
Dedi Mulyadi bersama KH. Said Aqil Sirodj
Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta sejauh ini dikenal sebagai satu-satunya Kepala Daerah yang terang-terangan mendukung gagasan Islam-Nusantara. Tak terhitung jumlahnya Dedi Mulyadi mengapresiasi gagasan Islam Nusantara sebagai gagasan penting untuk Indonesia saat ini. Bahkan jauh sebelum wacana Islam-Nusantara popular di masyarakat, Dedi Mulyadi sudah berani terlebih dahulu menyambut gagasan yang diusung Nahdlatul Ulama (NU), sebuah ormas Islam terbesar di dunia itu. Tak tanggung-tanggung, saat dirinya diundang pidato di International Young Leader Assembly di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, 15 Agustus 2015, ia pun menyampaikan gagasan Islam Nunsantara sebagai salahsatu materi pidatonya.
Apa alasan Dedi Mulyadi melakukan hal itu?
“Sebenarnya spirit Islam-Nusantara itu bukan barang baru. Labelnya saja yang baru. Dengan label baru lebih mudah dipahami maksudnya. Adapun yang bingung itu justru menantang kita mengetahui mengapa terjadi kebingungan padahal Islam-Nusantara itu ya Islamnya NU, Islamnya mayoritas warga Indonesia yang bertaut dengan sejarah dakwah Walisongo,” terangnya kepada penulis dalam sebuah perbincangan dengan Katakini.com di Pendopo Purwakarta Rabu, 16 Maret 2016.
Dalam pandangan pria yang akrab dipanggil Kang Dedi itu, Islam Nusantara sejatinya adalah kreativitas unggul produk akalbudi. Itulah mengapa menurutnya, Islam Nusantara menjadi bagian dari bagian dari Budaya. Sebab menurutnya, elemen budaya berpijak pada tiga bidang yang paling mendasar yakni 1) Filsafat, 2) Etos/mental 3) Etika/Moral.
Karena itu menurutnya, Islam-Nusantara bukan saja patut diapresiasi oleh muslim Indonesia, melainkan juga menjadi produk yang patut disyiarkan ke seluruh dunia sebagai model gerakan keagamaan yang akur dengan adat istiadat sebuah masyarakat. Gagasan Islam Nusantara sangat strategis menjadi brand sebuah model keislaman yang ada di Indonesia, yang mampu menghubungkan antara ajaran Islam berpadu tradisi masyarakat Nusantara.
Kang Dedi punya alasan demikian karena di berbagai negara lain, Islam seringkali hanya berdimensi politis, bahkan sebatas ideologis. Fatalnya lagi, ideologi politik itu hanya sebatas merebut kekuasaan sehingga ruh Islam sebagai agama yang menawarkan kedamaian hilang berganti sebagai ideologi politik agresor yang hasilnya adalah pertumpahan darah sebagaimana yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah. Di luar Timur Tengah, banyak ajaran Islam yang tidak berkembang dan menjadi ajaran marginal karena kurangnya kemampuan para juru dakwah memainkan sendi-sendi kebudayaan masyarakat lokal bersanding dengan ajaran Islam.
“Saya sendiri mendambakan kekuatan ideologi dari Islam, bahkan sepakat muncul ideologi dari rahim budaya setempat, misalnya di Sunda. Tetapi pengertian ideologi bukan sebatas untuk rebutan kekuasaan semata karena ideologi itu adalah ide dan logos, buah pemikiran yang kreatif, sistematis dan punya tujuan untuk pembangunan kualitas manusia sekaligus sebagai obor pencerahan hidup manusia. Adapun ideologi dalam bidang politik hanyalah bagian dari ideologi sosial-kultural. Karena itu menurut saya, Islam-Nusantara merupakan bisa menjadi pandangan hidup atau ideologi yang sangat berguna bagi kemajuan keislaman dan keindonesiaan di bumi pertiwi,” jelasnya.
Dalam bingkai rasionalitas itu, Kang Dedi Mulyadi melihat Islam-Nusantara penting dihayati dan dipahami masyarakat karena di dalamnya punya niatan yang luhur untuk membumikan nilai-nilai Islam yang sejati ke dalam ruang hidup masyarakat. Islam Nusantara menurut Dedi Mulyadi adalah alternatif penting yang harus dihadirkan di Indonesia karena punya kemampuan mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan Kebhinekaan dari rumah bersama Pancasila.
“Tidak usah khawatir dengan semangat Islam Nusantara. Saya memahami lahir batin. Tidak sulit memahami Islam Nusantara selagi kita mengenal pemikir-pemikir Islam yang tangguh di Indonesia. Saya sebelumnya telah memahami pemikiran dari Gus Dur, Cak Nur, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Moslem Abdurrahman, Kuntowidjoyo, Buya Syarifi Maarif, Wahid Hasyim dan lain sebagainya. Dan jangan lupa dalam urusan Islam dan negara, kita bisa mempelajari hakikat Islam-Nusantara dari Bung Karno melalui Buku “Pancasila sebagai Dasar Negara” dan Buku “Demokrasi Kita” karya Bung Hatta. Semuanya sudah menjelaskan banyak tentang argumentasi bagaimana kedudukan Islam di Nusantara, di Indonesia ini,” paparnya.
MENDOMPLENG POPULARITAS?
Ditanya apakah dengan Islam Nusantara itu dirinya sedang mendompleng popularitas, kang Dedi dengan enteng menjawab, “lho, popular apa? gagasan Islam-Nusantara saja popularitasnya pada sisi kontroversi. Kalau urusannya dukungan politik bodoh dong saya. Ini urusan budaya. Jangan karena saya seorang politisi lantas kemampuan saya hanya mempolitisi isu. Saya paham mana yang hakiki harus diperjuangkan karena kebenaran sejarah dan saya juga paham mana yang sekadar untuk cari muka,” tegasnya.
Kang Dedi sadar sebagai Bupati yang mengambil kiprah kegiatan sosial kemasyarakatan, termasuk mengambil ide-ide kebudayaan itu seringkali disikapi masyarakat sebagai cara dirinya mendongkrak popularitas untuk kepentingan mendulang suara. Tetapi ia tidak mau ambil pusing karena apa yang dilakukannya adalah sesuatu di luar pakem kebiasaan para politisi.
“Saya bukan politisi instan hasil popularitas medsos atau pecintraan media. Sejak tahun 2003 lalu saya bekerja dalam ruang kebudayaan yang itu sulit diterima masyarakat karena semangat yang saya kerjakan adalah semangat berpikir mendalam, pembangunan mentalitas manusia dan juga karakter moral. Kalau mau popular dengan mengambil ide-ide serius semacam itu keliru besar,”terangnya.-Ahadi/Isna
– See more at: http://www.katakini.com/berita-islam-nusantara-ini-pendapat-bupati-purwakarta.html#sthash.SS8tJKCJ.dpuf
Sumber:
http://www.katakini.com/berita-islam-nusantara-ini-pendapat-bupati-purwakarta.html
