Mataram Islam Bukan Pewaris Sah Majapahit ?
Berdirinya Kerajaan Mataram Islam sesungguhnya tidak memiliki pijakan yang kuat dari segi legalitas sejarah. Penguasa Kerajaan Mataram Yogyakarta yang pertama yakni Panembahan Senapati atau Sutawijaya tidak memiliki keterkaitan dari segi silsilah dengan Raja Majapahit Kertabumi atau Brawijaya V atau Dyah Kertawijaya (1453-1478).
Klaim Babad Tanah Jawi yang menjadi landasan legitimasi bahwa Kerajaan Mataram Islam merupakan kelanjutan dari Kerajaan Majapahit tidak memiliki pijakan yang kuat dan cenderung ahistoris. Babad Tanah Jawi disusun pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma dimana penguasa membutuhkan legitimasi kuat bagi Kesultanan Mataram agar masyarakat Jawa mau menerima Panembahan Senapati dan keturunannya sebagai penguasa sah Tanah Jawa sebagai pewaris atau penerus Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha.
Terlebih lagi jika mengkaitkan hubungan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Mataram kuno baik Dinasti Sanjaya (Badra), Dinasti Syailendra ataupun Dinasti Isyana maka semakin ahistoris. Karena Mataram Kuno dan Mataram Islam terpaut lebih dari 6 abad tanpa ada silsilah yang bisa menghubungkan diantara keduanya. Jika mengklaim pewaris Medhang i Matriam (Mataram), dari jalur manakah Panembahan Senapati berasal ?
Panembahan Senapati atau Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan adalah tangan kanan sekaligus guru spiritual Hadi Wijaya atau Jaka Tingkir atau Raja Kerajaan Pajang. Jaka Tingkir adalah putra Bupati Pengging Kebo Kenanga. Kebo Kenanga adalah putra Pangeran Andayaningrat atau Dyah Wijayakusama, inilah putra bungsu Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V yang gugur di tangan Girindrawardhana pada perang yang terjadi pada 1486
Ki Ageng Pemanahan sendiri dengan demikian bukan keturunan trah Majapahit seperti Hadi wijoyo. Babad Tanah Jawi berupaya menjustifikasi bahwa Suta Wijaya berasal dari keturunan raja Majapahit tanpa alur sejarah yang jelas.
Sejarawan G Moedjanto dalam buku yang berjudul Konsep Kekuasaan Jawa: penerapannya oleh raja-raja Mataram, terbitan Kanisius (1987) menyatakan seluruh keturunan Raja Mataram Islam berasal dari petani sehingga dibutuhkan gelar sebagai basis legitimasi kekuasaan. Gelar Panembahan yang digunakan Senapati sebenarnya bukan gelar untuk golongan ningrat.
Dengan demikian keturunan raja-raja Mataram adalah keturunan yang mencoba terus memburu gelar sebagai basis penguat legitimasi kekuasaan di Jawa. Istilahnya raja-raja Mataram tetap ingin mendapatkan: “trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih”. Saat berubah menjadi Mataram Islam, gelar Sultan dipakai karena menunjukkan adanya legitimasi atas Islam yang mulai menyebar di Jawa dan merupakan gelar pemberian dari Turki Utsmani (Ottoman).
Keabsahan Panembahan Senapati dan keturunannya yang mengklaim sebagai pewaris sah Majapahit inilah yang juga dipertanyakan Sunan Giri V, (Sunan Kawis Guwa) sewaktu pertemuan Sultan Agung Anyakrakusuma dengan para Bupati se pulau Jawa dan Madura. Dalam kutipan kitab musarar ia menyindir raja-raja Mataram keturunan Panembahan Senapati itu ibarat buah tebu.
“Raja Mataram iku dak umpakakake tebu, pucuke maneh cen legiyo, sanadjan bongkote ing mbiyen ya adem bae, sebab raja trahing wong tetanen; angor macula bae bari angona sapi”. (Raja Mataram itu saya umpamakan tebu, meskipun ujungnya manis, pangkalnya saja sejak dulunya terasa tawar, sebab raja keturunan petani; lebih baik kalau mencangkul saja sambil menggembalakan sapi) (Medjanto 1987, halaman 84).
Karena kesal dengan ejekan ini, Giri Kedaton diratakan dengan tanah, putranya beserta pengikutnya melarikan diri ke Kutawaringin, dipimpin oleh putra beliau, Panembahan Giri Kusuma.
Pada kesempatan yg lain, seorang murid beliau, pangeran dari madura, Trunajaya juga melontarkan ejekan senada ketika berhasil menjebol bemteng keraton plered. Kemudian Trunajaya kemudian ditangkap atas bantuan VOC. Amangkurat II dan keluarga Mataram beramai-ramai mencincang Trunajaya, kepalanya dipenggal dan dikubur di bawah anak tangga menuju makam raja-raja Mataram di Imogiri. “Siapapun yang akan berziarah ke Makam Imogiri akan menginjak kepala Trunajaya”.
Demikian Raja Mataram yang marah besar atas penghinaan Sunan Giri V dan muridnya Raden Trunajaya yang masih merupakan trah keturunan Majapahit.