Naskah Nagarakertagama memberikan petunjuk dalam pupuh ke 15 bait 2, sebagai berikut: “kunaɳ tekaɳ nusa madura tatan ilwiɳ parapuri, ri denyan tungal / mwaɳ yawadarani rakwaikana danu, samudra nanguɳ bhumi kta ça ka kalanya karnö, teweknyan dadyapantara sasiki tatwanya tan adoh.” Dan pernyataan teks ini sangat sejalan dengan apa yang disampaikan oleh buku Atlantis dan Eden, analisa teks akan dibahas dalam materi selanjutnya di artikel ini.
Sekilas tentang buku Atlantis dan Eden, kedua buku ini memberikan gambaran jelas tentang mitos Surga di Timur, Surga Atlantis (Atlanti English Lamuria sam dengan Eden, merupakan kata lain dari Atlantis itu sendiri) dan tentang Surga di Timur ini pertama kali disampaikan oleh Plato.
Plato dalam bahasa Yunani: Πλάτων, lahir sekitar 427 SM dan meninggal sekitar 347 SM adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, yang salah satu anak didiknya yaitu Socrates, dengan memberikan gambaran atau petunjuk bahwa telah terjadi suatu masa peradaban tinggi di muka bumi ini, yang ditandai dengan adanya ke kaisaran agung yang mendunia.
Masa itu hilang karena adanya perubahan geologi dari muka bumi. Plato menjelaskan ciri-ciri dengan rinci mulai dari keadaan alam, flora dan faunanya serta ciri geografis dominan dari Surga Atlantis tersebut, dengan kuil-kuil atau istananya terbentuk dari emas. Berdasarkan apa yang disampaikan Plato inilah maka dimulai pula penelusuran dan pencarian jejak tentang mitos surga Atlantis tersebut.
Para petualang meneyebar ke seantero jagat dengan misi dasar menemukan mitos tentang Surga di Timur tersebut. Salah satu efek tidak langsung adalah munculnya bangsa-bangsa barat yang menjajah di Indonesia dan negara-negara lainya, misalnya penjajahan oleh Portugis, Inggris dan Belanda.
Berbagai kajian dan penelitian tentang mitos Surga di Timur itu sungguh beraneka ragam, tempat yang ditunjukannya pun berbeda-beda. Semua dilakukan dengan berbagai metoda, dan semuanya pula mengaku yang paling ilmiah tentunya berdasarkan bukti-bukti yang ajukan, dan tentunya pula pasti ada bantahan dan sanggahan dari ilmuwan lainnya. Buku yang disebutkan diatas merupakan kajian dan penelitian yang bisa dianggap paling mutahir, saat ini tentang Surga Atlantis. Kedua buku ini mempunyai metoda yang berbeda dalam pembahasannya, tetapi kedua buku ini pula menunjuk suatu posisi yang hampir serupa.
Buku Atlantis yang dikarang Prof Arsyio secara gamblang dan tegas menyatakan bahwa Surga Atlantis itu adanya tepat di Indonesia, lebih spesifik yaitu di laut Jawa yang kearah utaranya berbatasan dengan Laut China Selatan dan tentunya daratan China Selatan sekarang, dengan mengatakan bahwa laut Jawa dulunya merupakan daratan yang maha luas, termasuk katagori sangat langka dijumpai dimuka bumi ini daratan seluas itu, sedangkan pulau-pulau yang mengelilinginya merupakan dataran tinggi pada masa itu (Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malayu, dan yang lainnya, pulau besar Indonesia masa kini).
Sedangkan buku Eden in The East menujuk bahwa Surga Atlantis adanya di Asia bagian tenggara dan tidak secara tegas menunjuk Indonesia. Kedua pengarang buku tersebut mengajukan berbagai data, mulai data geologis, geografis dan dan sosial budaya serta peninggalan sejarah (artefak). Prof Arsyio lebih fokus di Filologi dan Linguistik dengan memakai sumber-sumber mitos di berbagai belahan dunia dan dari berbagai agama, sedangkan Oppenheimer lebih fokus dengan penelitian arkeologi, bukti artefak, tentunya walaupun masing-masing mengandalkan metode-metoda yang menurut mereka paling akurat tetap saja semua yang menjadikan fokus penelitian, tentu harus komperehensif dengan semua sumber dan metode lain yang mendukungnya.
Dan satu hal lagi, kedua buku sepakat bahwa kejadian itu terjadi ketika jaman terakhir es mencair yang ada dipermukaan bumi, era pleistosin, yang disebabkan oleh sebuah ledakan maha dasyat “a super colossal eruption” dari peristiwa vulkanik Gunung Krakatau, sehingga terjadilah akhir jaman es mencair, dan permukaan air laut menjadi pasang, melenyapkan dataran-dataran rendah. Pertistiwa lenyapnya daratan di laut Jawa sekarang dipancing dengan adanya kubangan maha besar (kaldera raksasa) diselat Sunda, efek kejadian vulkanik Gunung Krarakatu tersebut, akhirnya air masuk dari samudera Hindia dan menenggelamkan Surga Atlantis, diperkirakan oleh mereka yaitu kejadiannya sekitar 11.600 SM.
Bagi penulis, apapun mengenai berbagai bahasan kedua buku itu atau dari berbagai pihak, yang pasti berdasarkan data-data yang mereka sampaikan, bila ditarik kebelakang tentunya dan diasumsikan bahwa permukaan air di laut Jawa (laut antara pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera) menurun drastis hingga kisaran 150-200 meter (silakan baca tentang cara mengukur kedalaman laut), kasarannya dikuras habis sampai kedalaman tersebut, maka akan didapati dataran seluas kira-kira 400 x 600 km persegi bahkan lebih, dan ini memang daratan maha luas, hampir 3 kali luas pulau jawa sekarang.
Tentang kedalaman laut Jawa silakan baca di laporan Bakosurtanal, atau hasil pengamatan citra satelit laut Jawa yang menunjukan sebagian besar laut Jawa kedalamanya pada kisaran tersebut, yaitu 150-200 meter, walaupun memang ada juga palung-palung dalam yang merupakan hasil pertemuan lempeng-lempeng benua dengan kedalaman ribuan meter. Terdapat 4 (empat) sungai purba juga didaratan itu, dipermukaan dasar laut Jawa, yang diambil sebagai sebagai bukti refensi ilmiah tentang salah satu ciri Atlantis yang disampaikan Plato, dan itulah dalam berbagai mitos keagamaan sungai-sungai Surga dan Surganya Atlantis yang dimaksud, keempat sungai itu bersumber dari gunung Dempo, Sumatera Selatan.
Review Buku “Peradaban Atlantis Nusantara” di Good Reads
• Situs Gunung Padang di Cianjur
• Situs Batujaya di Kerawang-Bekasi
• Situs Pasemah di Pagar Alam, Sumatra
• Relief-relief di Candi Penataran, Blitar.
• Berbagai situs purba yang belum tereksplor, dll
Paperback, 560 pages


Kesadaran dan kebanggaan baru ini bukanlah untuk menjadikan kita sombong dan takabur, melainkan untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara giat dan tekun bekerja dan berbuat kebaikan bagi seluruh alam semesta dan dunia. Bersyukur dengan giat dan tekun belajar dari sejarah, agar dapat meneruskan semua kebaikan dan kemajuan leluhur Nusantara, dan tidak lagi mengulangi berbagai kesalahan dan keburukan mereka. Untuk kembali bersatu dengan alam, bersatu dengan penuh cinta kasih dan tanggung jawab memelihara dan menjaga kelestariannya, memanfaatkannya dengan penuh kearifan dan hikmah serta membagikannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat dan bangsa dengan penuh keadilan dan kemanusiaan. Terhindar dari keserakahan dan kerakusan egois pribadi, keluarga dan kelompok sendiri yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa dan NKRI karena itu akan merusak sendi-sendi nilai keadilan, kemanusiaan dan ketuhanan.
Tentang buku ini, budayawan Indonesia terkemuka, Dr. Radhar Panca Dahana berkomentar: “Bahwa negeri kepulauan ini memiliki kejayaan sejak dulu, sebenarnya semakin terang dalam tahun-tahun belakangan ini. Bukan hanya melulu karena imajinasi dan ilusi sebagian dari kita, tapi juga karena fakta ilmiah yang berurutan membuktikannya. Sehingga kini tiadalah alasan bagi siapa pun untuk tidak mempercayai kemampuan, keberdayaan dan potensi luar biasa yang terpendam dalam diri kita, sebagai manusia, juga sebagai bangsa. Terlalu banyak alasan untuk meyakini: bahwa kita memiliki semua modal untuk menjadi besar. Buku Ahmad Samantho (dan Oman Abdurahman) ini menelisik dengan rajin dari mulai isyu, fakta, hingga opini tentang semua persoalan itu. Ia menyiapkan banyak alasan bagi siapa pun manusia Indonesia untuk meyakini dan mengembalikan kejayaan itu. Kecuali bagi mereka yang tidak mempercayai diri sendiri, lebih mempercayai pihak lain, mendustai, memanipulasi dan mengkhianati realitas historisnya ini. Semoga buku ini menjadi obat bagi mereka.”
Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang pernah menyarankan agar tema tentang Atlantis di nusantara ini agar dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional, berkomentar: “Saya bersyukur bahwa melalui buku ini saudara Ahmad Samantho turut memperkenalkan teori Profesor Santos mengenai benua “Atlantis Indonesia” kepada khalayak pembaca yang semakin luas. Kadang-kadang, sejarah memang bukan hanya soal salah dan benar. Untuk mendorong impian warga bangsa menuju masa depan, kita memerlukan kesadaran sejarah tentang kebesaran-kebesaran masa lalu, makin jauh kita menghargai masa lalu, makin terbuka peluang dan tantangan bagi kita untuk berusaha mewujudkan mimpi tentang masa depan. Hanya dengan kesediaan dan kemampuan menghargai masa lalu itulah, kita berhak untuk bermimpi untuk membangun peradaban bangsa kita di masa depan.”
Sementara, Dr. Ir. Cahyana Ahmad Jayadi, MH, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia, menyatakan: “Mengenal dan memahami peradaban masa lalu bagi setiap bangsa, merupakan salah satu kunci keberhasilan membangun karakter bangsanya. Hanya bangsa yang memiliki karakter-lah yang bisa survive menghadapi tantangan zaman di era globalisasi hari ini dan esok. Oleh karena itu, penerbitan buku karya Kang Ahmad Samantho ini, merupakan salah satu iktiar menyediakan referensi tentang sebuah peradaban yang pernah hadir di wilayah Nusantara ini, di mana dengan memahami keunggulan dan kelemahan peradaban Atlantis, kita dapat jadikan modal dasar untuk mengembangkan peradaban maju berbasis keunggulan budaya dan karakter bangsa Indonesia, Insya-Allah, Amin.”
Prof.Dr. Abdul Hadi WM, budayawan, Sastrawan dan Penyair Sufi Nusantara yang juga dosen PMIAI Universitas Paramadina-ICAS Jakarta, mengungkapkan: “Buku ini mempunyai pandangan apokaliptik, sebagaimana beberapa buku lainnya. Dari pandangan apokaliptik itu kemudian dikembangkan menjadi pandangan sejarah. Di antara buku seperti ini, misalnya oleh Ibnu Khaldun, Hegel, Oswald Spengler dan Toynbee. Mengikuti jejak Ibn Khaldun dan Spengler, Toynbee melihat sejarah dalam perputaran musim. Suatu peradaban berkembang subur dan marak pada mula pertamanya, ibarat tetumbuhan di musim semi. Lalu datanglah musim panas, peradaban mulai kerontang. Kemudian disusul musim gugur, krisis dan kerontokan mulai mengancam peradaban, antara lain ini disebabkan oleh dekadensi moral dan dehumanisasi, sehingga akhirnya tiba masa kematiannya di musim dingin. Perputaran musim berikutnya terus bergulir, menanti fajar musim semi.”
Dion Yulianto rated it
Tebal : 540 halaman
Cetakan I: 1, Juli 2011, Cetakan Kedua: Oktober 2013
Harga : Rp 89.000,00
Membicarakan mengenai Atlantis seolah memang tidak akan pernah ada habisnya.Atlantis sendiri secara tiak langsung melambangkan masyarakat utopis yang luar biasa ideal, dan inilah sebabnya peradaban ini menjadi salah satu yang paling menarik untuk terus diteliti dan diperbincangkan.
Tempat ini disebutkan pertama kali oleh filsuf Plato dari Yunani Kuno sekitar abad 4 SM, dan sampai sekarang tidak kurang dari 500 buku dan film telah ditulis dan diangkat berdasarkan benua legendaris yang konon ditenggelamkan di dasar samudra.
Selain keberadaannya yang seolah “ada tapi tiada”, kontroversi ini juga berkaitan dengan letak sesungguhnya dari benua yang ditenggelamkan ini. Plato sendiri dalam karyanya Timeaus and Critias (ditulis pada 360 SM) menjelaskan bahwa pulau Atlantis terhampar di seberang pilar-pilar Hercules (yang selama ini dianggap sebagai semenanjung Gibraltar karena menghadap langsung ke samudra Atlantik).
Pulau makmur ini tenggelam ke laut hanya dalam waktu satu malam akibat hukuman para dewa yang murka kepada penduduk Atlantis. Entah Atlantis versi Plato ini hanya melambangkan suatu konsep Philosopher King dalam Republic-nya, ataukah dulu Atlantis ini memang benar-benar ada, yang jelas pencarian terhadap lokasi Atlantis tidak pernah berhenti.Beragam dugaan tentang letak tepat dari benua Atlantis pun bermunculan. Berbagai klaim dan perkiraan diajukan, di antaranya di Samudra Atlantik, di laut Mediterania, di pulau Siprus, hingga di laut Karibia di benua Amerika. Masalahnya, pada masa Plato (dan juga pada masa Herodotud dan Aristoteles), Atlantik digunakan untuk merujuk pada seluruh samudra atau lautan di seluruh dunia.
Bahkan, Plato merujuk kata “Atlantik” ini kepada Samudra Hindia sekarang. Seolah semua kontroversi itu belum cukup, pada tahun 2005 seorang profesor geologi dari Brazil yang bernama Prof. Dr. Aryo Santos meluncurkan bukunya Atlantis, the Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization (buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Ufuk) yang tidak kalah menghebohkan dunia. Santos, melanjurkan hipotesis Oppenheimer, mengajukan klaim bahwa Atlantis itu terletak di Nusantara, tepatnya di paparan Sunda atau laut dangkal antara pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan India.Alkisah, sekitar 10.000 tahun SM, ketika Bumi mengalami zaman es yang terakhir, diperkirakan memang ada sebuah peradaban besar yang maju.
Karena saat itu kawasan Amerika Utara, Asia, Timur Tengah, Eropa dan sebelah Selatan Afrika masih tertutup oleh tudung es yang luas, maka satu-satunya daratan yang memungkinkan munculnya peradaban adalah di wilayah tropis yang suhu udaranya hangat di samping datarannya yang luas. Dugaan ini lah yang digunakan Santos untuk mengajukan klaim bahwa Atlantis dulunya berada di kawasan Sundaland, sebuah dataran luas yang menyatukan India, Sumatra, Jawa dan Kalimantan.
Kondisi geografis Indonesia yang bergunung-gunung serta keadaan alamnya yang subur juga semakin menguatkan klaim Santos. Ledakan Megavolcano Toba, Krakatao, Tambora dan gunung-gunung lain di Nusantara Purba inilah yang kemudian menyebabkan tenggelamnya Atlantis.Buku Peradaban Atlantis Nusantara karya Ahmad Y. Samantho et.All ini ibarat bunga rampai yang sangat komprehensif untuk menguak misteri keberadaan benua Atlantis, terutama kaitannya dengan klaim bahwa Atlantis dulunya memang berada di Nusantara Purba.
Bagi Anda yang merasa buku Oppenheimer dan Santos—yang harganya di atas ratusan ribu—terlalu mahal, maka buku ini bisa menjadi semacam penghalang dahaga keingintahuan yang sangat memuaskan. Di dalamnya, kita bisa membaca rangkuman atau mungkin malah pemaparan secara lebih komprehensif mengenai karya Oppenheimer Eden in the East dan karya Santos Atlantis, Lost Continent finally Found. Lebih keren lagi, di buku ini juga ditampilkan sejumlah tulisan yang lebih lokal, yakni terkait dengan dugaan-dugaan dan/atau temuan-temuan sejumlah pakar Indonesia dari beragam ranah keilmuwan yang intinya hendak mendukung klaim bahwa Atlantis itu berada di Nusantara atau Sundaland. Misalnya saja, adanya kemiripan bentuk candi Sukuh yang menyerupai piramida bangsa Aztec, juga sebuah bukit di Jawa Barat yang diperkirakan adalah sebuah piramida yang tertimbun tanah karena bentuknya yang sangat simetris.
Bagian paling menarik dari buku ini bisa ditemukan pada bab 1, 2, 3, 4, 5, 6, 10, dan 13. Dengan tidak memungkiri pentingnya bab-bab yang lain; membaca bab-bab favorit di atas bisa diibaratkan seperti memutar film tentang Atlantis, mulai dari kemunculannya dalam karya Plato, hingga klaim bahwa Atlantis itu memang berada di Sundaland. Dalam bab-bab ini, pembaca akan menemukan jawaban dari mengapa peradaban yang besar itu bisa musnah tanpa meninggalakn jejak, sedahsyat apa bencana yang terjadi kala itu, apa keterkaitan antara tenggelamnya Atlantis dengan penyebaran atau diaspora penduduk dunia, benarkan nenek moyang bangsa-bangsa India dan Mesopotamia itu berasal dari Nusantara, bagaimana kisah terbentuknya selat Sunda terkait dengan tenggelamnya Atlantis, apakah pilar-pilar Herkules yang dimaksud Plato itu adalah gunung-gunung di Sumatra dan Jawa, dan masih banyak lagi tema-tema menarik seputar Atlantis yang luar biasa menarik untuk dibaca.
Karena formatnya yang berupa bunga rampai, mungkin sejumlah pembaca agak kecewa karena buku setebal 540 halaman ini tidak melulu membahas Atlantis. Beberapa bab di bagian belakang, bahkan membahas ranah filsafat ala Yunani yang mungkin sengaja dimasukkan dalam buku ini karena keterkaitan erat antara Atlantis, Plato, dan Yunani. Selain itu, masih dijumpai typo serta kekurangsempurnaan editan di halaman 70–90. Namun, secara garis besar, buku ini sangat memuaskan dahaga intelektual para pembaca yang mengidam-idamkan tema-tema Atlantis yang dibahas secara komprehensif dan ilmiah. Dan, para penyusun yang turut menyumbangkan tulisannya dalam buku ini pun sudah terbukti keandalannya dalam ranah masing-masing. Inilah yang membuat buku ini begitu bermutu dan berbobot. Sungguh sebuah karya yang mengajak kita untuk meneguhkan diri kita kembali sebagai bangsa yang besar. Dengan membaca buku ini, sejarah Nusantara mungkin harus sedikit direvisi kembali.
