Wawacan Sulanjana telah melalui perjalanan waktu yang panjang, ada yang tertulis pada lontar sampai ke buku biasa, dan ada pula yang telah dicetak. Tentu saja dalam perjalanan panjang sebuah teks terjadi perkembangan-perkembangan makna, baik makna-makna detail maupun makna secara menyeluruh, karena bagaimanapun sebuah teks sangat dipengaruhi dan memengaruhi kehidupan.

Oleh: Kalsum*
DESEMBER 24, 2014

Wawacan Sulanjana sebuah naskah Sunda yang dibacakan dalam ritual pertanian terutama siklus penanaman padi dengan sesajen untuk di sawah maupun sesajen untuk dimakan bersama. Teks diawali peristiwa di Kahiangan, Naga Anta tak mampu menunaikan tugas dari Batara Guru, menititikkan air mata, yang berubah menjadi telur dan salah satunya menetas menjadi Dewi Sri. Dewi Sri wafat dan tumbuh menjadi berjenis tumbuhan di antaranya padi.

Padi dititipkan kepada Prabu Siliwangi untuk ditanam di Pakuan, sehingga Pakuan menjadi Negara makmur. Padi akan dibeli oleh nakhoda Dempu Awang. Prabu Siliwangi tidak melayani pembeliannya karena padi merupakan titipan Dewa. Dampu Awang bersekutu dengan bala tentara berupa hama padi namun bisa dilindungi oleh Sulanjana, putra Batara Guru.

Hadir dan campur tangannya Batara Guru terhadap padi merupakan indeksikalitas deiksis yang berperan dalam pemulihan padi. Dilihat dari struktur teks dan kontekstual dengan pendekatan semiotic mengusung pemuliaan terhadap padi guna menyelenggarakan kesejahteraan bersama.

I. Pendahuluan

Rasa kebersamaan merupakan kekuatan dalam menata kehidupan, yang kini mengalami pengikisan sehubungan kemajuan teknologi yang sangat pesat, mengemukannya secara luar biasa gaya hidup konsumtif, dan sejumlah penyebab lain dari penggilasan kehidupan modern terhadap tradisi. Berbagai kearifan-kearifan masa lalu musnahlah dalam waktu yang singkat.

Padahal hal positif yang dimunculkan oleh rasa kebersamaan dalam menata kehidupan ke depan yang lebih baik masih sangat perlu, antara lain merasakan simpati empati kepada sesame, tergantung rasa, saling menghormati, saling memberi ruang untuk kemajuan dan banyak lagi. Selain itu rasa kebersamaan merupakan alat kontrol masyarakat apabila ada anggota masyarakat yang melanggar norma-norma kehidupan.

Sehubungan dengan itu, salah satu naskah sunda yang membangun rasa kebersamaan, yang terkenal di masyarakat berjudul Wawacan Sulanjana. Naskah ini juga disebut pula Wawacan Sajarah Karuhun Kabeh, Wawacan Dewi Sri, Wawacan Babarit. Penyebutan Wawacan Babarit sehubungan siklus perkembangan tumbuhan padi ketika biji padi sedang isi disebut keur reneuh(hamil) dan kehamilan perempuan dalam usia 7 bulan suka diselenggarakan ritual babarit. Naskah ini dibacakan pada ritual siklus penanaman padi.

Yang menjadi pokok bahasan, struktur dan kontekstual Wawacan Sulanjana dalam rangka ritual siklus penanaman padi. Ritual, membangun rasa kebersamaan karena dalam penyelenggaraannya berbagi kebahagiaan dengan berbagi makanan. Adapun dilihat dari struktur naratif Wawacan Sulanjana membangun rasa kebersamaan dalam menyelenggarakan ritual siklus penanaman padi sejak guar bumi sampai panen dengan pembacaan Wawacan Sulanjana, tahun 80-an masih ditemukan di wilayah kota Kabupaten Majalengka.

Diperkirakan, pada masa lalu kegiatan ritual ini secara merata dilaksanakan di wilayah Jawa Barat dengan ditemukannya naskah ini di berbagai tempat dan ritual penanaman padi di sejumlah tempat antara lain; Majalengka, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang terutama dalam peristiwa nyalin / mipit / mitembayan panen / mulai menanam padi. Hal yang sangat menarik dalam penyelenggaraannya yakni membuat saung sanggar tempat menyimpan sesajen, dan sesajen berupa makanan untuk dimakan bersama.

Di Majalengka dibuat dari daun kelapa yang dianyam sangat indah dalam bentuk ular yang dirangkaikan dengan sejumlah dedaunan, di Sumedang terdapat sebuah saung yang sangat indah. Di Kabupaten Bandung, makanan, pakaian perempuan yang bagus-bagus, dan sesajen ditutup dengan tamaya dan boeh raring, dilindungi payung. Di dalam Wawacan Sulanjana pun secara tersurat, terdapat ritual-ritual yang harus dilakukan untuk kesuburan padi.

Dalam kehidupan sehari-hari pemuliaan terhadap padi ini terutama pada masyarakat petani masih kental dilakukan antara lain, tidak membuang-buang padi, beras, atau nasi, secara sembarangan, memperlakukan padi dengan sangat hati-hati umpamanya dengan penyebutan Puhaci atau Nyi Sri, mengeluarkan atau memasukan padi ke leuit (bangunan tempat menyimpan padi) secara hati-hati.

Membangun leuit secara khusus yang berbeda dengan bangunan rumah, menyimpan dedaunan di leuit untuk Dewi Sri, membuat tempat khusus di rumah untuk menyimpan padaringan (tempat beras) yang disebut pasren/sepen/goathdengan beberapa benda-benda dupaya Dewi Sri betah antara lain; air di kendi, hanjuang, bentuk semacam ular, tempat Dewi Sri tidak boleh dimasuki laki-laki, melindungi beras dengan sawen (penutup beras dari daun pisang) apabila akan mencuci beras.

Mengadakan ritual siklus penanaman padi, membuat alat masak yang khusus untuk menanak nasi, tidak boleh menduduki tempat dewi sri antara lain; tampah, tidak boleh bersiul di dalam rumah supaya Dewi Sri tidak takut, dan banyak lagi. Kiranya berbagai fenomena tersebut berupa refleksi pada masa lalu dari mite padi. Kisah kejadian padi diantaranya terdokumentasi dalam Wawacan Sulanjana.

Walaupun masyarakat sudah beraga Islam secara mendalam namun masyarakat tetap memercayai dan melaksanakan ritual padi. Hal ini tampak pula upaya legitimasi isi supaya dapat diterima oleh pemeluk agama yang baru yakni Agam Islam seperti terdapat pada Exordium: Silsilah Nabi Adam, Kisah diambil dari Bahasa Arab, Mantra padi yang diwarnai bahasa Arab. Teks diakhiri oleh Kidung Slamet, yang juga diwarnai Islam.

II. Prafase Wawacan Sulanjana

Kisah Wawacan Sulanjana ini diambil dari sebuah naskah milik Rukmin di Desa Kulur Kecamatan Majalengka Kabupaten Majalengka, Penyalin/penyadur (?) Wangsa Harja pada tahun 1965 dengan aksara Pegon. Kiranya naskah ini merupakan salinan/saduran yang sangat mirip dari Wawacan Sulanjana yang lebih tua yang disalin oleh Asiyem tahun 1897.

Teks Wawacan Sulanjana sangat tua ada yang tertulis pada lontar dan tahun 1965 masih ditulis dan digunakan orang untuk pembacaan pada ritual siklus penanaman padi. Di Majalengka kisah ini dapat dipergelarkan pula dalam Cerita Pantun dan Wayang Kulit Ringgit Purwa yang kisahnya hamper sama.

Wawacan Sulanjana menggunakan urutan pupuh Asmarandana, Sinom, Pangkur, Durma, Pucung, Dangdanggula, Durma, Pangkur, Kinanti, Dandanggula. Teks yang dijadikan objek penelitian Wawacan Sulanjana dari Kulur yang ditulis oleh Wangsa Harja tahun 1965 dan sebagian yang ditulis oleh Asiyem. Bagian Teks menurut pengunaan pupuh sebagi berikut:

1). Silsilah Nabi Adam. Kerajaan jagat raya dirajai oleh Sang Hyang Tunggal (Batara Guru) dengan patihnya Narada, akan membuat Bale Pancawarna. Dewa Anta tak bisa menunaikan tugas, keluar tiga buah telur dicakar oleh Elang. Telur terjatuh dua butir lahir Kala Buat dan Budug Basu.

Satu butir telur ditugaskan oleh Batara Guru untuk dierami, dan menetas menjadi Dewi Sri. Di Tegal, Kapapan Idajil kencing diminum oleh sapi betina lahir Sapi Gumarang yang sakti, Kala Buat dan Budug Basu diangkat anak oleh Sapi Gumarang. Dewi Sri diserahkan kepada Batara Guru, disusui oleh Dewi Uma, diasuh oleh Dewi Esri. (Asmarandana)

2). Dewi Puhaci dewasa, sangat cantik, Batara Guru jatuh cinta. Pemikiran Narada jangan sampai Batara Guru menikahi Dewi Sri. Dewi Sri diberi buah khlodi, ketagihan lalu meninggal. Mayat Puhaci diurus oleh Aki Bagawat dikubur di Banyu Suci. Dari perkuburan tumbuh padi dan tanaman lainnya antara lain dari kepala kelapa, dari tangan enau.

Semar dan anak-anaknya diperintahkan membawa seluruh tanaman untuk ditanam di Pakuan yang dirajai oleh Prabu Siliwangi. Pakuan subur makmur. Dewi Nawangwulan ditugaskan memasak padi, satu tangkai padi cukup untuk memberi makan orang banyak. Prabu Siliwangi berjanji tak akan mengganggu masakan istirnya. (Sinom)

3). Budug Basu mencari saudaranya, Dewi Sri, Ke Suralaya, mendapat keterangan bahwa Dewi Sri sudah wafat. Budug Basu mengelilingi perkuburan Dewi Sri selama 7 keliling lalu meninggal. Mayat Budug Basu digotong oleh Kalamula dan Kalamuntir mengelilingi jagat, tembelanya tertimpa pohon gebang, mayat Budug Basu menjadi binatang darat dan laut.

Semua binatang mengabdi kepada Sapi Gumarang. Waktu Dewi Puhaci masih hidup Batara Guru keluar kama, jatuh di bumi tujuh, keluar Sulanjana, Talimendang, dan Talimenir, dipelihara oleh Dewi Pertiwi. Setelah besar ketiganya menyusul ayahnya. (Pangkur)

4). Sulanjana dan saudaranya menemui Batara Guru. Mereka dititipi Suralaya karena Batara Guru dan Narada menjadi burung pipit untuk memeriksa padi di Pakuan. Semar dan anak-anaknya marah karena tanaman diganggu burung pipit, lengan pohon kawung dipotong oleh Semar sehingga mengeluarkan rasa manis. (Durma)

5). Dempu Awang seorang nakhoda datang ke Pakuan untuk membeli beras, diterima oleh Kaliwon. Prabu Siliwangi tidak melayani maksud pembelian padi karena ia tidak merasa memilikinya hanya dititipi oleh pemiliknya Batara Guru. Dempu Awang sakit hati, lalu mendatangi Sapi Gumarang di Tegal Kapapan untuk meminta pertolongan merusak padi. Sapi Gumarang memerintahkan Kala Buat, Budug Basu, Celeng Wijung beserta binatang lainnya merusak padi. (Pucung)

6). Padi di Pakuan Rusak, Batara Guru menugasi ketiga putranya mengindarkan bahaya tersebut. Sekejap mata tumbuhan menjadi segar kembali malah lebih bagus dari semula. Sapi Gumarang malu, marah, dan merasa takut, akan tetapi tak mau menyerah. (Dangdanggula)

7). Sapi Gumarang membuat angin panas mengeluarkannya dari sebelah timur. Gangguan ini bisa diatasi dengan bantuan Sulanjana yang ditugasi oleh Batara Guru. Gangguan datang berkali-kali dan dapat pula diatasi. (Durma)

8). Setiap gangguan Sapi Gumarang dapat diatasi. Sapi Gumarang sangat marah ia menantang perang tanding kepada Sulanjana. Sulanjana meminta restu kepada Batara Guru. Batara Guru menasehatinya jangan takut dan jangan juga lengah karena berperang dengan Idajil. Sapi Gumarang kalah, ia takluk dan berjanji akan mengabdi kepada Sulanjana serta akan melindungi padi. Ketiga anak Batara Guru dititipi padi yang ada di Pakuan. (Pangkur)

9). Prabu Siliwangi ingin sekali mengetahui cara memasak padi. Ketika sedang memasak Dewi Nawangwulan ingin buang air, masakannya dibuka oleh Prabu Siliwangi. Dewi Nawangwulan tahu apa yang telah terjadi. Jatuhlah talak kepada dirinya. Ia memerintahkan untuk membuat alat memasak nasi, bakul, kukusan, dalung/seeng (dandang), lesung dengan tiga buah lubang, dua buah lubang dipingir untuk menempatkan Talimendang dan Talimenir. Ia pun kembali ke Kahiangan.

Prabu Siliwangi menyusul supaya Dewi Nawangwulan dikembalikan tapi permintaannya tidak dipenuhi oleh Batara Guru. Batara Guru menyampaikan saat yang baik untuk melaksanakan pertanian. Dewa Anta diperintahkan menjaga Dewi Sri di Pakuan dan namanya berganti menjadi Dewa Naga Anta. Apabila di sawah atau leuit didiami oleh Dewa Naga Anta pasti akan subur. (Kinanti)

10). Kidung Salamet terdiri dari 8 pada/bait. (Dangdanggula)

II. Kajian Teori

Di kabupaten Majalengka sampai pada tahun 1980-an Wawacan Sulanjana dibacakan dalam ritual siklus penanaman padi. Dilihat dari segi wacana, antara perilaku ritual dengan isi yang diusung oleh teks secara konstektual tak bisa dipisahkan.

Namun keduanya secara dialektis membangun makna secara terus menerus, keduanya memiliki kepararelan makna yakni membangun kemuliaan padi dalam rangka menjaganya secara hati-hati untuk membangun kesejahtraan bersama. Pendapat tentang mite Dewi Sri sebagai berikut:

In essence the Dewi Sri Myth details how this goddess in one or another oh her manifestations is tranformed, into useful crops, among with prominently rice, as well as the supernatural, social and natural realtions, including the origin of settled life, the are attendant of this transformation (Wessing, tt:1).

“Konsep teks bukan hanya bahasan yang mengendap pada tulisan, melainkan juga mengendap kepada setiap tindakan manusia yang memiliki makna” (Ricoeur, 2003:224). Walaupun keadaan ritual dan teks sangat menyatu, namun kemudian keduanya berjalan sendiri-sendiri seperti yang ditemukan dibeberapa kabupaten di Jawa Barat, tidak melalu pembacaan Wawacan Sulanjana lagi. Dari sejumlah mantra yang berhubungan dengan pertanian tedapat bagian-bagian dari Wawacan Sulanjana.

Wawacan Sulanjana telah melalui perjalanan waktu yang panjang, ada yang tertulis pada lontar sampai ke buku biasa, dan ada pula yang telah dicetak. Tentu saja dalam perjalanan panjang sebuah teks terjadi perkembangan-perkembangan makna, baik makna-makna detail maupun makna secara menyeluruh, karena bagaimanapun sebuah teks sangat dipengaruhi dan mempengaruhi kehidupan.

Namun ciri fundamental teks dalam konteks ritual mengusung maksud parallel yakni untuk kesuburan, kesalamatan tanaman, dalam rangka mendukung kesejahtraan hidup manusia. “Makna sebuah teks tergantung kepada kerangka acuan (frame of reference) di mana pembaca membidikkan padanya . (Cavallaro, 2004:91). Dalam pemaknaan Wawacan Sulanjana kiranya tepat dengan penelusuran kesejarahan teks.

Untuk mengungkapkan keseluruhan teks Wawacan Sulanjana akan digunakan pendekatan struktural, karena pendekatan objektif tidak akan menghasilkan makna penuh dari teks, dan bahkan mungkin akan menimbulkan salah pengertian. Hal itu disebabkan secara arti, mitos seperti yang terkandung dalam teks ini akan sulit untuk dipahami, jika dipandang secara objektif, karena menyajikan banyak “ketidaklogisan”.

Ketidaklogisan dalam mite bukanlah hal yang menjadi tujuan pengungkapan. Mite secara berkesinambungan dari generasi ke generasi telah berada dalam alam pikiran masyarakat pemilk. Keberadaan ini merupakan kenyataan nonfactualcounterfactual, kenyataan yang hanya dibayangkan tidak bersifat indrawi.

Seluruh tanda-tanda yang berada dalam sebuah teks menyajikan genre tertentu dari sebuah karya. Setiap mite menyalurkan makna-makna tersembunyi yang mempengaruhi sikap hidup penghayatnya.

Wawacan Sulanjana memiliki indeks ke dunia nyata maupun ke dunia nonfactual.  Selanjutnya untuk mengungkapkan bahwa Wawacan Sulanjana membangun kesejahteraan bersama melalui pendekatan semiotik. Semiotik adalah ilmu tanda. “Semiotik di dalam ilmu Sastra mencari arti ‘kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu” (zoest, 1993).

Antara tanda dan kenyataan yang ditunjuk dibedakan first, second, dan third. Firstness, adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk sesuatu yang lain. “Proses penafsiran ini dapat terjadi karena tanda yang bersangkutan merujuk pada suatu kenyataan (denotatum). Setelah itu terjadi pembentukan tanda baru di dalam pikiran si penafsir.

Tanda baru ini di dalam semiotic disebut interpretant” (Zoest, 1980:3). “Ada tiga unsur yang menentukan tanda: tanda yang dapat ditangkap itu sendiri, yang ditunjukan, dan tanda baru dalam benak si penerima tanda. Antara tanda dan yang ditunjuknya, terdapat relasi: tanda mempunyai sifat representativ. Tanda representasi mengarah pada interpretasi; tanda mempunyai sidat interpretatif” (Zoest, 1993:14).

Relasi tanda dengan denotatum jika melalui kemiripan merupakan tanda ikon, tanda yang merujuk pada denotatumnya atas dasar hubungan kontinuitas disebut indeks, dan tanda yang menunjukan pada denotatumnya berdasarkan konvensi disebut sebagai simbol. Ciri penting dari tanda:

1). Tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda

2). Tanda bisa “ditangkap”

3). Tanda menunjuk kepada sesuatu yang lain. Tanda atas dasar suatu yang lain disebut “ground”.

Tanda dibedakan berdasarkan sifat groundnya. Qualisigns,  adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Sinsign,  tanda-tanda yang merupakan tanda atas daasr tampilannya dalam kenyataan. Legisins adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar pengakuan yang berlaku umum, berupa konvesi atau kode.

Dalam pembahasan akan memanfaatkan istilah yang berhubungan dengan kemungkinan adanya ketidakcocokan antara unit ucapan dan unit aksi ujaran yakni locution dengan kata sifat locutionary,  yakni suatu yang diucapkan, illocutionyakni sesuatu yang mengandung makna tidak sesuai dengan apa yang diucapkan, perlocution, kekuatan dan aksi ujaran yang berdampak pada pendengaranya (Purwoko, 2008:84-45).

Wawacan merupakan cerita panjang yang dibangun dalam bentuk pupuh. Unsur struktur yang akan dijadikan bahan kajian yakni struktur naratif fan struktur penyajian. Struktur penyajian atau dari sudut wacana merupakan urutan tutur wawacan memiliki urutan tutur (scripts) yang mentradisi.

Wawacan Sulanjana memiliki struktur penyajian yang tidak seperti wawacan pada umumnya, baik di dalam struktur yang naratif maupun scripts terkandung indeks. “Teks hasil karya seseorang pengarang memiliki indeksikal pribadi mereka” (Zoest, 1980:53).

IV. Struktur Alur dan Struktur Penyajian

Pembahasan struktural dari segi naratif hanya meliputi struktur alur, karena unsur struktur yang lainnya, setting dan tokoh, akan terbahas padai bagian V. Struktur lainnya yang dibahas yakni Struktur Penyajian.

A. Struktur Alur

Kisah Wawacan Sulanjana secara ringkas sebagai berikut:

1)   kelahiran Puhaci/Dewi Sri

2)   Muncul tokoh pelindung dan perusak padi; pelindung Sulanjana, Talimendang, Talimenir. Perusak; Sapi Gumarang dan anak buahnya.

3)   Puhaci/Dewi Sri menjelma menjadi padi.

4)   Terjadi perlindungan dan pengrusakan

5)   Kekalahan perusak.

6)   Semua menjaga tanaman padi.

Alur tersebut diskemakan sebagi berikut:

Pelindung                              Perlindungan

Kelahiran Puhaci + Kematian, penjelmaan + penjagaan

Perusak                                  Pengrusakan

B. Struktur penyajian

Struktur penyajian:

I Exordium/Manggala/Pembukaan

II Silsilah,

III Isi,

IV Kolofon

Kidung Salamet

V. Konteks Kebersamaan

Dari fenomena mantra siklus penanaman padi,  seolah-olah ada benang merah yang menghubungkan antara Wawacan Sulanjana dengan mantra-mantra pertanian yang berada dalam kelisanan yang berada di Jawa Barat, di antaranya keterhubungan tersebut sebagai berikut:

Mantra dari Wawacan Sulanjana (Majalengka)

Nyi Puhaci sarining Esri
Kanyatan jangkaring sahadat
Hurip tangkal daun kabeh
Tangkal ngawasa hirup
Kembang anu ngahirupkeun
Panon holang anu nawa
Puhaci sarining hirup
Asup tawa tina tangkal
Asup tawa kana Esri
Esri eling jangji Rama
Tina tangkal dihirupkeun deui
Aya hirup ku salwat nyawa
Jadi sampurna hirup teh
Dihirupkeun ku Yang Agung.

(Pupuh ke tujuh serangan kedua)

Mantra Pertanian dari Kaupaten Garut yang berkembang dalam kelisanan

Nyi Pohaci Sang Hiyang Sri
Jangkaring Sahadatulah
Hurip gedong peteng iman
Panon holang sira jatining inget
Sira hirrasa kaniatan yukti
Tumunggang dadiya hurip
Hurip bareng kalawan nyawa
Sun angkem sing bang satunggal
Hirup ku kersaning Allah.

Yang lainnya pada mantra Dalam Wawacan Sulanjana

Caritana jampena Den Sulanjana
Eta ekeur jaman tadi
Lamun sia nyaba
Ulah mawa biwir sia
Rejeung sia ulang beuki
Jeung ulah hayang
Lamun hayang ulang beuki  

Mungkemba Hong Culang Caling Kem
Hama minggem maning kem
Sungut sia biwir sia
Eta rejeung mata sia
Manah mata irung deui
Sang Gemet hama
Manah sia ulah tanghi

Pibungkeman dari Kabupaten Bandung

Ong calang calingkem
Sangka papada ningkem
Ret bae kem sajagat kabeh
Bayu leuleus bayu leumpeuh
Bayu sabda kahemengan
Ret meneng sajagat kabeh

Ketika Dewi Nawangwulan jatuh talak karena Prabu Siliwangi melanggar janji yakni melihat masakan padi, lalau Nawangwulan kembali ke kahiangan. Dewi Nawangwulan menugaskan membuat alat-alat untuk mengolah dan memasak padi seperti berikut: Untuk mengolah padi harus disediakan lesung berlubang tiga (lihar uraian sebelumnya).

Untuk memasak di antaranya dalung, dulang (wadah pendingin nasi terbuat dari kayu), boboko (bakul), aseupan (kukusan), pangarih (alat pembolak-balik nasi dari kayu) dan ceceting (bakul kecil).

Terjadi perang tanding antara Sulanjana dan Sapi Gumarang. Setelah Sulanjana tiga kali menyerang, kalahlah Sapi Gumarang. Ia takluk dan akan mengabdi sebagai penjaga padi, dengan syarat petani harus menyambat (menyeru) Sapi Gumarang, Budug Basu, dan Kala Buat apabila tebar (menebar benih), tandur (menanam tanaman padi di sawah), mitembayan (memulai), sambil menendang bumi 3 kali dan membuat pupuhunan yang diberi ciri dengan daun paku.

Pupuhunan di Baduy dibuat waktu permulaan menanam padi di huma. Di daerah lainnya pupuhunan disebut juga saung sanggar. Bentuk pupuhunan/saung sanggar diberbagai tempat berlainan. Sesajennya dan persayaratan pun bermacan-macam pula.

Hal yang penting di dalam saung sanggar hendaknya disediakan berjenis makanan dan minuman; nasi dan lauk pauk, makanan ringan, bermacam-macam penganan dari beras dan minuman biasanya 7 macam rurujakan.

Ritual ini merupakan kebersamaan masyarakat, keluarga, handai taulan, tetangga terutama anak-anak. Mereka makan bersama. Pada umumnya persyaratan yang ada yakni daun sulangkar. Menurut keterangan dair Sumedang sulangkar berasal dari “ulah salaya ulah ingkar”. Diperkirakan, makna “ulah salaya ulah ingkar” ini dirunjukan kepada Dewi Sri dalam memakmurkan imat manusia (Kalsum, 1991).

Waktu yang baik dan tidak baik yang diwejangkan Batara Guru kepada Prabu Siliwangi, kiranya sampai sekarang masih digunakan yakni pedoman kegiatan penanaman padi dari hari Minggu sampai Sabtu di antaranya sebagai berikut:

Poe Ahad isuk-isuk
Dawuhan turuning Esiri
Pecat sawed halangan
Turun dunya tengah hari
Lohor keur kalapatina
Wayah Asar dawuh sepi  

Poe Senen isuk-isuk
Dawuhna teh dawuh sepi
Pecat sawed turun dunya
Tengah poe kalapatina
Lohor keur turun Esrina
Wayah Asar dawuh sepi

Terjemahan:

Hari Minggu pagi-pagi
Waktu turun Esri
Jam 11 alangan
Turun kekayaan tengah hari
Lohor waktu maut
Waktu Asar sepi  

Hari Senin pagi-pagi
Waktunya sepi
Jam 11 turun kekayaan
Tengah hari maut
Waktu duhur turun Esri
Waktu Asar sepi

VI. Konsep Kesejahteraan Bersama dalam Teks Wawacan Sulanjana

Pada masa lampau ada dua parameter untuk ukuran memenuhi syarat sejahtera yakni “sandang dan pangan”. Kiranya sandang urutan pertama yang sangat dibutuhkan, ketika masyarakat Sunda khususnya setelah masuk Islam, sandang untuk menutupi badan dalam rangka beribadat.

Hal ini tampak pada naskah Nyai Lokatmala, sebuah naskah masa transisi antara masa pra-Islam dengan Islam. Pada teks naskah itu terkandung dua hal, yakni pemuliaan alat-alat tenun dan pemuiaan padi/beras/nasi, dihubungkan dengan tugas wanita dalam keluarga. Yang sangat menarik dalam teks ini ada ungkapan bahwa seorang wanita yang menyelenggarakan kesejahteraan dalam keluarganya akan tersenyum ketika ajal.

Konsep dasar teks Wawacan Sulanjana kranya sudah melalui rentang waktu yang sangat panjang dan ketika masyarakat menganut Islam unsur Islam masuk pula seperti tergambar pada cuplikan-cuplikan juga alur Wawacan Sulanjana. Dewi Sri disusui oleh Dewi Umah, istri Batara Guru.

Ketika akan menghentikan hidup Dewi Sri, ia diberi buah kholdi. Kiranya teks Sulanjana ini lebih tua dari Nyai Lokatmala, walaupun teks Lokatmala termasuk tua karena di dalamnya mengandung pemikiran-pemikiran sufi. Teks Lokatmaladiperkirakan berasal dari awal Islamisasi karena kepercayaan kepada para Dewa masih sangat kental.

Adapun konsep kesejahtraan bersama pada Wawacan Sulanjana sebagai berikut:

1. Struktur penyajian (Scripts)

Struktur penyajian apabila dilihat dari segi wacana, yakni urutan aksi dalam situasi (scripts) (lihat Purwoko, 2008:98). Analohi ururtan aksi dalam situasu tersebut, dalam wacana tulis seolah-olah, setiap struktur urutan tutur memiliki cara snediri-sendiri sebagai tanda yang bermakna. Struktur ururtan tutur/penyajian akan menggunakan istilah scripts supaya tidak tumpang tindih dengan struktur formal.

Scripts/penyajian wawacan pada umumnya terdiri dari tiga bagian, pertama manggala/exordium/pembuka, kedua isi/kisah, ketiga kolofon. Pada Wawacan Sulanjana terdiri dari exordium yang berisi tahun penuisan, identitas penulis, yakni Wangsaharja (wangsa Harja) orang kulur dengan merendahkan diri (captatio bonevolintiae), pengharapan dari penulisan supaya mendapat berkah. Kemudian silsilah dimulai dari Nabi Adam sebagak 7 pada dalam pupuh Asmarandana.

Isi dan terakhir, Kolofon menceritakan selesai penulisan. Dilihat dari scripts penulisan ini jelas memohon keberkahan, dan silsilah pun diperkirakan untuk keberkahan pula, selain itu memasukan unsur Islam untuk pengharapan pengakuan/penerimaan (legitimasi) atas teks pada masyarakat Islam, seolah-olah tkes naskah ini bersifat Islami. Bagian terakhir ditutup dengan Kidung Salamet.

Sebelum Kidung tertulis : “Kidung paranti numbal cai tas nembang”, Kidung untuk menumbal (memantrai) air setelah menembang. Bagian ini dalam ritual merupakan hal yang penting yakni doa, yang tujuan dari unit tkes sama dengan isis yang inti permasalahannya yakni pemuliaan terhadap padi.

Kidung ini sebanyak 8 pada (bait) dalam pupuh Dangdanggula. Pupuh Dangdanggula mengandang makna keagungan. Tranliterasi beberapa cuplikan pada sebagai berikut:

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh rahayu dalam kena lara
Luputing balai kabeh
Jin setan datanpurun
Peneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala  

Geni datan purun
Geni katemahan tirta
Maling adoh peregi mami
Guna dudukunan sirna  

Sakehe lara tan anlaki
Sakehing ama pada sumingga
Dadi asih paningale
Sakehing baraja luput
Kadi kapuk tibaning reki
Sakehing wisa tawa
Sato miruda mutut

Terjemahan:

Inilah Kidung penjaga malam
Meneguhkan kesalamatan, tak dikenai sakit
Terlepas dari semua bahaya
Jin setan tak mau (mengganggu)
Santet tak ada yang berani
Begitupun kerja orang lain yang berakibat buruk

Hawa nafsu tak mau
(seperti) api tertimpa air
Pencuri menjauh pergi dariku
Guna-guna para dukun sirna

Semua penyakit tak ada yang berani
Semua hama menghindar
Menjadi kasih dalam penglihatan
Semua penyakit (yang dibuat orang) lepas
Seperti kapas jatuh ke tempat dekat
Semua bisa tawar
Binatang perintang takluk

Dilihat dari scripts terutama silsilah dan Kidung Salamet berupa tanda yang mengacu kepada denotatum doa. Silsilah tidak hanya berupa lokuioner hanya menyajikan urutan keturunan namun juga ujaran ilokusioner yang pada umumnya memiliki perlokusioner memohon keberkahan dan Kidung Salamet merupakan tanda ikonis yang mengusung harapan seperti yang tertera pada teks yakni keselamatan. Keselamatan padi ada kaitannya dengan kesejahteraan bersama.

2. Struktur Naratif

Dilihat dari struktur naratif kisah ini memunculkan permasalahan padi, asal-usul padi yang berasal dari dunia atas mengindikasikan bahwa padi tidak boleh disia-siakan. Lalu muncul tokoh-tokoh pengganggu yang menimbulkan konflik berupa penyerangan terhadap padi.

Muncul pelindung untuk mengatasi padi dari serangan ham, yang berakhir dengan perlindungan terhadap padi. Kiranya semua unsur struktur tokoh yang menuju pada perlindungan atas padi mengamanatkan untuk perlindungan atas padi karena padi makanan pokok, makanan pokok berkaitan dengan masyarakat golongan kaya atau miskin. Tokoh pelindung dan perusak sebagai berikut:

a). Sejak dari bentuk telur Dewi Sri sudah menjadi masalah yang ditangani oleh Batara Guru Raja di Kahiayanganm artinya Dewi Sri dilindungi oleh penguasa Kahiangan yang kebijakannya berimbas pula pada penguasa dan takyat kehidupan dunia. Ketika Negara Pakuan menjadi negara yang subur makmur, datang Dempu Awang akan membeli padi.

Prabu Siliwangi menolak sebab padi bukan miliknya ia hanya merasa dititipi oleh Batara Guru. Prabu Siliwangi seorang tokoh yang berada dalam alam pikiran Sunda, walaupun tidak secara jelas figurnya, namun sangat dihormati, digandrungi dan dimuliakan. Para bupati pada jaman penjajahan Belanda menyusun silsilahnya rata-rata mencantumkan Prabu Siliwangi sebagai leluhurnya.

Dalam hal ini ground Prabu Siliwangi hadir dalam Wawacan Sulanjana bukan tanpa arti, namun sebagai tanda sinsigns yang kemuliaannya untuk pendukungan kemuliaan padi. Jawaban Prabu Siliwangi sebagai berikut, dalam Wawacan Sulanjana yang ditulis Asiyem:

Tatapina Dempu Awang

Kaula ngawangsul

Bab perkara pare

Sugih pisan tatapi ayeuna tancan

tacan pisan kaula teh rek ngurus

rek ngabancang moal bae 

kula meureun ngahaturanan

sabab pare ayeuna eukeur ngagempung

kula sieun dibenduan

perkara eta pare asalna pare gempungan

 mimitina eta teh ti Sawarga Agung

teu kaduga ngabancang

sapikul sieun kabendon

urang Pakuan sakabeh darma timbalan[/one_half]

Terjemahan:

Tetapi Dempu Awang

Aku (memberi) jawaban

Perkara padi

(memang padi) sangat berlimpah namun sekarang belumlah

belum sama sekali aku mengurusi

(atau) mengambilnya secara diam-diam tak akan (berani)

(jika akan mengambilnya) aku harus memohon kesaksianNya

sebab padi milik bersama

aku takut mendapat marah

perkara padi asalnya juga hasil bersama

Mula-mula dari Sawarga Agung

Tidak berani menguranginya

Walaupun sepikul takut berdosa (?)

Orang Pakuan semua hanya kewajiban memenuhi perintah

b). Ground Batara Guru dihadirkannya dalam asal-usul padi sebagai tanda indeksikal anaforis yang secara koherensi, struktur teks ini mengarah pada pemuliaan padi, dan indeksikal deiksis yang bersifat Qualisigns, Sinsign, danLegisigns.

Qualisigns Batara Guru Raja Sawarga Agung, siapapun baik di Kahiangan maupun di madyapada/panda/dunia tengah yang memenuhi perintahnya bermakna untuk keselamatan hidup yang hakiki, di dunia dan dunia setelah kematian.

Sinsigns Batara Guru bermakna pemuliaan padi bukan saha untuk lingkungan para dewa namun manuisa, dan padi untuk kesejahteraan manusia. Jadi apabila melanggar berarti berbuat dosa.

Pada masa lalu Batara Guru merupakan pemegang hukum, perintahnya harus dituruti (Legisigns). Kemudian setelah padi ditanam di Pakuan, Batara Guru dengan Narada pun masih mengontrol tanaman padi, menjelma menjadi burung pipit. Dari kehadiran Batara Guru bermakna bahwa padi hendaknya dijaga oleh berbagai pihak karena padi sebagai makanan pokok masyarakat.

Ketika padi rusak, Batara Guru turut campur mengobatinya, yakni memerintahkan Sulanjana putra Batara Guru Talimendang dan Talimenir untuk mengobati dan menghindarkan dari hama.

Kehati-hatian teradap padi, beras, dan nasi kini masih tampak pada sikap sejumlah orang-orang yang masih memegang teguh tradisi. Contohnya pada fenomena masih ada warung nasi yang tidak menjual nasinya namun yang dijual lauk pauknya walaupun di warung tersebut ada juga nasinya. Kiranya sikap tersebut akibat power tanda-tanda indeksikal Wawacan Sulanjana yang memiliki daya perlukisioner yang mampu mempengaruhi sikap masyarakat terhadap padi.

Sebagai contoh di Gadu, Kabupaten Ciamis, pada tahun 70-an masih ditemukan warung nasi yang cukup besar dan populer, yang tidak menjual nasi. Menghindarkan padi dari jual beli kiranya memiliki alasan kuat, yakni untuk menyelenggarakan kesejahteraan bersama, karena perdagangan cenderung tidak melihat kepentingan kemanusiaan, namun hanya memperhitungkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Batara Guru sangat kental sebagai tanda indeks dalam kisah ini yang mengarahkan tata-pemikiran semua tokoh untuk tunduk kepada kekuasaannya sebagai Penguasa Dunia Atas/Kahiangan dan memiliki daya indeksikalitas deiksis untuk penghayat dari karya ini.

c). Pekuburan Dewi Sri di Banyu Suci dijaga oleh Aki Bagawat. Setting tempat Dewi Sri yang berasal dari Kahiangan perkuburannya di Banyu Suci, tanda dari setting ini mengarah kepada kesucian. Dewi Sri/padi berada di wilayah suci yang berbeda dengan setting penantang, perusak padi yakni Tegal Kapapan. Kapapan berarti tempat pendosa.

Mahluk-mahluk yang merusak padi diindikasikan mahluk-mahluk berdosa. Tanda tersebut mengindeksikan citra, bahwa orang-orang perusak kesejahteraan masyarakat orang-orang yang berdosa. Sifat perusak padi mendapat julukan Idajil (setan yang dilaknat Allah).

Hal ini merupakan tanda indeksikal yang mengarahkan citra bahwa perusak kesejahteraan dilaknat Allah. Aki Bagawat, kiranya “Baga” artinya bahagia dan “wat” pengabdian. Aki Bagawat yakni mahluk yang mengabdikan dirinya untuk kebahagiaan umat manusia.

Tanda ini secara indeksikal deiksis mengarahkan manusia untuk melindungi kemuliaan dan kesejahteraan padi untuk kesejahteraan bersama, apabila melanggar hal ini berarti pendosa yang hukumannya dipegang oleh Tuhan

d). Semar. Semar adalah salah seorang tokoh nenek moyang yang menjadi kesayangan masyarakat Nusantara. Dari peninggalan Purbakala menggambarkan Semar seagai Dewa Keseburan, hal ini ditemukan di wilayah Cirebon di Kaliwedi Kecamatan Arjawinangun.

Di tempat itu ada ritual, patung Semar dibungkus dengan kain putih dipakai untuk mentasbihkan air. Air tersebut dipakai oleh masyarakat untuk sawahnya masing-masing. (Mulyono, 1982:25-29). Dalam pergelaran wayang, Semar seorang tokoh yang tidak tergiur lagi oleh gemerlapan dunia baik pangkat maupun kekayaan, batinnya hanya semata-mata ditunjukan kepada Yang Maha Agung.

Dalam Wawacan Sulanjana, Semar ditugaskan oleh Baatara Guru untuk menjaga tanaman padi di Pakuan. Tanda ini merupakan indeksikal deiksis mengarahkan padi/beras/bahan makanan pokok harus diserahkan pengurusannya kepada orang jujur yang tidak serakah dalam memupuk kekayaan.

Padi Klimaks kisah semua tokokh menjaga keselamatan padi. Tanda ini merupakan indeksikal deiksis bahwa yang harus menjaga kesejahteraan bersama dilakukan oleh seluruh umat manusia.

e). Pembagian kerja yang jelas antara laki-laki dan perempuan Orang yang mendapat tigas memasak di Pakuan adalah Dewi Nawangwulan dari Kahiyangan. Prabu Siliwangi telah bersepakat dengannya yakni Prabu Siliwangi tidak membuka pasakannya. Ketika Prabu Siliwangi melanggar janji, Dewi Nawangwulan pun kembali ke Kahiangan.

Peristiwa ini sebuah tanda indeksikal bahwa dalam pengurusan padi harus jelas. Padi tidak bisa dibawa menyeleweng dari aturan. Urusan masak-memasak padi wanita, karena sifat wanita lebih cermat. Apabila urusan memasak diserahkan kepada laki-laki, padi akan banyak tercecer karena laki-laki tidak sehalus dan secermat wanita.

Hal lain untuk menjaga beras supaya tidak terbuang-buang untuk pengurusan padi harus membuat lesung dengan lubang bulat di kiri kanan, tempat Talimendang dan Talimenir. Nama ini dengan denoatum mata mendang (kulit beras yang bercampur dengan beras bubuk) dan beras menir (Beras bubuk). Hal ini merupakan tanda indeksikal yang mengarah tidak boleh membuang-buang beras sekecil apa pun karena beras merupakan makanan pokok yang dibutuhkan oleh seluruh tingkat masyarakat.

Di Ciharegem Desa Jatiendah Kabupaten Bandung tahun 2000an masih tampak ada ngeleseuhan  yakni memberikan beras pertama hasil panen kepada tetangga. Dan pandangan orang muda sisawa SLTP dan SLTA dari hasil angket menunjukan 50% masih setuju diselenggarakan ritual pertanian, selebihnya ada yang tidak berpendapat dan menolak.

f). Penanaman tepat pada waktunya, pemilihan bibit secara benar, dan tahu mengobati apabila padi terkena penyakit. Pernyataan ini seperti pada teks, ketika Prabu Siliwangi memohon kembalinya Dewi Nawangwulan, tidak direstui oleh Batara Guru. Batara Guru memberikan wejangan tentang penanaman padi setiap hari dalam semingu, contoh sebagai berikut:

1) Penanaman padi:

Poe Ahad isuk-isuk

Dawuhna turuning Esri

Pecat sawed halangan

Turun dunya tenga hari

Lohor keur kala patina

Wayah asar dawuh sepi

Hari minggu pagi-pagi

Waktu turun Esri

Jam sebelas alangan

Turun kekayaan tengah hari

Lohor waktu maut

Waktu Asar sepi

2) Pemilihan untuk bibit dalam terjemahan sebagai berikut:

Sulanjana memegang padi sambil membakar kemenyan

Yang dipegang Seri Sedana

Yang disinari cahaya kesuburan

Padi dengan empat dahan

Seri Pandawa itu nama Esri

Sri Manungku

Sesungguhnya tiga, lima dahan

Itu Pandawa namanaya

Kalau dua dahan

Seri Pengantin namanya.

3) Menolong padi yang sakit, dalam terjemahan sebagai berikut:

Sekarang untuk menolong

Padi yang hampa

Satu dahan diperiksa lagi

Mencari padi yang terdiri dari beberapa tangkai

Sri Sadana begitulah nama Esri

Dicari lalu ketemu

Padi sudah bertangkai-tangkai

Diminyaki oleh Sulanjana

Serta sambil membakar kemenyan

Padi sembuh kembali.

4)   Pemeliharaan ekosistem lingkungan.

Dalam kisah tergambar pemeliharaan ekosistem yakni tidak membunuh dengan racun. Burung pipit dimitoskan Batara Guru dan Narada yang mengontorl padi, dengan demikian burung pipit dibiarkan tidak dihindarkan karena diharapkan memangsa hama serangga, tikus tidak dibunuh tapi hanya didoai supaya tidak memakan padi. Tikus untuk dimangsa oleh ular.

Untuk menjaga kesejahteraan padi diutus pula oleh Batara Guru, Dewa Anta yang badannya ular, seperti tersurat pada terjemahan berikut:

Karena itu padi sudah tentu

Kalau diliwati (ular sawah) mesti

bagus luar biasa

sudah tentu yang disimpan di leuit

berkah (selamat atas doa) Dewa Anta

sebab perjanjian dahulu

di sawah pun begitu

kalau diliwati pasi

berkah sekali

apalagi kalau ditinggali

sudah tentu berkah

sebab janji Yang Permesti

Para petani sampai kini sangat dihindari membunuh ular sawah. Ada kepercayaan pula apabila padi yang sudah menguning ayeuh (rebah) dalam sekala besar, dipercayai sawah tersebut dilewati  naga (Naga Anta). Hal itu sebagai pertanda bahwa panennya akan berlimpah.

 

VI. Kesimpulan

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Wawacan Sulanjana oleh para penghayatnya selalu dipertahankan supaya berkelanjutan dimaknai dengan politik wacana mensinkrenisasi kepercayaan pra-Islam dengan Islam. Untuk menyelenggarakan kesejahteraan bersama menjaga makanan pokok padi dengan pemuliaan, pengurusan dan pengaturan secara tegas.

Pengurusan meliputi penanaman tepat pada waktunya dan pengobatan. Pengaturan, tugas perempuan dan laki-laki harus jelas, pemegang urusan makanan pokok harus orang yang jujur, adil, tidak tergiur oleh kekayaan duniawi, pemeliharaan ekosistem. Dari semua uraian Wawacan Sulanjana secara struktur kontekstual untuk kesejahteraan bersama harus berdoa, bersyukur, dan berderma.

 

Daftar Pustaka

Bleicher, Josef. 2003 Hermeneutika KontemporerI. Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat, Dan Kritik. Edisi Pertama. Alih Bahasa: Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru

Cavallaro, Dani. 2001. Teori Kritis dan Teori Budaya. Diterjemahkan oleh Laily. Rahmawati. Edisi Pertama. Yogyakarta: Niagara.

Ekadjati, Edi S., dkk. 1987. Naskah Sunda, Inventarisasi dan Pendataan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan The Toyota Foundation.

Fokkkema, D.W. & Elrud Kunne – Ibsch. 1997. Teori Sastra Abad Kedua Puluh, Edisi Pertama. Seri KDT Diterjemahkan oleh J Praptadiharja dan Kepler Silaban. Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabdi

Kalsum. 1983. Analisis Wawacan Sulanjana dari Kecamatan Majalengka. Skripsi Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung.

_________. 1991. Makna Mantra Pertanian Jawa Barat Bagian Timur. UNPAD

_________. 1996. Gambaran Respon Siswa SLTP dan SLTA di Kampung Ciaregam terhadap Upacara Nyalin. UNPAD

_________. 2010. Kearifan Lokal dalam Wawacan Sulanjana: Tradisi Menghormati Padi Pada Masyarakat Sunda di Jawa Barat Indonesia. Jurnal SOSIO HUMANIKA Jurnal Pendidikan Sains dan Kemanusiaan, Vol 3. No.1.

_________. 2011. Unsur Islam dan Pandangan Hidup dalam Naskah Nyi Lokatmala, Sebuah Naskah Transisi Antara Periode Pra-Islam dengan Islam.Makalah dan Proceedings, International Seminar on Reformulating and Transforming Sundanese Culture (9-10 Februari, 2011)

Lechte, John. 2000. 50 Filsuf Kontemporer. Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas. Diterjemahkan oleh A. Gunawan Admiranto. Ypgyakarta: Kanisius

Mulyono, Sri. 1978. Apa dan Siapa Semar. Balai Pustaka- Jakarta Piaget. Jean. 1995. Strukralisme. Diterjemahkan oleh Hermoyo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Pleyte, CM. 1907. Wawatjan Soelandjana. G. Kolf & Co – Bandoeng

Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Purwoko, Herudjati. 2008. Discourse Analysis: Kajian Wacana Bagi Semua Orang. Edisi Pertama. Jakarta; PT. Indeks.

Raksakusumah, Said. 1974. Tentang Wawacan Sulanjana. Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran – Bandung.

Riffatere, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Library of Congress Cataloging in Publication Data. Bloomington & Londin: Indiana University Press

Salden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rach Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Sim, Stuart. 2000. Derida dan Akhir Sejarah. Diterjemahkan oleh Sigit Djatmiko. Yogyakarta: Penerbit Jendela

Vansina, Jan. 1965. Oral Tradition, A Study in Historical Methodology. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh H M Wright, England : Penguin Books

Wessing, Robert. (..) Sri and Sedana an Sita and Rama Miths of Fertility and Generation. Katholieke Universiteit Nijmegen.

Zoest, Aart van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.

________. 1993. Semiotika. Penerjemah Ani Soekawati. Yayasan Sumber Agung – Jakarta.

* Makalah ini disampaikan pada acara seminar “Pangan dalam Naskah Kuna Nusantara” di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta, 18-19 September 2013.