Setelah beberapa jam dalam perjalanan. Mobil berjenis bus yang saya naikin berhenti di jalan aspal yang kecil, di sebuat desa yang bernama Cierendeu (19/11/2014). Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, namun secara administratif Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Didepan gapura masuk kejalan Desa Cireundeu, terdapat tulisan Hanacaraka “Wilujeng Sumping Di Kampung Cireundeu” dengan arti selamat datang untuk para tamu di daerah Kampung Cireundeu. Tulisan ini menandakan kalau kampung ini mewarisi adat istiadat peninggalan leluhur dan sampai sekarang masih melestarikannya. Untuk masuk ke kampung itu,saya berjalan kaki sejauh seratus meter dari gerbang masuk. Dalam perjalanan itu saya tidak sendiri, ada sekitar 30 orang yang ikut bersama saya, 16 orang berasal dari Myanmar dan sisanya berasal dari berbagai daerah di Jabodetabek.
Bale Sarasehan Kampung Cireundeu /dodi sanjaya
Setelah berjalan seratus meter sebuah bangunan etnik berdiri, itu adalah Balee Saresehan. Balee Saresehan terdiri dari sebuah bangunan induk yang berdindingkan bambu, lantainya terbuat dari keramik sementara atapnya terbuat dari genteng tanah. Disamping bangunan induk ada 3 buah serambi, serambi itu tempat mereka duduk duduk duduk santai dan berdiskusi.
Didalam Balee Saresehan ada sebuah tulisan yang sangat menonjol terpampang, sebuah tulisan berbahasa sunda yang berbunyi Tutup Taun 1947 Ngemban Taun 1 Sura 1948 Saka Sunda Mugin Atur Rukun Rapih Sareng Sasama Hirup. Maksud dari tulisan itu adalah . Manusia sudah seharusnya sadar dan memahami bahwa hidup di dunia ini tidak hanya sendirian namun berdampingan dengan makhluk hidup lainnya. Manusia hidup dengan hewan, tumbuhan, laut, gunung, api kayu, langit dan elemen lainnya. Oleh karena itu, seharusnya manusia mampu menempatkan diri sebagai makhluk yang hidup berdampingan dengan makhluk lainnya, manusia seharusnya menghargai alam dan lingkungan bukannya merusak alam dan lingkungan.
Suasana di dalam Bale Sarasehan Kampung Cireundeu /dodi sanjaya
Kemudian di langit-langit atap bangunan itu terdapat kain yang bewarna Hitam, Kuning, Putih, merah. Warna hitam bermakna Bumi, Putih adalah air, Kuning Angin dan Merah adalah darah. Itu bermakna bahwa semua kehidupan manusia tidak terlepas dari unsur warna tersebut.
Sedangkan didinding lainnya terdapat banyak piagam penghargaan dari Pemerintah dan juga terpampang foto foto Pangeran dan Presiden susilo Bambang Yudhoyono.
Sebagian besar masyarakatnya menganut dan memegang teguh kepercayaan yang disebut Sunda Wiwitan. Ajaran Sunda Wiwitan ini pertama kali dibawa oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan pada tahun 1918. “wiwitan” dalam Sunda Wiwitan adalah “permulaan” atau “awal”. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri antara lain sistem keyakinan tradisi Sunda Lama sebelum datangnya agama-agama lain ke nusantara. Kata “Sunda” sendiri bukan hanya bermakna etnis Sunda, tetapi bermakna filosofis yang artinya “damai” dan “cahaya”.
Agama Keyakinan Masyarakat dan Diskriminasi
Masyarakat Sunda Wiwitan /dodi sanjaya
Agama Sunda Wiwitan adalah agama asli Indonesia. Namun sayangnya, kepercayaan minoritas ini masih mendapat diskriminasi dengan tidak diakui sebagai aliran kepercayaan resmi Indonesia. Sampai saat ini penganut aliran Sunda Wiwitan sulit mendapat identitas diri karena belum diakui oleh pemerintah.
Sangat aneh memang ketika pemerintah tidak mengakuinya. Begitu banyak penghargaan yang diterima oleh mereka dari pemerintah, bahkan Presiden SBY pernah mengunjungi mereka
Namun untuk persoalan kepercayaan malah pemerintah tidak mengakuinya bahkan mendiskriminasinya.
Kunjungan Presiden ke Kampung Cireundeu
Pengisian kolom agama di KTP dengan pemaksaan terhadap enam agama yang diakui salah satu bentuk diskriminasinya, selain itu pernikahan Sunda Wiwitan tidak diakui oleh negara sehingga berdampak pada stigmasasi bahwa anak itu adalah anak yang dilahirkan dari kumpul kebo.
Didunia pendidikan mereka juga mengalami diskriminasi. Ada banyak diskriminasi pendidikan yang dialami. Salah satunya adalah seorang perempuan yang kuliahnya menjadi terbelengkalai gara gara dia penganut sunda wiwitan. Perempuan tersebut harus membuat tugas akhirnya dengan menggunakan bahasa arab, padahal dia bukanlah orang Islam. Namun karna dia menolak untuk menulis dalam bahasa arab akhirnya kuliahnya menjadi terbelengkai. Padahal kuliahnya sudah hampir selesai.
Hal lain yang menjadi perhatian serius adalah masalah pemakaman umum yang kian mendiskriminasi penganut aliran kepercayaan. Pemakaman umum yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara, kini diperuntukkan bagi agama yang diakui saja. Akhirnya, tidak sedikit penganut aliran kepercayaan yang dikuburkan di belakang rumahnya.
Diskriminasi yang mereka alami sebenarnya sudah terjadi sejak penjajahan Belanda. Pada saat itu pemerintah kolonial sengaja untuk mengadu domba institusi agama seperti pesantren dengan aliran kepercayaan. Untuk membatasi eksistensi aliran kepercayaan, pemerintah kolonial membuat stigma bahwa aliran kepercayaan adalah kelompok sesat. Kepada kelompok muslim, pemerintah kolonial mengatakan bahwa aliran kepercayaan adalah kelompok murtad. Sehingga resistensi terhadap kelompok kepercayaan pun semakin besar.
Makanan Pokok
Mengolah Singkong untuk dijadikan Rasi /dodi sanjaya
Masyarakat Kampung Cireundeu tidak mengkonsumsi nasi seperti masyarakat pada umumnya. Awalnya saya berpikir bahwa masyarakat yang memakan singkong (Orang Aceh menyebutnya Ubi Kayu) adalah masyarakat yang tidak mampu, namun pemikiran saya berubah ketika saya mendatangi kampung tersebut. Mereka mengkonsumsi singkong, bukan karena tidak mampu tapi karena masih mempertahankan tradisi adat turun-temurun. Singkong diolah menjadi rasi yang dibuat dari tepung singkong (Orang Aceh menyebutnya Ubi Kayu). Saya mencoba menyicipinya dan rasanya mirip nasi namun ada rasa berseratnya, hhhhmmm makanan yang enak ujar saya dalam hati.
Setelah mencicipi, saya menjadi penasaran dan mencari tahu mengapa mereka memilih singkong/ubi sebagai makanannya.
Ternyata pada awalnya mereka juga memakan nasi, namun buyut mereka mendapat wangsit dalam mimpinya. “ Semua makanan yang dimakan manusia seperti padi, jagung, sayur mayur mendatangi buyut masyarakat Cireundeu, dalam mimpinya itu beliau disuruh mengganti makanan pokok mereka, pertimbangannya adalah pada masa depan manusia akan mengalami pertumbuhan jumlah yang besar, tanah persawahan semakin menyempit dan hampir semua manusia memakan nasi sehingga akan terjadi kesulitan pangan. Dalam mimpi tersebut dia disarankan untuk menggantinya dengan makanan singkong/ubi. Mengapa ubi menjadi pilihannya? Itu karna ubi bisa ditanam dimusim apa saja dan panennyapun sangat cepat tidak seperti padi.” Setelah mendapat wangsit tersebut buyut mereka memerintahkan kepada masyarakat untuk mengganti makanan mereka dengan ubi. Sejak saat itu hingga sekarang mereka menjadi kampung yang berdaulat atas pangannya. Banyak Penghargaan yang diterima oleh mereka karna ketahanan pangannya.
Masyarakat adat Kampung Cireundeu mempunyai prinsip hidup yang dianut yaitu: “Teu Nyawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat”yang maksudnya adalah tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Dengan maksud lain agar manusia ciptaan Tuhan untuk tidak ketergantungan pada satu makanan pokok saja.
Ya beginilah sekelumit kisah dari perjalanan ini, Suka dan duka ada dikampung ini.
Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu. pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat herbal. Maka dari itu kampung ini di sebut Kampung Cireundeu. Kampung Adat Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Terdiri dari 50 kepala keluarga atau 800 jiwa, yang sebagia besar bermata pencaharian bertani ketela. Kampung Adat Cireundeu sendiri memiliki luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman. Sebagian besar penduduknya memeluk dan memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan hingga saat ini. Selalu konsisten dalam menjalankan ajaran kepercayaan serta terus melestarikan budaya dan adat istiadat yang telah turun-temurun dari nenek moyang mereka. Maka pemerintah menetapkan Kampung Adat Cireundeu sebagai kampung adat yang sejajar dengan Kampung Naga (Tasikmalaya), Kaepuhan Cipta Gelar (Banten, Kidul, Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Urug (Bogor), Kampung Mahmud (Bandung), dan kampung adat lainnya.
Masyarakat adat Cireundeu sangat memegang teguh kepercayaannya, kebudayaan serta adat istiadat mereka. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki artimasyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupahand phone, dan penerangan. Masyarakat ini punya konsep kampung adat yang selalu diingat sejak zaman dulu, yaitu suatu daerah itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
LeuweungLarangan(hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.
Leuweung Tutupan(hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.
Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkon atau ketela, dan umbi-umbian.
Kepercayaan Masyarakat
Kepercayaan masyarakat kampung Cireundeu berawal dari jaran Madrais ini di bawa oleh Pangeran Madrais pada tahun 1918 ke Kampung Cireundeu yang mengajarkan falsafah dan ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam kehidupan. Hinggga saat ini masyarakat adat Cireudeu masih teguh memeluk ajaran tersebut meskipun telah berpuluh-puluh tahun, mereka salalu taat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Agama Djawa Sunda (ADS) nama lain dari ajaran Madrais ini merupakan kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Cigugur, Kabupaten Kuningan. Abdul Rozak seorang peneliti kepercayaan sunda, menyatakan bahwa agama ini ialah bagian dari agama Buhun. Agam Djawa Sunda (ADS) atau Sunda Wiwitan awal berkembang di Cireundeu adalah setelah pertemuan H. Ali kakek dari Abah Emen yang sekarang menjabat sebagai Ketua Adat atau Sesepuh ini dengan Pangeran Madrais pada tahun 1930-an. Pada tahun 1938 Pangeran Madrais pernah sempat tinggal menetap di Kampung Adat Cireundeu.
Pangeran Madrais yang biasa dipanggil Kiai Madrais adalah keturunan Kesultanan Gebang, yaitu sebuah kesultanan di wilayah Cirebon bagian Timur. Ketika pemerintah Hindia-Belanda menyerang kesultanan Gebang, Pangeran Madrais diungsikan ke daerah Cigugur, Kuningan. Pangeran Madrais juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibassa yang dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritual. Bahkan Pangeran Madrais ini pernah mendirikan pesantren sebagai pusat ajaran agama Islam. Namun kemudian Pangeran Madrais mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi masyarakat sunda agraris. Menurut masyarakat adat Cireundeu yang mempunyai dua pantangan, sebagai berikut:
Jangan memakan keringat orang lain, ini berarti kita tidak boleh memakan hak orang lain seperti merampas, merampok, mencuri atau menyakiti orang lain.
Tidak boleh memaksa orang lain untuk menganut aliran kepercayaan yang mereka peluk.
Sedangkan hal-hal yang harus dilakukan, yaitu:
Saur kudu dibubut (bercerita/ berbicara harus hati-hati dan harus pada tempat yang sesuai).
Basa kedah dihampelas (berbicara dengan baik dan sopan).
Gotong royong.
Toleransi agama.
Keadaan Sosial
Masyarakat Kampung Adat Cireundeu memiliki keadaan sosial yang terbuka dengan masyarakat di luar kampung. Terbukti dari sistem kekerabatan atau sistem perkawinan dan mata pencaharian masyarakat Kampung Adat Cireundeu sebagian besar bercocok tanam. Kebanyakan masyarakat Cireundeu tidak suka merantau atau berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Selain itu, pola pemukiman pada masyarakat adat Cireundeu memiliki pintu samping yang harus menghadap ke arah timur, ini bertujuan supaya cahaya matahari masuk kedalam rumah. Keadaan sosial ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1. Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga atau kekerabatan dalam suku Sunda bersifat birateral yaitu garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dalam suku Sunda sangat mempengaruhi dalam adat istiadat, dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukan hubungan kekerabatan. Contohnya, pertama, saudara yang berhubungan untuk generasi tujuh ke bawah atau vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut/ piut, bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gatungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak dari paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara dari piut. Ketiga saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak dari kakak, keponakan anak dari adik, dan seterusnya. Adapula istilah sistem kekerabatan lainnya berdasarkan ego, contohnya Ibu dapat disebut Ema, Ma. Sedangkan Bapak disebut Bapa, Apa, Pa. untuk Kakak aki-laki disebut Akang, kang dan untuk Kakak perempuan disebut Ceu, Eceu. Sistem kekerabatan ini merupakan simbol dari tali silaturahmi khas Sunda (pancakaki) ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu penentu masuk surga dan terciptanya keharmonisan interaksi.
2. Mata Pencaharian Masyarakat
Mayoritas penduduk Kampung Adat Cireundeu bermata pencaharian bertani ketela dan umbi-umbian. Supaya setiap bulan dapat memanen ketela, maka pola tanam disesuaikan dengan usai panen. Setiap masyarakat memiliki 3 hingga 5 petak kebun ketela yang berbeda-beda masa tanamnya. Setiap petak kebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknya akan berbeda masa panennya. Maka sepanjang tahun ladang mereka selalu menghasilkan ketela. Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan ketela mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (beras singkong), ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dan aneka kue berbahan dasar ketela. Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit, daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan, biasanya dijadikan sayur lodeh atau dendeng kulit ketela. Selain untuk dikonsumsi sendiri hasilnya juga dapat dijual pada wisatawan sebagai buah tangan.
Oleh-Oleh Khas Cireundeu
Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan ketela mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (beras singkong), ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dan aneka kue berbahan dasar ketela. Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit, daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan, biasanya dijadikan sayur lodeh atau dendeng kulit ketela. Selain untuk dikonsumsi sendiri hasilnya juga dapat dijual pada wisatawan sebagai buah tangan.
Aksesibilitas
Aksesibilitas dapat di tempuh sekitar 1 jam 30 menit dari alun-alun Kota Cimahi, sedangkan dari alun-alun Bandung bisa menghabiskan waktu tempuh 2 jam. Berikut ini angkutan umum yang dapat digunakan dari alun-alun Kota Cimahi, yaitu:
Naik angkutan umum jurusan Cimahi-Leuwi Panjang atau Cimahi-Stasiun Hall, kemudian turun di bawah jembatan Cimindi atau pertigaan Cibeureum.
Lanjut dengan naik angkutan warna hijau-kuning dengan jurusan Cimindi-Cipatik turun di bunderan Leuwigajah.
Kemudian naik angkutan berwarna biru langit dengan jurusan Cimahi-Leuwigajah-Cangkorah turun di pertigaan ke arah Cireundeu.
Terakhir, naik angkutan motor (ojeg) hingga pintu gerbang Kampung Adat Cireundeu.
Sedangkan dari arah Bandung dapat menggunakan angkutan umum Stasiun Hall-Cimahi, turun di pertigaan Cibeureum dan naik angkutan yang serupa seperti di atas.
Setiap agama mengajarkan ritual bersyukur kepada Tuhan yang mereka sembah. Begitu juga dengan penghayat ajaran Sunda Wiwitan atau penganut Adat Karuhun Urang (Akur) di Cigugur, Kuningan, yang menggelar upacara Seren Taun sebagai ekspresi syukur kepada Tuhan atas segala berkah dan kecukupan pangan selama ini.
Seren Taun digelar selama sepekan dan berpuncak pada tanggal 22 Bulan Rayagung tahun 1948 Saka, bertepatan dengan Selasa (6/10) 2015 Masehi. Ritual dimulai dengan menyalakan sewu damar atau seribu pelita untuk menebar harapan. Kemudian, dilanjutkan dengan pembuangan hama dengan cara mengembalikan hama ke habitatnya di Situ Hyang. Ini mengajarkan bahwa makhluk hidup tidak mempunyai otoritas untuk membunuh makhluk lain meski makhluk itu mengganggu.
Acara tersebut disusul dengan menabuh seribu kentungan sebagai simbol bahwa manusia harus selalu waspada dalam menjalani hidup. Para penghayat Sunda Wiwitan kemudian mengajak para kaum muda untuk ikut ruwatan pada malam harinya, yakni mengingat kembali jasa-jasa orangtua, terutama ibu.
Seren Taun diisi juga dengan ritual tari Pwah Aci untuk mengingat Dewi Pwah Aci Sahyang Asri yang berjasa memberikan kesuburan bagi lahan pertanian. Tari ini dilatari oleh tumpukan hasil bumi di ruang Paseban Tri Panca Tunggal, pusat aktivitas penghayat Sunda Wiwitan.
Tari Pwah Aci-salah satu ritual wajib dalam Seren Taun Kompas/Mohammad Hilmi Faiq
Puncak rasa syukur itu diekspresikan warga dengan pesta beragam tari, seperti tari Kaulinan Barudak Lembur yang melibatkan para bocah dan tari buyung. Setelah itu, mereka bersama-sama menumbuk sebagian padi, sementara sebagian lainnya disimpan untuk bibit, menjaga kesejahteraan. Itu makanya tema Seren Taun kali ini adalah ”Pakena Gawe Rahayu Pakeun Ngertakeun Bumi Lamba”, yang kira-kira bermakna ’mengerjakan kebaikan demi kesejahteraan dunia’.
Tari Permainan Anak. Kompas/Arbain Rambey
Tari Buyung. Kompas/Arbain Rambey
Seren Taun sejatinya juga bermakna peneguhan identitas diri. Penghayat Sunda Wiwitan puluhan tahun mengalami alienasi dan diskriminasi. Seren Taun sempat dilarang sebelum akhirnya diizinkan dilakukan secara terbuka setelah masa reformasi. Namun, diskriminasi tersebut belum sepenuhnya hilang. Banyak di antara mereka yang belum memperoleh pengakuan sebagai warga negara sehingga kolom ”agama” dalam kartu tanda penduduk (KTP)-nya hanya diisi tanda hubung atau kosong.
(Mohammad Hilmi Faiq)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 November 2015, di halaman 31 dengan judul “Ekspresi Syukur Sunda Wiwitan”
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Sunda Wiwitan adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan TuhanYang Maha Esa. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datan…
published: 03 Sep 2016
SUNDA WIWITAN – Makna dan Arti
Sunda Wiwitan adalah sosok manusia yang telah mengalami “pencerahan” atau orang yang telah mencapai “kesadaran”. Banyak masyarakat adat yang masih memeluk “Ajar PikukuhSunda” untuk mencapai “pencerahan” (kesadaran) agar dapat menjadi manusia paripurna yang berguna bagi semesta kehidupan. Web : bumidega.com Twitter : @bumidega Google+ : +BumidegaSundaAcademy Instagram: Bumidega “KAMI PEJUANG MUDA YANGMENUNTUT PEMURNIAN SEJARAH NUSANTARA” BUMIDEGA SUNDA ACADEMY “PERSEMBAHAN KAMI DARIDAN UNTUK ANAK NEGERI MENUJU BANGSA PARIPURNA” VSPGroup, my partner program. Get connected! https://youpartnerwsp.com/en/join?42061
published: 16 Jun 2015
SUNDA WIWITAN 2 – Makna dan Arti
Sampurasun Sunda Wiwitan merupakan tahap pencapaian nilai-nilai ke-Batara Guru-an pada diri seseorang dan ia mampu menjadi “penerang” bagi semesta kehidupan. Web : bumidega.com Twitter : @bumidega Google+ : +BumidegaSundaAcademy Instagram: Bumidega “KAMI PEJUANG MUDA YANG MENUNTUT PEMURNIAN SEJARAH NUSANTARA” BUMIDEGA SUNDA ACADEMY “PERSEMBAHAN KAMI DARIDANUNTUK ANAK NEGERI MENUJU BANGSA PARIPURNA” VSPGroup, my partner program. Get connected! https://youpartnerwsp.com/en/join?42061
published: 16 Jun 2015
SUNDA WIWITAN 3 – Makna dan Arti
Sampurasun Sunda wiwitan adalah puncak tujuan bagi seseorang yang menjalankan “Ajar Pikukuh Sunda” untuk mencapai “pencerahan” dan kesadaran sebagai manusia paripurna. Web : bumidega.com Twitter : @bumidega Google+ : +BumidegaSundaAcademy Instagram: Bumidega “KAMI PEJUANG MUDA YANG MENUNTUT PEMURNIAN SEJARAH NUSANTARA” BUMIDEGA SUNDA ACADEMY “PERSEMBAHAN KAMI DARIDAN UNTUK ANAK NEGERI MENUJU BANGSA PARIPURNA” VSPGroup, my partner program. Get connected! https://youpartnerwsp.com/en/join?42061
published: 16 Jun 2015
Dewi Kanti – Opini Penganut Sunda Wiwitan
Negara membedakan antara beragama dan berkeyakinan. Dimana agama-agama lokal dan warisan leluhur seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Parmali, Kaharingan, dan lain-lain tidak diakui negara sebagai agama. Sehingga ada pandangan umum bahwa hak agama-agama lokal tersebut untuk mendapatkan kebebasan beragama tidak mendapatkan pengakuan dari negara. Dan banyak diskriminasi yang diterima oleh penganut agama lokal dan warisan leluhur nusantara. -2013
published: 15 Apr 2013
Tradisi Sunda Wiwitan – Seren Taun di Lereng Gunung Ciremai pt. 2
Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara.
published: 24 Sep 2015
Original Musik Sunda wiwitan, kecapi suling | Dewi Kanti
Kecapi suling adalah salah satu alat musik yang di mainkan masyarakat sunda. salah satu yang masih mempertahankan budaya sunda adalah komunitas sunda wiwitan.
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Sunda Wiwitan adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda. Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan TuhanYang Maha Esa. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaranHindu dan Islam. Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam.[2] DalamCarita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran “Jatisunda”.
Sunda Wiwitan adalah sosok manusia yang telah mengalami “pencerahan” atau orang yang telah mencapai “kesadaran”. Banyak masyarakat adat yang masih memeluk “Ajar Pikukuh Sunda” untuk mencapai “pencerahan” (kesadaran) agar dapat menjadi manusia paripurna yang berguna bagi semesta kehidupan. Web : bumidega.com Twitter : @bumidega Google+ : +BumidegaSundaAcademy Instagram: Bumidega “KAMI PEJUANG MUDAYANG MENUNTUT PEMURNIAN SEJARAH NUSANTARA” BUMIDEGA SUNDA ACADEMY “PERSEMBAHAN KAMI DARIDAN UNTUK ANAK NEGERI MENUJU BANGSA PARIPURNA” VSPGroup, my partner program. Get connected! https://youpartnerwsp.com/en/join?42061
Sampurasun Sunda Wiwitan merupakan tahap pencapaian nilai-nilai ke-Batara Guru-an pada diri seseorang dan ia mampu menjadi “penerang” bagi semesta kehidupan. Web : bumidega.com Twitter : @bumidega Google+ : +BumidegaSundaAcademy Instagram: Bumidega “KAMI PEJUANG MUDA YANG MENUNTUT PEMURNIAN SEJARAH NUSANTARA” BUMIDEGA SUNDA ACADEMY “PERSEMBAHAN KAMI DARIDAN UNTUK ANAK NEGERI MENUJU BANGSA PARIPURNA” VSPGroup, my partner program. Get connected! https://youpartnerwsp.com/en/join?42061
Sampurasun Sunda wiwitan adalah puncak tujuan bagi seseorang yang menjalankan “Ajar Pikukuh Sunda” untuk mencapai “pencerahan” dan kesadaran sebagai manusia paripurna. Web : bumidega.com Twitter : @bumidegaGoogle+ : +BumidegaSundaAcademy Instagram: Bumidega “KAMI PEJUANG MUDA YANG MENUNTUT PEMURNIAN SEJARAH NUSANTARA” BUMIDEGA SUNDA ACADEMY “PERSEMBAHAN KAMI DARIDANUNTUK ANAK NEGERI MENUJU BANGSA PARIPURNA” VSPGroup, my partner program. Get connected! https://youpartnerwsp.com/en/join?42061
Negara membedakan antara beragama dan berkeyakinan. Dimana agama-agama lokal dan warisan leluhur seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Parmali, Kaharingan, dan lain-lain tidak diakui negara sebagai agama. Sehingga ada pandangan umum bahwa hak agama-agama lokal tersebut untuk mendapatkan kebebasan beragama tidak mendapatkan pengakuan dari negara. Dan banyak diskriminasi yang diterima oleh penganut agama lokal dan warisan leluhur nusantara. -2013
Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara.
Kecapi suling adalah salah satu alat musik yang di mainkan masyarakat sunda. salah satu yang masih mempertahankan budaya sunda adalah komunitas sunda wiwitan.
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.