Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

A Brief Report on IC-THuSI 18-19 Nov. 2015 (scientific and cultural perspective)

$
0
0
Kepada Yth Bapak/ Ibu dan Rekan-rekan sekalian, 
 
Berikut saya teruskan pesan Ketua SC IC-THuSI kepada Dewan Pakar IC-THuSI yang sangat bermanfaat untuk Bapak/ Ibu. 
 
Selamat membaca dan semoga bermanfaat. 
 
Salam, 
Rintis Mulya
 
 
BismilLahi wa bilLahi, wa-l-hamdulilLah,
Yth. Bapak/Ibu Scientific Board Members of IC-THuSI
Assalamu’alaikum wa rahmatulLahi,
AlhamdulilLah, penyelenggaraan konferensi IC-THuSI yang kedua pada tanggal 18-19 November lalu di Jakarta berjalan lancar dan sukses. Tujuh puluhan sarjana asal berbagai perguruan tinggi nasional (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi) beserta belasan sarjana internasional (Malaysia, Iran, Thailand, Bangladesh, Qatar, Aljazair, dan Amerika Serikat) turut serta menyampaikan kertas kerja ilmiah mereka, baik pada dua sesi pleno maupun 15 sesi komisi. Beberapa sarjana luar tidak jadi datang meskipun mereka telah mengirim full papers. Ada sebuah paper yang sangat relevan dan kontributif dalam usaha kita mengusung paradigma baru ilmu-ilmu manusia, yaitu yang berjudul “Do the Human Sciences Have A Single Methodology?“, yang ditulis oleh Prof. Dr. Ali Mesbah; sayangnya, beliau gagal mempresentasikan papernya karena terlambat peroleh visa. Akan tetapi, secara ilmiah, paper ini menjadi salah satu – menurut hemat saya- karya ilmiah yang sangat berguna untuk pengembangan ilmu-ilmu manusia dalam perspektif Islam (saya menyebutnya “the Islam-inspired Human Sciences“). Dalam paper ini, Prof. Ali Mesbah berusaha mengidentifikasi permasalahan metodologis ilmu-ilmu sosial humaniora kontemporer yang dikembangkan oleh Dilthey, Rickert, Windelband, dan Max Weber seraya lalu mencoba memetakannya dengan skema klasifikasi konsep-konsep (intelligibles; ma’qulat) yang dikenal dalam filsafat Islam, yaitu konsep filosofis dan konsep keapaan (quiddity).
Tentu saja banyak paper lain yang relevan dan berguna untuk pengembangan ilmu-ilmu manusia dalam perspektif Islam, baik secara langsung (epistemologis dan metodologis) maupun tak langsung (ontologis, aksiologis, kosmologis, dan irfan). Secara kasar, setidaknya 30% paper yang masuk tergolong berkualitas baik secara akademis; 40% masih perlu penguatan fokus dan pengembangan; dan 30% lainnya saya anggap sebagai penggembira. Memang hasil ini masih di bawah ekspektasi saya, yaitu 50% dari paper yg masuk bisa menjadi bahan diskusi ilmiah atau kandidat artikel jurnal THuSI, akan tetapi menimbang bahwa tema yang kita usung ini relatif baru dan tergolong sulit (dalam konteks justifikasi, ilmu-ilmu manusia lebih sulit daripada matematika, ilmu-ilmu alam dan filsafat), angka 30% itu sudah lumayan. Patut juga dipertimbangkan bahwa banyak sarjana yang berlatar belakang filsafat atau studi Islam tidak akrab dengan ilmu-ilmu manusia, dan sebaliknya banyak yang berlatar ilmu-ilmu manusia tetapi tidak mendalami filsafat. Juga perlu diingat bahwa selain merupakan pertemuan peneliti/profesor untuk menyampaikan gagasan mereka, konferensi ini juga wahana pembelajaran untuk sarjana-sarjana/peneliti Muslim yg relatif yunior (setidaknya mahasiswa doktor). Bagaimanapun, seperti yang kerap saya sampaikan, agenda pengembangan ilmu-ilmu manusia dalam perspektif Islam ini adalah sebuah proyek ilmiah yang memerlukan dua tiga generasi ke depan (50-100 tahun). Karena itu, kaderisasi sarjana/peneliti Muslim menjadi sebuah keniscayaan dan konferensi IC-THuSI adalah salah satu medium untuk itu. Toh, mereka membiayai kehadiran mereka sendiri di konferensi, bahkan ikut menanggung biaya akomodasi selama konferensi.
Meskipun demikian, seperti yang saya sampaikan dalam Acara Penutupan, secara bertahap kualitas akademis konferensi IC-THuSI akan terus ditingkatkan. Yang jelas, secara umum konferensi kedua tahun ini lebih baik daripada tahun pertama dalam perspektif akademis meskipun masih ada paper yang berbicara “Islamisasi” pengetahuan secara dangkal/formal. Namun, umumnya tema “Islamisasi” ini diangkat oleh sarjana asal jiran sementara dari dalam negeri banyak yang berbicara dari perspektif kebudayaan. Ini fakta menarik bahwa salah satu tipologi sarjana Muslim Indonesia adalah ketertarikan mereka terhadap isu-isu relasi agama dan budaya. Gagasan ini – jika diteruskan secara metodologis dan epistemologis – akan menjadi bahan penting untuk mengonstitusi dan mengonstruksi paradigma baru ilmu-ilmu manusia yang non-mekanistik dan non-positivistik.
Kehadiran dan sambutan Menristek Dikti RI, Bapak Prof. Mohamad Nasir, PhD – yang diwakili oleh Dirjen Pembelajaran dan Kemahsiswaan,, Prof. Intan Ahmad PhD, dan sekaligus secara resmi membuka konferensi IC-THuSI 2015 ini juga sebuah tambahan dorongan bagi sarjana Muslim (khususnya Indonesia) untuk melanjutkan usaha-usaha ilmiah pengembangan ilmu-ilmu manusia yang dapat mengadopsi dimensi transenden dan spiritual manusia, yang tentunya tak hanya sejalan dengan pandangan-dunia Islam tetapi juga selaras dengan nilai-nilai Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, keadilan sosial).
Demikian laporan singkat secara umum tentang pelaksanaan konferensi IC-THuSI 18-19 Nov. lalu yang dapat saya sampaikan kepada Bapak/Ibu dewan pakar. Segala gagasan, saran dan masukan Bapak/Ibu saya tunggu dan harapkan. Terima kasih banyak atas dukungan Bapak/Ibu selama ini baik melalui keterlibatan langsung dalam konferensi maupun dukungan moral, intelektual dan spiritual (saya menerima banyak harapan dan doa dari Bapak/Ibu yang tidak hadir).
Wassalamu’alaikum wa rahmatulLahi
Husain Heriyanto
Ketua SC IC-THuSI

 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300