Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

TADARUS PUISI DAN BUDAYA (69 TAHUN ) ABDUL HADI W.M.: KEMBALI KE AKAR, KEMBALI KE SUMBER

$
0
0
Foto Shiny Ane El'poesya.

TADARUS PUISI DAN BUDAYA (69 TAHUN ) ABDUL HADI W.M.: KEMBALI KE AKAR, KEMBALI KE SUMBER: Sebuah Pengantar Kuratorial Acara

Oleh: Shiny.ane (Agung Sholihin)

Ada tiga hal yang mendasari acara ini: Pertama, adalah argumen historis-hermeneutis yang berkaitan dengan pertanyaan: Bagaimanakah acara ini mesti diletakkan dalam konteks topik pembicaraan (yang) Nasional yang tepat? Yang Kedua, adalah argumen ideologis yang terkait dengan kepentingan persebaran wacana yang hendak diusung dalam tema besar acara ini: “Tadarus Puisi dan Budaya: Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber”. Ketiga, adalah argumen imperatif yang terkait dengan kesadaran genealogis dari kami semua—Mahasiswa pegiat sastra dan budaya Universitas Paramadina—akan peringatan 69 tahun kelahiran Prof. Abdul Hadi W.M., salah satu profesor sekaligus guru besar di kampus kami yang paling dihormati.

Belakangan, dunia kesusastraan Indonesia sempat diramaikan dengan diterbitkannya sebuah buku yang berjudul ”33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” yang dirilis oleh Tim 8: Jamal D. Rahman, Dkk.
Pro-Kontra pun segera mengikuti perjalanan awal buku tersebut.

Tinjauan datang dari berbagai kalangan dan pengamat sastra. Baik yang diarahkan mulai dari pemberian judul yang dianggap begitu “berat” bagi sebuah buku sastra yang wajar, jumlah sastrawan, kekurang validan tolak ukur yang dipakai dalam proses seleksi untuk pemilihan nama-nama tokoh di dalamnya, lebih jauh, hingga kritikan-kritikan yang langsung mengarah kepada “kritik metodis” atas klaim-klaim yang disematkan kepada tokoh-tokoh yang terdapat dalam buku tersebut; Semacam Kritik atas Kritik Sastra.

Bagi mereka yang terbiasa mengikuti bagaimana sejarah polemik-polemik dalam sastra kita sejauh sejarah itu pernah berlangsungnya, maka kita boleh mengatakan bahwa situasi demikian adalah sesuatu yang tidak lagi aneh, wajar, dan lumrah terjadi. Tapi, lepas dari polemik yang mucul kemudian dan sempat cukup memanas—sebab ternyata polemik melebar hingga ke ranah yang “bukan sastra” (baca: ranah hukum) sehingga pada akhirnya banyak kelompok yang tidak mau ikut campur dalam perdebatan yang tengah berlangsung—yang melibatkan beberapa sastrawan secara langsung, secara umum, salah satu kritikan metodis juga diarahkan—oleh Saut Situmorang—kepada salah satu penyair besar kita: Abdul Hadi W.M. dengan mencoba “meragukan” eksistensi sastra sufistik yang (pernah) disematkan kepadanya. Tentunya pendapat tersebut (masih) bisa kita perdebatkan.

Sekilas Abdul Hadi W.M dan Sastra Sufistik Indonesia

abdulhadiwmtogaAbdul Hadi Widji Muthari, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abdul Hadi W. M. saja, adalah salah seorang penyair Indonesia modern yang lahir pada tanggal 24 Juni, di Kota Sumenep, Madura, setahun setelah Indonesia merdeka. Menurut catatan ensiklopedi sastra Indonesia modern, semenjak menduduki bangku sekolah dasar, Abdul Hadi W. M. sudah memiliki kegemaran mendengarkan dongeng dan membaca karya sastra. Tidak mengherankan apabila menurut beberapa penuturan pada usia 14 tahun, Abdul Hadi W. M. sudah memulai menulis sebuah karya sastra: ”Saya menyukai puisi sejak saya jatuh cinta,” kata beliau. Semenjak beliau SMP, beliau termasuk juga salah seorang yang terobsesi oleh karya-karya Chairil Anwar, terutama sajak Chairil Anwar yang berjudul “Lagu Siul II” yang berkisah tentang “Laron (yang) pada mati.”

Nama Abdul hadi W. M. mulai dikenal luas bersamaan dengan naiknya pamor majalah Horison—pasca meredanya kerusuhan percobaan KUP yang terjadi pada tahun 66—sebagai salah seorang penyair yang getol dalam membela kebebasan kreatif seorang pengarang. Salah satu tulisannya yang paling terkenal dan terkait dengan hal tersebut adalah tulisan beliau yang berjudul “Sastra besar, tidak lahir dari slogan.”

Dalam Tulisannya tersebut beliau mengatakan, bahwa tantangan murni seorang sastrawan adalah tantangan kreatif. Dan tantangan tersebut, sangat luas, sangat kompleks seluas dan sekompleks tantangan hidup itu sendiri, di mana seorang penyair memberikan reaksi kepada berbagai masalah yang terjadi disekitarnya. Beliau menambahkan—sambil mengutip Dami N.Toda , bahkan seorang sastrawan, sebagaimana intelektual lain, tak perlu didorong-dorong, apalagi dipaksa-paksa untuk memilih mana tantangan yang penting—dan tentunya yang tidak (pen)—bagi kerja kreatifnya, mengapa? lanjut beliau, karena beraksi terhadap masalah-masalah kehidupan adalah nalurinya, …kebutuhan batinnya yang datang dari kesadarannya yang terdalam, …dan tanpa itu ia tidak akan kreatif!

Pada masa setelahnya, tahun 70-an, Abdul Hadi W. M., kemudian (juga) lebih dikenal sebagai salah seorang yang juga rajin menulis sajak-sajak sufistik. Melalui karyanya yang berjudul: “Meditasi” (1976) kemudian “Tergantung pada angin” (1977), “Pembawa Matahari” (2002) dan “Tuhan, kita begitu dekat” (2012) , ada yang bilang bahwa pada (antologi) sajak “Tuhan kita begitu dekat”, merupakan puncak dari aksentuasi sajak sufistik Abdul Hadi W.M., di mana seluruh pergulatan wacana agama semakin lebih lugas terlihat di dalamnya puisi-puisinya, dengan Aku dalam sajak-sajaknya yang semakin Falsafi dan berpendekatan Tasawuf:

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat

Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu

(Abdul Hadi W.M., 1977, Tergantung Pada Angin)

Melalui karyanya: “MEDITASI” (1976), Abdul Hadi W.M. mulai didudukkan bersama dengan Sapardi Djoko Damono dengan “DUKA-MU ABADI”-nya (1969), Goenawan Mohammad dengan “INTERLUDE”-nya (1974), Sitor Situmorang dengan “PETA PERJALANAN”-nya (1977), dan Sutardji Calzoum Bachri dengan “AMUK”-nya (1981), sebagai seorang penyair yang menulis karya-karya bernuansa sufistik pada periode 70-an.

Buku MEDITASI tersebut memperoleh komentar-komentar serta pembahasannya di berbagai media. Beberapa yang berhasil didokumentasikan oleh Pusat Dokumentasi H.B. Jassin antaranya: “Meditasi: Simpul-Simpul Perenungan Abdul Hadi W.M.”, “Pengamatan Permulaan: Meditasi Renungan dalam Manusia Labirin.” ”Selintas Meditasinya Abdul Hadi W.M., Puisi Mencari Tuhan.” ”Meditasi Abdul hadi W.M.: Ekstasi dalam Meditasi.” ”Renungan-Renungan Abdul Hadi W.M. dalam Meditasi.” dan juga sebuah kajian buku Meditasi dengan judul: “Nyanyian dalam Kabut”.

Ada beberapa poin penting yang berhasil disampaikan oleh para komentator dalam kumpulan tulisan tersebut yang terkait dengan Sastra Sufistik pada periode 70-an, di mana sajak MEDITASI Abdul Hadi W.M. merupakan salah satu bagian di dalamnya, misalnya: Bahwa pada periode 70-an muncul beberapa buku yang memiliki kecenderungan pada tema-tema perenungan Sufistik yang diterbitkan oleh penyair-penyair yang sudah memulai kepenyairannya semenjak tahun 60-an. Tapi, meskipun demikian, kecenderungan tersebut bukanlah sesuatu yang sama saja dengan buku-buku puisi Sufistik yang pernah diterbitkan pada generasi sebelumnya, di mana nama seperti Amir Hamzah juga merupakan nama seorang penyair yang dikenal secara luas sebagai penyair Indonesia Modern yang paling konsisten menulis sajak-sajak Sufistik. Pada sajak-sajak yang diterbitkan periode 70-an, kecenderungan formal seperti sajak-sajak milik Amir Hamzah yang oleh Korrie Layun Rampan dalam komentarnya diungkapkan sebagai sebuah perenungan-perenungan yang secara retorik sudah bergerak tidak lagi pada ketetapan dogma-dogma satu agama tertentu yang sudah mapan, tapi lebih kepada perenungan-perenungan yang sudah bergeser kepada bahasa perenungan-perenungan keagamaan yang lebih bersifat mistisisme universal, personal dan eksistensial:

“Abdul Hadi memang telah menemukan rahasia sebagaimana membiarkan bahasa menemukannya. Sajak-sajaknya Religus; mula-mula religiusnya bersifat Islam, tetapi kemudian lebih mendekati mistikisme Jawa, di mana ia mengembangkan bentuk-bentuk komunikasi personal antara akunya dan persona kedua, engkau. Di sini kadang-kadang engkau jelas identifikasinya sebagai Tuhan, kadang-kadang Tuhan sama dengan hidup dan alam, jika dan universalitas kosmik. Di sini terlihat bahwa Abdul Hadi telah menemukan bahasanya, menemukan identitas kepenyairan secara mandiri, misalnya bisa dirasakan lewat sajak panjangnya: Labirin.”

Korrie Layun Rampan juga mengatakan dalam ”Selintas Meditasinya Abdul Hadi W.M., Puisi Mencari Tuhan.” Bahwa meskipun model perenungan-perenungan keagamaan yang semacam ini memiliki kemiripannya dengan sajak-sajak yang pernah ditulis oleh Ranggawarsita, tetapi apabila model “Aku” dalam sajak-sajak Ranggawarsito memberikan kesan dekatnya mereka dengan tuhan sebagai manusia yang suci, malah, dalam sajak-sajak yang muncul tahun 70-an seperti pada sajak-sajak Sitor, Goenawan Mohamad, Sapardi, Sutardji, dan tentunya Abdul Hadi W.M., adalah sajak-sajak yang justru mengisyaratkan akan kesangsiannya kepada Diri-Tuhan: Siapa dia sebenarnya? Dan di mana?

Abdul Hadi W.M: Kembali ke Akar kembali ke Sumber

Lepas dari tahun 2000-an, dunia kesusastraan kita juga dihampiri angin dingin dari arah keilmuan sastra; Dunia Kritik sastra kembali mendapatkan tinjauan keilmuan yang benar-benar serius. Gugatan (misalnya) atas terbitnya buku angkatan 2000-an yang ditulis oleh Korrie Layun Rampan, dan kepada gejala “apresiasi-karya” yang sering dimuat di media-media masa yang semakin berkepanjangan tetapi dengan sikap (meminjam bahasa Saut Situmorang) yang assertif, mereka menyebutnya sebagai “Kritik Sastra” tetapi biasanya hanya berbentuk esai-lepas dan tidak berdasarkan prosedur interpretasi sastra yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Kembali ke Akar dan kembali ke sumber adalah merupakan sebuah sumbangan yang (kembali) ditawarkan oleh Abdul Hadi W.M. dalam konteks perbincangan ini. Dalam kecenderungan pendekatan yang lebih banyak menekankan pemahaman “yang di luar” pemahaman atas makna dari karya: Pendekatan satra bandingan, sosiologi sastra, psikologi sastra, feminisme, pendekatan dekonstruksi, pasca-klolonial, pendekatan strukturalis dsb., bagaimanapun adalah sebuah pendekatan yang—menurut Abdul Hadi W.M. merupakan pendekatan yang terkait dengan dunia (sejarah) kesusastraan, dan bukan dunia puisi (Baca: makna hakikat langsung puisi). Abdul Hadi W.M. kembali “mengingatkan” kepada khalayak kesusastraan kita mengenai relevansi kembali kepada signifikansi “pemahaman’; Bahwa karya sastra, bagaimanapun komentar-komentarnya kemudian dihasilkan; interpretasi, kritik dsb, hal yang terpenting adalah proses memahami lebih dulu akar-akar metafisika yang melandasi nilai-nilai kepenyairannya. Sebuah buku berjudul “Hermeneutika Sastra Barat dan Timur” dirilis oleh Abdul Hadi W.M., yang di dalamnya berisi tentang asas-asas dan teknik penerapan metode “pemahaman” (baca: Hermeneutika) untuk sebuah karya sastra. Di dalamnya juga Abdul Hadi W.M. juga menyinggung masalah dasar-dasar (sejarah) estetika sebagai gerbang awal untuk memasuki dunia kepenyairan (baca: puisi).

Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber sendiri merupakan sebuah wacana—dalam bentuk (antologi) esai—mengenai Estetika Timur yang pernah Abdul Hadi W.M. tawarkan pada tahun 90-an dan di masa sastra (yang berbasis pada kebudayaan) timur mulai semakin diminati oleh penyair-penyair kita, beriringan dengan semakin masuk dan berkembangnya metode-metode ilmu dan kritik sastra yang berkecenderungan “Barat” di lingkaran penyair, pengamat sastra, dan sarjana-sarjana sastra kita. Dimana di dalamnya Abdul Hadi W.M. mengatakan, bahwa dunia (pemahaman) sastra yang lahir dari tradisi Timur, tidaklah sama dengan beberapa kecenderungan tradisi (hasil karya) kesusastraan yang lahir dari tradisi barat yang (sebagiannya) memang semenjak awal sudah memutuskan diri dari Metafisika.

Poster-11-722x1024

69 Tahun Abdul Hadi WM “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber”

Kamis, 25 Juni 2015, Pukul 15.30-22.000 WIB.

Auditorium Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina.

Jl. Gatot Subroto, Kav. 97, Mampang, Jakarta Selatan.

  • Dialog Kebudayaan: “Islam, Cakrawala Estetika, dan Budaya”

Pembicara:

Prof. Abdul Hadi WM (Sastrawan dan Guru Besar Universitas Paramadina)

Prof. Edy Sedyawati (Guru Besar Universitas Indonesia)

Prof. Kacung Marijan (Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud)

 

  • Orasi Kebudayaan: “Abdul Hadi WM dan Sastra Sufistik Nusantara”

Maman S. Mahayana (Sastrawan)

 

  • Tadarus Puisi Abdul Hadi WM:

Musikalisasi Puisi:  

Retum, Sasak Kalimalang, Zoroaster

Pembacaan Puisi:

Sofyan R.H. Zaid, Nurul Ismi, Mariyo Suniroh, Bilanova, Eka Wenats, Gayatri, Johny Itam, Rona Mentari, Frans Eko Danto, Muhammad Zainuri, Agung Solihin, Arifin.

 

Reservasi: Azka (082148657283) / Dwi (085813430071)

 

Nama lengkapnya, Abdul Hadi Widji Muthari. Biasa dikenal dengan sebutan Abdul Hadi W.M. (atau Abdul Hadi saja). Adalah salah seorang penyair terkemuka Indonesia modern yang lahir pada tanggal 24 Juni, di kota Sumenep, Madura, setahun setelah Indonesia merdeka. Menurut catatan ensiklopedi sastra Indonesia modern, semenjak menduduki bangku sekolah dasar, beliau sudah memiliki kegemaran mendengarkan dongeng dan membaca karya sastra.[ Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern, diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003).]

Tidak mengherankan apabila menurut beberapa penuturan, pada usia 14 tahun beliau sudah mulai menulis sebuah karya sastra. ”Saya menyukai puisi sejak saya jatuh cinta” tuturnya. Di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), beliau termasuk salah seorang yang terobsesi oleh karya Chairil Anwar terutama sajaknya yang berjudul “Lagu Siul II” yang berkisah tentang laron (yang) pada mati.

Nama Abdul Hadi W.M. mulai dikenal luas bersamaan dengan naiknya pamor majalah Horison—pasca meredanya kerusuhan percobaan KUP yang terjadi pada tahun 66—sebagai salah seorang penyair yang getol dalam membela kebebasan kreatif seorang pengarang. Salah satu tulisannya yang paling terkenal dan terkait dengan hal tersebut adalah tulisan beliau yang berjudul “Sastra Besar, Tidak Lahir dari Slogan.”[ Tulisan tersebut juga dimuat dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual (Jakarta: 1985, Rajawali Press).] Dalam Tulisannya tersebut beliau mengatakan, bahwa tantangan murni seorang sastrawan adalah tantangan kreatif. Dan tantangan tersebut sangat luas dan kompleks; seluas dan sekompleks tantangan hidup itu sendiri: dimana seorang penyair memberikan reaksi kepada berbagai masalah yang terjadi di sekitarnya.

Beliau menambahkan—sambil mengutip Dami N. Toda[ Dami N. Toda adaah seorang sastrawan Indonesia modern (dari NTT).], bahwa seorang sastrawan, sebagaimana intelektual lain, tak perlu didorong-dorong, apalagi dipaksa-paksa untuk memilih mana tantangan yang penting bagi kerja kreatifnya. Mengapa? lanjut beliau, karena bereaksi terhadap masalah-masalah kehidupan adalah nalurinya. “… kebutuhan batinnya yang datang dari kesadarannya yang terdalam, … dan tanpa itu ia tidak akan kreatif!” pungkasnya.

Pada masa setelahnya—khususnya tahun 70a-an—nama Abdul Hadi W.M. mulai dikenal luas berkat kerajinannya menulis sajak-sajak islam-sufistik yang tertuang dalam karyanya yang berjudul: “Tuhan, Kita Begitu Dekat”[ Abdul Hadi W.M. Tuhan, Kita Begitu Dekat: Sebuah Antologi Puisi Sufistik (Komodo Books)] (1976). Dalam sebuah diskusi informal di kampus Universitas Paramadina—tempat beliau kini mengajar—Abdul Hadi W.M. seringkali mengatakan bahwa terkadang orang salah kaprah menganggap beliau sebagai seorang pakar kebudayaan, atau pemikir islam-nusantara, dsb., meskipun memang benar beliau sering menulis dan turut mengomentari berbagai macam isu ini dan itu, tetapi menurutnya yang lebih tepat disematkan adalah penyair, dan kalaupun belajar banyak hal mengenai sejarah, kebudayaan, antropologi, agama, Islam dll., hal itu dalam kaitannya dengan kepenyairannya.

Dari alasan ilmiah-historis-biografis yang sudah kami ajukan di atas, ternyata masih ada di lingkungan kampus sendiri yang belum mengenalnya. Karena itu, kami coba untuk (kembali) mengetengahkan kepada publik, serta menyuguhkan kembali sosok Abdul Hadi W.M. sebagai seorang sastrawan besar yang bergelut dengan sastra spiritual (baca: sufistik) secara serius dalam bentuk sebuah acara malam apresiasi Abdul Hadi W.M. dengan mengangkat tema “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber: Islam, Cakrawala Estetika dan Budaya, Mengenang Jejak Pemikiran Abdul Hadi WM“ di bulan Ramadhan ini.

Poster-1



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300