Monday, March 15, 2010 at 11:38pm
Transformasi Filsafat Ilmu
Armahedi Mahzar (c) 2010
Sabtu siang lalu saya dipercaya lagi mengajar Filsil (bukan Fisika) di ICAS Jakarta untuk pertemuan pertama. Dulu ketika mengajar Mata Kuliah yang sama di sana, saya terpaksa mengurangi materi Filsil di ITB sebelumnya karena waktunya terbatas. Syukurlah sekarang sesinya cukup banyak, sehingga saya bisa mengajarkan topik kesayangan saya: transformasi peradaban sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi informasi yang sekarang disingkat menjadi kominfo. Ilmu itu sendiri adalah salah satu cabang utama peradaban. Oleh karena itu ilmu dan filsafat ilmu pun mengalami transformasi yang seiring.
Ilmu berupa pengetahuan kolektif manusia berkembang sesuai dengan sarana kominfo yang dominan pada suatu waktu. Pengetahuan sosial dari masa ke masa berkembang dari mitologi ke teologi terus ke filsafat yang digantikan sains yang segera diganti oleh ideologi yang kini pada gilirannya digantikan oleh imagologi. Teologi dan filsafat dilahirkan oleh teknologi tulis, sedangkan sains dilahirkan oleh teknologi cetak. Sementara itu ideologi menjadi dominan di abad 20 ketika media elektronik seperti radio dan televisi menjadi dominan. Kini imagologi dominan ketika komputer dan internet menjadi dominan di abad 21.
Pada mulanya : pramodernitas
Ketika percakapan lisan adalah teknologi kominfo yang dominan di era prasejarah maka ilmu dinyatakan dalam cerita-cerita pusaka turun-temurun yang sekarang kita kenal sebagai mitologi. Dalam era mitologi ini tak ada filsafat ilmu, karena logika pun belum ada. Logika baru muncul setelah ditemukannya alfabet yang fonetik.
Kemudian manusia mengalami revolusi urban, teknologi kominfo utama adalah tulisan . Dengan tulisan manusia bisa berpikir tentang berpikir, sehingga berkembanglah ilmu logika. Berdasarkan logika ini maka manusia bisa menuangkan pengetahuannya dalam teologi yang logis. Namun sayang kominfotek ini hanya dikuasai para pendeta di kuil-kuil mereka, karena sulitnya memperbanyak naskah-naskah tulis.
Dalam era naskah ini, Plato menyatakan bahwa pengetahuan manusia adalah anamnesis atau pengingatan akan obyek-obyek sempurna di alam ide yang merupakan realitas abadi lebih nyata dari alam benda-benda. Murid Plato, Aristoteles , justru mengatakan bahwa benda-benda sekitar kita yang mempunyai eksistensi nyata, sedangkan ide hanyalah abstraksi yang hanya ada dalam pikiran manusia. Pandangan Plato disebut idealisme, sedangkan pandangan Aristoteles disebut sebagai realisme.
Di abad pertengahan peradaban Kristen Eropa pandangan Plato didukung oleh Santo Agustinus , sedangkan pandangan Aristoteles menjadi matang di tangan Santo Thomas Aquinas . Di dunia Islam, pandangan Plato terbayang dalam filsafat Al Ghazali , sedangkan pandangan Aristoteles menjadi matang di tangan Ibnu Rusyd yang kemudian ajarannya dikenal di Eropa sebagai Averoisme. Gereja menentang Averoisme dengan argumen-argumen yang mirip dengan argumen Al-Gazali melawan kaum falasifah eperti Ibnu Sina . Bahkan Thomas Aquinas melawan Averoisme dan mengembangkan pandangan sendiri yang menyatukan rasionalisme Aristoteles dengan iman Kristen.
Renaissance: lahirnya modernitas
Pada abad XV, Johan Gutenberg menemukan mesin cetak manual di tahun 1544 yang memungkinkan buku-buku menjadi murah sehingga bisa dibaca rakyat kebanyakan. Akibat dari revolusi teknologi cetak ini, di Eropa terjadi proses revolusioner Renaissance yang melahirkan Galileo Galilei (1564-1642) dan Johannes Kepler (1571-1630)sebagai perintis-perintis ilmu pengetahuan modern. Maka pengetahuan pun menjadi lebih individual dalam bentuk filsafat. Sains yang kita kenal sekarang, pada waktu itu sebagai salah satu cabang filsafat yaitu filsafat alam.
Adalah Francis Bacon (1561 – 1626) yang menyatakan bahwa mesin cetak, mesiu dan kompas telah membentuk peradaban setelah Renaissance. Bacon juga yang mengajukan metoda induksi sebagai komplemen bagi metoda deduksi yang ditemukan Aristoteles. John Locke (1632-1704) kemudian mengambil pandangan ekstrim empirisme yang mengatakan bahwa sumber semua pengetahuan adalah pengindraan manusia. Pandangan empirisme ini ditentang oleh Rene Descartes (1696-1750) dengan filsafat rasionalisme yang mengatakan bahwa dengan skeptisisme sistematik dia mengambil kesimpulan bahwa sumber pengetahuan yang sejati adalah akal budi atau rasio manusia.
Revolusi sains: modernisasi lebih lanjut
Isaac Newton (1643-1726) mensintesakan penemuan matematis Kepler dan penemuan empiris Galileo dalam teorinya tentang gerak, mekanika, dengan judul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica . Newton sukses mengajukan mekanikanya karena dia telah menggabungkan metoda matematik metoda eksperimental. Rasionalisme sebagai lawan empirisme diajukan sebagai dua metoda yang saling melengkapi, bukan sebagai dua filsafat yang saling berlawanan.
Sukses Newton dibidang fisika ini menghasilkan sebuah wawasan mekanisme yang menggantikan wawasan organisme Aristoteles yang ternyata gagal menyatukan pengetahuan tentang gerak di bumi dan gerak di langit. Sukses mekanisme di fisika itu segera menjadi model bagi pencarian mekanisme di bidang-bidang ilmu kealaman lainnya seperti misalnya biologi oleh Charles Darwin bahkan juga di ilmu-ilmu kemanusiaan seperti ekonomi oleh Adam Smith dan psikologi oleh Sigmund Freud . Pandangan bahwa alam sebagai mesin yang mendasari sains itu kini dikenal sebagai paradigma Newtonian.
Pandangan mekanisme ini menjadi sangat dominan setelah mesin uap ciptaan James Watt menjadi pendorong selanjutnya demokratisasi politik dan ekspansi ekonomi negara-negara Eropa sehingga mereka memasuki peradaban industrial. Tentu saja mekanisasi kemanusiaan ini mengalami reaksi filosofis yang menekankan bahwa masyarakat manusia tidak mengikuti suatu mekanika melainkan sebuah dialektika. Hanya saja reaksi filosofis ini tidaklah satu melainkan dua. Hegel mengajarkan idealisme dialektik dan Karl Marx mengajarkan materialisme dialektik. Kedua filsafat itu kemudian menjadi bentuk pengetahuan sosial yang disebut sebagai ideologi.
Abad 20: maksimasi modernitas
Abad ke-20 kemudian menjadi era konflik ideologis yang ditandai oleh dua perang dunia dan satu perang dingin. Perang ideologis ini dimungkinkan oleh lahirnya media elektronik radio yang menjadi corong bagi para pemimpin karismatik seperti Hitler di Jerman dan Stalin di Rusiauntuk menyebarkan ideologinya secara luas dengan meyakinkan pada rakyatnya. Pada era ini lahirlah dua pandangan filsafat ilmu yang saling bertentangan: neo-positivisme dan fenomenologi. Neo-positivisme, yang diajukan oleh anggota-angota Lingkaran Wina, seperti miusalnya Rudolf Carnap , mengunggulkan logika matematis sebagai sarana ampuh bagi sains untuk menata data empiris sains dan melecehkan metafisika sebagai sebagai tak berarti. Sebaliknya fenomenologi, yang diajukan oleh Edmund Husserl adalah filsafat yang menekankan fundamentalitas pengalaman subyektif manusia sebagai suatu keutuhan, sedangkan formula-formula matematika hanyalah karikatur yang memiskinkan pengalaman indrawi manusia.
Abad ke-21: Akhirnya …. posmodernitas
Namun untungnya awal abad ke-20 terjadi dua revolusi di bidang fisika yang mengoreksi mekanika klasik Newton. Revolusi yang pertama adalah lahirnya teori relativitas temuan Albert Einstein dan yang kedua adalah lahirnya mekanika kuantum dibidani oleh Werner Heisenberg . Einstein mendapat hadiah Nobel pada tahun 1921 karena penemuan rumus efek fotolistrik yang kemudian ternyata mengubah dunia dengan ditemukannya televisi . Heisenberg mendapat hadiah Nobel pada tahun 1932 karena penemuannya mekanika benda-benda sebesar atom dan yang lebih kecil lagi sehingga memungkinkan ditemukannya mikroprosesor yaitu jantung mesin-mesin komputer sedunia yang kini terkoneksi dalam jaringan internet . Komputer telah menyebabkan sosiolog Prancis Jean-Francois Lyotard melahirkan pemikiran posmodernisme, dalam bukunya yang kemudian, di kalangan humaniora, didominasi pos-strukturalisme seperti Jacques Derrida yang melecehkan sains dengan menganggapnya sebagai salah satu dari wacana-wacana relatif berupa konstruksi intersubyektif lainnya seperti novel, puisi, teologi, mitologi dan lain sebagainya.
Sebaliknya di kalangan ilmuwan, diilhami komplementaritas partikel gelombang di fisika kuamtum, justru muncul kecendrungan melihat materi dan pikiran ataupun sains dan agama sebagai sisi-sisi komplementer suatu realitas utuh menyeluruh yang saling melengkapi satu sama lainnya. Pandangan seperti inilah yang disebut sebagai holisme seperti yang disebarkan oleh fisikawan Amerika Fritjof Capra yang menulis buku “The Tao of Physics”
Kesimpulan
Sejarah perkembangan peradaban tak bisa dipisahkan dengan perkembangan teknologi terutama teknologi komunikasi informasi. Teknik tulis-menulis melahirkan pengetahuan sebagai cabang filsafat dan pertentangan antara idealisme yang subyektif dan realisme yang obyektif. Penemuan teknik cetak-mencetak menghasilkan pertentangan antara filsafat rasionalisme yang subyektif dan empirisme yang obyektif. Penemuan media elektronik menimbulkan pertentangan antara fenomenologi yang berorientasi pada subyek dan neo-positivisme yang berorientasi pada obyek. Penemuan komputer menghasilkan perdebatan antara pos-strukturalisme, yang intersubyektif, dan holisme yang menyatukan subyek dan obyek. Artinya, perkembangan teknologi menghasilkan visi-visi baru tentang subyektivitas manusia dan obyektivitas alam. Dan transformasi visioner ini pada gilirannya menyebabkan adanya transformasi ilmu dan filsafat ilmu.
Versi bergambar warna-warni ada di blog http://integralist.blogspot.com/2010/03/transformasi-filsafat-ilmu.html
Top of Form
Updated about 2 months ago · Comment · Like
Beryl C. Syamwil, Juan Sa, Andre Birowo and 9 others like this.
Terima kasih pak
March 24 at 3:17pm via Email Reply ·
Terima kasih pak,
Bottom of Form
Transformasi Komposisi Estetik
Monday, February 22, 2010 at 9:29pm
Armahedi Mahzar (c) 2010
Tadi pagi saya memberi kuliah keempat Morfologi Seni di S2 Senirupa ITB. Topiknya adalah komposisi estetik. Menurut Thomas Munro, yang bukunya Aesthetic Morphology dijadikan rujukan utama kuliah ini, seniman menyusun karyanya dari elemen-elemen estetik menjadi suatu karya seni melalui proses komposisi. Dia mengklasifikasi komposisi menjadi empat jenis proses yang berkelindan dalam proses kreatif seniman memproduksi karyanya.
Keempat komposisi itu adalah komposisi-komposisi representasional, utilitarian, eksposisional dan tematik. Komposisi representasional meniru obyek yang ada di luar karya seni. Komposisi utilitarian menggabungkan berbagai komponen menjadi suatu kesatuan fungsional yang bermanfaat bagi aktivitas manusia. Sedangkan Komposisi eksposisional menyatukan berbagai komponen estetik untuk menjelaskan sesuatu. Akhirnya komposisi tematik menyatukan elemen-elemen estetik menjadi kesatuan Harmonis.
Transformasi komposisi
Nah, ternyata dalam sejarah perkembangan seni satu jenis komposisi menjadi dominan. Pada mulanya di zaman primitif, komposisi seni bersifat utilitarian. Lukisan di dinding gua dan pahatan digunakan untuk kegiatan religius seperti memohon pada dewa. Lalu pada zaman tradisional kuno komposisi eksposional menjadi dominan di mana lukisan menjadi wahana untuk bercerita yang menjelaskan. Sedangkan pada zaman klasik lukisan menjadi representasional naturalistik. Berikutnya pada zaman modern komposisi tematik menjadi dominan ketika seniman menggunakan karya seni sebagai ekspresi subyektifnya. Zaman posmodern sekarang segala jenis komposisi disatukan tanpa ada yang dominan.
Jadi, ternyata terjadi pergeseran komposisi estetika dari zaman ke zaman. Mengapakah terjadi pergeseran dominasi komposisi seperti itu? Saya mengajukan hipotesis bahwa pergeseran itu terjadi karena adanya perkembangan teknologi komunikasi informasi dari zaman ke zaman. Pada
setiap zaman terdapat sebuah jenis teknologi yang dominan.
Awalnya, pada zaman primitif yang dominan adalah teknologi lisan. Lalu, pada zaman kuno tradisional yang dominan adalah teknologi tulis. Berikutnya pada zaman klasik yang dominan adalah teknologi cetak. Selanjutnya, pada zaman modern yang dominan adalah teknologi elektronika. Akhirnya pada zaman posmodern yang dominan adalah teknologi telematika.
Revolusi Teknologi
Setiap teknologi mendominasi suatu zaman terkait dengan terjadinya revolusi teknologi produksi. Revolusi pertanian dan urban mengukuhkan teknologi tulis. Revolusi industri yang didorong oleh penemuan mesin uap mengukuhkan teknologi cetak. Revolusi komunikasi yang didorong oleh penemuan mesin listrik mengukuhkan media elektronik. Revolusi informasi yang diinisiasi oleh penemuan
mikroprosesor mengukuhkan penggunaan jaringan telematika yang sekarang berupa internet.
Sebenarnya perubahan karakter komposisi estetik itu hanyalah salah satu aspek dari perubahan tingkat peradaban mengikuti masing-masing revolusi teknologi tersebut. Jika setiap peradaban kita beri nama dengan pandangan dunia yang dominan di masa itu, maka kita dapat mengatakan awal peradaban bersifat mitologis.
Peradaban zaman kuno tradisional bersifat teologis. Peradaban zaman klasik bersifat ilmiah. Peradaban zaman modern bersifat ideologis, sedangkan zaman posmodern menandai datangnya peradaban imagologis.
Secara umum terdapat satu karakter peradaban yang dominan pada setiap zaman yang juga dimiliki oleh seni. Misalnya pada zaman primitif peradabannya bersifat integral, itulah sebabnya seni menyatu dengan agama, ekonomi dan lain-lain.
Pada zaman kuno tradisional seni mengalami diferensiasi dan pada zaman klasik seni mengalami spesialisasi. Seni mengalami separasi ketika zaman modern datang. Kini di zaman posmodern ini, seni mengalami fragmentasi seperti halnya juga ilmu pengetahuan.
Catatan Akhir
Pada akhir kuliah, ada seorang mahasiswa menanyakan bagaimana nantinya nasib manusia. Saya jawab bahwa nanti mungkin manusia berada dalam lautan mesin-mesin super-cerdas yang kemungkinan besar akan meninggalkan kita sebagai manusia di bumi sebagai cagar budaya. Mereka sendiri akan pergi melanglang semesta dan mungkin saja pada suatu saat satu generasi mesin-mesin supercerdas itu akan
datang mengunjungi kebun manusia yaitu bumi, seperti halnya anak-anak kita manusia sekarang senang mengunjungi kebun binatang atau taman safari.
Apakah yang akan mereka tonton di kebun manusia itu? Menurut saya, yang mereka tonton tak lain adalah peledakan kreativitas seni apabila manusia nanti menyerahkan proses pencarian ilmu pada mesin-mesin supercerdas. Akan begitukah jadinya? Itu kan hanya sebuah cerita masa depan seorang Armahedi Mahzar. Saya kira di zaman posmodern ini akan banyak sekali cerita yang beredar berkompetisi satu sama lainnya, mengingat cerita besar ideologis telah digantikan oleh cerita-cerita kecil imagologis.
Silahkan buat cerita sendiri! :)
Top of Form
Written about 2 months ago · Comment · Like
5 people like this.
@Khair: Disitu saya beda dengan pak The. Alam memang matematis, tapi matematika jauh lebih besar dari fisika dan matematika hanya satu cabang kecil kuantitatif dari budaya yang terus berkembang mendekati Realitas Mutlak melalui agama
February 23 at 8:20pm
Betul, berarti subjet terumit (gaib) dr matematika dan agama makin indah di imaji, manusia yang belum memberikan sensasi kinestik lahiriah empirisnya. Jadi ingat hadis rosul, rumah di surga dari mutiara zambrut, pasir-pasirnya harum, kebun-kebun bersungai 5 rasa.
March 14 at 9:13am
Bottom of Form
Flyfire: Melukis Langit dengan Mikrobot
Saturday, February 20, 2010 at 5:12pm
Melukis adalah kegiatan seni manusia. Awalnya di dinding-dinding gua, lalu dinding-dinding kuil, belakangan di kanvas dengan menggunakan cat, bahkan sekarang di layar monitor komputer melalui pixel-pixel berwarna-warni. Kini, pixel-pixel itu diperbesar dan dibawa ke langit. Setiap pixelnya dibawa oleh sebuah helikopter mikro alias mikrobot terbang. Ribuan robot itu dikendalikan dari darat sehingga bisa menampilkan pixel-pixel yang berubah-ubah sesuai dengan keinginan seniman.
lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci bisa ditampilkan seperti pada gambar di atas atau formasi dinamik bebas berikut ini
Itulah proyek Flyfire di MIT: melukis langit. Bukan dengan kembang api yang umurnya sangat singkat, tetapi dengan pixel-pixel berwarna yang relatif cukup panjang umurnya. Proyek ini adalah kerjasama laboratorium SENSEable City di MIT dengan ARES Lab (Aerospace Robotics dan Embedded Systems Laboratory). Proyek ini dimungkinkan karena kemajuan mutakhir dari teknologi baterei dan kontrol nirkabel.
Dilihat dari darat mikrobot-mikrobot itu membentuk formasi warna-warni yang indah di langit. Dapat berbentuk gambar dan dapat pula berbentuk tulisan informatif. Tampaknya kini langit bisa jadi kanvas pelukis. Tapi manfaatnya juga bisa digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang ingin menampilkan logo perusahaannya serta pesan-pesan sponsor lainnya. Siap-siaplah untuk melihat iklan di langit.
Informasi lebih lanjut di http://senseable.mit.edu/flyfire/
Videonya bisa dilihat di
http://www.youtube.com/watch?v=CnEN9B18v6Q
