Kosmologi Islam Nusantara Menurut Herman Sinung Janutama
Redaksi May 27, 2019

Kosmologi Islam Nuswantara
Oleh: Herman Sinung Janutama *
MAKALAH SEDERHANA ini disusun dalam rangka memenuhi permintaan panitia seminar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Antusiasme saya terhadap seminar atau diskusi ini dikarenakan beberapa alasan. Pertama, bagi saya, tema ’Nuswantara’ merupakan proyeksi dari upaya-upaya repositioning epistemologi Nuswantara yang tengah un vis a vis dengan epistemologi global yang non-religius[1]. Diskusi peradaban ini membutuhkan kerja teoritik jangka panjang dan tak kenal lelah. Sehingga orang Nuswantara perlu melatih diri untuk sebuah kesabaran teoritisasi, semacam kesabaran Schleiermacher[2]. Repositioning dalam makalah ini adalah pertanggungjawaban teoritik fungsional atas konteks peradaban global. Dengan demikian diskusi ini melampaui persoalan-persoalan yang semata-mata teologis, rasis, dan geografis. Seminar dan diskusi ini adalah merupakan tuntutan fungsional dari etos orang Nuswantara: rahmatan lil ’alamin.
Kedua, sasaran seminar dan diskusi ini menyangkut para ilmuwan di lingkungan Universitas Islam Negeri. Artinya, ini menyangkut persoalan masa depan agama, terutama Islam Nuswantara, dan korelasinya dengan orde dunia global. Ia terkait dengan bagaimana ilmuwan agama mampu menyituasikan diri dan mengonstitusikan kembali dunia. Sedemikian rupa sehingga, menyumbangkan suatu pandangan dunia weltanschauung yang aktual. Suatu weltanschauung yang komprehensif bagi ketentraman hidup manusia dalam peradaban global sekalipun. Sebuah ”rumah dunia” atau sebuah kosmos bagi etos dan tindakan rahmatan lil ’alamin.
Ketiga, makalah ini bukan semata kajian kosmologi, astronomi, atau kosmogoni. Karena hal-hal itu telah kokoh secara akademis di berbagai universitas. Makalah ini adalah sekedar sebuah pijakan kosmis bagi ”saya” filosofis. “Saya” teoritik yang diperlukan sebagai sandaran epistemologi bagi kemungkinan tersusunnya filsafat, maupun metafisika Nuswantara. Yakni “saya” sebagai representasi muslim, orang Nuswantara/ Indonesia, dan orang Jawa. Juga sebagai “saya” kosmologis bagi ”kebutuhan” fenomenologis saya. Hal ini bisa juga menjadi sebuah ”keterpaksaan” filosofis. Dikatakan demikian karena diskusi tentang kosmos selama ini selalu tentang kosmos yang ”di luar” saya. Tak berhubungan sama sekali dengan ke-saya-an-saya, das Ichlichkeit. Begitu dikatakan dalam tradisi filsafat Jerman. Atau tak berhubungan sama sekali dengan cogitation, jika dikatakan dalam tradisi filsafat Perancis. Atau dalam tradisi esoterisme Nuswantara, disebut Ingsun-ing-sun.[3]
Sedangkan dalam diskusi ini, saya menyuguhkan rajutan relasi-relasi antara data-data sejarah, data-data geografis, serta data-data arkeologis, dengan fakta fenomenologi saya tersebut di atas secara langsung. Maka tindakan filosofis ini, dengan kata lain, adalah sebuah ”pembacaan atas fakta kosmologis” terhadap fakta kebudayaan Nuswantara.
Terdapat metode yang menyerupai pendekatan ini dalam diskusi filsafat, metafisika, dan kebudayaan barat. Yakni sebuah tinjauan lebih luas atas fakta-fakta kosmologi dan kebudayaan barat. Namun tinjauan demikian ini baru dilakukan oleh sedikit dari para filsuf Eropa, seperti Voltaire, Guizot, Burckhardt, Lamprecht, Huizinga, Nietzsche, Heidegger, Descartes, Sartre, Camus, dan Ortega Y Gasset, dll. Karya-karya akademis regional Nuswantara terhadap pendekatan kosmologis ini baru sebatas tematik saja, namun belum merupakan sebuah kosmologi kebudayaan.
Pendekatan budaya dalam kosmologi penting untuk menjelaskan apa saja yang telah dilakukan terhadap fakta kosmos Nuswantara di masa lalu. Ia juga memberikan gagasan baru untuk melakukan tindakan apa saja bagi Nuswantara di masa mendatang. Dalam pendekatan ini sangat penting memanfaatkan teori-teori (kebudayaan, filsafat, filsafat sejarah, dll) demi suatu status teoritik Kosmologi Nuswantara yang kokoh.
Namun dari pada itu, pendekatan kosmologis ini bukan tanpa kendala. Utamanya di Indonesia kendalanya adalah besarnya represi epistemologis dan politis[4]. Dengan kata lain, kedua resisten tersebut sudah menghegemoni seluruh alternatif-alternatif cara pandang. Bahkan keduanya melarang dilakukan reinterpretasi apalagi rekonstruksi, terhadap cara pandang kosmos Nuswantara konvensional yang berbau kolonial. Demikian ini yang saya maksud dengan tindakan filosofis yang ”terpaksa” mau-tidak-mau harus dilakukan. Demi meretas jalan bagi sebuah konstitusi orang Nuswantara atas dunia. Sedemikian rupa sehingga status weltanschauung Nuswantara yang berguna bagi seluruh kemanusiaan diperoleh dengan sendirinya. Dalam khasanah Jawa status demikian ini disebut sebagai hanyakrakusuma.[5]
Tindakan filosofis ini juga sekaligus membedakan diskusi ini dari kosmogoni konvensional ”sebagaimana pandangan orang Barat”. Pendekatan mereka terhadap data-data kosmologis, lebih menggunakan mitologis[6], di samping premis-premis filosofis dan geografis[7]. Sedangkan pendekatan filosofis dalam makalah ini terutama adalah dari tendensi fenomenologi. Metode pendekatannya meminjam semiotika post-strukturalis. Sedangkan paparannya lebih cenderung menggunakan paparan arkeologis. Di mana arkeologi dalam makalah ini telah meluas hingga ke kedalaman artefak-artefak psikologis manusianya, sebagaimana dalam psikoanalisis[8]. Sedangkan nuansanya yang Islam semata merupakan konsekuensi dari das Ichlichkeit, atau cogitation, atau Ingsun-ing-sun penulis. Namun apapun juga, makalah sederhana ini merupakan sebuah kerja pemikiran, sebuah tindakan tafakur. Penulis tetap berharap makalah dan diskusi ini menjadi sebuah kebaikan dalam keseluruhan tendensinya. Dengan sendirinya ia menjadi sebuah amal saleh. Atau dengan meminjam istilah dari Mpu Prapanca, makalah ini menjadi sebuah pujasastra penulis di hadirat Allah Yang Maha Wikan. Amin.
1Fakta Geografis Nuswantara
Menyebut Nuswantara berarti mengacu kepada area kepulauan pra kolonial yang menjadi cikal bakal Indonesia. Efek bola bumi mengijinkan Nuswantara ditinjau sebagai sentrum globe dunia. Menurut laporan Bilveer Singh[9], terdapat konferensi tahunan di Hawaii mengenai Indonesia menyangkut masalah posisi geografisnya yang sangat strategis. Nuswantara/ Indonesia secara geografis terletak pada jalur perdagangan internasional. Sekalipun saat ini industri kargo dan transportasi telah mengalami perkembangan teknologi yang sangat mengagumkan, namun untuk kargo dalam jumlah raksasa hanya dapat dilakukan melalui lautan. Dan jalur transkontinental via lautan dari Amerika ke Eropa-Afrika hanya bisa dilakukan melalui perairan kepulauan Nuswantara ini.
Lintasan transkontinental ini tak mungkin dilakukan melalui perairan yang berada di sebelah selatan Australia. Tidak juga melalui perairan di sebelah utara Kanada. Daerah-daerah tersebut senantiasa tertutup oleh lautan es. Satu-satunya lintasan hanya melalui perairan dangkal di Nuswantara. Hal ini telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu, yakni disebut sebagai Jalur Sutra Laut (dari Eropa, Timur Tengah, ke Cina). Sedangkan lintasan darat disebut sebagai Jalur Sutra Darat.

Gb. 1. Nuswantara sentrum dunia

Gb. 2. Jalur Sutra Darat
Ke dua jalur perdagangan purba ini menepis anggapan bahwa masa lalu manusia merupakan peradaban yang statis dan tribalis. Bahkan sebaliknya, peradaban manusia sejak awal kemunculannya sudah merupakan peradaban dunia yang mobil dan dinamis. Secara geologis, seluruh peradaban ini terletak pada sebuah lempengan benua yang disebut sebagai Eurasia atau Euro-Asia. Artinya ia meliputi suatu area benua yang sangat luas. Di mana perdaban-peradaban besar terhampar di atasnya. Dari mulai Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, hingga Cina, dan dari Russia, Persia, hingga Nuswantara.

Gb. 3. Eurasia di antara lempeng-lempeng dunia
Lempeng Eurasia bergerak dengan laju 3-7 cm/ tahun ke arah selatan bola Bumi. Lempeng tersebut menumbuk lempeng Indoaustralia yang juga bergerak dengan laju 5-7 cm/ tahun ke arah utara[10] bola Bumi. Namun jika diperhatikan, lempeng Eurasia ujung selatannya mengerucut di Nuswantara. Akibatnya hampir seluruh beban lempeng Eurasia ini bertumpuk di kerucut Nuswantara ini. Terutamanya di ujung selatan kerucut Nuswantara, yakni di pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan area tumbukan langsung dengan lempeng Indo-australia yang selalu menhadang dengan arah berlawanan (ke utara). Fisika sederhana menjelaskan fenomena alamiah ini. Momentum tumbukan dengan lempeng Indoaustralia tidak diterima secara merata di seluruh sisi lempeng Eurasia. Beban tumbukan semakin membesar pada area ujung lempeng yang meruncing.

Gb. 4. Bagan Tekanan Lempeng Eurasia
Akibatnya, ujung Eurasia menderita beban berkali-kali lipat besarnya dibandingkan dengan area lainnya. Ujung lempeng Eurasia itu adalah Nuswantara, dan ujung selatan Nuswantara adalah pulau Jawa dan titik tengah Jawa adalah Jawa Tengah. Dalam peta geologis, Jawa bagian tengah ini menjadi ”gepeng” atau pipih.

Gb. 5. Nuswantara ujung dari Eurasia
Dengan kata lain, pulau Jawa ”menyangga” beban lempeng Eurasia yang beribu-ribu kali lipat luasannya. Dan tengah-tengah area tumbukan Jawa Tengah adalah Daerah Istimewa Yogyakarta atau Mataram
[11].

Gb. 6. Jawa bagian tengah yang ”gepeng” akibat menyangga beban tumbukan.


Gb. 8. Citra satelit DI Yogyakarta
Jika fakta kosmologis ini ditinjau secara semiotik, maka diperoleh sebuah korelasi antara ia dengan sistem tanda dan budaya di Nuswantara atau Jawa[12]. Semiotika sederhana menyatakan bahwa ”sistem tanda bergerak, berdinamika di luar kesadaran manusia”. Kosmologi ini di jaman dahulu (pra-kolonial) tidak diinternalisasi sebagai bidang ilmu diskursif[13] seperti sekarang. Namun pengetahuan ini menjadi pemahaman cara pandang dunia atau weltanscauung orang Nuswantara. Pengetahuan abstrak ini dalam Semiotika disebut sebagai visible, karena terindera oleh struktur intelek manusia. Secara semiotik pengetahuan ini menjadi sistem petanda yang terus menerus berkorelasi dengan sistem penanda budaya orang Nuswantara. Dan sistem ini mempengaruhi manusia secara di luar kesadaran. Artinya, seluruh aktifitas penandaan dalam sistem simbol dan budayanya ”terinspirasi oleh” atau ”ternaungi oleh” sistem petandanya. Selanjutnya, sistem petanda ini mewujud secara automatically atau begitu saja dalam praxis budaya. Dengan kata lain, fakta kosmologis ini “terpahami” sebagai pengetahuan non-ilmiyah. Ia menjadi sistem petanda yang mempengaruhi pemahaman akal budi orang Nuswantara. Hal ini terdeskripsikan dalam keseluruhan sistem simbol dan budaya orang Nuswantara.
Situasi kosmis Nuswantara sebagaimana uraian di atas, menciptakan atmosfir kosmis yang disebut “situasi genting” atau grenz situationem, demi meminjam istilah dari Karl Jaspers[14]. Grenz situationem atau situasi genting ini dalam khasanah budaya menciptakan atmosfir kosmos yang ”gawat” atau ”keramat”[15]. Kekeramatan Nuswantara ini melandasi atau menjadi horizon bagi terbentuknya budaya Nuswantara yang juga keramat. Oleh karena itu secara niscaya keseluruhan budaya orang Nuswantara bersifat religius. Yakni religiusitas yang berpijak pada kekeramatan kosmisnya. Bukan religiusitas yang berpijak pada spekulasi-spekulasi teologi, sebagaimana terjadi di negeri-negeri kontinental.
Fakta kosmos ini juga mengonstruksi sistem mental orang Nuswantara yang dituntut hidup secara kokoh dan keramat. Hanya struktur mental yang senantiasa bergayut kepada Tuhan YME semata yang mampu mendiami area seperti itu. Hal ini bisa menjadi reason bagi pembacaan terhadap kekayaan khasanah budaya Nuswantara secara keseluruhan. Misalnya pembacaan terhadap artefak-artefak religius di seantero Nuswantara. Dari mulai candi-candi, makam-makam keramat, tempat-tempat keramat, dan seni wikan yang sarat dengan disiplin moral dan kesalehan keagamaan. Fakta demikian ini juga yang menghubungkan diskusi ini dengan pernyataan Sartono Kartodirdjo[16], bahwa peradaban Majapahit (Nuswantara) adalah peradaban religius. Oleh karena itu mustahil membaca fakta budaya Nuswantara ini secara non-religius.
Hal ini juga menjadikan Nuswantara sebagai tanah religius, area suci, regio-more, atau tanah keramat. Bumi keramat hanya bisa dihuni manusia yang juga hidup secara keramat. Dan manusia keramat adalah manusia-manusia pencapai keluhuran ruhani dan kemuliaan akhlak[17].2Sultan-sultan NuswantaraPenyangga Budaya Dunia
Salah satu sistem penanda kosmologis Nuswantara adalah numenklatur (tata nama) raja-raja Nuswantara. Petanda kosmologis-sebagaimana diterangkan di atas- menjadikan raja-raja Nuswantara, mengeksitasi diri menjadi manusia keramat kekasih Tuhan YME. Ia menjadi dewaraja yang bukan tiran dan bukan penindas rakyatnya. Melainkan dewaraja yang agnus, gembala, atau bocah angon bagi rakyatnya[18]. Penyangga dan pengokoh bumi (baca: lempeng benua) dalam penderitaan religiusnya. Sebagai contoh, numenklatur sultan-sultan di Jawa. Gelar dan nama mereka menjadi penanda langsung dari petanda kosmologi Nuswantara. Yakni menjadi “penyangga budaya dunia”[19].
Sebagai contoh misalnya gelar ratu Majapahit Tribuwana Tunggadewi. Tribuwana Tunggadewi, dewi= dewaraja pemomong, tungga= penyangga, tribuwana= tiga dunia: dunia bawah, tengah, atas. Artinya, Sang Dewi yang menyangga tiga buwana/ jagad.
Hamengkubuwana, hamengku= memangku dan menyangga. Buwana= bumi, dunia, peradaban. Artinya, Sri Sultan yang berfungsi global sebagai penyangga dunia. Searti dengan fungsi ini, misalnya nama mangkubumi, mangkunegara, dan mangkurat. Rat berarti keseluruhan dunia, baik makro maupun mikro kosmos.

Gb. 9. (ki-ka) logo HB, PA, PB, dan MN
Pakubuwana, paku= pasak, pen pengokoh, pen penguat. Ia berfungsi global sebagai stabilisator area yang labil. Searti dengan fungsi ini, misalnya nama pakualam, pakubumi, dan pakuningrat.

Gb. 10. P. Senapati (kiri) dan Sultan Agung Hanyakrakusuma (kanan)
Fungsi-fungsi mundial demikian ini terdeskripsikan dalam sesanti-sesanti, atau noblese obligue, mereka. Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat, Hamengku Buwana VIII (w. 1939), memiliki sesanti hamemayu hayuningrat. Secara garis besar sesanti tersebut berarti “memperindah negeri yang indah yang sejahtera lahir dan batinnya, mikro-makro kosmosnya, manusia beserta alam dan habitusnya”. Panembahan Senapati Ing-Alaga Mataram (w. 1600), panglima perang pertama kerajaan Islam Mataram, memiliki sesanti hamemangun karyenak tyasing sesami. Artinya, membangun negeri yang sentosa lahir-bathin, negeri kenyamanan bagi nurani manusia dan sesamanya. Yakni sesama makhluk Tuhan YME. Sebuah negeri spiritual penyangga kokoh bagi lempeng dunia dan peradaban manusia. Simbolisasi logologinya misalnya terdeskripsikan dalam simbol-simbol kerajaannya.
Penanda lainnya adalah pada struktur gelar raja-rajanya. Misalnya Sayidin Panatagama, Ngabdurrahman, Kalipatulah fil ardi, dll. Atau pada gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang disematkan oleh Syarif Makkah dari tanah haram yang datang ke Mataram[20] sekitar tahun 1640M. Gelar tersebut adalah Sultan Mataram Abdul Muhammad Maulana Matarami.
3Telur Maulid sebagaiUnit Penanda Kosmis
Penanda kosmologi berikutnya adalah sebuah unit simbol budaya yang disebut telur maulid. Unit penanda ini terbuat dari sebutir telur yang direbus, kemudian disangga atau ditusuk dengan sebilah bambu. Unit penanda ini tersebar merata hampir di seluruh Nuswantara. Terutama pada saat perayaan maulid nabi, di bulan Rabiul Awwal atau bulan Maulid. Perayaan kelahiran Kangjeng Nabi Muhammad SAW ini, di lingkungan kraton-kraton Nuswantara biasa digelar sejak akhir bulan Shafar hingga tanggal 12 Rabiul Awwal. Di lingkungan Kraton Yogyakarta dan Surakarta diawali dengan pekan raya Sekaten. Tanggal 5-12 Mulud digelar gamelan pusaka Kyahi Gunturmadu dan Kyahi Nagawilaga[21]. Perayaan agung atas kelahiran Nabi SAW ini memuncak di tanggal 12 Mulud. Yakni dengan disedekahkannya gunungan gerebeg oleh Sri Sultan kepada seluruh masyarakat luas. Unit penanda telur maulid ini dijual oleh para pedagang musiman tradisional hampir di seantero di Nuswantara.
Unit penanda ini usianya sudah ratusan tahun yang dalam lisan Jawa kerap disebut juga sebagai telur sangga buwana. Unit penanda ini secara indexical menunjuk kepada amanat kosmis bahwa orang Nuswantara (tidak hanya raja-rajanya) adalah para penyangga budaya dunia.

Gb. 11. Telur maulid di perayaan Sekaten Yogyakarta
Kata telur = telu-r = hantalu, berarti tiga. Kata ini menunjuk kepada tiga lapisan jagad atau dunia. Lapisan kulit telur adalah bagian Sanghyang Wenang, yakni sebagai simbol dunia atas atau dunia keilahian. Bagian putih telur adalah bagian Sanghyang Manikmaya, yakni sebagai simbol dunia pikiran atau dunia gagasan[22]. Sedangkan bagian kuning telur bagian Sanghyang Ismaya, yakni sebagai simbol kehidupan hakiki atau kehidupan suci manusia. Bagian telur rebus ini disebut sebagai triloka, trijagad, atau jagattraya. Ia representasi dari keseluruhan dunia.
`

Gb. 12. Bagan telur maulid dalam khasanah Kosmologi Jawa
Bagian bambu penyangga disebut sebagai sanggabuwana, yang artinya penyangga dunia. Sangga ini disebut juga sebagai sangga iman daya mukti[23]. Artinya penyangga tiga dunia di atas adalah ke-iman-an kehadirat Tuhan YME dan Baginda Nabi SAW. Keimanan ini yang menumbuhkan daya kekuatan dan budaya mukti atau luhur bagi seluruh kemanusiaan di dunia.4Hobo sebagai Unit Penanda Kosmis
Penanda kosmologi Nuswantara berikut adalah lambang kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kami biasa menyebutnya sebagai HoBo. Ho akronim dari hamengku, dan Bo akronim dari buwana. Pengertian hamengku buwana
sudah di uraikan di atas. Lambang kraton ini terdiri dari beberapa bagian. Bagian mahkota emas, lambang kesultanan Islam yang berdaulat sepenuhnya. Bagian lar yang berbentuk sayap di sisi kiri dan kanan. Bagian aksara murdha yang merupakan akronim dari hamengku buwana atau HoBo. Bagian ilat kodhok yang berada di tengah yang berwarna merah. Serta bagian madrawa berbentuk ukel yang menjuntai kebawah.

Gb. 13. Logo Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (HoBo)
Pada bagian ilat kodhok yang berwarna merah, HoBo menjadi penanda indexical bahwa fungsinya adalah menjadi hamengku buwana atau sangga buwana. Secara garis besar, terdapat keserupaan antara bentuk lempeng geologis Euro-asia dengan bentuk ilat kodhok tersebut. Hal ini membentuk kesadaran kosmologis, bahwa menjadi orang Nuswantara bukan sekedar menempati suatu area yang mahakaya dan keramat. Tetapi juga menuntut tanggung jawab budaya demi kesejahteraan dan ketentraman dalam kehidupan kemanusiaan secara keseluruhan.

Gb. 14. HoBo-Eurasia
Bagian madrawa yang berupa ukel sulur yang menjuntai kebawah, secara artistik membentuk penyangga atau penahan ilat kodhok. Jika dikomparasikan dengan bentuk lempeng Eurasia, bagian madrawa ini kongruen dengan area Nuswantara pada lempeng. Kata madrawa sendiri memiliki pengertian sebagai munjalat atau munajat. Yakni permohonan atau doa yang lestari ke hadirat Tuhan YME. Sulur madrawa ini juga memiliki kesamaan pengertian dengan unit simbol dalam candi-candi. Yakni relief-relief purna kalasa. Di mana purna kalasa adalah nama bagi relief yang berwujud sulur-sulur ukel yang terjulur dari sebuah bokor.
5Panggung SanggabuwanaSebagai Unit Penanda Kosmis Di dalam lingkungan kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, terdapat sebuah unit simbol berbentuk panggung. Panggung artinya struktur bangunan tinggi yang memiliki makna dan fungsi tertentu. Panggung tersebut bernama panggung Sanggabuwana. Dari nama numenklatur namanya sudah dapat dimengerti bahwa panggung tersebut memiliki fungsi kosmologis. Yakni sebagai unit simbol yang senantiasa mengingatkan orang Nuswantara akan fungsi kosmologisnya sebagai sanggabuwana.
Atap maupun badan panggung sanggabuwana berbentuk segi delapan. Dalam khasanah Nuswantara, segi delapan demikian mengandung makna hastabrata. Hastabrata berarti delapan prinsip kepemimpinan.

Gb. 15. Panggung Sanggabuwana di Kraton Surakarta.
6Penutup
Kosmologi Nuswantara di antara negeri-negeri lainnya di permukaan bola dunia, memiliki tata letak yang unik. Di samping unik juga merupakan satu-satunya negeri perairan nesos terbesar di dunia. Bahkan letaknya secara relatif terhadap efek bola bumi, terletak di tengah benua-benua yang mengelilinginya. Dalam tinjauan ini, Nuswantara terletak di sentrum dunia. Bahkan lalu lintas pelayaran dunia harus melewati perairan dangkal Nuswantara ini. Jika ditinjau dari tata lempengan-lempengan geologisnya, posisi kosmologis Nuswantara terletak diujung selatan kerucut lempeng Eurasia. Posisi ini kosmologis demikian ini membentuk tatanan budaya Nuswantara yang religius dan keramat, sebagaimana diuraikan di atas. Posisi kosmologis ini juga menjadikan budaya Nuswantara menjadi budaya yang religius dan keramat juga.
Tata kosmologi Nuswantara dari pandangan ini memberi semacam amanat kosmologi untuk menjadi sanggabuwana. Dan amanat ini tersirat dalam artefak-artefak budaya Nuswantara. Namun amanat kosmologis ini bukan untuk berimplikasi secara ekonomi maupun politik. Sekalipun sektor ekonomi dan politik ini menjadi lokomotif bagi gelaran peradaban global kontemporer yang materialistik dan non-religius. Amanat kosmologis ini menyangkut kearifan dalam weltanschauung orang Nuswantara, demi kehidupan seluruh kemanusiaan yang tentram, sejahtera, dan damai.
Singkatnya, amanat kosmologis sanggabuwana sama sekali tidak diletakkan di atas kehendak berkuasa nietzschean atau wille zur macht. Yakni penguasaan atas fakta ekonomi dan politik dunia. Amanat sanggabuwana bahkan diletakkan di atas sulur madrawa. Yakni etos religiusitas keramat yang menyandarkan seluruh kapabilitas sanggabuwana tersebut di atas, kepada kasih sayang Tuhan YME. Dengan kata lain, amanat sanggabuwana terimplementasi dalam satuan-satuan munajat, munjalat, atau purna kalasa.
[1] Lebih lanjut dapat dilihat pada Herman Achmad Ma’rup, Meditasi atas Modernitas, Fenomenologi Strategi Kebudayaan Religius Sub-naratif, KPK ‘Tjap Orang Djadab’ Ngayogyakarta Hadiningrat, Cet.1, Feb. 2008.[2] Jean-Francois Lyotard, Ziarah Posmodernisme. Hukum, Kondisi, Peristiwa., Pustaka Eureka, Surabaya, Maret 2004.[3] Bandingkan dengan Cogito ergo sum-nya para filsuf Perancis.[4] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana Yogyakarta, bekerjasama dengan Jurusan Sejarah Fak. Sastra UGM, Cet. 1, Juli 1994.[5] Bandingkan dengan asma dalem Kangjeng Sunan Bonang: Sunan Wahdat Hanyakrakusuma. Nama ini kemudian diwariskan kepada Sinuhun Sultan Agung Hanyakrakusuma. Lihat, Serat Centhini, pada bab-bab awal.[6] Mitologi dewa-dewa di lingkungan Macedonia atau Greek.[7] Lihat Herman Achmad Ma’rup, Premis-premis Pembacaan Khasanah Kebudayaan Jawa dan Nuswantara, KPK “Tjap Orang Djadzab”, Ngayogyakarta Hadiningrat, Cet. 2, Maret 2008.[8] Misalnya pada Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Mizan, Bandung, 1996.[9] Penulis Talibanization in Indonesia, terbitan Singapore. Bilveer adalah seorang Sikh yang juga sosiolog dari Singapura dan sekaligus seorang Kapten Infanteri. Mengunjungi Falsafatuna di Kotagedhe sekitar Januari 2008.[10] Sebagai perbandingan, laju pergerakan kedua lempeng benua ini lebih lambat dari pertumbuhan kuku manusia. Namun karena luasannya yang sangat besar, laju pergerakan ini menimbulkan efek gempa yang perlu disiagai.[11] Sebutan bagi ibukotanya di jaman kolonial.[12] Yakni budaya tempat “saya fenomenologis” berpijak. Dengan demikian budaya Jawa menjadi stand point saya dalam menghayati keseluruhan budaya Nuswantara dan dunia. Tanpa stand point atau budaya pijakan, memandang dan mengkonstitusi dunia mustahil dilakukan Ingsun atau cogito atau das Ich. Jadi budaya Jawa di sini bukan budaya rasis yang bernafsu untuk menghegemoni budaya lainnya. Ia menjadi syarat bagi terciptanya komunikasi dan korelasi dengan sahabat-sahabat budaya lainnya di Nuswantara. Selajutnya, budaya Nuswantara tersebut akan menjadi stand point atau budaya pijakan bagi tindakan memandang dan mengonstitusi dunia global.[13] Misalnya sebagai Ilmu Geologi, Ilmu Geodesi, Ilmu Geofrafi, Ilmu Geofisika, Ilmu Astronomi, Ilmu Astrofisika, dll.[14] Filsuf eksistensialis Jerman, penggagas chiffer metaphizik.[15] Herman Sinung Janutama, Pisowanan Alit, Nuswantara Negeri Keramat, Lkis, Yogyakarta,[16] Sartono Kartodirdjo, ed., 700 Tahun Majapahit, Jakarta, 2007. Kumpulan tulisan mengenai sejarah kuno Nuswantara.[17] Murtadha Mutahhari, Manusia dan Agama, Mizan, 1989.[18] Sunan Kalijaga, Ilir-ilir. Kidung dolanan bocah berbunyi sebagai berikut. Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumilir/ tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Bocah angon, bocah angon, penekna blimbing kuwi/ lunyu-lunyu penekna, kanggo mbasuh dodotira. Dodotira, dodotira, kumitir bedhah ing pinggir/ domana jlumatana kanggo seba mengko sore. Mumpung padhang rembulane. Mumpung jembar kalangane. Dho suraka, surakira.[19] Dalam bahasa Kawi disebut sebagai sangga buwana. Herman Sinung Janutama, Pisowanan Alit, Nuswantara Negeri Keramat., Lkis, Yogyakarta, 2011.[20] Syarif Makkah saat itu yang hadir ke Mataram, bisa jadi merupakan perlambang restu dan legalitas dari umat muslim di seluruh penjuru dunia terhadap Sinuwun Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada tahun 1628-29, angkatan sabilolah Mataram menghancurkan benteng VOC di Batavia dan memenggal kepala Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, JP Coen. Kepala Gubernur Jenderal Hindia Belanda ini hingga sekarang masih ditanam di salah satu anak tangga naik ke makam keramat Sultan-Sultan Mataram di Imogiri, Yogyakarta.[21] Di Kraton Surakarta Hadiningrat gamelannya bernama Kyahi Gunturmadu dan Nyahi Guntursari. Semua gamelan ini, termasuk yang di Yogyakarta, merupakan kopi dari gamelan pusaka Kyahi dan Nyahi Sekati di Kraton Cirebon. Lih, Herman Sinung Janutama, Pisowanan Alit.[22] Bandingkan dengan alam idea-idea menurut Plato.[23] Istilah iman daya mukti merupakan sari hikmah dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular abad 14 di era Majapahit. Iman Daya Mukti kemudian bertransformasi menjadi salah satu lakon carangan dalam wayang kulit Bharatayudha.
* Disampaikan dalam acara Ngaji Nuswantara Padepokan Langgart berkerja sama dengan Komunitas Madzab BanyuManik dan Komunitas GunungPati. Makalah ini disampaikan 1 hari setelah acara seminar internasional di UIN Syarif Hidayatullah
* *Herman Sinung Janutama (48) – adalah pemerhati persoalan Filsafat dan Kebudayaan Nuswantara, berbasis budaya Jawa. Staff peneliti pada Balai Kajian Sejarah dan Kebudayaan Islam Nuswantara, Jakarta. Juga sebagai koordinator pada Kempalan Pangangsu Kawruh ”Tjap Orang Djadzab” (TOJ) Ngayogyakarta Hadiningrat. Menjadi Deputy pada Institute of Philosophy ”Falsafatuna” Jakarta. Staff peneliti pada paguyuban Banyu Bening Yogyakarta.Pernah sekolah di FMIPA, Jurusan Fisika Murni, Universitas Gadjah Mada, serta Fakultas Akidah-Filsafat UIN Suka Yogyakarta. Akrab dengan budaya Jawa sejak bersekolah di SDN (Jawa) Endrakila, Madiun. Dan juga sejak bersekolah di SMPN 1 Yogyakarta, dan SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Pekerjaan paling berkesan adalah sebagai Pedagang Asongan di Pasar Demangan, Pasar Beringharjo, dan Pasar Kolombo Yogyakarta. Juga sebagai Pembantu Penjual Rujak Es Krim di perempatan Pandeyan, Umbulharjo. Pernah menjadi CEO pada PT Scripta Perennia, Jakarta. Semua itu dijalani penulis sebagai laku ngudi kawruh sangkan paran. Buku yang telah ditulis antara lain: Mencari Tuhan dalam Fisika Eisntein, 2007(karya saduran), Pisowanan Alit, Nuswantara Negeri Keramat, 2009, dan Kesultanan Majapahit, 2010. Ada juga buku-buku indie seperti Dikiran Pujabekten 1, Dikiran Pujabekten 2, Premis-premis Pembacaan Khasanah Kebudayaan Jawa dan Nuswantara, Ecce Dialecticus – Dialectico In Traditio Demonstrata, Pierre Bourdieu – In Mea Demonstrata, Meditasi atas Modernitas.Beristrikan Arifah (43), dan beranak empat: Hurin (P, 23), Kaysa (P, 20), Nabyn (L, 16), dan Tedjun (P, 12). Hobi karawitan, macapatan, gitar akustik, dan sedang belajar menggesek biola. Juga mendukung Lesbumi PWNU Yogyakarta menyelenggarakan pagelaran wayang kulit 11 lakon, dalam rangka Peringatan 5 Abad Kangjeng Sunan Kalijaga di Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 2011.