INTUISI MUHAMMAD IQBAL DALAM HATI HAIDAR BAGIR
Dari sekitar dua puluh satu buku yang ditulis oleh Iqbal, hanya dua yang berbentuk prosa, selebihnya adalah puisi dan sajak. Dua buku yang berbentuk prosa milik Iqbal itu adalah The Reconstruction of Religious Thought in Islam dan Development of Metaphysics in Persia: A Contibution on The History of Muslim Philosophy. (Kedua buku ini telah diterbitkan oleh Mizan dalam bahasa Indonesia. Yang pertama berjudul Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam [Juni 2016] dan Metafisika Persia: Suatu Sumbangan Untuk Sejarah Filsafat Islam [1988]). Namun tak bisa dimungkiri, nama Muhammad Iqbal tetap masuk dalam jajaran pemikir yang punya andil besar dalam pembangunan intelektual Islam. Meski dalam kerja intelektualnya Iqbal lebih banyak menulis tentang puisi atau sajak.
Tapi mengapakah Iqbal perlu dan patut dimasukkan dalam kategori pemikir? Haidar Bagir memberikan tanggapan mengenai hal ini, “puisi Iqbal bukan sekadar mengandung estetika, tetapi juga pemikiran filosofis”. Puisi dan sajak yang ditulis oleh Iqbal sarat dengan nilai filosofis dan gagasan filsafat, Iqbal tidak hanya bermain kata dan olah diksi. Puisi Iqbal bukan hanya memiliki keindahan estetika belaka.
Sastra menjadi medium yang digunakan oleh Iqbal dalam menyampaikan gagasan filosofisnya. “Kita bisa melihat puisi yang ditulis oleh Jalaluddin Rumi atau Nurudin Abdurahman al-Jami. Di sana kita akan temukan sebuah pesan filosofis yang tak kalah hebat dari filsafat yang ditulis oleh Ibn Arabi dalam bentuk prosa. Namun, orang yang memelajari Rumi tidak akan gagal mendapatkan pelajaran filsafat dalam bentuk prosa Ibn Arabi,” ungkap Haidar saat menunjukkan sastra juga digunakan oleh ulama Islam terdahulu dalam menyampaikan gagasan. Seperti kita diketahui, Rumi bisa jadi adalah lakon dalam dunia Barat dari Islam dengan puisi-puisinya. Melalui Matsnawi, Rumi membawa nilai-nlai cinta dari risalah damai Islam. Jelas bahwa yang dimaksudkan dalam pemikiran bukan hanya soal medium yang digunakan oleh pemikir, melainkan karena pesan dan makna yang ingin disampaikan.
Sastra sebagai medium untuk mengungkapkan gagasan memang tidak bisa menjangkau seluruh lapisan. Sastra sebagai “jembatan” penghubung dari penyampai gagasan ke penerima gagasan bahkan akan memilih atau menyeleksi pembacanya sendiri. Dengan sendirinya, seperti hukum alam, sastra memilih siapa pembacanya. Sekali lagi, bahasa dan pilihan diksi tentu akan memengaruhi apresiasi. Hal ini disampaikan juga oleh Haidar, “Memang apresiasinya akan lebih sulit pada puisi, karena puisi lebih lugas (terbatas) dan prosa bisa berpanjang-panjang.”
Jika dilihat memang tidak semua ulama menggunakan bentuk prosa dalam menyampaikan gagasannya. Ini bisa dilihat dari karya Attar, Manthiq al-Thair, yang menggunakan sirah burung sebagai medium. Fabel menjadi pilihan Fariduddin Attar, sebuah medium yang tak popular pada masanya.
Sebelum buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam terbit dan menjadi salah satu bukti inetelektualitas Iqbal dalam bidang filsafat, terlebih dahulu Iqbal menulis buku yang berisi kumpulan puisi berjudul Asrar-i Khudi dan Rumuz-I Bekhudi yang mengulas tentang salah satu konsep fundamental filsafal Iqbal, yakni khudi (pribadi, individu, atau ego). Bahkan menurut Haidar, buku Development of Metaphysics in Persia: A Contibution on The History of Muslim Philosophy, yang merupakan disertasi doktoral Iqbal, banyak berisi Syarh Manzhumah milik Sabziwari. Seperti kita ketahui, Syarh Manzhumah adalah ringkasan yang berbentuk syair.
Memaknai Kembali Definisi Pemikir
Selain itu, menurut Haidar, istilah pemikir harus dimaknai sebagai orang yang menggunakan rasio dan hatinya sekaligus. Bahkan menurut Haidar, sebuah pemikiran akan lebih kaya jika digali dengan intuisi atau dzauq. Definisi pemikir yang seperti ini dinilai Haidar tepat, karena sesungguhnya seorang pemikir bisa mengungkapkan pemikirannya baik dalam prosa ataupun puisi. Medium penyampai pesan tak menjadi soal dan masalah.
Nyatanya, dalam konsep filsafat yang dibangun Iqbal memang seperti yang dituturkan oleh Haidar. Iqbal adalah filsuf yang menurut Haidar secara geneologi pemikiran dekat dengan Mulla Shadra. Bukan hanya karena menggunakan puisi dalam penyampaian gagasannya, melainkan karena menggabungkan hati dan akal dalam komposisi jalur penerimaan pengetahuan kebenaran. Hal semacam ini sering disebut dengan filsafat Isyraqiyyah (Iluminasi), satu sistem filsafat yang mengkritik dominasi akal dan mengembalikan posisi intuisi. Lalu belakangan, Mulla Shadra meramu kembali pertentangan kaum Paripatetik (Masyaiyyah) dan Iluminasi dengan sebuah konsep filsafat Hikmah Muta’aliyah; yakni sebuah bangunan filsafat yang mecoba memberikan alternatif perdebatan-perdebatan yang tak terselesaikan dari Paripatetik dan Iluminasi.
Pada akhirnya, Iqbal disebut sebagai filsuf yang mengkritik tasawuf dan sufi yang mengkritik filsafat. Ia menggunakan akal dalam penjelajahan kebenaran tentang Tuhan dalam tasawuf, dan membuktikan rasionalitas intuisi dalam filsafat. Menurut Haidar, Iqbal menolak dipertentangkannya akal dan hati. Untuk hal ini bisa dilihat saat Iqbal mengkritik Imam al-Ghazali dan Immanuel Kant yang kedua-duanya terlalu mengagungkan salah satu di antara hati dan akal atau tasawuf dan filsafat. “Dalam buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, kita lihat bahwa Iqbal menolak dipertentangkannya akal rasional dan tasawuf. Atau saat Iqbal memuji Imam al-Ghazali, yang seperti Immanuel Kant menunjukkan keterbatasan-keterbatasan rasio, pada saat yang sama Iqbal juga mengkritik Imam al-Ghazali yang mendikotomikan antara akal dan dzauq (intuisi),” tambah Haidar.
Dzauq (Intuisi) dalam Filsafat Iqbal
Inti utama dalam filsafat Iqbal adalah khudi (pribadi). Namun, untuk mengetahui keberadaan Khuda (Tuhan), intuisi menjadi jalan yang digunakan oleh Iqbal. Filsafat yang dibangun oleh Iqbal menempatkan intuisi sebagai jalur alternatif dari hegemoni akal yang waktu itu banyak digunakan oleh filsuf, terutama kalangan Skolastik dengan argumen yang menurut Iqbal lemah dan mudah terpatahkan. Tidak juga argumen ontologis yang dipakai, ataupun kosmologi dan juga teleologi, ketiga argumen itu menurut Iqbal lemah.
Menurut Iqbal, watak sejati realitas adalah spiritual. Oleh karenanya harus ditangkap dengan sesuatu yang sifatnya melampaui indra, yakni dengan intuisi atau Iqbal sering mengaitkannya dengan pengalaman religius. Ini tentu berbeda dengan manisfestasi lahiriah yang bisa ditangkap melalui indra. Intuisi untuk jalan pengetahuan kebenaran memang tidak bisa dirunut kembali atsar-nya, karena intuisi bersifat pribadi dan personal. (Nur Hayati Aida)
5 Komentar
Komentar


Tulis balasan…


