FALSAFAT ISLAM DI INDONESIA[1]
Aan Rukmana
Pendahuluan
Menurut M. Amin Abdullah, ada trauma historis di kalangan umat Islam menyangkut kajian falsafat Islam sehingga bidang ini menjadi sulit untuk berkembang. Trauma historis ini terjadi dalam kontroversi pemikiran para failasuf Muslim antara Ibn Sīnā, al-Ghazālī dan Ibn Rusyd.[2] Dalam hal ini al-Ghazālī telah menjatuhkan vonis kafir atas pemikiran para failasuf (menyangkut tiga persoalan metafisika: tentang keabadian alam semesta, pengetahuan universal Tuhan dan masalah kebangkitan di akhirat) sehingga seolah menjadi sebuah preseden bahwa memelajari falsafat akan menggoyahkan aqidah dan membawa kepada kekufuran.[3] Meskipun al-Ghazālī tidak dapat dipersalahkan atas kondisi ini,[4] namun karena pemikiran al-Ghazālī lebih banyak berpengaruh di kalangan umat Islam daripada Ibn Sīnā dan Ibn Rusyd, maka sejak itu kecenderungan Ghazālian inilah—khususnya sikap anti falsafat—yang mewarnai perkembangan pemikiran Islam pada umumnya, termasuk di Indonesia.[5]
Falsafat Islam di Indonesia baru dikenal dan dipelajari secara akademik sejak masa Harun Nasution memerkenalkan disiplin ilmu ini di lingkungan IAIN. Sebelumnya disiplin ilmu ini tidak mendapatkan perhatian dalam kurikulum lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Begitu juga halnya dengan lembaga pendidikan tertua di Indonesia seperti pesantren yang telah berkembang jauh sebelum berdirinya IAIN. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang secara resmi mengajarkan semua disiplin ilmu-ilmu keislaman seperti bahasa Arab, aqidah, tafsir, Hadīts, fiqh dan lainnya tidak memasukkan falsafat Islam ke dalam kurikulum pendidikan. Hal ini tentunya mudah dipahami karena kurikulum pendidikan pesantren pada dasarnya merupakan perkembangan dari tradisi intelektual Islam di Nusantara selama berabad-abad, di mana kecenderungan utama dari ilmu-ilmu yang dipelajari tersebut berorientasi kepada kalām al-Asy‘arī, fiqh Syāfi‘ī dan tasauf al-Ghazālī. Sementara al-Ghazālī sendiri telah menempatkan falsafat Islam termasuk ke dalam disiplin ilmu yang membahayakan bagi keimanan seorang Muslim—meskipun al-Ghazālī tidak mengharamkan logika (manṭiq) sehingga ilmu ini tetap dipelajari dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren. Hanya saja setelah kritikan al-Ghazālī terhadap falsafat, disiplin ilmu ini menjadi tabu untuk dipelajari. Dalam hal ini menurut Amin Abdullah, ketabuan tersebut terbukti dengan langkanya literatur falsafat yang masuk dalam kurikulum pesantren maupun IAIN. Literatur falsafat Islam, jika diamati secara sungguh-sungguh kalaupun ada masih sangat terbatas.[6]
Oleh karena itu kehadiran falsafat Islam di Indonesia, menjadi disiplin ilmu yang paling belakangan dikenal. Tafsir, Hadīts dan terutama fiqh telah lebih dahulu dikenal sejak masa pertumbuhan tradisi intelektual Islam di Indonesia melalui karya-karya yang ditulis oleh para ulama di Nusantara. Menurut Budhy Munawar-Rachman, di kalangan Muslim Indonesia falsafat baru mendapatkan apresiasi sekitar 20 tahun lalu. Sebelumnya falsafat Islam agak tabu dibicarakan, walaupun sudah ada beberapa orang yang menulis buku tentang falsafat Islam, seperti Zainal Abidin Ahmad dan Oemar Amir Hoesin. Keadaan itu mungkin karena judgment al-Ghazālī tentang falsafat yang begitu memengaruhi opini cendekiawan Muslim Indonesia.[7]
Menurut Budhy, di antara tokoh yang harus disebut memberi kontribusi pada perkembangan falsafat Islam adalah Harun Nasution. Dialah yang memerjuangkan falsafat Islam menjadi bagian dari tradisi IAIN, dan memerkenalkan rasionalisme Mu‘tazilah. Tokoh lain yang bisa disebut ialah M. Rasjidi dan Mukti Ali. Belakangan, Nurcholish Madjid juga harus disebut sebagai cendekiawan yang berusaha mencari relevansi tradisi falsafat Islam klasik dalam mengembangkan pemikiran falsafat modern Islam.[8]
Sebagai disiplin ilmu yang baru dipelajari secara resmi di perguruan tinggi agama Islam seperti IAIN falsafat Islam berjalan secara tertatih-tatih. Hal ini selain karena faktor kecurigaan umat Islam terhadap disiplin falsafat Islam juga karena kurangnya referensi yang diperlukan bagi kajian ilmu ini. Hampir selama beberapa tahun lamanya buku Falsafat dan Mistitisme dalam Islam yang ditulis oleh Harun Nasution[9] menjadi buku referensi utama di IAIN tanpa ada sumber-sumber lain sebagai pendukung. Akses kepada sumber-sumber langsung (sourcebook) karya para failasuf Muslim masih sulit dilakukan oleh para mahasiswa. Selain karena belum adanya pengetahuan-pengetahun dasar yang memadai mengenai falsafat Islam—karena belum pernah mereka pelajari sebelumnya di pesantren—juga karena sulitnya memelajari disiplin ilmu ini dengan sumber-sumber asli tersebut.
Mulailah pada tahun 80an beberapa karya terjemahan dipublikasikan, baik yang menggunakan pendekatan sejarah seperti A History of Islamic Philosophy karya Madjid Fakhri (1986),[10] kumpulan karya tulis mengenai falsafat Islam seperti A History of Muslim Philosophy yang diedit oleh M.M. Sharif (1990)[11] atau dengan pendekatan tematik seperti karya Ahmad Fuad al-Ahwani (1985.)[12] Bersamaan dengan itu bermunculan pula karya-karya terjemahan mengenai ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam yang di dalamnya turut memerkenalkan sejumlah failasuf Muslim.
Beberapa penulis di tanah air juga mulai bermunculan untuk mengisi kekosongan literatur falsafat Islam di Indonesia, di antaranya adalah buku yang ditulis oleh Oemar Amir Hoesin berjudul Filsafat Islam (1975),[13] A. Hanafi berjudul Pengantar Filsafat Islam(1982),[14] buku Ahmad Daudy berjudul Kuliah Filsafat Islam (1990), dan lainnya.[15]
Nampaknya perkembangan falsafat Islam, setidaknya di masa awal pertumbuhan ilmu ini di Indonesia, justru banyak diuntungkan oleh gerakan pembaruan pemikiran Islam yang telah dimulai sejak tahun 70an, daripada akibat perkembangan internal di Jurusan Aqidah Falsafat di IAIN sendiri. Dapat dikatakan bahwa gerakan pembaruan telah menjadi stimulasi yang sangat kuat bagi perkembangan kajian falsafat Islam di mana melalui gerakan pembaruan tersebut falsafat Islam mulai diminati di kalangan umat Islam. Dari situlah kajian falsafat Islam berkembang dengan penuh semangat bersamaan dengan gerakan pembaruan Islam di Indonesia.
Sebenarnya kebanyakan dari tokoh pembaru, kecuali Harun Nasution, tidak pernah secara khusus menyusun karya dan pemikiran mengenai falsafat Islam. Perhatian utama mereka, seperti Nurcholish Madjid misalnya, adalah kepedulian terhadap peran yang tepat bagi Islam dalam pembangunan nasional, dan dengan cara bagaimana agar nilai-nilai Islam dapat dipadukan dengan semangat nasionalisme model Barat. Gerakan yang dimotori Nurcholish ini, yang sering disebut gerakan Neomodernisme Indonesia, pada dasarnya merupakan gerakan keagamaan, dan motivasi utamanya ialah membangun kehidupan masyarakat Muslim yang progresif sesuai dengan konteks keindonesiaan. Mereka menegaskan bahwa fokus wacana teologi Islam harus dialihkan dari sekedar memerdebatkan persoalan-persoalan ritual—seperti gerakan pembaruan sebelum mereka yang dimotori oleh organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Persis dan lainnya—ke pencarian solusi terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang tengah dihadapi umat Islam dewasa ini.[16]
Namun para pemikir pembaruan ini telah berjasa memerkenalkan khazanah tradisi intelektual Islam klasik dan merangsang audiens mereka untuk memelajarinya. Harun Nasution dengan karyanya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974),[17] Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1978),[18] Teologi Islam (1972),[19] Aliran Modern dalam Islam(1980),[20] telah menarik perhatian orang untuk memelajari khazanah intelektual Islam dengan perpektif yang luas. Dalam bukunya Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Harun telah menyajikan Islam dalam perspektif yang lebih luas, meliputi banyak aspek, sehingga Islam itu bukan hanya fiqh, tauhid, tafsir dan akhlak tetapi dapat dikaji dari banyak aspek seperti sejarah, budaya, falsafat, tasauf, teologi, hukum, institusi, dan politik. Dalam hal ini Harun Nasution telah memberikan sesuatu yang baru bagi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Dia tidak hanya melanjutkan apa yang telah berkembang di masanya, tetapi juga meratakan jalan bagi perkembangan pemikiran Islam selanjutnya, dengan memberikan perhatian lebih banyak kepada berbagai kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di masa lalu. Oleh karena itu, perhatiannya banyak dicurahkan pada upaya mengembangkan wacana teologi, filsafat, tasauf dan perkembangan modern dalam Islam, dan untuk sebagian kecil, pada masalah fiqh.[21]
Begitu pula dengan Nurcholish Madjid yang telah menyuarakan ide-ide pembaruan yang menimbulkan pengaruh besar di Indonesia. Gerakan intelektual yang digagasnya pada tahun 1970an dan dikenal dengan ‘Gerakan Pembaruan Pemikiran Keagamaan,’ telah berupaya untuk mereformulasikan postulat doktrin Islam yang paling pokok berkaitan dengan masalah ketuhanan, kemanusiaan, dan dunia, dan bentuk hubungan di antara semua aspek tersebut dalam kaitannya dengan realitas politik baru.[22]
Nurcholish Madjid sendiri menaruh perhatian terhadap falsafat Islam. Ia telah menyusun sebuah antologi berjudul Khazanah Intelektual Islam (1994)[23] sebagai kumpulan risalah-risalah karya para teolog dan failasuf klasik seperti al-Kindī, al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Asy‘arī, Ibn Taymiyyah dan lainnya. Selain itu ia juga menulis beberapa artikel mengenai kalām dan falsafat Islam seperti yang terdapat dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban (1992.)[24] Meskipun Nurcholish tidak pernah menyusun sebuah buku khusus mengenai falsafat Islam namun kehadiran ide-idenya telah menarik minat kalangan terpelajar Islam untuk memelajari disiplin ilmu tersebut. Apalagi ia sendiri adalah pencetus kelahiran Jurusan Falsafah Agama di Paramadina.
Para tokoh pembaruan lainnya seperti Jalaluddin Rakhmat juga turut memberikan perhatian terhadap falsafat Islam meskipun tidak secara langsung.[25] Pengaruh dari pemikiran-pemikiran para pembaru ini telah berhasil mengintegrasikan disiplin ilmu ini bersama dengan wacana pembaruan mereka. Bahkan minat sebagian mahasiswa untuk mengambil Jurusan Aqidah Falsafat tidak dapat dilepaskan dari kondisi ini.
Selain itu publikasi karya-karya falsafat kontemporer, khususnya yang berhaluan Syī‘ah, juga bermunculan sebagai akibat dari pengaruh revolusi Islam di Iran pada tahun 1979. Karya-karya yang ditulis oleh Murtaḍā Muṭahharī,[26] ‘Alī Syarī‘atī,[27] Muḥammad Baqīr al-Ṣadr,[28] dan lainnya mulai membanjiri pembaca di tanah air. Ide-ide mereka, yang sebagian cukup kental dengan falsafat Islam, menjadi bahan diskusi di kalangan umat Islam, khususnya para mahasiswa Muslim. Karena itulah masa tahun 80an dapat dicatat sebagai masa meningkat gairah falsafat Islam bersama meningkat gairah kajian-kajian Islam pada umumnya.
Kemudian seiring dengan semakin pesatnya perkembangan IAIN dan cabang-cabangnya di seluruh Indonesia di mana sebagian telah menjadi UIN, jelas memainkan peran penting bagi pertumbuhan falsafat Islam di Indonesia. Hampir semua kampus UIN atau IAIN membuka Jurusan Aqidah Falsafat.[29] Meskipun jurusan ini tidak pernah menarik jumlah mahasiswa dalam jumlah sebesar jurusan-jurusan lainnya, namun Jurusan Aqidah Falsafat Islam telah turut mengukuhkan falsafat Islam di Indonesia yang tetap bertahan hingga sekarang. Begitu juga kampus-kampus lainnya seperti Paramadina, yang melalui ide Nurcholish Madjid, turut membuka jurusan bernama Falsafah Agama. Bahkan secara khusus berdiri pula lembaga seperti ICAS (Islamic College for Advance Study), yang kemudian menjadi IC (Islamic College), yang secara khusus mendedikasikan dirinya di bidang falsafat Islam dan mistisisme dengan membuka program studi bagi keduanya untuk tingkat magister.
Sementara itu lembaga-lembaga kajian Islam, juga tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ini. Lembaga-lembaga kajian Islam tersebut seringkali mengadakan diskusi maupun seminar mengenai falsafat Islam. Dapat disebutkan lembaga seperti LSAF, LP3ES, bahkan termasuk JIL cukup sering mengadakan diskusi mengenai falsafat Islam khususnya kajian mengenai pemikiran para tokoh-tokoh klasik seperti Ibn Sīnā, al-Rāzī, Ibn Rusyd, Ibn Khaldūn dan lainnya, maupun para tokoh-tokoh modern seperti Muḥammad ‘Abduh, Muḥammad Iqbal, Hassan Hanafi, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid dan yang lainnya.
Sumber-sumber dan Dinamika Falsafat Islam di Indonesia
Memasuki abad ke 20 tradisi falsafat dalam dunia Islam secara umum telah meredup.[30] Namun di beberapa wilayah yang menjadi pusat-pusat kebudayan dan falsafat seperti Mesir, Iran dan anak benua Indo-Pakistan, kajian falsafat Islam mulai hidup kembali dan menghasilkan para sarjana yang terdidik dengan metode falsafat Barat.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, pengaruh falsafat Barat terhadap setiap bagian dunia Islam dipengaruhi oleh bentuk kolonialisme. Lingkaran kaum modern di anak benua India, sebagai contoh, amat dipengaruhi oleh falsafat Inggris masa Victoria. Kelompok modern di Iran, di sisi lain, yang terpengaruh oleh bahasa dan kebudayaan Perancis dipengaruhi oleh Descartes dan falsafat Comtian. Kaum modern di Turki tertarik pada falsafat Jerman dan kelompok Westernis Mesir tertarik kepada falsafat Inggris dan Perancis bergantung kepada pengalaman individual mereka masing-masing.[31]
Di wilayah jajahan Inggris dan Perancis seperti Mesir dan India, menunjukkan berbagai respon penting terhadap falsafat Barat yang kemudian menjadi bagian dari dinamika pemikiran falsafat Islam sampai sekarang. Para pemikir pembaruan Islam, baik generasi pertama maupun yang kemudian, menampakkan adanya pengaruh pemikiran falsafat Barat dan menjadi bagian dari metodologi mereka dalam menganalisis persoalan-persoalan umat Islam.
Pengaruh ini terutama merembes melalui para juru bicara kaum modernis. Menurut Leaman, dalam falsafat kontemporer di dunia Arab, berbagai madzhab muncul. Disiplin falsafat tumbuh pesat melalui pengaruh pemikir seperti al-Afghānī (1838-1897) dan Muḥammad ‘Abduh (1894-1905) yang menjalankan agenda modernis mereka dengan menghubungkan Islam dengan bentuk kehidupan yang sesuai dengan masyarakat ilmiah modern. Perdebatan antara Islam dan modernitas telah menjadi suatu topik yang berkelanjutan pada abad ini.[32]
Mesir dan Syiria merupakan salah satu pusat aktifitas kebudayaan dan falsafat Islam di awal dekade abad ke-20 dan tetap memegang posisi ini setelah Perang Dunia Kedua. Di Mesir, lembaga penting bagi aktifitas falsafat di masa awal, seperti Universitas al-Azhar, Kairo, ‘Ayn al-Syams, dan Alexandria tetap berlangsung dominan. Lebih jauh, beberapa figur yang telah terkenal baik sebelum atau sesudah Perang Dunia Kedua, seperti Abdul Halim Mahmud (khususnya karya-karyanya yang awal), Uthman Amin, Ibrahim Madkour, A.A. Anawati, ‘Abd Rahman Badawi, Ahmad Fuad al-Ahwani, Sulayman Dunya, Muḥammad Abu Rayyan, Abu al-A‘la al-Afifi, tetap menjadi tokoh yang berpengaruh sampai saat itu dan sekarang.[33]
Di dunia Syī‘ah, falsafat Islam tetap bertahan melalui karya-karya Ṣadr al-Dīn al-Syīrāzī (w. 1641) yang secara umum dikenal dengan Mullāh Ṣadrā’. Dia telah melakukan sintesis yang membangun sistem bernama al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah yang mencakup elemen-elemen pemikiran Ibn Sīnā (w. 1240), Suhrawardī (w. 1191), Ibn ‘Arabī (w. 1240), dan beberapa teolog Syī‘ah ternama, seperti Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī (w. 1247) dan ‘Allāmah al-Hillī (w. 1325 M.)[34] Di antara tokoh-tokoh tradisional yang paling aktif dalam kebangkitan falsafat Islam di Iran adalah Sayyid Abū al-Ḥassan al-Qazwinī, Sayyid Muḥammad Kazīm, Ilāhī Qumsyā’ī, ‘Allāmah Sayyid Muḥammad Ḥussayn Ṭabāṭabā’ī, Murtaḍā Muṭahharī, Mahdi Ha’iri Yazdi, Sayyid Jalāl al-Dīn Asytiyānī, dan Jawād Musliḥ.[35]
Di anak benua India, yang berada di bawah dominasi Inggris, berbagai aliran falsafat Anglo-Saxon menjadi pengaruh utama di universitas-universitas sampai sekarang. Para reformis awal seperti Seyyed Ahmad Khan dan ‘Allāmah Muhammad Iqbal adalah termasuk yang menaruh perhatian terhadap falsafat Barat. Lembaga falsafat, seperti All India Philosophical Congress telah aktif sampai masa kemerdekaan, maupun Indian and Pakistani Philosophical Congress, telah aktif sejak dekade terakhir masa kemerdekaan. Perhatian mereka terutama kepada falsafat Barat, khususnya Inggris dan Amerika. Dan kita dapat melihat tokoh yang paling menaruh perhatian dalam pemikiran Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh karya monumental yang ia edit A History of Muslim Philosophy, ialah M.M. Sharif, salah seorang tokoh intelektual Pakistan.[36]
Di akhir abad ke-20 sejumlah sarjana Muslim falsafat Islam yang menulis dalam bahasa Eropa meningkat secara dramatis. Beberapa dari tokoh ini seperti Muhsin Mahdi, Fazlur Rahman, Jawad Falaturi, Ha’iri Yazdi, Nasr telah mengajar di universitas-universitas Barat dan melatih banyak murid, baik Muslim maupun non-Muslim. Sementara itu sejumlah pelajar Barat mendatangi dunia Islam untuk belajar falsafat dan subyek yang terkait, hingga beberapa di antaranya seperti Herman Landolt, James Morris, William Chittick, dan John Cooper dikenal baik memiliki otoritas mengenai pemikiran Islam secara umum dan falsafat Islam secara khusus. Sekarang banyak pelajar dari dunia Arab, Turki, Iran, Pakistan, Indonesia, Malaysia dan negeri Muslim lainnya datang ke Barat untuk belajar kepada para sarjana di atas, khususnya di McGill University dalam proses ini. Sebagai hasilnya, aktifitas falsafat Islam di Barat berhubungan erat dengan kehidupan falsafat Islam di dunia Islam.[37]
Perkembangan umum kajian falsafat Islam ini telah memberikan pengaruh dan merupakan sumber utama bagi para tokoh Islam di tanah air. Sumber-sumber utama kajian falsafat Islam di Indonesia adalah pusat-pusat studi di Barat dan dunia Arab, sejak masa Harun Nasution hingga sekarang. Harun Nasution (McGill), Nurcholish Madjid, Syafii Maarif dan Mulyadhi Kartanegara (Chicago) banyak menyerap khazanah intelektual Islam melalui pusat-pusat studi di Barat.
Di samping itu karya-karya falsafi yang penting pun mulai gencar diterjemahkan sejak keberhasilan revolusi Islam di Iran. Maka tidak mengherankan karya-karya falsafi dari kalangan failasuf Iran kontemporer diterjemahkan bersamaan dengan karya-karya failasuf Mesir dan India, seperti Muhammad Iqbal, Majid Fakhry, M.M. Sharif, Ahmad Fuad al-Ahwani, Abd al-Rahman Badawi, dan lain-lain. Inilah karya-karya terjemahan awal yang kemudian menjadi salah satu referensi penting bagi kajian falsafat Islam di Indonesia.
Di sisi lain, tekanan politik terhadap sejumlah gerakan Islam turut berpengaruh bagi penguatan gerakan kebudayaan Islam. Menurut Ahmad Syafii Maarif kejatuhan Islam secara politik (dalam arti politik formal) di Indonesia ternyata tidak menyebabkan ia kehilangan élan vital dalam kerja intelektual sekalipun baru pada tahap ‘pemamah.’ Pukulan yang diterima pada sektor politik, telah mendorongnya untuk beranjak pada kegiatan yang lebih strategis dan berorientasi ke depan. Pengalaman politik yang penuh trauma sejak periode pasca Proklamasi kemerdekaan telah semakin menyadarkan kelompok cendekiawan Muslim yang baru muncul akan kenyataan bahwa energi yang terkuras untuk menangani politik praktis selama ini telah mengakibatkan terbengkalai kerja intelektual besar yang dulu telah dirintis oleh Haji Agus Salim dan angkatan Jong Islamieten Bond (JIB) sebelum Perang Dunia II.[38]
Perkembangan yang signifikan bagi pertumbuhan pemikiran Islam di Indonesia terjadi sepanjang tahun 1970-80an. Syafii Maarif menilai bahwa generasi dan kalangan intelektual Muslim 1980an telah melakukan terobosan-terobosan pemikiran Islam yang boleh dibanggakan, sekalipun belum mampu sepenuhnya merumuskan jawaban Islam terhadap tuntutan-tuntutan perubahan zaman. Tetapi setidaknya mereka telah berupaya menyusun strategi tentang bagaimana ‘menggarami’ kehidupan budaya bangsa dengan nilai-nilai Islam yang dipahami secara benar dan komprehensif. Kemunculan lembaga-lembaga seperti Yayasan Paramadina dan Lembaga Studi Islam dan Falsafat (LSAF) adalah di antara bukti dari kiprah intelektual Muslim di bidang pemikiran Islam yang lebih mendalam dan menyeluruh.[39]
Di masa tahun 1970an, wacana pembaharuan pemikiran keislaman semakin marak. Generasi muda dari kalangan terpelajar Muslim pada dekade ini sudah lebih menunjukkan kecenderungan pemikiran yang tidak lagi normatif memandang agama. Mereka—tidak seperti pada masa Islam yang bercorak mistis dan sufistik—kemudian lebih tertarik pada pemahaman keislaman yang berdasarkan pendekatan-pendekatan empiris dan historis di dalam pembentukan visi keagamaannya. Hal itu, misalnya, dengan tepat digambarkan oleh Richard C. Martin, Mark R. Woodward dan Dwi S. Atmaja yang mengatakan bahwa,
Indonesian Muslim intellectuals are increasingly concerned with the questions of the proper role of Islam in national development and how Islamic values can be reconciled with Western rationalism, rather than with the nature of an Islamic state…What distinguishes thinkers associated with this movement from earlier modernists is the combination of empirical and historical approaches they employ in formulating a vision of an Islamic society.[40]
(Para Intelektual Muslim Indonesia semakin peduli kepada pertanyaan-pertanyaan menyangkut peran Islam yang tepat dalam pembangunan nasional dan bagaimana nilai-nilai Islam dapat dipadukan dengan rasionalisme Barat daripada dengan sifat alami negara Islam…Apa yang membedakan para pemikir yang terlibat dengan gerakan tersebut daripada para pemikir modernis sebelumnya adalah kombinasi pendekatan empiris dan historis yang mereka gunakan dalam penyusunan visi mengenai masyarakat Islam)
Masa-masa tahun 70an dan 80an memang merupakan masa kelahiran pemikiran-pemikiran pembaruan Islam di Indonesia dengan tokoh-tokoh seperti Harun Nasution, Mukti Ali, Nurcholish Madjid, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rakhmat, Dawam Rahardjo, dan seterusnya yang telah meramaikan dinamikan pemikiran tanah air. Meskipun demikian ini laju lokomotif pembaruan ini tidak berjalan tanpa hambatan sebab telah bermunculan berbagai reaksi keras yang menentang ide-ide yang digulirkan oleh para tokoh tersebut. Hal ini telah menimbulkan polemik yang berkepanjangan dan mewarnai alur pemikiran Islam di Indonesia sepanjang masa tersebut. Tahun 90an pemikiran Nurcholish Madjid mencapai puncak polemiknya melalui publikasi Media Dakwah menyangkut makalah Cak Nur yang berjudul “Penyegaran Paham Keagamaan di Kalangan generasi Muda Mendatang,” di Taman Ismail Marzuki 21 Desember 1992.[41]
Sampai tahun 1980an, dimulailah suatu perkembangan penting bagi pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang sangat pesat generasi terpelajar Muslim. Begitu juga dengan penerbitan buku-buku Islam meningkat secara signifikan. Bagian Perpustakaan dan Dokumentasi majalah Tempo bahkan menyimpulkan bahwa trend bacaan 1980an adalah cermin meningkatnya telaah keagamaan. Dari 7241 judul buku yang dihimpunnya sejak 1980, 1949 di antaranya adalah buku-buku bertemakan agama; dan dari jumlah terakhir itu, sebanyak 809 judul (70,5 %) adalah buku bertemakan Islam.[42]
Buku-buku yang dikarang oleh para intelektual Muslim Indonesia sendiri juga mulai diterbitkan, meskipun buku-buku itu hanya berisi kumpulan karangan tercecer, makalah seminar, atau bahkan hasil wawancara yang disunting. Di sini, perkembangan penting yang harus dicatat adalah bahwa buku-buku itu bukan lagi semata-mata tentang ibadah formal yang sempit (misalnya, bagaimana sembahyang yang benar), melainkan tentang masalah-masalah dengan tingkat relevansi sosial yang tinggi (misalnya tentang Islam dan kemiskinan, zakat dan keadilan sosial, Islam dan keindonesiaan, dan lain-lain), juga tentang pemikiran Islam dalam lingkup yang luas (misalnya tentang falsafat Islam, mistisisme dalam Islam dan seterusnya.)[43]
Ihsan Ali Fauzi menyebutkan beberapa percikan pemikiran 1980an antara lain:[44]Pertama, upaya rintisan untuk mengembangkan apa yang dikenal luas dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Sejak dekade 1970an, pemikir-pemikir Islam terkemuka di dunia, menurut aliran masing-masing, telah mulai mengembangkan rintisan ini, yang menjajar dari Islamisasi ilmu-ilmu sosial, Islamisasi ekonomi, dan Islamisasi sains dan teknologi. Rintisan dalam bidang pemikiran ini bermula dari keyakinan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai, dan karena itu suatu ilmu pengetahuan yang berisikan nilai Islam adalah sangat mungkin. Dekade 1980an ditandai dengan perbincangan luas mengenai soal ini.
Kedua, semakin intensif dilaksanakannya diskusi, seminar dan publikasi di sekitar teologi Islam yang relevan dengan kenyataan keindonesiaan. Selain melalui pengaruh teolog katolik dengan gerakan pembebasan di Amerika Latin, dengan rumusan ‘Teologi Pembebasan,’ juga terdapat pengaruh pemikir Islam yang radikal dan revolusioner seperti ‘Alī Syarī‘atī dan Hassan Hanafi.
Kelahiran ICMI pada akhir tahun 1990 juga turut mendukung perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Menurut Maarif kelahiran ICMI adalah klimaks dari sebuah proses sejarah umat Islam yang berliku dan panjang. Belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, berhimpun para cendekia dengan berbagai latar belakang kultural dan pengalaman keagamaan seperti yang terjadi di ICMI.
Sampai terjadinya reformasi 1998 perkembangan pemikiran Islam semakin menunjukkan pertumbuhan siginifikan di mana ide-ide pembaruan yang telah dikaji sebelumnya semakin mendapat perhatian luas dengan tema-tema seperti demokrasi, kesetaraan, yang menunjukkan kekuatan Islam sebagai kekuatan budaya semakin kuat—di mana sejak kegagalan Islam sebagai kekuatan politik, khususnya dengan pembubaran partai Masyumi tahun 1960, kekuatan Islam bergerak melalui jalur kultural.[45] Menurut Greg Barton Neomodernisme seperti yang diwakili Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid telah membantu menciptakan posisi intelektual/politik baru di dalam pemikiran Islam Indonesia, sebuah posisi yang menekankan nilai-nilai demokratik liberal dan pluralisme sosial.[46]
