Kita pun harus berani mengakui dengan jujur bahwa kekuatan bangsa ini terwujud karena bisa membangun kehidupan bersama dalam aneka macam perbedaan yang dapat disebut juga diversity ini homogenity. Harus ada komitmen untuk tidak mengusik keyakinan orang atau komunitas lain. Dengan demikian, kita tidak perlu heran jika suku bangsa lain di luar Jawa pada zaman dulu tidak diganggu oleh kerajaan-kerajaan di Jawa. Semua tetap bisa menjalankan adat-istiadatnya tanpa terganggu oleh yang mayoritas.
Sebenarnya, dengan lahirnya sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928, yang menegaskan bahwa putra-putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, maka bangsa ini telah meletakkan fondasi kebersamaan. Jika bangsa Indonesia punya komitmen yang kuat akan sumpah pemuda tersebut, maka adat, bahasa, dan budaya suku-suku bangsa di seluruh Indonesia akan dapat mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang kuat dan bahkan bisa menjadi pelita dunia.
Kita harus menyadari kembali seperti yang dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945. Dipetikkan sebagian yang berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Jelas bahwa pernyataan Indonesia merdeka itu adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Kita sebagai generasi yang lahir di alam Indonesia merdeka harus berkomitmen penuh untuk membangun kehidupan kebangsaan yang bebas. Dengan demikian, kita salah jika menyatakan bahwa tanpa perjuangan si A, si B, keturunan C dan lain sebagainya, Indonesia tidak merdeka. Kita juga tidak boleh menyatakan bahwa yang punya andil besar atau paling besar untuk kemerdekaan Indonesia adalah si Z.
Seharusnya setelah merdeka, tak diizinkan adanya gerakan keagamaan ke kampus-kampus dan sekolahan. Sebab, agama sudah diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Organisasi sosial berbasis keagamaan sudah difasilitasi untuk mendirikan sekolah-sekolah keagamaan. Pengajaran agama seharusnya bersifat internal komunitas suatu agama, dan tidak bersifat ekspansif pada masyarakat yang sudah mapan dalam kehidupan beragamanya. Hal itu ditujukan agar bangunan kebangsaan yang bebas itu tetap kokoh.
Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa bangsa Indonesia yang lahir pada 17-08-1945 adalah kumpulan suku bangsa yang ada di Nusantara yang telah mengikat diri menjadi satu bangsa baru yaitu bangsa Indonesia. Tanah air adalah warisan luhur dari nenek moyang yang berasal dari ribuan suku bangsa yang tersebar di Nusantara. Kita tinggal memelihara, menjaga, dan mengisinya dengan kehidupan yang beradab, yang lebih maju, dan makmur sejahtera.
Tak ada warisan tunggal dalam bahasa. Oleh karena itu, dalam sumpah pemuda disebutkan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Hal ini berarti mengisyaratkan bahwa setiap suku bangsa harus menguasai minimal dua bahasa, yaitu bahasa lokal (bahasa ibu) dan bahasa persatuan. Bahasa ibu harus dipelihara dengan baik agar bisa menopang dan menyumbangkan khazanah kata pada bahasa persatuan.
Tak ada warisan tunggal dalam keagamaan. Sejak zaman dulu aneka macam agama berkembang di Nusantara. Dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa sebelum kedatangan agama Hindu, Buddha, dan Islam, ada enam macam agama di Jawa (agama-agama di Nusantara yang tumbuh pada 5.000 tahun sebelum Masehi), yaitu agama Brahma, Sambu, Endra, Wisnu, Bayu, dan agama Kala. Masing-masing memiliki aturan agamanya sendiri-sendiri. Aturan agama itu terdiri dari 12 macam, yaitu:
1. Pangulu (penghulu).
2. Tetenger (tanda).
3. Panembah (cara melakukan sembahyang).
4. Laku (tata cara dalam beragama).
5. Tapa (cara bertapa).
6. Hari raya.
7. Larangan.
8. Wewenang.
9. Papali (aturan).
10. Panglayon (perihal kematian).
11. Paliyasan (tolak bala).
12. Pamulyan (cara memuliakan).
Tidak terjadi klaim kebenaran, karena agama dijalankan agar suatu masyarakat dapat hidup secara tertib dan teratur. Setiap agama itu memang sesuai dan cocok dengan lingkungan hidupnya. Setiap agama mengajarkan hidup harmonis dengan lingkungan hidupnya. Oleh karena itu, praktis tak ditemukan kerusakan lingkungan hidupnya. Hal semacam ini masih dapat kita saksikan pada masyarakat adat di Kanekes, Tengger, dan Samin (kawasan Blora dan Bojonegoro).
Tentu saja kita juga tidak perlu mengembalikan masyarakat Indonesia sekarang kembali ke agama leluhurnya. Yang harus dilindungi adalah agama-agama lokal yang masih ada, dan kita tidak boleh mengubah agama mereka untuk mengikuti salah satu agama yang diakui di Indonesia saat ini. Misalnya, di Jawa masih hidup agama Kejawen, Sunda Wiwitan, Sunda Buhun, Sunda Jawa, Hindu Jawa, Samin, dan lain-lainnya. Mereka harus diterima dengan sepenuh hati bahwa mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air Indonesia.
Pemeluk agama-agama lokal itu harus diperlakukan sama dengan saudara-saudara mereka yang memeluk agama yang berasal dari luar Nusantara, sebab mereka adalah orang-orang yang leluhurnya menerima kehadiran agama-agama yang dibawa oleh orang-orang yang mencari kehidupan di Nusantara. Sungguh aneh jika kita yang memeluk agama dari luar itu malah melenyapkan eksitensi pemeluk agama lokal. Upaya untuk melenyapkan agama lokal adalah upaya penjajah karena membiarkan hidup agama lokal itu akan menyulitkan penjajah bercokol di Nusantara.
Kesadaran akan adanya ahli waris agama lokal, agama yang sudah ada sebelum kedatangan agama dari luar Nusantara, yaitu yang disebut sebagai agama Budhi (Budha Budhi) dalam Serat Darma Gandhul, atau Kawruh Budhi Jati yang disebut dalam Pustaka Wedha Sasangka, harus dibangkitkan. Kesadaran terhadap keberadaan mereka sama dengan kita menyadari keberadaan orangtua kita sendiri. Memperlakukan mereka dengan baik, dengan adil, dengan bijak, adalah sama dengan memperlakukan kebaikan kepada orangtua kita sendiri.
Memuliakan kehidupan mereka merupakan renaisans, kembali ke nilai-nilai yang terkandung dalam budaya-budaya yang tersebar di Nusantara.
Hanya dengan renaisans budaya, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang beradab, yang memiliki kepribadian yang berbudaya, yang dapat menyadari kembali keindonesiaan secara utuh. Sekali lagi, kembali kepada ajaran Budhi, budaya leluhur bangsa Indonesia, tidak berarti kita harus melepaskan agama-agama yang datang dari luar Nusantara, tetapi dengan kembali kepada ajaran Budhi kita menempatkan semua pemeluk agama berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Semua akan mendapatkan hak-haknya kembali sebagai anak bangsa. Kita memiliki kewajiban yang sama dalam menjaga dan memajukan negara dan bangsa Indonesia. Akhirnya, kita dapat menjalankan kehidupan kebangsaan yang bebas dari pengaruh dan tekanan bangsa asing.
Jakarta, 22 Agustus 2019
Salam,
Salom,
Shanti,
Sadhu,
Peace,
Rahayu…,
Hongngngngngngng……
A. Chodjim