KRISIS MULTIDIMENSIONAL
AKIBAT MODERNISME-MATERIALISME
by Ahmad Yanuana Samantho, MA
Pendahuluan:
Secara hipotetis-filosofis dapat dikatakan bahwa krisis multidimensional mutakhir yang dihadapi umat manusia saat ini adalah efek negatif dari Modernisme dan Postmodernisme yang telah semakin meningkat dan terbukti secara bersamaan dari hari ke hari di era kontemporer ini. Sayangnya tidak cukup jumlah orang yang menyadari bahwa krisis multidimensional global dalam seluruh kehidupan asasi manusia hari ini benar-benar berakar lebih dalam pada paradigma filosofis Modernisme mereka.
Masalah utama modernisme (dan juga postmodernisme) pada kehidupan manusia modern disebabkan oleh dominasi pandangan dunia sekuler-materialistik (materialisme, humanisme sekuler dan sekularisme) yang bercampur dengan agnostisisme, antropho-sentrisme dan ateisme, sebagai alat dan “filosofi dasar” ideologi materialisme liberalisme-kapitalisme.[1]
Pada gilirannya dominasi, modernisme sekuler-materialistik ini telah menyebabkan banyak masalah krusial dan gawat bagi kehidupan manusia di bumi. Krisis multidimensi yang terjadi dari hari ke hari, telah menakutkan sebagian besar orang di dunia saat ini, tanpa manusia modern dapat memecahkan masalah mendasar mereka secara tuntas dan komprehensif. Masalah ini akan penulis elaborasi dalam deskripsi analitis berikutnya tentang masalah modernisme, kritik modernisme dan postmodernisme juga dan solusi alternatif untuk masalah tersebut menurut sudut pandang Seyyed Hossein Nasr.
Dalam mengambarkan kondisi kehidupannya, menurut Seyyed Hussein Nasr, manusia modern telah terusir ke tepian lingkaran roda realitas eksistensialnya (keberadaan nyatanya), yang jauh dari porosnya. Ini adalah krisis eksistensial yang diderita oleh manusia modern, karena mereka melupakan realitas diri mereka sendiri. Nasr menulis:
“Dunia masih terlihat oleh diatur kekuatan dan elemen yang kosong dari suatu horizon spiritual, bukan karena tidak hadirnya cakrawala spiritual seperti itu, tapi karena mereka seringkali memandang lanskap kontemporernya seperti manusia yang tinggal di tepian lingkaran roda eksistensi dan karena itu memandang segala sesuatu dari pinggiran lingklaran roda. Dia tetap acuh tak acuh terhadap jari-jari roda dan benar-benar tidak menyadari Sumbu dan Pusatnya, yang bagaimanapun tetap tak pernah diakses ke tengahnya dari pinggirannya.”
“Masalah kehancuran yang dibawa teknologi kepada lingkungan, yang menyebabkan krisis ekologi dan sejenisnya, semua itu adalah masalah akibat penyakit amnesia atau lupa diri yang diderita manusia modern serta post-modern. Manusia modern telah lupa siapa hakikat jati dirinya. Hidupnya berada di pinggiran lingkaran eksistensinya sendiri, walau ia telah mampu untuk mendapatkan kuantitas pengetahuan yang banyak tapi dangkal kualitas ilmu pengetahuan dunianya. Dia telah memproyeksikan citra kulit luaran dan dangkal pengetahuan tentang dirinya mengenai dunia.”[2]
Menurut Nasr, di Barat manusia pertama-tama memberontak terhadap pengaruh Langitan akibat pengaruh falsafah-ideologi humanisme zaman Renaissance di Eropa Abab 16; pada saat awal ilmu modern hadir mewujud. Antropologi humanistik renaissance adalah latar belakang yang mendorong Revolusi Ilmiah pada abad ketujuh belas dan penciptaan Ilmu pengetahuan (science) yang meskipun di satu sisi bersifat non-manusiawi, dalam arti lain, akal rasional manusia dianggap yang paling anthropomorphic dan bentuk ilmu pengetahuan yang paling mungkin, itu yang menjadikan nalar humanis dan data empiris yang hanya didasarkan pada indera manusia sebagai satu-satunya kriteria untuk keabsahan (validitas) semua pengetahuan.[3]
Nasr juga menyatakan bahwa dekadensi kemanusiaan di zaman modern ini disebabkan oleh hilangnya kemanusiaan dari humaniora di zaman modern ini, yang disebabkan oleh karena manusia telah kehilangan pengetahuan langsung tentang dirinya sendiri dan juga tentang Diri yang sejatinya, yang sebenarnya ia selalu memilikinya, dan karena ketergantungannya pada sebuah sudut pandang luar, sebuah pengetahuan tentang dirinya sendiri yang supevisial (dibuat-buat), yang ia berusaha untuk mendapatkan dari luar lingkaran. Secara harfiah adalah pengetahuan “dangkal” yang diambil dari pingir lingkaran dan tanpa sebuah kesadaran diri akan poros roda dan jari-jari yang dapat menghubungkan dia seperti sinar cahaya matahari ilahiah.[4]
Modernisme, sebagai sebuah pandangan dunia materialistik-sekuler dan paradigma filosofis yang masih dominan pada sebagian besar kebanyakan orang di dunia sejak zaman modern sampai sekarang, secara hipotetis atau sangat diasumsikan oleh Nasr, telah menyebabkan banyak masalah dan mendorong krisis multidimensional bagi kehidupan manusia. Masalah-masalah ini akan dipelajari dan dielaborasi lebih jelas dan dikaji secara kritis bukti-buktinya dalam pandangan cahaya Filsafat Islam dan metodologinya (secara ontologis & epistemologis) oleh penulis.
Masalah kedua yang muncul sebagai reaksi ekstrim terhadap modernisme – adalah munculnya “fundamentalisme” ekstrim paham keagamaaan di mana mereka melakukan penafsiran harfiah (literal) yang salah dan aplikasi religius yang salah (terutama dalam aspek eksoterisme/kulit luaran Islam) yang diajarkan hari ini. Pada satu sisi hal ini juga akhinya telah menyebabkan berbagai bencana terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan ajaran Agama Islam dan Tuhan.
Apa yang benar-benar terjadi pada modernisme, berapa banyak aspek kehidupan modern telah menjadi krisis kemanusiaan dan kehancuran? Bagaimana hal ini dapat menyebabkan kerusakan dan mendorong krisis multidimensional manusia modern sampai beberapa waktu terakhir? Apa masalah utama dan karakteristik prinsip dalam paradigma modernisme yang menyebabkan krisis multidimensional global manusia modern saat ini, termasuk gerakan kekerasan fundamentalisme literal keagamaan ?
Setelah kita mengidentifikasi dan menguraikan permasalahan & krisis modernisme, seberapa jauh kita bisa menawarkan paradigma alternatif baru untuk memecahkan masalah tersebut? Apa itu paradigma alternatif baru yang dapat memecahkan masalah tersebut menurut Seyyed Hossein Nasr? Berapa jauh terkait dengan beberapa kesadaran baru, Sophia Perrenialism (kebijaksanaan abadi) dan mistisisme (ilmu suci tradisional) yang telah meningkat dan terlahir kembali di waktu kontemporer baru-baru ini? Bagaimana dan mengapa relevan dengan Teori Fisika Quantum dalam melihat kosmologi baru? Dapatkah filsafat, tradisi dan agama bersatu dan akan menyelaraskan dalam satu paradigma baru holistik-integral (terpadu dan menyeluruh) di masa depan?
Apa yang disarankan oleh Seyyed Hossein Nasr ini tentang pentingnya Traditional Sacred Science (Ilmu Pengetahuan Sakral/Suci Tradisional) serta Sophia Perennialisme (Kearifan Kuno-Abadi) ini, ternyata menurut hipothesis penulis menemukan relevansi dan signifikasinya dengan warisan kearifan lokal asli Nusantara atau dengan nilai-nilai dan ajaran tradisional sakral/suci Nusantara yang telah menjadi semacam Sophia Perennialism, yang mungkin tak hanya akan bermanfaat bagi masa depan bangsa kita, tetapi juga akan bermanfaat bagi masa depan kemanusiaan sedunia.
Tujuan
Hasil Penelitian penulis yang ditulis dalam buku ini mencoba untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis berbagai bencana dan krisis multidimensi global manusia modern dan apa penyebab utamanya secara prinsipil?
Setelah kita mengidentifikasi dan mengelaborasi problema dan krisis modernisme, penulis akan berusaha mencari alternative paradigma baru untuk memecahkan berbagai masalah ini dari akarnya berdasarkan resep yang disarankan oleh Seyyed Hossein Nasr di abad modern ini dan juga oleh para bijak berstari serta para orang suci serta Nabi Allah sepanjang sejarah kemanusiaan di dunia ini.
Penelitian yang mendahului proses penulisan buku ini yang didahului oleh penelitian thesis magister filsafat Islam penulis, juga akan menganalisa, sejauh mana hal ini terhubung dengan beberapa kesadaran baru, Sophia perennialism dan mysticism (traditional sacred science) yang telah bermunculan dan lahir kembali di zaman kontemporer mutakhir ini? Bagaimanakah hal in terkait dan relevan dengan kemunculan teori fisika baru Quantum Physics dan pandangan kosmologis baru? Dapatkah filsafat (termasuk science) dan agama bersatu dan menjadi harmonis dalam sebuah paradigma baru yang integral holistic di masa depan.
Jawaban nyata atas pertanyaan dan masalah ini, mudah-mudahan akan menawarkan layanan bagi basis intelektual, filosofis dan spiritual untuk memecahkan masalah secara radikal dan fundamental. Dengan kata lain, penelitian ini akan menyajikan saran untuk mengaktualisasikan atau meng-aktivasi “pergeseran paradigma” menuju paradigma yang holistik dan integral yang mendekati untuk memahami Realitas: integrasi dan harmonisasi antara Tuhan Allah, manusia dan alam semesta, dalam sudut pandang Filsafat Islam atau pandangan dunia Islam.
Penelitian ini juga mencoba untuk mengungkap dan mendeskripsikan beberapa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan penemuan terbaru seperti terkait dengan teori Fisika Quantum dan beberapa fakta yang mengarah untuk membuka realitas alam semesta dan spiritual makhluk yang tidak terpisahkan. Sejalan dengan kemajuan ilmu baru pada Quantum Physic, penelitian ini juga mencoba untuk menyajikan kesinambungan dan hubungan antara fakta & teori dengan beberapa pendekatan pengajaran mistis yang dilayani oleh tasawuf dan Irfan (Mistisisme Islam) dan mistisisme agama-agama lainnya. Penelitian ini juga akan menyajikan dan menguraikan dan wacana penting tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama sebagai konsekuensi dari penelitian inti keseluruhan dalam penulisan thesis ini.
Signifikansi
Buku yang dikembangkan dari hasil penelitian Program Magister Filsafat Islam (2010) di ICAS Universitas Paramadina ini tentu sangat penting dan akan memberikan banyak manfaat dan signifikansi untuk kehidupan sehari-hari saat ini dan masa depan kita. Setidaknya hasil penelitian ini sangat signifikan untuk meningkatkan dan membuat dekonstruksi yang berlanjut pada reformulasi (dan rekonstruksi) dari paradigma kita secara filosofis. Pada gilirannya, pada tingkat epistemologi dan aksiologi, pendekatan paradigma holistik dan integral ini dan nilai-nilai dalam pencerahan Filsafat Islam dan Tasawuf Islam (Irfan & Tasawuf) dapat memecahkan banyak masalah manusia modern secara bertahap, baik untuk tujuan individu dan juga dalam sistem sosial-ekonomi-politik-budaya dan di dalam supremasi percerahan terbaru, dan peradaban yang lebih baik.
Lebih spesifik, manfaat yang saya harap dapat tercapai setelah thesis dan buku ini diselesaikan adalah penelitian ini dapat berfungsi sebagai pedoman untuk menyusun ulang filsafat ilmu kita (atau minimal epistemologinya) dan kemudian dapat menjabarkan pandangan dunia baru dan sebuah ideologi yang dapat memainkan peran penting sebagai pedoman untuk proyek rekonstruksi kurikulum ilmu baru dan untuk melakukan penulisan ulang semua isi buku teks dalam ilmu pengetahuan dan teknologi untuk keperluan pendidikan dan akademik menuju rekonstruksi peradaban manusia baru dalam cahaya misi Islam Rahmatan lil ‘Alamin.
Tentu saja ada telah ada beberapa studi yang berkaitan dengan kritik pada modernisme menurut pandangan Seyyed Hossein Nasr, seperti apa yang teman penulis di ICAS Jakarta, Humaedi telah tulis dalam thesisnya berjudul: “Konsep Nasr dalam Knowledge: Pengetahuan Sakral, kontribusi kepada Epistemologi Modern “
Tentu saja bahwa beberapa studi yang juga berkaitan dengan pandangan Seyyed Hossein Nasr dan kritiknya kepada modernisme dan post modernisme sangat berguna untuk penelitian penulis sebagai referensi, terutama untuk pemahaman dan deskripsi latar belakang thesis penulis & rumusan masalah yang akan penulis pelajari.
Penelitian thesis penulis lebih fokus pada relevansi resep Nasr atau saran untuk mempromosikan ilmu pengetahuan suci atau pandangan tradisional agamis dan mistisisme atau esoterisme sebagai kebijaksanaan abadi (Sophia Perennis) untuk memecahkan masalah modernisme dan postmodernisme. Paradigma alternatif tentang Sacred Science dan Perennial Wisdom ini akan diikuti oleh elaborasi penulis terkait dengan kecenderungan terbaru dan wacana dalam pengembangan atau penemuan ilmu fisika baru terutama dalam teori fisika kuantum yang memiliki hubungan yang kuat dengan kesadaran (consciousness) yang baru dalam ilmu: filsafat ilmu pengetahuan integral dan holistik dan pandangan agama (Paradigma holistik-Integral). Pendekatan ini dan pilihan untuk topik ini, saya pikir masih unik dan memiliki studi asli di bidang penelitian Filsafat Islam.
Sumber utama saya untuk penelitian thesis ini adalah beberapa buku penting dan mendasar di antara keduanya dari Seyyed Hossein Nasr seperti “The Plight of Modern Man” and “The Need for A Sacred Science”, “The Knowledge and The Sacred”, “Ideal and Reality” and “Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, Philosophy in The Land of Prophecy”, dll.
Sumber-sumber primer akan dibandingkan, dielaborasi dan dikompilasi dengan sumber-sumber sekunder yang terkait dengan wacana tentang wacana Perennialisme, ilmu pengetahuan dan agama, teori fisika baru Quantum Physic, seperti: “The Greatest Achievement in Life: Five Traditions of Mysticism, Mystical Approaches to Life”, oleh R.D Krumpos; “Tawheed and Science: Essays on The History and Philosophy of Islamic Science” oleh Osman Bakar; “Nature, Human Nature and God, …”, (terjemahan Indonesianyta berjudul: “Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama”) oleh Ian G Barbour; “The Web of Live, A New Synthesis of Mind and Matter”, oleh Fritjof Capra; and “The Holy Qur’an and The Sciences” by Mehdi Golshani; “Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami”, oleh Armahedi Mahzar, sebagaimana dapat kita lihat dalam daftar pustaka saya (referensi) di halaman terakhir dari thesis ini, serta beberapa artikel yang memuat kearifan lokal Nusantara sebagai warisan budaya dan Peradaban Adiluhung Nusantara yang masih tersisa, yang bisa menjadi contoh betapa Leluhur Nusantara sudah mewariskan Kearifan Perennial dan Traditional Sacdred Science tersebut.
[1] Ini adalah hipotesis dari Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya; Islam and The Plight of Modern Man... (Revised and Enlarged Edition), ABC International Group, Inc, Chicago, 2001, p.4-5
[2] Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, (Revised and Enlarged Edition), ABC International Group, Inc, Chicago, 2001, p.4-5
[3] Mengenai kesalahan bertahap gambaran citra manusia moden di Barat,, lihatlah G. Durrand, Defiguration Philosophique et figure traditionelle de I’homme en Occident,” Eranos-Jahrbuch, XXXVIII, 1971, pp.45-93; Sherrard, The Rape of Man and Nature, Ipswich (UK), Golgooonoza Press, 1987. Chap. 2 and 3, pp 42-89; and S.H. Nasr, Knowledge and the Sacred, Albany (NY), the State University of New York Press, 1999. Chap. 5, pp. 160-188. For a treatment of this subject from the perspective of a Western Seeker who has turned to traditional Islam see J. Herlihy, The Search of The Trurth—contemporary Raflection of Traditional Islamic Themes, Kuala Lumpur, Dewan Pustaka Islam, 1990.
[4] Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, , (Revised and Enlarged Edition), ABC International Group, Inc, Chicago, 2001, p.6
KRISIS MODERNISME:
Krisis Multidimensional yang Disebabkan oleh Paradigma Ontologis–Epistemologis Materialialisme-Sekulerisme Barat dalam Ilmu Dan Kebudayaan
Pengertian Modernisme
Modernisme yang masih memainkan peran hegemonik dan berpengaruh besar di dunia saat ini, telah mendapatkan dasar gerakannya sejak Renaissance di Perancis (abad ke-14-17 M) dan beberapa revolusi sosial-politik pada setengah pertama abad kesembilan belas di Eropa.
Modernisme yang kita kaji di sini adalah kompilasi dari beberapa filsafat modern barat. Dalam pemahaman umum:
“Modernisme, dalam definisi yang paling luas, adalah pemikiran modern, dan karakter yang mudah menjadi usang atau baru dalam praktek ekonomi, sosial dan politik. Lebih khusus lagi, istilah modernism ini menggambarkan seperangkat kecenderungan budaya dan berbagai gerakan budaya yang terkait, yang awalnya timbul dari perubahan masyarakat Barat dalam skala luas dan jauh jangkauannya di akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Istilah ini mencakup kegiatan dan hasil dari mereka yang meninggalkan hal-hal yang ‘tradisional’ dalam bentuk seni, arsitektur, sastra, keyakinan agama, organisasi sosial dan kehidupan sehari-hari yang merupakan kondisi dari sepenuhnya muncul dunia industri.”[1]
Modernisme menolak kepastian yang tersisa dari pemikiran Pencerahan (Enlightenment), dan juga menolak keberadaan (eksistensi) Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Pencipta Yang Maha Kuat[2]. Ini bukan untuk mengatakan bahwa semua modernis atau gerakan modernis menolak semua agama atau semua aspek pemikiran Pencerahan, melainkan modernisme yang dapat dilihat sebagai selalu mempertanyakan aksioma zaman sebelumnya.
Karakteristik penting dari modernisme adalah kesadaran diri. Hal ini sering kali menyebabkan eksperimen dengan berbagai bentuk, dan pekerjaan yang menarik perhatian pada proses dan bahan yang digunakan (dan kecenderungan lanjut abstraksi)[3]. Saran paradigmatik penyair Ezra Pound adalah untuk “Make it New!” Apakah motto “membuat yang baru” dari kaum modernisme merupakan era sejarah baru yang bisa diperdebatkan. Filsuf dan komposer Theodor Adorno memperingatkan kita:
“Modernitas adalah sebuah kategori kualitatif, bukan kronologis, karena hal seperti itu tidak dapat direduksi menjadi bentuk abstrak, dengan kebutuhan yang sama itu harus kembali pada koherensi permukaan konvensional, penampilan harmoni, urutan yang dikuatkan hanya dengan replikasi.” [4]
Adorno ingin kita memahami modernitas sebagai penolakan terhadap rasionalitas palsu, harmoni, dan koherensi pemikiran, seni, dan musik era Pencerahan dari Jerman. Tapi masa lalu membuktikannya lengket. Perintah umum Pound yang penting untuk membuat baru, dan nasihat Adorno untuk menantang koherensi palsu dan harmoni, menghadapi penentangan TS Eliot tentang hubungan antara seniman ke tradisi. Eliot menulis:
“Kita sering akan menemukan bahwa tidak hanya yang terbaik, tapi bagian yang paling individu dari karya seorang penyair, mungkin orang-orang di mana penyairnya mati, nenek moyangnya menegaskan keabadian mereka yang paling penuh semangat.” [5]
Sarjana sastra Peter Childs menyimpulkan kompleksitasnya:
“Ada paradoks jika tidak ada kecenderungan menentang ke arah posisi revolusioner dan reaksioner, takut terhadap hal yang baru dan menyenangkan pada hilangnya yang tua, nihilisme dan antusiasme fanatik, kreativitas dan keputusasaan.” [6]
Oposisi ini melekat pada modernisme: itu adalah yang dalam arti luas penilaian budaya masa lalu yang berbeda dengan zaman modern, pengakuan bahwa dunia menjadi lebih kompleks, dan bahwa “otoritas final” lama (seperti: Tuhan, pemerintah, ilmu pengetahuan, dan penalaran) yang akan menjadi tunduk pada pengawasan kritis intens.
Interpretasi mutahir tentang modernisme sangatlah bervariasi. Beberapa reaksi membagi abad ke-20 ke dalam modernisme dan postmodernisme, sedangkan yang lainnya melihat mereka sebagai dua aspek dari gerakan yang sama.
Untuk memahami resume singkat tentang modernisme, saya mengutip dari penjelasan tentang Filsafat Barat Modern dari Sang Dosen di The Islamic College for Advanced Study (ICAS) Jakarta, 2004, Dr. Fransisco Budi Hardiman, di bawah ini: [7]
Arus Utama dan Karakterrikstik Filsafat Modern:
Menurut Fransico Budi Hardiman, Ph.D dalam kuliah-kuliahnya di ICAS Universitas Paramadina tahun 2004 yang penulis ikuti, ada beberapa arus utama dalam Filsafat Barat Modern (Modernisme), yaitu:
- Rasionalisme (Descartes, Spinoza, Leibniz, Malebranche, Pascal)
- Empirisme (Hobbes, Locke, Berkeley, Hume)
- Kritisisme (Kant)
- Idealisme (Fichte, Schelling, Hegel, Schopenhauer)
- Materialisme (Feuerbach, Marx)
- Positivisme (Comte, Mach)
- Eksistensialisme (Kierkegaard)
- Vitalisme (Nietzsche)
“Modern” berarti yang “baru” dan “sekarang”. Modern adalah orientasi temporal ‘di sini dan sekarang’ [tidak ada ‘di sana dan di masa lalu’ dari mentalitas abad pertengahan]. Istilah ini berhubungan dengan konsep waktu: kemajuan linear [bertentangan dengan konsep siklus waktu]. Konsep kunci dari modernitas: “kemajuan teknologi”, “revolusi”, “pertumbuhan ekonomi”.

Rene Descartes
Tiga Karakteristik Filsafat moderen:
- Berpusat pada masalah kesadaran atau subjektivitas manusiawi [bertentangan dengan theo-sentrisme]
- Radikalisasi konsep epistemologis kritik [bertentangan dengan dogmatisme]
- Teleologis dan Konsep kemajuan sejarah umat manusia [bertentangan dengan status quo]
1) Filsafat Modern Adalah Filsafat Subjek:
Secara keseluruhan kita dapat melihat filsafat modern Barat sebagai program penelitian tentang masalah epistemologis dan metafisik kesadaran seperti itu [subjek atau subjectum]. Jadi Habermas menyebutkan itu filosofi Subjek [die Subjekt philosophie] [8]
- Asal usul kesadaran (misalnya Descartes dan Locke)
- Perkembangan kesadaran (misalnya Hegel, Kierkegaard, Comte)
- Runtuhnya kesadaran (misalnya Schopenhauer, Nietzsche)
2) Kriitik Sebagai Konsep Sentral Dalam Filsafat Modernisme:
Kritik adalah dianggap rata-rata dari proses emansipasi; yang berfungsi sebagai:
- Refleksi pengetahuan diri (kritik pengetahuan atau epistemologi)
- Pemecah benteng manipulasi ideologis (kritik ideologi atau pencerahan)
- Perjuangan melawan ketidakadilan politik (kritik terhadap rezim atau revolusi)
Catatan: Kritik bukanlah penolakan belaka terhadap sesuatu, tapi negasi wajar dengan kondisi epistemologis yang kompleks. Ini berasal selama munculnya ilmu pengetahuan alam modern yang mereka sangat skeptis terhadap pemikiran metafisik abad pertengahan. Kritik adalah seorang pembela faktual.
3) Sejarah Memiliki Struktur Teleologis (Kebermanfaatan):
Sejarah tidak sewenang-wenang, namun memiliki akhir yang dapat diantisipasi. Para idealis Jerman mencoba menemukan skema rasional di balik peristiwa empiris sejarah. Mereka percaya bahwa ‘telos’ sejarah adalah kebebasan manusia dan masyarakatnya. Proses peradabannya cara untuk kebebasan manusia.
Marx percaya bahwa manusia (khususnya kaum proletar) adalah aktor sejarah yang mendorong ke ujungnya melalui transformasi sosial (revolusi). Baginya akhir dari sejarah adalah masyarakat tanpa kelas.
Comte menyatakan bahwa ujungnya masyarakat positivis, peradaban ilmiah dari umat manusia.
Hegel melukiskan akhir sejarah sebagai rekonsiliasi akhir gagasan dengan diri, yaitu sejarah yang tahu diri.
Catatan: pemikiran teleologis (Kebermanfaatan) adalah sumber dari utopianisme dalam teori sosial modern.
Renaissance dan Filsafat Humanisme [9]
Semangat filsafat modern mulai dibangun di zaman Renaissance. Kelahiran kembali peradaban Yunani dan Romawi di Italia selama abad ke-16 tercermin dalam banyak aspek budaya seperti sastra, arsitektur, filsafat, seni dll. Agen utama gerakan renaissance itu adalah kaum humanis seperti Dante, Petrarkha, Rabelais, Thomas Morus, dll. Para humanis mengajarkan kefasihan bicara, sejarah, puisi, moral (sebanding dengan sofis di Yunani kuno).
Manusia sebagai Makhluk Alami (Natural Being): budaya Renaissance memandang manusia sebagai makhluk alami. Dia tidak datang dari langit, tetapi tumbuh dari bumi dan dilengkapi dengan bakat alam dan vitalitas. Jadi figur-figur patung telanjang di galeri renaissance yang mengagungkan keindahan alami manusia ini adalah ciri khas kebangkitan kembali peradaban Yunani di Eropa.
Manusia sebagai Individu: Individu (bukan kolektif) adalah tema sentral dari seni dan sastra dalam budaya renaissance. Dalam filsafat barat paradigma-pergeseran terjadi selama renaissance, yaitu dari pemikiran theo-sentrisme abad pertengahan menjadi pemikiran antroposentrisme (individualism) modern.
Machiavelli dan “Virtu”: teori kekuasaan Machiavelli adalah contoh dari pergeseran paradigma ini: menurut dia kekuatan politik bukanlah karunia Tuhan Allah yang diterima melalui keberuntungan (Italia: Fortuna), tetapi sesuatu yang bisa dirampas melalui usaha manusia dan keahliannya (Italia: virtu). Manusia (dalam hal ini sang pangeran) – bukan Tuhan – adalah pusat kekuasaan, dan dari tangannya-lah daya kekuasaan tumbuh, dan stabil dengan tangannya itu, yaitu melalui strategi rasional.
Reformasi Protestan, Renaissance memahami subjektivitas manusia sebagai kemampuan rasional. Tapi reformasi menekankan iman itu sebagai subyektif. Keduanya adalah sama dalam pemberontakan mereka melawan mentalitas abad pertengahan yang berpusat pada ‘alasan obyektif’ atau ‘iman obyektif’. [10]:
Hubungan Antara Agama Dan Sains
Menurut Nancey Murphy, diskusi filosofis tentang hubungan antara ilmu pengetahuan modern dan agama secara historis telah cenderung berfokus pada ke-Kristenan, karena dominasinya di Barat. Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama Kristen telah terlalu kompleks untuk dijelaskan oleh model ‘perang’ yang dipopulerkan oleh AD White (1896) dan JW Draper (1874). Perhitungan yang memadai dari dua abad terakhir membutuhkan perbedaan antara posisi konservatif dan liberal. Kristen konservatif cenderung melihat teologi dan ilmu pengetahuan sebagai sebagian yang saling beririsan dalam tubuh pengetahuan. Firman Allah dinyatakan (diwahyukan) di tengah ‘dua buku’: Alkitab dan alam Semesta. Idealnya, sains dan teologi harus menyajikan perhitungan yang konsisten tentang realitas yang tunggal; tetapi sebenarnya ada kasus di mana hasil capaian yang ilmu pengetahuan miliki rupanya bertentangan Kitab Suci, khususnya berkaitan dengan usia alam semesta dan asal-usul spesies manusia.[11]
Kaum Liberal cenderung untuk melihat ilmu pengetahuan dan agama sebagai pelengkap tetapi tidak berinteraksi satu sama lain, karena memiliki kekhawatiran yang begitu berbeda untuk membuat konflik tidak mungkin. Pendekatan ini dapat ditelusuri ke Immanuel Kant, yang telah membedakan dengan tajam antara akal murni (sains) dan alasan praktis (moralitas). Versi kontras ilmu pengetahuan yang lebih baru, yang berkaitan dengan apa dan bagaimana dunia alam, dan agama, yang berkaitan dengan makna, atau kontras ilmu dan agama karena mempekerjakan bahasa yang berbeda.
Namun, sejak 1960-an semakin banyak sarjana dengan kecenderungan teologis liberal yang telah mengambil minat dalam ilmu pengetahuan dan telah membantah bahwa dua disiplin tersebut dapat diisolasi satu sama lain. Topik dalam ilmu pengetahuan yang menawarkan poin bermanfaat untuk dialog kosmologi dengan teologi termasuk teori Big Bang dan implikasi yang mungkin untuk doktrin penciptaan, konstanta ‘fine-tuning’‘ kosmologi dan kemungkinan implikasi dari hal ini untuk argumen desain, dan evolusi dan genetika, dengan implikasinya terhadap pemahaman baru dari individu manusia.
Mungkin impor yang lebih besar adalah hubungan langsung antara ilmu pengetahuan dan teologi. Fisika Newton memupuk pemahaman tentang alam dunia sebagai ditentukan secara ketat oleh hukum-hukum alam; ini pada gilirannya memiliki konsekuensi serius untuk memahami tindakan ilahi dan kebebasan manusia. Perkembangan abad kedua-puluh seperti fisika kuantum dan teori kekacauan telah memanggil fisikawan untuk merevisi pandangan tentang sebab-akibat. Kemajuan dalam filsafat ilmu pada paruh kedua abad kedua puluh memberikan keterangan yang jauh lebih canggih pengetahuan daripada yang tersedia sebelumnya, dan ini memiliki implikasi penting untuk metode argumen dalam teologi.
Agama dan Pendahulu Ilmu Pengetahuan Barat
Kepentingan Barat dalam perhitungan sistematis alam adalah warisan dari tradisi Yunani kuno dan bukan dari tradisi Ibrani, yang cenderung berfokus pada dunia manusia. Konsep alam Yunani tidak ditetapkan lebih terhadap konsep alam super, seperti yang telah berabad-abad yang lebih baru, sehingga sangat mungkin untuk mengatakan bahwa filsafat alam Yunani adalah inheren teologis. Sarjana Kristen awal terbagi dalam pendekatan mereka tentang filsafat alam Yunani, beberapa membuat penggunaan besar untuk tujuan apologetik[12], yang lain menolaknya[13] .
Setelah jatuhnya Roma, pusat keilmuan bergeser ke arah timur. Para ilmuwan Islam di Abad Pertengahan sebagian besar bertanggung jawab untuk melestarikan pelajaran dari orang Yunani, serta untuk perkembangan ilmiah yang signifikan dari mereka sendiri dalam bidang optik, kedokteran, astronomi dan matematika. Melalui Muslim di Spanyol karya ilmiah yang penting Aristoteles diperkenalkan ke Eropa Barat pada abad kedua belas. Pengaruh karya ini pada pemikiran Kristen memuncak di “Two Summas“-nya Thomas Aquinas (Aquinas, T., Aristotelianisme).
Ilmu Pengetahuan Modern Awal dan Pandangan Dunia
Pada akhir abad kesembilan belas, White (1896) dan Draper (1874) telah mempromosikan pandangan sains dan agama sebagai musuh tradisionalisme. Namun, sejarah revisionis pada akhir abad kedua puluh menyajikan gambaran yang jauh lebih kompleks. Memang benar bahwa Gereja Katolik telah membungkam Galileo pada tahun 1633, sehingga konsepsi mekanisme materi René Descartes dikutuk, dan sensor yang menakutkan, memiliki efek umumnya mengerikan bagi teori ilmiah sepanjang abad ketujuh belas. Namun, harus dicatat bahwa tidak semua pendeta Katolik menentang Galileo. Selain itu, sejumlah ilmuwan terbesar abad ini adalah Katolik: Pierre Gassendi, Marin Mersenne, Blaise Pascal dan Nicolas Steno, serta Galileo dan Descartes. Orde Jesuit adalah rumah bagi sejumlah ilmuwan yang bukan saja ahli teori yang luar biasa tapi memberikan kontribusi signifikan terhadap ilmu pengetahuan eksperimental.
Pada periode modern awal, sulit untuk membedakan konflik antara sains dan agama di satu sisi dari konflik intra teologis dan konflik antara ilmu baru dan sintesis skolastik Aristotelian di sisi lain. Perkara Galileo perlu ditafsirkan ulang dalam penerangan dari kedua komplikasi ini, karena tidak mungkin untuk memahami resistensi terhadap astronomi Galileo tanpa menyadari fakta bahwa itu mempertanyakan seluruh tatanan sosio-politik yang telah mapan tentang gambaran kosmos dan tempat manusia di dalamnya. Urusan itu juga tentang perjuangan internal gereja mengenai interpretasi yang tepat dari Kitab Suci. Perkara Galileo yang mengikuti Agustinus bahwa Kitab Suci harus ditafsiran ulang dan harus direvisi ketika ditemukan konflik dengan ilmu pengetahuan lainnya. Hal ini menempatkan dia dalam konflik dengan para pendeta gereja konservatif lainnya yang mengadopsi strategi interpretatif lebih literalis. Sebuah komplikasi lebih lanjut adalah kenyataan bahwa ilmu baru sering bebas dicampur dengan sihir dan astrologi, yang Gereja Katolik mengutuknya baik karena mereka bereksperimen dengan iblis dan karena kecurigaan bahwa mereka membenarkan pandangan determinisme Calvinis terhadap pandangan kehendak bebas Katolik.
Robert Merton (1938) berpendapat bahwa puritanisme telah mempromosikan revolusi ilmiah, tesis ini masih diperdebatkan lebih dari setengah abad kemudian. Sementara tesis Merton itu dilebih-lebihkan, ada kemungkinan bahwa doktrin Reformed tertentu dari kedaulatan Allah – bahwa kedaulatan Allah mengecualikan semua kontribusi aktif dari makhluk yang lebih rendah untuk karya ciptaaNya – membuat konsepsi ilmiah dan materi filosofis modern sebagai kelembaman atau pasif lebih diterima oleh Isaac Newton, Robert Boyle dan Protestan selain itu.
Di sini sekali lagi adalah penting untuk mengenali interaksi Aristoteles dan sengketa intra-teologis. Konsepsi Mekanis materi adalah penolakan langsung baik dari konsepsi magis Neo-Platonisme dan dari teleologis Aristotelian dan pandangan organik, bahwa ‘bentuk’ yang melekat pada zat yang menyediakan kekuatan dan tujuan built-in. Pada saat yang sama, itu ditindaklanjuti dengan keyakinan teologis pertama diungkapkan oleh teolog nominalis di akhir abad pertengahan. Ini adalah salah satu ironi besar dalam sejarah, kemudian, bahwa konsepsi mekanika Newton tentang materi alam semesta telah begitu cepat berkembang menjadi murni materialis dan pandangan determinis Pierre Simon de Laplace, yang terakhir ini benar-benar tidak sesuai dengan agama.
Geologi, Evolusi dan Usia Planet Bumi
Fisika dan astronomi adalah fokus ilmiah utama bagi para teolog di abad XVII dan XVIII; geologi dan biologi mengadakan tempat analog di abad kesembilan belas dan kedua puluh. Selama berabad-abad, narasi Alkitab tentang Penciptaan sampai tentang Kristus dan Pengadilan Terakhir yang diproyeksikan telah memberikan garis besar kerangka piutang dari alam serta sejarah manusia. Misalnya, kisah Nabi Nuh dan banjirnya menyediakan penjelasan yang berguna tentang fosil laut yang ditemukan di atas permukaan laut. Namun, pada abad ketujuh belas, sejarah rentang pendek yang dihitung dari Alkitab ditantang dari sejumlah arah. (James Ussher, seorang Uskup Agung Irlandia abad ketujuh belas, telah dikreditkan dengan perhitungan bahwa penciptaan terjadi hanya 4004 tahun sebelum Kristus). Meskipun upaya sporadis untuk mendamaikan sejarah geologi dengan kitab Kejadian (Gennesis) berlanjut hingga saat ini, pada abad kedelapan belas besar sejumlah ahli geologi sudah mengakui bahwa hipotesis Banjir tidak bisa menjelaskan pengembangan ilmu pengetahuan tentang stratifikasi batu dan penempatan fosil. Sejarah lebih lama dari Bumi, sebelum sejarah manusia, harus dianggap. Pada saat yang sama catatan Mesir dan Cina memanggil untuk mempertanyakan sejarah jangka pendek manusia jika dihitung dari Alkitab.
Sementara beberapa oposisi kontemporer untuk teori evolusi yang melibatkan “kronologi bumi yang lebih muda”, reaksi negatif kepada buku Charles Darwin, pada abad kesembilan belas, The Origin of Species (1859) yang lebih sering berisi keberatan terhadap Darwinisme sosial dan klaim bahwa manusia berkerabat dengan ‘hewan yang lebih rendah”; reaksi negatif lain berfokus pada kenyataan bahwa seleksi alam telah memberikan sebuah alternatif rancangan ilahi untuk menjelaskan kesiapan organisme dengan lingkungan mereka, sehingga merusak argumen aplogetik yang penting. Meskipun demikian, banyak teolog dan orang beriman lainnya siap menerima teori dan menilai perubahan yang diperlukan dalam teologi untuk menjadi yang bermanfaat daripada sekadar akomodasi, (lihat Darwin, teori Evolution).
Ilmu Biologi
Teori evolusi adalah masalah panas yang mengejutkan lagi pada akhir abad kedua puluh. Sebuah jajak pendapat Gallup yang diterbitkan dalam majalah AS News and World Report (23 Desember 1991) melaporkan bahwa mayoritas orang Kristen Amerika Utara skeptis mengenai paradigma evolusi makro. Penjelasan terbaik untuk perlawanan ini mungkin adalah kenyataan bahwa masalah ini telah menjadi dibingkai dalam hal penciptaan, dibandingkan kesempatan sebagai pertimbangan asal-usul spesies manusia. Bahwa masalah dapat dirumuskan dalam hal ini adalah karena sebagian untuk teori tindakan ilahi (yang cacat) yang mengkontraskan tindakan kreatif Tuhan dengan proses alami, daripada membiarkan bahwa Tuhan dapat bekerja melalui proses alam, termasuk yang melibatkan peristiwa acak. Kontroversi ini diperparah oleh penggunaan biologi evolusioner untuk propaganda ateisme.
Ilmu Genetika menyediakan area baru bagi dialog antara agama dan ilmu biologi. Studi menunjukkan dasar genetika tentang karakteristik dan perilaku manusia yang menimbulkan pertanyaan tentang status pribadi manusia – misalnya, pertanyaan tentang kehendak bebas dan determinisme – yang telah menjadi bagian provinsi filsafat dan agama. Kepentingan tertentu adalah studi kembar yang menunjukkan faktor genetik dalam perilaku keagamaan (misalnya, Eaves et al. 1990).
Penelitian genetik secara umum dan rekayasa genetik pada khususnya telah mengangkat sejumlah pertanyaan etis yang berhubungan dengan etika teologis. Sebagai contoh, sementara sebagian orang menikmati pengobatan genetik untuk penyakit, banyak yang menentang intervensi rekayasa genetik, yang akan mempengaruhi semua generasi berikutnya. Beberapa keberatan didasarkan pada posisi kuasi-religius: ilmuwan seharusnya tidak ‘berperan sebagai Tuhan’. Garis batas pemikiran panggilan untuk pemeriksaan teologis: tidakkah manusia itu sendiri diciptakan untuk berpartisipasi dalam proses kreatif Allah yang sedang berlangsung? Perlu dicatat bahwa pada tahun 1991, US National Institutes of Health telah memberikan hibah pertama pernah ke lembaga Pusat Teologi dan Ilmu Pengetahuan Alam (Berkeley, California) untuk mempelajari implikasi teologis dan etis dari Human Genome Initiative, proyek untuk memetakan DNA manusia .
Kosmologi
Kosmologi fisik adalah cabang ilmu yang mempelajari alam semesta secara keseluruhan. Dimulai pada tahun 1920-an, perkembangan di bidang ini telah memicu perdebatan yang hidup yang berhadapan antara teologi dan sains. Teori The Big Bang, yang berdasarkan perluasan alam semesta dan berbagai data lain, mendalilkan bahwa alam semesta berasal dari sebuah ‘singularitas’ yang sangat padat, sangat panas sekitar 15 sampai 20 milyar tahun lalu. Banyak orang Kristen, termasuk Paus Pius XII, telah menyambut teori ini sebagai konfirmasi dari ajaran Alkitab tentang penciptaan. Tidak hanya orang-orang beragama yang melihatnya seperti itu; Frederick Hoyle membela model steady-state (keadaan mapan) alam semesta, di mana atom hidrogen terwujud di seluruh rentang waktu yang tak terbatas, sebagian karena ia melihatnya sebagai lebih kompatibel dengan ateisme-nya .
Diskusi antara para teolog tentang relevansi-kosmologi Big Bang dengan doktrin penciptaan melibatkan kontroversi atas sifat teologi. Sebagaimana disebutkan di atas, telah umum di kalangan teolog liberal sejak Schleiermacher untuk mengklaim bahwa makna religius yang sepenuhnya independen dari fakta ilmiah. Para teolog yang memegang posisi ini mengklaim bahwa doktrin penciptaan, harus melakukan dengan hubungan dari semua yang ada hanya kepada Tuhan, dengan mengatakan apa-apa tentang asal-usul temporal alam semesta, dan karena itu sama-sama kompatibel dengan model kosmologi.
Sebuah wilayah penelitian yang lebih baru yang telah disebabkan spekulasi teologis dapat disebut sebagai masalah prinsip anthropoid. Sejumlah faktor di alam semesta awal harus disesuaikan dengan cara yang sangat tepat untuk menghasilkan alam semesta yang kita miliki. Faktor-faktor ini meliputi massa alam semesta, kekuatan empat gaya dasar (elektromagnetisme, gravitasi, dan kekuatan nuklir kuat dan lemah), dan lain-lain. Perhitungan menunjukkan bahwa jika salah satu dari angka-angka ini telah menyimpang bahkan sedikit dari nilai sebenarnya, alam semesta akan berkembang dengan cara yang sangat berbeda, membuat kehidupan seperti yang kita tahu itu – dan mungkin kehidupan apapun – tidak mungkin. Sebuah contoh dari penyerasan gelombang (‘fine-tuning‘) diperlukan adalah bahwa jika rasio kekuatan elektromagnetisme dengan gravitasi telah bervariasi sebanyak satu bagian dalam 1040, tidak akan ada bintang seperti matahari kita.
Banyak yang mengklaim bahwa penyelarasan gelombang dari alam semesta untuk kehidupan membutuhkan penjelasan. Untuk beberapa orang, tampaknya memberikan dasar untuk argumen desain baru (argumen keberadaan Tuhan). Yang lain percaya bahwa hal itu dapat dijelaskan dalam istilah ilmiah -misalnya, dengan menyarankan bahwa ada jauh lebih banyak alam semesta, baik sejaman dengan kita sendiri atau secara berurutan, yang masing-masing melembagakan konstanta fundamental yang berbeda. Yang satu atau lebih dari alam semesta ini akan diharapkan untuk dapat mendukung kehidupan, dan itu hanya di rupa alam semesta sehingga pengamat akan hadir untuk meningkatkan pertanyaan tentang penyelarasan gelombang. Apakah penyelarasan gelombang diambil sebagai bukti keberadaan Tuhan atau tidak, ia memiliki konsekuensi penting bagi teologi yang beberapa filsuf percaya bahwa itu berpendapat terhadap perhitungan intervensionis melanjutkan penciptaan dan tindakan ilahi, karena prasyarat untuk keberadaan manusia dibangun ke alam semesta dari awal.
Fisika dan Metafisika
Berbagai perkembangan dalam fisika sejak akhir abad kesembilan belas telah mempertanyakan pandangan dunia determinis. Fisika kuantum telah memperkenalkan ketidakpastian ke dalam pandangan dunia fisika. Teori Quantum umumnya memungkinkan hanya untuk prediksi probabilistik mengenai kelas peristiwa, bukan untuk prediksi peristiwa individu. Tidak jelas apakah pembatasan ini hanya mewakili batas pengetahuan manusia, atau apakah itu menandakan ketidakpastian asli di alam. [14]
Namun, pendapat ilmiah cenderung ke arah pandangan yang kedua. Dengan demikian, kebanyakan fisikawan menolak determinisme dari pandangan dunia Newtonian, setidaknya pada tingkat ini. ‘non-lokalitas Quantum’ mengacu pada fakta aneh bahwa elektron dan entitas sub-atom lainnya yang pernah berinteraksi terus berperilaku dengan cara yang terkoordinasi, bahkan ketika mereka terlalu jauh untuk setiap interaksi kausal dikenal dalam waktu yang tersedia. Fenomena ini secara radikal disebut mempertanyakan gambaran alam semesta Newtonian sebagai partikel diskrit yang bergerak, berinteraksi dengan cara kekuatan fisik yang dikenal. Jika determinisme Newtonian memiliki implikasi yang kuat untuk teori tindakan ilahi, itu pasti terjadi bahwa perkembangan dalam fisika kuantum ini harus memiliki implikasi teologis juga. Apa implikasi ini masih sangat banyak pertanyaan terbuka.
Sebuah perkembangan yang lebih baru, yang melintasi fisika dan ilmu-ilmu alam lainnya, adalah teori chaos.[15] Ini adalah studi tentang sistem yang perilakunya sangat sensitif terhadap perubahan kondisi awal. Apa artinya ini dapat diilustrasikan dengan contoh dari dinamika klasik: gerakan bola biliard diatur dalam cara langsung oleh hukum Newton, tapi sangat sedikit perbedaan dalam sudut dampak tongkat biliard telah sangat memperbesar efek setelah beberapa tabrakan; Selain itu, perbedaan awal yang membuat perbedaan besar dalam perilaku kemudian terlalu kecil untuk diukur, sehingga sistem secara intrinsik tak terduga. Sistem chaos ditemukan di seluruh alam – dalam sistem termodinamika yang jauh dari keseimbangan, dalam pola cuaca dan bahkan pada populasi hewan. Teori chaos relevan dengan diskusi tentang tindakan ilahi bukan karena sistem chaos yang tak tentu (yaitu, tidak ditentukan secara kausal/sebab-akibat) dan dengan demikian terbuka untuk tindakan ilahi tanpa melanggar hukum alam. Sebaliknya pengakuan mana-mana sistem chaos menunjukkan keterbatasan intrinsik dari pengetahuan manusia, dan mengarah pada kesimpulan negatif tetapi penting yang satu ini jarang (atau tidak pernah) dalam posisi untuk tahu bahwa Allah tidak bertindak dalam proses alami.
Perkembangan lain seluruh ilmu pengetahuan dengan implikasi penting bagi masalah determinisme dan tindakan ilahi adalah pengakuan dari ‘penyebab atas-bawah’. Ilmu pengetahuan dapat dipahami sebagai sebuah hirarki di mana ilmu yang lebih tinggi mempelajari sistem yang lebih kompleks: fisika mempelajari hal yang terkecil, komponen yang paling sederhana dari alam semesta; kimia mempelajari organisasi partikel fisik yang kompleks (atom dan molekul); biokimia mempelajari senyawa kimia yang sangat kompleks yang membentuk organisme kehidupan, dan sebagainya. Impian para positivis logis adalah untuk memberikan penjelasan tentang ilmu-ilmu di mana hukum ilmu tingkat tinggi semua bisa dikurangi dengan hukum fisika. Konsep reduksionisme jelas diikuti secara alami dari reduksionisme ontologis yang telah menjadi prinsip penting dari pandangan dunia ilmiah modern: jika semua entitas dan sistem yang pada akhirnya terdiri dari entitas dipelajari oleh fisika, perilaku mereka seharusnya dapat dipahami dalam kerangka hukum fisika. Jadi ontologis dan reduksionisme jelas memerlukan reduksionisme kausal, atau “penyebab atas-bawah’. Jika hukum fisika yang deterministik, kami memiliki perhitungan deterministik seluruh alam. Namun, hal itu telah menjadi jelas bahwa perilaku entitas pada berbagai tingkat hirarki kompleksitas tidak selalu bisa dipahami sepenuhnya dari segi perilaku bagian mereka; memperhatikan interaksi mereka dengan fitur non-tereduksi dari lingkungan mereka juga diperlukan. Dengan demikian, negara atau perilaku dari sistem-tingkat yang lebih tinggi penerapan pengaruh kausal atas-bawah pada komponen-komponennya.
Arthur Peacocke (1990) telah menggunakan perkembangan ini dalam pemikiran ilmiah untuk mengusulkan arah baru untuk memahami tindakan ilahi. Dalam padangan bukunya ‘panentheist’, alam semesta adalah ‘ada di dalam’ Tuhan Allah, dan pengaruh Tuhan di alam semesta kemudian dapat dipahami oleh analogi dengan penyebab atas-bawah seluruh hirarki tingkat alami. Sementara usulan ini tidak menjawab pertanyaan tentang bagaimana Allah mempengaruhi peristiwa tertentu dalam kosmos, itu membubarkan masalah lama determinisme kausal.
Kritik terhadap Modernisme
Hal ini sangat penting bagi kami sebagai pemikir muslim untuk memahami paradigma modernisme dalam cara yang lebih kritis dan lebih komprehensif, dalam pandangan integral dan holistik, baik dalam dasar analisis filosofis-agama dan juga dalam pengaruh dan efek negatif yang disebabkan oleh paradigma modern yang memimpin dan mengarahkan banyak aspek dan dimensi budaya, ilmu, peradaban manusia dan ekologi di bidang hegemonik Filsafat Modern Barat di sebagian besar bagian dari dunia baru-baru ini secara global.
Dalam menggambarkan penderitaan manusia modern Seyyed Hossein Nasr dengan tegas menulis:
“Manusia modern telah membakar tangannya dalam api yang ia sendiri telah nyalakan ketika ia membiarkan dirinya lupa siapa diri dia. Setelah menjual jiwanya dalam cara Faust untuk mendapatkan kekuasaan atas lingkungan alam, ia telah menciptakan situasi di mana kontrol lingkungan sangat berubah menjadi pencekikan, yang membawa di belakangnya tidak hanya pemusnahan lingkungan, tetapi juga, pada akhirnya, tindakan bunuh diri”.[16]
Krisis multidimensional kita baru-baru ini hari ini harus diidentifikasi, dianalisis, dan dikaji untuk memecahkan banyak masalah yang disebabkan oleh pelaksanaan paradigma modernisme dan post-modernisme (barat).
Merujuk kepada Seyyed Hossein Nasr, penyebab krisis multi-dimensional manusia modern adalah krisis eksistensial. Nasr mengatakan:
“Dunia masih terlihat oleh Kekuatan dan elemen yang mengatur sebagai cakrawala tanpa kehadiran spiritualitas, tetapi juga karena mereka yang memandang lanskap kontemporer adalah manusia yang paling sering tinggal di tepian lingkaran roda eksistensinya dan karena itu memandang segala sesuatu dari pinggiran. Dia tetap acuh tak acuh terhadap jari-jari dan benar-benar tidak menyadari sumbu dan Pusat, yang bagaimanapun tetap tak pernah diakses kepadanya melalui mereka. ” [17]
Menurut pendapat saya, apa yang Nasr bicarakan tentang krisis eksistensial manusia modern adalah sangat benar. Karena mereka telah melupakan realitas keberadaan eksistensial mereka sebagai makhluk spiritual di luar casing jasmani mereka, dan mereka telah lupa sumber utama dari mana mereka datang, dan ke mana hidup mereka akan berakhir dan jiwa mereka akan kembali, maka kehidupan duniawi untuk manusia modern itu tak berarti dan tanpa-guna. Dari tradisi Islam kita tahu beberapa hadits itu; “Siapa pun yang telah lupa diri mereka, mereka akan lupa Tuhan Allah mereka”, “Siapa yang tahu diri mereka, sehingga mereka akan mengetahui siapa Tuhan Allah mereka”.
Lebih jelas, kelupaan manusia modern ini pada Realitas eksistensial mereka digambarkan oleh Nars sebagai berikut:
“Masalah kehancuran lingkungan akibat kemajuan teknologi, krisis ekologi dan sejenisnya, semua masalah derita manusia modern serta post–modern berasal dari penyakit amnesia atau lupa diri dari mana manusia berasal. Manusia modern telah lupa siapa diri dia yang sebenarnya. Mereka hidup di pinggiran lingkaran eksistensinya sendiri, ia telah mampu untuk mendapatkan pengetahuan secara kuantitatif mengejutkan tentang dunia tetapi secara kualitatif dangkal. Dia telah memproyeksikan citra externalized dan dangkal dirinya atas dunia.”[18]
Menurut Armahedi Mahzar dalam teks Pendahuluannya untuk buku karya Hussain Heriyanto tentang “Paradigma Holistik”, bahwa dalam pertengahan abad yang lalu, telah disadari perlunya adanya perubahan paradigma atau kecenderungan merubah paradigma yang lebih baru dalam ilmu pengetahuan. Paradigma adalah asumsi filosofis yang menjadi dasar-dasar atau prinsip-prinsip dasar untuk setiap bidang peradaban seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Paradigma yang dominan di awal abad terakhir adalah paradigma materialistik-mekanistik yang dikenal sebagai Paradigma Cartesian-Newtonian.[19]
Keberhasilan teori gravitasi dan mekanika Newton, yang telah diperkuat dengan teori lain seperti metode hipotetik deduktif yang rasional-spekulatif yang dikembangkan oleh Rene Descartes, dengan metode eksperimen-induktif dan obyektif-empirik berlebihan, yang dikembangkan oleh Roger Bacon.
Descartes telah mencoba untuk menemukan sebuah filosofi yang tak tergoyahkan dalam rangka memerangi sikap skeptis, ia menggunakan indubtability (tidak meragukan) keraguan dirinya sebagai landasan filsafatnya (“Aku Berfikir maka Aku Ada” / “Co gito ergo sum”). Selain itu, adanya ego dari peragu dan pemikir adalah wajar didasarkan pada fondasi itu. Dia memperkenalkan kejelasan dan keunikan sebagai kriteria indubitability, yang ia membuat standar untuk membedakan ide-ide yang benar dari ide-ide yang salah. Dia juga berusaha untuk menggunakan pendekatan matematis untuk filsafat, dan bahkan berusaha untuk memperkenalkan logika baru.
Oleh karena itu, untuk mulai dengan keraguan sebagai titik awal untuk berdebat dengan kaum skeptis adalah wajar. Namun, jika seseorang membayangkan bahwa tidak ada yang begitu jelas dan pasti, dan bahkan keberadaan peragu harus disimpulkan dari keraguan, ini tidaklah akan valid. Sebaliknya keberadaan ego sadar dan berpikir setidaknya sama jelasnya dan tentu sebagai adanya keraguan itu sendiri yang merupakan salah satu dari negara-negara tersebut.
Pemikiran Descartes sangat layak untuk dihargai dalam memerangi skeptisisme di jamannya, tetapi kita tidak dapat menerima ide utamanya tentang ‘cogito ergo sum’ (“Aku Berfikir maka aku Ada”),[20] karena, ide utama Descartes (dengan ide Newtonian tentang prinsip-prinsip mekanik) adalah dasar-dasar yang telah mengembangkan dan mendirikan paradigma materialistik dan mekanistik pada filsafat Barat dan ilmu Pengetahuan. Paradigma materialistik–mekanistik ini, dan sekularisme, bertentangan dengan filsafat Islam tentang Eksistensi Spiritual dan Realitas Tunggal.
Paradigma materialistik-mekanistik dalam sains, yang berdasarkan pada metode Cartesian dan Newtonian tentang “hipotesa (deduktif)-eksperimental (induktif)”, telah membawa kecenderungan reduksionisme-materialistik. Oleh karena itu, kehidupan, bahkan kesadaran telah dikurangi menjadi dipandang hanyalah sekedar merupakan gerakan mekanistik-material belaka. Arus utama ide sekuler ini menyebar dan mempengaruhi berbagai bidang filsafat-ideologi, budaya dan ilmu pengetahuan kehidupan manusia modern. Misalnya Adam Smith berbicara tentang “mekanisme pasar” mengenai ekonomi, Charles Darwin dalam biologi berbicara tentang “mekanisme evolusi” dan psikolog Sigmund Freud, bicara tentang “mekanisme pertahanan psikologis”. Semuanya serba mekanis.
Mekanisme-Reduksionisme ini, yang berakhir pada ontologi atomistik dan mekanistik ini, secara otomatis menolak dan mengabaikan peran ilahi di alam semesta (sekularisme) dan bahkan meniadakan keberadaan Tuhan. Hal ini bertentangan dengan realitas dan keyakinan pokok tradisi suci dan agama-agama dunia dan terutama Islam.
Selain itu, seperti yang dinyatakan oleh Armahedi Mahzar, M.Sc dalam ceramahnya tentang Filsafat Ilmu Islami di ICAS Paramadina University: “Dominasi Paradigma Cartesian-Newtonian pada ilmu pengetahuan modern, telah membawa dan menjebak peradaban manusia kepada kegelapan krisis multidimensi bagi kehidupan manusia. Krisis ini, baik berupa krisis internal maupun eksternal. Krisis internal paradigma ini ditunjukkan oleh Prinsip Relativitas Einstein, prinsip Heisenberg tentang “ketidakpastian, dan Teorema Gödel tentang “ketidaklengkapan”.
Krisis eksternal ilmu modern (yang ber-Paradigma Cartesian-Newtonian/ materialistik-mekanistik) ini yang menyebabkan beberapa masalah kritis seperti: pemusnahan massal manusia oleh militer dengan senjata nuklir, senjata kimia, dan senjata biologis pemusnah massal; degradasi lingkungan yang disebabkan oleh depletions, polusi, degradasi, dan kehancuran lingkungan; fragmentasi sosial yang disebabkan oleh industrialisasi, urbanisasi & fragmentasi sosial; keterasingan psikologis manusia dari lingkungan alam, sosial, dan teknologis. [21]
Kritik eksternal terhadap ilmu pengetahuan modern terjadi pada setidaknya tiga kritik :
- Teologi (ilmu pengetahuan bersifat parsial dengan menolak Realitas Supernatural),
- Filsafat :
- Kritik filosofis fenomenolog (ilmu hanyalah men-skema-kan pengalaman manusia);
- Kritik filosofis Post-strukturalisme (ilmu hanya cerita lain);
- Kritik ideologis yang dilakukan oleh kaum:
- Neo-Marxisme (bahwa ilmu pengetahuan hanyalah untuk kepentingan pemodal),
- Neo-Feminisme (bahwa ilmu pengetahuan hanyalah untuk kepentingan laki-laki),
- Ekologi Radikal (bahwa ilmu pengetahuan adalah hanya untuk kepentingan manusia, bukan lingkungan) &
- Etnisis Agama (bahwa ilmu pengetahuan adalah hanya untuk kepentingan orang ras kulit putih).[22]
Sebagai kesimpulan hipotetik, ternyata kita dapat mengatakan bahwa ilmu pengetahuan modern tidaklah benar-benar lengkap, tidaklah rasional, tidaklah objektif, dan tidaklah netral. Mengapa hal itu dapat terjadi dalam ilmu modern atau paradigma Cartesian-Newtonian? Pertama, menurut teori penulis, hal itu mungkin disebabkan oleh epistemologi ilmu pengetahuan modern terlalu ‘over-rasionalisme’, ‘over-empirisme’, ‘over-reduksionisme’, alias lebay (berlebihan pada aspek rasionalisme-empirisme dan reduksionisme semua fakta alam semesta). Epistemologi semacam ini lebih mempengaruhi paradigma ontologis, berupa: materialisme, mekanisme, atomisme; dan membawa paradigma aksiologis tentang netralisme, humanisme dan individualisme.
Jadi kalau kita ingin selamat dunia-akhirat, kita harus mau meninjau ulang dan merekonstruksi paradigma sains dan kemanusiaan kita menjadi paradigma holistik dan integral sesuai dengan arah prinsip Tauhid Islam tentang Ketuhanan, alam dan manusia. Yang pertama-tama, kita harus memulainya dari rekonstruksi epistemologisnya. Oleh karena itu, di sini dalam buku ini saya ingin mengkaji dan melakukan rekonstruksi dalam pikiran kita untuk mencari jalan keluar dan solusi filosofis untuk memecahkan masalah utama dan krisis kehidupan manusia dan peradaban modern yang sedang sakit dan sekarat ini.
Dalam pemikiran Seyyed Hossein Nasr, untuk tujuan melakukan rekonstruksi terhadap paradigma baru ini, seperti untuk memecahkan masalah krisis modernisme, solusi multidimensi yang penting, yang paling signifikan dan relevan adalah bahwa kita harus kembali kepada Worldview (pandangan dunia) Tradisional kita yang merupakan Ilmu Pengetahuan Suci/Sakral/Divine/Ilahiyah, yang merupakan Sophia Perrenialsme dan Metafisika Transenden yang masih memainkan peran sebagai fundamen filosofis mendasar dan pondasi kecerdasan spiritual-intelektual yang holistik dan integral dari umat manusia sepanjang zaman lintas peradaban.
Dalam buku What Is Traditions, S.H. Nasr menjelaskan hubungan antara tradisi dan agama-agama dari perspektif filsafat perennial yang dapat diringkas sebagai berikut: sifat tradisi adalah merangkul semua agama, dan pada agama itulah terletak asal-usul tradisi tersebut. Dipahami dalam pengertian agama ini adalah apa yang mengikat manusia dengan Tuhan dan pada saat yang sama mengikat orang-orang satu sama lain. Agama Hindu dan Buddha Dharma, al-Din al-Islam, agama Tao, dan yang sejenisnya, adalah erat terkait dengan makna dari tradisi panjang tersebut, tapi tidak identik dengan itu, walaupun tentu saja dunia atau peradaban yang diciptakan oleh Hindu, Buddha, Taoisme, Yahudi, Kristen, Islam, atau dalam hal ini agama otentik lainnya, adalah dunia tradisional (SH Nasr, 1989, hal.67).
Dari perspektif itu, tradisi, karena itu bertentangan prinsip modernisme. Tradisionalisme ini seolah ingin menumbangkan kejahatan dunia modernisme dalam rangka menciptakan sesuatu kehidupan yang normal (Needleman [end] 1974). Tujuannya bukan untuk menghancurkan apa yang positif dari dunia modern, tetapi untuk menghapus selubung ketidaktahuan dan kebodohan yang memungkinkan ilusi muncul sebagai kenyataan, yang negatif sebagai positif dan yang palsu sebagai benar (SH Nasr 1989).
Sebagaimana Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara telah tulis dalam makalahnya bahwa: “Jika kita membandingkan antara perlakuan filosofis atau tantangan dalam 1.000 tahun yang lalu, tantangan filosofis yang dihadapi oleh umat Islam saat ini lebih serius dan lebih radikal, karena tantangan yang dihadapi oleh al-Ghazali pada zaman itu berasal dari filsuf yang masih sangat percaya dengan realitas metafisik, tetapi tantangan yang dihadapi oleh Muslim Intelektual hari ini berasal dari filsuf dan ilmuwan yang telah kehilangan kepercayaan kepada Tuhan YME dan pada pondasi metafisik lainnya.”[23]
Tidak cukup dengan itu, mereka juga telah menyebarkan pandangan anti-metafisik mereka dengan menyerang landasan metafisik seperti dikatakan sebagai ilusi (khayalan) dan tak berarti. Jadi tantangan yang lebih dan lebih serius dan radikal, karena mereka tidak hanya memberikan penafsiran non-ortodoks dengan realitas metafisik, tetapi juga mereka melakukan negasi/penolakan itu dengan menyerang status ontologis dari realitas metafisik itu sendiri .
Tantangan filosofis yang paling berbahaya untuk dunia metafisik yang berasal dari “Positivisme“. Menurut pandangan Positivisme, satu-satunya realitas yang ada adalah bahwa kenyataan “positif”, hanyalah yang dapat teramati oleh indera. Semua yang di luar dunia fisik (metafisika) hanyalah dianggap spekulasi pikiran manusia yang belum tentu kebenaran realitas ontologisnya dari kesadaran manusia. Konsep-konsep keagamaan pada Tuhan, akhirat, malaikat, dan makhluk ghaib lainnya, diasumsikan sebagai ciptaan pikiran manusia pada awal dari perkembangan mereka. (sebagaimana pandangan Freud). Pada perkembangan selanjutnya, manusia merevisi konsep agama mereka dengan mengembangkan sistem filosofis yang lebih rasional. Tapi pandangan terakhir itu, menurut mereka, masih berbasis ilusi karena mereka masih percaya pada dunia metafisik. Yang terbaru dan paling sempurna dalam perkembangan pemikiran manusia adalah di tingkat positivisme, di mana manusia menemukan bahwa satu-satunya yang dianggap benar dari realitas hanyalah dunia fisik yang dapat diverifikasi secara obyektif dan positif. Apa yang mereka dapat hasilkan bukanlah sistem kepercayaan religius atau sistem filsafat rasional tetapi ilmu berdasarkan pengamatan akal semata.
Pengaruh positivisme yang lebih besar – dan tentu saja lebih berbahaya sebagai tantangan filosofis dan teologis agamawan – bagi kita – karena mereka memiliki banyak pendukung dari para ilmuwan dari berbagai disiplin, seperti astronomi, biologi, psikologi dan bahkan sosiologi. Pengaruh itu bisa dilihat misalnya, dari tidak sukanya banyak ilmuwan untuk melihat entitas metafisik, seperti Tuhan atau malaikat, sebagai penyebab utama dan sumber untuk alam semesta. Dalam pandangan mereka, Tuhan telah berhenti menjadi apa pun. Dia telah berhenti sebagai pencipta, pemelihara, pemberi rezeki dan manajer dari alam semesta. Mereka lebih memilih untuk melihat alam semesta sebagai mekanika raksasa yang dijalankan oleh hukum alam, dan fenomena alam yang dapat dijelaskan oleh hukum alam semesta daripada menganggap sebagai ciptaan Tuhan.
Pandangan naturalis positivis ini mudah diketemukan dalam karya-karya atau pernyataan dari ilmuwan Barat yang terkenal dan berpengaruh, seperti Pierre de Laplace, Darwin, Freud, dan Emile Durkheim. Meskipun tidak semua ilmuwan setuju dengan pandangan mereka, tetapi pengaruh mereka dalam ilmu alam masih besar dan dominan. Mereka masih dianggap sebagai “nabi ilmu pengetahuan”. Jadi pemikiran mereka masih memiliki tantangan substantif dan mengancam sistem keimanan Islami. Pierre de Laplace (w. 1827), seorang astronom dan matematikawan Perancis yang dikenal sebagai penemu teori “Big Bang” (bersama-sama dengan Emanuel Kant), merasa tidak perlu bicara tentang Tuhan, ketika dia menjelaskan teori penciptaan alam semesta dalam bukunya The Celestial Mechanism. Alasannya adalah, baginya, Tuhan Allah adalah hipotesis yang tidak diperlukan dalam penjelasan astronomi, atau dalam pernyataannya sendiri nya: “Je nai pas besoin de cet hypothesie. “
Charles Darwin (w. 1882) seorang naturalis Inggris yang terkenal dengan teori evolusinya, menyatakan bahwa semua makhluk biologis di alam semesta ini bukan Ciptaan Tuhan Allah Yang Maha Bijaksana, tetapi hanya hasil dari hukum mekanisme seleksi alam. Dalam otobiografinya, Darwin mengatakan: “Ada waktu sebelumnya, dapat dikatakan bahwa bukti keberadaan Allah adalah harmoni dan ketertiban alam. Tapi setelah teori seleksi alam ditemukan, kita tidak bisa mengatakan bahwa kapak bersama kerang laut yang indah, harus menjadi makhluk agent luar dirinya (Tuhan), sama seperti kita mengatakan bahwa engsel sambungan pintu bersama kapak bukan ciptaan Tuhan.”
Pengaruh pandangan positivisme juga muncul dalam Sigmund Freud (w. 1939), seorang dokter dan penemu psiko-analisis. Dalam bukunya The Future of an Illusion, Freud melihat agama sebagai ilusi ini yang berasal dari ketidak-berdayaan manusia dalam menghadapi kekuatan alam eksternal dan daya imajinatif internal dalam dirinya sendiri. Kebangkitan agama dalam waktu yang pertama dari perkembangan umat manusia, ketika mereka belum menggunakan akal mereka (rasio) untuk menghadapi dunia eksternal dan dunia internal, sehingga mereka harus mengontrol dan menekan daya eksternal tersebut dengan bantuan eksternal yang efektif. Karena mereka tidak dapat mengontrol dengan akal mereka, sehingga kebutuhan “kontra efek emosional” untuk mengontrol dan menekan apa yang dia tidak bisa menanggungnya secara rasional. Jika agama dipandang sebagai ilusi, maka secara otomatis agama yang percaya dengan realitas metafisik seperti Allah, malaikat, roh dan akhirat juga dianggap khyalan/ilusi. Itu masalah sama yang telah menjadi pemikiran filsuf Perancis dan sosiolog Emile Durkheim (w. 1917). Dalam karya-karyanya, ia melihat agama hanya sebagai proyeksi dari nilai-nilai sosial, dan Tuhan hanyalah ciptaan masyarakat itu sendiri, dan bukan entitas pribadi metafisikal, seperti yang kita percayai.
Serangan untuk metafisika juga dilakukan terhadap sistem Epistemologi Islam, terutama yang berkaitan dengan sumber-sumber pengetahuan. Karena negasi/penolakan ke dunia metafisik, sehingga satu-satunya sumber pengetahuan, untuk kaum positivis hanyalah pengalaman, atau dalam kata lain, sesuatu yang masuk akal. Mereka tidak percaya kepada sumber-sumber lain, yang sangat penting dalam Epistemologi Islam, seperti: akal, intuisi dan wahyu dari Allah. Laplace mengatakan: “Saya tidak mempercayai apa pun kecuali akibat langsung dari pengamatan dan perhitungan.” Jadi mereka tidak percaya pada wahyu dan juga “pengalaman mistik” sebagai salah satu sumber pengetahuan. Meskipun dalam tradisi epistemologi Islam, bahwa ada tiga sumber pengetahuan – yang Mulla Sadra (w.1050/1640) seorang filsuf muslim di abad ke-17, sebut sebagai ” burhan, irfan dan Qur’an“- yang diterima sebagai sumber pengetahuan yang valid sebagai yang hal yang sama dengan akal inderawi.[24]
Kaum Positivis, tentu saja, hanya menerima indra (via pengamatan) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang valid dan satu-satunya yang terpercaya. Sumber pengetahuan lainnya, seperti wahyu dan intuisi, dianggap tidak bisa dipercaya karena tidak mendasarkan pada realitas tetapi pada ilusi manusia. Alasan mengapa mereka mengatakan itu adalah karena wahyu dan pengalaman mistik membutuhkan hubungan yang erat dengan alam metafisik, sehingga validitasnya tergantung pada status keberadaan (ontologi) metafisika alam itu sendiri. Setelah keberadaan alam metafisik ditolak, maka validitas sumber pengetahuan – yang bergantung pada mereka – juga secara otomatis ditolak. Karena wahyu dan pengalaman mistik memiliki karakteristiknya, maka validitas mereka dapat diterima jika kita menegaskan status ontologis wilayah metafisiknya. Sekali keberadaan realitas yang ditolak, maka kemungkinan adalah, bahwa wahyu dan pengalaman mistik yang didasarkan pada mereka juga ditolak secara otomatis dan dianggap tidak memiliki dasar logis. Bahkan kita tahu apa yang terjadi jika wahyu (dalam hal ini al- Qur’an) ditolak sebagai sumber pengetahuan yang valid, sehingga semua sistem kepercayaan, teologi, dan filsafat-mistik Islam akan runtuh. Inilah yang Prof. Mulyadhi Kartanegara sebut sebagai tantangan filosofis kontemporer serius dari positivisme Barat yang telah menganggap tiadanya Sistem Epistemologi Islam. Maka Kita sebagai intelektual muslim memiliki kewajiban untuk memberikan respon filosofis yang sama, bahkan lebih baik dan lebih meyakinkan daripada argumen mereka.[25]
Tantangan lain yang berkaitan dengan serangan dari kaum positivis terhadap metafisika, juga telah mempengaruhi bangunan etika Islam, baik secara agama dan secara filosofis, tentu saja sampai tingkat tertentu berdasarkan perintah Allah SWT. Tetapi jika keberadaan Tuhan itu sendiri sebagai entitas metafisik ditolak, ajaran etika Islam sehingga kehilangan dasar mereka. Freud mengatakan: “Jika validitas norma etika berdasarkan Perintah Tuhan, sehingga masa depan etika berdiri dan runtuh dengan ada atau tidak adanya Kepercayaan pada Tuhan. Dan karena Freud menganggap bahwa bila iman keagamaan menghilang, jadi dia percaya bahwa jika kita mempertahankan hubungan antara agama dan etika, itu akan menghancurkan nilai-nilai moral untuk dirinya sendiri. “
Oleh karena itu, bagi modernism Freud, satu-satunya sistem etika yang mereka terima adalah sistem etika humanisme saja, berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaan manusiawi, bukan berasal dari sumber transenden lainnya. Untuk mereka, apa yang disebut sebagai wahyu, yang tidak sekedar pemikiran manusia (dalam hal ini: Nabi), dan bukan sebagai emanasi (pancaran ciptaan) dari alam ilahi, yang mereka tolak keberadaannya. Jadi, nilai-nilai apa saja yang ada dalam wahyu dilihat tidaklah mutlak dan tidak dapat diterapkan untuk sepanjang waktu, seperti yang diyakini oleh pengikutnya. Wahyu, untuk mereka serta pemikiran manusia lainnya, dan tentu saja relatif dan tenggelam di bawah perubahan ruang dan waktu, sehingga dapat berubah jika diperlukan oleh zaman. Ini adalah pandangan kaum positivis tentang nilai-nilai etika skriptural, yang serta karya-karya filsafat umum, yang aneh dan tidak stabil terhadap perubahan dan bahkan total wajib dikoreksi .
Kritik yang sama juga ditujukan kepada pengalaman mistik mereka dan keabsahannya sebagai etika yang bias. Kaum Positivis pernah mengasumsikan pengalaman mistik sebagai salah satu halusinasi. Bahkan mereka mengalamatkan validitas pengalaman intelektual yang mendukung realitas metafisik. Semua itu mereka lakukan karena mereka telah kehilangan iman kepada alam metafisik. Bagi mereka, satu-satunya dasar yang dapat kepercayaan untuk etika adalah justru pengetahuan berdasarkan pengalaman dengan alam. Etika menurut Freud tidak didasarkan pada kepercayaan agama yang merupakan “ilusi”, tapi dengan memberdayakan akal manusia.
Ini adalah beberapa tantangan yang dihadapi oleh Cendekiawan Muslim saat ini, tantangan yang lebih radikal dan serius dari tantangan yang dihadapi oleh Muslim Intelektual pada saat al-Ghazali.[26]
Krisis Eksistensial:Sumber Krisis Multidimensional
Menurut Dr. Hussein Heriyanto, dunia Eropa abad keenam belas telah menyatakan kedaulatan manusia itu sendiri. Dengan berakar pada rasionalisme, manusia (di Barat/Eropa) merasa telah menemukan identitasnya melalui gerakan renaissance, dengan filsafat antroposentrisme/pemikiran modern, reformasi dan pencerahan (enlightenment/Aufklarung). Dengan motto Sapere Aude (berani berpikiran sendiri! ) manusia menghendaki otonom dan bebas dari segala belenggu otoritas dan tradisi (agama & budaya). Zaman Aufklarung, abad ke-18 Masehi, adalah puncak dari kekuatan optimisme dan rasionalisme sebagai pengganti kesejahteraan pembawa obor iman umat manusia.[27]
Manusia modern telah memberontak terhadap cara pandang metafisik atau pemikiran teologis. Langit suci dihancurkan oleh interpretasi prematur kosmologi Copernican. Ilmu pengetahuan transendental Ilahiyah didesakralisasi (sekularisasi) melalui rasionalisme dan empirisme. Pesona alam semesta ini dihancurkan oleh ‘cogito ergo sum’ dari Descartes dan mekanika Newton. Agama dan gereja bersama-sama dengan pendetanya lah yang meminggirkannya. Nilai-nilai moral tradisional dibuang. Norma agama dikatakan sebagai belenggu kebebasan dan otonomi subjek.
Seiring dengan perkembangan kesadaran modernitas, sekularisasi adalah menjadi klaim historis dan kesadaran manusia modern. Sekularisasi adalah suatu proses di mana manusia berpaling dari “dunia luar” (di luar dunia atau akhirat) dan hanya terfokus pada “kehidupan di sini dan sekarang”. Dengan sekularisasi ini, orang-orang merasa bebas dari kontrol dan komitmen terhadap nilai-nilai agama. Kesadaran sekuler diwujudkan dalam pemisahan agama dari dimensi kehidupan, terutama dalam bidang sains, sosial, ekonomi, dan politik. Agama hanya dipandang sebagai fenomena warisan budaya dan manusia. Agama hanyalah subjek belaka antropologi dan sejarah.
Pendulum peradaban manusia, yang mengarah kepada pemberontakan terhadap agama manusia modern, terus terjadi. Setelah agama, teologi dan metafisika berhasil dihapus dari wacana ilmiah, kehidupan sosial dan kemanusiaan, dengan membuatnya hanya sebagai urusan murni individual; pemberontakan diarahkan langsung ke jantung keyakinan agama, yaitu Tuhan Allah. Feuerbach menyebutkan bahwa yang disebut Tuhan itu tidak lain adalah cita-cita (ciptaan pikiran) manusia, yang hanya merupakan proyeksi dari nilai-nilai harapan kemanusiaan itu sendiri, seperti pengetahuan, kekuasaan dan kemuliaan. Oleh karena itu, Feuerbach mengusulkan untuk menghapuskan dan menggantinya dengan teologi antropologi. Karl Marx menyebutkan Tuhan sebagai karakter atau konsep penemuan kapitalis-borjuis untuk membius kaum proletar. Kemudian Nietzsche menyatakan pembebasan kematian Tuhan sebagai puncak dari swasembada manusia.
Namun, tidak cukup berhenti di situ, oposisi sekuler dan pelecehan ateisme terhadap agama terus berlangsung. Kaum Positivis ini menilai agama sebagai satu susunan khayalan (ilusi dan delusi) apa pun, karena mereka tidak dapat diverifikasi secara logis ilmiah. Freud bahkan menyebutkan kesadaran beragama adalah produk atau sublimasi dari aspirasi libido seksual yang tidak dapat disalurkan; bahwa orang-orang beragama adalah orang-orang yang memiliki penyakit mental.
Jarum jam sejarah terus bergerak. Abad ke-20 adalah masa menuai badai. Psikoanalisis Freud tidak hanya menghina agama. Melampaui harapan manusia modern, sejauh ini menjatuhkan prestise dan kebanggaan rasionalitas psikoanalisis dan kesadaran otonomi subjek. Freud yang sangat dipengaruhi oleh Darwinisme, mengumumkan hasil penelitiannya, bahwa sebagian besar perilaku manusia didorong oleh libido biologis semata, insting bawah sadar hewaniyah; bahwa rasio kesadaran manusia yang dimainkan hanyalah sedikit seperti dari puncak gunung es di lautan yang merupakan alam bawah sadar manusia. Darwinisme dan Freudianisme telah mengguncang pilar keimanan manusia modern dengan kehebatan rasio.
Abad ke-20 dan 21 adalah abad menuai badai. The “New Left“, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt melengkapi kejatuhan rasionalitas modernisme. Melalui analisis filosofis-sosiologis dan psikoanalisis, mereka mengekspos perilaku masyarakat modern seperti keserakahan terhadap sumber daya alam, irasionalitas, konsumerisme, tirani, hegemoni, fasisme, tribalisme. Horkheimer mengatakan bahwa kebebasan individu saat ini adalah palsu, karena kebebasan hanya dibayangkan saja, sementara pada kenyataannya individu secara tidak sadar diperbudak oleh masyarakat yang didorong oleh kekuatan pasar dan modal. Individu dan masyarakat modern didorong oleh “kekuatan impersonal” kapitalisme-konsumerisme yang digaungkan oleh dunia periklanan dan hiburan, dan pasar raya (mall), dan pasar modal. “Kekuatan impersonal” itu siang-malam menarik dan menjanjikan semua harapan. Orang-orang modern terpesona dengan slogan iklan dan hiburan, dan mereka bersedia untuk memberikan diri mereka diperbudak oleh “kekuatan impersonal”. Manusia modern telah menjadi robot dan sekrup kecil mesin sosial yang tidak bisa lagi berpikir jernih memilih apa yang benar-benar baik baginya, berdasarkan sifat kesadarannya sendiri.
Akibatnya, proyek pembebasan manusia, yang diprakarsai oleh renaissance, reformasi, dan Aufklarung telah gagal, karena manusia modern telah dibelenggu oleh mitos-mitos baru, berhala baru, ilusi baru, takhayul baru, dan dewa-dewa baru, yang diromosikan secara intenfif dan masif serta global oleh kekuatan intelektual konspirasi illuminati-freemasonry global.
Dunia di abad ke-20 sampai ke awal abad 21, telah menuai badai. Perkembangan terbaru dari setiap ilmu pengetahuan, melampaui harapan dan harapan manusia modern, manusia modern telah merusak kepercayaan dari pemahaman ilmiah positivisme[28], yang tampaknya sejauh ini menjadi dua pilar iman mereka .
Munculnya fisika modern dengan munculnya teori relativitas Einstein dan Mekanika kuantum telah merubuhkan teori mekanika klasik dan paradigma mekanistik-positivis Newtonian yang selama tiga abad dianut oleh manusia modern. Alam semesta faktual adalah misteri yang ternyata menyimpan review tak berujung. Kesadaran muncul pada manusia modern, terutama di kalangan akademisi dan berpendidikan, bahwa mereka belum tahu apa-apa tentang seluruh alam semesta dan realitas; bahwa manusia secara faktual dan alam semesta saling berhubungan secara mendalam.
Kesadaran ini, untuk mereka yang berpendidikan, dapat menghancurkan keinginan manusia modern untuk membungkuk dan mengeksploitasi alam, karena secara bersamaan alam telah memberontak terhadap eksploitasi sewenang-wenang manusia, dalam bentuk polusi udara, air dan tanah, memanasnya iklim dan cuaca global, penipisan lapisan ozon. Pada tingkat teori, yaitu epistemologi dan kosmologi, kesadaran yang mengguncang kepercayaan manusia modern dalam ilmu pengetahuan. Akibatnya, pergerakan skeptisisme dan nihilisme yang telah dikembangkan yang tidak lagi memiliki apresiasi ilmu pengetahuan dan juga bahkan, terhadap semua pengetahuan manusia. Generasi sofisme modern telah dilahirkan kembali. Manusia telah mundur 2500 tahun kembali ke zaman sofisme Yunani klasik .
Abad ke-20 ke abad ke-21 menuai badai. Ilmu pengetahuan dan teknologi diandalkan oleh manusia modern untuk mencapai kebahagiaan ternyata berbalik mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Dua perang dunia yang besar telah terjadi dengan ratusan juta korban manusia dengan rekayasa teknologi senjata. Berbagai senjata canggih, mulai dari senjata kimia untuk bom nuklir, yang dirancang untuk membunuh banyak manusia, atau setidaknya digunakan untuk mengancam dan menggertak negara-negara lain, seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Israel terhadap negara-negara yang tidak mau menyerah kepada arogansi Amerika Serikat & Israel.
Manusia modern melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara faktual tidak berkorelasi positif terhadap kesejahteraan umat manusia. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan di ulang tahun PBB 24 Oktober 1999 lalu, menyebutkan bahwa abad ke-20 sebagai abad paling gelap dan paling keras dalam sejarah umat manusia, abad yang paling ramai dengan cerita penderitaan manusia. Para pemikir yang bijaksana dan intelektual akan mengkhawatirkan munculnya berbagai bencana kemanusiaan dan bencana alam di abad ke-21 mendatang[29]. Oleh karena itu, Anthony Giddens menyebutkan saat ini ditandai dengan ketidakpastian yang diproduksi yaitu periode ketidakpastian dan menyebabkan konsekuensi risiko tinggi.[30]
Kisah penderitaan manusia untuk menemukan realitasnya sendiri, belum berakhir. Krisis modernisme tidak berhenti pada irasionalitas dan krisis moral, krisis epistemologis, krisis ekologi dan krisis kekerasan saja. Tapi krisis modernisme, yang juga melanda Indonesia, tidak berhenti hanya pada krisis epistemologis dan metodologis seperti ini. Lebih akut, terjadi pada tingkat ontologis berkenaan dengan krisis eksistensial manusia mengenai sifat, tujuan dan makna dalam hidupnya. Manusia modern telah dilemparkan ke dalam sebuah krisis eksistensial, kehampaan spiritual, krisis legitimasi makna dan misi hidupnya, serta kehilangan penglihatan dan terasing dari alam semesta, dari Tuhan dan dirinya sendiri. Albert Camus menjelaskan bagaimana segala upaya manusia untuk menemukan esensi dari siapa dia, selalu bertemu dengan kegagalan, sehingga sampai kesimpulan bahwa hidup ini adalah tidak masuk akal, tidak memiliki arti. Kehidupan adalah seperti orang yang berjuang untuk mendaki gunung tanpa harapan tidak akan pernah mencapai tujuan. Albert Camus sehingga mempertanyakan mengapa manusia, yang tidak tahu dan tidak punya tujuan dalam hidup masih akan hidup di dunia yang tidak berarti ini. Mengapa manusia tidak lebih baik bunuh diri?
Abad ke-20 abad ke-21 menuai badai. Setelah 6 abad manusia menyatakan kedaulatannya dan menyatakan kematian Tuhan sendiri, situasi sekarang terbalik. Jarum sejarah telah mengguncang sendi kepercayaan manusia modern; rukun iman mereka itu jatuh. Rasionalitas , subjek otonom, antroposentrisme, positivisme, ilmu pengetahuan dan teknologi, kini bersiap-siap menjadi puing-puing fosil peradaban. Energi yang hilang. Roh telah menghilang. Bulan Purnama dari peradaban manusia modern telah menjulang di kelopak mata. Manusia modern telah meninggal.
Manusia harus mati? Beberapa dari mereka kemudian membuat dirinya tampil seperti dalam perilaku Cheerful Robot (robot yang ceria), orang yang mencoba melarikan diri dari kecemasan mental mereka dan kecemasan eksistensial dengan menerjunkan diri dalam hiburan, kesenangan sensual (terutama seksual), konsumsi produk-produk mewah, melakukan perjalanan ke tempat terdekat yang menyenangkan, dan sibuk dengan daya tarik permainan yang beragam. Semua itu dilakukan secara tidak sadar, dan sepenuhnya tunduk pada rekayasa psikologis kapitalis-imperialis “pedagang kesenangan”. Banyak lagi yang berperilaku seperti zombie, zombie yang menghantui di jalan-jalan mencari mangsa, tanpa emosi berdarah dingin, bertindak anarkis–destruktif, seperti yang ditampakkan oleh bebagai aksi terorisme seperti serangan militant ISIS di Syiria dan Serangan Koalisi Arab Saudi kepada sesama Muslim di negeri Yaman (2015) atau pembantaian rakyat Palestina oleh tentara Israel.
Lebih Jauh, terutama di kalangan terdidik, ditandai dengan kecemasan eksistensial mereka dengan meninggalkan eksistensi mereka sendiri, yaitu dengan mengambil sikap apatis, skeptis terhadap semua hal, nihilistik, dan jika perlu, bunuh diri dan bergelimang dengan kemabukan minuman keras, candu dan narkoba.[31]
Menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat: “Ketika mereka menyingkirkan Tuhan Allah, mereka sebenarnya tidak hanya terasing dari Allah. Mereka terlemparkan ke dunia tanpa mengetahui ke mana mereka harus pergi. Mereka tersesat. “Sebagai hasil dari proyek kedaulatan manusia yang diresmikan oleh Renaissance dan Aufklarung (reformasi) yang telah gagal, karena manusia modern telah dibelenggu oleh mitos-mitos baru, berhala baru, ilusi baru, takhayul baru, dan para dewa baru! Orang-orang telah terbelenggu oleh petualangan liarnya sendiri, sampai hilang dan terlemparkan dari dirinya sendiri, terasing dari alam semesta dan dari Tuhan Yang Sejati.[32]
Krisis eksistensial ini berlandaskan pada aspek ontologis atau masalah metafisika yang telah ditutup korelasi dan implikasinya dengan mode epistemologis Barat modern mereka dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern, jadi kita juga harus menjelaskan dan mendiskusikan masalah-masalah epistemologis ilmu modern.
Memahami Epistemologi
Istilah epistemologi digunakan pertama kali pada tahun 1854 oleh JF Feriere. Epistemologi adalah cabang filsafat yang mencoba untuk menjawab pertanyaan dasar seperti yang Kant Katakan: “Was kann ich wissen?” (“Apa yang bisa saya ketahui?”).[33] Karena jawabannya adalah tentang masalah pusat pemikiran manusia, sehingga epistemologi memiliki posisi sentral, sebagai mana Ayn Rand sebutkan, epistemologi adalah dasar dari ilmu-ilmu filosofis. Epistemologi merupakan salah satu bidang utama Filsafat. Hal ini berkaitan dengan sifat, sumber dan batas pengetahuan.[34]
Istilah Epistemologi ini berasal dari kata Yunani: ‘Episteme’ dan ‘Logos’. Episteme berarti ‘pengetahuan’ atau ‘kebenaran’ dan ‘logos‘ berarti ‘berpikir’, ‘kata’, atau ‘teori’. Runes mengatakan bahwa ‘epistemologi adalah cabang filsafat yang menjelaskan sumber, struktur, dan metode dan validitas pengetahuan.[35]
Pada abad ke-5 SM, para sofis Yunani mempertanyakan kemungkinan pengetahuan yang dapat diandalkan dan obyektif. Dengan demikian, seorang sofis terkemuka, Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar ada, bahwa jika sesuatu memang ada itu tidak bisa diketahui, dan bahwa jika pengetahuan itu mungkin, itu tidak bisa dikomunikasikan. Sofis lain yang menonjol, Protagoras, menyatakan bahwa tidak ada pendapat seseorang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain, karena masing-masing adalah satu-satunya hakim dari pengalaman sendiri.[36]
Plato, mengikuti gurunya yang terkenal Socrates, mencoba untuk menjawab kaum Sofis dengan mendalilkan adanya dunia yang berubah dan tak terlihat bentuknya, atau ide-ide, tentang mana yang dimungkinkan untuk memiliki pengetahuan yang tepat dan pasti. Hal-hal yang orang melihat dan menyentuhnya, yang mereka pertahankan, adalah salinan sempurna dari bentuk-bentuk murni yang dipelajari dalam matematika dan filsafat. Dengan demikian hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang menghasilkan pengetahuan sejati, sedangkan ketergantungan pada persepsi rasa menghasilkan pendapat tidak jelas dan tidak konsisten. Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis dunia gaib adalah bentuk tujuan tertinggi dari kehidupan manusia.
Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai ‘The Theory of Knowledge’. Epistemologi dalam penjelasannya terdiri dari dua bagian: ‘epistemologi umum’ dan ‘epistemologi khusus’ atau ‘teori pengetahuan khusus’, terutama untuk pengetahuan ilmiah; sehingga dapat menyebutkan sebagai “Filsafat Ilmu”[37]. The Philosophy of Science (Pengetahuan) dan Epistemologi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Filsafat Ilmu didasarkan pada epistemologi, terutama pada masalah validitas ilmiah.[38] Validitas ilmiah terdiri dari tiga konsep teori kebenaran: korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Korespondensi membutuhkan keselarasan antara ide dan fakta eksternal (alam semesta), kebenarannya adalah empiris-deduktif; koherensi membutuhkan keharmonisan antar pernyataan logis, kebenaran ini bersifat formal-deduktif; sementara pragmatis memerlukan kriteria instrumental atau kebutuhan, kebenaran ini adalah bersifat fungsional.
Produk Korespondensi adalah ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi, sosiologi; produk koherensi adalah ilmu abstrak seperti: matematika dan logika, sedangkan produk-produk pragmatis diterapkan ilmu seperti: kedokteran. Jadi epistemologi merupakan dasar fundamental filsafat ilmu, terutama untuk membuat identifikasi untuk pengetahuan ilmiah, atau pengetahuan sehari-hari, dan bagaimana menggunakan metodologi yang tepat dan prosedur untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah.[39]
Implikasi Agama Kristen terhadap Ilmu Pengetahuan /Sains
Sebagian besar entri ini difokuskan pada implikasi dari ilmu agama. Namun, juga terjadi bahwa agama memiliki implikasi bagi ilmu pengetahuan. Telah dikatakan bahwa ajaran Kristen adalah kontributor penting untuk kebangkitan ilmu pengetahuan modern: kebebasan Allah mensyaratkan bahwa fitur dari dunia alam tidak bisa disimpulkan apriori dari prinsip-prinsip rasional, namun kebaikan dan kesetiaan Tuhan menyatakan bahwa dunia tidak akan begitu kacau untuk dapat dipahami. Keberadaan agama adalah pengingat yang berharga bahwa ada batas-batas luar yang tidak bisa dijelasan secara ilmiah, dan doktrin-doktrin yang membantu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berada di luar batas-batas itu. Era Newtonian melihat pemisahan filsafat alam (science) dari teologi natural, dan sejak saat itu telah menjadi anggapan metodologis dari ilmu yang harus memberikan penjelasan murni alami. Ilmu pengetahuan telah demikian menetapkan batas-batas kompetensi sendiri, tapi ini tidak berarti bahwa apa yang di luar kompetensinya karena itu tidak penting (atau tidak ada/eksis).
Kosmologi dan fisika menimbulkan pertanyaan yang mereka tidak bisa menjawabnya: Mengapa proses alam berperilaku seperti hukum? Apa yang menyebabkan Big Bang? Mengapa ada alam semesta sama sekali? Sementara teologi dan sains dapat berinteraksi dengan cara yang kecil dalam setiap domain yang tepat, itu adalah di sini bahwa penjelasan teologis datang dengan sendirinya.
Hubungan Tak langsung antara Metafisika dan Epistemology
Jika konflik langsung antara teologi Kristen dan berbagai teori ilmu pengetahuan modern telah sering ditekankan, efek merusak pada teologi adalah konflik tak langsung antara agama dan ilmu pengetahuan yang telah terlalu sedikit menerima perhatian. Interaksi tak langsung ini dapat dianggap di bawah judul metafisika dan epistemologi.
Pandangan Mekanika Descartes tentang materi sebagai perpanjangan murni, yang disertai dengan pandangan pikiran sebagai ‘berpikir substansial ala Descartes’, yang telah meresmikan dualisme metafisik, yang telah menggantikan pandangan yang lebih tua dan lebih bernuansa pandangan antropologi Kristen. Sejauh dualisme ini telah terbukti secara filosofis tidak bisa dipertahankan, Kristen, dengan pandangannya tentang jiwa dan kehidupan setelah kematian, telah muncul dipertahankan juga.
Gambaran alam semesta sebagai Jarum jam seperti suatu sistem partikel yang bergerak tertutup, yang diatur ketat oleh hukum fisika (gambaran yang dicontohkan pada abad kesembilan belas oleh karya Laplace), menciptakan masalah dalam memandang tindakan ilahiyah Tuhan. Berbagai deisme populer menawarkan akun yang paling masuk akal: Tuhan adalah pencipta alam semesta, dan bertanggung jawab atas hukum alam, tetapi tidak memiliki interaksi yang berkelanjutan dengan dunia alam atau dengan sejarah manusia. Alternatif untuk theis (mereka yang masih percaya Tuhan) adalah perhitungan intervensi ajaib atau pertimbangan Allah sebagai penopang imanen proses alam (Miracles). Yang pertama tampaknya membuat Allah irasional (bertentangan dengan ketetapan Tuhan Allah sendiri) atau tidak kompeten (perlu menyesuaikan sistem). Pandangan yang terakhir membuatnya sulit untuk mempertahankan rasa lebih keterlibatan pribadi Tuhan Allah dalam kehidupan manusia daripada yang mungkin untuk Deists tersebut. Sebagian besar perbedaan antara kaum Kristen liberal dan konservatif dapat ditelusuri ke dalam teori tindakan Tuhan: kaum konservatif cenderung untuk mengambil Tuhan yang bisa intervensi, sebuah pandangan kaum liberal tentang Tuhan yang imanentis (menyelemuti).
Epistemologi. Teolog abad pertengahan memiliki dua set kategori epistemologis yang mereka miliki, yang berkaitan dengan scientia (pengetahuan demonstratif atau ilmiah) dan yang berkaitan dengan opinio (‘kemungkinan’ keyakinan, termasuk yang didasarkan pada otoritas). Jadi kesimpulan teologis tersebut yang tidak bisa disimpulkan dari prinsip-prinsip pertama yang bisa dengan senang hati didasarkan pada otoritas tak tercela, sangat bernuansa firman Allah. Namun, pada periode modern, berbagai ilmu pengetahuan yang dikontrak oleh bidang matematika dan logika formal; Hume dan Kant keduanya memberikan kritik kuat argumen deduktif bagi keberadaan Allah dan teologi alam pada umumnya. Selanjutnya, ketika kemungkinan pengetahuan mengambil rasa pengetahuan kontemporer berdasarkan bukti empiris yang berat, menarik menjadi tidak relevan bagi otoritas, dan yang paling dinilai mustahil untuk memberikan bukti empiris untuk klaim teologis. Jadi pertanyaan sentral bagi para teolog modern liberal adalah bagaimana, jika teologi adalah mungkin sama sekali.
Teologi liberal menyimpang dari rekening yang lebih tradisional sebagai hasil dari strategi untuk memenuhi masalah yang diangkat langsung atau tidak langsung oleh ilmu pengetahuan. Setelah Friedrich Schleiermacher, banyak teolog liberal telah memahami agama untuk membentuk bola sendiri dari pengalaman, tidak berhubungan dengan pengetahuan ilmiah. Doktrin teologis adalah ekspresi dari kesadaran religius, bukan rekening dari alam supranatural. Tuhan bekerja secara imanen, bukan oleh intervensi, baik dalam dunia alam atau sejarah manusia. Dengan demikian teologi liberal telah menghindari konflik langsung dengan ilmu pengetahuan modern, pada biaya (atau dengan konsekuensi menguntungkan) dari revisi sangat radikal tentang konsep agama dan teologi. Namun, Isu Ian Barbour dalam Sains dan Agama (1966) mempresentasikan gambaran ensiklopedis titik-titik di mana klaim ilmiah yang relevan dengan pemikiran keagamaan, dan dalam Mitos, Model, dan Paradigma (1974) ia berpendapat kesamaan epistemologis yang signifikan antara ilmu pengetahuan dan agama. Sejak saat itu, semakin banyak ilmuwan ulama dari sayap liberal dari Kristen telah mulai memanggil divisi modern wilayah dipertanyakan.
Pentingnya Merevisi Epistemologi tersebut
Mengapa epistemologi sangat penting bagi kehidupan manusia? Menurut Murthadha Muthahhari: “Dalam era baru-baru ini, banyak filsafat sosial, mazhab pemikiran (Mazhab), isme, ideolog , itu sudah hal penting, karena semua orang perlu memiliki suatu bentuk pemikiran tertentu bahwa kegiatan kehidupannya akan bergantung pada dan berdasarkan itu. Pada zaman kontemporer sering ada konflik yang terjadi di antara berbagai ideologi dan aliran pemikiran dari banyak kelompok, masyarakat, bangsa, negara.”[40]
Bahkan menurut Samuel J. Huntington, katanya ada ‘pertentangan peradaban’ di milenium ketiga di dunia. Saat ini, kita melihat Militer Amerika dan Inggris yang menaklukkan sumber-sumber alam yang besar seperti minyak dan gas dan untuk melindungi ambisi Zionisme-Israel telah membuat Irak dan Afghanistan serta Syiria diserang dan diinvasi.
Semuanya dilakukan oleh manusia didasarkan pada pemikiran dan ideologinya. Dan ‘ideologi’ tertentu tergantung pada ‘pandangan dunia’ tertentu.[41] Sementara ‘pandangan dunia’ didasarkan pada epistemologi dalam filsafatnya. Itulah sebabnya epistemologi sangat penting untuk kajian dan penelitian.
Menurut Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi dalam Buku Daras Filosofis (Philosophycal Instructions), Sebuah Pengantar Filsafat Islam Kontemporer [42]: “Ada serangkaian masalah mendasar yang dihadapi manusia sebagai makhluk sadar yang kegiatannya muncul dari kesadarannya; dan jika manusia menjadi lalai dalam usahanya untuk menemukan jawaban yang benar untuk masalah ini, ia akan menemukan diri fakta sebaliknya dari ia telah melintasi batas antara kemanusiaan dan kebinatangan. Tetap dalam keraguan – selain ketidakmampuan untuk memenuhi kebenaran nuraninya – tidak akan ada yang memungkinkan manusia untuk menghilangkan kecemasan tentang kemungkinan tanggung jawab-nya. Ia akan ditinggalkan merana atau, seperti yang kadang-kadang terjadi, berubah menjadi makhluk yang berbahaya. Karena solusi yang keliru dan menyimpang, seperti materialisme dan nihilisme, tidak bisa memberikan kenyamanan psikologis atau sebagai makhluk sosial yang baik, kita harus mencari penyebab mendasar korupsi individual dan sosial dalam pandangan dan pikiran yang menyimpang. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain kecuali untuk mencari jawaban atas masalah ini dengan tegas dan resolusi tak kunjung padam. Kita tidak mungkin berusaha sampai kita membangun cadangan dasar bagi kehidupan manusia kita sendiri dan dengan cara ini membantu orang lain juga, dan menangkap pengaruh dalam masyarakat pikiran yang tidak benar dan ajaran yang menyimpang, yang saat ini.
Sekarang bahwa perlunya sebuah upaya intelektual dan filosofis telah menjadi jelas dan tidak ada ruang yang telah ditinggalkan untuk keraguan atau ketidakpastian, tetap bagi kita untuk mengambil langkah pertama dalam perjalanan wajib ini dan tidak dapat dihindari atas mana kita telah selesaikan dengan menghadap ke pertanyaan berikut: Apakah akal manusia dapat memecahkan masalah ini?
Pertanyaan ini membentuk inti tentang masalah di mana epistemologi dipusatkan. Sampai kita memecahkan masalah cabang filsafat ini, kita tidak akan dapat sampai pada solusi terhadap masalah-masalah ontologi atau untuk cabang lain dari filsafat. Sampai nilai pengetahuan intelektual ditentukan, klaim yang disajikan sebagai solusi nyata untuk masalah tersebut akan menjadi sia-sia dan tidak dapat diterima. Akan selalu tetap ada pertanyaan seperti tentang bagaimana kecerdasan dapat memberikan solusi yang tepat untuk masalah ini.
Banyak tokoh terkenal dari filsafat Barat, seperti Hume, Kant, August Comte, dan semua kaum positivis yang telah melakukan kesalahan. Dengan pandangan yang tidak benar, mereka telah tidak dapat menemukan dasar-dasar budaya masyarakat Barat, dan bahkan para sarjana dari ilmu-ilmu lainnya, mereka telah tersesatkan terutama kalangan psikolog behavioris. Sayangnya, pemukulan dan penghancuran gelombang ajaran tersebut juga telah menyebar ke bagian lain dari dunia, dan terpisah dari puncak yang tinggi dan tebing ketidakpastian dengan alasan yang tersisa dan menetapkan latar filsafat ilahi, semuanya kurang lebih telah datang di bawah pengaruh mereka.
Oleh karena itu, kita harus berusaha untuk mengambil langkah pertama yang mantap dengan meletakkan dasar-dasar bagi rumah ide-ide filosofis kita dengan kokoh dan sampai tegap, dengan bantuan Tuhan Yang Maha Esa, kita layak untuk menapak melalui tahap lainnya dan tiba di tujuan yang kita inginkan.
Epistemologi dan Bahasa
Pergeseran dari epistemologi abad pertengahan ke empirisme modern memerlukan revisi radikal dalam epistemologi agama. Berbagai strategi yang digunakan selama periode modern untuk menunjukkan teologi menjadi epistemologis yang terhormat. Namun, peningkatan prevalensi ateisme di kalangan ilmiah menunjukkan bahwa strategi ini belum berhasil. Pada titik dalam sejarah intelektual di mana beberapa akan menyebutnya sebagai akhir periode modern, teori pengetahuan telah cukup berubah bahwa pertanyaan tentang status epistemic teologi perlu diperiksa lagi. Perhatian kita di sini akan hanya dengan perubahan yang berkaitan langsung dengan ilmu pengetahuan.
Pernyataan teolog terkadang telah berhenti dengan alasan bahwa mereka menggambarkan keadaan urusan yang tak terbayangkan. Namun, teori fisika kuantum dan perkembangan ilmiah baru lainnya menggambarkan realitas fisik yang sama tak terbayangkan dan, sebagian orang akan mengatakan, panggilan ke dalam logika tradisional pertanyaan dua-nilai. Argumen ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pandangan pengetahuan lebih rendah hati daripada periode modern disebut untuk; realitas yang lebih kompleks dan misterius dari apa bahasa kita dan konsep memungkinkan kita untuk menangkap .
Hal ini sering dikatakan (terutama oleh para teolog) bahwa teologi berbeda secara radikal dari ilmu pengetahuan dalam hal ilmu pengetahuan yang obyektif sementara semua ilmu agama adalah pengetahuan diri –yang melibatkan, produk dari interaksi antara Tuhan dan subjek manusia. Cara lain di mana ilmu pengetahuan telah marah terhadap pandangan tua pengetahuan, dan mempersempit perbedaan antara ilmu pengetahuan dan teologi, dalam pengakuan bahwa pengetahuan ilmiah itu sendiri adalah interaktif. Pengukuran interaksi dengan fenomena yang diukur, terutama pada tingkat sub-atomik.
Kebanyakan pemikir modern telah dinilai mustahil untuk memberikan dukungan empiris untuk teologi. Namun, dimulai dengan karya Ian Barbour (1974), telah ada penyelidikan dari cara di mana penalaran teologis menyerupai ilmu pengetahuan, termasuk rekening data yang sesuai untuk teologi. Perkembangan ini dimungkinkan oleh kemajuan dalam filsafat ilmu yang menunjukkan ilmu itu sendiri menjadi lebih rumit, dan lebih manusiawi, usaha yang diasumsikan daripada kaum positivis.
Catatan Kaki:
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Modernism#cite_note-1
[2] Pericles Lewis, Modernism, Nationalism, and the Novel (Cambridge University Press, 2000). pp 38-39. [James] Joyce‘s Ulysses is a comedy not divine, ending, like Dante’s, in the vision of a God whose will is our peace, but human all-too-human…” Peter Faulkner, Modernism (Taylor & Francis, 1990). p 60., quoted from http://en.wikipedia.org/wiki/Modernism#cite_note-1, acsessed at August, 2010
[3] Gardner, Helen, Horst De la Croix, Richard G. Tansey, and Diane Kirkpatrick. Gardner’s Art Through the Ages (San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, 1991). ISBN 0155037706. p. 953. quoted from http://en.wikipedia.org/wiki/Modernism#cite_note-1, acsessed at August , 2010
[4] Adorno, Theodor. Minima Moralia. Verso 2005, p. 218. quoted from http://en.wikipedia.org/wiki/Modernism#cite_note-1, acsessed at August , 2010
[5] Tradition and the individual talent” (1919), in Selected Essays. Paperback Edition. (Faber & Faber, 1999). quoted from http://en.wikipedia.org/wiki/Modernism#cite_note-1, acsesed in August 2010
[6] Childs, Peter. Modernism (Routledge, 2000). ISBN 0415196477. p. 17. , quoted from http://en.wikipedia.org/wiki/ Modernism#cite_note-1, Accessed on 2009-02-08
[7] F. Budi Hardiman, Sejarah Filsafat Barat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta, 2004. For next quotients it will mention by F. Budi Hardiman, Sejarah Filsafat Barat Modern…..
[8] F. Budi Hardiman, Sejarah Filsafat Barat Modern
[9] F. Budi Hardiman, Sejarah Filsafat Barat Modern…..
[10] F. Budi Hardiman, Sejarah Filsafat Barat Modern…..
[11] Adopted from Nancey Murphy, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1, London.
[12] lihat Origen; Augustine, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1, London [12]
[13] liha Tertullian, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1, London
[14] Lihat “ interpretation of Quantum mechanics”, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1, London
[15] Lihat “Chaos theory”, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1, London
[16] Seyyed Hossein Nasr, The Plight of Modern Man, (Revised and Enlarged Edition), page 4, ABC International Group, Inc. Chicago, 2001. For next Quotations it will mention by Seyyed Hossein Nasr, The Plight of Modern Man
[17] Seyyed Hossein Nasr, The Plight of Modern Man, p. 4
[18] Seyyed Hossein Nasr, The Plight of Modern Man, p.5
[19] Armahedi Mazhar, “Kata Pengantar” (Introduction) in Hussein Heriyanto, Paradigma Holistik, p.xiii, Penerbit Teraju, Jakarta, 2003. p.xiii
[20] Descartes, R. Discourse and Methods (Translated by Jhon Veitch), J.M. Dent & Sons Ltd, London, 1960.
[21] Armahedi Mahzar, Lecture Presentation of master program of Islamic Philosophy at Islamic College for Advance Studies (ICAS) Jakarta, June 18, 2005. For the next quotation it will mention by Armahedi Mahzar, Lecture Presentation…..
[22] Armahedi Mahzar, Lecture Presentation of master program of Islamic Philosophy at Islamic College for Advance Studies (ICAS) Jakarta, June 18, 2005. For the next quotation it will mention by Armahedi Mahzar, Lecture Presentation…..
[23] Mulyadhi Kartanegara, Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf (PUSKAFIT) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005. For next quotation it will mention by Mulyadhi Kartenegara, Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf,
[24] Mulyadhi Kartanegara, Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf (PUSKAFIT) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005. For next quotation it will mention by Mulyadhi Kartenegara, Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf,
[25]. Mulyadhi Kartenegara, Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf, (PUSKAFIT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005.
[26] Mulyadhi Kartanegara, Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf (PUSKAFIT) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005. For next quotation it will mention by Mulyadhi Kartenegara, Proposal Pusat Kajian Filsafat dan Tasawuf,
[27] Hussein Heriyanto, Paradigma Holistik, Teraju-Mizan Jakarta, 2003
[28] One of radical variant of Cartesian-Newtonian Paradigm is Positivism. Positivism paradigm placed language and the method of physical sciences as the only methods for scientific activity, including for social sciences and cultures. The concepts in psychology, sociology, politics and anthropology were said scientific if refer to basic principles of Newtonian physics. Even for Egon G. Guba,, Cartesian-Newtonian paradigm is identical with positivism, since assumed with dualistic epistemology (determination between subject and object), Please read The Paradigm Dialog (edited by Egon G. Guba), Sage Publication, California, 1990.
[29] Dikutip dari harian KOMPAS news paper, October 25, 199..
[30] Giddens, A. Beyond left and Right, Polity Press, Cambridge, 1984, p.4
[31] Hussein Heriyanto, Paradigma Holistik, Teraju-Mizan Jakarta, 2003
[32] Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Mizan Bandung, 1997
[33] Koento Wibisono, Dasar-Dasar Filsafat, (Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka, 1989), p. 517
[34] Peter D. Klein, Routledge Encyclopedia of Philosophy, (Routledge): London and New York, 1998, version 1.0.
[35] Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (Totowa New Jersey: Adams & Co., 1971), p. 94.
[36] George Thomas White Patrick, Introduction to Philosophy, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), p. 325
[37] Koento Wibisono, Dasar-Dasar Filsafat, (Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka, 1989), p. 517
[38] Doni Gahral Adian, Menyoal Objektifisme Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Teraju, 2002), p. 17
[39] Doni Gahral Adian, Menyoal Objektifisme Ilmu Pengetahuan, p.17
[40] Murthada Mutahhari, Mengenal Epistemology, Translated from Iranian Book: Mas’ale Syenokh (Teheran, Intisyaarate Shadra, 1989), p.180
[41] Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Philosophical Instruction, An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, (New York: Binghamton, University Global Publications, 1999), p. 85-6. For the next quotation it will mention by Taqi Misbah Yazdi, Philosophical Instruction, An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy.
[42] Taqi Misbah Yazdi, Philosophical Instruction, An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, p. ..
Ahmad Yanuana Samantho, S.IP, MA, M.Ud (2010)
