PREVIEW BOOK: AGUNG PRABOWO – THE PAKUBUWONO CODE
The Pakubuwono Code
Agung Prabowo
KATA PENGANTAR
Ahmad Yanuana Samantho[1]
Bangsa Indonesia saat ini seperti kehilangan ingatan akan sejarah bangsanya sendiri. Lupa ingatan sejarah ini bukanlah hal bisa dianggap enteng, sebab sebagaimanaghalib-nya orang yang lupa ingatan, maka perilakunya menjadi tak terkendali, hilang kesadaran dan menjadi ngawur dalam melangkah dan menapaki proses kehidupan kekiniannya dan masa depannya.
Lupa terhadap Sejarah Nusantara “yang sebenarnya dan selengkapnya”, telah menyebabkannya penyakit mental kronis dari sebagian besar anak bangsa kita. Penyakit mental ini berlanjut kepada rusaknya karakter kebangsaannya, dan tak mampu memelihara National Character Building-nya. Mayoritas anak bangsa berjalan sebagaimana segerombolan manusia yang tak mempunyai kesadaran nurani dan tak punya jati diri, sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh budaya asing dari luar, yang tak mengakar kepada sejarah dan tradisi leluhur bangsanya, dan lalu dikendalikan oleh sekelompok elit kekuasaan struktural politik-ekonomi dan budaya agen-agen modernitas materialisme yang menjadi perpanjangantangan neo-imperialis, neo-kolonialis, kapitalis, mematerialis-hedonis global untuk menjadi budak-budak konsumtif dan pembela kepentingan hegemoni budaya Barat.
Memang bukan sepenuhnya kesalahan internal bangsa kita. Tanpa mengabaikan kelemahan internal bangsa kita sendiri, ada baiknya juga kita waspada dan waskita terhadap pengaruh luar dan kesengajaan yang telah di-setting oleh para penjajah terhadap bangsa kita. Juri Lina, orang Swedia penulis buku “Architects of Deception: The Concealed History of Freemasonry” (2004) mengungkapkan adanya tiga cara kaum penjajah Barat (yang umumnya berideologi materialis-kapitalis dan dari kelompok Freemason-Illuminati Hitam Kabalistisme) yaitu:
- Dengan pengkaburan sejarah bangsanya, dengan membuat sebanyak mungkin anak-anak bangsa kita lupa (amnesia) akan sejarah bangsanya;
- Dengan menghancurkan bukti-bukti sejarahnya, sehingga kita bisa lagi dengan mudah membuktikan kebenaran sejarah bangsa kita;
- Penjajah telah berupaya memutuskan hubungan sebanyak mungkin putra bangsa dengan leluhurnya. Agen-agen penjajah telah merekayasa pelajaran sejarah, mereka mengatakan bahwa leluhur Nusantara adalah bangsa primitif dan tak beradab, manusia penghuni gua dari zaman batu yang tak berilmu pengetahuan tinggi dan sebagainya.
Sun Tzu, dalam bukunya The Art of War pernah menulis bahwa untuk menghancurkan peradaban suatu bangsa, tidak perlu dengan mengirimkan pasukan perang, tetapi cukup dengan cara menghapurkan pengetahuan mereka atas kejayaan para leluhurnya, maka mereka akan hancur dengan sendirinya. Begini terjemahan teks aslinya:
“Untuk mengalahkan bangsa yang besar, tidak perlu dengan mengirimkan pasukan perang, tapi cukup dengan cara menghapuskan pengetahuan mereka atas kejayaan para leluhurnya, maka mereka akan hancur dengan sendirinya.”
Sebuah fakta sejarah bahwa banyak dari dokumen, buku-buku dan manuskrip kuno Nusantara yang dirampok dan dibawa kabur oleh para penjajah Barat selama mereka menguasai negeri kita tercinta ini. Seorang teman dosen FRSD ITB yang menyelesaikan studi magister dan doktoralnya di Universitas Leiden, Belanda, pernah menceritakan bahwa 5 dari 7 lantai gedung perpustakaan universitas itu terisi penuh dengan naskah, kitab, dan manuskrip milik para Raja dan bangsawan serta para pujangga-cendekiawan, dan para ulama Nusantara.
Buku The Pakubuwono Code yang ditulis oleh Agung Prabowo ini adalah salah satu upaya penting untuk melawan hegemoni paradigma sejarah yang telah dipaksakan penjajah Barat (Belanda, Inggris & Amerika). Buku ini telah dengan gamblang mengungkapkan salah satu rahasia kemajuan dan khazanah ilmu pengetahuan matematika Jawa kuno.
Sementara kawan saya yang lainnya, seorang novelis dan sejarawan independen, Viddy A Daery, dengan getir bercerita kisah penyerbuan Tentara Inggris ke Keraton Yogyakarta. Dia menceritakan kembali apa yang ditulis oleh Ramdhan Armtsrong:
Mengisi Sejarah Nusantara oleh Raffles
“RERUNTUHAN ini adalah sisa-sisa Bastion Benteng Keraton Yogyakarta, hancur diserang tentara Inggris tahun 1812 pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II. Peristiwa tersebut dikenal sebagai ‘GEGER SEPOY atau GEGER SPEI’. Tulisan di atas batu marmer berukuran satu setengah meter tertanggal 10 November 2000 ini berada di sebelah timur laut Keraton Yogyakarta.
Umumnya pengunjung yang melintas di depan tulisan ini, memaknai penyerbuan itu hanya bagian dari sejarah Indonesia. Sejarah yang penuh konfrontasi berdarah. Sesuatu yang wajar. Bukankah para pendiri bangsa ini mengatakan “Indonesia diperjuangkan dengan darah dan air mata?”
Tapi, itulah peristiwa yang sesungguhnya membuat coreng hitam bagi Thomas Stamfor Raffles, Letnan Gubernur Inggris di Jawa, yang namanya oleh para sejarawan dan penulis ditempatkan di posisi amat tinggi. Juga dalam buku terbaru yang ditulis Victoria Glendinning, Raffles and the Opportunity (2012). Ia, kian membesarkan pria yang meninggal pada 1826 itu. Raffles tak saja dikenal sebagai negarawan berkelas, tapi juga sosok yang mencintai kebudayaan (khususnya Jawa). Ia pengungkap Candi Borobudur, pendiri Kebun Raya Bogor, penulis buku The History of Java yang amat kondang itu. Pendiri Singapura.
Akibat perang di Eropa sangat berpengaruh terhadap perkembangan perebutan kekuasaan di India-Belanda. Ketika Napoleon Bonaparte berkuasa di Prancis, Belanda yang kalah perang berada di bawah kekuasaan Prancis dari tahun 1806 sampai tahun 1813. Napoleon menempatkan adiknya, Louis Bonaparte menjadi raja di Belanda. Perubahan situasi di Eropa juga berimbas ke kawasan Asia Tenggara, di mana terdapat persaingan dagang antara Belanda dan Inggris.
Louis Bonaparte mengangkat salah seorang perwira tingginya, Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal di India-Belanda (pemerintah boneka Perancis). Daendels sebenarnya adalah seorang pengacara Belanda dan memimpin gerakan melawan Willem V dari Oranien. Setelah gerakannya dihancurkan, ia melarikan diri ke Prancis dan bergabung dengan tentara revolusi dan ikut mengambil bagian dalam penyerbuan Prancis ke Belanda tahun 1793. Tahun 1799 ia mencapai pangkat Letnan Jenderal tentara Perancis (bukan Belanda).
Untuk memperkuat pertahanan serta mempercepat gerakan pasukannya, Daendels membangun jalan dari Anyer di ujung barat Jawa Barat, sampai Panarukan di ujung timur Jawa Timur. Dalam pembuatan jalan tersebut, rakyat di pulau Jawa yang menjadi korban, karena pada dasarnya, mereka dipaksa untuk bekerja dengan kondisi yang sangat berat, sehingga pembangunan jalan tersebut yang memerlukan waktu sekitar empat tahun, diperkirakan telah menelan korban jiwa ribuan rakyat di Jawa, dan membawa kesengsaraan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto, Viscount Melgund Of Melgund, dikenal sebagai Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di India (1807-1813), memimpin armada Inggris menyerbu Jawa, dan pada 6 Agustus 1811, bersama Thomas Stafford Raffles, 12.000 pasukan Inggris mendarat di Cilincing, Sunda Kelapa tanpa suatu perlawanan yang berarti dari tentara Belanda-Prancis, tentara Inggris menduduki pulau Jawa dan kemudian menguasai seluruh wilayah Belanda-Prancis. Pada 11 September 1811 Raffles, yang waktu itu baru berusia 30 tahun, diangkat menjadi Letnan Gubernur Jenderal untuk India-Belanda. Itulah awal penjajahan Inggris di Indonesia, yang juga disebut sebagai The Britih Interregnum.
Penyerbuan ke Keraton Yogyakarta itulah yang oleh Tim Hannigan, dalam buku terbaru, Raffles and the British Invasion of Java (2012) disebut sebagai sisi gelap sang penguasa itu. Bagi Hannigan, Raffles tidak hanya menyerbu keraton, tapi merampok dan menjarah semua isinya. Uang, perhiasan, benda-benda budaya (gamelan, wayang, keris) dan pusaka, termasuk sekian banyak naskah Jawa, dirampok tanpa adab seorang negarawan terhormat. Dan, Inggris sebagai “negeri aristokrasi kelas dunia”, belum ada tanda-tanda punya kesadaran ingin mengembalikan harta jarahannya itu.
Peristiwa hitam itu terjadi pada 20 Juni 1812. Sekitar 1200 tentara Inggris, separuh serdadu Eropa, separuh lagi Sepoi (India-Inggris)—membombardir Keraton Yogyakarta. Mereka di bawah komando Kolonel Rollo Gillespie. Mereka merampok penuh angkara seperti para durjana ketika menemukan jarahannya yang paling dicari.
Penyerbuan pasukan Inggris di bawah perintah Raffles meneruskan penyerangan ke Jogjakarta dengan membawa artileri untuk membombardir Keraton Jogjakarta. Tentara Inggris hanya kehilangan 23 nyawa tetapi ratusan prajurit Keraton yang tidak siap diserang tewas dibantai walau mereka telah menyatakan menyerah. Aksi perampokan di seantero Jogjakarta meluas diiringi pembakaran dan pembunuhan. Kemudian Sri Sultan HB II dipenjarakan oleh Raffles.
Sultan Hamengkubuwono II dan para pembantunya dengan berlinang air mata dilucuti perangkat kebesarannya, keris, mahkota dan berbagai pusaka berharga dirampas bahkan kancing pakaian Sultan yang terbuat dari emas-berlian tak pelak dilucuti oleh tentara Inggris. Hal lain yang sangat menyedihkan adalah dirampasnya seluruh catatan sejarah tertulis milik Keraton yang diangkut menggunakan 5 pedati penuh dengan puluhan yang diangkut kuli-kuli panggul dibawa ke Inggris, India dan sebagian tenggelam bersama kapal pengangkutnya di lepas pantai Singapura.
Catatan sejarah yang dirampas tersebut adalah milik bangsa ini yang bertutur tentang religi, falsafah hidup, undang-undang negara dan syair kebajikan. Raffles menggantikan catatan tertulis sejarah bangsa ini dengan tulisannya sendiri dan dinasti kerajaan yang mau bekerjsama dengan dirinya (Inggris) melalui tulisannya yang tersohor dan menjadi pustaka dasar ilmuwan sejarah masa kini “THE HISTORY OF JAVA”.
Menurut Hannigan, jurnalis independen Inggris yang pernah tinggal di Surabaya, 12 buku tentang Raffles yang pernah ditulis banyak pengarang menempatkan Raffles sebagai pemimpin berkelas. Tapi setelah membaca beberapa manuskrip asli tentang Raffles, ia berkesimpulan, sosok ini tak pantas dihormati. Ia tak lebih dari perampok tak bermoral.
Kini British Museum di Inggris menyimpan 1.150 benda milik Raffles. Sekitar 800 benda itu berasal dari Indonesia, 740 di antaranya dari Jawa. Tentulah di antara benda-benda itu sebagian hasil penjarahan dari Keraton Yogyakarta. Mungkin sebagian besar lagi juga jarahan dari banyak tempat di Nusantara.
Memang sejarah kerap menyimpan masa silam yang kelam. Ada yang mengungkap ada yang terus menguburnya dalam-dalam. Ada yang paham dan membiarkannya, tapi umumnya lebih banyak yang tak tahu dan tak mau peduli. Namun, Tim Hannigan tahu dan peduli. Tidak kurang dari puluhan cendekiawan Inggris telah mengetuk hati rakyat “Indonesia” untuk tergugah mencari jati dirinya sebenarnya dan tidak mengekor kepada cerita sejarah yang telah ditulis ulang oleh Raffles dan Kerajaan Inggris, yang tidak lebih hanya menutupi ketamakan mereka.
Kini tinggal Indonesia, apakah peduli? Di era Presiden Megawati upaya untuk meminta kembali benda-benda berharga itu pernah dilakukan. Tidak kurang dari Sultan Hamengkubuwono X sendiri yang meminta kepada Duta Besar Inggris di Jakarta untuk mengembalikan manuskrip-manuskrip tersebut dan hasilnya hanya diberikan 4 lembar fotokopi saja dan puluhan microfilm rusak. Upaya pengembalian harta tersebut kini sunyi kembali. Terlebih pada politisi di Senayan, mereka hanya sibuk urusannya sendiri. Momentum buku Tim Hannigan mestinya jangan dilewatkan tanpa “ARTI” bagi bangsa yang telah kehilangan jati diri dan falsafah hidupnya kini.
Sengkala dan Sistem Desimal dalam Matematika Jawa
Buku yang ditulis Agung Prabowo ini mengungkapkan sejarah ilmu pengetahuan Matematika asli Jawa. Jauh sebelum adanya Matematika yang dipelajari hari ini yang dikembangkan dan dibangun dari matematika Eropa, yang baru mengadopsi sistem basis 10 dengan nilai tempat pada masa Fibonacci (1202 Masehi). Sementara “Sengkala” sudah digunakan jauh sebelum masa Fibonacci. Sengkala Cruti Indria Rasa, menyatakan tahun 654 Saka (732 Masehi), ditemukan terdapat para prasasti Canggal. Kesimpulannya, basis bilangan 10 dengan nilai tempat yang digunakan pada sengkala tidak diambil dari matematika (Barat), tetapi diambil dari pengetahuan matematika yang dikembangkan sendiri secara genuine oleh manusia Jawa. Oleh karena itu, istilah Matematika Jawa layak dimunculkan.
********************o0o********************
SUMMARY:
Sirna Ilang Kertaning Bumi adalah cara rahasia orang Jawa menyatakan tahun terjadinya sebuah peristiwa. Itu merupakan sandi bilangan SENGKALA. Pastilah ada nilai historis teramat tinggi dan penting. Thomas Stamford Raffles pun memuatnya dalam karyanya “The History of Java”. Peristiwa kontroversial apa yang tersembunyi di baliknya? Anda dapat menemukan jawabannya dalam buku ini.
The Pakubuwono Code mengangkat perhitungan dalam bentuk gancaran (prosa naratif) berbagai hal MENCENGANGKAN dalam kehidupan manusia Jawa sejak masa prasejarah. Kode-kode rahasia pun bermunculan. Dalam literatur Barat, sengkala dinamakan kronogram (sandhiwarsa) dan kriptogram (sandiasma). Tak hanya The Raffles Code (Sirna Ilang Kertaning Bumi) tetapi juga kode lainnya seperti kode Sultan Agung seputar kontroversi keris berganja gajah singa, kode Ranggawarsita seputar ramalan Indonesia merdeka, atau kode Sukuh seputar kontroversi erotika Candi Sukuh.
Buku ini pantas mendapat penyimakan dari siapapun.
Tak terkecuali Anda.
Wacana kontroversial seputar peluang sengkala diangkat menjadi warisan dunia (Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Masih ada lagi, Anda akan bertemu dengan tiga puluh zodiak Jawa yang akan mengajak Anda memprediksi kapan anak Anda lahir dan lainnya. Jika Anda pernah mendengar sebelumnya, itulah Pawukon yang merupakan produk ilmiah masyarakat Jawa pada masa prasejarah (sebelum 7 Maret 78 M).
********************o0o********************
This article is published only for commercial and advertisement purposes. No copyright is intended. Original work belongs to its respective owner. I own nothing. Please support the author by purchasing the book.
[1] Ahmad Yanuana Samantho adalah seorang dosen dan penulis yang dikenal melalui tiga buku bestseller-nya yaitu Peradaban Atlantis Nusantara (2010), Garut Kota Illuminati (2013), dan Sejarah ISIS & Illuminati (2014). Ketiga buku itu diterbitkan oleh Phoenix Publishing.