
AYAH SAYA dan PENDETA-PENDETA.
Beberapa hari lalu, teman facebook saya yang juga adik kelas sejurusan di Unpad jurusan Sejarah, Adif Sahab membagikan foto-foto jadul mengenai iklan-iklan produk dan jasa yang memasang ucapan “Selamat Natal dan Tahun Baru” dalam beberapa majalah Muhammadiyah sekitar tahun 1980an. Meskipun kiriman foto-fotonya mengingatkan saya pada kontroversi ucapan Selamat Natal dari Buya Hamka, yang oleh cucu-cucunya seperti kakanda Sadrah Prihatin Rianto mendapat bantahan bahwa beliau pernah mengharamkannya. Akan tetapi, saya juga justru terpikir untuk menuliskan tentang sosok Muhammadiyah yang paling saya kenal ini, yang membesarkan saya dengan tradisi Muhammadiyah yang sama sekali tidak seperti mainstream kenal tentang Muhammadiyah maupun mainstream kenal tentang mainstream Muhammadiyah.
Ayah saya berasal dari keluarga besar yang kaya oleh keberagaman tradisi religius dan spiritual. Terlahir di Madura, dari rahim seorang putri Jawa, dan buah seorang peranakan Tionghoa, namun sangat Melayu di mata saya. Kakek buyut dari sebelah ayahnya adalah seorang pengikut Sufi dari tradisi seperti lazimnya NU di Nusantara, dari mazhab sufi Syaikh Abdul Qadir Jailani. Kakek-kakek dalam seluruh keluarganya yang merupakan para saudagar dan priyayi peranakan Tionghoa kemudian merintis ranting atau cabang Muhammadiyah di daerah mereka di Pasongsongan, Madura dan sekitarnya. Sejak itu, hampir seluruh keluarga besarnya menjadi pengikut Muhammadiyah, dan banyak terdapat tanah-tanah yang diwakafkan atau dibangun untuk mushola, serta sekolah-sekolah Muhammadiyah seperti TK dan SD. Tentu saja ini unik, bayangkan sudahlah mereka ini minoritas keturunan Tionghoa Muslim yang mewarisi tradisi yang agak banyak perbedaan dari orang-orang Madura di sekeliling mereka, mereka pun menjadi minoritas Muhammadiyah di tengah-tengah warga NU Madura.
Seingat saya, kakek saya dari pihak ayah saya bukanlah pribadi yang menggebu-gebu, antusias atau semacam itu dalam masalah keagamaan. Beliau tampaknya lebih menonjol sebagai seorang pengusaha yang tekun dan sangat menyukai kesenian, karena mahir bermain biola. Ini mungkin karena ayahnya (kakek dari ayah saya) konon sering menyelenggarakan acara kesenian lokal, menyenandungkan Macapatan khas setempat dan sering mengembara — baik untuk tujuan bisnis maupun tujuan spiritual yang terkesan lebih sufistik daripada “berkarakter Muhammadiyah.”
Namun, yang paling saya ingat sebagai pribadi yang religius dan spiritual adalah nenek saya, atau ibu dari ayah saya. Nenek saya adalah seorang putri bangsawan Jawa dari trah Mangkunegaran III, yang entah bagaimana, kemudian menjadi aktivis Aisiyah mengikuti tradisi keluarga besar suaminya. Saya masih ingat bagaimana nenek saya selalu mengingatkan saya sholat ketika saya masih kanak-kanak dan berlibur di rumahnya, tidur di ranjangnya yang dipenuhi kembang-kembang melati. Dan, yang paling membekas bagi saya adalah bagaimana ia menasehati saya untuk selalu berpakaian sopan, mengenakan rok atau celana di bawah lutut, tetapi tidak sekalipun menyuruh saja berjilbab atau berkerudung.
Konon, ayah saya baru belajar bahasa Melayu formal ketika kelas 3 SD, dan ia mengklaim sebagai cucu paling pintar di sekolah di antara seluruh cucu kakeknya sehingga mengenang betapa kakeknya sangat bangga dan men-cucuemas-kannya. Saya rasa gabungan dari “tradisi dagang” dari para peranakan Tionghoa yang berdagang dan “tradisi priyayi” dari para peranakan Tionghoa yang menjadi arsitek, insinyur, mubaligh, dll dalam keluarga besar ini memberi pengaruh penting kepada kakek-kakek dari ayah saya untuk mengutamakan pendidikan dan sangat mengapresiasi kehidupan intelektual.
Selain itu, saya merasa bahwa nenek saya lebih memberikan pengaruh kepada ayah saya yang kemudian memilih tidak terjun menjadi pedagang meneruskan bisnis keluarga, tetapi menjadi priyayi seperti keluarga pihak ibunya sebagai seorang pengajar. Di hari-hari kemudian, ketika ayah saya harus meninggalkan Madura untuk melanjutkan pendidikan di pulau Jawa, ayah saya bertemu dan menjadi akrab kembali dengan tradisi keluarga besar ibunya. Adalah menarik ketika saya justru mendapat nama kedua dari “Serat Wedhatama” yang dikarang oleh salah satu saudara sepupu kakek buyut dari ibunya, Mangkunegaran IV. Jujur, saya merasa nama yang saya dapatkan dari ayah saya sungguhlah berat dari makna yang zahir maupun yang batin.
Ayah saya adalah salah satu dari pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) bersama Amin Rais, yang pernah seasrama dengannya, dan almarhum penyair Slamet Sukirnanto dan seperti umumnya mahasiswa Muslim ketika itu, ia juga merupakan kader HMI. Dan, melalui perjalanan hidupnya ia bersahabat dengan tokoh-tokoh NU seperti Gus Mus dan Gus Dur, serta tidak pernah tertarik untuk terikat dengan kelompok-kelompok kesenian berdasarkan ideologi. Melalui ayah saya, saya mengenal Taufik Ismail, tetapi juga mengenal karya-karya Pram tanpa merendahkan atau menghina sama sekali ideologi komunisme dan Marxisme. Ketika saya masih kanak-kanak, saya dan adik-adik saya bahkan dibiarkan diasuh oleh keluarga Njoto yang bertetangga dengan kami, yang istri Njoto (RA Soetarni) merupakan saudara sepupu nenek saya dari trah MN III, dari satu rahim perempuan jelata yang sama, yang diperselir oleh seorang pangeran MN III.
Melalui ayah saya pula, saya pertama kali berkenalan dengan Syiah dan agama-agama lain. Di akun facebooknya, misalnya ayah saya menjadi pengajar “gratisan”, bahkan secara terbuka sering membagikan lukisan-lukisan atau foto-foto perempuan cantik yang kadang-kadang berpakaian seksi atau bergaya sensual. Darinya (dan tentu ibu saya yang seorang pelukis), saya berkenalan dengan beragam mazhab senirupa, dimana rumah kami tidak pernah kosong dari lukisan berbagai aliran seni.
Tidak jarang orang menganggap bahwa ayah saya telah menganut Syiah, padahal dalam ritual-ritualnya ia tidak pernah meninggalkan fikih sesuai tradisi Muhammadiyah yang berijtihad merujuk dari keempat-empat mazhab fikih Sunni yang populer. Akan tetapi, ayah saya tidak pernah sekali pun menganjurkan saya berkerudung atau berjilbab, bahkan tidak pula memberi komentar ketika pada hari ulangtahunnya di tahun 1997 saya memutuskan berjilbab. Begitulah pula kepada ibu saya, tidak pernah menyuruh bahkan tidak pernah mengomentari pilihan pakaian ibu saya sama sekali. Itulah sebabnya jangan terkejut jika bukan hanya saya yang memutuskan kembali meneruskan tradisi berkerudung gaya nenek saya, tetapi ayah saya mendukung sepenuhnya adik tengah saya tidak berjilbab, dan adik bungsu saya yang membuka jilbabnya.
Justru ibu saya yang mengikuti yang mainstream dan populer dalam keberagamaan masyarakat, kadang-kadang juga tidak bisa mengikuti jalan pikiran ayah saya. Namun, ayah saya juga sangat mendapat pengaruh dari ayah mertuanya — kakek saya — yang merupakan pengikut Sosrokartonoan, seorang Javanolog, pemikir, perenung dan pencinta dunia yang sama dengannya. Tampaknya, di antara seluruh menantu lelakinya, ayah saya merupakan satu-satunya menantu kakek saya (yang priyayi sekali itu) yang mana ia bisa berbagi dunia pemikiran dan spiritual yang sama-sama mereka tekuni.
Dalam banyak hal, saya sesungguhnya banyak bertentangan pendapat dengan ayah saya. Ada kalanya saya merasa perlu menjadi antitesis dari seorang Abdul Hadi WM. Apalagi, di antara seluruh putrinya, saya merupakan satu-satunya yang dididik di sekolah Muhammadiyah, ditarik menjadi aktivis IMM, tertarik menjadi kader HMI dan tertarik kepada dunia serta tema-tema yang ditekuninya. Saya tidak tahu bagaimana ini terjadi. Ibu saya telah berusaha mengajari saya bermain musik, sampai meminjam gitar terbaik milik sahabatnya almarhum Franky Sahilatua, tetapi saya malah mengikuti jejak ayah saya yang sama sekali tidak mahir bermain musik. (Ibu mengeluh, dan menyindir saya karena seluruh saudara kandungnya bisa bermain gitar dan sebagian besar mahir bermain piano). Mungkin ini juga karena sejak SMP saya terbiasa menjadi asisten pribadinya, mengetik tesisnya yang baru diperbaiki, atau membantu membaca karya-karya sayembara yang ia menjadi jurinya. Kadang-kadang bahkan kami bertengkar berebut buku dari perpustakaan kecilnya, atau dia marah karena saya mengambil buku yang sedang diperlukannya untuk mengajar atau menulis makalah.
Ya, ayah saya berasal dari keluarga yang bineka, baik secara aliran ke-Islam-an maupun agama. Meskipun berMuhammadiyah, ayah saya tidak melarang ibu saya ikut bahkan menyelenggarakan tahlilan, apalagi berziarah, dan bahkan dirinya senang berMaulidan ala NU dan lebih akrab dengan penyair-penyair NU seperti Gus Mus dan familinya Zawawi Imron daripada seniman-seniman Muhammadiyah. Almarhum adik tengahnya pernah menjadi anggota Ahmadiyah dan menikah dengan seorang perempuan Ahmadiyah lalu bercerai. Kini keponakannya dan mantan saudari iparnya tetap menjadi Ahmadiyah, dan ayah saya sama sekali tidak pernah terucap mengkafirkan mereka apalagi mengajak-ajak mereka keluar dari Ahmadiyah.
Sewaktu kecil saya ingat kami selalu pergi ke rumah saudara-saudara atau sahabatnya yang Kristen untuk mengucapkan selamat Natal, atau saudara ibu saya yang Kristen. Ketika mendapat penghargaan Habibie beberapa tahun silam, ayah saya tiba-tiba bangun dari kursi dan memeluk Romo Magniz Suseno yang hadir meskipun keduanya belum saling mengenal. Saya teringat suatu peristiwa lucu ketika Romo Fransesco Marini menjenguk saya di rumah sakit, mereka berdua mengobrol akrab dan kadang-kadang antara jawaban dengan pertanyaan saling tidak menyambung karena Romo Marini tidak memakai alat bantu pendengarannya, dan ayah saya juga sebenarnya akhir-akhir ini telah berkurang ketajaman pendengarannya. Jadilah, saya berusaha keras untuk menahan tawa (bagaimana tidak, kan yang satu bapak saya, dan yang satu guru Alkitab saya!).
Beberapa hari lalu, ayah saya, ibu saya dan saya pergi mengunjungi tetangga sebelah yang adalah keluarga pendeta Protestan dari Gereja Kemah Injil untuk mengucapkan selamat Natal. Ayah saya seperti biasa menguasai percakapan dan bercerita begitu banyak hal tentang agama-agama dan aliran-aliran di dunia, yang kadang kala saya sanggah, juga bercerita tentang teman-temannya yang pendeta Protestan, Mormon, dan lain-lain. Juga ia bercerita tentang pengalamannya keliling dunia menyaksikan berbagai tradisi keagamaan, termasuk ke pedalaman-pedalaman seperti Mentawai yang ia sayangkan dipaksakan untuk berpindah agama dari agama lokal menjadi antara tiga: Islam atau Kristen/Katholik. Sementara itu pak pendeta bahkan agak kesulitan mengikutinya, masih begitu keberatan dengan penyebaran aliran Mormon dan gereja-gereja ‘yang bidat dalam pandangannya’ yang didukung dirjen kemenag. Satu-satunya kalimat ayah saya yang penting saya garisbawahi adalah tidak mengapa semua aliran itu berkembang, biarkan saja, yang terpenting tidak membuat kerusakan.
RA Gayatri WM
