Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Welcome to Asia Spring!

$
0
0

Welcome to Asia Spring!

January 2, 2014 at 4:40pm

Mengawali paparan ini, sebaiknya perlu dipertanyakan dulu: “Ingatkah akan terminologiColour Revolution atau Revolusi Warna?”. Jika masih paham, syukurlah. Tetapi jika lupa atau kurang memahami, semoga review ini bisa membangkitkan kembali. Hal ini diperlukan karena erat kaitanya dengan materi bahasan sesuai judul catatan ini. Inilah uraian secara sederhana.

Tahun 2015 Indonesia Bisa Pecah

Jakarta (ANTARA News) – Indonesia pada 2015 diperkirakan bisa pecah menjadi sedikit-dikitnya 17 negara bagian, dan sebagai induknya, Negara Republik Jamali yang terdiri atas Jawa-Madura dan Bali, sebagai cermin imperium Majapahit zaman dulu.

“Sudah merupakan suratan Tuhan Yang Maha Kuasa, setiap 70 tahun berjalan, suatu kerajaan atau negara kebanyakan terjadi perpecahan. Mungkin juga termasuk di Indonesia,” kata Direktur Utama Komite Perdamaian Dunia (The World Peace Committe), Djuyoto Suntani, dalam peluncuran bukunya di Jakarta, Kamis.

Lembaga Swadaya Internasional, kata Djuyoto, membuat garis kebijakan mendasar pada patron penciptaan tata dunia baru. Peta dunia digambar ulang. Uni Soviet dipecah menjadi 15 negara merdeka, kemudian Yugoslavia dipecah menjadi enam negara merdeka, dan demikian juga Cekoslowakia.

“Di Irak saat ini sedang terjadi proses pemecahan dari masing-masing suku,” katanya.

Indonesia, kini juga sedang digarap untuk dipecah-pecah menjadi sekitar 17 negara bagian oleh kekuatan kelompok kapitalisme dan neoliberalisme yang berpaham pada sekularisme.

Pokok pikiran tersebut, kata Djuyoto, “Saya tuangkan pada Bab II yang juga memberikan jalan keluar agar Indonesia tetap menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI”.

Peluncuran buku yang dihadiri para tokoh nasional, seperti Djafar Assegaf itu, Djuyoto memaparkan, adanya konspirasi global yang berupaya memecah dan menghancurkan Republik Indonesia.

Upaya memecah-belah Indonesia itu dilakukan melalui strategi “Satu dolar Amerika Serikat/AS menguasai dunia”, yang digarap oleh organisasi tinggi yang tidak pernah muncul di permukaan, namun praktiknya cukup jelas, yakni berbaju demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Jika pecahnya itu menuju kebaikan rakyat, tidak menjadi soal, tetapi pecahnya NKRI itu justru akan menyulitkan rakyat karena semua aset penting dan berharga dikuasai investor asing di bawah kendali organisasi keuangan internasional,” katanya

Revolusi Warna

Bermula dari istilah media-media mainstream memotret gerakan massa di negara-negara pecahan Uni Sovyet, Pakta Warsawa atau Balkan dekade 2000-an dulu, sepertinya Colour Revolution memang bukan gejolak massa biasa. Ia tidak bersifat spontan, tak juga gerakan alami, namun  merupakan setting politik tingkat tinggi mengatas-namakan gerakan rakyat. Entah kenapa, sebutan pada setiap gerakan selalu mengadopsi nama serta warna-warna bunga.

Tengok gerakan di negara-negara pecahan Uni Sovyet dulu. Ada Prague Spring di Czechoslovakia (1989), selanjutnya di Baltic (2000), Revolusi Mawar di Georgia (2003), di Serbia (2003), ataupun Revolusi Oranye di Ukraina (2004), kemudian Revolusi Rose di Georgia (2004), ataupun Revolusi Cedar di Lebanon (2005), di Uzbekistan muncul “Bolga” (Hammer) era 2006-an, di Belarus timbul Revolusi Denim atau Revolusi Vasilykovaya (2008), Revolusi Podsnezhnikov di Armenia (2009), di Moldova bernama Revolusi Kirpichey atau Revolusi Kafelynaya (2011-2012), Revolusi  Tulip di Kyrgyzstan (2010-2011), bahkan Rusia terkena imbas gerakan bertajuk Revolusi Snezhnaya atau Myatezhom Hipsterov, kemudian Bulagria (2013) dan lain-lain.

Cina pun meski di luar jajaran Pakta Warsawa sempat terlanda revolusi “Tiananmen Square” (2001), termasuk Venezuela (2005) dan Negeri Para Mullah (Iran) melalui dua operasi yakni White Revolution (Operasi Ajax) dekade 1989 dan ”Revolusi Hijau” (2009), kemudian Syria, Libya, dll. Jujur harus diakui, tatkala Revolusi Warna menjalar di luar kawasan Pakta Warsawa terbukti banyak gagal atau out of control, meski kenyataannya akhirnya kadar gerakan justru ditingkatkan menjadi perang sipil atau pemberontakan bersenjata, sebagaimana kejadian di Libya, di Syria, dan lain-lain.

Arab Spring

 Sedangkan gerakan massa di Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara), khususnya  kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang hingga tulisan ini terbit masih belum ada tanda-tanda reda. Ia dijuluki oleh media-media dengan istilah Arab Spring atau Musim Semi Arab, ataupun “Kebangkitan Dunia Arab”. Jadi tidak lagi disebut sebagai Revolusi Warna. Menarik memang. Betapa “ruh” dan esensi kedua gerakan massa (Revolusi Warna dan Arab Spring) ternyata tak jauh berbeda, artinya kemasannya terkesan tak serupa namun secara hakiki jelas sama. Kesamaan ada di logo berupa “Tangan Mengepal”, dan slogan gerakan serba singkat yang dimaknai “cukup”. Awal gerakan di Mesir misalnya, berslogan Kifaya artinya cukup, gejolak di Georgia disebut Kmara juga maknanya cukup, di Ukraina namanya Pora (waktunya), di Kyrgystan slogannya Kelkel(zaman baru) dan lain-lain.

Baik Revolusi Warna di jajaran Pakta Warsa, maupun Arab Spring yang menerjang kelompok negara Jalur Sutera, sejatinya serupa tetapi tak sama. Itulah pemaknaan mutlak yang harus dipahami bersama. Oleh sebab hampir semua gerakan memiliki ciri tanpa kekerasan (non-violent resistance), sangat berperannya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk di dalamnya ialah kelompok pemuda serta mahasiswa sebagai ujung tombak. Barangkali perbedaan gejolak massa hanya pada waktu, tempat dan nama gerakan saja!

Gerakan Non Kekerasan untuk Ganti Rezim

 Tuntutan utama dalam revolusi non kekerasan ini ialah GANTI REZIM melalui langkah awal penyebaran isue-isue lazim seperti demokratisasi, hak azasi manusia (HAM), pemimpin tirani, kemiskinan, korupsi dan lain-lain. Tujuannya guna menciptakan opini publik agar menggumpal rasa “ketidakpercayaan rakyat kepada elit dan pemimpinnya”. Inilah “master virus”-nya revolusi yang harus ditancapkan di benak segenap massa di negara-negara yang menjadi target. Tak bisa tidak.

Selanjutnya, adanya kesamaan pola-pola dalam gerakan ganti rezim ini, karena mereka berpedoman pada “buku wajib” berjudul From Dictatorship To Democracy-nya Gene Sharp, sarjana senior Albert Einstein Institute (AEI). Ya. Melawan rezim tanpa senjata ialah metode baku, bahkan menjadi kunci strategi demi keberhasilan atas model gerakan semacam ini. Sasarannya ialah memanipulasi dan mencuri simpati publik melalui media massa serta media sosial seperti facebook, blogger, twitter dan lain-lain.

Tak dapat dipungkiri memang, selain hampir semua logo, slogan, taktik bahkan strategi gerakan berbasis kurikulum pada bukunya  Gene Sharp tadi, dari sisi pelatihan ternyata juga oleh lembaga yang sama yaitu Center for Applied Non Violent Action and Strategies(CANVAS), pusat pelatihan unjuk rasa tanpa kekerasan. Menurut beberapa sumber, CANVAS telah melatih para tokoh demonstran di 37-an negara termasuk di antaranya ialah Korea Utara, Belarus, Zimbabawe, Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, Suriah, Iran dan lain-lain. Retorika menggelitik pun muncul: bagaimana khabar kaum demonstran di Indonesia, apakah kalian juga termasuk yang dilatihnya?

Bersambung (2)



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Trending Articles


“Mali man na ikaw ay ibigin ko, akoy iibig padin sayo”


UPDATE SC IDOL: TWO BECOME ONE


Pokemon para colorear


Sapos para colorear


Love Quotes Tagalog


Long Distance Relationship Tagalog Love Quotes


Papa Jack Tagalog Love Quotes and Advice for you


Re:Mutton Pies (lleechef)


Ka longiing longsem kaba skhem bad kaba khlain ka pynlong kein ia ka...


EASY COME, EASY GO


FORECLOSURE OF REAL ESTATE MORTGAGE


HOY PANGIT, MAGBAYAD KA!


Girasoles para colorear


Presence Quotes – Positive Quotes


The business quotes | Inspirational and Motivational Quotes for you


Two timer Sad tagalog Love quotes


“BAHAY KUBO HUGOT”


RE: Mutton Pies (frankie241)


Vimeo 10.7.0 by Vimeo.com, Inc.


Vimeo 10.7.1 by Vimeo.com, Inc.