
Dedi, sebaliknya, mengeluarkan keputusan yang memberikan jaminan kebebasan kepada warganya untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya.
Jaminan dari Bupati Purwakarta itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 450/2621/Kesra tentang Jaminan Melaksanakan Ibadah Berdasarkan Keyakinan. Surat tersebut efektif berlaku sejak 10 November lalu. SE ini dikeluarkan Dedi untuk menanggapi munculnya gerakan kelompok anti-Syiah di daerahnya.
SE itu berbunyi:
“Dalam rangka memupuk sikap toleransi di tengah-tengah keberagaman dalam agama dan keyakinan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Da
“Ini muncul dari hasil komunikasi dengan para ulama dan tokoh agama setempat terkait potensi ekses negatif dari acara yang berbau intoleransi. Setelah berdiskusi, kami merasa bahwa deklarasi ini memang berpotensi menimbulkan konflik,” kata Truno, Rabu (11/11), seperti dikutip pikiran-rakyat.com.
Meski begitu, Polres masih berbaik hati dan akan menempuh langkah persuasif agar Annas tidak nekat melaksanakan deklarasi tersebut.
Sikap serupa ditunjukkan Komandan Distrik Militer (Dandim) 0619 Purwakarta, Letnan Kolonel CZI Cahyadi Amperawan. Cahyadi mengatakan sebaiknya deklarasi tersebut tidak dilakukan. Sebab pada akhirnya hanya mendiskriminasikan golongan tertentu.
“Kami khawatir jika deklarasi terjadi
sar 1945 sebagaimana diatur dalam pasal 29, bahwa hak memeluk dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing merupakan hak yang paling asasi seluruh umat manusia dan dilindungi oleh negara.”
“Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Purwakarta sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah bersama jajaran TNI dan Poliri menjamin seluruh penduduk Kabupaten Purwakarta untuk dapat melaksanakan peribadatan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing, selama kegiatan peribadatan dimaksud tidak bertentangan dengan asas ketertiban umum”.
Dalam wawancaranya dengan Kompas.com Kamis lalu (12/11), Mantan Wakil Bupati Purwakarta itu menyatakan bahwa SE itu dikeluarkan sebagai bentuk perlindungan Pemerintah Kabupaten Purwakarta terhadap seluruh masyarakat untuk bebas memiliki keyakinan sesuai hati nuraninya.
Dengan demikian, sambung Dedi, siapapun tak boleh mengganggu keyakinan seseorang, apapun agama dan aliran yang dianutnya. Semuanya dibebaskan untuk tetap melakukan ritual keagamaan dan keyakinannya, selama tidak mengganggu ketertiban umum.
SE itu dikeluarkan Dedi sebagai reaksi cepat Pemerintahan Kabupaten Purwakarta dalam menyikapi potensi intoleransi yang dimunculkan oleh kelompok intoleran di Kabupaten Purwakarta baru-baru ini. Kelompok intoleran itu adalah Aliansi Nasional Anti Syiah (Annas).
Annas berencana mendeklarasikan perwakilannya di Kabupaten Purwakarta pada Ahad (15/11) di Aula Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Purwakarta. Dalam deklarasi itu Dedi diundang untuk menghadiri deklarasi dan diminta untuk memberikan sambutan. Bisa diduga kehadiran Dedi di acara itu diharapkan akan memberikan keabsahan bagi Annas.
Alih-alih memenuhi undangan itu, Dedi justru menolak dengan tegas gagasan pendiskriminasian Syiah. Bahkan dengan tegas Dedi mengeluarkan SE yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Beruntung, sikap Dedi yang tunduk pada konstitusi itu didukung Pimpinan Kabupaten Purwakarta lainnya.
Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Purwakarta AKBP Truno Yudo Wisnu Andiko sejauh ini tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan deklarasi tersebut. Senada dengan Dedi, Truno menilai rencana tersebut berbau intoleransi dan berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
malah akan menimbulkan konflik antara minoritas dan mayoritas di Purwakarta di masa datang,” kata Cahyadi, memperingatkan.
Meski seluruh Pimpinan Daerah Kabupaten Purwakarta sepakat tidak mengizinkan deklarasi itu, Annas tetap ngotot menyelenggarakan deklarasi yang ilegal itu. Ketua Annas Kabupaten Purwakarta Awod Abdul Gadir bahkan menyatakan persiapan deklarasi tersebut sudah hampir 90 persen.
“Saat ini, tinggal bagi-bagi surat undangan. Diizinkan atau tidak, kami tetap jalan,” kata Awod kepada poskotanews.com, Kamis sore (12/11).
SE yang dikeluarkan Dedi itu mendapat apresiasi dari masyarakat pengguna media sosial. Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat Akhmad Sahal, misalnya, memuji Dedi melalui akun Twitter miliknya @sahal_AS.
“Pemimpin mestinya kek Kang @DediMulyadi71 ini, taat pd konstitusi, bkn konstituen. Topp!!” cuit kandidat doktor di University of Pennsylvania itu.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad melalui akun Facebooknya menyebut Dedi adalah kepala daerah yang paling maju di antara semua kepala daerah di Jawa Barat.
Itu, lanjut Saidiman, bukan hanya karena Dedi mengeluarkan pernyataan dan Surat Edaran yang menjamin kebebasan beragama, tapi juga capaian-capaian pembangunan di wilayahnya. Tak heran kalau ia dicintai oleh hampir 100 persen warga Purwakarta.
“Saya sendiri memang punya kesimpulan bahwa kepala daerah yang diskriminatif cenderung tidak memiliki prestasi pembangunan, bahkan korup,” tulis peraih gelar magister kebijakan publik di The Australian National University itu.
Kritik Walikota Bogor
Tampaknya pandangan Dedi yang terbuka dan pro terhadap kebebasan beragama itu yang mendorongnya mengkritik kebijakan Walikota Bogor yang melarang komunitas Muslim Syiah memperingati Asyura beberapa waktu lalu. Bagi Dedi, aneh jika peringatan Asyura itu dipermasalahkan di Indonesia.
Menurut mantan Ketua Umum HMI Cabang Purwakarta itu, jika dilihat dari konteks budaya, Tanah Sunda seharusnya bebas dari perilaku diskriminatif dalam bentuk apapun. Apalagi wilayah Bogor yang dulunya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Sunda adalah tempat Prabu Siliwangi bertahta.
“Prabu Siliwangi itu sangat menjunjung tinggi pluralisme, menghormati untuk hidup secara damai. Dia sendiri menikah dengan seorang muslimah anak dari seorang Syeh di Karawang. Jadi, siapapun tokoh Sunda dengan atribut Siliwangi, hendaknya tidak melanggar aspek adat yang dimiliki,” ulas Dedi saat dihubungi jppn.com, Selasa (27/10).
Sebagai Bupati Purwakarta, Dedi berusaha keras melindungi seluruh warganya yang memiliki kepercayaan beraneka ragam, termasuk mereka yang menganut keyakinan di luar agama yang diakui negara. Karena itu, politisi Partai Golkar itu mengaku pernah meminta langsung kepada Presiden Joko Widodo untuk melindungi penghayat yang menganut keyakinan di luar agama yang diakui negara.
“Sebelum ada agama formal, ada kepercayaan leluhur di Mentawai, Sunda, Kejawen. Mereka adalah warga yang menghormati leluhurnya. Karena tidak bisa menulis nama agama di identitasnya, mereka akhirnya tidak punya akta dan kartu identitas, padahal mereka pengikut agama leluhur bangsa,” kata Dedi, menyayangkan.
Selain concern pada kebebasan beragama dan berkeyakinan, Dedi dinilai mampu mengintegrasikan budaya, inovasi, kreativitas, dan kolaborasi sebagai semangat inti dalam membangun Purwakarta. Dedi juga dinilai memiliki komitmen yang kuat untuk membangun dan memberi motivasi para pemimpin muda Indonesia supaya lebih produktif.
Atas upayanya itu, International Young Leaders Assembly (IYLA) mengundang sosok yang selalu menggunakan pakaian pangsi khas Sunda dan ikat kepala warna putih itu untuk berpidato di Markas PBB, New York, AS, pada pertengahan Agustus lalu.
Konferensi PBB itu dihadiri peserta anak-anak muda yang mewakili lebih dari 60 negara. Para pembicara dengan berbagai latar belakang dihadirkan dari AS, Paraguay, Kenya, Malaysia, dan Indonesia. Dari Indonesia, selain Dedi, hadir juga tokoh muda Gugun Gumilar, pendiri Institute of Democracy and Education, yang juga staf ahli bidang pendidikan dan agama Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
“Saya menjelaskan bagaimana pemimpin-pemimpin yang dilahirkan di sekolah-sekolah itu adalah leader yang mempunyai jiwa entrepreneurship, yang memahami lingkungannya dengan kuat. Kemudian tumbuh menjadi pemimpin yang berkarakter. Dan ketika memimpin, akan menjadi pemimpin yang berkarakter,” urai Dedi saat diwawancara Voice of America setelah sidang selesai. [ ]