Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur?

$
0
0

Beberapa dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta, tahun 2012 mengisyaratkan, bakal ada geopolitical shift atau pergeseran geopolitik —dalam konflik global— dari Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara) menuju Asia Pasifik, bahkan “titik sentral”-nya, atau lokasi konflik pun telah ditandai oleh GFI berada di Laut Cina Selatan. Dan tampaknya, proses dimaksud kini sedang berlangsung.

Selanjutnya alasan pokok kenapa pergeseran terjadi, tak sedikit diulas oleh para penulis di website http://www.theglobal-review.com dan beberapa buku terbitan GFI, terutama Journal Kedua yang bertajuk: “Merobek Jalur Sutera Menerkam Asia Tenggara” (2 Januari 2013). Penulis tak ingin mengulang-ulang bahasan kecuali sekilas untuk menyambung paragraf saja. Catatan ini hanya memotret fenomena sehubungan perubahan “titik sentral”-nya secara fokus. Dengan kata lain, mencoba mengurai (breakdown) anatomi “ruh”, ataupun penyebab utama kenapa sentral (pemicu) geopolitical shift seolah-olah berpindah ke Laut Cina Timur, lepas dari prakiraan GFI sebelumnya. Inilah ulasannya.

Dalam perspektif asymmetric warfare (peperangan asimetris), pergeseran geopolitik akan membawa konsekuensi logis pada perubahan unsur, elemen maupun tahapan suprastruktur politik (pendukung)-nya. Maksud unsur atau tahap suprastruktur disini ialah isue, tema dan skema. Pada tataran isue (permulaan) misalnya, pola kolonial di Laut Cina sekarang tak lagi menyoal kepemimpinan tirani, bukan pula perihal isue genocida, atau korupsi, tidak juga soal demokratisasi, atau isue nuklir, dan lain-lain. Isuenya kini tunggal, yakni “sengketa perbatasan”. Itulah yang saat ini tumbuh semarak di Laut Cina.

Masih dalam koridor asimetris, lazimnya “tema” kolonial yang bakal diletuskan pasca isue ditebar ialah konflik terbuka, baik bersifat intrastate (konflik internal dalam negara) maupun interstate (konflik antar negara). Ini pola berulang, kecuali isue dimaksud terkontra sendiri, atau dikontra secara langsung oleh pihak-pihak ter-“target” dan yang ditarget. Sedangkan “skema” penjajahan sebagaimana kerapkali saya katakan di berbagai tulisan, hampir-hampir tak pernah berubah sepanjang zaman, yaitu penguasaan ekonomi serta pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di negeri koloni.

Sering keduanya, baik penguasaan ekonomi maupun pencaplokan SDA berjalan simultan dengan intensitas berbeda, atau acapkali justru “satu tarikan nafas” (serentak) pada sebuah kolonisasi melalui pintu tata ulang kekuasaan —ganti ‘boneka’— semacam tata ulang (Arab Spring) yang sedang berproses namun out of control di Jalur Sutera (Silahkan baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung, di www.theglobal-review.com), dan lainnya.

Dokumen Project for the New American Century and Its Implication, 2004 (PNAC)-nya Pentagon, jelas menyiratkan, bahwa salah satu “misi” Paman Sam —jika tidak boleh disebut tujuan— ialah membendung gerak laju Cina. Tak bisa dielak. Penyerbuan NATO dkk ke Mali dan invasi militernya ke beberapa negara (kecil) Afrika berdalih terorisme, radikalisme Islam, dll adalah potret aktual terkait upaya-upaya Barat membendung pengaruh Cina di Afrika. Pertanyaanya sederhana: apakah Mali akan diserbu NATO bila ia cuma penghasil singkong belaka? Maka pemahaman what lies beneath the surface dan kajian strategisDeep Stoat if you would understand world geopolitic today, follow the oilbarangkali merupakan jawaban atas (setiap) agresi militer Barat ke berbagai negara. Minyak, emas dan gas bumi. Ini cuma gambaran selintas, betapa banyak contoh-contoh lainnya.

Kenapa Laut Cina Selatan

Kunci daripada isue-isue sengketa perbatasan di Laut Cina Selatan sesungguhnya berada di dua kepulauan, yaitu Kepulauan (Kep) Spratly dan Kep Paracel. Inilah pemetaan konflik (saling klaim) atas beberapa negara di sekitar kepulauan dimaksud: (1) Kep Spratly. Ya, selain menyimpan konflik antara Cina versus beberapa negara seperti Malaysia, Philipina, Taiwan, Vietnam, Brunai Darussalam, dll bahkan di antara sesama anggota ASEAN sendiri terdapat endapan sengketa atas Spratly, saling mengklaim kepemilikan. Itulah fakta-fakta yang nyata; yang ke (2) Kep Paracel. Dalam konteks ini, sengketa Paracel melibatkan Cina, Vietnam serta Taiwan. Dan Cina pun, masih berseteru dengan Philipina terkait Karang Scarborough, yang sempat memanas dekade 2012-an lalu.

Dari mapping sengketa, konflik Kep Spratly mungkin paling menarik, karena melibatkan sejumlah negara Asia Tenggara seperti diurai sekilas di atas. Kenapa ia diperebutkan oleh banyak negara, memang ada takdir leverage atas geopolitik dan geo-posisi daripadanya. Artinya, selain letaknya strategis di jalur perairan internasional, juga paling utama potensi SDA berupa minyak dan gas alam yang melimpah di Kep tersebut. Aspek geostrategi sudah jelas, barangsiapa menguasai Spratly maka identik mengendalikan jalur pelayaran bagi kapal-kapal yang hilir mudik antara Lautan Pasifik – Lautan Hindia. Itulah geopolitical leverage yang diperebutkan para adidaya dunia. Apa boleh buat. “Nasib”-nya mirip Syria, meski ia tak sekaya minyak seperti Libya, Irak, Iran, dll tetapi Syria toh diperebutkan para adidaya Timur dan Barat karena faktorgeopolitic of pipeline dan geostrategy position di Jalur Sutera (Baca: Mencari Motif Utama Serangan Militer Barat ke Syria, di www.theglobal-review).

Prakiraan kandungan minyak di Spartly sekitar 10 milyar ton (International Herald Tribune, 3 Juni 1995), namun The Geology and Mineral Resources Ministry of the People’s Republic of China memperkirakan kandungannya 17,7 miliar ton. Masih simpang siur, tetapi jika merujuk lembaga geologi Cina tadi, data-data ini menempatkan Spratly sebagai kawasan dengan cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Luar biasa. Sudah barang tentu, dari perspektif hegemoni yang kini tengah dirajut oleh Negeri Tirai Bambu, menguasi kepulauan tersebut identik mengurangi ketergantungan impor minyak baik dari Kawasan Afrika, Timur Tengah, maupun Asia Tengah, dan lain-lain.

Lain Spratly lain pula leverage Kep Paracel. Bagi Tirai Bambu, selain dalam konflik hanya berhadapan dengan Vietnam dan Taiwan —ex provinsinya—, urgensi Cina terhadap kepulauan tersebut tidak kalah penting dibanding Spratly. Oleh karena dari sisi geostrategi, menguasai Kep Paracel bisa mengawasi gerak navigasi di bagian utara Laut Cina Selatan, kendati dari sisi SDA, hanya gundukan batu karang. Akan tetapi kuat disinyalir, Paracel juga memiliki kandungan minyak dan potensi gas alam yang besar, meski belum didukung data-data secara resmi.

Secara geopolitik, menguasai dua kepulauan dimaksud, otomatis mengendalikan perairan internasional, menguasai kekayaan (potensi) SDA-nya, juga dapat dijadikan “batu loncatan” jika kelak berhasrat menyerang Daratan Asia. Untukleverage terakhir, mungkin baru sebatas dugaan extreem penulis. Abaikan!

(Bersambung Bag-2)

Beberapa dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta, tahun 2012 mengisyaratkan, bakal ada geopolitical shift atau pergeseran geopolitik —dalam konflik global— dari Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara) menuju Asia Pasifik, bahkan “titik sentral”-nya, atau lokasi konflik pun telah ditandai oleh GFI berada di Laut Cina Selatan. Dan tampaknya, proses dimaksud kini sedang berlangsung.

Selanjutnya alasan pokok kenapa pergeseran terjadi, tak sedikit diulas oleh para penulis di website http://www.theglobal-review.com dan beberapa buku terbitan GFI, terutama Journal Kedua yang bertajuk: “Merobek Jalur Sutera Menerkam Asia Tenggara” (2 Januari 2013). Penulis tak ingin mengulang-ulang bahasan kecuali sekilas untuk menyambung paragraf saja. Catatan ini hanya memotret fenomena sehubungan perubahan “titik sentral”-nya secara fokus. Dengan kata lain, mencoba mengurai (breakdown) anatomi “ruh”, ataupun penyebab utama kenapa sentral (pemicu) geopolitical shift seolah-olah berpindah ke Laut Cina Timur, lepas dari prakiraan GFI sebelumnya. Inilah ulasannya.

Dalam perspektif asymmetric warfare (peperangan asimetris), pergeseran geopolitik akan membawa konsekuensi logis pada perubahan unsur, elemen maupun tahapan suprastruktur politik (pendukung)-nya. Maksud unsur atau tahap suprastruktur disini ialah isue, tema dan skema. Pada tataran isue (permulaan) misalnya, pola kolonial di Laut Cina sekarang tak lagi menyoal kepemimpinan tirani, bukan pula perihal isue genocida, atau korupsi, tidak juga soal demokratisasi, atau isue nuklir, dan lain-lain. Isuenya kini tunggal, yakni “sengketa perbatasan”. Itulah yang saat ini tumbuh semarak di Laut Cina.

Masih dalam koridor asimetris, lazimnya “tema” kolonial yang bakal diletuskan pasca isue ditebar ialah konflik terbuka, baik bersifat intrastate (konflik internal dalam negara) maupun interstate (konflik antar negara). Ini pola berulang, kecuali isue dimaksud terkontra sendiri, atau dikontra secara langsung oleh pihak-pihak ter-“target” dan yang ditarget. Sedangkan “skema” penjajahan sebagaimana kerapkali saya katakan di berbagai tulisan, hampir-hampir tak pernah berubah sepanjang zaman, yaitu penguasaan ekonomi serta pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di negeri koloni.

Sering keduanya, baik penguasaan ekonomi maupun pencaplokan SDA berjalan simultan dengan intensitas berbeda, atau acapkali justru “satu tarikan nafas” (serentak) pada sebuah kolonisasi melalui pintu tata ulang kekuasaan —ganti ‘boneka’— semacam tata ulang (Arab Spring) yang sedang berproses namun out of control di Jalur Sutera (Silahkan baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung, di www.theglobal-review.com), dan lainnya.

Dokumen Project for the New American Century and Its Implication, 2004 (PNAC)-nya Pentagon, jelas menyiratkan, bahwa salah satu “misi” Paman Sam —jika tidak boleh disebut tujuan— ialah membendung gerak laju Cina. Tak bisa dielak. Penyerbuan NATO dkk ke Mali dan invasi militernya ke beberapa negara (kecil) Afrika berdalih terorisme, radikalisme Islam, dll adalah potret aktual terkait upaya-upaya Barat membendung pengaruh Cina di Afrika. Pertanyaanya sederhana: apakah Mali akan diserbu NATO bila ia cuma penghasil singkong belaka? Maka pemahaman what lies beneath the surface dan kajian strategisDeep Stoat if you would understand world geopolitic today, follow the oilbarangkali merupakan jawaban atas (setiap) agresi militer Barat ke berbagai negara. Minyak, emas dan gas bumi. Ini cuma gambaran selintas, betapa banyak contoh-contoh lainnya.

Kenapa Laut Cina Selatan

Kunci daripada isue-isue sengketa perbatasan di Laut Cina Selatan sesungguhnya berada di dua kepulauan, yaitu Kepulauan (Kep) Spratly dan Kep Paracel. Inilah pemetaan konflik (saling klaim) atas beberapa negara di sekitar kepulauan dimaksud: (1) Kep Spratly. Ya, selain menyimpan konflik antara Cina versus beberapa negara seperti Malaysia, Philipina, Taiwan, Vietnam, Brunai Darussalam, dll bahkan di antara sesama anggota ASEAN sendiri terdapat endapan sengketa atas Spratly, saling mengklaim kepemilikan. Itulah fakta-fakta yang nyata; yang ke (2) Kep Paracel. Dalam konteks ini, sengketa Paracel melibatkan Cina, Vietnam serta Taiwan. Dan Cina pun, masih berseteru dengan Philipina terkait Karang Scarborough, yang sempat memanas dekade 2012-an lalu.

Dari mapping sengketa, konflik Kep Spratly mungkin paling menarik, karena melibatkan sejumlah negara Asia Tenggara seperti diurai sekilas di atas. Kenapa ia diperebutkan oleh banyak negara, memang ada takdir leverage atas geopolitik dan geo-posisi daripadanya. Artinya, selain letaknya strategis di jalur perairan internasional, juga paling utama potensi SDA berupa minyak dan gas alam yang melimpah di Kep tersebut. Aspek geostrategi sudah jelas, barangsiapa menguasai Spratly maka identik mengendalikan jalur pelayaran bagi kapal-kapal yang hilir mudik antara Lautan Pasifik – Lautan Hindia. Itulah geopolitical leverage yang diperebutkan para adidaya dunia. Apa boleh buat. “Nasib”-nya mirip Syria, meski ia tak sekaya minyak seperti Libya, Irak, Iran, dll tetapi Syria toh diperebutkan para adidaya Timur dan Barat karena faktorgeopolitic of pipeline dan geostrategy position di Jalur Sutera (Baca: Mencari Motif Utama Serangan Militer Barat ke Syria, di www.theglobal-review).

Prakiraan kandungan minyak di Spartly sekitar 10 milyar ton (International Herald Tribune, 3 Juni 1995), namun The Geology and Mineral Resources Ministry of the People’s Republic of China memperkirakan kandungannya 17,7 miliar ton. Masih simpang siur, tetapi jika merujuk lembaga geologi Cina tadi, data-data ini menempatkan Spratly sebagai kawasan dengan cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Luar biasa. Sudah barang tentu, dari perspektif hegemoni yang kini tengah dirajut oleh Negeri Tirai Bambu, menguasi kepulauan tersebut identik mengurangi ketergantungan impor minyak baik dari Kawasan Afrika, Timur Tengah, maupun Asia Tengah, dan lain-lain.

Lain Spratly lain pula leverage Kep Paracel. Bagi Tirai Bambu, selain dalam konflik hanya berhadapan dengan Vietnam dan Taiwan —ex provinsinya—, urgensi Cina terhadap kepulauan tersebut tidak kalah penting dibanding Spratly. Oleh karena dari sisi geostrategi, menguasai Kep Paracel bisa mengawasi gerak navigasi di bagian utara Laut Cina Selatan, kendati dari sisi SDA, hanya gundukan batu karang. Akan tetapi kuat disinyalir, Paracel juga memiliki kandungan minyak dan potensi gas alam yang besar, meski belum didukung data-data secara resmi.

Secara geopolitik, menguasai dua kepulauan dimaksud, otomatis mengendalikan perairan internasional, menguasai kekayaan (potensi) SDA-nya, juga dapat dijadikan “batu loncatan” jika kelak berhasrat menyerang Daratan Asia. Untukleverage terakhir, mungkin baru sebatas dugaan extreem penulis. Abaikan!

Mengapa Laut Cina Timur

 Jika titik sengketa di Laut Cina Selatan ialah Kep Spratly dan Paracel, untuk konflik di Laut Cina Timur “titik”-nya berada di Kep Diaoyutai/Diaoyu versi Cina, atau Senkaku versi Jepang, atau Kep Tiaoyutai versi Taiwan. Seperti halnya dua kepulauan di Laut Cina Selatan, kepulauan ini pun layak disebut “Kepulauan (Kep) Sengketa”. Ada tiga negeri saling klaim kepemilikan. Mungkin selain sejarah, faktor jarak juga kuat mempengaruhi.Sekali lagi, istilah “Kep Sengketa” pada paragraf ini maksudnya ialah Diaoyu (Cina), atau Senkaku (Jepang), atau Tiaoyuti (Taiwan) itu sendiri.

Sepintas “Kepulauan Sengketa”

Kepulauan ini seluas 7 km. Terdiri atas lima pulau besar (Diaoyu Dao atau Uotsuri Jima, Chiwei Yu atau Taisho Jima, Huangwei Yu atau Kuba Jima, Bei Xiaodao atau Kita Kojima dan Nan Xiaodao atau Minami Kojima) dan tiga karang (Bei Yan atau Kitaiwa, Nan Yan atau Minamiiwa dan Fei Jiao Yanatau Tobise). Ia terletak di sebelah timur Cina, atau di sebelah selatannya Jepang, atau di sebelah utara Taiwan. Adapun jarak masing-masing negara dengan obyek sengketa, terlihat bervariasi. Antara Cina – “Kep Sengketa” misalnya, jaraknya 330 km dari Wenzhou; sedang Jepang – “Kep Sengketa” berjarak sekitar 420 km, dekat Kep Ryukyu; sementara jarak Taiwan – “Kep Sengketa” justru lebih dekat lagi, cuma170 km. Itulah mapping awal dari sisi jarak.

Dari aspek histori lain lagi, oleh karena bila merujuk catatan perjalanan para leluhur Cina dan beberapa referensi, baik catatan Liang Zhong Hai Dao Zhen Jing (1403 M); atau catatan Chen Kan, utusan Dinasti Ming (1534 M); atau artikel Diaoyu/Senkaku Islands Dispute: Japan and China, Oceans Apart-nya William B. Heflin, maupun buku East Asia Before The West: Five Centuries of Trade and Tribute (New York: Columbia University Press, 2010)-nya David C Kang, sepakat menyebut bahwa “Kep Sengketa” yang kini diklaim tiga negara dengan berbagai nama, sejatinya merupakan bagian teritorial Cina tempo doeloe.

Perubahan atas kepemilikan terjadi era 1894-an tatkala Cina kalah perang melawan Jepang. Traktat Shimonoseki yang ditandatangani Cina-Jepang, mencantumkan Taiwan dan Korea menjadi bagian wilayah Jepang. Sudah barang tentu, pengambil-alihan Jepang atas Taiwan termasuk juga legal administrasi dari Kep Senkaku.

Roda pun berputar. Ketika Jepang kalah perang pada Perang Dunia (PD) ke-2, namun kendali atas Kep Senkaku tidak seketika dikembalikan ke Cina seperti halnya ia mengambil-alih Taiwan, melainkan diserahkan kepada Amerika Serikat (AS). Kemungkinan inilah titik awal kerancuan dalam kepemilikan. Kenapa demikian, oleh karena kontrol administrasi Kep Senkaku telah diubah. Sewaktu pada masa penguasaan Jepang, kontrol administrasi Kep Senkaku oleh Taiwan, namun tatkala dikuasai AS, kontrol berubah di bawah Okinawa. Dan AS mengendalikan Kep Senkaku/Diaoyu semenjak tahun 1945 hingga 1972-an.

Menurut harian Renmin Ribao berjudul “China’s Diaoyu Islands Sovereignty is Undeniable”, bahwa Kep Diaoyu atau Senkaku adalah milik Cina di bawah Provinsi Taiwan. Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, maka “Perjanjian Postdam” (1945) resmi diterima oleh Jepang. Isi perjanjian tersebut termaktub perihal kekuasaan Jepang dibatasi pada Kep Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku dan pulau kecil lain yang akan ditentukan oleh negara-negara sekutu. Makanya Cina pun protes pasca keputusan AS tahun 1971 yang menyatakan Kep Diaoyu itu wilayah Jepang, sebab ia sendiri negara yang ikut menandatangani “Perjanjian Postdam”.

Sumber lain mengatakan, sebenarnya Cina tidak keberatan ketika Paman Sam menyerahkan Senkaku (1971) kepada Jepang sesuai pasal 1 perjanjian antara Jepang – AS yang ditandatangani tanggal 17 Juni 1971. Klaim dan protes Cina muncul ketika survey Jepang mengatakan bahwa terdapat potensi sumber daya minyak di kepulauan tersebut. Sekali lagi, akankah Cina mengklaim Senkaku bila Kep tersebut hanya gundukan batu karang belaka? Jawabannya sederhana: “apa yang terkandung di bawah permukaan”, atau istilahnya what lies beneath the surface!

Implementasi Asumsi GFI dan KENARI

 Sebagaimana diurai sebelumnya, bahwa memanasnya suhu politik beberapa negara di sekitar perairan Cina, selain tak lepas akibat “isue” dan “tema” yang ditebar (asymmetric strategy) kolonialisme Barat terkait geopolitical shift dari Jalur Sutera ke Asia Pasifik, juga silahkan simak rumusan GFI, Jakarta (2013), pimpinan Hendrajit, perihal garis besar konflik-konflik yang terjadi di dunia. Inilah asumsinya:

“Bahwa mapping konflik dari kolonisasi yang dikembangkan oleh Barat, hampir dipastikan segaris/satu route bahkan pararel dengan jalur-jalur SDA terutama bagi wilayah (negara) yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam”.

 Demikian pula sesi-sesi diskusi di Forum Kepentingan Nasional RI (KENARI), Jakarta, pimpinan Dirgo D. Purbo, pakar perminyakan, kerapkali memetik pointers yang hampir identik dengan rumusan GFI di atas, yaitu: “conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow”.

Bila mencermati konflik-konflik di Tanah Air, lalu mencoba menselaraskan dengan asumsi GFI dan KENARI, bahwa penanganan konflik oleh Tim Terpadu baik tingkat nasional maupun daerah dimana Kementerian Polhukam selaku leading sector, seyogyianya tidak sekali-kali mengkedepankan model penanganan dan pengelolaan konflik atas hal-hal yang timbul di permukaan semata, namun wajib mencermati secara jeli what lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan.

Ada asumsi lagi: “konflik lokal merupakan bagian konflik global”. Artinya, konflik di suatu kawasan bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri, tetapi seringkali merupakan bagian dari skema besar para adidaya. Maka meramu beberapa asumsi di atas, seyogyianya Tim Terpadu harus mengantongi jawaban atas pertanyaan: adakah kepentingan geopolitik asing terkait minyak, emas, gas bumi, dan/atau bagaimana upaya pihak luar menguasai geostrategi kawasan tertentu di Bumi Pertiwi?

Konflik Sampang contohnya, jangan cuma dilihat dari sisi pertentangan budaya antara Syiah-Sunni yang dipenuhi virus takfiri (mengkafir-kafirkan kelompok lain), aroma sektarian,bener e dewe, dan lain-lain. Tim Terpadu hendaknya menelusur hingga ke dasar masalah di hulu persoalan — bukannya akar persoalan di permukaan (hilir) saja. Adakah geopolitik Madura cq Sampang terkait kepentingan asing; berapa perusahaan luar beroperasi dan adakah persaingan di antara mereka sendiri; bagaimana pola perluasan area suatu perusahaan jika rencananya menabrak lokasi kelompok tertentu yang mutlak harus ‘diungsikan’? Atau pada wilayah konflik lain baik di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dll mutlak harus dipertanyakan dahulu: adakah potensi SDA-nya; bagaimanaleverage geostrategi kawasan tersebut dari perspektif geopolitik global? Sekali lagi, conflict is protection oil flow!

Asumsi GFI dan KENARI jelas menyiratkan makna, bahwa konflik manapun yang meletus di “jalur basah”, kuat indikasi ia diciptakan terkait kepentingan geopolitik para adidaya. Sudah tentu, hal ini selain pararel dengan kajian Deep Stoat (if you would understand world geopolitic today, follow the oil), juga sebenarnya tergantung insight (menyelam)-nya survey serta ketajaman Tim dalam menganalisa untuk mengurai masalah, lalu menyelesaikan konflik yang muncul secara tuntas.

Lihatlah ethnic cleansing di Rohingya, Myanmar; tengoklah bentrokan antar suku di Balinuraga, Lampung; cermati benturan antara Syiah-Sunni di Madura, dst kenapa selalu dipicu oleh pola yang sama yaitu pelecehan seksual, berlanjut bentrok massa dan selalu berujung program relokasi penduduk (‘terusir’) yang hidup di atasnya. Sejauh ini, adakah kajian menyelam hingga di bawah permukaan?

Geopolitical Leverage

 Untuk daya lenting, kemanfaatan atau leverage sebuah geopolitik yang layak disimak ialah kedahsyatan Papua dari aspek geostrategi. Catatan kecil dalam Perang Dunia (PD) ke-2 mengajarkan, bahwa ia memiliki nilai strategis bagi militer AS. Masa-masa PD dahulu, letak dan “posisi geografis”-nya sangat mendukung taktik lompat katak (leap frog)-nya Jenderal Douglas MacArthur, Panglima AS, sehingga dalam PD mampu unggul daripada tentara Jepang. Inilah kedahsyatan geopolitical leverage jika dimaksimalkan. Termasuk dalam hal ini ialah Selat Hormuz di Iran, Selat Malaka bagi Singapura, atau mungkin juga Selat Sunda, Selat Lombok, dll. Kendati untuk dua Selat terakhir (Selat Sunda dan Lombok) masih “terlantar“, artinya selama ini tak pernah diberdayakan oleh para pengambil kebijakan di republik ini guna kepentingan yang lebih besar.

Dengan demikian, telah bisa dibaca bahwa hasrat Barat (AS dan sekutu) terhadap Papua selain kepentingan what lies beneath the surface (hal-hal terkandung di bawah permukaan) juga tak kalah penting ialah penguasaan geostrategy position dalam konstelasi geopolitik global. Tampaknya, Paman Sam ingin mengulang kembali kesuksesan PD ke-2 apabilageopolitical shift yang tengah berlangsung bermuara serta berubah menjadi perang (militer) secara terbuka.

Kembali ke Laut Cina Selatan. Entah siapa memulai, siapa duluan memancing. Ketegangan politik di perairan Asia Pasifik terpantau hampir memuncak. Retorika pun muncul: apakah penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) oleh Negeri Tirai Bambu di Kep Diaoyu atau Senkaku —kepulauan sengketa— ujud dari ‘kegenitan’ Cina ingin segera tampil menjadi superpower? Atau insiden kecil tanggal 5 Desember 2013 di Laut Cina Selatan, dimana Kapal USS Cowpens (mengabaikan peringatan) menerobos tempat latihan Armada Laut Cina ialah isyarat, bahwa Paman Sam pun ingin cepat-cepat bertempur?

Sumber :  http://catatanmap.wordpress.com/2013/12/17/mungkinkah-proxy-war-di-laut-cina-timur/



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300