Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Benarkah Raja Arab Saudi Sokong Kampanye PM Isarel?

$
0
0
Home » Khazanah » Dunia Islam » Benarkah Raja Arab Saudi Sokong Kampanye PM Isarel?
in Dunia Islam, Slide 2 days ago 73 Views
Raja SalmanBocornya informasi Panama Papers menguak banyak kabar yang mengejutkan. Sejauh ini kabar yang sudah terungkap dari informasi berharga yang jumlahnya mencapai belasan jutafile itu adalah jejaring korupsi dan kejahatan pajak yang menyeret sejumlah nama tokoh penting, seperti kepala negara, tokoh politik, sampai pesohor dunia.

Belakangan, kejutan lain terungkap. Disebutkan dalam dokumen itu bahwa ada sokongan politik yang diberikan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz bin Abdulrahman al-Saud kepada Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Seperti yang diberitakan Midlle East Observer, disebutkan bahwa Pemimpin Parlemen Israel (Knesset) Izaac Herzog menyatakan bahwa Raja Salman ikut membantu membiayai kampanye Netanyahu untuk menghadapi pemilu legislatif Israel 2015. Informasi itu dirilis kantor berita yang berbasis di Turki itu pada Senin (9/5) lalu.

“Pada Maret 2015, Raja Salman mendepositkan 80 juta dolar AS untuk mendukung kampanye Netanyahu,” kata Herzog yang dikutip Midlle East Observer dari informasi bocoran Panama Papers.

Uang itu, masih menurut informasi bocoran itu, dikirim melalui seorang warga Suriah-Spanyol, Mohamed Eyad Kayali. Uang tersebut lalu dimasukkan ke rekening perusahaan di British Virgin Islands milik Teddy Sagi, pengusaha dan miliarder Israel.

Menurut Ketua Partai Buruh di Israel itu, Teddy yang kemudian mengalokasikan uang itu (setara dengan Rp 1 triliun) untuk mendanai kampanye pemilihan Netanyahu.

Informasi bocoran ini tentu mengejutkan. Sebab kedua tokoh itu adalah tokoh kunci di negaranya masing-masing. Dan selama ini hubungan kedua negara itu kerap dianggap tidak akur, bahkan berhadap-hadapan.

Kabar terbaru, informasi bocoran itu dibantah pihak Herzog. Pihak Herzog juga, seperti ditulisBreitbart Yerusalem, menyatakan bahwa apa yang tertulis dalam dokumen itu sepenuhnya karangan belaka. Sementara pihak Salman dan Netanyahu sejauh ini belum menyampahkan bantahan terkait informasi bocoran itu.

Sesungguhnya Herzog bukan satu-satunya pihak yang membantah informasi bocoran yang terungkap dari Panama Papers. Sebelumnya ada sejumlah tokoh lain yang membantah informasi bocoran itu ketika namanya disebut-sebut. Namun, jika berkaca pada informasi bocoran serupa terkait deposito pimpinan dan tokoh dunia yang lain, informasi bocoranPanama Papers sejauh ini dinilai cukup akurat dan valid.

Anggaplah akurasi dan validitas informasi bocoran itu tidak bisa dipercaya. Tapi itu bukan berarti menafikan sejumlah fakta hubungan politik yang selama ini terjalin antara pemerintah Saudi dan Israel. Contoh paling aktual adalah bantuan penuh yang diberikan angkatan udara Israel untuk serangan Saudi ke Yaman.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Saudi bukanlah negara yang memiliki hubungan politik buruk dengan Israel, apalagi memposisikan dirinya vis a vis dengan Tel Aviv. Hubungan politik keduanya relatif stabil-positif.

Karena itu, dari sisi bobot kerahasiannya, informasi bocoran Panama Papers tentang kemesraan Salman-Netanyahu ini sebenarnya bukan dalam kategori top secret. Informasi bocoran itu sifatnya ‘mengkonfirmasi fakta’ yang selama ini kasat mata soal ‘hubungan terlarang’ antara kedua negara itu.

Lalu, apa yang mendorong Salman menyokong Netanyahu dalam kampanyenya? Bukankah Netanyahu adalah sosok yang selama ini menjadi masalah terbesar bagi terwujudnya kemerdekaan Palestina, sementara di sisi lain, Saudi dianggap negara yang mendukung kemerdekaan Palestina?

Jika diperhatikan, Pemerintah Saudi sesungguhnya tidak memiliki cetak biru, visi, dan strategi politik luar negeri yang utuh dan terintegrasi. Karena itu, tak heran jika kita kerap melihat kontradiksi dan inkonsistensi dalam sikap politik luar negerinya.

Contoh terbaru dan paling kasat mata terkait inkonsistensi sikap politik Saudi adalah menyangkut persoalan ISIS. Di satu sisi, Saudi mendukung kelompok pemberontak dan teroris di Suriah dan ‘memproduksi’ ideologi Islam ekstrem-radikal itu. Tapi pada sisi yang lain, Saudi mengecam eksistensi dan sepak terjang ISIS dan mengecam Al Qaeda.

Inkonsistensi sikap politik Saudi bukan tanpa dampak. Saudi justru menjadi salah satu negara yang ditarget oleh ISIS. ISIS dikabarkan beberapa kali mengancam akan menyerang Saudi.

Jadi, ada “ongkos” yang harus dibayar pemerintah Saudi dari politik luar negeri yang inkonsistensi itu, yaitu ketika ancaman teror berbalik ke negara mereka sendiri.

Apa yang membuat Saudi menunjukkan sikap inkonsistensi dalam politiknya? Penjabaran terkait hal ini cukup panjang. Tapi sebagian analis menyatakan itu buah dari basis ideologi keislaman mereka. Yang jelas, jika kita buka file-file politk luar negeri Saudi, ada banyak contoh lain lagi dari inkonsistensi ini.

Dalam kacamata ‘inkonsistensi’ ini, sikap Saudi terhadap kemerdekaan Palestina mudah terlihat. Di satu sisi, Saudi kerap mengklaim sebagai negara yang paling serius dan konsisten memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Tapi pada saat yang sama, Saudi memiliki relasi politik ‘mesra’ dengan Israel, yang efeknya akhirnya tidak menyanggah secara konstruktif klaimnya tersebut.

Dalam bahasa yang sederhana, politik luar negeri Saudi berwajah ganda: membela Palestina, tapi mesra dengan Israel. Ambivalen juga kontradiktif. Bahkan, terkadang kita melihat bahwa pemerintah Saudi lebih memprioritaskan stabilitas hubungan politiknya dengan Israel daripada kemajuan pencapaian kemerdekaan Palestina.

Bocoran informasi Panama Papers tentang deposito Raja Salman tersebut harus dilihat dalam logika ‘inkonsistensi’ ini, agar kita tidak bingung dibuatnya. Dengan begitu kita “tidak akan heran” dan “kaget” melihat fakta bahwa di balik layar Raja Salman menyokong politisi konservatif Israel (Netanyahu) yang selama ini paling menghambat kemajuan perundingan damai. Bocoran Panama Papers ini menambah deretan inkonsistensi pemerintah Saudi selama ini.

Pertanyaan yang perlu diajukan selanjutnya, apa keuntungan geopolitik yang didapat Saudi dengan menyokong Netanyahu?

Ini tidak lepas dari soal perebutan dominasi politik di kawasan Timur-Tengah. Faktanya, Israel adalah salah satu negara yang secara politik sangat kuat di kawasan tersebut. Di sisi yang lain, selama ini Saudi memiliki obsesi untuk menjadi ‘pemain kuat’ dan memegang dominasi atas kawasan Timur-Tengah. Saudi ingin menjadi representasi terkuat dari negara Arab. Bahkan, untuk itu Saudi melakukan klaim-klaim keislaman (sebagai negara Islam ideal dan seterusnya). Semua itu dilakukan untuk menempatkan dirinya sebagai ikon ideal dan terkuat di kawasan Timur-Tengah, bahkan dunia Islam secara keseluruhan.

Dengan mendukung Netanyahu, setidaknya ada dua keuntungan politis yang didapat Saudi.

Pertama, kedekatan dengan Israel (Netanyahu) bisa dikapitalisasi secara politik oleh Saudi untuk memperkuat dominasinya di kawasan Timur-Tengah. Dekat dengan salah satu negara terkuat di kawasan tersebut (yaitu Israel), tentu akan membuat posisi Saudi tertopang.

Kedua, kedekatan Saudi dengan Israel tak bisa dilepaskan dari rivalitasnya dengan Iran, Irak, Suriah, dan Lebanon. Seperti diketahui, empat negara ini memiliki posisi vis a vis dengan Israel. Selama ini, empat negara inilah penghambat Israel untuk menghegemoni kawasan Timur-Tengah. Bahkan, pembelaan keempat negara tersebut terhadap kemerdekaan Palestina sebenarnya jauh lebih konsisten dibandingkan yang dilakukan pemerintah Saudi.

Dengan demikian, relasi Raja Salman dengan Netanyahu merupakan upaya Saudi untuk menaikkan daya tawar politiknya terhadap keempat negara tersebut. Saudi sedang menerapkan adagium: “musuh dari musuhku adalah kawanku”. Dalam batas tertentu, Saudi bekerjasama dengan Israel untuk: di satu sisi, menekan empat negara tersebut di tingkat kawasan, dan pada sisi yang lain, menguatkan dominasi Saudi di kawasan tersebut. Dengan bertandem secara politik dengan Israel, kekuatan politik Saudi akan lebih kokoh.

Saudi juga kerap menggunakan isu kemazhaban (Syiah-Sunni) untuk menekan empat negara tersebut dan merangkul negara-negara Sunni. Padahal, Wahabi itu sangat berbeda dengan Sunni. Bahkan, dalam batas tertentu keduanya bertolak belakang. Wahabi, misalnya, sangat ‘alergi’ pada kebudayaan, sedangkan Sunni sangat mengapresiasi kebudayaan sebagai ‘mitra’ dakwah keislaman. Tapi anehnya, Saudi kerap menyamakan mazhabnya (Wahabi) dengan Sunni, bahkan mengklaim Wahabi sebagai Sunni. Dalam konteks kemazhaban inilah, Saudi kerap melakukan politisasi mazhab untuk menguatkan dominasinya di Timur-Tengah dan di dunia Islam.

Jika sama-sama ingin mendominasi Timur Tengah, apakah di masa depan potensial terjadi friksi dan rivalitas antara Saudi dan Israel? Itu sudah pasti. Kooperasi politik yang terjadi saat ini antar Saudi-Israel bersifat tentatif, yaitu selama masih ada musuh bersama, empat negara tadi.

Yang menarik, di dalam negeri, kelompok Islam konservatif tidak menampakkan reaksinya ketika tanda-tanda hubungan mesra antara Riyadh-Tel Aviv sangat kasat mata. Bahkan ada kesan, mereka seolah bersikap ‘kritis’ dengan informasi bocoran Panama Papers terkait sokongan Raja Salman untuk kampanye Netanyahu itu.

Bukankah jika dilihat dalam kacamata keislaman yang selama ini mereka gunakan, ‘perselingkuhan politik’ yang dilakukan Raja Salman dengan Netanyahu itu sangat ‘tidak Islami’? Bukankah itu sangat menyakitkan komunitas Muslim dunia yang selama ini membela Palestina?

Pada dasarnya, kelompok Islam konservatif di Indonesia terkesan lugu ketika membaca politik luar negeri Saudi. Mereka bahkan seringkali melihat Saudi secara taken for granted, sebagai representasi ideal negara Islam. Padahal, banyak sekali dari sikap politik Saudi yang tidak mencerminkan prinsip dan nilai-nilai Islami. Salah satunya, ya, inkonsistensi seperti yang ditunjukkan di atas.

Akibatnya, kelompok Islam konservatif di Indonesia seringkali “tertular” inkonsistensi Saudi. Mereka tidak memiliki standar yang tunggal. Standar kelompok ini tentang nilai-nilai Islami juga ganda, seperti standar ganda yang dilakukan Saudi.

Sikap standar ganda mereka terlihat kala Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melempar wacana untuk membuka hubungan diplomatik antara RI-Isreal pada satu pertemuan pada akhir Oktober 1999. Wacana itu kemudian dipertegas Alwi Shihab, Menteri Luar Negeri saat itu, sehari setelahnya.

Alasan utama yang mendasari dibukanya hubungan itu ialah agar Indonesia bisa berperan lebih aktif dalam mewujudkan perdamaian Palestina dan Israel. Dan hubungan diplomatik RI-Israel dijadikan sebagai pintu masuknya.

Saat itu, kelompok Islam konservatif menolak mentah-mentah gagasan itu. Mereka turun ke jalan dan berdemonstrasi di depan kantor kementerian luar negeri untuk menyatakan penolakan itu. Bahkan mereka mendesak Alwi agar diturunkan dari jabatannya.

Jadi, jika kelompok Islam konservatif di Indonesia kerap mempertontonkan inkonsistensi dalam bersikap, itu  karena kelompok ini “terkontaminasi” inkonsistensi Saudi sebagai referensi ideal keislaman mereka. []

Sumber:

 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300