Prolog oleh : Ahmad Yanuana Samantho
Filsafat dan Budaya “Bhineka Tunggal Ika” sebagai Basis Pertahanan Ideologis Peradaban NKRI[1]
Sebagaimana keprihatinan yang kita pahami bersama, dinamika kondisi Ipoleksosbud-Hankamnas Indonesia beberapa tahun belakang ini semakin memanas dan akan segera mulai memasuki tahap kritikalnya, bila tak segera diantisipasi secara tepat oleh seluruh pemangku kepentingan kebangsaan dan kenegaraan kita.
Setelah 72 tahun “merdeka secara formal” dari penjajahan kolonialisme dan imperialisme asing atas negeri ini, kita rasakan sebagian putra bangsa Indonesia ternyata masih belum sepenuhnya 100 % merdeka dari efek penjajahan berbagai falsafah-ideologi asing, serta dominasi mindset (paradigma) mental dan praksis ipoleksosbud hankamnas yang tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 sebagaimana yang tercantum dalam naskah suci Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Sebagian besar rakyat kita dan elite politik-ekonomi, intelektual dan budaya putra bangsa kita, selama periode panjang puluhan tahun pasca Proklamasi Kemerdekan RI sampai kini, masih kerap tercerai-berai dan semakin teracak-acak, oleh berbagai konflik kepentingan global dan falsafah ideologis asing yang menjadi perpanjangan atau ekses dari perang dingin pasca kemenangan pihak Barat Liberal-Kapitalis pada Perang Dunia ke II, dan hegemoni neo/paska kolonialisme berlabel kemasan agamis (SARA) Berbagai problem kritis dan eksesnya masih membelengu alam pikir dan kebatinan mayoritas bangsa kita. Peran Fundamental Falsafah Ideologi Pancasila dan Asas Bhineka Tunggal Ika pun kini menghadapi ancaman serius.
Mempertimbangkan latar problem di atas, maka sudah saatnya kini kaum intelektual, para rohaniawan-ulama, dan budayawan-negarawan bersatu padu menyelaraskan kesadaran dan pola pikir dan pola tindak untuk segera -secara revolusioner-restoratif-, (karena terbukti dengan gerakan reformasi saja sangatlah tidak mencukupi) melakukan Gerakan Penyadaran dan Revolusi Mental-Budaya, sebagaimana yang sudah menjadi kebutuhan bangsa dan telah dicanangkan oleh Bapak Presiden Joko Widodo sejak awal masa bhaktinya.
Kebijakan itu harus ditindaklanjuti pemerintah dengan merencanakan dengan berbagai program kerja Pembangunan Karakter Bangsa berdasarkan orisinalitas Budaya-Peradaban Bangsa Nusantara/Indonesia berdasarkan Asas Filosofis-Idelogis Konstitusional Panca Sila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika NKRI, secara Komprehensif-Holistik-Integral. Program pembangunan tersebut harus dilakukan secara terencana, konseptual ilmiah sekaligus berlandaskankan pada warisan nilai-nilai tradisi suci asli adat-budaya-adab bangsa Indonesia di Nusantara Ibu Pertiwi, yang sudah terasimilasi dan terakulturasi secara harmonis dengan berbagai kearifan dunia dan pokok kebijaksanaan agama-agama besar selama berpuluh abad dan ribuan tahun lamanya.
Maka realisasi Visi dan Missi di atas harus didukung dan dilaksanakan secara nyata dengan program kerja pembangunan mental dan karakter bangsa yang terorganisir dan terkelola manajemen operasionalnya oleh sejumlah besar (massal) SDM yang rapih, kualified, fit and proper, efektif-effisien dan integratif. Pemerintah juga perlu segera membina atau mewujudkan semacam forum bersama (plus teamwork-nya), di tingkat masyarakat sipil (Civil Society/Masyarakat Madani, misalnya dalam Bentuk DEWAN ADAT-BUDAYA DAN ADAB NUSANTARA (yang akan mempersatukan, mengkonsolidasi serta mensinergikan berbagai potensi SDM dan program kerja para Intelektual, Rohaniawan-Ulama, Negarawan dan Budayawan, sebagai wadah “Ka-Resi-an dan Ke-Rama-an” yang akan mendampingi para Prabu (Kerprabon/Karatuan atau Eksekutif-legislatif dan yudikatif).
Berbagai Program Pembangunan Karakter Bangsa dan Budaya-Peradaban Bangsa tersebut harus dilakukan secara terencana, konseptual komprehensif-holistik- ilmiah sekaligus berdasarkan pada tradisi suci adat-budaya-adab bangsa Indonesia di wilayah Ibu Pertiwi, yang sudah terasimilasi dan terakulturasi dengan berbagai kearifan dan kebijaksanaan perennial agama-agama besar dunia, berdasarkan Asas Filosofis-Idelogis Konstitusional, Panca Sila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika, NKRI, mengingat tantangan dan ancaman yang begitu Gawat Darurat (Krisis yang sangat Kritis).
Apa yang harus Kita Lakukan ?
- Mensosialisasikan ide gagasan dan membentuk dan mengorganisasikan kelembagaan Dewan Budaya dan Adab Republik Indonesia.
- Melakukan pengkajian, penelitian, invertarisasi nilai, sejarah dan ajaran, kompilasi dan analisis filosofis-ideologis untuk memperkuat dan revitalisasi Falsafah ideologi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dan Realisasi Amanat Pancasila dan UUD 1945.
- Menjalankan berbagai program Pendidikan dan Pelatihan dalam kerangka Pembudayaan/Pemberadaban Bangsa dalam berbagai tingkatan level strata sosial-budaya, (misalnya: TOT untuk Kader birokrat pemerintahan, para politisi, para pelaku ekonomi, para pendidik dan aktif is kebudayaan, kaum intelektual, gerakan pemuda, kewanitaan, pimpinan LSM serta Tokoh Masyarakat, dll untuk dapat menularkannya kepada semua WNI sebagai basis Bela Negara dan pelaku Revolusi Mental bangsa).
- Menyelenggarakan berbagai event ilmiah-pendidikan kewargaan penunjang (seminar, lokakarya, konferensi) dan Gelaran Kebudayaan, serta produksi media kreatif untuk mendukung Visi-Missi dan Program di atas.
- Melakukan konsolidasi dan membangun jaringan kerjasama antar berbagai potensi kelembaga dan tokoh kebangsaan dan keumatan .
Sejauh yang penulis survey sampai saat ini tampaknya belum ada literature yang membahas dan mengkaji secara mendalam dan komprehensif tentang penjabaran ideologi Panca Sila dari sudut pandang Filsafat Islam Nusantara, seperti yang ingin penulis lakukan saat ini
Namun demikian memang sudah ada beberapa karya rintisan maupun seminar-seminar dan penelitian yang mengarah kepada upaya penjabaran nilai-nilai prinsipil Pancasila dari berbagai sudut pandang filsafat maupun disiplin ilmu-ilmu humaniora dan ilmu sosial
[1] Ini adalah Abstrak / Synopsis Usulan untuk Bahan Seminat Kementrian Pertahanan RI,1- Agustus-Oktober 2017: (AYS, Bogor 17 Juli 2017)
JANGAN SEKALI-KALI MENINGGALKAN SEJARAH (JAS MERAH)

Ajaran Siwa-Buddha yang berkembang pesat di zaman kerajaan Majapahit telah melahirkan konsep kebhinekaan dalam persatuan Indonesia.
Penyatuan ajaran Siwa-Buddha dipertegas dengan kakawin naskah suci dari kitab Sutasoma oleh Mpu Tantular. Ajaran Siwa-Buddha adalah agama nenek moyang orang Jawa pada masa Jawa kuno. Ajaran Siwa-Buddha Tantris hanya ada disini, di Indonesia, tidak ada lagi ditemukan di tempat lain.
Hal ini sangat jelas memperlihatkan betapa para Rsi, Acharya, Mpu, di masa silam telah melahirkan sebuah karya yang agung di bidang agama, spiritual, seni, dan kebudayaan. Karya ini sungguh mengagumkan paling tidak bagi dia yang berjalan di jalan rohani dan bagi mereka yang masih bisa menghargai karya-karya besar leluhurnya atau bagi mereka yang masih tidak mau menghapus sejarah besar pendahulu-pendahulunya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kebangsaan oleh para pendiri-pendiri negara yang berpikir arif dan bijaksana secara sadar dibangun dengan menggunakan nilai-nilai luhur kebudayaan nasional dengan memetik ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai motto dalam Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia dari sebuah karya sastra berbentuk kakawin berbahasa Jawa Kuno digubah oleh Mpu Tantular pada masa Majapahit pada abad ke-14. Pada karya ini diungkapkan bahwa sesungguhnya antara ajaran Siwa dan Buddha tunggal.
Pada zaman itu “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” dimaknai dari perspektif agama, namun pada saat pendahulu-pendahulu kita membangun Indonesia raya ini dimaknai sebagai masyarakat bangsa yang pluralistik tidak hanya di dalam agama, tetapi juga yang lain, seperti kepercayaan, bahasa, etnis, kebudayaan, kesenian, makanan, busana, seni arsitektur, dan lain-lain. “Bhinneka Tunggal Ika”, bermakna bahwa bangsa ini berbeda-beda etnis suku bangsanya, namun satu dalam wadah Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) Indonesia menggunakan kata-kata selanjutnya dari bait kakawin tersebut sebagai moto yang terdapat di dalam simbol organisasi ini, yaitu “Tan Hana Dharma Mangrwa”, tidak ada kebenaran yang mendua.
Kebenaran itu selalu satu, kebenaran tidak pernah kontradiksi dengan kebenaran. Jika ada kebenaran yang saling kontradiksi itu bukanlah kebenaran (Dharma), karena kebenaran selalu satu. Dalam konteks LEMHANNAS, moto ini dimaknai ‘bertahan karena benar’. Barangsiapa yang taat dan melaksanakan Dharma, maka Dharma itu sendiri akan melindunginya. “Dharma Raksati Raksitah“. Orang yang taat dengan Dharma tidak pernah merasa takut, mundur menghadapi segala bentuk ancaman. Maka setiap bangsa Indonesia, khususnya mereka yang bertugas mengamankan bangsa dan negara ini sesungguhnya diajarkan kebenaran (Dharma) dalam setiap pikiran (manacika), perkataan (wacika) dan perbuatan (kayika), yang disebut dengan Tri Kaya Parisudha.
Negara kuat, bangsa besar, masyarakat sejahtera, aman dan sentosa kuncinya Dharma. Jika Dharma ditinggalkan maka Dharma itu sendiri juga akan meninggalkan kita. Dharma akan mengantarkan kepada kebahagiaan, Adharma mengantarkan menuju penderitaan.
Bangsa Indonesia mampu memetik hal-hal positif dan mampu menggunakannya untuk mempertinggi dan mempermulia kebudayaan sendiri yang sudah juga maju. Hinduisme dan Buddhisme mengembangkan kebudayaan pluralisme. Kebhinnekaan dalam semangat pembebasan diri dari segala belenggu memang sangat dianjurkan.
Dengan kata lain, bangsa Indonesia mampu mengambil hal-hal yang dirasakan terbaik, tidak hanya dari kebudayaan India tetapi juga dari seluruh dunia. Hal-hal seperti ini tentu saja dapat memperkaya kebudayaan sendiri tanpa harus kehilangan identitas budaya sendiri. Ini juga berarti karakter bangsa Indonesia sejak zaman kuno selalu terbuka dan bersahabat dengan hal-hal baik dari mana pun asalnya. Keterbukaan, toleransi, integrasi merupakan karakter dari masyarakat Indonesia sejak dulu.
Indonesia ibarat air campuhan, bertemunya air-air sungai dari berbagai daratan. “Persatuan dalam kebhinnekaan” (unity in diversity) merupakan sebuah kenyataan sekaligus jargon yang harus terus dipelihara untuk mempersatukan wilayah daratan dan lautan Indonesia yang sangat luas dengan segala kebhinnekaannya. Dalam konteks kerajaan Sri Wijaya dipersatukan melalui nilai-nilai Buddha Mahayana; dalam konteks kerajaan Majapahit melalui agama Siwa-Buddha.
Adalah sangat tepat Bapak Soekarno, tokoh-tokoh nasional saat ini mengambil ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika“, sebagai moto bangsa yang diharapkan dapat menyatukan segala bentuk perbedaan dalam spirit negara kebangsaan. Jika di zaman Mpu Tantular di kerajaan Majapahit pada abad ke-14 ungkapan ini dimaknai sebagai penyatuan agama Siwa-Buddha, maka dalam konteks perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Soekarno dan tokoh-tokoh bangsa pada saat itu memaknai dari perspektif pluralisme bangsa. Ia berpikiran cerdas dan jauh ke depan bahwa pembangunan bangsa dan negara yang besar ini dimulai dari kekuatan konsep kebhinnekaan dalam kesatuan. Membangun negeri yang luas ini dengan begitu banyak kebhinnekaan maka harus ada kekuatan pemersatu, yaitu filsafat yang tumbuh dari bumi Nusantara.
Tinggi rendahnya martabat, kualitas suatu bangsa diukur dari ketinggian kebudayaannya. Jika menyelami kebudayaannya maka kita akan memahami dinamika pemikiran para pemikir, cerdik cendekia, filosof seperti terekam dalam karya-karya sastra.
Sebelum membangun angkatan perang, gedung, jembatan, jalan raya, pabrik, hotel, sekolah dan lain-lain, yang paling penting adalah membangun konsep negara kesatuan yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sejarah telah mencatat membangun Negara Kebangsaan ini, bangsa yang terdiri dari berbagai etnis, agama, bahasa, budaya dan lain-lain telah banyak berkorban baik fisik non fisik dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Soekarno dalam beberapa kesempatan mengingatkan generasi muda, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” (jasmerah).
Satyam Eva Jayate.
Dharma Raksati Raksitah.
OM Shanti.
Sejarah Bhineka Tunggal Ika-Semboyan Negara
Posted by Juan Dynash
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika bisa ditemukan dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditulis pada abad XIV pada era Kerajaan Majapahit. Mpu Tantular merupakan seorang penganut Buddha Tantrayana, namun merasakan hidup aman dan tentram dalam kerajaan Majapahit yang lebih bernafaskan agama Hindu (Ma’arif A. Syafii, 2011). Sejarah Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi bahan diskusi terbatas antara Muhammad Yamin, I Gusti Bagus Sugriwa, dan Bung Karno di sela-sela sidang BPUPKI sekitar 2,5 bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (Kusuma R.M. A.B, 2004). Bahkan Bung Hatta sendiri mengemukakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan ciptaan Bung Karno pasca Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun kemudian ketika mendesain Lambang Negara Republik Indonesia dalam bentuk burung Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika disisipkan ke dalamnya.
Secara resmi lambang ini digunakan dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yg dipimpin oleh Bung Hatta pada tanggal 11 Februari 1950 berdasarkan rancangan yang diciptakan oleh Sultan Hamid ke-2 (1913-1978). Pada sidang tersebut mengemuka banyak usulan rancangan lambang negara, selanjutnya yang dipilih adalah usulan yang diciptakan Sultan Hamid ke-2 & Muhammad Yamin, dan kemudian rancangan dari Sultan Hamid yang akhirnya ditetapkan (Yasni, Z, 1979).
Karya Mpu Tantular tersebut oleh para founding fathers diberikan penafsiran baru sebab dianggap sesuai dengan kebutuhan strategis bangunan Indonesia merdeka yang terdiri atas beragam agama, kepercayaan, etnis, ideologi politik, budaya dan bahasa. Dasar pemikiran tersebut yang menjadikan semboyan “keramat” ini terpajang melengkung dalam cengkeraman kedua cakar Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu ialah kendaraan Dewa Vishnu (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia, jasa Muh.Yamin harus diingat sebagai orang yang pertama kali mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan sesanti negara. Muh. Yamin sebagai tokoh kebudayaan dan bahasa memang dikenal sudah lama bersentuhan dengan segala hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit (Prabaswara, I Made, 2003). Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, Muh. Yamin menyebut-nyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Namun I Gusti Bagus Sugriwa (temannya dari Buleleng) yang duduk di sampingnya sontak menyambut sambungan ungkapan itu dengan “tan hana dharma mangrwa.” Sambungan spontan ini di samping menyenangkan Yamin, sekaligus menunjukkan bahwa di Bali ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup dan dipelajari orang (Prabaswara, I Made, 2003). Meksipun Kitab Sutasoma ditulis oleh seorang sastrawan Buddha, pengaruhnya cukup besar di lingkungan masyarakat intelektual Hindu Bali.
Para pendiri bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam tampaknya cukup toleran untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa di Indonesia yang telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit abad XV, pengaruh Hindu-Budha secara politik sudah sangat melemah, secara kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Bhinneka Tunggal Ika dalam Konteks Indonesia
Indonesia beruntung telah memiliki falsafah bhinneka tunggal ika sejak dahulu ketika negara Barat masih baru mulai memerhatikan tentang konsep keberagaman.
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keberagaman. Jika dilihat dari kondisi alam saja Indonesia sangat kaya akan ragam flora dan fauna, yang tersebar dari ujung timur ke ujung barat serta utara ke selatan di sekitar kurang lebih 17508 pulau. Indonesia juga didiami banyak suku(sekitar kurang lebih 1128 suku) yang menguasai bahasa daerah masing-masing (sekitar 77 bahasa daerah) dan menganut berbagai agama dan kepercayaan. Keberagaman ini adalah ciri bangsa Indonesia. Warisan kebudayaan yang berasal dari masa-masa kerajaan Hindu, Budha dan Islam tetap lestari dan berakar di masyarakat. Atas dasar ini, para pendiri negara sepakat untuk menggunakan bhinneka tunggal ika yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu jua” sebagai semboyan negara.
Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang dengan mengambil peran masing-masing.
Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun sebuah bangsa telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri bangsa Indonesia. Keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an merupakan realitas sosial, sedangkan ke-tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang digagas sebagai “jembatan emas” untuk menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul keberagaman dalam sebuah bangsa adalah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia.
Para pendiri negara juga mencantumkan banyak sekali pasal-pasal yang mengatur tentang keberagaman. Salah satu pasal tersebut adalah tentang pentingnya keberagaman dalam pembangunan selanjutnya diperkukuh dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman.
Sumber:
http://demokrasiindonesia.blogspot.co.id/2014/09/sejarah-bhineka-tunggal-ika-semboyan.html
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Jawa Kuna berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah-belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa dilontarkan secara lebih nyata masa Majapahit sebenarnya telah dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak tertinggi perkembangannya, karenanya Nararyya Wisnuwarddhana didharmmakan pada dua loka di Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat Buddha. Juga putra mahkota Krtanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan sebagai JINA = Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra. Inilah fakta bahwa Singhasari merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan keberlangsungan kerajaan Majhapahit. Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan (the founder) tiada lain kerabat sekaligus menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara = raja Singhasari terakhir).
Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular pada dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu. Telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, telah sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah Bhinneka Tunggal Ika – Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat menjadi semboyan yang diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila. Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majhapahit.
Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara nusa) dalam kesatuan Nusantara raya. Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan bhinna-ika- tunggal – ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya SATU, satu bangsa dan negara Republik Indonesia. Lambang NKRI Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober diundangkan pada tanggal 28 Oktober 1951 tentang Lambang Negara. Bahwa usaha bina negara baik pada masa pemerintahan Majhapahit maupun pemerintahan NKRI berlandaskan pada pandangan sama yaitu semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar dalam menegakkan negara.
Sementara semboyan “Tan Hana Darmma Mangrwa” digunakan sebagai motto Lambang Pertahanan Nasional (Lem Ham Nas). Makna kalimat ini adalah “Tidak ada kenenaran yang bermuka dua” kemudian oleh LemHaNas semboyan kalimat tersebut diberi pengertian ringkas dan praktis yakni “Bertahan karena benar” “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua” sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan pada kebenaran yang satu. Bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa adalah ungkapan yang memaknai keberadaan aneka unsur kepercayaan pada masa Majhapahit. Tidak hanya Siwa dan Buddha tetapi juga sejumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih dahulu sebagian besar anggota masyarakat Majhapahit yang bersifat majemuk.
Sehubungan bahwa semboyan tersebut embrio dari Singhasari yakni pada masa Wisnuwarddhana sang dhinarmmeng ring Jajaghu (Candi Jago), maka baik semboyan bhinneka tunggal ika maupun bangunan Candi Jago kemudian disempurnakan pada masa Majhapahit. Oleh sebab itu kedua simbol (wijaksara maupun dan bangunan) tersebut lebih dikenal sebagai hasil peradaban era Majhapahit. Padahal sesungguhnya merupakan hasil proses perjalanan sejarah sejak awal. Dari segi agama dan kepercayaan Majhapahit merupakan masyarakat majemuk. Di samping mengesankan adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa-Budha dan pemujaan roh nenek moyang, namun kepercayaan Pribumi asli tetap bertahan, bahkan mengambil peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat. Ketika itu masyarakat Majapahit terbagi:
- Golongan pertama, orang-orang yang beragama Islam yang datang dari barat dan tinggal di Majapahit;
- Golongan kedua, orang-orang Cina kebanyakan dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou (terletak di Fukien) yang menyingkir dan bermukim di sini. Banyak dari mereka yang masuk agama Islam dan bahkan menyiarkan agama tersebut;
- Golongan ketiga, penduduk pribumi yang bila berjalan tanpa alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala. Mereka percaya sepenuh-nya kepada roh-roh leluhur
Butir ketiga inilah yang bersesuaian dengan kebiasaan menyeru roh roh leluhur di samping dewa-dewa Hindu dan dicantumkan dalam prasasti-prasasti. Hakekatnya merupakan tradisi terus berlanjut, dimulai sejak kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Tengah, Mataram kuno Jawa Tengah yang didirikan (the founder) oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya – tiada lain adalah Rahiyang Sanjaya dari Kerajaan Galuh yang berpusat di Ciamis Tatar Sunda. Roh leluhur tersebut diharapkan dan dimohon pertolongannya menjaga dan menjadi saksi serta merestui kutukan bagi mereka yang berani melanggar surat keputusan raja. Tercatat dalam Nagarakertagama (16:2-4) pemeluk Budha dari kalangan rakyat biasa terbatas, para bhujangga dan pendeta Budha bertugas ke daerah-daerah mengumpulkan upeti-upeti sangat dilarang berkunjung dan menyiarkan agama ke bagian barat Majhapahit. Karena di daerah tersebut agama Budha tidak memiliki pengikut. Pendeta Budha hanya diperbolehkan menyebarkan agamanya ke timur Majapahit terutama Bali dan Gurun (Lombok?). Sedangkan para pendeta Hindu-Saiwa bebas berkunjung dan menyiarkan agamanya di mana saja di dalam wilayah kekuasaan Majhapahit.
Kalangan rakyat Kerajaan Majhapahit ada yang menganut Hindu tapi penganut agama Budha terbatas, dan yang terbanyak di samping adalah penganut religi asli yakni kepercayaan yang pokok pemujaannya adalah mengagungkan Roh Leluhur. Masa Majhapahit adalah masa menandai kebangkitan kembali kepercayaan roh nenek moyang yang telah hidup dari masa sebelumnya terutama sejak periode Jawa Tengah telah terdesak ke pinggir dengan kehadiran inovasi luar asing. Kebangkitan tersebut tidak hanya terjadi di kalangan bawah (rakyat) tetapi adanya gejala perubahan pada berbagai aspek secara global dalam terutama dalam bidang kesenian keagamaan. Pola halaman dan orientasi bangunan suci kerajaan berubah mengikuti pola dan tatanan gunung yang disusun mundur ke belakang dan kian ke atas kian tinggi yang diakhiri pada suatu punden sebagai unsur paling suci, sebagaimana pola bangunan suci Candi Jago, Candi Panataran dan mayoritas umumnya bangunan-bangunan suci di Jawa Timur. Inilah bukti, sekaligus fakta gejala kebangkitan kepercayaan Asli merasuk dan menjangkau secara formal ke kalangan atas (bangsawan)
http://www.idsejarah.net/2014/01/sejarah-bhinneka-tunggal-ika.html