Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Mengenang Jasa Pahlawan Kemerdekaan: Hikayat 2 Banteng :Soeroso dan Muammad Ali, Cianjur.

$
0
0

Hikayat Dua Banteng

Kisah dua petarung republik dari Lasykar BBRI yang nama mereka diabadikan untuk dua jalan di pusat kota Cianjur.

Ahmad Yanuana Samantho: “RP Soeroso (Banteng Soeroso) yang namanya diabadikan jadi nama jalan Suroso di Cianjur, adalah pahlawan kemerdekaan, anggota TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Makamnya kini ada di Tamam Makam Pahlawan Dreded, B0ndongan di Bogor. Dia adalah adik nenek saya. Ayahnya bernama Raden Soemarsono, yang makamnya di halaman rumahnya di Gang Banteng Soeroso, Cibalagung, Ciomas Kota Bogor. Ketika masih kecil saya sering lihat Lukisan pinsil wajah Kakek Banteng Soeroso dipajang di Rumah nenek (Eyang Uti) saya dan di rumah mbah Buyut Sumarsono di Cibalagung Bogor. Sekarang entah kemana lukisan foto beliau tersebut. Adakah anggota keluarga lain yang masih menyimpannya?

Banteng Soeroso

JALAN Muhamad Ali di Cianjur itu nyaris tiap hari dipenuhi lalu lalang khalayak. Dari pedagang kaki lima hingga anak-anak sekolahan. Di pinggir-pinggirnya deretan sepeda motor terparkir bersanding dengan angkot-angkot berwarna merah yang berhenti seenaknya. Menurut Helmy Adam,  kendati  merupakan jantung kota, kawasan  ini memang termasuk area macet . “ Terlebih pada malam di hari-hari libur, kawasan ini sangat padat sekali, “ ujar lelaki kelahiran Cianjur 30 tahun lalu itu.

Menurut Mulyadi (75), sekitar 65 tahun lalu kawasan tersebut tentu saja tak seramai sekarang. Banyak sudut kota yang kini menjadi bangunan, dulunya adalah hamparan tanah kosong. Toko-toko (sebagian besar dikelola oleh orang-orang Tionghoa) pun jumlahnya masih bisa dihitung, apalagi kendaraan yang lalu lalang. “ Itu juga kebanyakan sado (sejenis delman),” ujar sesepuh Cianjur tersebut.

Bahkan begitu lenggangnya, pada sekitar tahun 1946-1947, anak-anak muda dari Lasykar Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) cabang Cianjur selalu menggunakan kawasan itu sebagai tempat untuk latihan baris berbaris. BBRI sendiri sejatinya adalah organ perjuangan nasional yang didirikan oleh dr.Muwardi di Jakarta pada 1946 dan berpindah ke Solo usai Jakarta diduduki oleh Belanda. Organ yang memiliki ideologi sepaham dengan garis perjuangan Tan Malaka tersebut lantas membentuk cabang di banyak kota, termasuk Cianjur.

Kecil tapi Bernyali Besar

Di Cianjur, BBRI dipimpin oleh Muhamad Ali (namanya kemudian disematkan kepada nama jalan tempat ia secara rutin melatih baris berbaris para pemuda BBRI Cianjur). Sebelum berangkat latihan baris berbaris, mereka biasanya berkumpul dulu di sebuah rumah yang  terletak di wilayah Pasar Suuk. Kini wilayah yang masih menyisakan beberapa batang pohon mahoni tua itu dinamai sebagai Jalan Barisan Banteng (Barba).

Sepengetahuan Mulyadi, Muhamad Ali sendiri merupakan lelaki kelahiran Kampung Sukasari di Ciranjang (terletak di luar wilayah Cianjur menuju Bandung). Karena itu, tidak aneh jika saat ini, di Kecamatan Ciranjang terdapat juga jalur jalan yang diberi nama Jalan Muhamad Ali.

Mulyadi  mengenang sosok Muhamad Ali sebagai pemuda yang memiliki tubuh kecil dan berjalan agak terpincang-pincang. Itu disebabkan karena ia mempunyai cacat di kaki kirinya( bisa jadi akibat terkena polio). Namun keberanian Muhamad Ali melebihi badannya yang kecil. Karena itu ia disegani kawan-kawannya dan ditakuti oleh lawan-lawannya terutama militer Belanda. “ Ia diibaratkan banteng-nya Cianjur-lah saat itu…” ujar Mulyadi.

Sayang, perjuangan belum selesai Muhamad Ali keburu meninggal. Belum jelas benar, apakah ia meninggal karena ditembak militer Belanda atau karena sakit.

Banteng Kedua 

Sepeninggal Muhamad Ali, BBRI diserahkan kepada pemuda lain bernama Soeroso. Ia merupakan “banteng kedua” di Lasykar BBRI. Mulyadi menyatakan, sejatinya pemuda Soeroso bukanlah asli berasal dari Cianjur. Ia merupakan warga Jawa Tengah (belum diketahui berasal dari kota mana) yang hijrah ke Cianjur. Sosoknya dikenal sebagai pemuda pemberani dan kharismatik, sehingga ia diangkat menjadi pemimpin perlawanan terhadap militer Belanda oleh anak-anak muda asli Cianjur.

Dalam buku  Pertempuran Konvoy Sukabumi-Cianjur 1945-1946, Kolonel (Purn) Eddie Soekardi menyebut nama Soeroso sebagai pimpinan gerilyawan kota yang berhasil mengganggu pergerakan Bataliyon 3/3 Gurkha Rifles (suatu kesatuan elit militer Inggris yang diperkuat orang-orang Gurkha ) dari Bandung ke Sukabumi.

Bersama gerilyawan-gerilyawan lain dari  Yon 3 Resimen III TRI, Lasykar Hizbullah dan Sabilillah, Lasykar BBRI pimpinan Soeroso melakukan penyerangan lewat aksi hit and run terhadap Yon 3/3 Gurkha Rifles yang diperkuat oleh tank Sherman, panser wagon, brencarrier dan truk-truk berisi pasukan. Kendati hanya menggunakan molotov cocktail (bom sederhana yang terbuat dari botol yang diisi bensin dan disertai sumbu) dan beberapa pucuk senjata saja, mereka melakukan serangan terstruktur dari sudut-sudut pertokoan dan lorong-lorong rumah yang berderet sepanjang pusat kota Cianjur.

“ Bagi para serdadu Gurkha Rifles, situasi itu cukup membingungkan. Mereka hanya bisa bertahan dan membalas  serangan tersebut sekenanya dari balik kendaran-kendaraan tempur mereka… ” kata sesepuh Divisi Siliwangi yang meninggal pada September lalu itu.

Ketidakberdayaan salah satu satuan elit militer Inggris dalam Perang Dunia II sempat dicatat oleh sumber Inggris sendiri. Dalam The Fighting Cock: The Story of The 23rd Indian Division, Kolonel A.J.F Doulton memuji pergerakan taktis gerilyawan Indonesia yang  sempat membuat para serdadu Gurkha  panik dan terpukul. “ Ini menjadi suatu bukti, orang-orang Indonesia mengalami kemajuan dan semakin militan…” tulis Doulton.

Sang Banteng Perlaya

Tahun 1948, akibat Perjanjian Renville, Divisi Siliwangi ditarik dari Jawa Barat menuju kantong-kantong baru mereka di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun tidak semua kekuatan republik “patuh” terhadap kesepakatan tersebut. Secara sengaja, sebagian dari mereka memutuskan untuk bertahan di Jawa Barat dan tetap melakukan perlawanan terhadap pendudukan Belanda. Salah satu kekuatan republik yang bertahan dan tetap menjalankan perlawanan tersebut adalah Lasykar BBRI pimpinan Soeroso.

Ditinggalkannya Cianjur oleh sebagian besar unsur-unsur pasukan Divisi Siliwangi tidak menjadikan perlawanan di kota tersebut menjadi lemah. Alih-alih menghentikan perlawanan, pasca “kosongnya” Cianjur dari pasukan Siliwangi, serangan dari kekuatan-kekuatan republik yang tertinggal malah semakin militan dan radikal. Menurut salah seorang mantan gerilyawan Indonesia bernama Yusup Supardi (90), sisa-sisa pasukan republik  memilih basis perlawanan mereka dari pinggir-pinggir kota.

“ Saat itu kami membuat suatu kesepakatan bahwa wilayah Cianjur kota adalah daerah pendudukan dan harus diserang,”ungkap mantan anggota Yon Kala Hitam Divisi Siliwangi itu.

Dan memang, pihak NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) di Cianjur saat itu dibuat tidak tenang dengan berbagai upaya penyergapan dan penyerangan yang terjadi hampir tiap hari. Soeroso dan pasukannya adalah salah satu kekuatan republik yang rajin “menyambangi” wilayah kota Cianjur. Dengan modal senjata seadanya, hampir tiap malam, mereka melakukan aksi teror terhadap asrama militer Belanda yang berada di wilayah Kampung Tangsi (sekarang menjadi  Gang Pangrango) dan induk pasukan  mereka yang bermarkas di Joglo (sekarang menjadi gedung Komando Distrik Militer 0608 Cianjur, Toserba Slamet, gedung Markas Corps Polisi Militer).

Merasa terganggu dengan serangan-serangan pasukan Soeroso ini, maka militer Belanda kemudian melancarkan suatu operasi intelijen untuk menjebak “Banteng Cianjur” tersebut. Maka disebarlah telik sandi mereka ke pinggiran kota dan pelosok desa. Setelah semua informasi terkumpul, intelijen militer Belanda lantas membuat  skenario penangkapan. Singkat cerita, “diutuslah” oleh militer Belanda seorang telik sandi ( yang berpura-pura sebagai pejuang) ke markas BBRI.  Untuk membahas strategi perjuangan selanjutnya, sang telik sandi itu mengundang Soeroso  untuk menemui sekumpulan gerilyawan kota di wilayah Satoe Doeit (sekarang masuk dalam wilayah Jalan Soeroso). Tanpa kecurigaan, Soeroso menyanggupi undangan tersebut dan datang ke Satoe Doeit.

Saat asyik menikmati santap siang di sebuah warung makan, tiba-tiba tanpa dinyana oleh Soeroso, satu peleton KNIL diam-diam mengepung tempat tersebut. Soeroso yang sadar dirinya ada dalam bahaya lantas melakukan perlawanan, dan berhasil lolos dari penyergapan militer Belanda.  Ia kemudian berlari ke arah barat.

Sayang, begitu sampai di depan Wisma Tedja (sekarang berada di Jalan Ir. H. Djuanda) ia sudah terlanjur masuk dalam incaran teleskop senjata seorang sniper militer Belanda. “Banteng Kedua” itu lantas terjengkang dihantam peluru musuh dan perlaya seketika. Jasadnya  kemudian dibawa oleh penduduk setempat dan dimakamkan di kawasan Panembong. (hendijo)

Keterangan foto:

1. Jalan Muhamad Ali, dulu dijadikan tempat latihan Lasykar Banteng Cianjur (foto:hendijo)

2. Jalan Suroso, diambil dari nama pejuang yang ditembak sniper militer Belanda (foto:hendijo)

3. Wisma Tedja, tempat pejuang Suroso gugur ditembak mati oleh militer Belanda (foto:hendijo)

Sumber: https://www.facebook.com/notes/hendi-jo/hikayat-dua-banteng/10152796051416321

Banteng Soeroso:

Nama Lelaki Yang Gugur Oleh Sniper Belanda Di Cianjur, Jalan Suroso dikenal sebagai kawasan super macet. Selain di sana terdapat bekas kantor Polres Cianjur , juga di ujung jalan ini lalu lintas dipadatkan oleh jejeran angkutan kota, sado (sejenis bendi), becak dan ojek yang ngetem di depan Pasar Induk.

Kendati hanya sepelemparan batu jaraknya dari pusat kota, namun tak ada satu batang hidung polisi lalu lintas pun yang “berkenan” untuk hadir mengamankan situasi kacau balau tersebut. Mereka kesannya acuh tak acuh saja (kalau tidak mau dikatakan tidak peduli sama sekali).

Jauh ke belakang, tepatnya 68 tahun lalu di suatu sudut jalan ini, Soeroso terjengkang dihantam sebutir peluru dari senjata seorang penembak runduk militer Belanda. Lelaki kelahiran Jawa Tengah itu lantas tewas seketika dan mayatnya diamankan sekaligus dimakamkan oleh kawan-kawannya di wilayah Panembong.

Soeroso adalah pengikut loyal Tan Malaka. Karena loyalitasnya itu, ia kemudian diangkat sebagai pimpinan Lasykar Barisan Banteng wilayah Cianjur, menyusul kematian mendadak sang pemimpin terdahulu yang bernama Mochamad Ali (nama ini juga telah diabadikan sebagai salah satu nama jalan yang membelah pusat kota Cianjur) .

Usai dipimpin Soeroso, Barisan Banteng (di Cianjur ada kawasan namanya Jalan Barba=Barisan Banteng) menjadi lebih militan dan radikal. Itu dibuktikan dengan seringnya militer Belanda yang bermarkas di wilayah Joglo (sekarang menjadi Toserba Slamet, Markas Polisi Militer dan Kodim 0608) menjadi bulan-bulanan mereka hampir setiap malam. Untuk mengantisipasi situasi supaya tidak semakin kacau, maka militer Belanda kemudian mengadakan operasi intelijen untuk menjebak “jawara Barba Cianjur” tersebut.

Maka dibuatlah skenario: untuk membahas perjuangan selanjutnya, Soeroso diundang oleh seseorang (dicurigai yang mengundang ini adalah telik sandi NICA) ke wilayah Satoe Doeit (sekarang masuk dalam wilayah Jalan Suroso). Saat asyik menikmati santap siang di sebuah rumah makan, tiba-tiba satu peleton KNIL menyergap sekaligus mengepung Soeroso.

Tanpa banyak bicara, ia lantas melawan dan berhasil meloloskan diri dari kepungan militer Belanda tersebut. Sayang, begitu sampai di pertigaan Ampera (sekarang tepat di depan Pasar Induk dan Studio Radio Sturada), ia sudah terlanjur masuk dalam incaran teleskop senjata seorang sniper…(hendijo) [Diposkan by Samuel Tirta]

Sumber: http://garudamiliter.blogspot.com/2014/11/nama-lelaki-yang-gugur-oleh-sniper.html

Mati Tertembus Penembak Jitu Belanda, Nama Soeroso Diabadikan Nama Jalan di Cianjur

Jalan Suroso merupakan kawasan super macet di Cianjur pada jam-jam sibuk. Maklumlah, di jalan ini terdapat Pasar Induk yang menjadi tempat beraktivitas utama sehari-hari masyarakat di sana. Hal ini diperparah dengan jejeran angkutan kota, sado, becak, hingga ojek yang ngetem di Pasar Induk. Selain itu, tidak adanya petugas kepolisian yang melancarkan lalu lintas juga menambah buruk lalu lintas di jalan ini.

Tapi bukan itu yang mau saya ceritakan dalam kisah sejarah lokal. Bagi mahasiswa jurusan sejarah, tentu tahu apa yang saya maksud dengan sejarah lokal ini. Sejarah lokal adalah sejarah Indonesia yang tidak masuk dalam tabulasi periodisasi sejarah nasional, karena sifat kedaerahannya – kurang lebih begitulah maksudnya. Dalam kesempatan kali ini, saya ingin bercerita tentang sejarah kenapa jalan ini bisa dinamai Jalan Suroso ini?

Soeroso, pahlawan Indonesia, yang ditembak penembak jitu Belanda dijadikan nama jalan di Cianjur.
Foto diambil dari Garudamiliter.

Ada yang tahu? Jadi sekira 68 tahun silam, di salah satu sudut jalan ini, seorang Indonesia mati ditembak oleh penembak jitu serdadu Belanda. Nama Indonesian ini adalah Soeroso (ejaan sekarang Suroso). Siapa Soeroso ini?

Soeroso merupakan pengikut setia Tan Malaka. Loyalitas ini membuatnya diangkat sebagai pemimpin Lasykar Barisan Banteng kawasan Cianjur, terlebih pemimpin sebelumnya Mochamad Ali (juga diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Cianjur) meninggal mendadak. Masa kepemimpinannya, ia menggerakkan Lasykar Barisan Banteng dengan lebih radikal dan militan. Ini dibuktikan dengan makin kerapnya markas militer Belanda di kawasan Joglo (kini Toserba Slamet, Markas PM, dan Kodim 0608) dijadikan bulan-bulanan hampir tiap malam.

Belanda mengambil langkah antisipasi supaya keadaan tidak makin kacau dengan menjebak pria yang dijuluki Jawara Barba Cianjur ini. Skenario yang dibuat adalah mengundang Soeroso ke wilayah Satoe Doeit oleh seorang Indonesia pengkhianat yang diduga antek NICA. Di tengah-tengah makan siangnya, tempat pertemuan ini digerebek satu peleton tentara NICA. Tidak berbasa-basi, Soeroso melawan untuk meloloskan diri dari kepungan militer Belanda.

Dia berhasil kabur sampai di pertigaan Ampera (kini deipan persis Pasar Induk dan Studio Radio Sturada), ketika seorang penembak jitu Belanda tengah mengekernya dari balik teleskop senjata snipernya. Dan dorr… Soeroso terjengkang ke tanah. Mati seketika ia! Teman-temannya langsung mengamankan jasad pria kelahiran Jawa Tengah itu untuk dimakamkan di Panembong.

Artikel Militer Indonesia ini ditulis ulang dari artikel Garuda Militer.

Museum Perjuangan Bogor

Gedung  ini didirikan pada tahun 1879, oleh pengusaha Belanda bernama Wilhem Gustaf Wissner. Di gedung ini pernah digunakan sebagai tempat pergerakan nasional pada tahun1935,  pernah digunakan sebagai gudang untuk menyimpan barang-barang milik Belanda, pernah juga digunakan untuk menyambut dan mempertahankan kemerdekaan RI pada tahun 1945. Kemudian pada tahun 1958 dihibahkan oleh pemiliknya kepada Umar Bin Usman Albawahab menjadi Museum Perjuangan Bogor.

Museum ini didirikan oleh para pejuang Bogor  untuk mewariskan semangat juang serta nilai-nilai 45 kepada generasi saat.

Di gedung ini, bukti-bukti perjuangan pejuang kemerdekaan tersimpan rapi di antaranya: berbagai koleksi senjata yang pernah digunakan untuk melawan penjajah, replika keheroikan  pertempuran di Bogor antara tahun 1945 – 1950, dan ada kata-kata penggugah,  di salah satu batu nisan, yang menjadi symbol  kebangkitan rasa nasionalisme.

“Achmad Daniel dan Banteng Soeroso yang gugur di Cibeber, Aminta, Mochtar dan Soemirat gugur di Karangtengah, Bantamer gugur di Cipelang, Tahromi gugur di Gunungpuyuh, Atje gugur/hilang di Kalibata dan lain-lain tak dikenal. Dari rekan-rekanmu eks siswa SMP/Tjoe Gakko Bogor, November 1987”

Lokasi Museum

Jalan Merdeka No 56, Bogor, Jawa Barat, Telp 0251-9135879

Jadwal Kunjungan

Sabtu s.d. Kamis, pkl 09.00 – 14.00

Harga Tiket

Dewasa: Rp 2.000,-  Anak-anak: Rp 1.000,-

Transcript of “Musium perjoeangan bogorgg”

  1. 1. MUSIUM PERJOEANGAN BOGORIKHSAN MA FAQIHM.G.GHAZALI IRVANFADEL ADITYA RISTIAQFAIZSYAHREZARIZKI
  2. 2. MENU LATAR PROGRAM FASILITASBELAKANG MUSIUM HARGA TIKETLOKASI TRANSPORTASIMUSIUM ORGANISASI JADWAL KOLEKSI KESIMPULAN KUNJUNGAN
  3. 3. Latar Belakang dan Sejarah LATAR Museum Perjuangan Bogor didirikan atas hasil musyawarah para tokoh pejuang Bogor dengan maksud untuk mewariskan semangat dan jiwa juang serta nilai-nila 45 kepada generasi sekarang dan yang akan datang. Gedung ini dibangun pada tahun 1879 milik seorang pengusaha Belanda yang bernama Wilhelm Gustaf Wissner. Gedung ini diantaranya digunakan sebagai tempat pergerakan nasional pada tahun 1935, tahun 1942 sebagai gudang oleh tentara Jepang untuk menyimpan barang-barang milik intermiran Belanda, dan juga digunakan untuk menyambut dan mempertahankan kemerdekaan RI pada tahun 1945. Pada tanggal 20 Mei 1958 gedung ini dihibahkan dari pemiliknya yang terakhir yaitu Umar Bin Usman Albawahab menjadi Museum Perjuangan Bogor. Museum Perjoangan Bogor sebenarnya memiliki makna khusus bagi para pejuang yang pernah membela kemerdekaan 1945 silam. Bukti-bukti perjuangan pejuang kemerdekaan tersimpan rapi di Museum Perjoangan Bogor. “Pahlawan terbaring bersimpah darah, sunyi tanpa sepatah kata, hening tiada keluh dan kesah untuk nusa bangsa dan negara. Dipersembahkan kepada para pahlawan muda remaja yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Para siswa SMP/Tjoe Gakko Bogor.
  4. 4. Achmad Daniel dan Banteng Soeroso yang gugur diCibeber, Aminta, Mochtar dan Soemirat gugur diKarangtengah, Bantamer gugur di Cipelang, Tahromi gugur diGunungpuyuh, Atje gugur/hilang di Kalibata dan lain-lain yangtak dikenal. Dari rekan-rekanmu eks siswa SMP/Tjoe GakkoBogor, November 1987”Kata-kata di atas tertanam kuat di salah satu batu nisan yangberdiri tegak di halaman depan Museum Perjoangan Bogor danmenjadi saksi bisu kekokohan pejuang dari Kota Hujan saatmerebut kemerdekaan serta mengusir penjajah dari bumiPajajaran.Bahkan, kata-kata itu menjadi simbol rasa nasionalisme bagibeberapa orang yang pernah ikut berjuang merebutkemerdekaan. Museum Perjoangan pun menjadi simbolkebangkitan rasa nasionalisme bagi siapa pun yang mencobadatang ke museum di Jalan Merdeka ini.
  5. 5. TIKETHARGA Dewasa =Rp.2.000,00 Anak-anak =Rp.1.000,00 Rombongan =Discount 20 %
  6. 6. TRANPORTASIJarak tempuh dari Bandar Udara : 70 kmJarak tempuh dari pelabuhan : 50 kmJarak tempuh dari terminal : 7 km (terminal bisBogor, Baranangsiang)Jarak dari stasiun KA : 3 km (stasiun KA Bogor)
  7. 7. LOKASI MUSEUMJalan Merdeka No.56, Bogor, Jawa BaratTelepon : 0251- 9135879Faks : 0251- 326377
  8. 8. FASILITASRuang pameran tetapRuang auditoriumRuang Penyimpanan koleksiRuang administrasiToiletPeralatan dokumentasi
  9. 9. ORGANISASIJumlah Pegawai 8 orang terdiri dari:Kurator = 1 orangKonservator = 1 orangPreparator = 1 orangBimbingan edukasi = 1 orangTenaga fungsional = 1 orangBagian administrasi = 1 orangBagian keamanan = 1 orangCleaning service = 1 orang,
  10. 10. PROGRAM MUSEUMBimbinganPameran kelilingWorkshopSeminar
  11. 11. KOLEKSIBerbagai koleksi mata uang, senjata, baik tradisionalmaupun modern yang pernah digunakan untukbertempur melawan penjajah, tersimpan rapi danmenjadi koleksi khusus di museum yang diresmikan10 November 1957 oleh Komandan Korem061/Suryakancana Letkol Isak Juarsa.Tak hanya koleksi senjata dari berbagai ukuran yangmasih terawat. Berbagai replika keheroikanberagam pertempuran yang pernah terjadi diwilayah Bogor kurun waktu 1945-1950 jugatersimpan rapi di museum tersebut.
  12. 12. JADWAL KUNJUNGANSabtu s.d. Kamis, Pukul 09.00-14.00
  13. 13. KESIMPULANDENGAN KUNJUNGAN KE MUSIUM KITA BISATAHU BAGAIMANA PERJUANAGN PARAPAHLAWAN YANG TELH GUGUR DALAMMEMPERJUANGKAN BANGSA INI

Hikayat Dua Banteng

Hikayat Dua Banteng

by Januari 7, 2015

JALAN MUHAMAD ALI. Dulu dijadikan tempat latihan Lasykar Banteng Cianjur (foto:hendijo)

Kisah dua petarung republik dari Lasykar BBRI yang nama mereka diabadikan untuk dua jalan di pusat kota Cianjur

JALAN Muhamad Ali di Cianjur itu nyaris tiap hari dipenuhi lalu lalang khalayak. Dari pedagang kaki lima hingga anak-anak sekolahan. Di pinggir-pinggirnya deretan sepeda motor terparkir bersanding dengan angkot-angkot berwarna merah yang berhenti seenaknya. Menurut Helmy Adam, kendati merupakan jantung kota, kawasan ini memang termasuk area macet . “ Terlebih pada malam di hari-hari libur, kawasan ini sangat padat sekali, “ ujar lelaki kelahiran Cianjur 30 tahun lalu itu.

Menurut Mulyadi (75), sekitar 65 tahun lalu kawasan tersebut tentu saja tak seramai sekarang. Banyak sudut kota yang kini menjadi bangunan, dulunya adalah hamparan tanah kosong. Toko-toko (sebagian besar dikelola oleh orang-orang Tionghoa) pun jumlahnya masih bisa dihitung, apalagi kendaraan yang lalu lalang. “ Itu juga kebanyakan sado (sejenis delman),” ujar sesepuh Cianjur tersebut.

Bahkan begitu lenggangnya, pada sekitar tahun 1946-1947, anak-anak muda dari Lasykar Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) cabang Cianjur selalu menggunakan kawasan itu sebagai tempat untuk latihan baris berbaris. BBRI sendiri sejatinya adalah organ perjuangan nasional yang didirikan oleh dr.Muwardi di Jakarta pada 1946 dan berpindah ke Solo usai Jakarta diduduki oleh Belanda. Organ yang memiliki ideologi sepaham dengan garis perjuangan Tan Malaka tersebut lantas membentuk cabang di banyak kota, termasuk Cianjur.

Kecil tapi Bernyali Besar

Di Cianjur, BBRI dipimpin oleh Muhamad Ali (namanya kemudian disematkan kepada nama jalan tempat ia secara rutin melatih baris berbaris para pemuda BBRI Cianjur). Sebelum berangkat latihan baris berbaris, mereka biasanya berkumpul dulu di sebuah rumah yang terletak di wilayah Pasar Suuk. Kini wilayah yang masih menyisakan beberapa batang pohon mahoni tua itu dinamai sebagai Jalan Barisan Banteng (Barba).

Sepengetahuan Mulyadi, Muhamad Ali sendiri merupakan lelaki kelahiran Kampung Sukasari di Ciranjang (terletak di luar wilayah Cianjur menuju Bandung). Karena itu, tidak aneh jika saat ini, di Kecamatan Ciranjang terdapat juga jalur jalan yang diberi nama Jalan Muhamad Ali.

Mulyadi mengenang sosok Muhamad Ali sebagai pemuda yang memiliki tubuh kecil dan berjalan agak terpincang-pincang. Itu disebabkan karena ia mempunyai cacat di kaki kirinya( bisa jadi akibat terkena polio). Namun keberanian Muhamad Ali melebihi badannya yang kecil. Karena itu ia disegani kawan-kawannya dan ditakuti oleh lawan-lawannya terutama militer Belanda. “ Ia diibaratkan banteng-nya Cianjur-lah saat itu…” ujar Mulyadi.

Sayang, perjuangan belum selesai Muhamad Ali keburu meninggal. Belum jelas benar, apakah ia meninggal karena ditembak militer Belanda atau karena sakit.

Banteng Kedua

Sepeninggal Muhamad Ali, BBRI diserahkan kepada pemuda lain bernama Soeroso. Ia merupakan “banteng kedua” di Lasykar BBRI. Mulyadi menyatakan, sejatinya pemuda Soeroso bukanlah asli berasal dari Cianjur. Ia merupakan warga Jawa Tengah (belum diketahui berasal dari kota mana) yang hijrah ke Cianjur. Sosoknya dikenal sebagai pemuda pemberani dan kharismatik, sehingga ia diangkat menjadi pemimpin perlawanan terhadap militer Belanda oleh anak-anak muda asli Cianjur.

Dalam buku Pertempuran Konvoy Sukabumi-Cianjur 1945-1946, Kolonel (Purn) Eddie Soekardi menyebut nama Soeroso sebagai pimpinan gerilyawan kota yang berhasil mengganggu pergerakan Bataliyon 3/3 Gurkha Rifles (suatu kesatuan elit militer Inggris yang diperkuat orang-orang Gurkha ) dari Bandung ke Sukabumi.

JALAN SUROSO. Diambil dari nama pejuang yang ditembak sniper militer Belanda (foto:hendijo)

Bersama gerilyawan-gerilyawan lain dari Yon 3 Resimen III TRI, Lasykar Hizbullah dan Sabilillah, Lasykar BBRI pimpinan Soeroso melakukan penyerangan lewat aksi hit and run terhadap Yon 3/3 Gurkha Rifles yang diperkuat oleh tank Sherman, panser wagon, brencarrier dan truk-truk berisi pasukan. Kendati hanya menggunakan molotov cocktail (bom sederhana yang terbuat dari botol yang diisi bensin dan disertai sumbu) dan beberapa pucuk senjata saja, mereka melakukan serangan terstruktur dari sudut-sudut pertokoan dan lorong-lorong rumah yang berderet sepanjang pusat kota Cianjur.

“ Bagi para serdadu Gurkha Rifles, situasi itu cukup membingungkan. Mereka hanya bisa bertahan dan membalas serangan tersebut sekenanya dari balik kendaran-kendaraan tempur mereka… ” kata sesepuh Divisi Siliwangi yang meninggal pada September lalu itu.

Ketidakberdayaan salah satu satuan elit militer Inggris dalam Perang Dunia II sempat dicatat oleh sumber Inggris sendiri. Dalam The Fighting Cock: The Story of The 23rd Indian Division, Kolonel A.J.F Doulton memuji pergerakan taktis gerilyawan Indonesia yang sempat membuat para serdadu Gurkha panik dan terpukul. “ Ini menjadi suatu bukti, orang-orang Indonesia mengalami kemajuan dan semakin militan…” tulis Doulton.

Sang Banteng Perlaya

Tahun 1948, akibat Perjanjian Renville, Divisi Siliwangi ditarik dari Jawa Barat menuju kantong-kantong baru mereka di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun tidak semua kekuatan republik “patuh” terhadap kesepakatan tersebut. Secara sengaja, sebagian dari mereka memutuskan untuk bertahan di Jawa Barat dan tetap melakukan perlawanan terhadap pendudukan Belanda. Salah satu kekuatan republik yang bertahan dan tetap menjalankan perlawanan tersebut adalah Lasykar BBRI pimpinan Soeroso.

WISMA TEDJA. Tempat pejuang Suroso gugur ditembak mati oleh militer Belanda (foto:hendijo)

Ditinggalkannya Cianjur oleh sebagian besar unsur-unsur pasukan Divisi Siliwangi tidak menjadikan perlawanan di kota tersebut menjadi lemah. Alih-alih menghentikan perlawanan, pasca “kosongnya” Cianjur dari pasukan Siliwangi, serangan dari kekuatan-kekuatan republik yang tertinggal malah semakin militan dan radikal. Menurut salah seorang mantan gerilyawan Indonesia bernama Yusup Supardi (90), sisa-sisa pasukan republik memilih basis perlawanan mereka dari pinggir-pinggir kota.

“ Saat itu kami membuat suatu kesepakatan bahwa wilayah Cianjur kota adalah daerah pendudukan dan harus diserang,”ungkap mantan anggota Yon Kala Hitam Divisi Siliwangi itu.

Dan memang, pihak NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) di Cianjur saat itu dibuat tidak tenang dengan berbagai upaya penyergapan dan penyerangan yang terjadi hampir tiap hari. Soeroso dan pasukannya adalah salah satu kekuatan republik yang rajin “menyambangi” wilayah kota Cianjur. Dengan modal senjata seadanya, hampir tiap malam, mereka melakukan aksi teror terhadap asrama militer Belanda yang berada di wilayah Kampung Tangsi (sekarang menjadi Gang Pangrango) dan induk pasukan mereka yang bermarkas di Joglo (sekarang menjadi gedung Komando Distrik Militer 0608 Cianjur, Toserba Slamet, gedung Markas Corps Polisi Militer).

Merasa terganggu dengan serangan-serangan pasukan Soeroso ini, maka militer Belanda kemudian melancarkan suatu operasi intelijen untuk menjebak “Banteng Cianjur” tersebut. Maka disebarlah telik sandi mereka ke pinggiran kota dan pelosok desa. Setelah semua informasi terkumpul, intelijen militer Belanda lantas membuat skenario penangkapan. Singkat cerita, “diutuslah” oleh militer Belanda seorang telik sandi ( yang berpura-pura sebagai pejuang) ke markas BBRI. Untuk membahas strategi perjuangan selanjutnya, sang telik sandi itu mengundang Soeroso untuk menemui sekumpulan gerilyawan kota di wilayah Satoe Doeit (sekarang masuk dalam wilayah Jalan Soeroso). Tanpa kecurigaan, Soeroso ditemani seorang kawannya bernama Slamet menyanggupi undangan tersebut dan datang ke Satoe Doeit.

Saat asyik menikmati santap siang di sebuah warung makan, tiba-tiba tanpa dinyana oleh Soeroso dan Slamet, satu peleton KNIL diam-diam mengepung tempat tersebut.  Sadar ada dalam bahaya, mereka lantas melakukan perlawanan. Namun karena kekuatan musuh terlampau besar, Soroso dan Slamet memutuskan untuk mundur. Dalam gerakan mundur inilah sebutir peluru menembus tubuh Slamet dan menyebabkan ia tewas di simpangan jalan Satoe Doeit (sekarang menjadi Jalan Slamet). Sementara itu Soeroso berhasil lolos dari penyergapan militer Belanda. Ia kemudian berlari ke arah barat.

Sayang, begitu sampai di depan Wisma Tedja (sekarang berada di Jalan Ir. H. Djuanda) ia sudah terlanjur masuk dalam incaran teleskop senjata seorang sniper militer Belanda. “Banteng Kedua” itu lantas terjengkang dihantam peluru musuh dan perlaya seketika. Jasadnya kemudian dibawa oleh penduduk setempat dan dimakamkan di kawasan Panembong. (hendijo)

Sumber: http://arsipindonesia.com/hikayat-nusantara/orde-baru/hikayat-dua-banteng/



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300