SOLEIMANI, FUKUYAMA DAN KOBOI TUA ITU
Muhammad Rusli Malik
Menjelang akhir 1980-an. Ada mendung kegelisahan menyelimuti pikiran Mikhail Gorbachev. Ekonomi negara komunis terbesar yang dipimpinnya itu mengalami perlambatan. Daya saingnya melempem. Pengangguran di mana-mana. Sentralisasi politik digugat. Sistem ekonomi terpimpin (command economy) dipertanyakan. Terutama setelah kehabisan energi berperang di Afghanistan. Presiden terakhir Uni Soviet itu lantas membuat gebrakan: Glasnost (keterbukaan) dan Perestroika (reformasi).
Saat yang sama di Amerika. Seorang Sovietologis muda sedang naik daun. February 1989, peneliti khusus kebijakan luar negeri Uni Soviet di RAND, Santa Monica, itu memberikan ceramah di Universitas Chicago tentang hubungan internasional. Berselang beberapa bulan, ceramah itu terbit di The National Interest dengan judul: “The End of History?”
Satu tahun setelah bubarnya Uni Soviet (1991), artikel itu kemudian menjelma menjadi buku yang paling banyak dibicarakan. Penulisnya, Yoshihiro Francis Fukuyama, memberinya judul: The End of History and the Last Men. Tanpa tanda tanya lagi.
Intinya, dengan merdeka dan berdemokrasinya bekas negara-negara satelit Uni Soviet, pertarungan ideologi telah selesai. Dan pemenangnya adalah liberalisme. ‘Islam’ kalah dengan runtuhnya Dinasti Utsmani usai Perang Dunia Pertama. Fasisme kalah di Perang Dunia Kedua–dengan bertekuk lututnya Jepang, Jerman dan Italia. Komunisme keok dengan berakhirnya Perang Dingin (Cold War).
Sebagai pemangku puncak sejarah, bagi Fukuyama, liberalisme akan mengantarkan umat manusia kepada cita-cita tertinggi dan terindahnya. Yaitu terbentuknya masyarakat madani (civil society) melalui kedamaian demokrasi (democratic peace). Seperti yang digagaskan Hegel dengan teori dialektika sosialnya. Sehingga, menurutnya, ke depan negara-negara yang belum berdemokrasi satu persatu akan melaksanakannya.
Sayangnya, baru satu dekade setelah terbitnya buku itu, Fukuyama sendiri agaknya mempertanyakan ulang gagasannya. Karena negara yang diharapkan menjadi guru dan pembimbing demokrasi menuju masyarakat madani pencipta kedamaian yang berkesejahteraan dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia itu, ternyata menjelma menjadi superstate (negara adidaya) yang bertindak unilateral dan brutal.
Afghanistan diserang. Padahal rakyat negara itu, bersama-sama Mujahidin dari berbagai negara Muslim, telah membantunya mengalahkan Tentara Merah Unisoviet. Pemerintahan Islam Taliban dibuat terkapar. Pemimpin Spiritualnya, Mulla Omar, dipaksa kembali ke gunung-gunung batu Kandahar untuk bergerilya.
Dan setelah membuatnya ‘berdemokrasi’, bukannya tambah damai dan sejahtera, Negara Asia Selatan itu justru menjadi ajang perang saudara. Keberhasilan Afghanistan cuma satu. Menjadi pangkalan militer Amerika yang menjadi penyangga bertemunya negara-negara anti hegemoni: Rusia, China, Iran, dan India.
Dan, sejak itu, Mujahidin tak lagi menerbitkan buku sakunya yang bertitel “Ayatur Rahman fiy Jihadil Afghan” (Tanda-tanda Kebesaran Allah pada Jihad di Afghanistan)–seperti, tulisnya di buku itu, darah mereka yang wangi dan petempur mereka yang tak mati dilindas panser.
Dengan menciptakan berita hoax tentang senjata pemusnah massal, Irak diserang. Saddam Husein–setelah dipakai memerangi Iran selama delapan tahun dan gagal–dijatuhkan melalui pengerahan militer besar-besaran. Hasilnya, sumur-sumur minyak dan produksinya dikuasai oleh korporasi-korporasi raksasa dari Amerika.
Masih menggunakan berita hoax. Basyar Assad, yang menolak negaranya dilewati pipa minyak yang membentang dari Saudi ke Turki lalu ke Eropa, dicitrakan sebagai penganut Syiah fanatik yang memaksa rakyatnya yang Sunni bersujud ke kakinya.
Perang pun terjadi. Dan Amerika tidak menggunakan tentaranya. Tapi menggunakan tentara bayaran (mercenaries) berbaju agama yang didatangkan dari seluruh penjuru dunia. Namanya macam-macam. Ada Alqaida. Ada Jabhat Al-Nusra. Ada Daesh (ISIS). Dan sebagainya.
Hasilnya? Basyar Assad tetap berdiri kokoh. Berkat bantuan Hezbullah, Iran, dan Rusia. Tapi Provinsi Deir Ez-Zor, Suriah Utara, tempat sumur-sumur minyak potensialnya Suriah, diduduki Tentara Amerika. Di saat yang sama Militer Turki juga masuk ke Suriah untuk melindungi puluhan ribu mercenaries yang kalah dan ditampung di Idlib. Sementara dari arah yang lain, Israel secara rutin menembakkan rudal-rudalnya ke Damaskus dan sekitarnya.
Hoax bahwa Khaddafi adalah pemimpin Thaghut juga digunakan untuk merusuh Libya. Negara yang tadinya paling sejahtera di Afrika Utara itu kini menjadi ajang pertumpahan darah dan penampungan bagi orang-orang yang menjual dirinya untuk dikirim ke Eropa.
Libya kini menjadi medan perang terbuka antara Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) yang berkedudukan di Tripoli dukungan PBB, NATO, dan Amerika melawan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Halifa Khaftar yang didukung Mesir, Yordania, Saudi dan UEA. Belakangan Turki, atas ‘mandat’ dari NATO dan Amerika, sambil membawa sebagian mercenaries dari Suriah, juga menjerumuskan diri ke kancah perang.
Lalu apa motif negara-negara lain itu ikut terlibat dalam persoalan domestik Libya. Jawabannya itu-itu juga: minyak. Dan agenda Israel yang tidak menginginkan stabilitas kawasan.
Motif itu juga yang menyebabkan Yaman terus dibombardir oleh mesin-mesin perang canggihnya Saudi. Hingga kini. Tanpa jeda. Tanpa kenal bulan-bulan Haram dan Ramadan.
Sementara negara zionis Israel, yang dianggap negara demokrasi liberal terpenting di Timur Tengah, cukup berdiri tegak di Tel Aviv sambil menunjuk negara mana lagi yang harus dikacau dan dilemahkan demi memuluskan ekspansi teritorialnya.
Itu di Timur Tengah. Di sisi lain dari bumi, Amerika Latin, juga ada minyak. Terbanyak di Venezuela. Celakanya, sejak Chavez hingga Maduro, Negeri Simon Bolivar itu menolak melibatkan korporasi multinasional yang rata-rata berbasis di Amerika Serikat. Akibatnya, kedua pemimpin Bolivarian itu berkali-kali hendak dijatuhkan. Hendak dikudeta. Hendak dibunuh.
Terakhir hendak ditangkap dan diterbangkan ke Amerika untuk ‘mencium kaki’ Trump. Tapi gagal maning, gagal maning. Sangsi yang sudah lama diterapkan, kini kian diperketat. Belakangan bahkan sampai nyaris kehabisan BBM. Bayangkan, negara yang aslinya penghasil minyak terbesar di benua Amerika, mengalami krisis minyak.
Tujuannya? Apalagi kalau bukan dalam rangka membuat marah rakyat Venezuela lalu membenci dan meninggalkan Maduro. Sehingga pemimpin oposisi piaraan mereka, Juan Guaido, bisa bertahta dengan manis.
Agar strategi itu berjalan mulus, ancaman ditebar. Trump menggunakan bahasa Koboi. Bahwa kalau ada yang berani mengirim suplai minyak ke Venezuela, mesin perang Amerika akan menghabisinya sebelum sampai ke Laut Karibia.
Iran menerima tantangan itu. Terutama karena didorong oleh semangat pembelaannya terhadap negara-negara mustad’afin (tertindas). Republik Islam itu mengirim lima tanker besar penuh minyak. Pasukan Garda Revolusinya (IRGC) membalas ancaman Trump. Bahwa kalau kapal berbendera Iran tersebut tergores sedikit saja, maka pangkalan militer Amerika di Timur Tengah akan menerima akibatnya.
Andai Jenderal Qassem Soleimani tidak ditembak di Baghdad beberapa waktu lalu oleh drone Amerika, mungkin ceritanya lain. Sangat mungkin ancaman itu dianggap angin lalu saja. (Apalagi, ‘kesalahan’ Komandan Pasukan Quds itu karena berhasil mengalahkan ISIS di Irak dan Suriah, dan berniat salat di al-Quds)
Tetapi Negeri Mulla itu benar-benar menyerang Pangkalan Militer terbaik dan terbesar Amerika di Ain al-Asad di Provinsi Anbar, Irak. Sebagai hukuman kepada penumpah darah Soleimani. Dan serangan itu menunjukkan kecanggihan dan tingkat presisi rudal-rudal balistik Iran.
Artinya, negara yang Pemimpin Tertingginya seorang Ulama itu, tidak main-main dengan ancamannya. Nyali ada. Misil ada. Itu sebabnya, para pemerhati politik global ikut tegang. Seraya mengikuti pergerakan tanker itu dari waktu ke waktu.
Namun, akhirnya, Minggu 24 Mei lalu, salah satu dari tanker itu tiba dengan selamat di Venezuela. Maduro sumringah. Dunia tercengang. Para pengamat bernafas lega. Tapi tentara Amerika menganga tak berdaya, bagai Koboi tua yang dilucuti topi dan senjata apinya, yang selama ini digunakan seenaknya menembaki negara-negara yang tak mengikuti keinginannya. Dan itu menandai kemenangan Iran atas Amerika.
Kejadian itu merupakan simpul balik dari amatan Fukuyama. Yaitu bahwa ternyata bukan liberalisme yang menjadi pamungkas sejarah umat manusia. Tapi spiritualisme rasional yang diusung Iran.
Betapa tidak. Negara yang selama empat puluh tahun diembargo, diblokade, perang terhadapnya dipaksakan, dan diisolasi dari berbagai belahan dunia. Dikhianati perjanjian JCPOA-nya. Negara-negara Arab tetangganya disuruh membencinya dengan alasan geopolitik dan faham keagamaan. Justru keluar sebagai pemenang melawan Koboi Dunia.
Jadi ujung dari dialektika sosial bukan pada komunisme global seperti yang dihipotesiskan Marx. Juga bukan pada demokrasi liberal seperti yang diimpikan Fukuyama. Tapi pada demokrasi spiritual yang kini sedang didemonstrasikan wibawa, kecerdasan, ketenangan, dan kecanggihannya oleh Iran.***