Refleksi Aktual Menjelang Konferensi THuSI 18-19 Nov 2015
IC-THuSI untuk Islam Berkeadaban
Husain Heriyanto
Ketua IC-THuSI
Dua serangan terorisme yang berturut-turut terjadi di Beirut dan Paris pekan lalu, yang diduga kuat dilakukan oleh kelompok ISIS, kian mendesak kita untuk berbuat sesuatu yang lebih serius, sistematis, dan komprehensif untuk menanggulangi ekstrimisme yang tidak pernah mengendurkan keberingasan sekaligus angin pesimisme terhadap kemanusiaan dan peradaban. Ya, kekerasan dan terorisme adalah bentuk keputusasaan dan puncak pesimisme terhadap kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan saling menghargai.
Oleh karena itu, kita tidak cukup hanya mengecam dan mengutuk atau bahkan melakukan tindakan represif dan militer, apalagi hanya sporadis dan show-up saja (seperti yang ditunjukkan kerajaan Yordania dan Perancis yang menyerang ISIS sesaat setelah tentara dan rakyat mereka menjadi korban serangan ISIS). Percuma saja Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya di Eropa dan Timur Tengah mengutuk ISIS akan tetapi mereka justru menciptakan infrastruktur kognitif dan psikologis yang membiakkan terorisme di mana-mana.
Tentu saja kita harus mengutuk dan menindak keras pelaku-pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini, akan tetapi realitas menunjukkan bahwa represi militer dan kutukan saja tidak memadai memberantas kekerasan dan terorisme. Karena, akar terorisme terletak pada mindset atau cara pandang tertentu dalam memahami dunia, masyarakat, dan diri manusia itu sendiri. Belum lagi fakta terjadinya fabrikasi terorisme, yaitu munculnya pihak-pihak ketiga – umumnya yang memiliki kekuatan senjata, intelijen dan dolar atau petrodolar – yang memproduksi dan memanfaatkan mindset paham radikal untuk menghancurkan musuh-musuh politik atau geopolitik mereka, yang dikenal sebagai proxy-war. Kenyataan yang harus diakui adalah bahwa komunitas yang paling menderita oleh kebiadaban terorisme selama ini adalah umat Islam, baik secara fisik, psikologis, sosial, ekonomis, politis, moral, maupun budaya. Meskipun demikian, terorisme hakekatnya adalah musuh bersama semua umat manusia lintas agama dan negara.
Karen Armstrong (The Battle for God: A History of Fundamentalism, 2001) menjelaskan bahwa fudamentalisme radikal agama merupakan sebuah respons irasional terhadap sekulerisme dan krisis spiritual dunia modern. Kaum fundamentalis menghadapi situasi yang sulit mereka pahami bagaimana hidup sebagai seorang yang beriman dalam dunia modern dan sebaliknya bagaimana mengakomodasi tantangan-tantangan modern dalam horizon keimanan mereka. Bertali-temali dengan isu-isu sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan global, marjinalisasi, perasaan terasing dari peradaban dunia (the other) maka lahirlah paham fundamentalisme sebagai respons yang paling mudah dan instan.
Armstrong menyatakan bahwa fundamentalisme tidaklah turun dari langit begitu saja dan mencuat ke permukaaan dari kevakuman latar belakang sosial budaya. Ia adalah sebuah modus respons, yang Armstrong sebut sebagai sesuatu yang alamiah bagi setiap komunitas dalam memelihara identitas mereka. Karena itu, kita tidak mungkin bisa menghalangi siapapun di dunia ini memiliki pandangan dunia tertentu. Adalah mustahil melarang anak manusia untuk berpikir, bermimpi, dan bercita-cita atau memiliki pemahaman tertentu tentang dunia, masyarakat, dan sejarah.
Pencetus teori strukturasi, Anthoni Giddens (The Constitution of Society, 1995), mengungkapkan bahwa ruang tindakan para individu dalam dunia yang saling terhubungkan seperti sekarang ini semakin terbuka lebar. Peran individu melalui modus-modus kesadarannya (diskursif, praktis, dan tak sadar) kian menentukan dalam membentuk struktur dan tatanan masyarakat melalui tindakan-tindakan voluntaristik sang individu.
Saya teringat sebuah peristiwa teror di tanah air beberapa waktu lalu. Seseorang yang bernama M. Thoriq marah besar kepada pemerintah Myanmar yang menganiaya Muslim Rohingya dan hal itu mendorongnya untuk melakukan teror. Pola persepsi dan struktur kognitif yang dia miliki mengarahkannya untuk bertindak melalui terorisme. Dalam wasiat yang sempat dia tulis kepada keluarganya, dia menyatakan bahwa kesediannya menjadi ‘pengantin’ adalah sebuah tugas suci yang akan mendapat imbalan surga. Mungkin sebagian anak muda di negeri ini yang tergiring untuk mengadopsi struktur kognitif ala Thoriq tersebut akan memilih cara yang sama.
Nah, sejalan dengan doktrin McLuhan bahwa dunia hari ini adalah sebuah desa global (a global village), maka akan semakin sering peristiwa sejarah yang digerakkan oleh individu-individu yang terpola dalam sebuah jaringan. Itu sebabnya kita sering terkejut menyadari bahwa tetangga kita yang selama ini rukun dan baik- baik saja tiba-tiba menjadi buronan Densus atau menjadi pelaku bom bunuh diri. Dalam dunia online yang sudah saling terjaringkan satu sama lain, seorang anak muda di sebuah pinggiran kota bisa mengakses dengan mudah website-website aliran garis keras dan lalu terpengaruh dan terprovokasi.
Itulah yang dimaksud Giddens bahwa struktur dan tatanan masyarakat bukanlah sebuah entitas yang hadir begitu saja di luar kesadaran individu. Struktur dan tatanan bekerja melalui tindakan pelaku, yaitu individu-individu dengan segenap pola pikir, kerangka penafsiran, persepsi, dan perspektif yang dihayati, dipraktekkan dan dipolakan; terlepas hal itu disadari atau tidak. Hal ini berimplikasi pada kesimpulan bahwa modus-modus kesadaran dan interaksi (diantaranya tindakan komunikasi) merupakan faktor primer sedangkan struktur dan sistem sosial adalah faktor sekunder. Ini memang paradoks era teknostruktur. Ketika dunia kita semakin mampu dideskripsikan sebagai sebuan entitas jaringan melalui infrastruktur teknologi, ekonomi, dan lingkungan, potensi kreativitas pelaku dalam mengkonstitusi struktur dan tatanan juga kian tertantang dan tersingkap.
Konsekuensi praktisnya adalah bahwa kesadaran, signifikansi dan proses mediasi menjadi faktor dominan dalam menata masyarakat. Dalam konteks ini, penumpasan terorisme, pada esensinya, adalah sebuah upaya membangun pola tertib, damai, sejahtera, dan beradab tatanan masyarakat. Karena itu, program deradikalisasi mesti melibatkan gerakan penyadaran yang bekerja pada level-level diskursif (kesadaran reflektif), praktis dan tak sadar (collective consciousness). Gerakan ini harus dilangsungkan secara simultan, terus menerus, dan kreatif sesuai dengan dinamika zaman (jangan kalah kreatif oleh calon teroris).
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kisah M. Thoriq di muka diangkat bukan sama sekali untuk “memaklumi’ latar belakang mengapa dia menjadi teroris. Namun untuk menunjukkan bahwa selugu apapun seseorang, sebagai manusia yang memiliki pikiran, dia pasti memiliki cara berpikir dan mindset atau sistem maknawi tertentu untuk memahami dunia lingkungannya. Nah, selama mindset ini masih mengisi akal pikirannya atau jiwa anak-anak muda lain, maka pelbagai aneka kekerasan dan terorisme akan terus berulang. Ibarat pepatah “gugur satu, tumbuh seribu”, calon-calon teroris terus muncul dengan segala pemicunya selama tanpa perubahan mindset dan cara pandang.
Oleh karena itu, satu-satunya cara deradikalisasi yang langgeng dan juga lebih humanis adalah menggantimindset mereka –terutama para generasi muda- dengan menawarkan mindset yang lain. Kita tidak boleh hanya berhenti pada jargon-jargon bahwa Islam adalah agama rahmatan lil’alamin; Islam di Indonesia adalah Islam Nusantara yang cinta damai, dan seterusnya. Rumusan-rumusan taktis ini memang berguna untuk menyederhanakan pesan agar mudah dipahami, akan tetapi ia menjadi jargon kosong jika tidak diterjemahkan dan ditransformasikan ke dalam kerangka kerja yang membentuk infrastruktur kognitif dan mental umat yang sejalan dengan rumusan-rumusan tersebut.
Program deradikalisasi mesti mampu membuang karakter irasionalitas respons yang Armstrong sebutkan di muka. Hal ini dikerjakan dengan membangun mentalitas rasional. Tidak ada cara lain yang lebih menjanjikan dalam menumpas jaringan terorisme hingga ke akar-akarnya kecuali melalui pengembangan kebudayaan dan tradisi yang menghargai akal sehat, pertimbangan nalar, kecakapan merenung, keterlatihan berpikir panjang, dan kepekaan nurani kemanusiaan universal. Melalui pembudayaan mental rasionalitas itulah, kita membangun fundasi yang di atasnya akan lahir secara alamiah (bukan hal yang dicangkokkan dari luar) sikap kritis, pola pikir terbuka, toleransi, dan perilaku yang proporsional dan penuh pertimbangan
Nah, dalam konteks inilah kehadiran IC-THuSI bisa membantu menyediakan konstruksi mental dan nalar untuk mempersepsi dunia lebih humanis, bermuatan spiritual, dan optimis menatap sejarah. IC-THuSI mendorong para sarjana Muslim untuk melakukan kajian ilmiah dan pengembangan ilmu-ilmu manusia (sosial humaniora) yang lebih mampu memahami persoalan kompleks manusia dalam perspektif yang lebih luas dan dalam serta memberi inspirasi yang lebih mencerahkan tentang manusia, masyarakat dan sejarah.
Beberapa paper konferensi THuSI 18-19 Nov. mendatang yang terkait dengan apa yang disebutkan di muka bisa disebutkan di sini. Di hari pertama, Dr. Edward Omar Moad (Qatar University) mempresentasikan paper berjudul “Historicism and Impossibility of Impossible State (ISIS?)”, yang menguji kemungkinan berdirinya konsep negara Islamic State model ISIS berdasarkan analisis sejarah dan logis. Di hari kedua, Dr. Haidar Bagir dengan paper berjudul “Islam Nusantara: An Irfani Perspective on the Relation between Islam and Local Culture” mencoba mengisi istilah Islam Nusantara dari perspktif tasawwuf dalam melihat hubungan alamiah antara Islam dan budaya lokal. Jika saja isu hubungan agama dan budaya lokal dapat dijelaskan, maka akan banyak ketegangan sosial-budaya yang akan berkurang. Demikian pula paper Dr. Eric Winkel yang berjudul “Ibn ‘Arabi’s Love and Socio-cultural Implications” akan mengupas pengertian cinta dalam irfan Ibn ‘Arabi beserta implikasi sosial-budayanya.
Selamat ketemu pada konferensi 18-19 November 2015, esok lusa ..
