Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

“Caraka Sungsang” Falsafah Kosmologi Jawa soal Ruh Manusia

$
0
0

Caraka Sungsang

  • Ahmad Yanuana Samantho
  • Falsafah “Hanacaraka datasawaka padajayanya mangabathanga”: “the dancing of Divinity Cosmic: Sangkan Paraning Dhumadi.” Subhanallah, ini nasehat seorang temam sahabat seperjalanan ruhani, jugs ajaran Aji Saka, Dewa Ruci dan Mulla Sadra yg tumbuh subur di Sundaland Jawa, sejak ribuan tahun yg lalu. Mari kit budhidhaya-kan menjadi Peradaban Baru Nusantara dan Bangsa Bumi,
  • Foto Erliyani Manik.
    Erliyani Manik

11401398_10205903893090770_2144988578960247084_n
Nga – Ngracut busananing manungsa
Tha – Tukul saka niat
Ba – Bayu sejati kang andalani
Ga – Guru sejati sing muruki
Ma – Madep mantep manembah mring Ilahi
Nya – Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki
Ya – Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi
Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti
Dha – Dhuwur wekasane endek tumindak kang dumadi
Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti
Dha – Dhuwur wekasane endek wiwitane
Pa – Papan kang tanpa kiblat
La – Lir handaya paseban jati
Wa – Wujud hana tan kena kiniraa
Sa – Sifat ingsun handulu sifatullah
Ta – Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa
Da – Dumadining dzat kang tanpa winangenan
Ka – Karsaningsun memayuhayuning bawana
Ra – Rasaingsun handulusih
Ca – Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi
Na – Nur candra,gaib candra, warsitaning candara
Ha – Hana hurip wening suci

Nga – Ngracut busananing manungsa
Tha – Tukul saka niat
Ba – Bayu sejati kang andalani
Ga – Guru sejati sing muruki
Ma – Madep mantep manembah mring Ilahi
Nya – Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki
Ya – Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi
Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti
Dha – Dhuwur wekasane endek tumindak kang dumadi
Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti
Dha – Dhuwur wekasane endek wiwitane
Pa – Papan kang tanpa kiblat
La – Lir handaya paseban jati
Wa – Wujud hana tan kena kiniraa
Sa – Sifat ingsun handulu sifatullah
Ta – Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa
Da – Dumadining dzat kang tanpa winangenan
Ka – Karsaningsun memayuhayuning bawana
Ra – Rasaingsun handulusih
Ca – Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi
Na – Nur candra,gaib candra, warsitaning candara
Ha – Hana hurip wening suci

PERJALANAN HIDUP MANUSIA : DARI ALLAH, KEMBALI KE ALLAH DAN RELEVANSINYA DENGAN FALSAFAH PANCASILA DAN BHINEKA TUNGGAL IKA

Pengantar Redaksi:

Falsafah “Bhineka Tunggal Ika” kini  hampir dilupakan banyak rakyat Indonesia, bahkan ada yang sengaja menolaknya  bersama penolakan terhadap asas Pancasila oleh beberapa ormas dan partai jadi-jadian yang mengklaim diri Islami.

Selain dari kaum ekstrimis fundamentalisme-literal agama Islam,  ancaman pendangkalan makna dan peran filosofis-ideologis  Panca Sila juga datang dari dominasi paham materialisme-sekularisme yang terwujud dalam Modernisme-Liberralisme-Kapitalisme Global. Materialisme ini telah mencerabut setiap akar ilahiyah dari kesadaran umat manusia, sehingga manusia moderen mengalami amnesia atau lupa ingatan dan lupa diri (lupa akan jari diri fitri-ilahiyahnya). Lupa dari mana manusia berasal, dan untuk apa manusia hidup di bumi dan lupa akan kembali ke mana setelah kematiannya. Akibat dari lupa diri secara massal dan nasional serta global ini, maka manusia terjerembab ke dalam krisis multidimensional yang akut. Korupsi dan demoralisasi terjadi di mana-mana. Kerusakan ekologis dan lingkungan hidup pun semakin merajalela akibat keserakahan yang dipicu oleh hedonisme-materialisme.

Untuk meluruSkan pemahaman yang utuh mendalam dan menyeluruh terhadap prinsip ontologis dan kosmologis  Pancasilais : KETUHANAN YANG MAHA ESA dan BHINEKA TUNGGAL IKA, maka presentasi tentang Perjalanan Karier Manusia di bawah ini, semoga dapat bermafaat dan menguatkan signifikasi Pancasila dari sudut pandang Islam yang hakiki. (Ahmad Y. Samantho)

http://www.facebook.com/photo.php?v=4874850033852&set=vb.1375476391&type=2&theater

PERJALANAN HIDUP MANUSIA : DARI ALLAH, KEMBALI KE ALLAH

 

Wahdah al-Wujud

Islam, menurut ‘irfan, bukan hanya menekankan pada kepercayaan kesatuan/ketunggalan Tuhan, melainkan kesatuan/ketunggalan semua realitas (semua yang ”ada”, wujud). Dengan kata lain, meski sama sekali tak mengurangi sifat transendensi (tanzih) Tuhan, cara pemahaman teologis ini juga menempatkan Tuhan sebagai tidak terpisah dari ada-ada yang lain. Atau, tepatnya, ada-ada yang lain – yangnota-bene tercipta/bersumber/terlahir dari-Nya – sesungguhnya adalah bagian atau manifestasi (pengejawantahan, tajalliy) dari wujud Tuhan juga. Jadi, selain bersifat transenden, Tuhan juga bersifat imanen (tasybih, menyatu dengan alam – ’alam, yakni segala sesuatu yang ”selain” Tuhan, ma siwa Allah).

Keseluruhan ada (wujud atau eksistensi) dan apa saja yang mengada atau teradakan (maujud) — merupakan ketung­gal­an, kesatuan. Be­ragam realitas ”non-Tuhan” itu tak me-wujud sendiri melainkan “se­­­kadar” sebagai pengungkapan dari realitas atau wujud— Realitas atau Wujud—tunggal. Itu  semua, baik yang bersifat indrawi maupun intelek­tual (noninderawi), hanyalah seperti bayangan. Yakni, sebagaimana bayangan yang bermain dalam pi­­kir­an kita sebagai citra-kedua se­buah objek di mata seorang yang juling. Meskipun demikian, tidak dikatakan bahwa realitas-realitas itu semu. Semuanya itu benar-benar ada, hanya saja keber-ada-an mereka bergantung dan meminjam dari Ada atau Wujud-nya Tuhan. Dalam cara pemahaman seperti ini – yakni dalam sifat-gandanya sebagai Tunggal, Yang Melahirkan yang majemuk — Tuhan disebut sebagai Yang Tunggal/Yang Majemuk (Al-Wahid Al-Katsir).

Wujud tak hanya berarti “ber-ada”, me­lainkan juga “menemukan” dan “ditemukan” – sebagaimana arti-asli kata ini. De­ngan kata lain, wujud menampilkan bukan hanya eksistensi, melainkan juga kesadaran-diri. Ia ”sadar” tentang diri dan apa-apa yang ada di sekitarnya). Nah, dalam menyadari dirinya sendiri  Ia me­mahami kemungkinan-ke­mung­kinan yang tak ter­batas dan sempurna mengenai dirinya sendiri. Maka, lahirlah dari kesadaran diri Wujud Ketuhanan akan Diri-Nya sendiri ini pengungkapan-pengungkap­an dalam berbagai modus, yang bukan hanya beragam, melainkan juga bertingkat-tingkat, meski tetap dalam ma­triks suatu wujud tunggal. Inilah yang disebut sebagai tajally (pengejawantahan), yang paralel dengan  emanasi (luberan) Tuhan dalam filsafat.

Wujud bisa dianalogikan dengan ca­ha­ya, sementara maujud-maujud (segala sesuatu yang terwujud) analog dengan war­na yang spesifik dan khas. Meski termanifestasi dalam suatu spektrum warna, wujud sesungguhnya tunggal. Setiap war­na tak memiliki eksistensi tanpa adanya cahaya tapi, pada saat yang sama, realitas masing-masing warna tak kemudian hilang oleh kenyataan bahwa warna-warna itu merupakan unsur-unsur sua­tu cahaya tunggal. Demikian pula, meski setiap warna identik dengan cahaya, tapi cahaya tetap saja bersifat khas dan tak bisa dibandingkan dengan masing-masing warna, bahkan dengan jum­lah total warna-warna. Dengan demikian, se­gala se­­­su­atu identik dengan Wujud dan sekaligus ber­beda dengannya. Tuhan mengejawantah di alam dan dalam diri manusia, tapi Tuhan tak identik dengan alam, dan manusia bukanlah Tuhan. Alam dan Manusia mengambil bagian dalam Wujud Tuhan, tapi manusia dan alam bukanlah Tuhan.

Wujud bisa dianalogikan dengan ca­ha­ya, sementara maujud-maujud (segala sesuatu yang terwujud) analog dengan war­na yang spesifik dan khas. Meski termanifestasi dalam suatu spektrum warna, wujud sesungguhnya tunggal. Setiap war­na tak memiliki eksistensi tanpa adanya cahaya tapi, pada saat yang sama, realitas masing-masing warna tak kemudian hilang oleh kenyataan bahwa warna-warna itu merupakan unsur-unsur sua­tu cahaya tunggal. Demikian pula, meski setiap warna identik dengan cahaya, tapi cahaya tetap saja bersifat khas dan tak bisa dibandingkan dengan masing-masing warna, bahkan dengan jum­lah total warna-warna. Dengan demikian, se­gala se­­­su­atu identik dengan Wujud dan sekaligus ber­beda dengannya. Tuhan mengejawantah di alam dan dalam diri manusia, tapi Tuhan tak identik dengan alam, dan manusia bukanlah Tuhan. Alam dan Manusia mengambil bagian dalam Wujud Tuhan, tapi manusia dan alam bukanlah Tuhan.

Beberapa Perumpamaan

Huruf-huruf yang ditulis oleh tinta pada hakikatnya tak pernah wujud sebagai huruf-huruf. Karena huruf pada hakikatnya adalah berbagai bentuk dari (adanya) tinta yang dibentuk berdasarkan ke­sepakatan. Keberadaan huruf-huruf itu pada hakikat­nya tak lain dan tak bukan adalah keberadaan tinta. Cara me­lihat yang benar adalah, pertama, melihat ke­ber­­­­ada­an tinta di semua huruf itu dan, kemudian, me­lihat huruf-huruf itu sebagai berbagai modifikasi (per­ubah­an bentuk) dari tinta yang dipakai

Samudra, selama ia adalah sa­mudra, tak pernah dapat memisahkan-diri dari ge­lombang-gelombang. Tak pula gelombang bisa memi­sahkan diri dari samudra. Gelombang—sesungguhnya juga sungai—tak lain adalah “pengungkapan” samudra ke dalam bentuk gelombang dan sungai. Selanjutnya, bisa dikatakan bahwa gelombang-gelombang dan su­ngai-sungai bukanlah samudra, tapi di sisi lain kese­mua­nya itu sesungguhnya satu saja, yakni samudra. “Samudra,” kata ‘Amuli, “jika ditetapkan (bentuknya) sebagai gelombang, disebut gelombang. Jika ditetap­kan dalam bentuk sungai, ia menjadi sungai. Dengan cara yang sama, samudra bisa disebut sebagai salju, hujan, es, dan sebagainya. Tapi dalam hakikatnya, sama sekali tak ada sesuatu yang lain kecuali samudra.

Hierarki Alam

Ò  Martabat Dzat al-Wujud atau Ghayb al-Ghuyub

Misteri Mutlak) .

I

Ò  Martabat Ahadiyah (Martabat al-Kanz) (Ruhani-Tunggal)

I

Ò  Martabat Wahidiyah (Martabat Asma’ dan Sifat/al-a’yan al-tsabitah) (Ruhani-Majemuk)

I

Ò  Alam Mitsal (Alam Khayal/Alam Barzakh)

(Antara Ruhani dan Material-Majemuk)

I

Ò  Alam Syahadah (Empiris)

(Materi-Majemuk)

Skema Hierakki alam

Dasar-Dasar Naqly :

Ò  Dasar-dasar NaqliTiada tuhan (wujud) kecuali Tuhan/Allah (Wujud) (Syahadat) Ò Katakan : “Tuhan itu Ahad (QS. 112 : 1) Ò  Dia yang Pertama dan Terakhir, Dia yang Lahir dan Yang Batin (57 :3) Ò  Tak ada sesuatu yang menyamai-Nya (42:11) Ò  Tuhan adalah Cahaya Langit dan Bumi (24:35) Ò  Dia lebih dekat kepadamu dari urat lehermu (50 : 16) Ò  Dia  selalu bersamamu di mana pun kamu berada (5 :4)   Karier manusia sesungguhnya adalah menempuh dua busur turun naik. Busur turun (al-qaws al-nuzul) adalah busur penciptaan melalui berbagai tingkatan wujud tersebutg di atas. Sementara busur naik adalah tasawuf : yakni perjalanan kembali kepada Allah melalui penanaman akhlak Allah di dalam diri kita. Inilah, menurut sebagian ‘arif, yang dirujuk al-Qur’an dalam ayat (yang biasa dikaitkan dengan peristiwa mi’raj) berikut ini : Thumma danā fatadallā fakāna qāba qawsayni aw adnā” “Dia (Allah) makin dekat kepadanya (Muhammad saw.), dan makin dekat lagi. Dan dia pun mendekat hingga sejarak dua busur (qaba qawsayn), atau lebih dekat lagi.” (QS.

Tasawuf

Tasawuf berarti “(proses) mengaktualkan potensi akhlak Allah yang ada di dalam diri kita, dan menjadikannya akhlak kita”  (al-takhalluq bi akhlaq Allah). Sebuah definisi yang ringkas dan simple, tapi dibaliknya terkandung pemikiran yang sangat mendalam. Dan ini terkait dengan gagasan tentang manusia – bahkan alam semesta – sebagai tajally (pancaran, manifestasi) Allah Swt. Yakni, manusia sebagai pembawa ruh-Nya, yang dicipta atas fitrah keilahian. Dengan demikian, kepenuhan dan kebahagiaan hidupnya — bukan hanya di akhirat, melainkan juga dunia — tergantung pada keberhasilannya mengaktualkan potensi keilahian-Nya itu.

Siklus Tajali dan tauhidi

Berakhlak dengan akhlak Allah identik dengan menanamkan asma’/sifat-Nya di dalam diri kita. Dengan kata lain, menjadikan akhlak kita berakar pada akhlak-Nya. Ibn ‘Arabi segera melihat bahwa kesamaan kata dasar khulq (bentuk tunggal akhlaq) dengan kata khalq (ciptaan) menunjukkan bahwa sesungguhnya potensi akhlak Tuhan sudah tertanam dan menjadi bawaan (fitrah/khalq) manusia – betapa pun masih potensial. Syaikh menyebutnya sebagai kesiapan (jibillah, disposisi). “Dan hadapkanlah wajahmu dengan hanif kepada al-din (cara hidup Islam). Fitrah Allah yang atasnya dia diciptakan (fithrah Allah fathara al-nas ‘alay-ha). Tak ada perubahan dalam ciptaan (khalq) Allah. (QS. : ). (Proses) menuju hidup berakhlak dengan akhlak Allah, itulah tasawuf,

Jika dikelompokkan, Allah memiliki asma’ yang termasuk dalam kelompok asma’ jalaliyah (nama-nama yang mencerminkan kedahsyatannya yang menggentarkan, tremendum) dan kelompok asma’ jamaliyah (nama-nama yang mencerminkan keindahan dan kelembutannya yang memesonakan, fascinans). Manusia harus mampu menanamkan semuanya itu di dalam dirinya, dalam kombinasi yang lengkap dan utuh. Mengambilnya secara parsial dan tidak seimbang akan justru menjadikan akhlak yang berkembang bersifat madzmumah (akhlak yang buruk), bukan justru al-akhlaq al-karimah (akhlak mulia) yang dianjurkan. Kombinasi utuh-menyeluruh dan seimbang ini diwakili oleh nama “Allah” sebagai nama-penghimpun (al-ism al-jami’) semua nama Allah yang  tak terbatas itu.Dan, sebaliknya. Nah, melanjutkan tamsil warna di atas, berakhlak dengan akhlak Allah sama dengan menanamkan akhlak Allah itu dalam kombinasi yang utuh dan pas sehingga unsur-unsur akhlak itu menghasilkan warna cahaya putih yang seimbang.

Kombinasi seimbang dari berbagai asma’ Allah itu tidak bersifat netral – yakni gabungan dari yang jamaliyat dan jalaliyat, atau seluruh spektrum-warna sifat-Nya dengan sama kuat – melainkan sebagai didominasi dengan yang jamaliyat. Terkait dengan ini Sang Syaikh merujuk pada berbagai ayat al-Qur’an yang bermakna seperti ini, termasuk : “Kasih-sayangnya meliputi segala sesuatu.” Juga hadis qudsi yang berbunyi “ Kasih-sayang-Ku mendominasi murka-Ku”. Dengan demikian, menanamkan akhlak Allah identik dengan menanamkan sifat cinta di dalam diri kita dan menjadikannya sumber bagi setiap tindakan kita, baik dalam berinteraksi dengan Allah, manusia, maupun alam semesta selebihnya

Dengan kata lain, bertasawuf adalah berjalan kembali kepada Allah. Dari Allah, kembali kepada Allah. Innaa lil-Lah wa innaa ilay-Hi raji’un. Kita adalah milik Allah, dan kepadanya kita kembali. Dari awal (mabda’) yang bersifat ruhani-keilahian, kembali kepada akhir/tempat kembali (ma’ad) yang bersifat ruhani-keilahian pula. Tasawuf adalah mendaki busur naik (qaws al-su’ud) kepada Allah, setelah sebelumnya kita memancar dari Allah melalui busur turun (qaws al-nuzul). Pendakian dilakukan dengan menanamkan akhlak Allah secara seimbang, yang secara keseluruhannya tertaklukkan atas sifat kasih-sayang.

Download Power Point Presentation:  Perjalanan Karier Manusia

11401398_10205903893090770_2144988578960247084_n



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300