BUDAYA KEPULAUAN DAN NEGARA MARITIM
“Peradaban kepulauan mengandung arti kesatuan laut dan darat.
Laut dan darat adalah kesatuan yang tidak dipisahkan.
Memadukan budaya laut dan pulau melahirkan budaya Bhinneka Tunggal Ika”
(Deklarasi Teluk Jakarta: Mufakat Budaya Indonesia)
Philips Tangdilintin |
Sekretaris Dewan Pakar ISKA Sulsel
Budayawan-filsuf Ishak Ngeljaratan kembali mendapat pengakuan sebagai cendekiawan kondang nasional. Beliau diminta menjadi keynote speaker pada Temu Akbar-II ‘Mufakat Budaya Indonesia’, FGD (Focus Group Discussions) Menuju World Culture Forum Bali II, 2015. Sekitar 150 tokoh, cendekiawan, spiritualis, ilmuwan, budayawan, seniman, insan media, dan pemuda menghadiri Sidang Pleno dan Komisi dari tanggal 28-30 Nopember di Jakarta Utara, dan menghasilkan rumusan bersama dengan nama “Deklarasi Teluk Jakarta 2014” menyusul “Deklarasi Cikini” yang dihasilkan oleh Temu Akbar-I, 2009. Nama deklarasi diambil dari nama lokasi pertemuan, tempat lahirnya deklarasi. Sayangnya, peristiwa penting dan strategis itu praktis luput dari liputan media masa.
Adalah budayawan kondang Radhar Panca Dahana, penanggungjawab Temu Akbar-II yang langsung menelpon dan mengundang beliau sebagai keynote speaker bersama Daoed Joesoef. Ketika Ishak bertanya “mengapa justru minta orang desa untuk menjadi keynote speaker di acara sepenting itu”, Radhar berkomentar: “Kami mencari cendekiawan sejati yang pemikirannya autentik dan jujur, belum terkontaminasi berbagai kepentingan pragmatis”. Topik makalah Ishak “Indonesia Yang Semakin Indonesia” disampaikan dariatas mimbar dengan gaya seorang demagog sehingga benar-benar memukau hadirin dan menuai pengakuan tulus Radhar dkk. Konsep-konsep kunci Ishak seperti ‘akseptansi’(sebagai ganti ‘toleransi’) langsung menjadi istilah kunci dalam diskusi-diskusi komisi dan mewarnai deklarasi.
Inferioritas Budaya
Temu akbar ini nampaknya bertolak dari kondisi kian memrihatinkan dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Berbagai konflik horizontal menandai keretakan sosial dalam masyarakat kita yang selalu membanggakan diri sebagai bangsa yang agamis-religius. Yang paling memrihatinkan, berbagai kekerasan itu justru membawa-bawa atribut agama. Agama sudah direndahkan menjadi alat politik praktis dan kepentingan pragmatis-ekonomis.
Karena agama sudah menjadi bagian dari masalah, kita membutuhkan pendekatan budaya untuk merekat kembali bangsa kita. Namun, kita juga sadar sedang mengalami entropi kebudayaan, dimana budaya lokal-etnis diakui bahkan dibanggakan tetapi tidak lagi fungsional dalam memandu perilaku; lebih banyak dijadikan bahan seminar, diskusi, kajian akademik dan penelitian yang hasilnya tersimpan rapih di perpustakaan. Karena menderita inferioritas budaya, kita lebih suka mendewakan dan meniru budaya asing. Dalam Lokakarya Pengembangan Kapasitas Jaringan Antariman Sulawesi Selatan di Makassar medio Oktober 2014 lau, seorang pemudi dengan cerdas dan lantang menyatakan “bangsa kita ini dapat dipetakan atas dua kelompok: kalau tidak kebarat-baratan, ya kearab-araban!”
Disinilah letak nilai strategis dari Temu Akbar-II, yang bahkan mencatat betapa budaya cangkokan yang diarahkan oleh kepentingan asing menimbulkan eksploitasi pada kekayaan alam dan budaya Indonesia, tidak berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, malah justru memperluas pelanggaran HAM.
Peran Cendekiawan
Indonesia adalah Negara Kepulauan yang sedang membangun diri menjadi Negara Maritim. Suatu negara layak menyandang predikat Negara Maritim bila sudah mampu menjaga kedaulatan di laut dan berhasil menguasai-mengolah-menggunakan kekayaan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Disamping itu, sebagaimana ditegaskan dalam deklarasi, Indonesia juga harus merevitalisasi peradaban kepulauan sebagai dasar kebudayaan bangsa. Peradaban kepulauan mengandung arti kesatuan laut dan darat. Laut dan darat adalah kesatuan yang tidak dipisahkan. Memadukan budaya laut dan pulau melahirkan budaya Bhinneka Tunggal Ika. Pembangunan Indonesia ke depan semestinya memperhatikan keseimbangan laut dan darat; orientasi kelautan harus diarusutamakan dalam setiap kebijakan publik. Kebudayaan Indonesia adalah pertemuan ratusan suku bangsa serta asal daerah, agama dan kepercayaan yang harus diperlakukan setara.
Disinilah kita sangat membutuhkan peran dan panduan kaum intelektual. Sayangnya, temu akbar juga mencatat bahwa kini kita menghadapi krisis peran intelektual. Elite bangsa ini lebih mengedepankan sikap materialistik-hedonistik. Produk elite politik hanya menghasilkan penumpulan hukum, intoleransi terhadap perbedaan dan kompetisi kekuasaan yang menghamba pada kepentingan para komprador, baik dalam maupun luar negeri. Perilaku para cendekiawan terutama yang menjadi elite partai politik tidak menyisakan lagi budaya dan kearifan lokal terutama dalam penanganan konflik internal, karena orientasi mereka adalah kekuasaan dan jabatan semata.
Rekomendasi
Oleh karena itu tantangan kita ke depan adalah menjabarkan gagasan-gagasan strategis yang dihasilkan Temu Akbar-II, kedalam program-program aksi. Khususnya yang sudah dirumuskan dalam empat rekomendasi berikut. (1) Kita harus memperjuangkan lahirnya budaya integratif yang bersifat merangkul, setara, menerima perbedaan, untuk memadu kerjasama. Untuk mengatasi agresivitas dan kekerasan, baik struktural maupun kultural, dalam interaksi sosial, perlu mengaktualisasikan kembali peran kearifan lokal sebagai solusi konflik. (2) Restorasi kebudayaan harus menempatkan kembali pelajaran menulis, mengekspresikan bahasa, termasuk bahasa dan seni lokal, sebagai alat penghalusan budi pekerti, kesantunan dan pendalaman akal budi. Bahasa Indonesia harus dirawat di tengah kecenderungan kontaminasi bahasa asing. Bahasa Indonesia harus diberdayakan sebagai medium untuk memperkaya prestasi kultural. (3) Menumbuhkan peran masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik melalui pemberdayaan lembaga-lembaga penyiaran, seperti radio, televisi dan media cetak serta lembaga penyiaran komunitas agar tidak dihela pasar semata, namun justru menyampaikan aspirasi kekinian publik, nilai-nilai kearifan lokal dan Pancasila. (4) Penyelenggara negara harus hadir sebagai penjamin utama bagi seluruh proses restorasi kebudayaan dan membangkitkan kembali peradaban kepulauan Indonesia, karena ketidakhadiran peran negara merupakan pengkhianatan terhadap sejarah, konstitusi dan amanah yang telah diberikan oleh rakyat.
