DOKTRIN DAN AJARAN METAFISIKA AL-MAKASSARĪ
(TAṢAWWUF FALSAFĪ)
Baharuddin AR Abduraman, MA
- SUMBER-DAN RUJUKAN AL-MAKASSARĪ
Sebagaimana halnya al-Rānīrī dan koleganya al-Singkilī, al-Makassarī mengembangkan doktrin dan ajaran metafisikanya dengan mengutip serta merujuk kepada skolar dan para ṣūfī master. Hal ini dapat kita temukan dalam berbagai karyanya, seperti dalam: (1) al-Nafḥah al-Saylāniyah fī al-Minḥah al-Rabbāniyah, (2) Zubdat al-Asrār fī Taḥqīq ba‘d Mashārib al-Akhyār, (3) Fatḥ al-Raḥmān bi Sharḥ Risālat al-Walī Raslān, (4) al-Barakah al-Saylāniyah min al-Futūḥah al-Rabbāniyah, (5) Safīnat al-Nujāh al-Mustafādah ‘an al-Mashāikh al-Nuqāh, (6) Ḥabl al-Warīd li Sa‘ādat al-Murīd, (7) Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī wa Minḥat al-Sālik al-Muhtadī, dan dalam karya-karyanya yang lain.
Di dalam karya-karya tersebut, di antara tokoh dan ṣufī master yang menjadi rujukan utamanya adalah sebagai berikut:
- Muḥy al-Dīn Ibn ‘Arabī
- Abū Yazīd al-Bisṭāmī
- Ibn ‘Aṭā Allāh al-Iskandarī
- Abū Madyan al-Tilimsānī
- Rabī‘ah al-‘Adawiyah
- Junayd al-Baghdādī
- Abū al-Qāsim al-Qusyayrī
- Ma’rūf al-Karkhī
- Al-Imām al-Shāfi‘ī
- Abū Ḥāmid al-Ghāzālī
- [Abū Ja‘far] Yaḥyā bin Mu‘ādh
- Abū ‘Abd Allāh bin Ḥafīfah
- Abū Sa‘īd al-Kharrāz
- Abū al-Barakāt Ayyūb b.Aḥmad b Ayyūb al-Khalwatī
- Ḥasan bin ‘Alī b. ‘Amr b. Yaḥyā al-‘Ajamī al-Makkī
- Muḥammad al-Mazrū‘ al-Madanī
- ‘Abd al-Karīm al-Hindī al-Naqahabandī al-Lāhūrī
- Muḥammad Mizrā b. Muḥammad al-Dimashqī
- Muḥammad b. al-Wajīh al-Sa‘dī al-Yamanī
- Nūr al-Dīn ‘Abd Raḥmān b. Aḥmad b. Muḥammad Jāmī
- Mullā Ibrāhīm b. Ḥasan b. Shihāb al-Dīn al-Kurānī al-Kurdī
- Ḥasan b. ‘Alī b. ‘Umar b. Yaḥyā al-‘Ajamī al-Makkī
- Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ‘Abd al-Bāqī al-Mizjājī al-Naqshabandī
- Ḥusayn b. Manṣūr al-Khallāj
- Abū Bakr b. Sālim al-‘Aynānī
- ‘Abd al-Qādir al-Jaylānī
- Dhū al-Nūn al-Miṣrī
- Muḥammad b. Faḍl Allāh Burhān al-Nufūrī
- ‘Abd al-Karīm al-Jīlī
- Jār Allāh b. Samīrah
- ‘Alī al-Muttaqī
- Abū Yaḥyā Zakariyah al-Anṣārī al-Raslānī
- ‘Āmir b. Abd al-Qays
- ‘Uamar b. ‘Abd al-Fāriḍ
- Abū al-Ḥasan ‘Alī al-Shādhilī
- Abū al-Ḥusayn al-Ṣūrī
- Al-Imām al-Nawawī
- Abū al-Najīb al-Suhrawardī
- Abū al-Ghayth bin Ismā’īl
- ‘Alī Nūr al-Dīn al-Kurdī
- Muḥammad Tāj al-Dīn al-Naqshabandī
- Ismā‘īl al-Itānī
- Farīd al-Dīn Kunju
- [Naṣīr al-Dīn?] Khawjah ‘Ubayd Allāh al-Aḥrār
- Bahā al-Dīn al-Naqshabandī
- Abū Uthmān al-Ḥayrī
- Shah Shajā’ al-Dīn
- Aḥmad b. ‘Ulwān al-Yamanī
- Muḥammad b. Fatḥ Allāh al-Juḥayrī
- Abū Sulaymān al-Dārānī
- Sahl b. ‘Abd Allāh
- KONSEP KETUHANAN
Satu hal yang penting ditekankan dari awal, bahwa melihat tokoh-tokoh ṣūfī yang menjadi refrensi dan sumber utamanya, serta doktrin dan ajaran-ajaran metafisika yang dikembangkannya, maka tidaklah salah jika kita meletakkan al-Makassarī, pada rangkaian tokoh-tokoh alam Melayu Indonesia sederet dengan al-Rānīrī dan Hamzah Fanṣūrī, dalam keluasan pengetahuannya mengenai taṣawwuf, khususnya taṣawwuf falsafī dan akhlāqī. Dan walaupun taṣawwuf yang dikembangkannya memiliki corak dan warna tersendiri, akan tetapi, sangat sulit untuk mengatakan bahwa pemikiran taṣawwufnya tidak didominasi oleh doktrin dan ajaran Ibn ‘Arabī, khususnya, karena kecenderungannya yang khusus terhadap doktrin “kesatuan wujūd” (وحدة الوجود) yang kontroversial dalam sejarah peradaban dan intelektual Islam.[1]
Kita memiliki bukti yang kuat untuk mengatakan hal itu, mengingat bahwa doktrin metafisika al-Makassarī, baik taṣawwuf falsafī (domain ontologi dan kosmologi) maupun taṣawwuf akhlāqī (domain psikologi) hampir tak dapat terlepas dari atau memiliki muara yang mengarah kepada, sistem metafisika Ibn ‘Arabī yang inti ajarannya adalah kesatuan wujūd.
Akan tetapi, al-Makassarī, yang kini menjadi “penterjemah” doktrin kesatuan wujūd-nya Ibn ‘Arabī di ‘alam Melayu Indonesia ini, cenderung untuk lebih berhati-hati. Ia sadar bahwa diskursus metafisika bukanlah hal yang mudah untuk difahami dan dimengerti, apalagi bagi kalangan ‘awam, bahkan, bisa saja membawa audien dan pembaca terjerumus kepada “kesesatan” al-wujūdiyah al-mulḥidah.[2] Itulah sebabnya, seringkali kita temukan penggalan ungkapang-ungkapan al-Makassarī yang sangat bersifat peringatan, seperti:
- “Janganlah kalian mencampur-adukkan karena dalam perkara inilah sering terjadi orang terpeleset [salah paham] ” (“ولاتغلط لان فى هذاالمقام مزلة الاقدام”);
- “Tiadalah kalian benar-benar memahami dan menyelami akan segala apa yang kami katakan, kecuali kalian termasuk ke dalam golongan kami dan kami termasuk golongan kalian” (“لايعرف جميع ما قلناه ويتحقق به الا من كان هو نحن ونحن هو… ”); dan
- “Tiadalah kami menorehkan tulisan-karya, kecuali diperuntukkan bagi kalangan yang segolongan dengan kami, bersamanyalah kami berdialog serta kepada merekalah kami bertutur kata” (“ما كتبت جميع كتبي الا لمثلي ومعه اتكلم واياه اقول”).
Disamping itu, sebagaimana halnya dengan ṣūfī master lainnya, al-Makassarī sangat jelas dalam posisinya di mana ia berdiri, misalnya dalam hal perbincangannya mengenai Tuhan, khususnya diskursus kesatuan wujūd dalam domain psikologi, dengan memberi penekanan pada sifat transendensi Tuhan, bahwa: “hamba akan tetap hamba meskipun ia naik (ascend) dan Tuhan adalah Tuhan meskipun ia turun (descend):”
العبد عبد وان ترقى– والرب رب وان تنرل
Bahkan dua refrensi al-Qur’ān yang ia rujuk secara redundan dan menurutnya adalah ibu dari segala i‘tiqād dan aqīdah qur’āniyah, merupakan bukti kuat akan konsistensi al-Makassarī terhadap transendensi Tuhan, bahkan, bila ditelusuri lebih jauh dari karya-karyanya, kita akan temukan bahwa kedua refrensi al-Qur’ān ini, menjadi sentral serta tolak ukur dalam membangun dan mengembangkan doktrin dan ajaran metafisikanya. Kutipan al-Qur’ān tersebut adalah: pertama, ayat laysa ka mitslihī syay’un [sūrat al-Syūrā: 42: 11: tiada sesuatu apapun yang sebanding atau yang menyerupai-Nya], dan kedua sūrat al-Ikhlāṣ [sūrat al-Ikhlāṣ: 112: 1-4: “Katakanlah, Dialah Allah yang Maha Esa, Allah adalah tempat bergantungnya segala sesuatu, Tidak beranak dan tidak diperanakkan, Tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya”]:
“… انه تعالى هو الموصوف بآية: ليس كمثله شيئ، وبسورة الاخلاص وهي ام الاعتقادات كلها على الاطلاق … بان جميع الاعتقادات القرآنية فضلا عن غيرها كلها راجعة الى آية ليس كمثله شيئ، وبسورة الاخلاص…”
“… sesungguhnya yang Maha Suci [Allah] memiliki sifat [yang terkandung dalam ayat] tida sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, serta [yang terkandung dalam] sūrat al-ikhlāṣ. Dan [kedua refrensi qur’āniyah tersebut] secara mutlak, merupakan ibu dari segala i‘tiqād… ” [3]
Sikap kehati-hatian al-Makassarī ini tentu memiliki pijakan yang sangat mendasar: (1) bahwa produk zaman di mana kondisi psikologi masyarakat yang ia hadapi masih ‘liable’ dan awam mengenai doktrin-doktrin taṣawwūf, (2) bahwa sejarah baru saja mempertontonkan pergelutan pemikiran dua tokoh besar ṣūfī (yaitu, al-Rānīrī vs Fanṣūrī) yang berujung pada saling tuduh atau bahkan “kafir-mengkafirkan” di antara mereka.[4] Walhasil, Fanṣūrī dengan posisinya yang tidak menguntungkan akhirnya mendapat cap sebagai penganut al-wujūdiyah al-mulḥidah, dan (3) bahwa al-Makassarī melakukan rihlah ilmiahnya pada saat sistem taṣawwuf dan metafisika, khususnya doktrin kesatuan wujūd-nya Ibn ‘Arabī banyak mendapat kritikan dan serangan dari berbagai pihak dan puncaknya dianggap sebagai doktrin yang menarik benang-merahnya pada pantheisme Hindu.[5]
Al-Makassarī rupanya tidak menginginkan pengulangan sejarah itu terjadi pada dirinya atau paling tidak terjebak dalam kontroversi yang berkepanjangan mengenai diskursus-diskursus dalam taṣawwūf. Al-Makassarī yang menimba ilmu kepada beberapa guru besar dari penganut doktrin kesatuan wujūd, dengan kecerdasannya, sebagaimana yang akan kita lihat pada bagian B. Taṣawwuf Akhlāqī dalam tulisan ini, telah berhasil “menghindarkan diri” dalam arti mengganti terma-terma “pelik”, yang menurutnya bermasalah dan dapat menimbulkan polemik, dengan terma-terma “qur’ānī” semisal iḥāṭah, ma‘iyah, qurb dan lain sebagainya, meski dengan maksud dan “muatan” yang tidak berbeda dengan para ṣūfī-ṣūfī master pengagum doktrin kesatuan wujūd Ibn ‘Arabi sebelumnya.
Walau bagaimana pun, menghindari ternyata tidak berarti meninggalkan dengan sepenuhnya. Dalam beberapa kasus, khususnya pada domain ontologi dan psikologi, al-Makassarī terlihat menyusun argumen-argumennya dengan rapih tersistematis, tanpa interjeksi kalimat yang terkesan pantheistik, namun dalam kasus-kasus tertentu, kesan itu tak dapat terhindari. Hal ini tentu dapat dimaklumi: pertama, mengingat bahwa metafisika (taṣawwuf falsafī dan akhlāqī) adalah merupkan salah satu di antara berbagai disiplin ilmu dalam Islam yang unik dan paling diperdebatkan, khususnya, ketika metafisika mendapat injeksi dan warna dari Ibn Arabī dengan doktrin kesatuan wujudnya, dari sejak kemunculannya hingga saat ini; kedua, wilayah metafisika, khsusnya aspek ketuhanan (sirr al-rubūbiyah), adalah wilayah yang tidak tersentuh bahkan “terlarang” bagi kalangan awam. Itulah sebabnya, seringkali kita menemukan al-Makassarī memberi teguran dengan katanya: “maka pahamilah, jika anda benar-benar memiliki pemahaman;” dan ketiga, metafisika tidak selalu dan melulu dapat diungkapkan dengan bahasa lisan, melainkan dengan bahasa “rasa” dan hati (dhauq), khususnya dalam domain psikologi.
- Ke-Esa-an Allah
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa ketiga karya monumental di bidang taṣawwuf, yaitu: (1) al-Durrah al-Fākhirah, (2) Risālah fī al-Wujūd, dan, (3) syarḥ al-Durrah al-Fākhirah, adalah karya-karya yang dipercayakan kepada al-Makassarī untuk melakukan penyalinan ulang oleh gurunya al-Kurānī. Karya-karya tersebut (no (1) dan (2) dikarang oleh Nūr al-Dīn ‘Abd Raḥmān b. Aḥmad b. Muḥammad Jāmī, sedangkan no (3) oleh ‘Abd al-Ghafūr al-Lārī), adalah karya yang lahir sebagai penjelasan dan pembelaan terhadap doktrin kesatuan wujūd yang telah dimisinterpretasikan dan bahkan diequivalensikan dengan doktrin pantheisme sehingga tak dapat luput dari kritikan dan serangan fuqahā (tungg. faqīh=ulamā berorientasi fiqh), theologian dan bahkan ahli tareqat yang dipelopori oleh Aḥmad Farūqī Sirhindī (1564-1624). Aḥmad Sirhindī adalah tokoh dan syeikh dari tareqat Naqsyabandiyah dari India yang melahirkan dan menawarkan doktrin alternatif yaitu waḥdat al-syuhūd atau kesatuan persaksian yang menekankan pada ketuhanan yang transenden, sebagai pengganti dari doktrin kesatuan wujūd yang menurutnya telah “terkeluar” dari mainstream Islam.[6]
Nampaknya, al-Makassarī yang diamanati, tidak hanya sekadar melakukan penyalinan ulang terhadap karya-karya tersebut. Akan tetapi, lebih dari itu, melakukan “muṭāla‘ah” di bawah bimbingan khusus al-Kurānī sendiri. Hal ini jelas, melihat bahwa risālah al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī wa al-Minḥat al-Sālik al-Muhtadī[7] adalah karya al-Makassarī, yang secara detail membahas tahapan-tahapan eksistensi (marātib al-wujūd=ontological discent), yang tiada lain merupakan penjabaran dari eksposisi Jāmī yang terdapat dalam kedua risālah tersebut.[8]
Al-Makassarī membahas mengenai sifat ke-Esa-an Allah dalam diskursusnya mengenai eksistensi (al-wujūd). Menurut al-Makassarī, eksistensi dapat dilihat dalam 2 kategori: yang pertama adalah eksistensi Riil (al-Ḥaq) dan yang kedua adalah eksistensi ciptaan (al-khalq). Yang tersebut pertama atau eksistensi Riil adalah eksistensi absolut (muṭlaq), berdiri sendiri (qā’im bi nafsih), dahulu (qadīm) dan kekal (bāq); sedangkan yang kedua atau eksistensi ciptaan adalah eksistensi “penyandaran” (iḍāfī) atau sebahagian menyebutnya sebagai eksistensi “metaphor” (majāzī). Disebut demikian karena kondisi eksistensinya yang tidak berdiri sendiri, melainkan “meminjam” (al-ma‘ār) eksistensi kepada yang memiliki eksistensi riil atau absolut. Dengan kata lain, eksistensi ciptaan adalah eksistensi yang “disebabkan” oleh selain dari dirinya (qā’im bi ghayrih).[9] Dengan demikian, bahwa eksistensi Sang Riil, yang menjadi “penyebab” adanya eksistensi-eksistensi ciptaan (makhlūqāt = maujūdāt) atau, sebahagian mengistilahkannya dengan “segala sesuatu selain dari Allah” (mā siwā Allāh)[10], adalah eksistensi wājib (wājib al-wujūd).[11]
Sebagai eksistensi wājib, yang berdiri dengan sendirinya dan menyebabkan adanya yang “lain” atau ciptaan, dapat dipahami bahwa pada status ontologinya ia berada pada kondisi yang sangat “terisolasi” dan “tersendiri.” Dalam status ontologi inilah Esensi (dhāt), disebut sebagai Dhāt “terdalam” (kunhi dhāt), atau Dhāt semata (dhāt al-bukhti), dan dalam status ini pula lah Dhāt diistilahkan sebagai “ Sang Dia” (al-Hū) atau “Sang Riil” (al-Ḥaq).
Pada tahapan-tahapan eksistensi (ontological descents), sebagaimana yang akan segera kita bahas selanjutnya, Esensi yang disebut Sang Dia dan Sang Riil ini, berada pada tahapan eksistensi tertinggi, karena pada tahapan ini Sang Dia atau Sang Riil tidak “melakukan” manifestasi (lā ta‘ayyun). Dalam tahapan ontologi sedemikian, Esensi tak dapat “digapai” (transcendent) atau memakai bahasa al-Makassarī: “tennarapi bicara, nawa-nawa, tennatemmui toi akkaleng ri sininna akkalengnge, mau nabi, mau uwalli tennarapi to pa temmui-wi akkaleng…” artinya “tak tergapai oleh bicara, pikiran dan segala akal manusia [setinggi apa pun derajatnya] baik nabi maupun wali… ”[12]
Perlu diingatkan bahwa penggunaan kata “metaphor” atau ”penyandaran” atau ”peminjaman” kepada eksistensi ciptaan, tidaklah memberi pengertian penafian secara mutlak atau menganggap eksistensi ciptaan sebagai eksistensi “illusi” semata: Pertama, melihat bahwa Arketip Permanen (al-A‘yān al-Tsābitah) yang menjadi “dasar” dari segala ciptaan adalah realitas (ḥaqā’iq). Disebut realitas karena pada status ontologinya ia menempati posisi sebagai “perantara,” atau meminjam istilah Izutsu “occupies a middle position,”[13] antara Sang Riil dengan ciptaan. Dengan status tersebut, Arketip Permanen memiliki “dual nature,” yaitu passif dan aktif –kepada Sang Absolut ia passif dan kepada ciptaan ia aktif– dengan keaktifannya (hubungannya dengan ciptaan) ia disebut sebagai “dasar” eksistensi (aṣl al-maujūdāt); dan dengan kepasifannya (hubungannya dengan Sang Riil) ia disebut sebagai realitas, karena ia tetap permanen dalam “kesadaran” dan ilmu Allah (fī ‘ilm Allāh); kedua, sifat Arketip Permanen yang selalu dan selamanya siap (isti‘dād aṣlī) menerima per-wujud-an dari Sang Riil dengan mendengarkan perintah “jadilah!” (kun) yang dengannya ia lalu “menjadi” (fa yakun), maka dengan kesiapannya menerima perwujudan dari Sang “pemberi wujud” ia dikatakan memiliki relasi dengannya, dan selanjutnya dengan relasi ini eksistensi ciptaan dikatakan “riil;” ketiga, perintah “jadilah” yang terucap dari Sang Riil “terjadi” secara terus menerus, sehingga yang mendengarkan (mā siwa Allāh = maujūdāt) mengalami fluktuasi konstan (taqallub) atau pembaharuan yang tidak pernah berhenti atau dengan kata lain, eksistensi-eksistensi yang selain dari Allah mengalami momen penghilangan dan penciptaan yang baru yang konstan dan kontinyu (khalq jadīd). Pada momen penciptaan inilah eksistensi ciptaan dikatakan memiliki realitas eksistensi.
Meskipun demikian, realitas eksistensi-eksistensi yang dimiliki oleh eksistensi ciptaan mā siwā Allāh tersebut, menurut al-Makassarī, juga tidak dapat dikatakan riil secara mutlak sebagaimana eksistensi Sang Riil, tetapi harus ditempatkan dalam posisi “antara” penetapan (itsbāt) dan penafiyan (nafy). Dalam hal ini al-Makassarī menulis:
“… ومن الكمل المحققين العارفين بالله تعالى قالوا في شهودهم بان العالم المراد بما سوي الله تعالى يكون موجودا باعتبار ومعدوما باعتبار، فلا يثبتونه كاثبات اهل الكلام من المتكلمين ولا ينفونه كنفي اهل الفناء الذين مغلوبين الحال ليس لهم شعور فى الوجود ابدا…”
“… dan yang benar-benar telah sempurna pandangannya serta telah mencapai puncak pendakian spiritualnya, mereka berkata dalam kondisi syuhūd-nya: bahwa sesungguhnya phenomenal ‘ālam yang diistilah dengan segala sesuatu selain dari Allah (mā siwā Allāh)” itu memiliki konsideran dan sebutan “ada” dan “tiada” dalam waktu yang bersamaan. Mereka tiada mengukuhkan wujudnya [menganggap mā siwā Allāh sebagai eksistensi riil secara mutlak] sebagaimana anggapan ahl al-Kalām (theologians) dan tiada pula menafikannya [menganggap mā siwā Allāh sebagai eksistensi yang tidak riil secara mutlak] sebagaimana anggapan ahl al-Fanā’, yang pada kondisi kefanaannya, menafikan segala bentuk eksistensi [selain dari eksistensi Allah]…”[14]
Al-Makassarī menyebut kondisi eksistensi ini dengan kiasan “sang perindu” (‘āsyiq): “… dan disebutlah ia sang perindu karena kondisinya yang merindukan curahan kasih [eksistensi] dari Sang Pemilik Eksistensi (wājib al-wujūd), sebagai kerinduan yang abadi.”[15]
“… وسميت عاشقا لافتقارها واحتياجها الى الوجود الواجب وكمالاته افتقارا ازليا ذاتيا لم يزل به … ”
Dalam skemanya yang lebih sistematis mengenai eksistensi, al-Makassarī, sebagaimana para ṣūfī terkemuka lainnya, seperti Ibn ‘Arabī, al-Jīlī[16] –menyebut sebahagiannya, menunjukkan proses terjadinya manifestasi (tajallī) atau descen (tanazzul) Sang Riil yang kemudian diistilahkan sebagai tingkatan-tingkatan atau tahapan-tahapan eksistensi (marātib al-wujūd = the degrees of existence).
Bagi al-Makassarī, kemungkinan terjadinya manifestasi Sang Riil dapat ditemukan di dalam al-Qur’ān itu sendiri, seperti yang dapat dibaca dalam Sūrat al-Ḥadīd, 57:3, yakni: Dialah [Esensi] yang Pertama dan Akhir, yang Ẓāhir dan Bāṭin, dan Dia mengetahui segala sesuatu” “( هو الاول والآخر والظاهر والباطن وهو بكل شئ عليم ).” Esensi Sang Riil (Dhāt al-Ḥaq), sebagaimana makna yang terindikasi dari ayat tersebut, dapat dipahami melalui 2 aspek-Nya, yakni aspek Luar (al-ẓāhir) dan aspek Dalam (al-bāṭin). Di sini al-Makassarī menguatkan pemahamannya dengan mengutip Ibn al-Fāriḍ:
“Telah berkumpul di dalam Diri-Nya [Dhat] aspek yang “berbeda-beda” [harmonis] dengan hukumnya yang tertentu, maka dengan sebab itu, ter-“ẓāhir”-lah rupa dan bentuknya pada setiap “manifestasi” “(tajamma‘at al-Aḍdād fīhā bi Ḥukmih fa Asykāluhā Tubdū ‘alā Kulli Hay’ah).”[17]
Aspek Dalam dari Sang Riil disebut sebagai lā ta‘ayyun atau tidak bermanifestasi dan tidak memiliki predikasi-predikasi; sedangkan aspek Luar-Nya disebut sebagai ta‘ayyun atau bermanifestasi dan memiliki predikasi-predikasi.[18]
Lā ta‘ayyun, yang oleh sebahagian ṣūfī, juga diistilahkan sebagai ghayb al-huwiyah atau iṭlāq al-huwiyyah atau iṭlāq al-dhātī dan, atau Kunhi dhāt. Disebut demikian karena Esensi atau Dhāt pada tahap ini dalam kondisinya yang “paling terisolasi” atau, meminjam terma al-Attas,[19] “utmost isolation” –tiada “bernama,” ”bersifat,” dan ”berbuat.” Tiada bernama, bersifat dan berbuat karena tidak “sah” bagi Sang Riil memiliki predikasi-predikasi tersebut (seperti, wujūd, qidam, baqā dan lain sebagainya), bahkan predikasi “ke-mutlak-an” pun (iṭlāq) merupakan predikasi yang harus dihindari pada tahapan ini (iṭlāq ‘an al-iṭlāq), oleh karena predikasi-predikasi tersebut berarti “pembatasan” dan “pengkaitan” (ta‘ayyun dan taqayyud):
“… وذات الحق من هذه الحضرة لا يصح ان تعين بتعين … ولا يضاف اليه اسم كوجود، او قدم، او وجوب، او بقاء، او وحدة او غيرها من صفة او فعل لأن كل ذلك تعين وتقيد …”
“… dan Esensi Sang Riil pada tahapan [lā ta‘ayyun] ini tidak dipredikasikan dengan predikasi apa pun… tidak pula diberi kualifikasi Nama, Sifat dan Perbuatan, seperti wujūd, qidam, wujūb, baqā dan waḥdah, oleh karena hal yang demikian itu merupakan pembatasan dan pengkaitan…”[20]
Dalam status ontologi demikian, Esensi atau Dhāt hanya dapat dinamai sebagai Sang Dia (al-Hū atau Huwa) dan Sang Riil (al-Ḥaq). Penamaan ini adalah indikasi bahwa Esensi Allāh[21] benar-benar dalam situasi yang tersembunyi (al-Ghayb al-Ḍhātī). Dengan demikian, Sang Riil tidak mungkin dapat “tergapai” oleh hamba (secara hissī, aqlī, maupun ‘irfani atau syuhūdī)[22] setinggi apa pun pencapaian spiritualnya, termasuk para auliyā dan anbiyā dan bahkan Rasulullah saw pun, sebagai manusia paling sempurna dan paling tinggi tingkat spiritualnya, tak dak dapat menembus “batas pemisah” tersebut, sebagaimana yang baginda Rasulullah saw isyaratkan dalam sabdanya: “Maha Suci Engkau, tiadalah kami dapat menggapaimu [mengenal] dengan sesungguhnya.”
سبحانك ما عرفناك حق معرفتك[23]
Isyarat ke-tidak-tergapaian Sang Dia ini, oleh kaum ṣūfī, sebagaimana al-Makassarī mengutip Ibn ‘Arabī, digambarkan: “bahwa barang siapa yang pada tingkat spiritual “mengenal” Allah, maka lisannya akan keluh”:
من عرف الله كل لسانه[24]
Meskipun demikian, bahwa pada kondisinya yang paling terisolasi dalam Dia yang tersendiri –tak berkualifikasi, tak berpredikasi dan tak berpengkaitan (lā ta‘ayyun) dengan sesuatu apapun termasuk segala Ṣifāt dan Asmā’ (الصفات والاسماء الحسنى)– atau meminjam bahasa ḥadīts (كان الله ولم يكن شئ غيره),[25] eternal dan selamanya, dan dalam kondisi ini, hanya Allah saja yang mengetahui Esensi Diri-Nya, akan tetapi, realitas Sang Riil tersebut “memiliki” aspek yang dikenal sebagai aspek ta‘ayyun. Dan aspek ta‘ayyun ini adalah aspek luar (al-ẓāhir) Sang Riil, yang pada-Nya melekat keinginan untuk “dikenal” (fa aḥbabtu an u‘rafa) yang terealisasi, teraktualisasi atau termanifestasi (yatajallā fīh) dalam ciptaan. Karena tanpa adanya aspek tersebut, tak akan ada manifestasi-manifestasi Allah, dan pengetahuan bahwa Dia adalah Esensi yang terasing dalam kesendirian-Nya menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Dalam hal ini al-Makassarī menulis:
… penapian (nafy) dari segala kualifikasi dan predikasi (yakni, ke-muṭlāq-an, peng-ḥukum-an, pe-nama-an, penyifatan, dan lain sebagainya), begitu juga sebaliknya, pengukuhan (itsbāt) kualifikasi dan predikasi tersebut terhadap eksistensi dhāt al-Ḥaq, adalah hal yang dibolehkan (ويصح في ذاته المطلق بهذا الاطلاق) … penapian dan pengukuhan ini disebut sebagai tempat pertemuan “arus berlawanan” atau diistilahkan “prinsip harmonisasi”[26] (مجمع الاضداد ومقام تعانق الاطراف), seperti: yang Awal dan Akhir, dan yang Batin dan Zahir (al-awwaliyah wa al-ākhiriyah, al-bāṭiniyah wa al-ẓāhiriyah…), yang dinafikan adalah eksistensi dhāt al-Ḥaq pada tahapan lā ta‘ayyun yaitu aspek al-bāṭin, sedangkan yang dikukuhkan adalah eksistensi dhāt al-Ḥaq pada tahapan ta‘ayyun yaitu aspek al-ẓāhir.[27]
Dari diskusi singkat di atas, dapat disimpulkan, bahwa realitas Dhāt memiliki 2 aspek: (pertama) adalah aspek “Dalam” (al-bāṭin) yang tak berpredikasi (lā ta‘ayyun) dan tak bermanifestasi, dan (kedua) adalah aspek “Luar” (al-ẓāhir) yang berpredikasi (ta‘ayyun) dan bermanifestasi. Aspek bermanifestasi tersebut, kemudian diistilahkan sebagai “the principle of ontological movement”[28] yang tiada lain adalah “cinta” (al-ḥubb), sebagaimana yang digambarkan dalam sebuah Ḥadiīts Qudsī yang berbunyi: “Dahulu” Aku adalah Bendahara yang Tersembunyi, tetapi Aku cinta agar Aku dikenal, maka Aku ciptakan ciptaan [makhlūq] agar supaya Aku dapat dikenal.”
كنت كنزا مخفيا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق لكي اعرف[29]
Frasa “Bendahara yang Tersembunyi” dalam Ḥadiīts Qudsī tersebut memiliki equivalensi dengan (lā ta‘ayyun), yang tak terbatas dan tak bermanifes dan merupakan tahapan tertinggi dari Sang Riil atau meminjam istilah al-Jurjānī “terdalam dari segala yang batin” (ابطن كل باطن).[30] Sedangkan frasa “Aku cinta agar Aku dikenal” adalah prinsip yang melekat pada Diri Sang Riil yang memberi implikasi akan adanya sebuah “tekanan” (al-Karb) pada Diri al-Ḥaq, karena, meskipun tersembunyi, Ia memiliki “hasrat dan keinginan untuk dikenal” yang pada gilirannya terselesaikan melalui manifestasi-manifestasi Allah (tajalliyāt) pada ciptaan.
Menarik untuk diperhatikan, bahwa prinsip ontologi tersebut yang tiada lain adalah cinta, juga dibahas oleh al-Makassarī, secara simbolik, dengan menggunakan terma al-‘Isyq, al-‘Āsyiq dan al-Ma’syūq (rindu, perindu dan dirindukan):
Rindu (al-‘Isyq) dianalogikan sebagai al-Wujūd al-Muṭlaq, yang padanya dinafikan [pada aspek al-Bāṭin] dan dikukuhkan [pada aspek al-Ẓāhir] segala predikasi-predikasi (ta‘ayyun dan taqayyud); dan Perindu (al-‘Āsyiq) diibaratkan sebagai Arketip Permanen (al-A‘yān al-Tsābitah). Diibaratkan sedemikian, oleh karena pada dasarnya, Arketip Permanen ini dalam kondisi “ketiadaan yang mungkin” (al-i‘dām al-mumkinah). Dan dengan kondisi itu ia “selalu” siap menerima (merindukan dan membutuhkan) “sinaran wujūd” (al-fayḍ) dari al-Wujūd al-Muṭlaq [al-‘Isyq]; sedangkan dirindukan (al-Ma’syūq) diumpamakan sebagai al-wujūd al-iḍāfī yang termanifestasi dari Arketip Permanen karena adanya “perintah” dari al-Ḥaq yang menghendakinya ada.[31]
Ada lima tahapan manifesatasi yang selanjutnya terealisasi dan teraktualisasi sebagai implikasi dari prinsip ontologi ini (al-ḥubb atau al-‘Isyq) yaitu: (1) al-waḥdah (2) al-wāḥidiyah, (3) al-arwāḥ, (4) al-mitsāl, dan (5) al-syahādah.
Al-waḥdah, disebut juga sebagai al-Qābiliyah al-Ūlā atau al-Barzaḥiyah al-Ūlā dan, atau al-Ḥaqīqah al-Muḥammadiyah, adalah manifestasi pertama (ta‘ayyun al-awwal) yang meliputi: Eksistensi (wujūd), Ilmu (‘ilm), Saksi (syuhūd), dan Cahaya (nūr).[32] Disebut Eksistensi karena menjadi lantaran “Penyebab” [Yang Menyebabkan] dan yang ”Disebabi” [Maujūdāt] termanifes; disebut Ilmu karena menjadi lantaran Yang Mengetahui (al-‘Ālim) dan Yang Diketahui (al-Ma‘lūmāt) termanifes; disebut Saksi karena menjadi lantaran Yang Menyaksikan dan Yang Disaksikan termanifes; dan disebut Cahaya karena menjadi lantaran Yang Menyinari dan Yang Disinari termanifes. Keempat hal tersebut (wujūd, ‘ilm, syuhūd, dan nūr) inilah yang menjadi “pemicu” adanya al-ḥubb atau rasa cinta (the principle of ontological movement) yang pada gilirannya memberi tekanan (al-Karb) pada Diri Sang Riil sehingga memungkinkan terjadinya manifestasi-manifestasi.[33]
Tahap manifestasi kedua (ta‘ayyun al-tsānī) adalah al-Wāḥidiyah atau, oleh kalangan ṣūfī, disebut sebagai Yang Diketahui (al-Ma‘lūmāt) atau Arketip Permanen (al-A‘yān al-Tsābitah) atau “al-Māhiyāt” dan, atau “al-Ḥaqā’iq,” yang tiada lain adalah merupakan aspek Luar (al-ẓāhir) dari al-waḥdah itu sendiri.[34]
Menurut al-Makassarī, baik al-waḥdah maupun al-wāḥidiyah, keduanya merupakan manifestasi-manifestasi Sang Riil yang kondisniya “tetap” pada ke-azālī-annya yang abadi (bāqiyāni ‘alā ḥālihimā al-azaliyah ghayr khārijīn fīhā).
Lalu di manakah letak perbedaan antara al-waḥdah dengan al-wāḥidiyah. Untuk pertanyaan tersebut, al-Makassarī memberi penjelasan bahwa:
… tahapan yang pertama adalah al-Waḥdah yang merupakan manifestasi dari dhāt al-Ḥaq pada aspek al-ẓāhir. Al-Waḥdah adalah manifestasi yang di dalamnya terkandung segala struktur objek pengetahuan (al-ma’lūmah) secara azālī, baik al-ma’lūmah tersebut dalam kondisinya yang samar dengan sifatnya yang global (mubhamah mujmalah) tak berpartikular (ghayr mu‘ayyanah) ataukah al-ma’lūmah tersebut dalam kondisinya yang nyata dengan sifatnya yang rinci (muta‘ayyanah mufaṣṣalah) dan telah berpartikular (mu‘ayyanah). Apabila al-ma’lūmah tersebut dalam kondisinya yang samar dengan sifatnya yang global dan belum berpartikular, maka ia disebut sebagai “al-Aḥadiyah” atau “al-Hurūf al-‘Āliyāt” atau “al-Hurūf al-Aṣliyah.” Akan tetapi, apabila al-ma‘lūmah tersebut dalam kondisinya yang nyata dengan sifatnya yang rinci dan telah berpartikular, maka ia disebut sebagai “al-Wāḥidiyah” atau “al-Māhiyāt” atau “al-Ḥaqā’iq” atau “al-A‘yān al-Tsābitah” dan inilah tahapan yang kedua.[35]
Pada tempat yang lain, al-Makassarī menulis:
… bahwa “pengkaitan” (taqyīd) terdiri atas 2 macam, yakni: pengkaitan yang bersifat khusus dan pengkaitan yang bersifat umum. Adapun pengkaitan yang bersifat khusus ada 2, yaitu: terkait khusus dengan ke-muṭlāq-an (mukhtaṣṣun bi al-iṭlāq) dan terkait khusus dengan pengkaitan (mukhtaṣṣun bi al-taqyīd); yang pertama tersebut adalah al-Aḥadiyah yang merupakan aspek Dalam (al-Bāṭin) dari tahapan eksistensi pertama yaitu al-Waḥdah; sedangkan yang kedua tersebut adalah al-Wāḥidiyah yang merupakan aspek Luar (al-ẓāhir) dari al-Waḥdah itu sendiri… [36]
Sejauh ini kita telah membahas mengenai al-Waḥdah dan al-Wāḥidiyah, yang secara berurut dikatakan sebagai tahapan eksistensi pertama dan kedua dari Sang Riil, tiada berpindah dan tetap subsis secara permanen (baqā) dalam “kesadaran” dan ‘ilmu Allah (fī ‘ilm al-Ḥaq), dan oleh karena kondisinya yang permanen sedemikian, ia adalah “realita-realita” (ḥaqā’iq) yang telah kita identifikasi sebagai al-ma’lūmah (j. al-ma’lūmāt).
Mengingat hal ini dan dengan kenyataan bahwa al-Wāḥidiyah tiada lain adalah manifestasi aspek zāhir al-Waḥdah, maka status al-Waḥdah dapat dipandang sebagai in potensia sekaligus sebagai “wadah” –yang akan dan selalu siap menerima setiap pancaran sinar suci (al-fayḍ al-Aqdas) dari Sang Riil (al-Ḥaq).[37]
Dipandang sebagai in potensia karena pada aspek Dalam al-Waḥdah terkandung segala potensi-potensi yang tak terbatas; dipandang sebagai wadah karena pada aspek Luarnya merupakan dasar atau “tempat” Sang Riil mewujudkan aktifitas kreatif-Nya dengan “pemunculan” potensi-potensi yang melekat padanya dan yang tak terbatas tersebut, melalui perintah dengan titah “كن” (“dan ketika Dia memutuskan sesuatu, Dia berfirman kepadanya, “jadilah” maka jadilah ia. Sūrah al-Baqarah, 2:117; sūrah Āli ‘Imrān, 3:47; dan sūrah Maryam, 19:35; dan sūrah al-Aḥqāf, 46:48” –yang keseluruhannya terjadi sebanyak 8 kali dalam al-Qur’ān).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa:
- Dhāt al-Ḥaq, yang dikatakan sebagai tahapan tertinggi dalam tingkatan-tingkatan eksistensi, dengan prinsip harmonisasi, memiliki 2 aspek, yaitu aspek Dalam (al-bāṭin) dan aspek Luar (al-ẓāhir);
- Aspek Dalam yang juga diistilahkan sebagai ghayb al-Huwiyah, iṭlāq al-huwiyah, kunhi dhāt, kanz makhfiy, al-‘amā, adalah aspek yang tidak bermanifestasi. Aspek tersebut adalah dalam kapasitas yang terisolasai dan tersendiri, tak terpaut oleh Nama-nama dan segala Sifat (al-asmā wa al-ṣifāt), jelasnya, aspek Dalam adalah aspek yang tidak bermanifestasi dan tanpa ada predikasi apa pun (lā ta‘ayyun) yang melekat pada-Nya, azālī dan selamnya. Dalam status ontologi seperti ini, Esensi atau Dhāt diberi sebutan sebagai Sang Riil (al-Ḥaq) atau Sang Dia (al-Hū);
- Aspek Luar yang juga diistilahkan sebagai al-Waḥdah, al-Barzakhiyah, al-Qābiliyah al-Ūlā, al-Ḥaqīqah al-Muḥammadiyah, dengan prinsip cinta (al-ḥubb atau al-‘Isyq), adalah aspek di mana Sang Riil memiliki predikasi (ta‘ayyun) serta memanifestasikan Diri-Nya;
- Manifestasi Diri Sang Riil dapat dibedakan ke dalam 2 kategori: yang pertama adalah manifestasi Sang Riil kepada Diri-Nya sendiri yang diistilah dengan al-Fayḍ al-Aqdas atau tajallī dhātī; dan yang kedua adalah manisfestasi Sang Riil kepada selain dari Diri-Nya (mā siwā Allāh) yang diistilahkan dengan al-Fayḍ al-Muqaddas atau tajallī syuhūdī. (lihat catatan kaki no. 35).
- Manifestasi pertama adalah al-Waḥdah. Al-Waḥdah terkandung di dalamnya unsur yang disebut inpotensia (al-ma‘lūmāt) yang tak terbatas –yang secara naturalnya menghendaki adanya pemunculan atau aktualisasi atau eksternalisasi. Dengan inpotensia yang melekat padanya inilah sehingga, sebagaimana halnya Dhāt al-Ḥaq, al-Waḥdah dikatakan memiliki aspek Dalam (al-bāṭin) dan aspek Luar (al-ẓāhir).
- Aspek Dalam al-Waḥdah, yang juga disebut dengan al-Aḥadiyah atau al-Ḥurūf al-‘Āliyah atau al-Ḥurūf al-Aṣliyah, adalah “tempat” di mana objek pengetahuan yang berifat global berada.
- Adapun aspek Luar al-Waḥdah, yang juga disebut dengan al-Wāḥidiyah atau al-Māhiyāt atau al-Ḥaqā’iq atau al-A‘yān al-Tsābitah, adalah “tempat” di mana objek pengetahuan yang berifat rinci berada.
- Aspek luar ini –populer diistilahkan dengan Arketip Permanen (al-A‘yān al-Tsābitah), pada status ontologinya, menempati posisi sebagai “intermediary,” antara Sang Riil dengan alam phenomenal. Dengan status tersebut, Arketip Permanen memiliki “double nature,” yaitu passif dan aktif –kepada Sang Riil ia passif dan kepada alam phenomal ia aktif– dengan keaktifannya (hubungannya dengan dunia phenomenal) ia disebut sebagai “dasar” eksistensi (aṣl al-maujūdāt);[38] dan dengan kepasifannya (hubungannya dengan Sang Riil) ia disebut sebagai realitas, karena ia tetap permanen dalam “kesadaran” dan ilmu Allah (fī ‘ilm Allāh). Pada aspek luar inilah al-Makassarī menganalogikannya sebagai sang perindu yang merindukan taburan kasih (al-musta‘iddah al-qābilah li fuyūḍ al-wujūd al-muṭlaq) Sang Pemilik kasih.[39]
Berikut adalah skema dari tahapan-tahapan eksistensi al-Makassarī yang sejauh ini telah dipresentasikan:
لاتعين
غيب الهوية اطلاق الهوية كنه ذات كنز مخفي العماء |
تعين الاول
الوحدة البرزخية القابلية الاولى الحقيقة المحمدية |
ذات الحق |
الظاهر
|
الباطن
|
الظاهر
|
الباطن
|
الحروف العاليات
الحروف الاصلية الاحدية
|
تعين االثاني
الواحدية الاعيان الثابتة الماهيات الحقائق |
- Arketip Permanen (al-A‘yān al-Tsābitah)[40]
Sebagaimana telah disinggung, bahwa Arketip Permanen, pada status ontologi, menjadi perantara antara Sang Riil dengan dunia phenomenal. Dengan status sedemikian, Arketip Permanen memiliki dual nature atau dua arah bersilangan, yaitu naik “ascend” dan turun “descend.” Ascend jika berkaitan dengan Sang Riil dan discend jika berkaitan dengan dunia phenomenal. Dalam situasinya yang naik, Arketip Permanen dikatakan passif karena ia adalah reseptif atau qābil (j. qawābil) dan karena ia hanyalah potensi-potensi (al-ma‘lūmāt) yang berada dalam kesadaran dan ilmu Sang Riil; sedangkan dalam situasinya yang turun, ia dikatakan aktif karena ia adalah orisinil dan dasar dari segala ciptaan (تستند اليها). Dengan kata lain, segala ciptaan (maujūdāt atau mā siwā Allāh) teraktualisasi berdasarkan “format” -nya yang ada dalam Arketip Permanen:
” … هي صورة هيئة معلومية الاشياء فى علم الله القديم الازلي وهى قديمة ازلية بقدم العلم وازليته… ”
Sesuai dengan sebutannya, al-A‘yān al-Tsābitah diterjemahkan sebagai Arketip Permanen. Dikatakan arketip karena ia adalah entitas-entitas (al-asyyā’ al-muta‘ayyinah), atau objek-objek pengetahuan (al-ma‘lūmāt al-‘ilmiyah), dan atau realitas-realitas sesuatu (ḥaqā’iq al-asyyā’); sedang pengkaitan atau penyipatannya dengan permanen karena entitas-entitas tersebut kukuh berada dalam kesadaran dan ilmu Allah, tak berpindah dan tak berubah, azālī dan abadī.[41] Dengan bersituasinya di dalam kesadaran dan ilmu Allah, maka entitas-entitas tersebut menjadi objek-objek pengetahuan. Dan sebagai objek-objek pengetahun ia adalah realitas-realitas yang sifatnya kukuh tetap dalam kesadaran dan ilmu Allah terdahulu dan selamanya. Pada status inilah Arketip Permanen memiliki konsideran eksistensi atau sebutan wujūd. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang esensinya yang tidak tereksternalisasi atau teraktualisasi dalam dunia phenomenal, maka Arketip Permanen tidak memiliki kualifikasi wujūd, sebagaimana yang ditekankan al-Makassarī:
“… واما القول بعدميتها فيكون باعتبار عدم وجوديتها فى الخارح، والقول بوجوديتها فيكون باعتبار معلوميتها، والمعلوم لايكون الا موجودا ولو باعتبار اذ لو كان معدوما من كل الوجوه لما علم ابدا عند التحقيق…”
“… dan adapun konsiderasi mengenai ke”tiada”annya, maka hal itu lantaran ia [Arketip Permanen] tidak memiliki eksistensi di alam phenomenal; sedangkan konsiderasi mengenai ke”ada”annya, maka hal itu lantaran ia adalah objek (yang diketahui) atau realitas atau entitas, oleh karena tidak disebut objek kecuali jika ia eksis, walaupun hanya sebagai konsideran, dan jika dikatakan ke”tiada”annya secara mutlak, maka Arketip Permanen selamanya tidak mungkin dapat diketahui …”[42]
Dari penjelasan ini, nampaknya al-Makassarī insis untuk tidak mengatakan Arketip Permanen sebagai “sesuatu” yang memiliki kualifikasi ke”tiada”an secara mutlak, tetapi, tidak juga mengatakan ke”ada”annya secara mutlak:[43]
“… كما يصح ان يقال فى حقها انها ليست بموجودة ولا بمعدومة مطلقا من كل الوجوه …”
Dalam paragraph yang lain al-Makssarī menulis:
“ … jika demikian adanya… lalu apa dan siapa yang menjadi objek perintah (mukhāṭab) ketika Allah berfirman: “jadilah!” karena jika dikatakan bahwa objeknya adalah sesuatu yang “ada,” maka akan memberi implikasi bahwa Allah itu lemah (‘ājiz), karena Allah tidak sanggup meng-ada-kan; dan jika dikatakan bahwa objeknya adalah sesuatu yang “tiada,” maka [perintah Allah tersebut] berimplikasi “sia-sia” (‘abats), karena Allah memerintahkan sesuatu yang tiada… dengan kesulitan yang demikian, Arketip Permanen diberi kualifikasi ada dan kualifikasi tiada secara bersamaan. Dalam kualifikasi adanya itulah Allah berfirman kepadanya; dan dalam kualifikasi ketiadaannya itulah ia menerima (yaqbil) perwujudan… ”[44]
Dengan demikian, maka konsideran sesungguhnya dari Arketip Permanen ini adalah “eksis” dan “tidak eksis” pada saat bersamaan: disebut eksis karena ia merupakan objek perintah Sang Riil yang selalu siap menerima pengguyuran eksistensi (al-musta‘iddah al-qābilah li fuyūḍ al-wujūd al-muṭlaq) melalui titah “jadilah!” Dan objek perintah tersebut adalah entitas-entitas yang ber”ada” dalam kesadaran dan ilmu Allah;[45] disebut tidak eksis (al-i‘dām al-mumkinah)[46] karena ia tidak tereksternalisasi dalam dunia phenomenal (fī al-khārij), oleh karena, kualifikasi eksistensi hanya “berlaku” atau dapat dipredikasikan bagi sesuatu yang tereksternalisasi dalam alam phenomenal atau spasio temporal. Sederhananya, sebelum adanya perintah yang menghendaki perwujudannya di alam phenomenal, “Arketip Permanen memiliki kualifikasi tiada:”[47]
“… ما شمت رائحة الوجود الخارج ابدا…”
Hal lain yang perlu dicatat dari status ontologi Arketip Permanen sebagai intermiediari adalah hubungannya dengan Sang Riil serta dunia phenomenal. Dengan kata lain, apakah dengan naturenya yang naik dan berhubungan langsung dengan Sang Riil yang Eternal (qadīm), Arketip Permanen juga dapat dikonsiderasikan eternal? ataukah sebaliknya, apakah dengan naturenya yang turun dan berhubungan langsung dengan dunia phenomenal yang temporal lantas ia dikonsiderasikan baharu (ḥādith)?
Dalam status ontologi yang menempatkan Arketip Permanen seperti ini, tentu akan sangat sulit, kalau tidak mustahil, mengungkapkannya dalam bahasa lisan, artinya sesuatu yang pada prinsipnya sebagai intermediary, tidak dapat diberi istilah yang pasti. Dengan demikian, kita dipaksa untuk mengistilahkannya dengan istilah yang tidak presisi (i.e., menyebutnya dalam bentuk affirmatif atau negatif, atau affirmatif sekaligus negatif), seperti, ada atau tiada, atau ada dan tiada sekaligus, atau eternal atau tikdak eternal, atau eternal dan tidak eternal sekaligus, atau baharu, atau tidak baharu, dan atau baharu dan tidak baharu sekaligus –istilah-istilah yang mana juga digunakan oleh al-Makassarī dalam diskursusnya mengenai Arketip Permanen, dunia phenomenal dan lain sebagainya.
Kaitannya dengan status Arketip Permanen, al-Makassarī menerangkan sebagai berikut:
“… konsideran yang mengatakan bahwa Arketip Permanen adalah eternal dan baharu adalah konsideran yang sah sebagaimana kesahihan konsideran yang mengatakan bahwa Arketip Permanen adalah tidak eternal dan tidak baharu. Adapun konsideran keeternalannya adalah berdasar kepada sudut pandang keeternalan Ilmu Sang Riil; sedangkan konsideran kebaharuannya adalah berdasar kepada sudut pandang kebaharuan efek (ātsār) yang ditimbulkannya, yaitu dunia phenomenal; … adapun konsideran ketidak eternalannya adalah berdasar kepada sudut pandang bahwa yang eternal secara esensial hanya satu, yaitu Sang Riil; sedangkan konsideran ketidak baharuannya adalah berdasar kepada sudut pandang bahwa yang baharu tiada lain kecuali yang tereksternalisasi, yaitu dunia phenomenal …”[48]
Dari keterangan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa konsideran Arketip Permanen dapat dikatakan eternal, baharu, tidak eternal, dan tidak baharu dalam waktu yang bersamaan. Dan semua konsideran yang dapat dikatakan kepadanya hanyalah merupakan inference, karena dilihat dari sudut pandang esensinya (bi dhātihā) atau dirinya (bi nafsihā), Arketip Permanen jelas berbeda dengan Sang Riil yang Eternal dan dunia phenomenal yang baharu.
Jadi, jika dikatakan bahwa Arketip Permanen memiliki konsideran eternal, maka inferencenya adalah karena keberadaannya di dalam ilmu Sang Riil, dan ilmu Sang Riil adalah Eternal karena Dhāt Sang Riil Eternal; jika dikatakan ke–baharu-annya, maka inferencenya adalah karena melihat efek yang ditimbulkannya (al-mu’atstsir bi ism al-atsr) yaitu alam phenomenal yang baharu, seperti halnya konsideran yang mengatakan eternalnya dunia phenomenal karena inferencenya yang melihat dari sudut pandang sang pemberi efek (al-atsr bi ism al-mu’atstsir) yaitu ilmu Sang Riil yang Eternal; begitupun halanya dengan konsideran Arketip Permanen yang tidak eternal, maka inferencenya adalah karena melihat bahwa yang eternal secara esensial, tiada lain kecuali Sang Riil, sebagaimana konsiderannya yang tidak baharu karena meilhat bahwa yang baharu yang tereksternalisasi, tiada lain kecuali dunia phenomenal.[49]
- Sarwa Alam dan Manusia Sempurna
Sarwa alam dalam pengertiannya adalah totalitas yang ada (al-maujūdāt) selain dari Allah (mā siwā Allāh) yang meliputi sekalian alam (al-‘ālamīn), baik alam nyata (ālam al-syahādah) maupun alam ghaib (ālam al-Ghayb), termasuk segala apa yang ada di “dalam” atau di “antara” keduanya. Sarwa alam juga berkonotasi dengan al-asyyā’ (sing. al-syay’), al-makhlūqāt (sing. al-makhlūq) dan al-kā’ināt (sing. al-kawn).[50] Sarwa alam adalah manifestasi-manifestasi Sang Riil dalam konteks tajallī syuhūdī atau al-fayḍ al-muqaddas yang mencakup 3 determinasi (ta‘ayyunāt) dalam tingkatan-tingkatan eksistensi, yaitu: (1) al-arwāḥ, (2) al-mitsāl, dan (3) al-syahādah.
Mengingat 2 manifestasi sebelumnya (i.e., al-Waḥdah, yang oleh al-Makassarī, didefinisikan sebagai objek atau pengetahuan Sang Riil yang bersifat menyeluruh tetapi samar dan bersifat global dan “belum” berpartikularisasi, serta tidak terikat oleh ruang dan waktu (ghayr maj‘ūlah)[51] dan al-Wāḥidiyah yang didefinisikan sebagai objek atau pengetahuan Sang Riil yang bersifat menyeluruh tetapi rinci dan “telah” terpartikularisasi di mana “sebelumnya” masih berupa fakultas-fakultas pengetahuan secara global, tidak terikat oleh ruang dan waktu (ghayr maj‘ūlah), al-arwāḥ adalah objek atau pengetahuan Sang Riil yang bersifat menyeluruh dan rinci, dalam kapasitas aksidensi yang tiada memiliki form (ghayr muṣawwarah), warna (ghayr mulawwanah) dan matter (lā maḥsūsah) tetapi dalam situasi yang terikat oleh ruang dan waktu; sedangkan al-mitsāl adalah objek atau pengetahuan Sang Riil yang bersifat menyeluruh, rinci, konkrit (maujūdah) dan terikat oleh ruang dan waktu, serta dalam kapasitas aksidensi yang telah memiliki form dan warna tetapi tidak memilik matter yang bersifat nyata (ghayr maḥsūsah bi al-ḥawass al-ẓāhirah); dan al-syahādah adalah objek atau pengetahuan Sang Riil yang bersifat menyeluruh dan rinci, konkrit dan terikat oleh ruang dan waktu, serta dalam kapasitas aksidensi yang telah memiliki form, warna dan matter yang bersifat nyata.[52]
Keterangan di atas jelas menunjukkan adanya perbedaan status ontologi antara tajallī dhātī atau al-fayḍ al-aqdas, (i.e. al-Waḥdah dan al-Wāḥidiyah) dengan tajallī syuhūdī atau al-fayḍ al-muqaddas (i.e., al-arwāḥ, al-mitsāl, dan al-syahādah). Yang tersebut pertama merupakan manifestasi-manifestasi Sang Riil yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, sehingga dikatakan dahulu (qadīm)[53]; sedangkan yang tersebut terakhir merupakan manifestasi-manifestasi Sang Riil yang “telah” terikat dengan ruang dan waktu, sehingga dikatakan baharu (ḥādits) atau diistilahkan dengan eksistensi umum (al-wujūd al-‘ām) atau eksistensi penyandaran (al-wujūd al-iḍāfī) atau eksistensi emanasi (al-wujūd al-mafāḍ).[54]
Kesimpulan ini, tentu, tidak akan menimbulkan sebuah kontra-indikasi dengan adanya istilah “emanasi” (al-fayḍ) yang dinisbahkan kepada segala wujūd (al-wujūd al-mafāḍ): (1) jika dipahami berbeda dengan doktrin emanasi ala Plotinusme dan neo-Platonisme, dan (2).jika al-fayḍ diterjemahkan sebagai manifestasi Sang Riil, sebagaimana yang juga ditekankan oleh al-Makassarī.
Emanasi ala Plotinusme dan neo-Platonisme, umumnya dipahami sebagai ajaran yang menekankan Sang Riil sebagai “sumber” yang transenden secara absolut.[55] Artinya, dalam proses dan tahapan emanasi, Sang Riil tidak “hadir,” sehingga emanasi, katakan, yang pertama adalah sumber atau yang menciptakan, yang kedua dan, begitu juga, seterusnya, sehingga yang, katakan, terakhir merupakan emanasi yang “terburuk” oleh karena ia merupakan emanasi yang “terjauh” dari seluruh rangkaian emanasi. Implikasinya, seluruh rangkaian emanasi “menemukan” dirinya sebagai eksistensi yang berdiri sendiri.
Konsep emanasi juga memberi penekanan akan “keharusan” eksistensi sesuatu dan negasi “keterlibatan” pihak lain (i.e., Sang Riil). Artinya, bahwa kreatifitas (irādah = masyī’ah) Sang Riil, dalam “melakukan” perwujudan sesuatu, di nafikan. Hukum keharusan ini digambarkan layaknya cahaya yang terbit dari matahari, di mana cahaya tersebut eksis “dengan” atau bersamaan eksistensi matahari, dan tanpa adanya “kehendak” matahari dalam perwujudannya. Implikasinya, Sang Riil hanayalah merupakan “Sebab” yang “mendahului” dari sisi kualitas esensi yang “disebabkan,” bukan mendahului dari sisi “waktu” kemunculannya. Implikasi selanjutnya adalah bahwa yang disebabkan tersebut tidak memiliki “awal” waktu kejadian serta “batas” waktu penghabisan. Dengan kata lain, baik Sebab maupun yang disebabkan, keduanya adalah eternal.
Para ṣūfī sebagaimana yang dipresentasikan Al-Makassarī, melihat emanasi dari perspektif yang berbeda dengan sistem emanasi yang dipopulerkan oleh Plotinus dan neo-Platonis.[56] Al-Makassarī menyebut bahwa emanasi harus dipahami dalam konteks kehadiran Sang Riil. Artinya, bahwa dalam setiap “serial” emanasi (i.e., dari tahap pertama hingga tahap terakhir), Sang Riil selalu memiliki ke“terlibat”an (tanzzala), baik dalam konteks emanasi kudus (al-fayḍ al-aqdas) ataupun dalam konteks emansi yang dikuduskan (al-fayḍ al-muqaddas). Oleh karena “tanpa kehadiran-Nya, sebagai Pemberi wujud, maka mustahil bagi sesuatu menemukan eksistensi dirinya:”[57]
“… انه لو لا ظهوره فى الكل ما كان وجود كل شئ …”
Dalam paraghraf berbeda al-Makassarī menyatakan:
“… كلما توجه الى اي شئ ما صورة ومعنى وجد الحق سبحانه وتعالى ظاهرا فيه ومتجليا به، وفيه، وله، بتجلى الايجاد والخلق …”
“… setiap kali memalingkan wajah dan menghadapkannya ke suatu arah, maka pasti akan menemukan Sang Riil yang Maha Suci lagi Maha Tinggi menzahirkan serta memanifestasikankan Diri dengan, di dalam dan pada, sesuatu tersebut, manifestasi yang berarti mengadakan dan menciptakan …”[58]
Dengan demikian, dan dalam kasus emanasi, Sang Riil dapat dipandang sebagai Esensi yang tidak transenden secara mutlak, tetapi, tidak juga dipandang sebagai esensi yang imanen secara mutlak, sebagaimana yang dijelaskan al-Makassarī:
“… وهو القريب البعيد وهو الفاصل الواصل وهو المحيط بالكل من غير خلطة ولا ممازجة وهو مع الكل من غير مقارنة ولا اينانية وهو اقرب من كل شئ من غير اتصال وهو ابعد من كل شئ من غير انفصال وهو الذى ليس كمثله شئ وهو الاول والآخر وهو الظاهر والباطن وهو بكل شئ عليم …”
“… Dia lah [Allah] yang dekat sekaligus jauh, yang berpisah sekaligus berhubung, yang meliputi segala sesuatu tanpa bercampur dengannya, yang bersama dengan segala sesuatu tanpa berkaitan dan bersituasi kepadanya, yang dekat kepada segala sesuatu tanpa bersambung, yang jauh tanpa berpisah, yang tiada memiliki keserupaan, yang pertama dan yang akhir, yang zahir dan yang batin, dan yang mengetahui segala sesuatu …”[59]
Dari pernyataan-pernyataan tersebut, jelas bahwa al-Makassarī tidak sejalan dengan implikasi-implikasi yang timbul dari asumsi yang menempatkan Tuhan sebagai Sebab yang passif, hal mana menunjukkan kelemahan dan kekurangan Allah. Al-Makassarī bahkan menulis bahwa:
“… ان الله تعالى متصف بجميع الكمالات وانه سبحانه خالق الكل من الموجودات ذواتهم وصفاتهم واحوالهم وافعالهم من الخير والشر والكل تحت قدرته وارادته وقدره وقضائه …”
“… Sesungguhnya Allah menyifati segala kesempurnaan, dan sesungguhnya Ia menciptakan segala yang ada, baik esensi, sifat, keadaan maupun perbuatannya, yang baik ataupun yang buruk, kesemua itu merupakan kudrat, keinginan, ukuran dan hukum-Nya …”[60]
Penciptaan Sang Riil di sini dapat dipahami dalam pengertian aktualisasi. Aktualisasi ini, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, melibatkan 3 hal yang saling terkait, yaitu: (1) Cinta Sang Riil agar dikenal, (2) Kebutuhan Arketip Permanen akan perwujudan, dan (3) Keputusan atau Keinginan (irādah) Sang Riil yang mendasari titah-Nya. Artinya, proses aktualisasi terjadi karena adanya “tekanan” (al-Karb) dalam Diri Sang Riil, sebagai akibat dari Cinta agar dikenal, yang kemudian terselesaikan melalui Keputusan-Nya untuk memberi perwujudan kepada potensi-potensi Arketip Permanen, yang selalu dan selamanya (lam yazal bih) siap menerima (qābil) perwujudan tersebut. Keputusan Sang Riil inilah kemudian menjadi basis adanya perintah titah jadilah (kun!) sehingga potensi-potensi Arketip Permanen (al-a’yān al-tsābitah) menjadi (fa yakun) konkrit di alam temporal (al-a’yān al-khārijah).[61]
Jadi, segala yang ada (maujūdāt), baik dalam bentuk perwujudnya yang spiritual maupun material, karena keterikatannya dengan alam temporal, konsiderannya adalah baharu (ḥādits). Akan tetapi, apakah perwujudannya di alam temporal dapat diartikan bahwa status segala yang ada selain dari Allah (mā siwā Allāh) atau Sarwa alam ini, secara inference, memiliki konsideran eksistensi secara “utuh” oleh karena menerima perwujudan dari Sang Mutlak, ataukah justeru karena menerima perwujudan dari Sang Mutlak, maka status eksistensinya dikonsederasikan sebagai eksistensi “semu” belaka? Status dan kedudukan Sarwa alam inilah yang akan kita urai dalam pembahasan berikut.
- Alam Bayangan (Ẓill Allāh)
Ẓill secara literal bermakna bayangan atau refleksi sesuatu yang muncul dan terbayang jika sesuatu tersebut diterpa oleh cahaya. Dari pengertian ini didapati 3 hal yang menjadi requisit bayangan: (1) sesuatu atau person, (2) tempat atau locus, dan (3) cahaya. Person adalah penyebab, locus adalah tempat pemantulan bayangan, sedangkan cahaya merupakan prasyarat. Jika dianalogikan, maka person adalah Sang Riil, locus adalah Arketip Permanen, dan cahaya adalah Nama (Divine Name) atau aspek Luar (al-ẓāhir).
Nah, bayangan, pada prinsipnya, adalah kegelapan (ẓulmah). Disebut kegelapan karena sebelum menerima perwujudan ia adalah konsideran tiada, dan kegelapan sesungguhnya adalah kegelapan dalam ketiadaan. Arketip Permanen adalah locus atau tempat berpautnya bayangan. Cahaya (nūr) adalah salah satu dari Nama-nama Allah (al-asmā’ al-ḥusnā) yang merupakan aspek Luar Sang Riil. Person (i.e., Sang Riil) sesungguhnya adalah Cahaya itu sendiri (Sūrat al-Nūr: 24:35: “Allah adalah Cahaya [yang menyinari dalam konteks memberi eksistensi] Langit dan Bumi… Cahaya di atas segala cahaya”), oleh karena cahaya identik dengan eksistensi, dan eksistensi sesungguhnya adalah Sang Riil.[62] Jadi, bayangan tidak akan tereksternalisasi dalam bentuk konkrit (i.e., tersinari) tanpa adanya Person (Sang Riil) melalui cahaya-Nya (i.e., aspek Luar) yang menyinari, serta locus (maẓhar) tempat di mana cahaya terebut memantulkan cahaya sinarnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bayangan, yang merupakan akibat, tidak muncul dengan sendirinya tanpa adanya sebab (Sang Riil) yang memunculkannya (i.e., pemilik bayangan). Jadi, bayangan, oleh karena tidak muncul dengan sendirinya, melainkan lantaran pemilik bayangan, maka bayangan dikatakan tidak memiliki konsideran eksistensi, tetapi, disandarkan kepada sang pemilik bayangan –penyandaran ini disebut sebagai penyandaran jauh (nisbah ba‘īdah).
Jika pengertian tersebut diaplikasikan atau dikaitkan dengan Sarwa alam (i.e., konsideran yang menyebut Sarwa alam sebagai bayangan Allah = ẓill Allāh), maka yang dimaksud adalah: (1) bahwa bayangan tidak akan terrefleksi (i.e. ada dengan sendirinya), kecuali ada yang merefleksikannya, yaitu pemiliknya, melalui cahaya dan locus sebagai media dan wadah refleksinya. Begitu pun halnya dengan Sarwa alam yang tidak dapat berdiri atau eksis dengan sendirinya melainkan Allah yang “membuatnya” eksis (al-qāim bi nafsih al-muqawwim li ghayrih),[63] dan (2) bahwa bayangan tidak memiliki kehendak dan kesanggupan dengan sendirinya, melainkan kehendak dan kesanggupan pemiliknya, begitu pun halnya dengan Sarwa alam yang tidak memiliki kehendak dan kesanggupan melainkan kehendak dan kesanggupan (irādat Allāh wa qudratih) Allah jua, sebagaiman yang ditegaskan al-Makassarī:
“… ان الله تعالى هو الفاعل الحقيقي فى الكل ولا مؤثر فى الوجود الا الله اولا وآخرا ظاهرا وباطنا …”
“… sesungguhnya Dialah Allah yang Maha Suci, Pelaku atas segala sesuatu, dan tiada yang dapat memberi bekas terhadapnya kecuali Allah jua, dari awal dan akhirnya, zahir dan batinnya …”.[64]
Walhasil, Sarwa alam yang disebut sebagai bayangan Allah memiliki status eksistensi yang dikonsederasikan sebagai eksistensi semu, dan sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa eksistensi semu bukanlah berarti ketiadaan yang absolute melainkan ke-ada-an yang relatif atau meminjam istilah al-Makassarī: “ketiadaan yang nyata dalam rupa dan bentuk wujud” (‘adamun yaẓharu bi ṣūrat al-wujūd). Jelasnya, eksistensi Sarwa alam, bagi kalangan ṣūfī yang direpresentasikan oleh al-Makassarī, tidak di nafikan secara mutlak dan tidak pula dikukuhkan secara mutlak:
“ومن الكمل المحققين العارفين بالله تعالى قالوا في شهودهم بان العالم المراد بما سوي الله تعالى يكون موجودا باعتبار ومعدوما باعتبار، فلا يثبتونه كاثبات اهل الكلام من المتكلمين ولا ينفونه كنفي اهل الفناء الذين مغلوبين الحال ليس لهم شعور فى الوجود ابدا”
“Dan yang benar-benar telah sempurna pandangannya serta telah mencapai puncak pendakian spiritualnya, mereka berkata dalam kondisi syuhūd-nya: bahwa sesungguhnya Sarwa alam yang diistilahkan dengan segala sesuatu selain dari Allah (mā siwā Allāh)” itu memiliki konsideran dan sebutan “ada” dan “tiada” dalam waktu yang bersamaan. Mereka tiada mengukuhkan wujudnya [menganggap mā siwā Allāh sebagai eksistensi riil secara mutlak] sebagaimana anggapan ahli teologi (i.e., ahl al-Kalām = theologians) dan tiada pula menafikannya [menganggap mā siwā Allāh sebagai eksistensi yang tidak riil secara mutlak] sebagaimana anggapan ahl al-Fanā’, yang pada kondisi kefanaannya, menafikan segala bentuk eksistensi [selain dari eksistensi Allah]. [65]
Oleh karena, lanjut al-Makassarī, penafiyan Sarwa alam secara mutlak adalah termasuk pandangan golongan yang melampaui batas (ahl al-ifrāṭ); sedangkan pengukuhannya secara mutlak termasuk pandangan golongan yang tidak mencapai batas (ahl al-tafrīṭ). Kedua pandangan tersebut merupakan pandangan yang tidak sempurna, sehingga harus diambil pandangan tengah, yaitu dengan tidak menafikan tetapi tidak juga mengukuhkan eksistensi Sarwa alam, secara mutlak.[66]
- Alam Metaphor (al-‘alam al-majāzī)
Terma lain yang sering dikaitkan dengan Sarwa alam dan bahkan, oleh al-Makassarī, digunakan secara bergantian dengan pengertian yang hampir tidak berbeda dengan terma bayangan (ẓill), adalah majāz atau metaphor. Jawāz, sebagai akar kata (ism maṣdar) majāz, berarti hal “kebolehan.” Dipahami dalam konteks theologi, maka Jawāz berarti hal potensial. Nah, Jā’iz sebagai bentuk aktif partisipal (ism fā‘il) merujuk kepada “sesuatu” yang in potensia (i.e., sesuatu yang mungkin).
Jā’iz al-wujūd –istilah yang biasa digunakan dalam teologi, merupakan salah satu dari 3 kategori eksistensi (2 kategori lainnya adalah wājib al-wujūd dan mustḥīl al-wujūd. Yang tersebut pertama adalah eksistensi wajib yang didefinisikan sebagai kategori eksistensi yang menurut akal tidak dapat dipikirkan tiadanya; sedangkan yang tersebut terakhir adalah kategori eksistensi mustahil yang menurut akal tidak dapat dipikirkan adanya),[67] memiliki pengertian sebagai eksistensi potensial. Artinya, ia memiliki potensi untuk “eksis” dan “tidak eksis” secara bersamaan, dan hal itu tidak bertentangan dengan prinsip akal.
Nah, wājib al-wujūd dengan pengertian di atas merujuk kepada “sesuatu” yang sudah “seharusnya” ada sejak azālī, dengan sebutan azālī tersebut ia lantas dikatakan berdiri sendiri (qā’im bi nafsih), dan mustḥīl al-wujūd merujuk kepada sesuatu yang mustahil adanya, sejak azālī, dan selamnya dalam kondisi ketiadaan; sedangkan Jā’iz al-wujūd merujuk kepada sesuatu yang eksistensinya tidak dalam posisi keharusan maupun kemustahilan, sejak azālī. Sesuatu yang tidak eksis secara azālī serta tidak dalam ketiadaan yang abadi dan dalam kenyataannya “telah” ada secara phenomenal disebut sesuatu yang baharu (ḥādits). Sesuatu yang baharu dikatakan tidak memiliki eksistensi atau realitas dari dirinya sendiri, melainkan eksistensi yang diperoleh dari yang selain dari dirinya (qiyāmuh li ghayrih). “yang selain dari dirinya” ini adalah yang eksis dengan sendirinya (qā’im bi nafsih muqawwim li ghayrih) yang tiada lain adalah Sang Riil.
Kembali ke analisa semantik. Bahwa meski dalam pengertiannya mengandung implikasi “belum” karena statusnya sebagai sesuatu yang in potensia, tapi dalam kenyataannya “telah” karena tereksternalissai dan teraktualisasi sebagai phenomenal, maka jā’iz, bila diaplikasikan dalam konteks metafisika, dapat dipahami sebagai beralihnya sesuatu dari suatu fase ke fase yang lain atau beralihnya sesuatu dari potensial ke aktual atau beralihnya sesuatu dari ketiadaan ke keadaan. Akan tetapi, mengingat bahwa sesuatu yang in potensia tidak mungkin beralih dengan sendirinya, maka disimpulkan bahwa peralihan tersebut terjadi karena ada yang “mengalihkan” yaitu Sang Riil.
Untuk merecall kembali ingatan kita pada diskusi wujud yang menurut kategorinya, terbagi ke dalam kategori wujūd al-ḥaq dan wujūd al-khalq. Yang pertama disebut adalah wujud Sang Riil yang Maha Sempurna (kamāl) dan Maha Kaya (ghaniy) dalam konteks tidak membutuhkan sesuatu apapun; sedangkan yang disebut terakhir adalah wujud ciptaan atau Sarwa alam yang kurang (naqṣ) dan fakir (faqr) dalam konteks membutuhkan sesuatu yang lain selain dirinya dalam rangka perwujudannya, yaitu Sang Riil, karena tanpanya, Sarwa alam akan selamanya pada kondisi in potensia (i.e., jā’iz atau mumkin al-wujūd).
Sebagai “yang teralihkan” dari potensial menjadi actual atau dari tiada menjadi ada, di mana “menjadi ada”-nya ini tidak dapat diartikan sebagai hal atau keadaan yang tetap dan statis baginya, tetapi dipahami sebagai “peralihan” dari tiada menjadi ada, kemudian beralih kembali menjadi tiada, dan seterusnya dan selamanya dalam kondisi tersebut, maka eksistensi Sarwa alam dapat dikatakan sebagai eksistensi yang transien. Artinya, Sarwa alam memiliki konsideran eksistensi “ada” kemudian “tiada” secara bergantian dan berterusan tanpa ada 2 durasi waktu yang mengantarai keduanya. Karena, jika ada 2 durasi waktu atau lebih, maka Sarwa alam memiliki kualifikasi sebagai sesuatu yang independen (ginā) dari Sang Riil dalam durasi tersebut. Kondisi Sarwa alam yang transien inilah yang disebut dengan istilah penciptaan secara terus menerus (khalq jadīd).[68]
Kondisi penciptaan inilah yang dimaksud oleh al-Makassarī, ketika berbicara mengenai Arketip Permanen yang ia analogikan sebagai sang Perindu (‘āsyiq) dan yang kita jadikan sebagai inference dalam kaitannya dengan Sarwa alam:
“… وسميت عاشقا لافتقارها واحتياجها الى الوجود الواجب وكمالاته افتقارا ازليا ذاتيا لم يزل به …”
“… dan [Arketip Permanen] dianologikan sebagai sang Perindu oleh karena kerinduan dan pengharapannya akan perwujudan dari Sang wājib al-wujūd [Allah] dan kesempurnaan-Nya sebagai kerinduan esensial yang azālī dan abadi …”
Dari analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa konsideran eksistensi Sarwa alam adalah konsideran eksistensi semu. Semu dalam arti yang bukan illusi melainkan semu dalam pengertian bahwa ia adalah kategori eksistensi in potensi yang membutuhkan yang lain selain dari dirinya dalam konteks mengalihkannya dari potensial menjadi aktual. Dan pengalihan tersebut adalah pengalihan yang selalu dan melulu tanpa henti (i.e., dari tiada menjadi ada, kemudian kembali tiada, lalu menjadi ada, dan seterusnya… selamanya). Bahkan Sarwa alam dapat dikonsiderasikan sebagai realitas kaitannya dengan “pengalihannya” atau pembaharuannya yang terus-menerus. Artinya, pada momen transitnya menjadi ada itulah realitasnya. Perhatikan ilustrasi berikut:
tiada |
dan seterusnya silih berganti tanpa
ada 2 durasi waktu mengantarainya |
Jā’iz al-wujūd
(in potensia) |
Ilustrasi di atas seolah-olah menunjukkan adanya interval waktu yang mengantarai peralihan in potensi dari tiada menjadi ada, dan kembali menjadi tiada lalu ada dan seterusnya, padahal peralihan tersebut ibarat sebuah koin yang memiliki 2 muka yang berbeda: yang satu memiliki warna putih, yang dianalogikan sebagai ke-ada-an, dan yang satunya berwarna hitam yang dianalogikan sebagai ke-tiada-an.
Jadi, status ontologi sesungguhnya dari apa yang diistilahkan sebagai Sarwa alam itu adalah ada-dan-tiada secara berterusan. Dan dengan ke-berterusan-an tersebut (i.e., pada momen transitnya menjadi ada) ia “nampak” selolah-olah “tetap” subsis pada momen itu (i.e., menjadi ada “tanpa” kembali menjadi tiada).
Frasa nampak seolah-olah di sini berarti bukan sesungguhnya. Dan sesuatu yang menampakkan hal yang bukan sesungguhnya inilah yang dimaksud dengan majāzī atau metaphor, sebagaimana jika dikatakan bahwa Ḥamzah adalah Singa Allah (Asadullāh) sebagai metaphor atau kiasan atas keberanian Ḥamzah r.a. Jadi, kualifikasi eksistensi Sarwa alam (konsiderannya sebagai eksistensi metaphor (wujūd majāzī) adalah kualifikasi kiasan atau metaphor.
Berkaitan dengan status Sarwa alam ini, al-Makassarī menulis:
“… انه عدم يترائي وانه يظهر بصورة الوجود وليس له وجود حقيقة وانما وجوده كلا وجود … انما هو عدم يظهر بصورة الوجود …”
“… [Sarwa alam] sesungguhnya adalah wujud yang tiada tetapi dapat disaksikan, ia jelas nampak dalam bentuk wujudnya (i.e., eksistensi), padahal sesungguhnya ia tidak memiliki wujud itu secara hakiki, bahkan kualifikasi wujud yang dimilikinya tersebut bukanlah wujud yang sesungguhnya … tetapi ketiadaan yang nampak atau terzahir dalam bentuk wujud…”[69]
[1] Perlu diingat bahwa terma وحدة الوجود yang penulis terjemahkan sebagai “kesatuah wujūd” adalah istilah yang tidak pernah digunakan oleh Ibn ‘Arabī. Nampaknya, istilah ini digunakan untuk pertama kalinya oleh Ṣadr al-Dīn al-Kunāwī, salah seorang murīd dan expositor Ibn ‘Arabī. Untuk sejarah penggunaan istilah وحدة الوجود yang kemudian melekat pada sosok Ibn ‘Arabī ini, lihat William W. Chittick, “Rūmi and Waḥdat al-Wujūd,” dalam Amin Banani, Richard G Hocannisian, dan Georges Sabagh, eds., Poetry and Mysticism in Islam: the Heritage of Rūmī (New York: Cambridge Univ. Press, 1994).
[2] Lihat misalnya pernyataan H. Harifuddin Cawidu, “Dimensi Moral dalam Ajaran-ajaran Syekh Yusuf Taj al-Khalwaty al-Makassari” dalam 300 Tahun Pendaratan Syekh Yusuf di Afrika Selatan, 70: “Pernyataan-pernayataan Syeikh Yusuf dalam berbagai karya tulisnya menunjukkan adanya usaha mempertegas faham kesunniannya meskipun bila dianalisis lebih jauh mengandung secara tersirat corak tasawuf yang tidak diterima oleh, bahkan dikutuk dalam dunia sunni.”
[3] Lihat al-Makassarī, “al-Nafḥah al-Saylāniyyah fī al-Minḥah al-Raḥmāniyyah” dalam Yusuf Makassar, 50. Bandingkan Al-Makassarī, “Taḥṣīl al-‘Ināyah wa al-Hidāyah” dalam MS. Jakarta, PNRI., NA-108, 114-115.
[4] Secara detail dibahas dalam S. M. N. al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fanṣūrī (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970). Berikutnya dikutip Mysticism of Hamzah.
[5] Perlu untuk dicatat, bahwa para pemikir dan ‘ulamā, sejak dahulu sampai sekarang, memiliki sudut pandang serta sikap yang berbeda-beda terhadap taṣawwuf –perbedaan mereka yang menemukan klimaks pada perbedaan pandangan mengenai taṣawwuf yang dikembangkan oleh Ibn ‘Arabī yang inti ajarannya adalah kesatuan wujūd. Sebahagian mereka memuji dan melihat Ibn ‘Arabī sebagai sosok yang agung lagi suci bak walī, sehingga melakukan pembelaan terhadap ajaran dan doktrinnya, seperti yang dilakukan oleh al-Imām al-Sya‘rānī –menyebut sebahagiannya, yang menulis al-Yawāqīt wa al-Jawāhir fī Bayān ‘Aqāid al-Akbar untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran Ibn ‘Arabī, dan al-Imām al-Suyūṭī yang menulis Tanbīh al-Ghābi fī Tabri’at Ibn ‘Arabī sebagai ungkapan kekaguman serta pembelaan terhadap Ibn ‘Arabī; sebahagian mengkritik dan menganggapnya sebagai sosok sesat dan menyesatkan bak syetan, sehingga melakukan penghujatan, seperti yang dilakukan oleh ‘Abbās al-‘Azawī dan ‘Abd al-Raḥmān al-Wakīl; dan sebahagian lagi bersifat netral (i.e. pada suatu sisi mengkaitkan Ibn ‘Arabī dengan pemikiran Ibn Sab‘in yang sesat, tetapi pada sisi lain menganggap Ibn ‘Arabī sebagai tokoh yang konsisten pada pendapatnya mengenai transendensi Tuhan), seperti Ibn Taymiya. Lihat Islam Sufistik, 76-77 dan 132-133, passim.
Menurut hemat penulis, penghujatan itu terjadi karena adanya pemahaman yang tidak konprehensif, tetapi bersifat parsial, terhadap doktrin kesatuan wujūd Ibn ‘Arabī, misalnya dengan melakukan inference pada sebuah pernyataan dengan mengatakan –sifatnya menuduh, bahwa “Ibn ‘Arabi meyakini eternalitas (qadīm) dunia phenomenal atau semesta alam” berdasarkan pada pernyataan Ibn ‘Arabī yang mengkaitkan alam phenomenal dengan Arketip Permanen yang pada status ontologinya “bersituasi” dalam kesadaran dan ilmu Allah yang eternal. Padahal, jika dipahami secara menyeluruh, pernyataan tersebut tidak menghendaki adanya inference sedemikian (i.e., inference eternalitas alam phenomenal karena eternlnya ilmu Allah yang juga eternal berdasarkan inference pada keeternalan Dhāt al-Ḥaq), oleh karena, ilmu Allah berbeda dengan alam phenomenal. Bahkan Ibn ‘Arabī –karena keterbatasan bahasa lisān– menyebut status Arketip Permanen ini dengan ekspressi “tidak eternal,” sekaligus ”tidak baharu” atau ”eternal” sekaligus ”baharu.” atau meminjam bahasa Izutsu: “… thus one is forced to resort, as Ibn ‘Arabī actually does, to a clumsy expression, like ‘it is neither eternal nor temporal,’ but it is, on the other hand, ‘both eternal and termporal.’ If from the whole of this complex expression we pick up only the phrase, ‘(it is) eternal’ and draw from it the conclusion that Ibn ‘Arabī maintained the doktrin of the eternity of the world, we would be doing him gross injustice. Lihat Toshiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press), 163. Berikutnya diringkas Sufism and Taoism.
Kesimpulan al-Attas dalam S. M. N. al-Attas, The Positve Aspect of Taṣawwuf (Kuala Lumpur: Art Printing Works Sdn. Bhd., 1981), 2, menyebutkan bahwa kontroversi di seputar doktrin waḥdat al-wujūd yang berkepanjangan adalah akibat dari kesalah fahaman atas doktrin itu sendiri: “ … Suffice it for me to say here that Ibn ‘Arabī and his concept of waḥdat al-wujūd have been misunderstood by many people. Properly undersood, however, waḥdat al-wujūd represents the true metaphysical system encompassing the ontological, cosmological and psychological domains in the Islamic vision of reality and truth.”
[6] Lihat pembahasan mengenai kontroversi doktrin waḥdat al-wujūd vs waḥdat al-syuhūd dalam M. A. H. Ansari, Sufism and Shari’ah: A Study of Shaykh Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism (Kuala Lumpr: Islamic Foundation, 1986).
[7] Lihat al-Makassarī, “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī wa al-Minḥat al-Sālik al-Muhtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45. Karya al-Makassarī ini selanjutnya disebut sebagai al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī.
[8] Dua karya berbahasa Bugis, yaitu Qawā’id al-‘Aqāid dan Tauḥīd al-Khāliṣ, yang telah diidentifikasi sebagai karaya al-Makassarī, juga merupakan eksposisi mengenai tahapan-tahapan eksistensi. Lihat secara berurt Koleksi Manuskrip Bugis, MS Jakarta, PNRI, VT–23, 177-193 dan 230-244. Selanjutnya, karya yang pertama akan diringkas Qawā’id, sedangkan yang terakhir diringkas Tauḥīd.
[9] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 64.
[10] Dalam tulisan ini, terma-terma makhlūqāt, maujūdāt, mā siwā Allāh akan digunakan silih-berganti dengan pengertian yang tidak berbeda, yaitu untuk menunjuk kepada suatu eksistensi yang relatif sebagai antonim dari eksistensi mutlak atau absolut.
[11] Wājib al-wujūd adalah salah satu dari tiga kategori eksistensi, 2 yang lainnya adalah mustaḥīl al-wujūd dan mumkin al-wujūd. Wājib al-wujūd adalah eksistensi yang tidak dapat dipikirkan “ketiadaannya;” sedangkan mustaḥīl al-wujūd adalah eksistensi yang tidak dapat dipikirkan “keberadaannya;” dan mumkin al-wujūd adalah eksistensi yang dapat dipikirkan “ketiadaan dan keberadaanya.” Nampaknya al-Makassarī merujuk kategori eksistensi wājib al-wujūd dengan menggunakan terma al-wujūd al-maḥḍ dan al-wujūd al-muṭlaq; sedangkan eksistensi mustaḥīl al-wujūd dengan al-‘adam al-maḥḍ dan al-‘adam al-muṭlaq; dan mumkin al-wujūd ia equivalensikan dengan terma al-wujūd al-‘ām dan al-wujūd al-iḍāfī dan al-wujūd al-mafāḍ. Lihat secara passim “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 64-71; bandingkan terma-terma “wājib al-wujūd,” ”al-mumtani‘ bi al-dhāt” dan ”al-mumkin bi al- dhāt” dalam Sayyid Syarīf ‘Alī bin Muḥammad bin ‘Alī al-Zain Abī al-Ḥasan al-Ḥusynī al-Jurjānī, al-Ta‘rifāt (Qāhirah: Dār al-Kitāb al-Miṣrī, 1990), 261 dan 242. Selanjutnya dirujuk sebagai al-Ta‘rifāt; dan Syeikh Ibrahim al-Bayjūrī, Syarh al-Sanusiyah (Jakarta: Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.), 10-14, passim.
[12] Lihat Qawā’id, 177-179, passim. Bandingkan Mysticism of Hamzah, 68.
[13] Sufism and Taoism, 159
[14] Lihat al-Makassarī ”Kayfiyyat al-Manfiy wa al-Itsbāt” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 101.
[15] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 96.
[16] Lihat secara berurut dalam: Sufism and Taoism, 152-158; ‘Abd al-Karīm al-Jīlī, al-Insān al-Kāmil: Fī Ma‘rifat al-Awākhir wa al-Awā’il, 2 jilid (Beirut: Dār al-Fikr, 1975), 1:21-73.
[17] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 20-22.
[18] Lihat secara passim dalam “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 12-14 dan 52-58.
[19] S. M. N. al-Attas, The Degree of Existence (Kuala Lumpur: ISTAC, 1994), 3. Seterusnya dirujuk sebagai Degree of Existence.
[20] Lihat secara passim “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 12-14
[21] Menurut Ibn ‘Arabī “الله” adalah Nama yang meliputi segala Nama-nama Terindah Tuhan. Lihat Su‘ād al-Ḥakīm, al-Mu‘jam al-Ṣūfī: al-Ḥikmah fī Ḥudūd al-Kalimah (Beyrut: Dandarah, 1981), 79. Selanjutnya diringkas al-Mu‘jam al-Ṣūfī.
[22] Al-Mu‘jam al-Ṣūfī, 1120.
[23] Lihat Al-Makassarī, “Fatḥ al-Raḥmān bi Sharḥ Risālat al-Walī Raslān” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 21.
[24] Dikutip oleh J. S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam (New York: Oxford University Press, 1971), 139. Seterusnya akan disebut sebagai Sufi Orders. Bandingkan Hamzah Fanṣūrī “Asrār al-‘Ārifīn fī Bayān ‘Ilm al-Sulūk wa al-Tauḥīd” dalam Mysticism of Hamzah, 243:
Dahulu Allah dan tiada suatu serta-Nya pun; … Ia sekarang pun seperti dahulu juga; … Mahasuchi Allah tiada dapat diperikan; … Ma‘rifat itu bukan ma ‘rifat Dhāt, tetapi keadaan Dhāt dengan peri-Nya juga. Sebab inilah maka kata Ahl al-Sulūk Dhāt dengan keadaan-Nya esa. Tetapi yang kunhī-Nya, Dhāt itu tiada siapa datang kesana. Jangankan ‘awam, walī dan nabī dan mala‘ikat al-muqarrabīn pun tiada ke sana.
[25] Lengkapnya berbunyi: “ كان الله ولم يكن شئ غيره وكان عرشه على الماء وكتب فى الذكر كل شئ وخلق السماوات والارض.” Hadits riwayat Imām al-Bukhārī dari ‘Umar bin Ḥafṣ ini dikutip dalam Ibn ‘Asākir al-Dimasyqī, Tabyin Kadhib al-Muftarī fīmā Nusiba ilā al-Imām Abī al-Ḥasan al-Asy‘arī (Damasqus: Dār al-Fikr, tt.), 66. Versi lain dari ungkapan mengenai kondisi dhāt yang terisolasi dalam ke-Dia-an yang tersendiri ini, sebagaimana al-Makassarī mengutip al-Junayd al-Baghdādī berkata: كان الله ولا شئ معه وهو الآن علىى ما عليه كان . lihat al-Makassarī, “Zubat al-Asrār fī Taḥqīq Ba‘d Masyārib al-Akhyār” dalam Menyingkap Intisari, 116. Karya al-Makassarī ini seterusnya disingkat sebagai Zubat al-Asrār.
[26] Diterjemahkan begitu karena tak satupun dari aspek-aspek Allah yang bertentangan. Mengutip al-Attas: “… these aspects are harmonized within the Ultimate Reality, whose inwardness is identical with his outwardness”. Lihat Degree of Existence, 5.
[27] Lihat secara passim “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 16-19.
[28] The principle of ontological movement adalah Istilah yang digunakan oleh al-Attas untuk menggambarkan tingkat-tingkat atau tahapan mainfestasi Allah atau ta‘ayyunāt. Lihat Degree of Existence, 5.
[29] Dikutip dalam Degree of Existence, 4. Bandingkan S. M. N. al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 82. Dalam komentarnya, Ibn Taymiyah mengatakan bahwa ḥadiīts qudsī ini tidak ditemukan (maurīd) secara naqlī, sehingga tidak dapat diberi “hukum” ṣaḥīḥ atau tidak (ولايعرف له سند صحيح ولا ضعيف). Meskipun demikian, bahwa para ṣūfī mengakui ketidak-warīd-an ḥadiīts tersebut secara naqlī (mu‘tarifun bi ‘adami tsubūthī naqlan), akan tetapi, mereka, khususnya, Ibn ‘Arabī begitu juga dengan Sa‘duddīn al-Farghānī menegaskan ke-warīd-annya melalui jalan ‘irfānī atau melalui intuisi (innahū tsābitun kasyfan). Lihat detailnya dalam Abū al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayyid Maḥmūd al-Alūsī, Ruḥ al-Ma‘ānī fī Tafsīr al-Qur‘ān wa al-Sab‘i al-Matsānī, 15 jilid (Beirut: Dār al-Fikr, 1987), 14:21-22. Lihat penjelasan mengenai keabsahan intuisi sebagai salah satu sumber ilmu dalam Islam dalam S. M. N. al-Attas, The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqā’id of al-Nasafī (Kuala Lumpur: University of Malaya, 1988), 50. Bandingkan, Sa‘d al-Dīn al-Taftāzānī, A Commentary on the Creed of Islam, terj. Earl Edgar Elder (New York: Columbia University Press, 1950), 27.
[30] Lihat al-Ta‘rifāt. 201.
[31] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakart a, PNRI., NA-45, 90-108.
[32] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakart a, PNRI., NA-45, 35-36.
[33] Bandingkan Mysticism of Hamzah, 69; S. M. N. al-Attas, A Commentary on the Ḥujjat al-Ṣiddīq of Nūr al-Dīn al-Rānīrī (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986), 157-159. Yang terakhir disebut selanjutnya dirujuk sebagai Commentary.
[34] Bandingkan Commentary, 158.
[35] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 24-29.
[36] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 88-89.
[37] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 98-99 dan 120-121. Di sini nampak dengan jelas bahwa pembahasan al-Makassarī mengenai tahapan-tahapan eksistensi sangat dipengaruhi oleh Ibn ‘Arabī, meski yang terakhir disebut ini, sebagaimana ia dikenal, sangat detail dan presisi dalam setiap ungkapannya. Ibn ‘Arabī mendiskusikan hal ini dengan berusaha membedakan antara dua bentuk manifestasi Sang Riil yakni al-Fayḍ al-Aqdas dan al-Fayḍ al-Muqaddas. Al-Fayḍ al-Aqdas adalah terma yang digunakan oleh Ibn ‘Arabī untuk menjelaskan manifestasi-manifestasi al-Ghayb (tajallī ghayb); sedangkan al-Fayḍ al-Muqaddas digunakan sebagai penjelasan manifestasi-manifestasi al-Syahādah (tajallī syahādah). Tajallī ghayb dimaksudkan sebagai manifestasi Dhāt kepada Diri-Nya sendiri yang tiada lain adalah al-Waḥdah dan al-Wāḥidiyah yang subsis secara permanen (baqā) dalam keazaliannya; sedangkan tajallī syahādah adalah manifestasi Dhāt kepada selain Diri-Nya (al-‘ālam = mā siwā Allāh) yang tiada lain adalah “perintah” Allah kepada al-A‘yān al-Tsābitah untuk menerima perwujudan dari-Nya yang teraktualisasi melalui ciptaan-ciptaan. Lihat al-Mu‘jam al-Ṣūfī, 889-890.
[38] Bandingkan al-Mu ‘jam al-Ṣūfī, 832, di mana Ibn ‘Arabī menjelaskan Permanen Arketip ini sebagi asal-usul segala yang maujūd: “والذى له الاثر فى كل موجود بل هو اصل الموجودات”; Degrees of Existence, 12, di mana al-Attas mengatakan: “…they are realities… original realities of things whose future states are to be actualized at the lower degrees of the ontological levels.”
[39] Al-Attas menyebut aspek luar dari al-Waḥdah ini sebagai the center of infinite possibilities of determinations and the source of creative activity and the principle of diversity. Lihat Degrees of Existence, 6.
[40] Dalam penulisan sub-bab ini, terma-terma seperti al-Wāḥidiyah” atau “al-Māhiyāt” dan “al-Ḥaqā’iq” tidak digunakan, akan tetapi penulis memilih terma al-A‘yān al-Tsābitah untuk merujuk tahapan eksistensi kedua.
[41] Lihat al-Makassarī, “Risālah fī Ghāyat al-Ikhtiṣār wa Nihāyat al-Inẓār” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 121. Selanjutnya diringkas Ghāyat al-Ikhtiṣār.
[42] Lihat Ghāyat al-Ikhtiṣār, 121.
[43] Ghāyat al-Ikhtiṣār, 124.
[44] Ghāyat al-Ikhtiṣār, 125.
[45] Kualifikasi eksistensi Arketip Permanen ini dianalogikan Ibn ‘Arabī persis sama dengan “konsep-konsep” yang eksis dalam pikiran manusia (consepts in the human mind), lihat Sufism and Taoism, 161.
[46] Al-Makassarī membagi kategori “tiada” (al-‘adam) ke dalam 2 kategori: (1) al-‘adam al-mumkin, dan (2) al-‘adam al-mustaḥīl. Yang pertama adalah ke-tiada-an yang bersandar (al-i‘dām al-muḍāfah) yang berarti ketiadaan yang selalu dalam kesiapan menerima sinaran perwujudan dari Sang Riil, seperti Permanen Arketip; sedangkan yang kedua adalah ke-tiada-an yang mutlak (al-i‘dām al-muṭlaq) yang berarti ketiadaan yang tiada menerima sinaran perwujudan selamanya sejak azālī, seperti ke“serupa”an Allah (syarīk Allāh). Lihat, “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 69-71.
[47] Ghāyat al-Ikhtiṣār, 123.
[48] Lihat al-Makassarī, “al-A‘yān al-Tsābitah” MS Jakarta, PNRI., NA-108, 252-255.
[49] Ghāyat al-Ikhtiṣār, 121-124, passim.
[50] Menarik untuk dicatat bahwa al-asyyā’ (sing. al-syay’), al-makhlūqāt (sing. al-makhlūq) dan al-kā’ināt (sing. al-kawn), yang diterjemahkan dengan Sarwa alam, adalah terma-terma yang dengan sendirinya memberi petunjuk adanya “keterlibatan” Sang Riil. Dengan menyebut al-asyyā’, misalnya, maka pikiran akan tertuju pada sifat “Kehendak” Sang Riil (masyīat Allāh); dengan menyebut al-makhlūqāt, maka pikiran akan tertuju pada Sang “Pencipta” (al-khāliq); dan dengan menyebut al-kā’ināt, maka pikiran akan tertuju pada Sang Pemilik Titah “kun” yakni dengan ucapan tersebut, maka “menjadilah” ia (al-kā’ināt).
[51] Maj‘ūlah secara literal berarti dijadikan atau sesuatu yang dijadikan. Sesuatu yang dijadikan dapat dipahami dalam 2 perspektif: (1) dijadikan dari tiada menjadi ada, dan (2) dijadikan dari ada menjadi ada. Prasa “dari tiada” dalam perspektif pertama, berarti bahwa sesuatu tersebut, dari sudut pandang esensi dirinya, tidak memiliki konsideran eksistensi; sedangkan prasa “dari ada” dalam perspektif kedua, berarti bahwa sesuatu tersebut, dari sudut pandang relasinya dengan Arketip Permanen, memiliki konsideran eksistensi. Nah, sesuatu yang dijadikan (i.e., baik dari tiada kemudian menjadi ada, maupun dari ada kemudain menjadi ada), akan selalu dan selamanya terikat dengan ruang dan waktu.
[52] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 53-60.
[53] Perlu dicatat, bahwa pada tataran ontologi, antara Sang Riil dengan Manifestasi Diri (tajallī dhātī) tidak menemukan adanya perbedaan prioritas-apriortas (i.e., dahulu-mendahului) dalam konteks waktu. Perbedaan tersebut muncul semata-mata sebagai hukum logika yang tidak memiliki korepondensi eksistensi dunia luar kecuali hanya dalam pikiran manusia.
[54] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 66-67.
[55] Lihat secara passim, Samuel Enoch Stumpf, Philosophy: History and Problems, cet. 5 (New York: McGraw-Hill, 1994), 125-129.
[56] Perlu untuk dicatat, bahwa sejauh penelusuran kita mengenai sistem filsafat metafisika yang dikembangkannya, al-Makassarī pada hakikatnya tidak memiliki sistem emanasi-emanasi dalam konteks Plotinusme dan neo-Platonisme, melainkan manifestasi-manifestasi (tajalliyāt), yang ia konotasikan dengan diterminasi-diterminasi (ta‘ayyunāt) atau desenden-desenden (tanazzulāt), Sang Riil dalam berbagai tahapan-tahapan penzahiran (ẓuhūr, sing. ẓāhir).
[57] Al-Makassarī, “Zubdat al-Asrār” dalam Menyingkap Intisari, 110. Bandingkan Ibn ‘Arabī dalam al-Mu‘jam al-Ṣūfī, 258: “sesungguhnya Sarwa alam tiada lain adalah manifestasi Sang Riil yang tereksternalisasi dari Arketip Permanen yang merupakan form atau dasarnya…”
[58] Al-Makassarī, “Zubdat al-Asrār” dalam Menyingkap Intisari, 110.
[59] Al-Makassarī, “Kayfiyyat al-Manfiy wa al-Itsbāt bi Ḥadīts al-Qudsī,” dalam MS Jakarta, PNRI, NA-108, 106.
[60] Al-Makassarī, “Bidāyat al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 461.
[61] Lihat Ghāyat al-Ikhtiṣār, 124-25.
[62] Lihat Degree of Existence, 22-23, passim.
[63] Bandingkan “Tuḥfat al-Abrār li Ahl al-Asrār” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-101, 107.
[64] Lihat “Risālah fī Ghāyat al-Ikhtiṣār wa Nihāyat al-Inẓār” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 125-26.
[65] Lihat al-Makassarī ”Kayfiyyat al-Manfiy wa al-Itsbāt” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 101.
[66] Lihat “al-Nafḥah al-Saylāniyah” dalam Yusuf Makassar, 68.
[67] Lihat definisi al-Makassarī mengenai kategori eksistensi ini dalam “Mir’at al-Muḥaqqiqīn” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-101, 145.
[68] Untuk pembahasan komprehensif mengenai konsep penciptaan yang tiada henti (khalq jadīd), lihat Degree of Existence, 27-30.
[69] Lihat “al-Nafḥah al-Saylāniyah” dalam Yusuf Makassar, 68.
