani, Cina), mengabarkan tentang penjelajahan pelaut-pelaut Nusantara, dengan kapal, hasil bumi, dan hasil budaya tinggi, ke berbagai sudut dunia.
- Penemuan artefak-artefak di berbagai belahan dunia, termasuk di beberapa tempat di negeri ini (misalnya di gua Pasemah, Sumatera Selatan, gua Made di Jombang, Jawa Timur, lembah Mada di Sulawesi Selatan, Batujaya di Bekasi, atau banyak lokasi lain seperti Timor, Kutai, Maluku, Halmahera, dll) mengindikasikan bukan hanya terjadi perlintasan antar bangsa yang luar biasa, tapi juga kebudayaan advance yang telah dicapainya.
- Penyebaran bahasa yang mencakup setengah dunia, dan mengikutsertakan lebih dari 400 juta penutur membuktikan keberadaan bangsa-bangsa di Nusantara ini di wilayah-wilayah lain di atas bumi ini.
- Tumbuhan dan binatang, persenjataan, alat musik, hingga ilmu perbintangan dari berbagai kawasan, sejak dari Afrika, Timur Tengah, India, hingga Polynesia, memperlihatkan bagaimana pengaruh kultural sudah jauh lebih dulu terjadi, sebelum –katakanlah—bangsa India/Arya datang ke negeri ini.
- Beberapa fakta dan bukti itu, memberi kita banyak dasar atau alasan argumentative untuk mengatakan beberapa tesis/hipotesis di bawah ini:
- Realitas geografis kita yang disesaki pulau-pulau dan dialiri selat-selat serta beberapa laut, yang dangkal maupun dalam, menciptakan sebuah teknologi pelayaran yang ternyata jauh mendahului teknologi pelayaran atau perkapalan dari negeri lain (Viking, Mesir, Mediterrania, Cina-Jepang, dsb). Sebuah kenyataan yang sangat logis, karena sebagai negeri maritim, negeri ini merupakan kepulauan terbesar di dunia. Kemampuan ini, membawa penduduk di kawasan dapat melakukan perjalanan juga migrasi ke berbagai tempat, yang dalam catatan mencakup setengah dunia, mulai dari Afrika/Timur Dekat di Barat, hingga kepulauan di Polynesia/Amerika di Timur, dari Szechuan/Cina di Utara hingga Selandia Baru di Selatan. Bahkan sejak 500 BCE, para pelaut negeri ini merajai semua ekspedisi laut seluruh dunia, dimana banyak negara dan bangsa besar tergantung padanya.
- Berdasar realitas itu juga, sejak masa 10.000 BCE, sudah berkembang kesatuan-kesatuan masyarakat (yang kemudian mengalami sofistikasi menjadi etnik dengan kebudayaan dan sistem politik tertentu), di berbagai wilayah pesisir dimana masyarakatnya cukup intens dalam melakukan perjalanan laut, mengalami pertemuan dengan berbagai budaya lainnya.
- Bandar-bandar bermunculan seiring dengan tatanan hidupnya, dengan kebudayaan dan produk-produk budayanya masing-masing. Mulai dari sistem kemasyarakatan, spiritualisme (agama), kesenian, alat-alat produksi, sistem ekonomi, ilmu-ilmu dari perbintangan, navigasi, pembuatan kapal, hubungan mancanegara (antar Bandar), hingga politik (kekuasaan). Semua didasarkan pada kenyataan geografis di atas, dan posisional sebagai lokasi yang lintasan utama dari pergaulan internasional (antar bangsa).
- Terbentuknya sebuah alat komunikasi, bahasa dalam hal ini, yang mampu menciptakan hubungan fungsional di antara kesatuan-kesatuan etnik yang terpisah itu. Sebuah alat yang pada akhirnya turut berfungsi ampuh dalam menciptakan keeratan hubungan, kesalingtergantungan, kesatuan di antara para penghuni di kepulauan ini
- Lewat penalaran dan penulusuran waktu, dimana dan kapan semua hal di atas terjadi serta bermakna, mungkin dapat secara tentatif kita mengidentifikasi beberapa ciri khas, atau karakteristik dari kebudayaan masyarakat kepulauan/maritim, yang sejak belasan ribu tahun lalu berkembang di kepulauan Nusantara ini.
- Masyarakat kepulauan ini dibangun melalui Bandar-bandar yang berdiri secara independen (otonom), baik dalam penciptaan dan pembangunan masyarakat, kebudayaan, sistem bernegara, dan lainnya.
- Masyarakat yang dibangun di tiap Bandar itu memiliki ciri-ciri yang khas kepulauan, seperti terbuka, kosmopolit, egaliter-demokratis, cair dalam kodifikasinya (tidak membeku seperti masyarakat/kota pedalaman), yang artinya sangat plural dan berkesadaran multicultural yang tinggi.
- Kebudayaan masing-masing Bandar terbangun melalui hubungan dan pertukaran yang intensif di antara mereka, maupun dengan kaum pendatang, juga anasir-anasir baru yang dibawa pulang oleh para delegasi kelautan mereka. Ini termasuk dalam sistem pemerintahan, ekonomi dan hukumnya.
- Muncul sikap budaya yang saling menghargai, memberi respek, sebagai akibat logis yang perjumpaan berintensitas tinggi. Konflik dapat terjadi, namun di dalam budaya tiap etnik maupun dalam pola hubungan (pergaulan) di antara mereka, terdapat sistem untuk melerai atau meredam konflik-konflik itu dalam skema win-win solution. Artinya tidak ambisi atau gerak yang penuh nafsu untuk mendominasi atau mengkolonialisasi Bandar-bandar atau wilayan lain, sehingga tercipta pergaulan yang konstruktif dalam membangun kejayaan (kebudayaan)nya masing-masing.
- 9. Berdasar pada keyakinan spiritualnya animistik, setiap Bandar atau kesatuan etnik di kepulauan ini, membangun sistem kepercayaannya sendiri, dengan ritual bahkan dewa/tuhannya sendiri-sendiri. Polytheisme berkembang juga sebagai akibat pergaulan terbuka antar bangsa yang terjadi di antara mereka.
- Kepribadian pun terbentuk, juga hingga di tingkat personal yang sesuai dengan kenyataan kolektif itu. Manusia-manusia berkembang menjadi penjelajah, perantau/pengembara, kaum migrant yang tidak pernah mengalami kesulitan dalam mengadaptasi diri dengan lingkungan barunya. Beberapa suku, Bajo misalnya, bahkan bersifat nomaden dalam arti maritim: rumah tinggalnya bukan lagi bangunan yang terpancang permanen di atas tanah, tapi perahu yang terus bergoyang di atas gelombang laut.
10.Realitas eksistensial semacam itulah –di antaranya—yang membuat (suku-suku)bangsa di kepulauan ini sangat dikenal sejak –sekurangnya—1.000-1.500 BCE sebagai kaum penjelajah yang menciptakan diaspora pertama di atas muka bumi ini. Jauh sebelum, misalnya, bangsa Yahudi, Arya, Armenia, Roma, Arab, India atau Cina melakukannya, di lepas abad Masehi. Dengan kata lain, menurut Daud Aris Tanudirjo, arkeolog senior dari UI, pada masa itu sebenarnya telah terjadi globalisasi pertama kali di sepanjang sejarah manusia, yang dilakukan oleh penduduk Nusantara ini. Sebuah gerak menyeluruh yang tidak hanya membawa hasil-hasil fisik alam dan budayanya (gajah, pisang, palawija, perkakas, teknologi dll) tapi juga sistem berpikir, bahasa, kepercayaan, hingga ilmu-ilmu maju yang ada di kala itu. Namun sekali lagi, globalisasi ini dilakukan dengan rendah hati, tanpa paksaan, dan secara soft atau kultural. Tak ada ambisi atau nafsu untuk mendominasi, menguasai, apalagi mengkolonialisasi, sebagaimana memang sudah menjadi adab di lokalnya.
Namun ternyata, semua kekuatan alam dan kekayaan budaya yang terbangun selama sepuluh milenia itu, kini seperti tiada bekasnya. Karena kemudian datang manusia-manusia dari (dunia/peradaban) daratan/kontinental, yang dibawa atau numpang pelaut-pelaut internasional kita, dengan nafsu dan ambisi untuk mendominasi wilayah yang berlimpah kekayaannya, Eden di Timur. Maka jadilah kemudian, seorang pangeran dari India Selatan, dari rumpun Pallawa, menabalkan dirinya sebagai pahlawan lewat mitologi ha-na-ca-ra-ka, mengangkat diri sebagai penguasa baru bahkan sumber identitas baru, acuan baru, genesis baru, yang bertahan hingga kini. Dialah Ajisaka. Kolonialis kontinental pertama di negeri ini.
- 11. Sejak itu, sejak dua ribu tahun lalu itu, perlahan kita menutupi bahkan membunuh perlahan-lahan semua sumber identitas kita; membunuh diri kita sendiri, membunuh masa kini dan masa depannya sendiri. Apa kemudian yang dapat kita lakukan, Anda lakukan untuk itu semua? Jawabannya, tentu
Indonesia Maritim: Berakhirnya Tipuan Ajisaka
Sekali lagi Radhar Panca Dahana, doktor filsafat dan budayawan dari UI, menggugat “kekeliruan sejarah” Indonesia. Menurutnya, tampaknya buku-buku sejarah Indonesia yang ada saat ini memang harus dihanguskan dan ditulis kembali dengan cara dan pendekatan yang sama sekali berbeda. Bukan hanya dengan sekedar menambahkan betapa di masa lalu, satu setengah milenium lalu, bangsa ini sudah memiliki armada maritim yang kuat di kerajaan Sriwijaya hingga Majapahit. Apalagi bukan dengan sebuah awalan yang mitis, ketika Ajisaka menurut Mangkunegara IV, mendarat di pulau jawa pada 78 M untuk mengadabkan bangsa-bangsa di kepulauan ini.
Lebih jauh dari itu. Lebih jauh bahkan dari perkiraan Radhar sendiri, ketika ia membaca karya masterpiece sejarawan Prancis, Dennys Lombard, Le Carrefour Javanais, sepuluh tahun lalu, dimana Radhar menemukan data yang mengatakan adanya ekspedisi laut dari Jawa mendatangi Afrika dengan membawa hasil-hasil bumi berharga (emas, pala, pisang dll.) untuk ditukarkan dengan budak, pada 100 tahun sebelum Masehi. Kisah yang ditulis seorang geograf Yunani asal Mesir, Ptolemeus (110 AD) itu, memberikan sebuah sugesti tentang sebuah kerajaan kuno di Jawa yang sudah cukup advance, bahkan tingkat perdagangannya, hingga ia membutuhkan budak, jauh abad sebelum Eropa, apalagi Amerika memerlukannya.
Data-data mutakhir dari para ahli maritim, baik tentang Afrika, Eropa atau Asia Tenggara, menghasilkan temuan-temuan yang sangat mengejutkan. Temuan yang menunjukan betapa bangsa Indonesia adalah sebuah raksasa maritim yang diakui, dijadikan acuan bahkan disegani oleh bangsa-bangsa (berperadaban tinggi) lainnya di dunia seperti Mesir, India, Cina hingga Eropa. Dan hal itu sudah dimulai dari sebuah tarikh yang dalam imajinasi pun sulit kita menjangkaunya: 60.000 tahun yang lalu.
Di masa itu, sekumpulan manusia Australo-Melanesia yang berkebun dan berladang, keturunan langsung dari penghuni asal, Homo Erectus yang ditemukan fosilnya di Solo, mendiami dataran sunda, melakukan perjalanan sulit ke daerah kosong di dataran sahul, memanfaatkan siklus alam yang membuat permukaan laut turun hingga lima puluh meter dari pantai. Dan ajaibnya, dengan teknologi perkapalan sederhana, mereka berhasil mengarungi 70 km laut hingga Australia dan Papua Nugini, untuk menjadi nenek moyang dari bangsa Aborigin di sana.
Pada 35.000 tahun yang lalu, manusia yang sama, kembali melakukan penjelajahan samudra ke kepulauan Admiralty di gugusan kepulauan Bismarck yang berjarak 200 Km. Bandingkan dengan fakta bangsa Eropa menghuni pulau Siprus dan Kreta pertama kalinya, baru pada 8.000 tahun lalu dengan jarak tak lebih dari 80 Km. Dan penjelajahan bangsa purba Indonesia tidak berhenti, hingga sekitar 5.500 tahun yang lalu mereka menyebrangi pasifik untuk mencapai dan berdiam di pulau Fiji dan pulau Paskah (salah satu tempat terpencil di muka bumi), bahkan Hawaii dan dua pulau besar di Selandia Baru.
Penjelajahan terakhir di atas dilakukan oleh pendatang berbahasa Mongoloid-Austronesia yang datang dari Formosa (Taiwan). Melewati Selat Luzon mereka datang ke Nusantara membawa teknologi pertanian “tebang dan bakar” serta perahu bercadik sebagai alat penyeimbang. Di kepulauan besar inilah, mereka bertemu, bergaul, bercampur dan berkawin silang serta berketurunan dengan bangsa Australo-Melanesia asal Paparan Sunda, untuk kemudian mengembangkan sistem genetika, bahasa dan sistem budaya yang rumit. Sistem yang merupakan pencampuran kulit putih/kuning dan kulit gelap yang bagi banyak ahli “hingga saat ini masih saja memperumit penentuan pola rasial di Indonesia” (hal ini akan dibicarakan kemudian).
Yang jelas, di saat yang bersamaan nenek moyang bangsa Indonesia ini tidak hanya melakukan pelayaran dan penjelajahan mengagumkan ke timur, melintasi Pasifik, tapi juga ke barat menembus samudra Hindia. Banyak catatan para ahli ayng mengatakan bagaimana mereka akhirnya mendiamai dan membangun kultur tersendiri di Madagaskar, membentuk bangsa Afro-Indonesia, karena pergaulan ketatnya dengan bangsa-bangsa Afrika. Sebuah catatan bahkan mengisahkan bagaimana orang Madagaskar yang bahasanya “asing” menyatroni shamba-shamba dan desa-desa di pantai timur Afrika untuk menjarah dan memperoleh budak-budak.
Dalam literatur arkeologi dan antropologi tersebut bangsa Zanj (asal kata yang melahirkan Azania, Zanzibar atau Tanzania) di afrika timur, yang tidak lain adalah keturunan Afro-Indonesia dan menetap untuk berkolaborasi dengan orang Zimbabwe, jauh abad sebelum Arab dan Swahili datang ke sana. Keberadaan orang Afro-Indonesia mengesankan, karena merekan terlibat dalam pertambangan emas, hasil bumi yang membuat Zimbabwe begitu terkenal hingga paruh pertama millenum baru, masa yang sama dengan kerajaan Sriwijaya di pulau Swarnadwipa (pualu Emas).
Indonesia dalam Kitab Suci Bible
Maka tak mengherankan bila arkeolog Giorgio Buccelati menemukan wadah berisi cengkih di rumah seorang pedagang di Terqa, Eufrat tengah, yang hidup 1.700 SM. Atau arkeolog Inggris, Julian Reade, menemukan sisa-sisa kambing atau biri-biri di pulau Timor dari kurun masa hampir sama (1.500 SM). Tak ada penjelasan lain yang paling mungkin, selain cengkeh yang masa itu hanya tumbuh di kepulauan Maluku dan biri-biri yang hanya dikembangbiakan di Timur Tengah, dibawa oleh para pelaut andal Indonesia.
Ptolemeus sendiri menyebut beberapa kali kata baroussai, yang diyakini adalah kota dagang kuno Barus di Sumatra tengah, sebagai pengahsil kayu barus, dan pengekspor bahan-bahan utama pembuatan balsem untuk pengawetan mayat Raja Ramses II pada 5.000 SM. Ptolemeus juga menyebut sebuah kata yang juga dimuat dalam kitab tertua di Yunani, Periplous tes Erythrais Thalasses (Periplus of the Erythraean Sea) yang ditulis di pertengahan abad 1 M: Chrisye. Sebuah kata yang tidak lain menunjuk pada kepulauan di Indonesia, Sumatera khususnya.
Periplous menyebut kata itu dalam penjabarannya tentang empat jenis kapal yang ditemukan di India, dimana dua di antaranya, sangara dan kolandiaphonta dibuktikan keasliannya adalah kapal-kapal penjelajah samudra buatan orang Indonesia. Kata kolandiaphonta pun sebenarnya merupakan transkripsi dari teminologi Cina kun-lun-po, yang berarti “kapal dari selatan”, nama Cina untuk pulau Sumatera atau Jawa.
Bahkan Bible dalam I Raja-Raja 9:27-28 mengisahkan tentang Hiram dari 1.000 tahun SM yang mengikuti Raja Salomo dan mempersembahkan barang bawaan kapal-kapalnya berupa emas, perak, gading, kera serta burung merak (I Raja-Raja 10:22). Kata-kata yang notabene, setelah ditelusuri asal-usulnya tidak berasal dari bahasa Timur Tengah, bahasa India, Sanskerta atau Pali, tapi dari bahasa Dravida di Tamil Selatan. Sebuah daerah yang mengisahkan kejayaan hebat lain dari para pelaut Indonesia.
Indonesia Guru bagi Cina dan India
Penjelajahan laut bangsa Indonesia purba pada 5.000 tahun yang lalu, memang mengarungi Samudra Hindia terus ke barat melewati India dan Srilangka untuk menghindari perompak, maka akhirnya tak pernah tercatat dalam literatur India. Namun seorang petugas penangkap India kolonial yang kemudian menjadi etnograf kelautan, James Hornell, pada 1920 membuat catatan yang mengejutkan dunia ilmu, ketika ia menulis artikel tentang proses settlement orang-orang Polinesia (Indonesia) di India selatan, 500 tahun SM, di era pra-Dravida.
Berdasarkan temuannya tentang kano-kano bercadik, teknik memancing ikan hingga penggunaan senjata sumpit, yang semuanya adalah khas produk kultural bangsa Indonesia purba, Hornell membuktikan bagaimana bangsa pendatang itu akhirnya berakulturasi dengan bangsa Dravida untuk melahirkan sebuah kultur dan etnik baru. Di masa inilah, perdagangan dunia lintas benua mencapai puncaknya, begitu peradabannya. Dan bukti-bukti arkeologis memperlihatkan, bagaimana Cina yang mulai terlibat dengan perdagangan laut itu mempercayakan semua pengangkutan barang dagangannya pada para pelaut Indonesia.
Begitupun India, yang dianeksasi secara berdarah oleh bangsa Arya dengan bahasa Indo-Eropanya pada 1.800 tahun SM, berkembang menjadi bangsa yang hanya tahu daratan. Sebagaimana kesimpulan G.R. Tibbets, “Mayoritas ilmuwan abad 19, merasa sangat yakin bahwa bangsa India bukanlah bangsa pelaut”. Sebagaimana kita tahu, bangsa Arya yang berasal dari stepa-stepa kering di kawasan yang kini menjadi Ukraina, tidak pernah mengenal laut sepanjang hidupnya.
Seorang pengamat maritim India, Radha Kumud Mookerji, habis-habisan mencoba membuktikan keandalan pelaut India yang hampir semuanya terbantahkan. Termasuk bukti pamungkas di mana dia menunjuk relief perahu-perahu bercadik di candi borobudur -yang dibangun dengan bantuan tenaga ahli India- tidak lain tak bukan sebenarnya adalah perahu asli buatan bangsa Indonesia.
Jauh hari sebelum Cina membangun armada lautnya yang hebat, seperti yang diperlihatkan oleh Laksmana Cheng Ho misalnya, Indonesia sudah memberi pelajaran penting kepada mereka tentang bagaimana membuat kapal, mulai dari jenis jung yang sederhana hinga kapal layar ratusan ton. Untuk soal laut, Cina dan India, bukan apa-apa bagi indonesia, sejak dulu kala.
Tipuan Ajisaka
Maka, dari fakta-fakta yang diringkas di atas, bisa kita mendapat pemahaman bagaimana kebudayaan Indonesia sebenarnya telah dibangun dengan cara yang sangat mengagumkan, dari kehidupan dan pengetahuannya tentang kelautan. Bukan daratan. Dan itu tidak hanya membuktikan betapa sebenarnya jati diri dan identitas muasal kita adalah pelaut sejati, bangsa laut yang besar dan disegani di masa purba (pra-sejarah), yang berinteraksi secara intens dengan peradaban-peradaban besar dan purba di Mesopotamia, Babylonia, Indus hingga Cina, tapi juga serentak itu ia membantah sebuah keterangan sejarah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa paria atau pinggiran, yang kini seolah taken for granted bagi kita, bahkan menjadi mitos.
Keterangan di atas membalik uraian sejarah formal bahwa Indonesia dibentuk oleh pendantang-pendatang dari sungai Mekong pada 3.000 tahun SM, atau kemudian diadabkan oleh bangsa India, disusul oleh Arab, Cina, dan Eropa. Kenyataannya kita adalah bangsa yang sudah berdagang jauh sebelum Yesus atau Nabi Muhammad lahir. Tidak mengherankan, bila banyak bukti baru yang mengatakan Islam datang ke Indonesia bukan lagi pada abad 11 lewat para mubalig Cina dan Gujarat, tapi sejak masa Nabi masih hidup. Bisa jadi begitupun dengan agam Kristen, Buddha bahkan Hindu.
Kita tahun kini, sejak bangsa Arya mulai menempati kawasan lereng Himalaya dan sungai Gangga pada tahun 1.500 tahun SM, mereka membutuhkan 1.000 tahun lagi (500 SM) untuk sampai ke wilayah selatan India, di mana ternyata sudah ada perkampungan orang Indonesia yang semarak di sana. Di masa itulah dipercaya, kitab-kitab utama Buddha lahir, kitab Vedha menyebar, dan Yunani melahirkan filosof-filosof yang tajam pikirannya.
Maka sebuah hal yang sangat masuk akal, orang Indonesia (Austronesia) yang bercampur dengan Dravida sebenarnya adalah lawan dari penjajah Arya yang tengah coba melebarkan koloninya hingga Srilangka. Di sinilah saya kira, mitologi Arya, Ramayana mendapatkan konteks historisnya. Rama sebagai raja Arya memerangi Rahwana, raja mahasakti Dravida. Dengan kelicinannya Rama menggunakan rakyat setempat yang takluk sebagai pasukan para di garda depan. Rakyat yang berkulit gelap yang dipersonifikasikan melalui monyet-monyet dan raja-raja monyet yang ditaklukannya.
Babak Ramayana yang mengisahkan bagaimana Rama membangun jembatan monyet untuk menyerbu Rahwana, Rana Sri Alengka (Srilangka), mengindikasikan bagaimana miskinnya pengetahuan Rama tentang laut, sehinga ia meminta bantuan bangsa Dravida-Indonesia yang takluk (yang digambarkan sebagai monyet) itu. Wajarlah jika, raja monyet paling sakti yang menghamba pada Rama, Hanuman, “dianugerahi” posisi khas: diputihkan kulitnya, sebagaimana kulit bangsa Arya. Padahal sesungguhnya Hanuman adalah pengkhianat bagi bangsanya sendiri.
Penaklukan besar yang teriwayatkan dalam sastra indah ini, memberi kita beberapa proposisi interogatif yang menantang: tidakkah kemudian penjajah kolonialis Arya di Dravida yang datang ke pulau Sumatra dan Jawa, memanfaatkan teknologi pelayaran nusantara, untuk menaklukan penguasa-penguasa pribumi di kepulauan itu? Tidakkah mitologi Ajisaka, bagi masyarakat Jawa, hanyalah sebuah legitimasi historis yang mitis, bagi penaklukan yang berpola sama denga Rama. Di mana Ajisaka menaklukan Dewata Cengkar (penguasa pribumi yang digambarkan sebagai raksasa, sebagaimana Rahwana), melalui senjata sederhana, kain pengikat kepala, sehingga membuat Dewata Cengkar tersingkir perlahan dan akhirnya tercebur ke laut, menjadi dhemit di selat Banyuwangi?
Betapa mitologi ini sudah menipu kita selama berabad-abad? Seakan orang Jawa ontologinya berujung pada pangeran dari India selatan yang membawa aksara hanacaraka, yang tidak lain kembangan dari bahasa suci Arya, Sansekerta? Semacam politik bahasa yang mengkerangkeng pola dan daya tutur penuh suasana dari bahasa Jawa? Betapa keliru karenanya, bila orang Jawa, khususnya para raja dan sultannya jika mengidentifikasi dirinya pada mitologi dan politik bahasa ini. Atau memang kerajaan-kerajaan di Jawa tidak lain adalah pewaris dan pelanjut dari tradisi kerajaan Arya yang berorientasi kontinental alias daratan?
Kekuasaaan Daratan
Saya kira di sinilah kunci persoalannya. Kekalahan bangsa pesisir Dravida-Indonesia membawa akibat sangat jauh: menciptakan kekalahan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan, dalam seluruh dimensinya. Ini memang masih bersifat hipotetik, datangnya kolonialis Arya awal dari daerah Dravida, India Selatan ke Indonesia membawa dampak kultural ikutan yang sangat dalam dan terasa bahkan menjadi given hingga di masa sekarang.
Dampak itulah yang dianalisis dengan cermat oleh Denys Lombard, sebagai lahir dan berkembangnya kultur daratan dari kerajaan-kerajaan konsentris di sekitar pusat atau pedalaman Jawa bagian tengah, di tempat-tempat yang hingga saat ini dikenal penduduk sebagai pakubumi, pusat dunia, di gunung Lawu dan sekitarnya. Kultur daratan ini tidak lain adalah transplantasi dari kultur stepa bangsa Arya, yang tidak mengenal laut sama sekali. Sebuah kultur yang dengan kekuatan peradaban kuno, penjelajahan daratannya yang panjang dan diaspora yang hebat kala itu, bangsa-bangsa terakhir itu takluk dan membiarkan dirinya tenggelam dalam cara berpikir, cara hidup, relasi sosial, spiritualitas hingga ekspresi artistik yang berpola pedalaman (daratan/konsentris).
Inilah muasal mengapa budaya daratan yang lupa lautan berkembang dingga hari ini. Yang membuat bangsa Indonesia dengan mudahnya dipengaruhi oleh kultur-kultur pendatang atau kolonial berikutnya, yang semuanya notabene adalah bangsa daratan, mulai dari Arab, Cina, Eropa, hingga Amerika belakangan hari. Tak mengherankan jika kemudian republik yang kita bangun, militer yang kita kembangkan, semua berorientasi atau didominasi oleh kultur darat.
Inti Diri (Maritim) kita
Maka sangatlah vital dan mendesak, bila kita ingin mengidentifikasi realitas diri kita, hidup kita, di masa kini (juga dulu dan nanti), mesti terlebih dulu membersihkan bekas-bekas yang keras dan dalam dari pendekatan-darat kita. Tentu saja hal ini sangatlah sulit, mengingat kultur kerajaan konsentris kini begitu meresap dan (dianggap) menjadi jati diri kita sebenarnya, termasuk dalam permainan politik mutakhir atau gerak ekonomi kita saat ini.
Namun hal itu mungkin bisa dimulai dari usaha mengidentifikasi pola rasial -seperti tersebut di halaman awal- juga pola relasi relasi kultural yang terbangun sejak bercampurnya bangsa dan budaya Mongoloid-Austronesia dengan Australo-Melanesia. Di lihat dari akarnya, bangsa Indonesia adalah manusia yang berkulit gelap, sebagaimana kita temukan di pribumi Australia hingga Nugini dan Kepulauan Fiji. Bercampur dengan pendatang dari Formosa yang melintas selat Luzon, melahirkan suku-suku bangsa yang berkulit terang (Manado dan Maluku Utara) berhimpitan dekat bangsa berkulit gelap di Maluku selatan dan Papua.
Percampuran itu mengental bila kita bergerak ke selatan. Dengan sisa-sisa Melanesia pada kulit agak gelap dan rambut keritingnya pada suku-suku bangsa di timur Nusa Tenggara (bisa jadi Gajahmada berasal dari wilayah ini bila dilihat dari profil patungnya), hingga sampai pada Bali, Jawa dan Sumatra yang mulai coklat terang (sawo matang), yang boleh jadi juga karena percampuran secara genetik dengan albino Arya-Dravida. Maka lihatlah sebagian orang Jawa (orang kraton khususnya) yang relatif berkulit gelap, rambut lurus, dan hidung yang agak membengkok.
Tapi dari “hidung yang agak bengkok” inilah pergaulan atau inter-relasi budaya Nusantara yang sebelumnya terjadi secara dinamis, egaliter, terbuka dan cair (sebagaimana karakter bangsa pesisir/pelaut) berubah menjadi bentuk statis, tertutup, feodal dan kaku, sebagaimana tradisi kerajaan konsentris, seperti Demak atau Mataram. Usaha untuk melawan kecenderungan kultural itu, yang dilakukan oleh Mpu Sindok, dengan memindahkan pusat kerajaan ke kota pesisir Surabaya, dan mengangkat Gadjah Mada, yang bisa jadi pelaut sejati asal Flores, cukup sukses pada awalnya, tapi tenggelam juga akhirnya dengan datangnya agama daratan, Islam.
Agama baru ini datang dibawa oleh para mubalig-pengembara berasal dari kultur daratan (India, Arab dan Cina), yang lebih bisa berkompromi dengan tradisi Hindu/Buddha yang juga merupakan agama-darat. Bukan dengan agama para pelaut yang dewa-dewa dan tuhannya ada di lautan. Maka pergaulan budaya pun kembali memadat dan ketat, dalam regulasi semacam syariah, adat, dan sebagainya.
Kepadatan, keketatan, ketertutupan, ekslusivitas-feodal dan sebagainya inilah yang mesti coba kita lucuti untuk mengetahui dan memahami bagaimana budaya bangsa kita sebenarnya berakar dari dunia maritim. Dunia yang telah membawa kita ke ujung dunia terjauh, bahkan mungkin mencapai Amerika, sebelum Hsun-Fu diutus Shing-Huang Ti menjelajah ke sana, apalagi Colombus yang seperti anak kemarin sore.
Sebagai sebuah gugusan puluhan ribu pulau, ratusan sub-etnik dan bahasa, kita adalah bangsa yang menggunakan laut untuk berkomunikasi, berdagang, berakulturisasi, berproduksi dan berkreasi. Semua terjadi dalam kesetaraan, keterbukan dan kesediaan menerima yang asing (the other) secara ikhlas. Sebuah mekanisme budaya yang membuat suku-suku bangsa di kepulauan ini terus berkembang, memperkaya diri, tanpa ada dominasi (apalagi nafsu kolonisasi), dan pada akhirnya mempertahankan diri mereka sebagai sebuah kesatuan, bhinneka tunggal ika, hingga detik ini.
Pertanyaannya: dapatkah, lebih tepat mungkinkah, kita membalik kembali jalan sejarah kita? Dengan apa? Atau mungkin lebih pragmatis, perlukah? Di dalam peradaban mutakhir yang dikuasai oleh kultur kontinental (Eropa dan Cina, misalnya), adakah budaya bahari masih memiliki ruang untuk hidup? Apalagi dengan kecendrungan mutakhir, ketika laut dikuantifikasi menjadi jarak (bukan sebagai sebuah kehidupan) yang kemudian ditaklukan oleh teknologi (transportasi dan komunikasi, misalnya), adakah kebaharian masih perlu dipertahankan?
Lebih jauh lagi, beberapa bangsa sudah melihat darat dan laut bukan lagi masa depan manusia, karena keduanya kini hanya menjadi restan atau limbah dari kerakusan teknologi. Kini mereka berpaling ke wilayah lain: Udara. Daerah sans frontiere kata Gene Roddenberry dalam Star Trek. Daerah tak bertuan dan belum ada peradaban apapun yang membentuknya. Kesanakah orientasi diri kita kini harus menuju?
Sekalian pemikir di negeri ini harus menjawabnya.
Jakarta, 25 Oktober 2009
*ide untuk Pengantar Diskusi “Budaya Bangsa Bahari”,
Hotel Sultan Jakarta, 26 Oktober 2009
Jejak Warisan Penjelajah Samudra Nusantara di Afrika
Ceng Ho dan Colombus adalah dua pelaut ulung yang tersohor di penjuru dunia. Mereka terkenal sebagai figur tangguh yang berani menantang ganasnya samudra dengan perahu sejarahnya. Tapi tahukah anda, ternyata kepiawaian mereka jauh ketinggalan dari pelaut Nusantara. Mungkin anda tidak percaya begitu saja. Tapi, demi membuktikan kebenaran itulah Robert Dick-Read, peneliti asal Inggris bersusah payah menyusun buku ini.
Penjelajah Samudra Pertama
Dengan berdasar pada sumber sejarah yang berlimpah, Dick bercerita tentang pelaut-pelaut Nusantara yang sudah menjejakkan kaki di Afrika sejak abad ke-5 M. Jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika dan jauh sebelum bangsa Arab berlayar ke Zanzibar. Ceng Ho apalagi, pelaut China yang pernah mengadakan muhibah ke Semarang pada abad ke-14 M ini jelas ketinggalan dari moyang kita.
Yang menarik, penelitian Dick-read tentang pelaut Nusantara ini seperti kebetulan. Awalnya, ia datang ke mozambik pada 1957 untuk meneliti masa lalu Afrika. Di sana. untuk pertama kalinya ia mendengar bagaimana masyarakat Madagaskar fasih berbicara dengan bahasa Austronesia laiknya pemukim di wilayah pasifik. Ia juga tertarik dengan perompak Madagaskar yang menggunakan Kano (perahu yang mempunyai penyeimbang di kanan-kiri) yang mirip perahu khas Asia timur. Ketertarikannya memuncak setelah ia banyak menghadiri seminar tentang masa lalu Afrika, yang menyiratkan adanya banyak hubungan antara Nusantara dan sejarah Afrika.
Dalam penelusurannya, Dick-Read menemukan bukti-bukti mutakhir bahwa pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra hindia dan berlayar sampai Afrika Sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai penjelajahan bahari mereka.
Di antara bukti tersebut adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik, teknologi perahu, bahan makanan, budaya dan bahasa bangsa Zanj (ras Afro-Indonesia) dengan yang ada di Nusantara. Di sana, ditemukan sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Ada juga kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife, Nigeria dengan patung dan relief perahu yang ada di Borobudur.
Beberapa tanaman khas Indonesia yang juga tak luput dihijrahkan ke sana, semisal pisang raja, ubi jalar, keladi dan jagung. Menurut penelitian George Murdock, profesor berkebangsaan Amerika pada 1959, tanaman-tanaman itu dibawa orang-orang Indonesia saat melakukan perjalanan ke Madagaskar (h.237).
Bukan itu saja, di dalam buku ini kit akan menemukan berbagai hipotesa mengejutkan mengenai kehebatan pelaut Nusantara. Di antaranya, rentang antara abad ke-5 dan ke-7 M, kapal-kapal Nusantara telah banyak mendominasi pelayaran dagang di Asia. Pada waktu itu perdagangan bangsa Cina banyak bergantung pada jasa para pelaut Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa perkapalan Cina ternyata banyak mengadopsi teknologi dari Indonesia. Bahkan kapal Jung yang banyak dipakai orang Cina ternyata dipelajari dari pelaut Nusantara.
Di Afrika juga ada masyarakat yang disebut Zanj yang mendominasi pantai timur Afrika hampir sepanjang millennium pertama masehi. Lalu siapakah Zanj, yang namanya merupakan asal dari nama bangsa Azania, Zanzibar dan Tanzania? Tak banyak diketahui. Tapi ada petunjuk yang mengarahkan kesamaan Zanj Afrika dengan Zanaj atau Zabag di Sumatera.
Dalam hal ini, Dick mengajukan dugaan kuat keterikatan Zanj, Swarnadwipa dan Sumatera. Swarnadwipa yang berarti Pulau emas merupakan nama lain Sumatera. Hal ini dapat dilihat dalam legenda Hindhu Nusantara. Dick menduga, banyaknya emas di Sumatera ini dibawa oleh Zanj dan pelaut nusantara dari Zimbabwe, Afrika. Karena, Dick juga menemukan bukti yang menyatakan tambang-tambang emas di Zimbabwe mulanya dirintis oleh para pelaut Nusantara yang datang ke sana. Sebagian tak kembali dan membentuk ras Afro-Indonesia. Mungkin ras inilah yang disebut Zanj (halaman 113).
Terlepas dari percaya atau tidak, nyatanya penulis telah menjabarkan banyak bukti yang menceritakan kehebatan pelaut Nusantara. Hal ini tentu menjadi kebangaan tersendiri bagi kita sebagai keturunannya.
Tapi, jangan berhenti sampai kebanggaan itu saja. Kita juga harus malu dan berbenah diri jika faktanya dunia kemaritiman kita saat ini jauh dari kehebatan mereka. Yang kita lihat sekarang, ikan kita banyak dicuri, banyak penyelundupan melalui laut, sedang armada dan peralatan Angkatan Laut kita tidak mencukupi untuk menjaga keamanan. Yang terparah, kredibilitas bangsa pun ikut kalah, ini bisa kita cermati dari kasus aneksasi pulau Ambalat oleh Malaysia dan ekstradisi Indonesia-Singapura yang merugikan kita.
Akhirnya, Adalah tugas kita semua sebagai bangsa untuk kembali menegakkan kejayaan kemaritiman yang pernah diraih oleh para moyang kita. Agar kita bisa berdaulat di lautan sendiri.
Tradisi Besar Maritim Nusantara
Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia.
Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan memperlihatkan fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini, antara lain, menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika. Buku ini bercerita tentang pelaut-pelaut Nusantara yang berlayar sampai ke Afrika pada masa lampau, jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika selain gurun Saharanya, dan jauh sebelum bangsa Arab dan Shirazi (Persia) menemukan kota kota-kota eksotis di pantai timur Afrika seperti Kilwa, Lamu dan Zanzibar.
Pendek kata, penelitian dalam buku ini mengungkap bukti-bukti mutakhir bahwa para pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra jauh sebelum bangsa eropa, Arab dan China memulai zaman penjelajahan bahari mereka. Sejak abad ke-5 M, para pelaut Nusantara telah mampu menyeberangi Samudera Hindia hingga mencapai Afrika.
Para petualang Nusantara ini bukan hanya singgah di Afrika. Mereka juga meninggalkan banyak jejak di kebudayaan di seluruh Afrika. Mereka memperkenalkan jenis-jenis tanaman baru, teknologi, musik, dan seni yang pengaruhnya masih bisa ditemukan dalam kebudayaan Afrika sekarang.
Dalam buku karya Dick Read ini, ada beberapa hipotesis yang cukup mengejutkan, yaitu:
- antara abad ke-5 dan ke-7, kapal-kapal Nusantara mendominasi pelayaran dagang di Asia
- pada abad-abad itu, perdagangan bansga China banyak bergantung pada jasa para pelaut Nusantara
- sebagian teknologi kapal jung dipelajari bangsa China dari pelaut-pelaut Nusantara, bukan sebaliknya
- dari manakah asal emas berlimpah yang membuat Sumatera dijuluki Swarnadwipa (Pulau Emas) ? Mungkinakah dari Zimbabwe
- Mungkinkah tambang-tambang emas kuno di Zimbabwe dibangun oleh para perantau Nusantara ?
Dan masih banyak lagi data sejarah yang dipaparkan buku ini, yang pasti akan banyak mengubah pandangan kitas tentang kehebatan peradaban Nusantara pada masa kuno. Sebuah bacaan yang dapat menambah wawasan kita mengenai kehebatan nenek moyang bangsa ini.
Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal tarikh Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika selain Gurun Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan Shirazi dengan perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar.
”Meskipun (para pelaut Nusantara) tidak meninggalkan catatan dan bukti-bukti konkret mengenai perjalanan mereka, sisa-sisa peninggalan mereka di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui secara umum,” tulis Dick-Read pada pengantar buku terbarunya.
Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut-pelaut Indonesia pada masa lampau. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati.
Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang China sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, hingga abad VII kecil sekali peran kapal China dalam pelayaran laut lepas.
Perahu Jung China lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai.
Tentang hal ini, Oliver W. Wolters (1967) mencatat bahwa dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan China —juga antara China dan India Selatan serta Persia— pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa China hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.
I-Tsing, pengelana dari China yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 Masehi) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.
Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama di ”jalur sutra” melalui laut-meminjam istilah arkeolog Hasan Muarif Ambary (alm)-sangat bergantung pada peran pelaut-pelaut Indonesia. Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.
Masyarakat Bahari
Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2), mengidentifikasikannya sebagai orang-orang laut, sedangkan Dick-Read merujuk ke sumber yang lebih spesifik: orang-orang Bajo atau Bajau. Mereka ini semula berdiam di kawasan Selat Melaka, terutama di sekitar Johor saat ini, sebelum akhirnya menyebar ke berbagai penjuru Nusantara, dan pada sekitar abad XIV sebagian besar bermukim di wilayah timur Indonesia.
Peran yang dimainkan para pelaut Indonesia pada masa silam tersebut terus berlanjut hingga kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Para penjelajah laut dan pengelana samudra inilah yang membentuk apa yang disebut Adrian B Lapian, ahli sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air.
Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global.
Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat Nusantara dengan budaya maritimnya yang kental itu mengalami kemunduran. Monopoli perdagangan dan pelayaran yang diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda, walau tidak mematikan, sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut Indonesia.
Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, setelah PBB mengakui Deklarasi Djoeanda (1957) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, tradisi besar itu masih saja dilupakan. Kini, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan dijumpai di banyak tempat, sementara di sisi lain, kekayaan laut kita terus dikuras entah oleh siapa?
Sebagai penduduk Indonesia sudah sepatutnya kita berbangga diri. Pasalnya, nenek moyang bangsa Indonesia ternyata adalah orang yang gemar berpetualang menjelajahi penjuru Bumi dengan menyeberangi samudra hingga mampu menyebarkan berbagai peninggalan yang masih dapat dijumpai hingga kini di berbagai tempat dataran benua Afrika.
Hal itu menjadi bukti bahwa jauh sebelum bangsa Eropa membanggakan diri karena mengklaim bahwa pelayarannya adalah yang terhebat di dunia karena berhasil melakukan perjalanan keliling samudra pada abad XVI, ternyata nenek moyang bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu melakukannya. Bahkan penjelajahan penduduk Indonesia dibarengi dengan fasilitas perahu dengan teknologi modern dan sarana pendukung yang serba canggih pada masa itu, hingga membuat perjalanan menyusuri ’dunia baru’ bukanlah sesuatu hal yang sulit dilakukan.
Sehingga dapat dikatakan jika pelayaran itu sangat heroik dan jauh di luar batas kemampuan berlayar bangsa mana pun di dunia pada era tersebut. Padahal itu dilakukan pelaut Nusantara seribu tahun lebih sebelum petualangan Columbus di era modern.
Penjelajahan Bahari akan mengajak pembaca untuk sejenak menikmati romantisme kejayaan bangsa Indonesia kuno. Buku ini merupakan karya ilmiah hasil penelitian Robert Dick-Read, seorang Afrikanis dari London University yang disusun berdasarkan sumber data melimpah dan dapat dipertanggungjawabkan, yang merupakan hasil dari penelitian seni dan budaya di banyak daerah yang ada peninggalan sejarah dari Nusantara. Karir dan reputasi penulisnya dipertaruhkan dalam isi buku ini, karena hasil intrepertasinya bisa mengundang berbagai pertanyaan dan kecaman dari ahli sejarah yang berbeda pandangan dengannya.
Dari berbagai sumber yang telah diteliti, penjelajah laut dari Nusantara menginjakkan kakinya pertama kali di benua Afrika melalui Madagaskar. Kedigdayaan pelaut Nusantara yang tercatat pertama kali dalam sejarah adalah masa ketika kerajaan Sriwijaya, yang ibu kotanya di Palembang, tepatnya di tepi sungai Musi, berhasil membangun angkatan laut kerajaan terkuat, besar dan tangguh, yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.
Memang sejarah modern mencatat bahwa pelayaran keliling lautan luas pertama kali dilakukan oleh armada Cheng Ho dari negeri Cina dan pelaut Eropa di zaman Columbus. Padahal fakta itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun tidak ada catatan otentik yang tersisa, namun dapat disebut bahwa pelaut Nusantara yang dipelopori armada laut Sriwijaya sudah terlebih dahulu berhasil mengarungi samudra.
Menurut Robert Dick-Read, bukti mutakhir bahwa para pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, Cina, dan India memulai zaman penjelajahan bahari masih bisa ditelusuri buktinya. Karena sejak abad ke-5 masehi, para pelaut Nusantara sudah mampu menyeberangi Samudra Hindia hingga mencapai benua Afrika dan masih meninggalkan jejak nyata hingga sekarang.
Sebuah inskripsi kuno pada abad VII masehi yang ditemukan di Palembang menyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya adalah kelompok pertama pelaut Nusantara yang berhasil menyebarkan armadanya hingga daratan Afrika. Pasalnya, pada zaman keemasan Sriwijaya, saat itu penguasa kerajaan membutuhkan emas dalam jumlah besar dan mereka mendatangkan pasokan emas itu dari pertambangan emas kuno yang ada di Zimbabwe. Ditambah bukti adanya banyak penduduk Madagaskar pada masa lalu yang melakukan hubungan dengan penghuni Sumatra Selatan semakin menguatkan asumsi bahwa angkatan laut kerajaan Sriwijaya telah berhasil menduduki tanah yang ditemukannya itu.
Para petualang Nusantara ini tidak sekedar hanya singgah di dataran Afrika, melainkan juga menetap dan meninggalkan banyak kebudayaan di seluruh dataran yang berhasil disinggahinya. Banyaknya jejak pelaut Nusantara tersebut meninggalkan kebudayaan diantaranya dengan ditemukannya teknologi, tanaman baru, musik, dan seni yang pengaruhnya masih bisa dijumpai dalam kehidupan masyarakat Afrika sekarang.
Misalnya dalam kehidupan masyarakat Zanj yang menghuni daerah Madagaskar bagian utara, mereka menangkap buruan dengan menggunakan keranjang yang sebenarnya mirip dengan teknik menangkap ikan di semenanjung Malaya dan Indonesia. Tidak banyak yang diketahui untuk mengungkap asal usul ras tersebut, namun ada satu petunjuk yang akan menggiring kita untuk menemukan jawabannya, yaitu Zanj adalah ras keturunan Afro-Indonesia yang menetap di Afrika Timur.
Bahkan, tanaman ubi jalar, pisang raja, dan beragam jenis pisang yang hidup di daratan Afrika Timur juga merupakan tanaman yang dibawa oleh penjelajah Indonesia yang melakukan perjalanan ke Madagaskar. Dan pada waktu yang sama tanaman itu menyebar sampai Afrika Barat karena dibawa melalui perjalanan darat melalui Somalia, Ethiopia Selatan, dan Sudan (hal. 237).
Fakta di atas juga digunakan Alexander Adelaar (pakar lainnya) ketika mempelajari asal-usul bahasa Madagaskar. Dari hasil analisisnya, dia bahkan berani membeberkan hipotesis bahwa bahasa penduduk Madagskar (Malagasi) dan Melayu sangat mirip. Tidak hanya itu, kekuatan unsur genetik dan budaya Afrika di Madagaskar yang sangat besar, serta banyaknya jumlah kata dalam perbendaharaan kata masyarakat Afrika semakin memperkuat asumsi bahwa pulau tersebut dulu dihuni bangsa Afro-Indonesia, yang merupakan cikal bakal penduduk Nusantara.
Dalam buku ini, pembaca akan menemukan berbagai hipotesis mengejutkan yang mungkin selama ini belum pernah terpikirkan sebelumnya. Karena tidak ada literatur yang dengan secara gamblang menulis bukti bahwa antara abad ke-5 dan ke-7, kapal Nusantara telah berhasil mendominasi pelayaran dagang di kawasan Asia hingga mampu menjelajah jauh sampai ujung Afrika.
Bahkan jika selama ini masyarakat banyak percaya bahwa peradaban bangsa Cina menjadi pusat peradaban dunia tempo dulu, fakta itu termentahkan setelah membaca buku ini. Meskipun tak dimungkiri jika peranan Cina juga cukup besar di Asia, namun pada abad V sampai VII masehi perdagangan bangsa Cina banyak tergantung pada jasa dan suplai produk para pelaut Nusantara, bukan sebaliknya seperti yang selama ini tertulis diberbagai literatur.
Buku Dick-Read ini menyajikan beragam data sejarah yang selama ini belum banyak diketahui masyarakat luas, bahkan kalangan sejarawan. Sehingga pembaca berpotensi akan banyak mengalami perubahan paradigma berpikir setelah membaca secara detail rangkaian fakta kehebatan peradaban Nusantara pada masa kuno yang pelayarannya mampu menyeberangi samudra hingga menemukan benua Afrika. (Sumber:http://howto-bagaimana.blogspot.com/2010/03/jejak-warisan-pelaut-nusantara-di.html)