Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

IMAM ALI BIN ABI THALIB RA, KEAN SANTANG & RAKEYAN SANCANG

$
0
0

IMAM ALI BIN ABI THALIB RA, KEAN SANTANG & RAKEYAN SANCANG

IMG_0969Bagi pemerhati sejarah Sunda dan tentunya masyarakat Sunda sendiri yang ingin mengetahui sejarah leluhur, pastinya sudah tidak asing lagi dengan ketiga nama tokoh penting ini, yang terkait erat dengan sejarah masuknya Islam ke wilayah jawa bagian barat.

Namun sayangnya sumber tertulis yang asli mengenai kisah masuk Islamnya Kean Santang ini bisa dikatakan hampir tidak ada, hingga terjadilah simpang siur informasi seperti yang terjadi saat ini.

Sejarah Kean Santang yang pada hakikatnya adalah menjabarkan ttg kedatangan Islam di tanah Sunda ini, hanya dapat kita dengar versi narasinya dari generasi ke generasi, baik melalui pantun ataupun kisah wayang, dan telah mendapatkan penambahan dan pengurangan di beberapa bagian kisahnya, dan tidak lupa ada pesanan dari pemerintah kolonial untuk menyisipkan kisah-kisah yang memberikan ‘citra’ buruk pada Islam, di antaranya melalui kisah pemaksaan untuk menganut ajaran Islam hingga terjadi perkelahian dan pengejaran antara Kean Santang dan ayahnya Prabu Siliwangi dan diakhiri dengan ‘ ngahiang-nya’ sang prabu, berubah wujud menjadi maung (harimau).

Darimanakah kisah-kisah tidak masuk akal ini bersumber? Terlihat jelas ada pemalsuan data, kisah-kisah ajaib dan sikap intoleran seorang muslim, yang bila pada ayahnya saja ia melakukan demikian, bagaimana dengan rakyat biasa? Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.  Lalu kembali lagi pertanyaan diatas darimanakah kisah2 ini bersumber?

Ternyata setelah dilakukan penelusuran, sumber utama kekacauan sejarah Islam di Indonesia adalah banyaknya sumber-sumber sejarah tertulis palsu atau salinan yang dibuat pada era kolonial, tepatnya setelah tahun 1860-an hingga 1900-an awal, sementara sumber-sumber sejarah tertulis yang asli di bawa ke Universitas Leiden Belanda.

Dari naskah2 aspal atau salinan inilah kemudian kita membaca dan mendengar banyak cerita-cerita aneh dan tidak masuk akal seputar sejarah masuknya Islam di Indonesia.

Kekacauan data sejarah yang paling sering ditemukan adalah terjadinya tumpang tindih tahun kehidupan para tokoh, hingga tidak ad titik temu antara tokoh dalam naskah kuno dengan fakta sejarah yang diambil dari sumber lain, misalnya tokoh yang harusnya hidup pada tahun 630 M, seolah olah hidup pada tahun 1400-an, di mana Islam pada masa itu yang faktanya telah tersebar di Indonesia dari Sabang sampai Merauke seolah-olah baru saja dipeluk oleh masyarakat Nusantara dalam waktu singkat.

Salah satu kisah yang mengalami perusakan dan pemalsuan sejarah ini adalah kisah pertemuan Kian Santang dan Imam Ali.
Berdasarkan data-data yang telah kami kumpulkan dan tidak mungkin saya masukkan ke dalam tulisan ini, karena banyaknya data-data tersebut, diketahui bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak masa Rasul SAW masih hidup, baik melalui utusan beliau SAW maupun penduduk dari seluruh dunia yang memang sengaja datang untuk mengenal Nabi terakhir sekaligus mempelajari Islam.

Di antara mereka yang datang ke jazirah Arab 1437 tahun yang lalu adalah Kean Santang yang diperintahkan ayahandanya, Prabu Siliwangi, untuk berguru ke tanah Arab pada seorang sakti bernama Ali.

Mayoritas penduduk Indonesia saat itu adalah penganut agama tauhid atau Millatu Ibrahim (Sunda Wiwitan dan Kapitayan Jawa, Kaharingan Dayak kalimatan, Parmalim-Batak, To Manurung Sulawesi, tambahan info oleh editor AYS), yang telah mengetahui kedatangan nabi terakhir berikut ciri-cirinya melalui kitab-kitab mereka dengan bahasa mereka , seperti yang disebutkan dalam Al Qur’an surat Ibrahim (14):4 Allah SWT berfirman, bahwa Allah SWT mengutus nabi dan rasul dengan bahasa kaumnya, agar dia dpt memberi penjelasan kepd mereka.

Dalam sejarah Nabi SAW, yang bukunya dijual bebas di toko-toko buku, juga dikisahkan tentang nubuat (ramalan) kedatangan Nabi terakhir yang diketahui oleh pemeluk ahlul kitab, karena terdapat pada kitab-kitab mereka.

Ahlul Kitab yaitu para pemeluk agama yang memiliki kitab sebagai rujukan tata cara dan peribadatan mereka, bukan hanya Yahudi dan Kristen tapi juga termasuk Hindu dan Budha serta agama-agama lain yang tersebar di seluruh dunia, termasuk agama tauhid yang ada di Nusantara saat itu yang menyembah Tuhan yang satu (Sang Hyang Widi).

Kisah tentang nubuat (ramalan) kedatangan Nabi Muhammad tergambar jelas pada kisah pertemuan Nabi SAW ketika masih belia dengan Biarawan Bahira yang mengetahui detail ciri-ciri kenabian pada Muhammad kecil yang kelak akan menjadi rasul terakhir, kisah tentang sahabat Bilal RA yang beragama Tauhid dari Afrika datang untuk bertemu Nabi terakhir seperti yang telah tercantum dalam kitab beliau, namun diperjalanan beliau dirampok dan dijual sebagai budak, atau kisah Abu Dzar dari bani Ghiffar yang datang ke Mekkah untuk memastikan kedatangan Nabi yang baru, demikian pula hal-nya dengan Salman al Farisi yang mengetahui detail kenabian Muhammad SAW melalui kitab Injil, atau kisah penduduk Madinah, yang telah mengetahui Nabi Muhammad SAW jauh sebelum Nabi hijrah dan masih banyak lagi, berita tentang kelahiran nabi Muhammad SAW yang telah mereka ketahui dari kitab-kitab mereka, hanya saja di antara mereka ada yang menentang dan menerima.

Dari penggalan kisah nabi Muhammad SAW di atas pertemuan Kean Santang dan Imam Ali as atau Sayyidina Ali RA menjadi tidak aneh lagi, sebagai seorang penganut Tauhid, baik Kean Santang ataupun ayahnya sang Prabu Siliwangi tentunya akan merasa terpanggil untuk melihat sang Nabi terakhir, Muhammad SAW, yang namanya telah tersebut dalam kitabnya, hingga kemudian memerintahkan putranya berguru langsung pada beliau saw.

Apalagi bila ditambah bukti hubungan perdagangan yang terjadi antara penduduk Nusantara dan Jazirah Arab telah terjalin jauh sebelum kelahiran Rasul  SAW, semakin wajarlah bila kedua tokoh ini memang pernah bertemu, hanya saja kisahnya mungkin tidak semistis dan segaib seperti yang kebanyakan kita ketahui di berbagai blog internet.

Imam Ali As adalah guru bagi Kian Santang, bukan hanya bertemu Imam Ali dan berguru pada beliau, dalam salah satu sumber yang kami dapatkan Kean Santang juga belajar dan bertemu langsung dengan Rasul saw, setelah sebelumnya bertemu atau berpapasan dengan Imam Ali AS.

Rasul SAW kemudian memerintahkan Kean Santang untuk belajar Islam dengan Sayyidina Ali RA, hal ini pun bukan sesuatu yang aneh karena bisa di baca dalam kisah-kisah sejarah Rasul SAW, Rasul SAW biasa memerintahkan para sahabat pilihan untuk mengajarkan Islam bagi mereka yang baru mengenal Islam.

Rakeyan Sancang atau Kean Santang?

Dua nama ini muncul setelah ditemukannya data dari seorang ulama Mesir bahwa salah seorang sahabat Imam Ali adalah pangeran dari Timur Jauh (Nusantara). Data ini diambil dari manuskrip kuno yang tersimpan di universitas al-Azhar Mesir yang diantaranya mengisahkan tentang sahabat Imam Ali, seorang pangeran yang berasal dari Timur Jauh, yang ikut perang Shiffin dan beberapa peperangan lain bersama Imam Ali.

Setelah di teliti oleh Ir H. Dudung Faithurohman, satu-satunya kisah pertemuan pangeran dari Timur jauh dengan Imam Ali adalah kisah Kean Santang yang terjadi di jawa, dan setelah diteliti kembali pangeran jawa yang hidupnya satu masa dengan Imam Ali dan menjadi sahabat Imam Ali, serta ikut dalam perang Shiffin tidak lain adalah Rakeyan Sancang putra raja Kertawarman, penguasa Tarumanegara VIII dari tahun 561-628 M.

Kesimpulan ini tentunya banyak menimbulkan opini dari berbagai kalangan pemerhati sejarah, karena jelas terjadi perbedaan tokoh utama, kisah yang beredar di masyarakat Sunda selama berabad-abad adalah ‘Kean Santang’ sementara tokoh yang bertemu dengan Imam Ali as, yaitu ‘Rakeyan Sancang’ pangeran Sunda/Jawa yang masa hidupnya satu masa dengan Imam Ali, lalu mana yang benar? Rakeyan Sancang atau Kean Santang?

Berikut adalah pembuktian-pembuktian yang kami dapatkan dari beberapa tahun meneliti sejarah Islam di Sunda berdasarkan naskah-naskah kuno, situs purbakala, Mitos, legenda, kisah turun temurun, naskah silsilah, kajian ilmu anthropologi, Filologi dan arkeologi yang kami dapatkan.

Pembuktian pertama tentu saja melalui penelusuran sumber, baik lisan, tulisan atau mengunjungi situs yang terkait dengan tokoh Kean Santang dan Prabu Siliwangi.

Terdapat beberapa sumber tertulis berupa naskah kuno yang menjadi rujukan data tahun, dua di antaranya didapat dari naskah Wangsakerta dan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang mengatakan bahwa Kean Santang adalah putra Prabu Siliwangi yang hidup pada era 1400-1500-an Masehi, sementara fakta sejarah membuktikan pada kita Imam Ali hidup pada tahun 600M-663M, yang artinya jarak waktu antara Imam Ali dengan Kean Santang sekitar 900 tahun! Dan tentunya mustahil secara ilmu sejarah kedua tokoh ini dapat bertemu.

Namun lain hal-nya dengan Rakeyan Sancang yang masa hidupnya kurang lebih satu masa dengan Imam Ali, hingga dapat ditarik kesimpulan yang bertemu dengan Imam Ali adalah Rakeyan Sancang dan beliau adalah tokoh yang berbeda dengan Kean Santang. Benarkah demikian? Benarkah Rakeyan Sancang dan Kean Santang adalah 2 tokoh yang berbeda? Bila benar demikian artinya kita telah membuang seluruh sumber lisan sejarah dan silsilah para tokoh muslim yang telah menjadi pemimpin di Jawa Barat sejak tahun 800-an Masehi. (lebih lengkapnya bisa dibaca tulisan kami tentang Cangkuang, Situs Hindu atau Islam? Di Liputan Islam)

Setelah kami pelajari dari penelitian Prof. Boechari (alm), seorang filolog yang cukup terkenal mengatakan bahwa kedua naskah di atas adalah 2 di antara ratusan naskah salinan yang dibuat atas perintah kolonial, jadi sangat memungkinkan pada kedua naskah ini terjadi penambahan dan pengurangan data sesuai pesanan pemerintah kolonial pada masa itu, masih menurut Prof. Boechari (alm), untuk mengetahui keotentikan isi ke-2 naskah tersebut harus melakukan seleksi dan perbandingan dengan data sejarah yang lain.

Dari penelusuran inilah kami juga menemukan fakta sejarah penting mengenai tokoh Prabusiliwangi.
Berdasarkan peninggalan bangunan dan silsilah dan kisah-kisah pada naskah kuno seperti Babad, Cariosan dsb, diketahui bahwa Prabu Siliwangi pun sebenarnya hanya gelar yang digunakan untuk menyebut para penguasa yang adil di Nusantara dari masa ke masa, dari mulai zaman Nabi Nuh AS hingga Prabu Siliwangi terakhir sebelum era kolonial yang mencapai puncak kejayaan pada 1482-1521, dan inilah Prabu Siliwangi yang umumnya diketahui masyarakat kini, dari gelar Haji dan silsilah dapat dipastikan bahwa Prabu Siliwangi adalah seorang muslim, seperti yang tercantum dalam gelarnya : Sang Sribaduga, Ratu Haji Di Pakuan Pajajaran.

Dan sangat mungkin sSng Kertawarman, ayahanda dari Rakeyan Sancang adalah salah seorang dari Prabu Siliwangi atau penguasa yang adil yang memerintahkan putranya untuk belajar Islam ke Mekkah.

Mengenai prabusiliwangi, InsyaAllah akan saya bahas dalam tulisan yang lain.

Pembuktian kedua bisa dilihat melalui ‘nama’. Kian Santang adalah sebutan bukan nama. Kean/Kian adalah kependekan dari Kata ‘Rakeyan/Rakryan’ yang diambil dari bahasa sanskrta yang artinya pangeran atau pemimpin.
Sementara kata Santang adalah kata yang mengalami perubahan bunyi atau turunan dari kata ‘Sancang’.
Sancang adalah nama kota kuno di Jawa Barat, yang lokasi-nya saat ini masih dapat kita kunjungi di hutan Sancang, Garut Selatan.

Dalam ilmu filologi perubahan kata adalah hal yang umum terjadi, seperti kata ‘Rakeyan’ seiring dengan perubahan zaman, perpindahan kisah dari generasi ke generasi kata Rakeyan menjadi Rahadyan dan setelah kedatangan kaum muslim yang hijrah dari Arab dan persia sekitar tahun 700-800an Masehi, masuklah unsur arab kedalam kata Rahadyan menjadi Ra’Dien yang artinya pemimpin agama, kata Ra’din kemudian berubah menjadi Raden. Dari perjalanan kata dari Rakeyan menjadi Raden saja membutuhkan waktu ratusan tahun.
Hal yang sama pun terjadi dengan kata ‘Sancang’ seiring dengan perubahan dialek dan pengaruh yang lain dalam kisah turun temurun menjadi kata ‘Santang’.

Jadi berdasarkan temuan diatas, kami menyimpulkan bahwa Keyan Santang/ Kian Santang dan Rakeyan Sancang adalah tokoh yang sama, yang dikisahkan dari generasi ke generasi selama ratusan tahun hingga mengalami perubahan bunyi dan makna, yaitu yang pada awalnya hanya gelar menjadi nama. Rakeyan Sancang sendiri bila dilihat dari arti bahasa, artinya pangeran yg berasal dari Sancang, menegaskan jabatan dan asal kota atau tempat dimakamkannya sang pangeran.

Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, Sancang adalah kota kuno yang sekarang lokasinya berada di Garut Selatan dan terkenal dengan hutan/leuweung ‘Sancang-nya’, diketahuinya bahwa hutan Sancang adalah lokasi bekas pemukiman kuno, ditandai dengan adanya kompleks pemakaman di dalam hutan Sancang.

Kisah Rakeyan Sancang dan pertemuannya dengan Sayyidina Ali RA dikisahkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, baik dalam bentuk pantun maupun wayang, dan seperti umumnya tradisi lisan pasti mengalami penambahan, pengurangan isi kisah dan perubahan nama tokoh yang disesuaikan dengan dialek sang penutur.

Mengenai sumber tertulis yang asli bukan salinan, kami yakin pasti ada, hanya saja sebagian besar sumber tertulis ini telah diambil oleh pihak kolonial dan kini tersimpan di universitas Leiden-Belanda.

Sumber tertulis yang ada sekarang umumnya adalah salinan yg dibuat pada era kolonial atau berdasarkan kisah turun temurun yang kemudian ditulis dalam bentuk pantun atau prosa. (ttg pemalsuan sumber sejarah tertulis utk lebih lengkapnya bisa dibaca tulisan yang say aposting di FB berjudul sumber sejarah tertulis di Indonesia)

Salah satu sumber tertulis yang kami dapatkan dari salah satu pondok pesantren di Banten, mengenai kisah Kian Santang yang mendekati versi aslinya mengatakan bahwa pertemuan antara Kean Santang dengan Imam Ali terjadi di Mekkah setelah peristiwa fathu Makkah/ penaklukkan Makkah (629 M) pertemuan ini memang disengaja karena perintah dari sang ayah, Prabu Siliwangi, agar putranya mencari guru yang ilmunya mumpuni.

Singkat kisah setelah mempelajri Islam langsung dari Rasul SAW dan Imam Ali as, Kian Santang diperintahkan Rasul SAW untuk mengabarkan tentang Islam atau syi’ar di tanah Jawa (Sunda).

Kisah Prabu Siliwangi yang berperang melawan anaknya sendiri, atau Prabu Siliwangi yang berubah atau ‘ngahiang‘ menjadi maung (Harimau) setelah kalah berperang dengan putranya sebenarnya tidak pernah ada, kisah-kisah tersebut hanyalah penambahan-penambahan yang dipaksakan dengan tujuan merusak data sejarah hingga tidak layak lagi dijadikan sumber, karena berdasarkan sumber dari Banten tadi Prabu Siliwangi-lah justru yang memerintahkan putranya untuk berguru ke Imam Ali di Mekkah.

Peperangan antara ayah dan anak, ketika sang anak memilih Islam adalah kisah rekayasa buatan era kolonial untuk memperburuk citra Islam, kisah seperti ini terdapat hampir di setiap naskah kuno di Indonesia, karena memang mayoritas naskah-naskah ini buatan era kolonial, baik yang berbentuk buku atau lontar.

Kisah orang tua melawan anaknya setelah sang anak memeluk Islam yang terkenal selain Kean Santang dan Prabu Siliwangi antara lain Raden Fatah berperang melawan ayahnya, raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Kisah Raden Fatah dan Brawijaya V dari Majapahit memiliki alur cerita yang hampir mirip dengan kisah Kean Santang dan Prabu Siliwangi, dan beberapa kisah serupa yang kami temukan pula pada naskah-naskah kuno salinan dari Sumatera dan Kalimantan, dari sini dapat ditarik benang merah bahwa kisah-kisah yang hampir mirip ini pada dasarnya adalah kisah leluhur yang sama hanya saja dikisahkan di lokasi yang berbeda dengan bahasa dan dialek yang berbeda, seperti yang dikatakan Pangeran Wangsakerta dalam naskah Wangsakertanya :
Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”.
(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya)

Adanya usaha pemalsuan sejarah Islam melalui sistem penyalinan dari naskah-naskah aslinya juga tidak bisa dianggap remeh, karena pemalsuan naskah = pemalsuan sejarah, dan masih menurut Boechari penyalinan ini tidak terbatas hanya pada naskah namun juga terdapat pada prasasti dan bangunan atau situs-situs kuno.

Kisah2 yang tertulis untuk memperburuk citra Islam ini, jumlahnya sangat banyak dalam naskah2 salinan yang ada di Indonesia, bisa jadi data yang ada dalam naskah salinan adalah data yang asli dan tetap bisa digunakan sebagai sumber sejarah, namun untuk berhati-hati harus dilakukan croschek dengan sumber sejarah yang lain yang dapat dirujuk kebenarannya.

Mudah2an sepotong kisah penelitian sejarah Islam yang sedang kami tekuni ini dapat bermanfaat dan memberikan sedikit kejelasan tentang sejarah Islam di tanah Sunda.

*********

cat. Tulisan diatas adalah ringkasan penelitian kami mengenai sejarah Islam di Nusantara yang telah kami tekuni selama 5 tahun terakhir, oleh sebab itu sumber tulisan ini sangat banyak yang kami dapat dari penelusuran naskah-naskah kuno, kunjung situs pubakala dan penelitian para ahli dibidangnya masing-masing.

(Sofia Abdullah-Penulis)

 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300