JEJAK KHILAFAH DI NUSANTARA?
Oleh: Makinuddin Samin
“Jejak”, apa artinya kata ini dalam perspektif sejarah? Jika menyangkut relasi antar negara, jejak bisa jadi tanda-tanda di masa lalu tentang sebuah relasi antar dua kekuasaan negara atau lebih, antar komunits politik, antar entitas diplomatik, atau antar kepentingan perdagangan. Sedangkan Nusantara, sampai kita menyakatan kemerdekaan sebagai bangsa, bukan entitas tunggal; baik kekuasaan negara, politik, diplomatik, perdagangan, maupun budaya. Nusantara meliputi puluhan negara dan komunitas politik. Kesultanan Aceh atau salah satu kekuasaan lainnya di Nusantara sebelum kemerdekaan, tak bisa disebut sebagai representasi Nusantara. Lalu apa makna kalimat “Jejak Khilafah di Nusantara”?
Seorang narasumber dalam diskusi “Jejak Khilafah di Nusantara” menyebut bahwa jejak Khilafah Utsmaniyah membentang dari Maroko sampai Meraoke. Jejak apa? Jejak perdagangan, relasi keagamaan, relasi diplomatik, atau jejak relasi kekuasaan antara negara vassal dengan negara induk?
.
Jika yang dimaksud adalah jejak perdagangan dengan Khilafah Utsmaniyah, apa hebatnya? Negara-negara di Nusantara sebelum abad 4 M telah memiliki jejak perdagangan dengan kekuasaan di luar Nusantara. Buku Raghuwamsa karya Kalidasa yang hidup ada abad ke-4 menyebut barang dagangan yang bernama lavanga (cengkih) adalah komoditas yang berasal dari dwipantara. O.W Wolters menyebut dwipantara yang dimaksud adalah kepulauan Indonesia (Sejarah Nasional Indonesia jilid II). Ini menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara telah memiliki relasi perdagangan Internasional, jauh sebelum Arab-Islam, Mongol Islam, dan Turki-Islam berkuasa.
.
Jika yang dimaksud adalah jejak relasi keagamaan dengan Utsmaniyah, apa yang luar biasa? Nusantara telah memiliki relasi keagamaan dengan India jauh lebih tua dari hubungan keagaaman dengan khilafah. Abad ke-2 M, saat bangsa Pallawa dan Salakanaya dari India Selatan mengungsi ke Jawa Barat dan mendirikan kerajaan Salakanagara sekaligus membawa kepercayaan mereka (Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara I.I), Jawa telah menjalin relasi keagamaan yang berasal dari seberang. Berlanjut pada abad 5, pada era Mulawarman di Borneo yang banyak meninggalkan jejak prasasti berbahasa Sansekerta. Bahkan, jika nama Swarnabhumi (pulau emas) adalah Sumatera, maka hubungan keagamaan dengan India jauh lebih tua, sebab Maharaja Ashoka tercatat pernah mengirim Buddhis Sora dan Uttara ke tempat yang disebut Swarabhumi pada abad ke-3 SM (Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha karya Goerge Coedes)
.
Khilafah Utsmaniyah juga bukan perintis penyebaran Islam di Nusantara. Sejarah menyebut Islam masuk di kepulauan Nusantara melalui jalur perdagangan dengan rute palayaran: Jazirah Arab (mungkin juga Mesir dan Afrika Utara), Yaman, India Selatan, Champa, Aceh dan Barus, selanjutanya menyebar ke kepulauan Nusantara lainya (Jawa, Kalimantan, Celebes, Bima, dan lain-lain), peritiswa itu terjadi pada abad 12 atau lebih tua dari itu. Padahal awal abad 13, para leluhur pendiri Khilafah Utsmaniyah dari Kabilah Turmaniyah masih menjadi pengembala di wilayah tandus Kurdistan dan ketika Kakek Utsman bin Urthughril (pendiri Utsmaniyah) lari pontang-panting menyelamatkan angggota klannya ke Anatolia ketika Jengis Khan memporak-porandakan Asia Kecil, sebagian pedagang “atas angin” telah memperkenallkan Islam kepada penguasa Nusantara. Khilafah Ustmaniyah sendiri baru berhasil menaklukan penguasa Islam di Jazirah Arab dari Dinasti Mamlukiyah pada abad 16 bersamaan dengan takluknya Dinasti Safawid yang berkuasa di Persia dan Dinasti Sa’diyah yang berkuasa di Afrika Utara (Kebangkitan dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah karya Ali Muhammad As-Shallabi). Artinya Utsmaniyah belum memasuki wilayah-wilayah itu hingga abad ke-16, apalagi merintis menyiaran agama Islam di Nusantara.
.
Bagaimana dengan relasi diplomatik, semacam persekutuan? Kepulauan Nusantara telah menjalin hubungan lebih tua dengan India jauh sebelum Kesultanan Aceh berkorespondensi dengan kekuasaan Utsmaniyah. Kisah-kisah pelaut dalam kitab Jataka telah menyebut Sumatera dan Jawa, pun begitu dengan Epos Ramayana (yang diperkirakan ditulis Walmiki pada abad ke-4 SM), juga telah menyebut dua pulau besar di Nusantara itu (Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha karya Goerge Coedes). Jadi soal persekutuan, tentu saja Nusantara tak perlu belajar dari Ustmaniyah.
.
Apakah negara-negara di Nusantara adalah bawahan (vassal) Khilafah Utsmaniyah, mungkin Kesultanan Aceh berdasarkan korespodensi antara Sultan Ala’al Din Al-Kahhar dengan penguasa Utsmaniyah (Khalifah Sulaiman Al-Qanuni)? Memang betul Sultan Al-Kahhar memohon agar Aceh menjadi vassal Utsmaniyah, namun berdasarkan surat jawaban Khalifah Salim II, pengganti Sulaiman Al-Qanuni, proposal sebagai vassal tidak mendapat respon. Bahkan bala bantuan yang dijanjikan dalam surat balasan itu juga tak pernah datang ke Aceh untuk melawan Portugis.
.
Deden dalam buku “Jejak Kekhilafahan Turki Utsmani di Nusantara” mengutip pendapat Baiquni Hasbi menyebut proposal tersebut disetujui oleh Salim II. Dalam tulisanku yang berjudul “Hubungan Mengecewakan dengan Khilafah Ustmaniyah”, aku sebut pendapat itu janggal sebab Sultan Ibrahim Masyur Syah juga mengajukan Aceh sebagai vassal Utsmaniyah dengan kalimat “Aceh bersedia membayar upeti tahunan kepada Turki Utsmani jika diterima sebagai daerah vassal.”
.
Kalau memang Aceh sudah menjadi salah satu provinsi Utsmaniyah di era Al-Kahhar, untuk apa Mansyur Syah mengajukan Aceh sebagai vassal lagi? Dan proposal yang diajukan Aceh kali kedua itu pun ditolak dengan alasan jarak antara Ustmaniyah dengan Aceh yang terlampau jauh, Turki Utsmani menganggap penerimaan Aceh sebagai wilayah vassal tidak akan memberikan manfaat bagi Khilafah (Jejak Kekhilafahan Turki Utsmani di Nusantara karya Deden A. Herdiansyah).
.
Jadi, baik Aceh maupun negara-negara lain di Nusantara dipastikan tak pernah menjadi bagian/vassal dari kekuasaan politik Khilafah Ustmaniyah. Apa buktinya: 1) Colin Imber dalam “Kerajaan Ottoman, Struktur Kerajaan: Sebuah Kerajaan Islam Terkuat dalam Sejarah” menyebut Ustmani sebaga imperium terkuat, terluas, dan terlama dalam sejarah peradaban dunia yang meliputi daratan Eropa, Asia, dan Afrika. Ketika menyebut Asia sebagai wilayah Utsmaniyah, Imber tak menyebut Nusantara, apalagi Aceh. Saat menyebut wilayah Utsmaniyah di Asia, dia hanya mengatakan “batas territorial memanjang ke timur melalui Bosphorus hingga perbatasan Iran, di bagian selatan dari teluk hingga Yaman dan Semenanjung Arab; 2) Mehrad Kia dalam “The Ottoman Empire” menyebut berbagai etnis dan bahasa dalam kekuasaan Utsmaniyah yang meliputi Yunani, Serbia, Bosnia, Hungaria, Albania, Bulgaria, Rumania, Arab, Turki, Armenia, dan Kurdi, tapi tidak pernah menyebut Nusantara, lebih-lebih Aceh; dan 3) Ali Muhammad As-Shallabi dalam “Kebangkitan dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah” menyebut puncak kekuasaan Khilafah Ustmaniyah berada pada masa Sulaiman Al-Qanuni, yang wilayahnya meliputi tiga benua, Asia, Afrika, dan Eropa, namun tak pernah menyinggung Asia Tenggara atau Nusantara.
.
Terkait dengan apa dan bagaimana relasi penguasa Nusantara, khususnya Aceh dengan Khilafah Ustmaniyah. Silakan baca artikelku berjudul: Hubungan Mengecewakan dengan Khilafah Utsmaniyah, Gaya Ustmaniyah dalam Pemberontakan di Jawa, dan Adakah Janissary dalam Perang Jawa?
———————–
Aku belum kenalan dengan salah satu artis tercantik Turki dari lifestyle.okezone ini, jadi tak tahu namanya
↧
Jejak Khilafah di Nusantara ???
↧