
Radhar Panca Dahana: Atheis Sebenarnya adalah Orang yang Menjadikan Agama sebagai Slogan
Sebelum tulisan Arab di pakaian Agnes Mo, kalangan ini juga mempermasalahkan karpet yang digunakan untuk tari Bali dan kertas sampul Al-Quran yang dibuat terompet.
Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, kondisi seperti itu adalah cermin dari masyarakat yang belum matang. Mereka memiliki pemahaman agama yang tanggung, karena itu simbol, bagi mereka, menjadi penting.
Radhar sendiri baru-baru ini merasakan langsung bagaimana belum matangnya keberagamaan sebagian masyarakat. Saat Federasi Teater Indonesia yang ia pimpin menggelar FTI Award 2015, akhir Desember lalu di Jakarta, massa Front Pembela Islam melakukan razia terhadap salah satu peraih penghargaan itu: Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Dedi dianggap telah melakukan syirik lantaran menghidupkan budaya Sunda di daerahnya.
Untuk mengetahui implikasi sosial lebih jauh dari masyarakat yang demikian, Warsa Tarsono dari Madina Online secara khusus mewawancarai Radhar Panca Dahana di kantornya, di daerah Lebak Bulus, Jakarta. Berikut petikannya:
Apa pendapat Anda tentang masyarakat yang mudah sekali menuduh pihak lain melecehkan agamanya?
Kalau ada orang atau kelompok yang begitu sensitif, cepat tersinggung, biasanya menunjukkan orang itu belum matang. Itu bisa terjadi pada kalangan anak muda, tapi juga bisa pada kalangan dewasa bahkan orangtua yang kepribadiannya belum kuat.
Di dalamnya ada rasa tidak percaya diri. Ada semacam kegalauan yang diakibatkan oleh disorientasi dan dislokasi. Ketidakmampuan untuk memahami keadaan sehingga dia tidak bisa menjelaskan dengan baik apa yang terjadi. Orang-orang ini berada dalam satu tingkat yang cukup labil, tidak stabil. Ketidaksetabilan inilah yang memunculkan manusia, yang dalam ukuran kualitatif, menjadi orang mediokratif, medioker.
Menurut Anda, apa penyebabnya?
Seperti saya jelaskan tadi, ketidakmampuan untuk memahami zaman ini, situasi mutakhir, dunia kontemporer ini. Apalagi kalau itu dikaitkan dengan kaidah-kaidah keagamaan: akidah dan syariah. Pada situasi itulah kegamangan, kerisauan, dan kegalauan itu muncul. Nah, orang-orang yang galau seperti ini menjadi mudah tersinggung bila melihat, mendengar atau mendapatkan sesuatu yang diyakininya selama ini ditempatkan atau digunakan tidak sesuai kebiasaannya.
Penyebab lainnya adalah karena pemahaman Islam yang tanggung. Mereka tidak memiliki pemahaman yang utuh tentang agamanya sendiri. Itu karena Islam yang mereka yakini adalah Islam yang diperoleh secara taken for granted. Karena itu jadinya tanggung. Dalam arti, dia percaya tapi dalam pelaksanaan hidupnya tidak menjalankan keyakinannya.
Orang-orang seperti ini menjadikan agama sebagai gua perlindungan saja. Kalau menurut Peter Berger, agama hanya menjadi tudung suci (secret canopy). Karena itu penggunaan simbol-simbol agama menjadi menguat seperti jenggot, peci, kopiah kupluk, baju gamis, baju putih, baju koko dan simbol-simbol lain yang menunjukkan dia Muslim yang baik, padahal perbuatannya belum tentu. Maka wajar kalau para koruptor saat datang ke pengadilan itu pakai baju Islam dan perempuannya pakai jilbab.
Nah, ini tentu saja tidak baik bagi kehidupan beragama kita. Bahkan dalam banyak hal dia menjadi ancaman terhadap agama, umat beragama, dan terhadap kehidupan beragama itu sendiri.
Jadi ini bukan karena pengaruh Wahabi yang cenderung formalistik-simbolistik?
Tidak juga. Pengaruh yang Anda anggap negatif itu, entah itu Wahabisme atau apa saja itu sebenarnya tidak akan berbicara banyak kalau kondisi mental kultural kita tidak rapuh. Dia tidak akan ada gunanya mempengaruhi orang kalau integritas dan kepribadiannya kuat. Seorang suami yang kepribadiannya kuat dan teguh, kalau ditawari 10 perempuan cantik pun itu tidak akan berpengaruh padanya. Kalau orang itu hatinya teguh dan jiwanya kuat jika ditawari jabatan atau uang sebanyak apapun untuk melakukan tindakan jahat dia tidak akan melakukannya.
Tadi Anda mengatakan, kegamangan terhadap realitas dan pemahaman Islam yang tanggung menjadikan sikap beragama masyarakat formalistik-simbolistik. Apakah ada konsekuensi lanjutan dari pola keberagamaan seperti itu?
Tentu saja ada. Ancaman yang paling besar adalah menciptakan ambiguitas, kebingungan, kegalauan yang makin akut. Ancaman yang akut ini dampaknya suatu saat –saya perkirakan akan terjadi 10 tahun lagi– akan menciptakan agnotisme sosial. Keraguan terhadap tauhidnya sendiri. Bahkan keraguan kepada Tuhannya sendiri. Dan saat ini tanda-tanda itu sudah semakin terlihat.
Itu, misalnya, bisa kita lihat dari konsepsi tauhid yang mereka pahami. Menurut saya, konsepsi tauhid mereka sekarang ini ilusif. Mereka meyakini hal-hal yang tidak bisa mereka jelaskan dan tidak mereka praktekkan. Mengerjakan semua salat, baik wajib atau sunnah, tapi dia juga mengerjakan semua yang dilarang oleh agamanya.
Praktik demikian, menurut saya, sudah merupakan pengingkaran dan pengkhianatan yang berarti pemurtadan dari agamanya. Itu sudah atheis sebenarnya. Karena agama hanya dijadikan slogan. Sebagai stempel. Sebagai plester saja di jidatnya.
Kondisi itu terjadi pada semua kalangan Islam?
Iya, bahkan juga para pemuka agama. Tauhid mereka ilusif. Katakanlah begini, mereka mengejar jabatan, mengejar rezeki dengan susah payah, bahkan sebagian mereka menjual agama melalui slogan-slogannya. Ayat-ayat dijual melalui panti asuhan, billboard, dan lain-lain. Mereka mengejar dunianya itu begitu rupa. Hal itu sebenarnya memperlihatkan dia tidak percaya bahwa Tuhan Maha Memberi Rezeki.
Dia mengejar dunia sampai melupakan akidahnya dan Tuhannya sendiri. Itu menandakan bahwa sebenarnya dia sudah tidak percaya sama Tuhannya sendiri.
Bukan berarti tidak ada yang saleh atau tidak ada kiai yang baik. Mereka ada, tapi orang-orang itu tidak lagi berperan penting dalam kehidupan masyarakat kita. Ujaran-ujaran, petuah-petuahnya tidak lagi menjadi acuan. Tidak lagi digugu dan ditiru. Ulama mestinya menjadi acuan. Kata-kataya digugu dan perbuatannya ditiru.
Sayangnya, mereka sudah tidak lagi diperlakukan seperti itu. Sebaliknya, yang digugu dan ditiru adalah orang-orang yang bisa memberikan dampak material, finansial, dan dampak sosial yang sama sekali jalannya benar-benar melanggar dari apa yang dia yakini.
Saya harus mengatakan kenyataan yang sesungguhnya. Boleh saja Anda tidak setuju dan membantahnya, tapi tolong berikan buktinya. Kenyataan ini biar pun pahit haruslah kita terima karena itu realitas objektif kita. Kenyataan pahit ini bukan menjadi alasan kita untuk jadi pecundang, bukan menjadi alasan kita untuk putus asa dan frustrasi, tapi justru kita harus buat lebih hebat lagi.
Artinya, perjuangan dan usaha kita harus berlipat untuk bisa mengatasi itu. Bangsa Indonesia tidak bisa bekerja dengan cara yang biasa untuk bisa mengatasi itu. Harus dengan cara yang luar biasa.
Menurut Anda, apakah pengingkaran terhadap nilai-nilai agama itu hanya terjadi di kalangan penganut Islam saja?
Ini terjadi juga pada agama-agama lain. Tanya saja mereka, orang-orang Kristiani, Budha, dan agama-agama lainnya. Menurut saya, hal ini tidak terlihat saja karena mereka bukan mayoritas, tapi itu terjadi.
Apakah ini cermin dari kegagalan pendidikan kita atau ada hal lainnya?
Sistem. Sistem yang kita berlakukan ini. Baik itu sistem kemasyarakatan, sistem negara dan pemerintahan, politik, hukum, ekonomi. Itu yang membuat kita kacau. Kita mempergunakan sistem yang tidak kita bikin sendiri. Kita menggunakan sistem yang tidak berbasis pada tradisi kita, pada kesejarahan kita, pada jati diri kita. Kita menggunakan sistem orang lain. Sama saja dengan kita memakai baju orang lain. Tidak pas, tapi kita pas-paskan. Dan tetap saja tidak enak kita pakai.
Sistem itu mengakibatkan kerusakan pada kehidupan fundamental kita. Sampai di tingkat mental, spiritual, dan kultural. Kenapa? Karena sistem itu menyerang ke berbagai tingkat. Dia tidak menyerang materinya, tapi software-nya. Hardware-nya malah bagus-bagus. Gedung tinggi, teknologi canggih. Tapi manusia di baliknya rusak.
Mulai kapan kita mengalami ini?
Mengerasnya sekitar 20 tahun terakhir. Terutama ketika kemajuan teknologi informasi, komputasi, dan transportasi menggila dua dekade terakhir. Nah, karena kemajuan di bidang itu kita mengalami tsunami data.
Tsunami data ini bentuknya, kalau dalam bahasa teknisnya, disebut big data. Big data itu tidak mampu diproses oleh processor dan program kita yang tradisional. Perumpamaannya, sistem operasi yang kita gunakan masih DOS atau WS, sementara datanya hanya bisa diolah oleh Pentium 5. Sehingga kalau tidak hank, operasinya jadi kacau. Kesimpulan-kesimpulannya jadi kacau.
Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki ini semua?
Jangan tanya jalan keluarnya kepada saya. Saya punya jalan keluar, tapi saya tidak menganggap itu paling benar. Kalau saya katakan, saya menjadi sok tahu. Jadi lebih baik kita berkumpul, menciptakan musyawarah. Melakukan musyawarah untuk mendapatkan mufakat berbasis pada hikmah dan kebijaksanaan serta permusyawaratan. Itu butir Sila Keempat Pancasila. Laksanakan itu, sudah.[]
https://www.youtube.com/watch?v=vKkr9SoOjzo
Sumber:
