Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, mengatakan, keterputusan hubungan antara nilai ketuhanan dalam diri manusia mengakibatkan keanehan. Pada satu sisi masyarakat Indonesia berwajah religius, tetapi di pihak lain sangat jauh dari nilai-nilai ketuhanan.
“Ini akibat keterjebakan orang berpikir formal. Sarjananya formal, kerjanya formal, semua serba formal, sampai-sampai menghayati Tuhan pun sebatas formal fikih dengan ibadah formal. Jadi kalau Anda ingin punya jawaban mengapa orang Indonesia itu saleh dengan ibadah tetapi jahat dalam kehidupan, itu jawaban saya,” terangnya , Kamis 7/1/2015.
Akibat berpikir dan bertindak formal itu menurut Dedi, orang-orang tidak banyak menghasilkan kreasi-kreasi terobosan. Karena itulah mengapa ia sebagai bupati pun tidak sekadar ingin menjalankan formalitas.
“Saya penuhi kewajiban formalnya, tetapi tidak cukup berhenti di situ karena saya sebagai manusia punya tanggungjawab mengemban misi khalifah, kewajiban Tuhan di muka bumi dalam bidang-bidang yang saya mampu lakukan. Jabatan hanya salahsatu peran, bukan satu-satunya,” ujarnya.
Bupati nyentrik yang belakangan ini dicap sebagai Raja Musyrik oleh sekelompok orang itu melihat kenyataan, bahwa dunia informal yang penuh dinamika, memberikan banyak potensi dan keniscayaan manusia untuk berbuat banyak diabaikan.
“Serba formal dan lupa hal yang informal atau kultural itu menjebak manusia menjadi sempit. Nyari makan pun harus bekerja secara formal, padahal kalau mau kreatif, tidak perlu ada pengangguran. Tak ada pekerjaan mestinya menciptakan pekerjaan. Tanah, air, udara dan cahaya semua melapangkan kita untuk beraktivitas secara produktif mengemban semangat ilahiah,” ujarnya.
NILAI UNIVERSAL TUHAN
Menurut Dedi, selama ini orang lupa akan nilai-nilai universal Tuhan yang harus diperankan dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan menurut Dedi sering dianggap sesuatu, bahkan diberhalakan dalam pikiran, tak jarang liyan yang berbentuk lalu disembah. Hal itu menurutnya menjadi bagian dari pemberhalaan secara tak langsung dan menghambat kemampuan kreatif manusia sebagai khalifatullah fil ard.
Jika Tuhan dianggap universal dan bernilai transenden, Dedi percaya akan banyak praktik-praktik kemanusiaan yang berjalan di atas nilai-nilai ketuhanan dan usaha penegakan rule of law dalam bingkai keislaman dan keindonesiaan akan terwujud.
“Itulah kenapa saya selalu mencoba menerjemahkan nilai-nilai Tauhidiyah yang transenden dari Tuhan dalam kehidupan sehari-hari untuk kaidah berpolitik, untuk kaidah bernegara, untuk kaidah berbangsa, dan untuk kaidah berwarga. Sebab hanya dari situlah bangunan nilai kemanusiaan yang setara, berkepribadian, dan berkemandirian akan tercipta karena kita semua tunduk pada nilai ketuhanan,” jelasnya.- Anisa/Fti