Hind dimanakah gerangan?
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Meski awalnya hanya sebutan dalam lafadz parsia untuk menyebut shin, yang bermakna laut. penamaan ini menjadi Agak ruwet, karena penulisan sejarah era kolonial yang kacau soal penamaan itu. Berlanjut dengan pembentukan negara bangsa versi kolonial. Dimana mau tidak mau setiap bangsa berburu identitas yang pas untuk bangsanya. Ini mendorong banyak bangsa terjebak untuk keluar dari identitas aslinya dan cenderung menjadi ‘bangsa yang lain’
Indonesia mentok di majapahit dari aspek sejarah. Dan penamaan Indonesia yang nggak berbau lokal blas.
India ambil dr cerita mahabharata dan ramayana. Tumplek blek semua tokoh dan kerajaan dalam kisah itu masuk dalam sejarah dan wilayah mereka. Meski misalnya sebutan ayodya lebih tua di thailand ketimbang mereka.
Dalam kosa kata aram, atau ibrani shin adalah inisial atau sebutan umum untuk kata shaddai. Yang artinya raja gunung, makna serupa dalam tradisi yang berbeda adalah Giripriya, Gelar untuk siwa.
Sebutan lain untuk siwa adalah bhatara guru, semakna dengan Rabbinu dalam bahasa aram yang artinya : Guru yang agung.
Jika ada kesamaan makna dalam sebutan dr tradisi yang tampak berjauhan itu. Boleh jadi karena kita melihat dalam perspektif negara bangsa saat ini, yang cenderung membelah dan memutus rantai budaya dan sejarah.
Karena kosa kata aram atau ibrani juga ada dalam sejarah kita. Tidak hanya kosa kata sansekerta.
Contohnya kata ‘Ara’ dalam prasasti ara hiwang. Yang sama maknanya dengan pohon bodhi dalam bahasa lain.
Ara, adalah sebutan dalam bahasa aram dan ibrani.
Suku adat parmalim pun punya kosa kata ‘ara’ untuk asal leluhur mereka bhatara guru. Yg disebutkan tinggal ditempat yang banyak ditumbuhi pohon ‘Ara’
Gagasan untuk menjadi ‘bangsa yang lain’ tidak hanya soal hind.
Fenisia atau kan’an yang dianggap sebagai nenek moyang para pelaut, kinipun mulai diragukan keberadaannya dilokasi saat ini (lebanon).
Ini terkait dengan ‘menjadi fenisia’ yang mulai muncul dalam klaim kekaisaran karthago hingga roma. Klaim yang lebih bersifat politis, dan konflik ajaran ketimbang fakta sejarah. Dengan demikian sebutan untuk syam, damsyik/damascus, bisa juga di pertanyakan kembali saat ini. Mengingat penamaan syam untuk wilayah sekarang baru muncul di masa muawiyah abad ke 7.
Itupun buah konflik dengan sayidina Ali. Yang memaksanya mencari legitimasi religius terkait syam yang di sebutkan dalam hadist sebagai tanah terbaik untuk hijrah.
Berikut saya kutipkan caption dari buku yang membahas masalah ‘nama’ yang membuat ruwet terkait fenesia. Nenek moyang para pelaut.
Who were the ancient Phoenicians, and did they actually exist? The Phoenicians traveled the Mediterranean long before the Greeks and Romans, trading, establishing settlements, and refining the art of navigation. But who these legendary sailors really were has long remained a mystery. In Search of the Phoenicians makes the startling claim that the “Phoenicians” never actually existed. Taking readers from the ancient world to today, this monumental book argues that the notion of these sailors as a coherent people with a shared identity, history, and culture is a product of modern nationalist ideologies―and a notion very much at odds with the ancient sources.Josephine Quinn shows how the belief in this historical mirage has blinded us to the compelling identities and communities these people really constructed for themselves in the ancient Mediterranean, based not on ethnicity or nationhood but on cities, family, colonial ties, and religious practices. She traces how the idea of “being Phoenician” first emerged in support of the imperial ambitions of Carthage and then Rome, and only crystallized as a component of modern national identities in contexts as far-flung as Ireland and Lebanon.In Search of the Phoenicians delves into the ancient literary, epigraphic, numismatic, and artistic evidence for the construction of identities by and for the Phoenicians, ranging from the Levant to the Atlantic, and from the Bronze Age to late antiquity and beyond. A momentous scholarly achievement, this book also explores the prose, poetry, plays, painting, and polemic that have enshrined these fabled seafarers in nationalist histories from sixteenth-century England to twenty-first century Tunisia.