Oleh: Anand Krishna
Sejak surat saya kepada Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) Gunung Padang dirilis oleh Saudara Andi Arief, inisiator, banyak tanggapan yang saya terima lewat teman-teman.
Adalah sangat menarik bahwa beberapa tanggapan bunyinya sangat mirip, kurang lebih:“Dari dulu, saya pikir memang di Gunung Padang itu ada satu proyek besar macam Maṇḍala.” Ini bahasa awam tapi sangat menyentuh esensi dari kata Maṇḍala itu sendiri. Yang saya maksudkan ialah kata-kata “proyek besar” .
Memang betul !
Mandala memang proyek besar – dan apa yang kita saksikan di Gunung Padang adalah“maket” dari proyek besar tersebut.
Kata “Model” dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa latin “Modulus” yang mana berarti “representasi komplit dari seseorang, sesuatu atau bangunan dalam 3 dimensi – kendati dalam ukuran yang relatif jauh lebih kecil”. Kemungkinan besar “Modulus” berasal dari kata “Mandala” – perlu diingat bahwa induk dari bahasa-bahasa yang sekarang dikelompokkan dalam keluarga bahasa-bahasa Indo/European adalah satu dan sama. Dari induk itu pula lahir Bahasa Sunda Kuna, Jawa-Kuna/Kawi, Hindi, dan lainnya.
Umumnya Mandala diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “circle” – namun arti sebenarnya bukanlah circle dalam pengertian “bulat” – tapi dalam pengertian “complete” – komplit. Jadi, kalau kita menyebut Jambu Dvipa Mandala berarti Maket Komplit Benua Jambu, yang sebelum terjadinya Erupsi Toba, sekitar 70-an ribu tahun yang lalu,mempersatukan seluruh kepulauan Dvīpāntara atau Nusantara dengan Indo Cina, India,Pakistan, hingga perbatasan Gandhāra (sekarang Afghanistan).
Karena ketidaktahuan kita selama ini, barangkali kita mengasosiasikan istilah Mandala ini dengan klenik, mistisisme, ataupun dengan ajaran atau kepercayaan-kepercayaan tertentu. Padahal, istilah Mandala sebagai “model”, terkait dengan sains. Dalam ilmu fisika modern misalnya, khususnya yang terkait dengan kosmologi, tentang asal-usulnya Semesta – keahlian Stephen Hawking dan ilmuwan lain – “model” adalah istilah yang sangat sering dipakai.
Seorang Ilmuwan membuat model maket, membuat model – bisa diatas kertas berupa teori,rumusan matematika, atau bentuk-bentuk berupa maket 3 dimensi. Kemudian, ia berupaya untuk membuktikan secara ilmiah apakah modelnya sudah tepat. Jika belum ia akan mengubahnya, mengimprovisasinya, hingga “model” yang dibuatnya adalah tepat dan sesuai dengan hasil eksperimennya.
Sebagai orang awam – walau sudah pernah belajar fisika di Sekolah – barangkali banyak yang tidak tahu bahwa “atom” adalah sebuah “model”, bahkan sepenuhnya berdasarkan asumsi. Barangkali, kitapun lupa, bahwa “hingga hari ini” tiada seorangpun, termasuk parai lmuwan super jenius, yang pernah melihat “atom”. Maksud saya bukanlah dengan mata telanjang saja, bahkan dengan peralatan tercanggih yang kita miliki saat ini pun, tiada seorang yang melihat “atom”.
Atom adalah mandala terkecil hasil “asumsi” para ilmuwan. Dalam bahasa awam“atom” adalah gaib, tidak nyata. Tapi, dampak, impact dari atom tidak hanya bisa dirasakan, bahkan bisa dilihat. Dari bom atom yang mematikan, hingga energi yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan manusia – semua adalah hasil, dampak, atau impact dari “atom”– sebuah model, maket, atau tepatnya Maṇḍala yang awalnya “diasumsikan” oleh ilmuwan.
Kenapa saya katakan “tepatnya” atom adalah sebuah maṇḍala, karena memenuhi prinsip prinsip dasar Maṇḍala – yaitu 3 bagian utama. Proton atau Positif, Neutron atau Netral, dan Electron atau Negatif, yang mengelilingi meliputi keduanya ; dan merupakan bagian terbesar– jauh lebih besar – dari Proton dan Neutron. Sekarang para ilmuwan menemukan elemenelemenlain, dan, barangkali kelak elemen-elemen itu bisa ditemukan juga sub-elemennya. Namun, kiranya 3 unsur utama tersebut tidak akan terganggu.
Mandala bukanlah sepeti maket rumah, kantor atau bangunan lainnya – dimana ruang ruang utamanya bisa disesuaikan dengan kehendak pemilik dan/atau pembangun rumah.
Mandala adalah model alam semesta, yang miniaturnya adalah bimasakti, miniaturnya lagi planet bumi, dan lebih mini lagi manusia sebagai penghuni bumi. Nah, setiap miniatur ini mesti memenuhi prinsip dasar 3 unsur utama tersebut. Tidak bisa tidak. Jika tidak, maka kita tidak akan selaras dengan bumi, bumi tidak akan selaras dengan galaksi bimasakti, danbimasakti tidak akan selaras dengan semesta. Kemudian, ketidakselarasan itu akan membuatkita menjadi arrythmic atau asura – tidak selaras. Dan ketika ketidak-selarasan itu mencapaisuatu titik jenuh, atau lebih tepatnya “titik jenuh sempurna – tidak selaras semua – makahancur-leburlah miniatur yang mengalaminya, mengalami ketidakselarasan itu.
Naskah-naskah kuna dan Jawa kuna banyak bercerita tentang hal ini, sayangnya karena perkara salin-menyalin sejak ribuan tahun maka banyak konsep dasar yang terpengaruh olehkepercayaan maupun keyakinan penyalin. Nah, untuk menemukan kembali esensi darinaskah-naskah tersebut, kita mesti mempelajari keadaan Tanah Sunda ribuan tahun yang lalu,saat seluruh Dvīpāntara atau Nusantara lebih dikenal sebagai Sundarakhanda atauSundarakānda, yang mana berarti “Tanah” atau “Wilayah” yang “Elok”, “Cantik” –sebagaimana argumentasi yang telah saya ajukan dalam buku saya “The Wisdom ofSundaland” (Gramedia, 2012).
Dalam hal ini, saya juga mesti mengapresiasi kerja keras para senior saya, para Putra Sunda terbaik, antara lain Ayatrohaedi, Undang Darsa, Danasasmita, Ekadjati, Ibu Wartini,dan masih banyak lainnya, yang, telah bersusah payah menerjemahkan beberapa naskah kunayang sangat penting.
Kembali Pada Madala Gunung Padang, saya yakin bahwa struktur tersebut tidak hanya memenuhi Prinsip Dasar Maṇḍala terkait dengan tiga unsur tersebut, tetapi juga unsur-unsur lain yang amat sangat penting.
Tentunya, kita semua mesti bekerja keras untuk menentukan setiap unsur secara teliti danrapi, mengingat, “penggunaan” atau pemanfaatan “terakhir” Maṇḍala tersebut yang boleh dibilang secara komprehensif, dilakukan lebih dari 1000 tahun yang lalu. Sejak itu,sayangnya, Maṇḍala ini tidak lagi dimanfaatkan secara aktif dan komprehensif.
Menurut Prasasti di abad ketujuh atau delapan masehi, yang ditemukan di Kambodia:“Segala pengetahuan yang kami peroleh lewat Guru kami, Shivasoma, berasal dari Guru Besar Bhagavan Shankara yang selalu dikerumuni oleh para pencari kebenaran”. Indravarman, Raja Sriwijaya (Krishna, Anand. 5 Steps to Awareness: 40 Kebiasaan orang yang Tercerahkan. Jakarta, 2006)
Prasasati ini dibuat atau didekasikan oleh seorang Raja Sriwijaya, yang berpusat di Kepulauan Nusantara, dan merupakan salah satu Dinasti Dunia yang paling lama berkuasa.
Sementara itu, Bhagavan Shankara – yang dimaksud adalah filsuf besar abad ke-8 asal Malaya Giri, Pegunungan Malaya, sekarang disebut negara bagian Kerala di India. Ia berhasil merumuskan Theory of Everything, yang disebutnya Advaita, dan berdasarkan itu menciptakan sebuah model peradaban modern yang merefleksikan persatuan mikrokosmos dan makrokosmos.
Model peradaban ini disimbolkannya dengan merancang sebuah mandala yang disebut Maṇḍala Meru.
Ada indikasi kuat bahwa sang Bhagavan atau resi memiliki hubungan emosional yang kuatsekali dengan Tanah Melayu, berhubung sebelum terjadinya fragmentasi kepulauan Nusantara, leluhurnya masih satu ras atau suku bangsa dengan warga Nusantara.
Sebab itu pula, ia masih memiliki data-data otentik tentang Mandala di GunungPadang; bahkan mengutus para siswanya untuk meneliti dan berdasarkan informasi-informasi itulah, ia berhasil mengimprovisasi bentuk mandala yang hingga hari ini pun masih digunakan.
Presiden Pertama RI Soekarno pun mengetahui hal ini. Bahkan dalam 2-3 kali pertemuan dengan Ayah Penulis pernah menyinggung soal mandala dan menyampaikan interest Beliau untuk menggali lebih jauh.
Saya masih mengumpulkan data, lagi, dan lagi ada indikasi bahwa Beliau berhasil, membuat maket untuk menerima getaran-getaran dari Gunung Padang,namun tidak berhasil/belum sempat digunakannya.
Ada beberapa literatur kuno yang untungnya masih relatif utuh dan membeberkanmanfaat dari Maṇḍala Gunung Padang, antara lain yang seperti saya kutip dari naskah-naskahkuno dan di reproduce di “The Wisdom of Sundaland”. (Krishna, Anand. Gramedia Jakarta,2012), dan “ Indonesia Jaya” ( Krishna, Anand, One Earth Media. Jakarta, 2005)
Mandala ini merupakan bagian dari Program Riset dan Pendidikan, dimana para dosennya,para gurunya disebut Resi. Jadi, Resi TIDAK BERARTI “Petapa” atau “monk” sebagaimana diartikan secara umum. Naskah-naskah kuno dalam bahasa Sunda lebih sering menggunakan istilah “ wiku “ untuk petapa. Resi berarti “ mereka yang melihat, meneliti, mengawasi.” Theywere Scientist! Dan salam kita dalam bahasa Sunda “Sampu Rasun” yang dibalas “ Rampes “pun bukanlah sekedar salam, but, tapi, adalah refleksi dari Maṇḍala Gunung Padang, sebuah formula, rumusan ilmiah.
Jika para founding fathers kita menggunakan “Merdeka” untuk membakar semangat para pejuang, maka salam asal Sunda ini membakar “Jiwa” kita untuk menemukan “Tujuan Keberadaannya” di semesta ini.
Mandala Gunung Padang, bolehkah saya sebut Mandala Dvīpāntara, Maṇḍala yang sekarang diwariskan kepada kita ini adalah Maṇḍala yang bisa mempersatukan seluruh umat manusia, irrespective of our faith, race, and all other differences.
Tentang “Sampu Rasun” yang menurut saya adalah rumusan ilmiah seperti E=mc2, bahkan, jauh, jauh, melebihinya – dan, merujuk pada the “Theory of Everything “ atau, yang sekarang banyak dikaitkan dengan Superstring Theory – sayang, saya belum bisa mengulas secara lebih dalam, karena “keterbatasan” saya saat ini; sangat minimnya – akses terhadap informasi; dan, juga saya masih menunggu beberapa data penting lewat teman-teman yangselama ini menjadi penghubung antara saya dan TIM (TTRM)
