Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Ancaman terhadap Konstitusi Pancasila dan Asas Bhineka Tunggal Ika saat ini

$
0
0

by Ahmad Yanuana Samantho, et all

(cuplikan Buku REVOLUSI MENTAL IDEOLOGI PANCASILA Berdasarkan Kearifan Perennial Nusantara dan Dunia)

INDONESIA 2015-2045:

Renungan untuk Pembangunan Strategi Kebudayaan[1]

by Azyumardi Azra, CBE*

 

Abstract

Indonesia in under President Joko Widodo and Vice President M. Jusuf Kalla faces not only economic challenge, but also political, social, cultural and religious challenges.  In these last contexts, Indonesia has been very fortunate to be a Unitary Republic (NKRI) with the National Constitution of 1945, Pancasila, and Bhinneka Tunggal Ika—the last two are the constitutional basis of a multicultural Indonesia. These basic principles, however, need to be revitalized in order for Indonesia to be able to progress and, more importantly, remain integrated towards 2045, when the nation-state will celebrate its centeninal.

Membayangkan Indonesia sepanjang 2015-2045 di bawah kepemimpinan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, satu abad/milenium Indonesia pada 2045, yang merupakan masa yang tidak terlalu jauh dan juga tak terlalu panjang, hampir bisa dipastikan mengandung lebih banyak kontinuitas. Pada saat yang sama, berbagai bentuk perubahan juga berlangsung, meski boleh jadi tidak terlalu bersifat transformatif revolusioner.

Perkembangan Indonesia pada tahun-tahun 2015-2045 masih sangat dipengaruhi dinamika dalam kehidupan politik dan ekonomi. Komposisi kekuatan politik baik pada lembaga legislatif (DPR RI) dan eksekutif (Presiden) akan banyak mempengaruhi dinamika politik. Begitu pula corak kepemimpinan nasional yang telah dihasilkan Pilpres 2014, 2019. 2024 dan seterusnya menjadi faktor sangat menentukan bukan hany perjalanan politik Indonesia, tapi juga ekonomi, sosial dan budaya menuju 2045.

Dinamika politik jelas pula sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi sepanjang 2015-2045. Indonesia dapat memiliki postur ke dalam dan keluar lebih kuat, jika kegaduhan politik dan saling sandera di antara berbagai kekuatan politik sepanjang periode 2014-2019 berkurang sehingga memungkinkan konsentrasi lebih besar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena itu, pemerintahan Jokowi-JK dengan gabungan kekuatan politik pendukung yang relatif lebih sedikit dibandingkan koalisi Prabowo-Hatta yang dikalahkannya pada Pilpres 2014 memerlukan upaya keras untuk dapat menarik sebagian kekuatan politik ‘Koalisi Merah Putih’ ke pangkuannya.

Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi yang meningkat saja tidak cukup, bahkan dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung menurun—sedikitnya stagnan. Karena itu perlu akselerasi prasyarat yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi, khususnya dengan pengembangan infra-struktur semacam jalan raya, ‘tol laut’, penambahan atau pengembangan kapasitas listrik, pelabuhan, bandara dan seterusnya.

Selain itu pertumbuhan ekonomi mesti disertai peningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat—khususnya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan yang cenderung terus meningkat jumlahnya. Jelas, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai pemerataan keadilan ekonomi dan kesejahteraan, dapat meningkatkan gejolak ketidakpuasan masyarakat kelas bawah, khususnya buruh dan petani. Kejengkelan sosial (social resentment) yang tidak terkendali hampir bisa dipastikan dapat menimbulkan peningkatan kekerasan dan bahkan mungkin juga ‘revolusi sosial’ (social revolution) di tempat dan daerah tertentu yang termasuk kategori rawan.

 

Dalam keadaan seperti itu, kehidupan sosial budaya dapat terus mengalami disorientasi lebih luas. Proses globalisasi yang terus meningkat sejak awal Milenium 2000 tidak dapat dihentikan dan sangat sulit ditangkal. Sementara itu, ketahanan sosial-budaya nasional (socio-cultural resilience) hampir tidak dilakukan secara sistematis—karena tidak adanya strategi kebudayaan yang jelas—sehingga menimbulkan banyak ironi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya saja, kian banyak masyarakat Indonesia yang terlihat semakin dekat kepada agama dan melakukan banyak ritual keagamaan, tetapi pada saat yang sama berbagai bentuk tindakan koruptif dan maksiat tetap merajalela. Terlihat jelas pula, budaya kewargaan (civic culture) dan ‘keadaban publik’ (public civility) terus merosot.

 Pancasila: Tantangan Ideologi Trans-Nasional

Masa 2015-2045 tetap mengundang keprihatinan dalam hal penguatan semangat kebangsaan dan kesatuan. Jika friksi politik terus terjadi sejak masa reformasi dan kini terus meningkat dalam masa pasca-Pilpres 2014, tidak terlihat tanda-tanda meyakinkan adanya upaya sistimatis untuk memperkuat kembali faktor-faktor pemersatu (integrating forces) yang merupakan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa-bernegara, yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Khusus tentang dasar negara Indonesia, dalam berbagai forum diskusi dan seminar, sebagai narasumber saya berulangkali mendapat pertanyaan dari audiens tentang relevansi Pancasila dalam menghadapi berbagai tantangan ideologis lain, khususnya yang bersifat trans-nasional yang masih terus dihadapi negara-bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang, katakanlah untuk periode 2015-2045.

Pertanyaan tersebut muncul jelas karena adanya keprihatinan melihat berbagai realitas, kondisi dan tantangan sosial, budaya dan politik yang dihadapi negara-bangsa Indonesia—baik secara internal maupun eksternal—yang kelihatan seolah-olah membuat tidak lagi relevan dan kondusif untuk berbicara mengenai Pancasila. Apalagi kalau kita terus berkeinginan agar Pancasila tetap menjadi dasar negara dan sekaligus ideologi bagi Indonesia hari ini dan 100 tahun ke depan dan beyond.

Pada saat yang sama, dalam iklim kebebasan dan demokrasi masa pasca-Soeharto, orang atau kelompok manapun masih saja dengan bebas mengembangkan berbagai corak dan ekspresi sosial, budaya dan politiknya yang sering tidak sesuai dengan keempat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia. Seperti disinggung di atas, banyak kalangan warga dan masyarakat Indonesia mengalami disorientasi sosial, budaya, politik, dan bahkan keagamaan. Serbuan pandangan dan gaya hidup dalam aspek-aspek kehidupan tersebut mengalami globalisasi sehingga mengakibatkan kian tergerusnya banyak nilai positif dalam sistem dan tradisi sosial, budaya dan politik yang telah indigenous di Indonesia.

Pada saat yang sama dan terus melintasi masa lima tahun ke depan dan selanjutnya, ideologi-ideologi trans-nasional radikal yang tidak sesuai dengan tradisi sosial-budaya dan keagamaan Indonesia tetap berusaha keras merekrut warganegara dengan menggunakan berbagai retorik yang seolah-olah membenarkan argumen dan logika mereka. Pemerintah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak melakukan apa-apa atau bahkan sering seolah tidak berdaya apa-apa untuk mengkonter ideologi dan penyebaran berbagai bentuk ideologi dan gerakan transnasionalisme tersebut.

Ideologi dan gerakan trans-nasional yang menantang dan ingin mengganti dasar negara Pancasila tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam berbagai bentuk. Pertama, paham dan gerakan transnasional radikal, yang bergerak di bawah tanah, yang bahkan melakukan tindakan kekerasan dan terorisme, seperti al-Jama’ah al-Islamiyyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang kemudian terpecah—memunculkan Jamaah Ansharut Tauhid )JAT). Ketika kelompok yang dalam dan satu hal sering disebut terkait dengan al-Qa’idah, yang   bertujuan membentuk semacam ‘Kekhalifahan Nusantara’ di Asia Tenggara.  Belakangan ini juga muncul gerakan ISIS/IS dari wilayatimur Syria dan barat-utara Iraq yang juga mendeklarasikan diri sebagai ‘khilafah’ atau ‘dawlah Islamiyah’. Gerakan radikal dan brutal IS ini ternyata berhasil mendapat dukungan dari segelintir kalangan Muslim internasional, termasuk dari Indonesia.

Kedua, ideologi dan gerakan trans-nasional yang bergerak bebas secara terbuka, seperti Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang bertujuan untuk membangun ‘Kekhalifahan Internasional’ dan menegakkan syari’ah. Meski di banyak negara Timur Tengah dan Asia Tengah HT telah menjadi organisasi terlarang, di Indonesia HTI dapat memanfaatkan keterbukaan dan kebebasan demokrasi. Meski tidak berhasil mendapat dukungan signifikan dari kaum Muslimin Indonesia arus utama, HTI tetap aktif mengkampanyekan ‘syari’ah’ dan ‘khilafah’nya dalam ranah publik Indonesia.

Ketiga, paham dan gerakan trans-nasional yang lebih bersifat keagamaan dan cenderung non-politis seperti Jama’ah Tabligh, dan Ahmadiyah (keduanya asal India). Kedua kelompok ini lebih banyak mengkonsentrasikan kegiatan dalam kegiatan dakwah terhadap kaum Muslim lain atau internal di antara para jamaahnya sendiri. Mereka bergerak di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia, melakukan kegiatan door-to-door mengajak kaum Muslimin Indonesia arus utama mengikuti mereka.

Tanpa perlu diskusi panjang lebar jelas paham dan gerakan trans-nasional menjadi tantangan bukan hanya terhadap realitas keagamaan (Islam) moderat Indonesia yang memiliki komitmen penuh pada  UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Sejak tercapainya kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila selain menjadi dasar negara, juga memiliki makna simbolik sangat signifikan.

Indonesia beruntung memiliki kaum Muslimin wasatiyah, jalan tengah’ yang tergabung dalam ormas-ormas Islam arus utama sejak dari NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, Persis, PUI, Nahdlatul Wathan sampai al-Khairat yang telah memiliki komitmen final pada keempat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia. Mereka berulang kali menegaskan misalnya bahwa Pancasila adalah bentuk final perjuangan kaum Muslimin Indonesia.

Dalam konteks itu, Pancasila merupakan salah satu simbol terpenting yang muncul dari perjalanan bangsa mewujudkan negara  Indonesia yang bersatu berkat wawasan nasional dan kebudayaan yang kokoh. Dengan begitu dapat membuka jalan menuju kehidupan bangsa yang adil, makmur dan sejahtera; dan lebih berbudaya (civilized), berharkat dan bermartabat dalam kancah internasional.

Simbolisme jelas sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa-bernegara dalam usaha mewujudkan kehidupan yang lebih baik pada hari ini dan di masa depan. Sayang berbagai simbolisme penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini, khususnya Pancasila—karena berbagai faktor—mengalami kemerosotan, khususnya dalam satu dasawarsa terakhir, ketika Indonesia dalam penerimaan demokrasi yang lebih genuine dan otentik muncul berbagai ekses dan unintended consequencies.

Pancasila beserta ketiga prinsip dasar (yang sering juga disebut sebagai ‘pilar’) merupakan salah faktor pemersatu (integrating force)  terpenting dalam kebangkitan negara-bangsa Indonesia sejak masa pasca-kolonialisme dan kemerdekaan. Pancasila memungkinkan berdiri dan bertahannya negara-bangsa Indonesia yang bersatu, yang tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara lain.

Pancasila dalam pandangan saya merupakan sebuah blessing bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam berbagai segi dan aspek kehidupan. Meski Pancasila sekarang masih tetap jarang menjadi wacana publik, karena adanya semacam ‘trauma’ akibat penggunaan Pancasila sebagai alat untuk mempertahankan status quo politik pada masa Orde Baru, tetapi Pancasila telah membuktikan dirinya sebagai dasar negara dan kerangka ideologi yang feasible dan viable bagi negara-bangsa hari ini dan ke depan, bukan hanya dalam periode kepemimpinan nasional 2014-2019, tetapi untuk masa yang jauh lebih lagi, melintasi 17 Agustus 2045, ketika Republik Indonesia genap berusia 100—satu abad alias satu milenium.

Kelahiran Pancasila sebagai dasar negara dan  common-platform dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia yang serba plural dan multi-kultural merupakan momentum dari tekad bersama bangsa Indonesia untuk tetap bersatu di tengah keragaman yang ada. Pancasila adalah kerangka dan dasar ideologis negara-bangsa Indonesia yang merupakan sebuah ‘deconfessional ideology’, ideologi yang tidak berbasiskan agama manapun. Tetapi, khususnya dengan sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, Pancasila adalah sebuah ‘ideologi’ yang sesuai dan ‘bersahabat’ dengan agama. Sebagai ‘deconfessional ideology’, Pancasila adalah sebuah ‘blessing in disguise’—rahmat terselubung bagi umat beragama warganegara Indonesia.

Lebih jauh, dengan karakter Pancasila yang merupakan ‘religiously friendly ideology’ tidak ada alasan dan argumen yang valid untuk mengganti Pancasila dengan ideologi-ideologi lainnya, khususnya trans-nasionalisme keagamaan. Karena itulah setiap upaya mengganti Pancasila dengan ideologi-ideologi lain bersifat trans-nasional—khususnya berbasiskan agama—tidak pernah mendapat dukungan dari mayoritas umat beragama; dan karena itu bound to fail.

Rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila sepanjang 2015-2045 tetap merupakan kebutuhan sangat mendesak, bukan hanya karena merosotnya faktor-faktor pemersatu lainnya (seperti negara, kesadaran historis pengalaman bersama, nasionalisme, dan sebagainya) tetapi juga—sebagaimana dikemukakan terdahulu—karena meningkatnya usaha dan penyebaran ideologi dan gerakan trans-nasional untuk mengganti NKRI dengan ideologi Islam dan sistem/entitas politik khilafah internasional atau khilafah regional. Lagi-lagi  negara dan pemerintah sebelumnya tidak kelihatan tidak memiliki kemauan politik dan sekaligus cara tertentu untuk mencegah penyebaran ideologi dan gerakan trans-nasional semacam itu.

Selain itu, kita juga melihat meningkatnya gejala intoleransi terhadap perbedaan dan keragaman pandangan, khususnya dalam bidang keagamaan; gejala ini bahkan bahkan tidak jarang terwujud dalam berbagai bentuk radikalisme. Tawaran-tawaran instan yang ditawarkan ideologi dan gerakan  trans-nasional bukan tidak mungkin mendapatkan kian banyak pendukung, ketika demokrasi multi-partai yang diterapkan sejak 1999 belum juga berhasil mendatangkan perbaikan kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, sangat esensial merevitalisasi Pancasila dan sekaligus menjadikan demokrasi sebagai ‘the only game in town’ dengan lebih berorientasi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Memandang realitas tersebut, rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila menjadi sebuah keharusan yang dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai wacana umum (public discourse), sehingga menguakkan kembali kesadaran publik tentang Pancasila dan posisinya yang begitu krusial dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Kedua, Pancasila seyogyanya dijadikan sebagai ideologi terbuka (open ideology) yang memungkinkannya untuk senantiasa ‘diperbaharui’ dan ‘dimaknai’ secara agar tetap kontekstual dan relevan menjawab berbagai tantangan yang terus berubah secara sangat cepat. Ketiga; melakukan reassesment atas pemaknaan Pancasila selama ini yang memungkinkan bagi kontekstualisasi Pancasila dalam meresponi dan menjawab tantangan hari ini dan ke depan. Keempat; melakukan sosialisasi pemaknaan kontekstual Pancasila ke dalam berbagai lapisan masyarakat dengan pendekatan-pendekatan dan metode-metode baru yang berbeda dengan indoktrinasi dan regimentasi pada masa Orde Baru.

 Menjadi Indonesia

Perjalanan negara-bangsa ini jelas masih jauh daripada selesai; dan bahkan boleh jadi tidak akan pernah selesai termasuk dalam kurun 2015-2045. Meminjam kerangka Benedict ROG Anderson tentang imagined communities—komunitas-komunitas yang terbayangkan, negara-bangsa Indonesia nampaknya masih harus bergulat kembali dengan hal-hal yang dasar dalam kehidupan kebangsaan.

Jika pada masa Kebangkitan Nasional 1908, kelahiran Pancasila, imagined communitiesitu mengambil reka bentuk dasarnya dalam sebuah ‘negara-bangsa’ Indonesia merdeka dan berdaulat, perlu pengembangan imajinasi kreatif bangsa ini untuk seabad ke depan, dalam menginjak milenium kedua. Dengan begitu Indonesia tidak lagi sebagai ‘imagined communities’, tapi ‘actual communities’ yang terintegrasi secara solid, kokoh dan tangguh dalam kerangka NKRI dan Pancasila.

Dalam konteks itu, salah satu tantangan berat bangsa di hari kini dan ke depan melintasi 2014-2019 menuju 2045 adalah memperkuat kembali identitas bangsa atau identitas nasional, yang mulai bangkit sejak Kebangkitan Nasional 1908 dan terus menemukan bentuknya pada Sumpah Pemuda 1928 dan perumusan Pancasila yang kemudian mengalami kristalisasi dengan tercapainya kemerdekaan.

Secara sederhana, identitas nasional Indonesia mencakup: 1.Semangat kebangsaan (nasionalisme) Indonesia; 2.Negara-bangsa (nation-state) Indonesia; 3.Dasar negara Pancasila; 4.Bahasa nasional, bahasa Indonesia; 5.Lagu kebangsaan Indonesia Raya; 6.Semboyan negara, ‘Bhinneka Tunggal Ika’; 7.Bendera negara, sangsaka merah putih; 8.Konstitusi negara, UUD 1945; 9. Integrasi Wawasan Nusantara; 10.Tradisi dan kebudayaan daerah yang telah diterima secara luas sebagai bagian integral dari budaya nasional setelah melalui proses tertentu yang bisa disebut sebagai ‘mengindonesia’.

‘Mengindonesia’, menunjukkan proses yang pada dasarnya tidak pernah selesai sesuai dengan berbagai perkembangan dan tantangan yang dihadapi Indonesia. Menjadi Indonesia, dengan demikian, jelas bukanlah sesuatu yang sudah selesai atau dibiarkan begitu saja (taken for granted). Sebaliknya, ‘mengindonesia’ mengisyaratkan proses mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai; sesuatu gambaran—atau bahkan impian—yang ingin diwujudkan secara bersama.

Dalam kaitan dengan negara-bangsa Indonesia, ‘mengindonesia’ berarti proses-proses untuk menggapai dan mewujudkan mimpi, imajinasi, dan cita ideal bangsa Indonesia yang bersatu, adil dan makmur; berharkat dan bermartabat baik ke dalam maupun ke luar dalam kancah internasional. Proses-proses ‘mengindonesia’ ini mestilah dibangkitkan dan diakselerasikan kembali, sehingga ‘keindonesiaan’ dapat terus bertumbuh dan menguat.

Identitas nasional jelas tidak statis; proses ‘mengindonesia’ mendapat tantangan bukan hanya secara eksternal, tetapi juga secara internal. Secara eksternal, arus globalisasi yang terus meningkat dalam berbagai bidang kehidupan, sejak dari ekonomi, politik sampai budaya, secara signifikan telah mengubah lanskap Indonesia. Akibatnya jelas, secara internal terjadi perubahan-perubahan yang tidak selalu menguntungkan penguatan identitas nasional.

Dalam dasawarsa terakhir, kita bisa menyaksikan terjadinya disorientasi dan dislokasi ekonomi, politik dan sosial-budaya baik pada tingkat nasional maupun lokal. Equilibrium belum juga tercapai dengan baik setelah Indonesia mengalami reformasi dan liberalisasi ekonomi dan politik sejak 1999. Euforia politik dan demokrasi dengan berbagai eksesnya terus berlanjut, mengakibatkan menguatnya rasa kecewa dan frustrasi di kalangan masyarakat; rasa terpuruk akibatnya terus bertahan mengancam identitas nasional. Karena itu, pencapaian equilibrium dalam proses-proses politik demokrasi mestilah menjadi sebuah prioritas yang mendesak.

Hemat saya, ketika negara-bangsa tidak menampilkan identitas yang kuat, atau tidak memberi ruang bagi terciptanya koalisi demi kepentingan nasional, maka suatu kekuatan sosial/politik dengan ideologis trans-nasional boleh jadi mengambilalih negara, dan menjadikan kelompok mereka sebagai ekspresi eksklusif identitas negara-bangsa Indonesia. Ini jelas merupakan ancaman serius bukan hanya bagi Pancasila, tetapi juga bagi kelangsungan negara-bangsa Indonesia; dan karena itu, berbagai langkah untuk revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila beserta ketiga prinsip dasar`negara-bangsa Indonesia mesti segera dilakukan, sebelum semuanya menjadi sangat sedikit dan amat terlambat (too litle too late).

 Penutup

Indonesia yang sampai sekarang tetap bersatu bagi banyak orang di berbagai negara Eropa, Amerika Latin, Afrika dan Asia tetap merupakan realitas yang sulit mereka pahami. Dari waktu ke waktu saya mendengar pernyataan kalangan terpelajar dari wilayah-wilayah tersebut tentang bagaimana mungkin sebuah negara yang terdiri dari begitu beragam suku bangsa, budaya, adat istiadat, bahasa dan agama bisa bersatu dalam sebuah negara-bangsa.

Karena itu, masih terdapat kalangan dalam dan luar negeri yang mencemaskan masa depan Indonesia. Apakah negara-bangsa Indonesia yang bersatu tetap masih ada pada 2045 nanti? Mereka yang skeptis membayangkan: ‘Jangan-jangan Indonesia hanya tinggal nama menjelang usianya satu milenium’.

Skeptisisme itu punya beberapa alasan. Tapi saya berpendapat, terdapat juga banyak alasan untuk optimis. Hemat saya, faktor-faktor yang membuat Indonesia tetap bersatu tidak boleh diterima secara taken for granted; berbagai usaha harus tetap dilakukan agar Indonesia tetap utuh dan bersatu.

Indonesia yang wilayahnya terpisah-pisah di antara lautan, laut dan selat—menjadi benua atau negara maritim—memang sejak waktu yang lama sampai sekarang masih dianggap sebagai ‘keajaiban’ (miracle), misalnya oleh Edward Ellis Smith, Indonesia: The Inevitable Miracle (1973). Atau sebagai ‘tidak mungkin’ seperti terlihat dalam judul karya Elizabeth Pisani, Indonesia Etc.,: Exploring Improbable Nation (2014)—negara-bangsa yang tidak mungkin dibayangkan [bisa bersatu].

Indonesia yang beragam, bhinneka atau multikultural, dalam perspektif historis dan sosiologis Eropa sangat sulit dibayangkan bisa bertahan dalam waktu panjang. Pengalaman historis Eropa yang monokultural, tapi penuh perang intra-etnis Kaukasian (kulit putih), konflik intra-budaya dan intra-agama yang berdarah-darah abad demi abad. Tidak heran kalau Eropa terpecahbelah menjadi sangat banyak negara (kini 53 ditambah 6 wilayah protektorat). Perpecahan itu kini kelihatan belum berhenti. Ancaman separatisme untuk pembentukan negara baru terlihat di Flanders, berbahasa Flemish/Belanda dan Walloon yang berbahasa Prancis (keduanya di wilayah Belgia), Catalunya dan Basque (di kawasan Spanyol), Venesia dan Tyrol Selatan (di wilayah Italia), Pulau Korsika (termasuk Prancis)—untuk menyebut beberapa nama saja. Cukup banyak di antara negara Eropa yang telah lama eksis atau yang tengah berjuang memerdekakan diri berpenduduk hanya ratusan ribu orang.

Banyak kalangan Indonesia juga bisa merasa heran kenapa kawasan yang tidak begitu beragam, monokultural, cenderung mudah dan cepat terpecah belah. Padahal, masyarakat-masyarakat di wilayah tersebut secara historis dan sosiologis cenderung ‘seragam’ baik secara etnis atau ras, budaya dan agama.

Tetapi pengalaman historis, sosiologis dan keagaman itu, sering digunakan kalangan akademis dan pengamat Eropa untuk melihat Indonesia. Di antara mereka misalnya penulis Belanda, J.S. Furnivall dalam bukunya Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1939). Melihat Indonesia dari perspektif Eropa, Furnivall meramalkan skenario kehancuran (doomed scenario) bagi Kepulauan Indonesia. Menurut prediksi dia bekas wilayah Belanda (Nederland East Indies) ini menjadi berbagai kepingan ‘negara’ begitu Perang Dunia II usai karena tidak ada satu faktorpun yang bisa menyatukan seluruh suku bangsa dengan berbagai keragaman budaya dan agamanya.

Tapi Indonesia tetap bersatu, meski proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 disertai perang revolusi mempertahankan kemerdekaan dari usaha Belanda kembali menguasai Indonesia. Negara-bangsa ini juga tetap bertahan ketika kalangan pengamat asing meramalkan Indonesia bakal mengalami ‘Balkanisasi’ berikutan krisis moneter, ekonomi dan politik 1997-1999. Mundurnya orang kuat Indonesia selama lebih tiga dasawarsa, Presiden Soeharto pada Mei 1998, memunculkan turbulensi politik sangat mencemaskan.

Indonesia tetap dalam kesatuan melewati masa sulit penuh turbulensi politik dan ekonomi itu sejak masa awal kemerdekaan, krisis ekonomi dan politik 1960-an dan terakhir 1997-1999. Kenapa bisa demikian? Penulis berargumen, ada sejumlah faktor historis, budaya, sosial dan keagamaan yang membuat Indonesia tetap bersatu dan utuh.

Dalam kaitan itu, penting mencatat pandangan Elizabeth Pisani, bahwa deklarasi kemerdekaan Indonesia terlihat ‘kasual’ tapi menyenangkan, yang dengan ejaan lama terbaca: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l. diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya”. Djakarta, 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.

Kata ‘d.l.l’. (dan lain-lain) itu menurut Misha Glenny dalam harian The Guardian (24 Juli 2014) yang oleh Pisani dipakai sebagai anak judul bukunya, Indonesia Etc. sekali lagi merupakan cara kasual untuk menyatakan kemerdekaan sebuah negara bangsa. Kata ‘d.l.l.’ itu tidak jelas maksudnya; tidak tersirat sama sekali tentang negara-bangsa Indonesia yang dibayangkan. Juga tidak ada tentang identitas negara Indonesia; tapi banyak hal bisa tercakup di dalamnya

Kenapa Indonesia tetap bisa bersatu? Mereview buku Pisani, Joshua Kurlantzick dalam The New York Times (1 Agustus 2014) mencatat: ‘[Indonesia] has welded so much difference together through collectivism in villages and clans—collectivism that makes people more secure in their daily lives. Its citizens have generally fostered a level of cultural tolerance rare in such large nations’.  Kolektivisme dan toleransi budaya [dan juga agama], itulah di antara faktor terpenting membuat Indonesia tetap bersatu.

 **AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar sejarah; dan Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang. Ia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).

Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu juga anggota Dewan Penyantun International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC), International Aga Khan University (London, 2005-2010).
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang). Juga anggota Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP, Tokyo, 1999-2001); Asian Research Foundation-Asian Muslim Action Network (ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-sekarang); Ford Foundation International Fellowship Program (IFP-IIEF, 2006-sekarang); Asian Scholarship Foundation (ASF, Bangkok, 2006-sekarang); Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-sekarang); anggota Selection Committee Senior Fellow Program AMINEF-Fulbright (2008); dan Presiden International Association of Historians of Asia (IAHA, 2010-12).
Selain itu, dia anggota Dewan Pendiri Kemitraan—Partnership for Governance Reform in Indonesia (2004-sekarang); Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-sekarang); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-sekarang); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-sekarang); LibforAll, USA (2006-sekarang); Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne, 2005-7); Tripartite Forum for Inter-Faith Cooperation (New York, 2006-sekarang); anggota World Economic Forum’s Global Agenda Council on the West-Islam Dialogue (Davos 2008-sekarang).
Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies(Jakarta, 1994-sekarang); Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London, 2006-sekarang); Journal of Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2005-sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-sekarang); IAIS Journal of Civilisation Studies(International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-sekarang); Journal of Royal Asiatic Society (JRAS, London, 2009-sekarang); Journal Islamic Studies (Islamic Research Institute, Islamabad, 2010-sekarang; Jurnal Akademika (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2010-sekarang); dan Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies, 2013-16).
Dia telah menerbitkan lebih dari 21 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development(Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008); Varieties of Religious Authority: ¨Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010); dan editor, Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid III, Kedatangan dan Peradaban Islam, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan & Ichtiar Baru-Van Hoeve, 2012. Lebih 30 artikelnya berbahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.
Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam moderat; dan pada September 2010, ia mendapat penghargaan gelar CBE (Commander of the Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan peradaban. Kemudian pada 28 Agustus 2014 ia mendapat MIPI Award’ dari Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIP). Selanjutnya, pada 18 September 2014 dia terpilih sebagai salah satu dari tiga penerima anugerah bergengsi  Fukuoka Prize 2014 Jepang atas jasa dan kontribusinya yang signifikan dalam peningkatan pemahaman masyarakat internasional terhadap budaya Asia.dapat dikontak melalui azyumardiazra1@gmail.com / azyumardiazra1@yahoo.com

 

KRISIS DUNIA MODERN:

LATAR KRISIS KEBANGSAAN AKIBAT MODERNISME-MATERIALISME-SEKULARISME DAN EKSTRIMISME+KEBODOHAN BERAGAMA

 Pengantar Penulis (AYS)

 Bismillahirahmanirrahim, Allahuma Shalli ala Muhammad wa ala ‘Aaali Muhammad wa ajjil farojahum,

 Sejak usia SMA di tahun 1980-an, ketertarikanku kepada pelajaran sejarah sudah mulai tumbuh dalam sanubariku yang sedang dalam proses pencarian jati diri. Kekaguman kepada tokoh-tokoh pahlawan bangsa seperti Bung Karno (Ir. Ahmad Soekarno) and Bung Hatta (Mr.Muhammad Hatta), mengisi ruang batinku yang sedang mencari role model di kala masih remaja.  Semakin dalam mempelajari sejarah bangsaku, semakin dalamlah kecintaan kebangsaanku, apalagi ketika menyadari bahwa ada beberapa leluhur, kakek  dari ibuku dan bapakku yang juga turut mengukir sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa di masa-masa perjuangan kemerdekaan RI dengan keringat, ilmu dan darah mereka, hingga gugur syahid di tahun-tahun 1942-1946. Begitu juga ketika cerita para pahlawan nasional Indonesia dari berbagai daerah dan suku bangsa ikut membentuk karakter dan memompa semangatku untuk melestarikan semangat juang meneruskan misi perjuangan mereka untuk memerdekakan negara bangsa Indonesia tercinta ini. Bung Karno terkenal pernah menyadarkan bangsa Indonesia untuk tidak melupakan sejarah bangsanya: “Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah), adalah jargon sang Proklamator Kemerdekaan RI itu.

Kecintaan terhadap kajian sejarah semakin menguat ketika kusadari bahwa sejarah tak hanya menghidangkan imajinasi dan kegairahan romantika perjuangan bangsa. Kajian sejarah juga memberikan banyak pelajaran berharga tentang nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, keberanian, kecintaan kepada keadilan dan kebenaran serta semangat perlawanan terhadap kezaliman para penjajah bangsa. Lebih dari itu, kajian sejarah yang mendalam telah mulai kurasakan dapat memberikan banyak jawaban dan cara pandang terhadap berbagai persoalan kekinian dan kedisinian yang dihadapi bangsa kita saat ini. Apa lagi bahwa ternyata pelajaran agama Islam yang kemudian juga kudalami pun banyak sekali mementingkan kisah sejarah sebagai suatu bahan pelajaran. Inilah pelajaran yang mengungkapkan adanya hukum-hukum sejarah universal, pelajaran tentang cinta terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan, tentang kecintaan yang melampaui diri, keluarga dan lingkungan sempitku sebelumnya.

Masa-masa pertumbuhan intelektual dan keruhanianku dalam keluarga, dan masyarakat dalam berhadapan dengan tantangan konteks realitas dan problem kehidupan ideologi-politik-ekonomi-sosial-budaya-pertahanan-keamanan nasional Indonesia di zaman pemerintahan Orde Baru Soeharto (1965-1998), membuatku semakin bertanya-tanya tentang hakikat sejarah perumusan dasar falsafah bangsa Indonesia dan apa makna Panca Sila yang sebenarnya?  Berbagai problem kebangsaan: otoritarianisme/kesewenang-wenangan-kezaliman politik, korupsi-kolusi dan nepostisme (KKN) & kekuasaan oligarki neo-imperialisme yang mengurita pada rezim Orde Baru Soeharto pada tahun 1980-1990-an, kurasakan bertentangan sekali dengan tafsiran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Panca Sila), yang ironisnya justru saat itu diwajibkan  penatarannya kepada setiap siswa dan mahasiswa serta semua warga negara Indonesia. Perkuliahanku di Fakultas Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung di tahun-tahun 1980-an pun tak juga memuaskan dahaga batin dan pikiranku, sehingga akhirnya kutinggalkan begitu saja di semester 7  untuk memulai pengembaraan intellektual dan ruhaniku yang baru dari satu tempat diskusi ke tempat lainnya, dari satu kelompok pengajian ke kelompok pengajian lainnya, dari pesantren ke pesantren, dari kampus ke kampus, bertemu berbagai guru dari satu negeri ke negeri lain.

Kegelisahan intelektual-spiritual yang mempertanyakan jati diri bangsa Indonesia ini akhirnya mengantarkanku bertemu dengan berbagai pemikiran filosofis dan sumber informasi tentang cerita sejarah peradaban awal umat manusia di Atlantis, yang berasal dari Plato, Sang Filosof  Yunani Abad 4 SM.  “Masa Aha” ini kutemukan akhirnya setelah menyelesaikan studi Ilmu Politik Administrasi Pembangunan di Universitas Terbuka Indonesia dan mulai kuliah paskasarjana (S-2) Filsafat Islam di Islamic College for Advanced Studies London, yang bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta tahun 2003. Lebih menakjubkan lagi, pada tahun 2005 saya membaca buku karya Prof.Dr. Arisyio Nunes des Santos  dari Brazil dalam bukunya ”Atlantis, The Lost Continent Has Finnaly Found, The Definitive Localization of Platos Lost Civilization”, yang menyimpulkan bahwa Indonesia adalah lokasi bekas Benua Atlantis yang hilang itu (setelah 30 tahun penelitiannya yang komprehensif-holistik-multidisipliner).  Menurut Santos, lokasi bekas peradaban Atlantis — yang tenggelam 11.600 tahun yang lalu itu ­– akhirnya ditemukan lokasinya di tatar benua Sunda (Sunda Land) atau Nusantara.

Kegelisahan terhadap kondisi kehidupan bangsa Indonesia ini jugalah yang kemudian mengantarkanku mengkaji Filsafat Islam dan Ilmu Tasawuf (Islamic Mysticism)  di Islamic College for Advance Studies  (ICAS)-Universitas Paramadina Jakarta tersebut dan di International Center for Islamic Studies  (ICIS) di kota suci Qom, Republik Islam  Iran.

Tapi perjalanan intelektual dan spiritual tak bisa berhenti hanya di situ. Kegelisahan intelektual dan spiritual dalam usaha menjawab berbagai pertanyaan dan menghadapi problem kebangsaan itu, menuntunku kepada pencarian “kearifan puncak dan abadi (perennial)” dari khazanah berbagai peradaban, agama-agama dan tradisi-budaya lokal umat manusia di berbagai penjuru dunia.

Pelajaran sejarah peradaban umat manusia begitu mempesonaku. Mimpi-mimpiku dalam tidur maupun jaga, atau antara tidur dan terjaga, semakin menyedot perhatianku, dan perhatian cukup banyak orang yang tiba-tiba saja kutemukan, kepada suatu pencarian spiritual-intelektual dan fakta-fakta historis serta artefak-arketipe Atlantis/Atlas/Atala/Andalas. Minat dan intensitas kajianku terhadap Atlantis menghantarkanku,  di awal tahun tahun 2009 lalu, berkenalan dengan  3 orang anak muda sarjana yang telah mengaku menemukan jejak situs replika Kerajaan Atlantis (Kandis) di tengah Pulau Sumatra, dekat Sungai Kuantan Singgigi, di perbatasan Sumatra Barat, Jambi dan Pekanbaru, di Pulau Sumatra.  Lalu, tanpa terduga, aku berkenalan dengan beberapa orang lainnya: ada orang tua sepuh, ada beberapa anak muda bersemangat dengan serangkaian visi yang fokus dan jernih, baik visi filosofis, visi religius maupun visi mistisnya.

Ada apa gerangan? Pak tua yang arif, yang tanpa sengaja kutemui dan berkenalan di forum kajian agama Islam di Universitas Paramadina Jakarta, di akhir tahun 2008 itu, dalam makalahnya yang khusus diberikannya untukku, meramalkan kebangkitan kembali spiritualisme yang paripurna di abad milenium ketiga ini di Nusantara. Menurut Bapak Tato Sugiarto, Kebangkitan spiritualisme di Nusantara itu berbasis soft power: ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi,  serta informasi transendental, yang akan mengiringi kebangkitan kembali Imam Mahdi al-Muntadzar dan turunnya Nabi Isa (Jesus) al-Masih, yang diikuti  kehadiran Sang Satrio Piningit, Sang Ratu Adil, yang akan menggantikan dan menguburkan rezim global yang zalim.

Kegelisahan itu pulalah yang sebelumnya mengantarkan kepenasaranku membaca Novel “NEGARA KE-5” karya Es Ito, terbitan Penerbit Serambi, Jakarta, 2005. Lalu muncul pertanyaan dalam benak batinku, adakah hubungan Atlantis di Nusantara dengan Kerajaan Kandis di dekat Sungai Kuantan Singgigi di Riau-Pekanbaru itu? Adakah hubungan Kandis  dengan mitos setempat tentang adanya kaum  “siluman ruh harimau” yang abadi,  yang konon berkhidmat kepada para pemimpin bangsa Atlantis? Adakah Atlantis itu peradaban yang dibangun Nabi Adam AS, yang dilanjutkan oleh Nabi Idris AS (Hermes Trimegistus/Henockh), Nabi Nuh AS dan Nabi Sulaiman AS, sebagaimana diceritakan dalam kitab-kitab suci? Dan apakah itu semua terkait erat dengan sejarah para Nabi-Allah lainnya di muka bumi.

Adakah semua itu terkait dengan kearifan abadi/perrennial (Sophia Perennialism ) berbagai agama dan tradisi dunia, yang ternyata kemudian saya temukan punya satu akar benang merah yang sama, sumber dan akar Ketuhanan yang sama dari berbagai agama besar dunia: Hindu, Budha, Zoroaster, Yahudi, Konfusianisme-Taoisme, Kristen-Nashrani dan Islam bahkan Filsafat-ideologi Pancasila sebagai basis yang membangun peradabannya?

Adakah semua itu terkait dengan sila-sila dalam Panca Sila seperti: “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan” dalam Pancasila.” Hikmah kebijaksanaan yang muncul dari konsep kesadaran “Bhineka Tunggal Ika” atau “AlKatsrah fi alWahdah” atau “AlWahdah fi al-Kastrah” (Unity in Plurality/Diversity, Diversity/Plurality in Unity ), konsep “Wahdat al-Wujud” dalam tradisi filsafat-Tasawuf Islam, atau konsep “Manunggaling Kawulo-Gusti” dan“Sangkan Paraning Dumadi“dalam khazanah Ilmu Suluk/Makrifat Kejawen (Kaweruh Jawi), atau konsep “Parahyangan”  dan “Sang Hyang Widi Wasa”  dalam kosmologi-teologi Sunda Wiwitan?

Adakah semua pertanyaan dan hal itu terkait dengan penemuan dan teori kontroversial KH Fahmi Basya, yang mengatakan bahwa kerajaan negeri Saba-nya Ratu Bilqis adalah berlokasi di Wono Sobo, dari zamannya Ratu Boko, yang peninggalan bekas keratonnya (Candi Boko) masih tersisa di selatan Candi Prambanan Yogyakarta?  Adakah itu terkait penemuan  dan teori kontroversial KH Fahmi Basya, bahwa Candi Borobudur adalah salah satu bangunan peninggalan Kuil Nabi Sulaiman dan tahta kerajaan Ratu Balqis (Boko) yang dipindahkan seperseribu detik kejapan mata oleh “Hamba Tuhan YME” yang berilmu pengetahuan dari al-Kitab Suci Ilahiyah? Bolehkah  kita bertanya agak nyeleneh dan kritis terhadap sejarah kita untuk membentuk sejarah baru di masa depan?

Adakah juga cerita tenggelamnya benua Atlantis di Nusantara itu terkait dengan atau dapat menjelaskan berbagai fenomena gejolak alam yang akhir-akhir ini semakin menggeliat dan menjadi bencana di negeri Indonesia; gempa bumi, tsunami, rangkaian letusan gunung berapi, longsor, banjir, semburan gas dan lumpur gas dari perut bumi di Sidoarjo, dll.

Sebagian besar pertanyaan-pertanyaan di atas telah menemukan jawabannya, yang oleh saya sajikan dalam buku bunga rampai ini.

Sebelumnya, di awal tahun 2010 saya dan teman saya Kang Oman Abdurahman dari Badan Geologi Bandung (sekarang 2017-2018 menjabat sebagai kepala Museum Geologi Bandung) merancang sebuah konferensi internasional yang kami beri judul: International Conference on Nature, Philosophy and Culture of Ancient Sunda Land, yang alhamdulillah dapat terselenggara dengan sukses pada tanggal 25-27 Oktober 2010, tujuh tahun yang lalu. Konferensi Internasional yang mengangkat isu tentang Peradaban Atlantis Nusantara  (Sunda Land) dan tradisi-budaya Sunda Kuno itu, difasilitasi oleh Kantor Dinas Parawisata dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (atas dukungan Wakil Gubenur waktu itu Bapak Dede Yusuf dan Pak Bob Sulaeman Effendi), dengan dukungan penuh dari Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO-PBB (KNIU) pimpinan Pak Prof.Dr. Arif Rahman Hakim.

Syukur Alhamduillah kami dapat menghadirkan pembicara penting (nara sumber) pada konferensi internasional yang digelar di Hotel Salak Bogor, yaitu beberapa tokoh ilmuwan dunia seperti Prof.Dr. Stephen Oppenheimer dari Universitas Oxford Inggris – penulis buku “Eden in The East”, Mr.Frank Joseph Hoff – Direktur Atlantis Publication dari Washington USA, yang menerbitkan buku karya almarhum Prof.Dr. Arisyio Nunes des Santos, dan Captain Hans Berekoven dan istrinya Rozeline Berekoven dari Australia – peneliti dari Southern Sun: Atlantis Archaeological Project, serta Sauntara Subramain Velu, Raj Pilai, dkk, para peneliti bahasa dan budaya Dravida dari Singapore. Serta beberapa pakar ahli geologi, arkeologi, antropologi, sejarawan dan budayawan Sunda, dari Indonesia, seperti Prof. Dr. Adjat Sudrajat, Prof.  Dr. H.M. Ahman Sya, Prof. Dr. RP Koesoemadinata, Prof. Dr. Agus Aris  Munandar, Abah Hidayat Suryalaga (Budayawan Sundanolog, kini Almarhum), Dr. Hasan Djafar, Dr. Radhar Panca Dahana, dll.

Selain menjadi team perumus konsep-proposal dan panitia pengarah pada konferensi itu, saya Ahmad Yanuana Samantho, bersama rekan senior saya Oman Abdurahman, M.Sc, Oki Oktariadi, MT, Dr, Gugun Gumilar, juga menjadi moderator pada beberapa sesi konferensi tersebut. Beberapa makalah konferensi tersebut juga menjadi sebagian sumber rujukan dalam buku ini.

 

Tujuan

Hasil Penelitian sejarah dan filsafat-ideologi  yang ditulis dalam buku ini mencoba untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis berbagai bencana, problema dan krisis multidimensi global manusia modern dan apa penyebab utamanya secara prinsipil?

Setelah kita mengidentifikasi dan mengelaborasi problema dan krisis modernisme, penulis berusaha mencari alternatif paradigma baru untuk memecahkan berbagai masalah ini dari akarnya, berawal dari saran resep yang disarankan oleh Seyyed Hossein Nasr di abad modern ini, dan juga oleh para bijak berstari serta para orang suci serta Nabi Allah Tuhan YME sepanjang sejarah kemanusiaan di dunia ini. Inilah yang dimaksud dengan Revolusi Mental, khususnya kajian buku ini mengarah kepada Revolusi Mental–Pemikiran dan Budaya Pancasila.

Penelitian yang mendahului proses penulisan buku ini didahului oleh penelitian thesis magister filsafat Islam saya. Penulis, juga akan menganalisa, sejauh mana hal ini terhubung dengan beberapa kesadaran baru, Sophia perennialism  dan mysticism (traditional sacred science) yang telah bermunculan dan lahir kembali di zaman kontemporer mutakhir ini?  Bagaimanakah hal ini terkait dan relevan dengan kemunculan teori fisika baru Quantum Physics dan pandangan kosmologis baru? Dapatkah filsafat  (termasuk science) dan agama bersatu dan menjadi harmonis dalam sebuah paradigma baru yang integral holistic di masa depan untuk efektif mengatasi problem kemanusiaan di era post modern kini.

Jawaban nyata atas pertanyaan dan masalah ini, diharapkan akan menawarkan layanan bagi basis intelektual, filosofis dan spiritual untuk memecahkan masalah secara radikal dan fundamental. Dengan kata lain, penelitian ini akan menyajikan saran untuk mengaktualisasikan atau meng-aktivasi “pergeseran  revolusioner paradigma ” menuju paradigma  holistik dan integral untuk memahami Realitas: integrasi dan harmonisasi antara ajaran Tuhan Allah Sang Maha Pencipta, manusia dan alam semesta, dalam sudut pandang  Filsafat Islam Nusantara atau Pandangan Dunia (weltanschaung) Islam Nusantara dan Falsafah Ideologi Perennial Pancasila – Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dhama Mangrwa  ( yang artinya: “Beraneka ragam realitas makhluk/fenomena alam adalah berasal dari Tuhan Yang Maha Esa/Tunggal Ika, dan akan kembali kepada Tuhan YME/Yang Tunggal Ika tersebut. Dan tidak ada kebenaran /dharma) yang mendua /mangrwa )

Penelitian ini juga mencoba untuk mengungkap dan mendeskripsikan beberapa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan penemuan terbaru seperti terkait dengan teori Fisika Quantum dan beberapa fakta yang mengarah untuk membuka realitas alam semesta dan spiritual makhluk yang tidak terpisahkan. Sejalan dengan kemajuan ilmu baru pada Quantum Physic, penelitian ini juga mencoba untuk menyajikan kesinambungan dan hubungan antara fakta & teori dengan beberapa pendekatan pengajaran mistis yang dilayani oleh tasawuf dan Irfan (Mistisisme Islam) dan spiritualisme-mistisisme agama-agama dan kepercayaan tradisional lainnya. Penelitian ini juga akan menyajikan dan menguraikan dan wacana penting tentang hubungan antara ilmu pengetahuan, tradisi budaya dan agama sebagai konsekuensi dari penelitian inti keseluruhan dalam penulisan buku yang dikembangkan dari thesis magister program ini.

 

Signifikansi

Buku ini yang dikembangkan dari hasil penelitian Kuliah Program Magister Filsafat Islam (2010),  tentu sangat penting dan akan memberikan banyak manfaat dan signifikansi untuk kehidupan sehari-hari saat ini dan masa depan kita. Setidaknya hasil penelitian ini sangat signifikan untuk meningkatkan dan melakukan dekonstruksi pemikiran Modernisme Barat Materialisme, yang berlanjut pada reformulasi (dan rekonstruksi) dari paradigma kita secara filosofis holistic (menyeluruh). Pada gilirannya, pada tingkat epistemologi dan aksiologi, pendekatan paradigma holistik dan integral ini dan nilai-nilai dalam pencerahan Filsafat Islam dan Tasawuf Islam (Irfan & Tasawuf) serta berbagai kearifan perennial tradisional Nusantara, dapat memecahkan banyak masalah manusia modern secara bertahap, baik untuk tujuan individu dan juga dalam sistem ideologi-politik-sosial-ekonomi-budaya-Pertahanan dan Keamanan Nasional di dalam supremasi percerahan terbaru dan penguatan falsafah ideologi Pancasila, dan peradaban Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih baik.

Lebih spesifik, manfaat yang saya harap dapat tercapai setelah thesis dan buku ini diselesaikandan diterbitkan adalah hasil penelitian ini dapat berfungsi sebagai pedoman untuk menyusun ulang filsafat ilmu kita (atau minimal kajian ontologi dan epistemologinya). Kemudian kita dapat menjabarkan pandangan dunia baru dan  ideologi, yang dapat memainkan peran penting sebagai pedoman untuk proyek rekonstruksi kurikulum pendidikan ilmu pengetahuan baru dan teknologi untuk keperluan pendidikan dan akademik  menuju rekonstruksi peradaban manusia terbaru, dalam cahaya misi Islam Rahmatan lil ‘Alamin atau Hamemayu Hayuning Bawono, Hamengku Buwono, paku Buwono, Sunda Sa’amparen Jagat, Ngertakeun Nusantara Shanti, Pancasila Bhineka Tunggal Ika.

Tentu saja ada telah ada beberapa studi yang berkaitan dengan kritik pada modernisme menurut pandangan Seyyed Hossein Nasr, seperti apa yang teman penulis di ICAS–Universitas Paramadina Jakarta, Dr. Humaedi MA  telah tulis dalam thesisnya berjudul: “Konsep Nasr dalam Knowledge: Pengetahuan Sakral, kontribusi kepada Epistemologi Modern.”  Ada beberapa studi yang juga berkaitan dengan pandangan Seyyed Hossein Nasr dan kritiknya kepada modernisme dan post modernisme sangat berguna untuk penelitian penulis sebagai referensi, terutama untuk  pemahaman dan deskripsi latar belakang thesis penulis & rumusan masalah yang  akan penulis pelajari.

Penelitian thesis penulis lebih fokus pada relevansi resep Nasr atau saran untuk mempromosikan ilmu pengetahuan suci atau pandangan tradisional spiritual agamis dan mistisisme atau esoterisme sebagai kebijaksanaan abadi (Sophia Perennis) untuk memecahkan masalah modernisme dan postmodernisme.

Paradigma alternatif  tentang Sacred Science dan Perennial Wisdom ini akan diikuti oleh elaborasi penulis terkait dengan kecenderungan terbaru dan wacana dalam pengembangan atau penemuan ilmu fisika baru terutama dalam teori fisika kuantum yang memiliki hubungan yang kuat dengan kesadaran (consciousness) yang baru dalam ilmu: filsafat ilmu pengetahuan integral dan holistik dan pandangan agama (Paradigma holistik-Integral), serfta Kearifan Perennial Suci Trasional Nusantara: “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dhama Mangrwa.” Pendekatan  dan pilihan topik ini, saya pikir masih unik dan memiliki studi asli di bidang penelitian Filsafat Islam Nusantara.

Sumber utama saya untuk penelitian thesis filsafat Islam dan Perennial Nusantara ini adalah beberapa buku penting dan mendasar di antara keduanya dari Seyyed Hossein Nasr seperti “The Plight of Modern Man” and “The Need for A Sacred Science”, “The Knowledge and The Sacred”,  “Ideal and Reality” and “Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, Philosophy in The Land of Prophecy”,  Pantun Bogor, Uga Wangsit Siliwangi, Siksa Kanda‘ng Karesian, Babab Tanah Jawi, Naskah WangsaKerta, Kaweruh Kiageng Suryo Metaram, Peradaban Atlantis Nusantara, Eden in The East, dan berbagai informasi dari situs internet, dll.

Sumber-sumber primer akan dibandingkan, dielaborasi dan dikompilasi dengan sumber-sumber sekunder yang terkait dengan wacana tentang wacana Perennialisme, ilmu pengetahuan dan agama, teori fisika baru Quantum Physic, seperti: “The Greatest Achievement in Life: Five Traditions of Mysticism, Mystical Approaches to Life”, oleh R.D Krumpos; “Tawheed and Science: Essays on The History and Philosophy of Islamic Science” oleh Osman Bakar; “Nature, Human Nature and God, …”, (terjemahan Indonesianya berjudul: “Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama”) oleh  Ian G Barbour; “The Web of Live, A New Synthesis of Mind and Matter”, oleh Fritjof Capra; and “The Holy Quran and The Sciences” by Mehdi Golshani;   “Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami”  oleh  Armahedi Mahzar MA,  sebagaimana dapat kita lihat dalam daftar pustaka saya (referensi) di halaman terakhir dari thesis ini, serta beberapa artikel yang memuat kearifan lokal Nusantara sebagai warisan budaya dan Peradaban Adiluhung Nusantara yang masih tersisa, yang bisa menjadi contoh betapa Leluhur Nusantara sudah mewariskan Kearifan Perennial dan Traditional Sacred Science tersebut.

Semoga apa yang disajikan dalam buku ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam mengenai sejarah besar peradaban bangsa Nusantara Atlantis ini,  demi kepentingan pembangkitan kembali jati diri bangsa Indonesia dan national character building, dalam mewujudkan misi Rahmatan lil ‘Alamin, kedamaian dan kesejahteraan dunia.

 

  1. Prolog: Krisis Paska Reformasi Indonesia, Mau Kemana?

 

            Bangsa dan Negara kita dalam 50-20 tahun terakhir dan berpuncak tahun 2017-2018 ini memang mulai menghadapi masalah serius dan bahaya yang mengancam kesatuan-persatuan bangsa dan NKRI serta ancaman kehancuran negara. Upaya perbaikan dan kemajuan bangsa dan Negara, pasca gerakan “reformasi 1998”, yang diharapkan akan muncul perbaikan reformatif — minimal atas kondisi sosial-politik-ekonomi bangsa dan maksimalnya perbaikan menyeluruh dalam ipoleksosbud hankamnas —  kini seolah terseok-seok berjalan ditempat dan terhambat.

Ancaman disintegrasi bangsa semakin menguat, akibat kelemahan internal mental-ideologi bangsa kita sendiri, di samping adanya intervensi penggalangan oleh agen-agen intelejen asing dari negara-negara  adidaya Barat dan para pengusaha kapitalis-neo-imperialis global, yang telah dan ingin terus mengambil banyak keuntungan dari kelemahan SDM (Sumber Daya Manusia) kita, seraya mengambil keuntungan maksimal atas kekayaan SDA (Sumber Daya Alam) kita yang berlimpah-ruah.

Maka patut kita renungkan pesan suci Tuhan YME ini:

“Berapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, sedang mereka adalah lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap dipandang mata” [QS. Maryam 19:74]

“Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada kalian ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” [QS Al-Kaff, 50:36-37]

 

Beberapa dekade ini bangsa Indonesia masih saja diharu-biru oleh berbagai masalah akut, seperti: krisis lingkungan hidup, eksploitasi sumber daya alam mineral yang massif, kemiskinan, kejahatan mafia hukum, korupsi tingkat tinggi, ketegangan konflik politik dan kerusuhan sosial yang didalangi oleh para koruptor dan politisi busuk, sehingga gerakan reformasi  kehilangan arah,  serta berbagai perilaku aneh menyimpang dari para selebriti, politisi dan para pemimpin negeri.

Berbagai kasus korupsi para pejabat negara dan Skandal Bail Out Bank Century yang merugikan keuangan Negara 6,7 Trilyun rupiah, dll, belum juga selesai tuntas hingga kini. Kasus manipulasi pajak berbagai perusahaan pertambangan besar di Indonesia dan suap oleh Gayus Tambunan kepada para mafia hukum, serta kebohongan-kebohongan publik para pejabat tinggi negara membuka fakta betapa bobroknya moralitas para politisi dan pemegang kekuasaan Negara. Belum lagi konflik sosial horisontal dan SARA yang juga tak kunjung berhenti di berbagai tempat di tanar air.

Fenomena-fenomena korupsi massal, kemerosotan moral dan penyimpangan dalam praktek kehidupan sosial dan sistem politik bangsa Indonesia saat ini, menurut penulis, semakin memperlihatkan praktek dan perwujudan cara berfikir (mental-filsafat/pandangan dunia) yang menjauh dari realisasi asasi nilai-nilai luhur suci Panca Sila, yaitu: “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyaratan-Perwakilan”, berdasarkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa.”  Justru, sebagian besar perilaku sosial-politik bangsa Indonesia kini didominasi kendali paham pikir keserakahan machiavelis, materialistis, dan sekularisme.  Prinsip falsafah Pancasilais: Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Kemanusiaan yang adil dan beradab” telah tergusur oleh  paham materialisme:  “Keuangan yang maha kuasa” dan  “Kesetanan yang zalim dan biadab”.

Praktek kehidupan sosial-politik dan ekonomi anak bangsa tak lagi terpimpin oleh semangat “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah-Kebijaksaan.” Ritual rutinitas pemilihan umum langsung formal demokrasi para pemimpin negara dan para kepala daerah ala demokrasi liberal  saat ini masih menjadi hanya sekedar menjadi alat formal-prosedural pengumpul legitimasi berkuasanya kembali para elite politik-ekonomi lama yang seringkali menimbulkan kekisruhan politik dan kerusuhan konflik sosial. Paling tidak itulah yang dirasakan oleh beberapa pengamat dan tokoh-tokoh ulama-pandita lintas agama dan cendikiawan yang prihatin dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini.

             Gerakan Reformasi di Indonesia, yang genap sudah berjalan hampir 20 tahun (pada tahun 2017), bagi sebagian orang, masih terseok-seok di pinggir jalan sejarah Indonesia kontemporer. Alih-alih berhasil mewujudkan tujuan-tujuan mulianya, gerakan tersebut mulai kehilangan arah dan meninggalkan tumpukan krisis yang tak terpecahkan dan ditemukan penyelesaiannya secara efektif.

             Reformasi memang sedikit ‘berhasil’ dalam membuka keran kebebasan (liberalisasi) dalam bidang ‘politik formal-prosedural’,   kebebasan arus informasi dan budaya. Namun di balik euphoria kebebasan itu malah lahir berbagai kekacauan informasi dan manipulasi suara rakyat, korupsi baru dan kemiskinan-kemiskinan baru yang makin meluas, yang menimbulkan kebingungan rakyat, serta desentralisasi hegemoni kapitalisme, penindasan-penindasan dan kezaliman baru atas nama demokrasi, otonomi daerah dan liberalisasi ekonomi pasar bebas. Belum lagi ditambah dengan ancaman perpecahan di antara sesama anak bangsa. Proses “Balkanisasi”dan “Syuriahisasi” (konflik sosial-agama) mengancam keutuhan bangsa dan NKRI, akibat radikalisasi sentimen primodial, fundamentalisme literal ekstrim dalam praktek kehidupan beragama dan SARA. Hal ini diperparah akibat ketidakadilan kekuasaaan pemerintah pusat dan daerah sebelumnya.

Kini sudah mulai banyak orang Indonesia yang kecewa dan tak percaya bahwa gerakan reformasi akan berhasil membawa perubahan sosial-politik-ekonomi & budaya yang signifikan dan bermakna bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Akhirnya, melihat proses pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2004, dan 2009, dan konflik-konflik kekerasan dan kerusuhan antara aparat polisi, polisi pamong praja dan oknum militer dengan massa rakyat, dan operasi intelejen pihak asing yang doyan mengadu-domba dan menumpahkan darah rakyat dengan issu SARA atau PKI, “Jadi Budak Asing-Aseng”, memungkinkan terjadinya ancaman revolusi sosial-politik (kakacauan) di Indonesia, sebagaimana yang baru-baru terjadi di Tunisia, Libya, Syuriah, Yaman dan Mesir, serta beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara lainnya.

Kemungkinan terjadinya revolusi sosial-politik itu pun, sekiranya itu adalah keharusan tuntutan sejarah, maka itu masih dalam tanda tanya besar? Apakah revolusi hanya akan “memakan anaknya sendiri”, dan malah hanya akan menghasilkan chaos (kekacauan) baru yang lebih dahsyat tanpa hasil akhir yang lebih baik? Ataukah akan dapat menghasilkan perbaikan total dan menyeluruh atas segala krisis bangsa dan negara ini?

Menurut saya, reformasi atau revolusi? Keduanya tak akan berarti apa-apa dan membawa kebaikan pada kualitas kemanusiaan, bila tanpa didasari dan digerakkan oleh perubahan revolusioner-reformatif  pada pemikiran filsafat & ideologi (pandangan dunia) yang benar yang menjadi dasarnya. Pemikiran filosofis-ideologis yang dengan serius mengkaji apa saja akar penyebab utama dari segala krisis kebangsaan yang ada secara tepat, akurat, komprehensif-holistik, fundamental dan benar, sehingga dapat menawarkan solusi yang tepat (efektif) dan efisien, tepat sasaran.

“Krisis multidimensional awal milenium ketiga di negeri kita ini adalah sebuah realitas. Salah satu akar penyebabnya adalah ketidakmampuan kita untuk menangkap substansi suatu persoalan kebangsaan secara mendasar dan menyeluruh (komprehensif). Betapa banyak perdebatan ilmiah, ekonomi, politik dan budaya, hanya mampu mengupas kulit-kulit permukaan persoalan saja. Pembahasan dan diskusi yang terjadi seringkali bersifat ‘banal’ (superfisial), atomistik, terpilah-pilah (parsial) dan terlalu menyederhanakan masalah (simplisistik). Perbincangan mengenai demokrasi, hak asasi manusia, keadilan sosial-ekonomi, globalisasi dan budaya tidak jarang malah menjadi kontra-produktif karena tidak tergalinya dan terpecahkannya muatan-muatan filosofis yang menjadi asumsi dasar dan pengerak isu-isu tersebut.”Begitu tulis Dr. Hussein Heriyanto, dosen saya di Program Pascasajana Filsafat Islam ICAS Universitas Paramadina Jakarta.

 

C. Jangan Lupakan Sejarah!  Konspirasi Menuju Disintegrasi Bangsa

 

Di dalam konteks problema filosofis ideologis kehidupan politik-ekonomi kekinian dunia materialime versus spritualisme di atas, apa yang sekarang geger terjadi di Indonesia di akhir tahun 2016 sampai  pertengahan tahun 2017 ini, (mungkin sampai ajang pilres 2019 nanti), tak lepas dari akar sejarah kita. Ini semua masih merupakan kelanjutan dari ekses pasca kolonialisme dan imperialisme, yang bermetamorfosa menjadi berbagai konflik sosial politik ekonomi yang masih kerap terjadi di Indonesia yang disebabkan Kaplitalisme Barat dengan ideologi materialisme-sekular-nya.  Berbagai kerusuhan dan konflik sosial-politik-ekonomi ini tak lepas dari pengaruh pandangan dunia materialisme dan metode berfikir mekanistis ala Cartensian, yang menjadi dasar modernisme. Maka marilah kita merenung sejenak, menelisik kembali sejarah kontemporer paska Proklamasi kemerdekaan RI 1945.

Perbagai peristiwa tragis, dari Pemberontakan PRRI-Permesta, Konflik Tolikara Papua, hingga “Parade Tauhid Indonesia” dan Demo 4-11 & 2-12 2016, 115 tahun 2018 serta berbagai aksi terorisme di Indonesia: yang menurut Arya Penangsang adalah “Realisasi Program Konspirasi Neo-imperialis Menuju Disintegrasi Bangsa.”Salah seorang sahabat penulis, Almarhum Quito Riantori, 18 August 2015, setahun sebelum wafatnya, telah memposting tulisan Arya Penangsang di laman Facebooknya, sebagai berikut:

“Amerika Serikat dan Negara-negara sekutunya tetap punya kepentingan  untuk mengendalikan pemerintahan Indonesia. Sejarah telah membuktikannya. Setiap kali rezim pemerintah RI tidak mau tunduk terhadap kepentingan dan kemauan politik “Paman Sam” (USA), maka dipastikan akan terjadi kerusuhan sosial di Indonesia. Kita bisa mengungkap kembali fakta sejarahnya.

Pertama, Era 1950-an. Pemberontakan PRRI/Permesta. Pemberontakan ini didalangi oleh Amerika Serikat. Bahkan tentara AS terlibat langsung di dalamnya. Terbukti dengan tertangkapnya seorang pilot Angkatan Udara Amerika Serikat, di Morotai, Maluku.

AS berkepentingan menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno. Karena pemerintahan RI waktu itu mulai berkiblat kepada poros Peking China –Moskow Uni Soviet yang kebetulan berhaluan komunis atau sosialis. Tragisnya pemberontakan terhadap Soekarno tersebut di lapangan melibatkan gerakan dan partai Islam, Masyumi yang di dalamnya banyak terlibat tokoh-tokoh muslim modernis.

Kedua, GESTOK atau G-30-S/PKI tahun 1965. Banyak catatan sejarah yang membuktikan keterlibatan intelijen AS: CIA, pada peristiwa Gerakan 30 September 196:, G-30-S-PKI. CIA bekerjasama dengan segelintir oknum perwira TNI AD. Mereka berhasil menghancurkan 3 kekuatan RI sekaligus. Yakni loyalis Perwira TNI AD, pemimpin, kader dan anggota parpol PKI, serta Presiden Soekarno dan para pendukungnya.

Setelah itu AS menjadi penguasa yang sebenarnya atas negeri kita tercinta ini. Rezim Orde Baru Soeharto hanyalah boneka AS. Tak lebih dari itu. Selama 50 tahun lebih kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia dieksploitasi dan dirampas oleh AS. Tragisnya mayoritas alim-ulama Indonesia dan ormas Islam tradisional tak menyadari akan hal ini. Mereka justru, sadar atau tak sadar, telah menjadi alat provokator CIA dan rezim Orba untuk menghancurkan komponen bangsa lainnya. Terjadilah penculikan, pembantaian, dan pembunuhan terhadap anggota PKI dan pemenjaraan dan isolasi-blokade sosial-politik-ekonomi terhadap para tokoh Sukarnois.

Sebenarnya secara tak langsung peristiwa di atas mungkin terjadi karena kelengahan kebijakan Presiden Soekarno sendiri pada awal kemerdekaan RI. Tepatnya pada saat perundingan KMB 1949. Delegasi Indonesia bersedia menyepakati pasal yang sangat berbahaya, yakni memasukkan mantan perwira tentara kolonial Belanda: KNIL, ke dalam tubuh perwira TRI yang kemudian menjadi TNI. Sedangkan sebagian tentara TRI yang sudah terbukti loyal terhadap negara, justru mengalami proses rasionalisasi (pemberhentrian dari TRI-TNI). Artinya terjadi demiliterisasi sebagian anggota TRI. Akhirnya terjadilah G30S/PKI dan Supersemar. “Senjata makan tuan’. Revolusi memakan “anak kandungnya sendiri”. Bahkan menelan korban orang tua kandungnya sendiri. “Cerita Joko Tingkir menyingkirkan Sultan Trenggono kembali terjadi dalam pentas sejarah Indonesia modern.” Begitu tulis Arya Penangsang.

Ketiga, Kerusuhan Mei 1998 menjelang “Reformasi”, Gerakan demonstrasi yang diprakarsai oleh para mahasiswa ini berhasil melengserkan Presiden Soeharto. Ditengarai kuat CIA juga terlibat dalam peristiwa ini. Karena arah suksesi kepemimpinan nasional yang dipersiapkan Soeharto, tak sesuai dengan keinginan Negeri Paman Sam (USA). Dan Soeharto mulai membandel terhadap Amerika. Oleh karena itu Presiden Soeharto serta penggantinya harus merasakan akibatnya (dijatuhkan).

Awal kerusuhan Mei 1998 terjadi kerusuhan di universitas Trisakti, Jakarta. Oknum Aparat TNI menembak mati beberapa mahasiswa. Sesaat kemudian terjadilah penjarahan oleh massa. Provokasi anti pribumi dan kerusuhan anti China dihembuskan oleh mulut-mulut setan yang haus kekuasaan. Orang pintar juga tahu siapa setan yang dimaksud. Dialah dalang kerusuhan Mei 1998. Seseorang yang sangat berambisi ingin menjadi Presiden RI. Namun tak pernah tercapai hingga kini. Dia sebenarnya hanya boneka yang dikendalikan intelijen AS, CIA.

Keempat, Kerusuhan SARA di Maluku dan Palu. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2004. Sesaat setelah Susilo Bambang Yudoyono dan M Jusuf Kalla menjabat sebagai presiden dan wapres RI. Konflik SARA ini juga buatan CIA. Guna menekan rezim SBY agar tunduk terhadap kemauan pemerintah Paman Sam dan Zionisme internasional. Faktanya konflik pun berhenti setelah rezim SBY melakukan MOU dengan perusahaan multinasional asal AS yang menanamkan modalnya dan mengeruk kekayaan alam Indonesia. Leluasalah mereka kembali merampas emas, minyak bumi, dan SDA lainnya. Kita semua tahu akan hal ini.

Kelima, konflik Tolikara-Papua. Kerusuhan ini juga rekayasa CIA. Demi menekan rezim Jokowi agar mau tunduk kepada kepentingan Barat dan AS. Untuk menegur pemerintahan Jokowi yang mulai bermesraan dengan RRC, Rusia dan Iran. Ini peringatan pertama. Peringatan kedua, segera menyusul.

Apa skenarionya? Berbagai “Parade Tauhid Indonesia” banyak disusupi agen Muslim ekkstrem takfiri. Sudah jelas arahnya. Yakni ingin menciptakan kebencian antar etnis dan agama. Memfitnah kaum Nasrani yang cinta damai. Memfitnah Muslim Syiah dan NU yang berhaluan madzab cinta dan rahmatan lil-’alamin. Tampaknya skenario ini juga akan gagal. Presiden Jokowi cukup cerdas. Dan tetap tak mau bergeming. Tak mau tunduk kepada arogansi Paman Sam. Benar-benar si kerempeng (Presiden Joko Widodo) yang bermental jenderal.

Inikah yang namanya merdeka? Inikah yang namanya negara yang bermartabat dan berdaulat? Salah siapakah ini?

Ini jelaslah salah para elite penguasa sebelumnya, dan para calon penguasa yang haus kekuasaan dan ingin menumpuk kekayaan pribadinya. Kedzaliman dan penjajahan terjadi di negeri Muslim karena “ulamanya” dan “Habibnya” takut mati dan cinta dunia. Namun ini juga kesalahan seluruh rakyat Indonesia. Mengapa demikian…?

Karena kita hanya pandai berkoar-koar. Hanya lantang meneriakkan yel-yel merdeka, reformasi, bermartabat, berdaulat atau berdikari. Namun tak siap menanggung konsekuensinya. Kita tak siap diembargo. Kita tak siap dikucilkan oleh dunia internasional. Tak siap menjalani hidup susah sepanjang tahun. Tak siap hidup miskin dan sederhana selama puluhan tahun. Kita benar-benar lemah dan cengeng! Tidak setegar rakyat Republik Islam Iran dan Korea Utara!

Mana mungkin bisa tahan lapar, jika badannya tambah tambun. Para pimpinan politisi oposan sebagian berusia muda, namun perutnya tambah buncit saja. Si kerempeng (Jokowi, Pen) yang menerapkan pola hidup sederhana malah dicaci-maki. Pelakunya justru para habaib, ustadz, dan kiyai, yang cinta dunia saat ini. Apakah aksi ini jujur bertolak dari hati nurani kalian…? Lantas, di mana kejujuran dan keberanian kalian terhadap kedzaliman rezim Orba selama 32 tahun?

Apakah dosa dan kedzaliman “si Kerempeng” Presiden Joko Widodo yang baru berkuasa 2 tahun ini lebih besar dari Jendral Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun…? Mana tulisan kritis kalian terhadap rezim Soeharto…? Mana aksi people-power kalian pada tahun 1998…? Di mana jutaan massa kalian…? Mengapa tak berdemo di Senayan bergabung dengan mahasiswa pada tahun 1998..? Di mana kalian saat itu…? Kalian tak berani menunjukkan batang hidungnya. Tak ada orasi dari kalian untuk menentang thagut di gedung DPR/MPR. Inikah namanya laskar mujahidin…? Hanya teman-teman mahasiswa yang turun berdemonstrasi ke jalan hingga mengepung gedung DPR/MPR. Kalian tak ada disana saat itu. Justru kalian mencemooh kalangan demonstran saat itu. Padahal kini kalian yang menikmati hasil reformasi. Kami hanya menjadi tulang berserakan yang tak berarti.

Antar komponen bangsa saling sikut. Saling tendang. Saling melaknat dan mengumpat. Saling memfitnah. Dan akhirnya menghalalkan pembantaian dan pembunuhan.

Mayoritas justru menindas minoritas. Memfitnah adanya kebangkitan PKI. Memfitnah non-pribumi. memfitnah etnis China. Memfitnah Syiah sesat dan halal darahnya…! Memfitnah kaum Krtisten Nasrani. Memfitnah kaum minoritas lainnya. Demi tegaknya Tauhid…?  Demi ukhuwah Islamiyah dan Khalifah dan Syariah Islamiyah…? Demi silaturahim dan halal-bihalal….? Demi memperingati kemerdekaan Republik…? Namun penuh fitnah dan provokasi di dalamnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun…

“Kalian justru melupakan musuh sejatimu. Yakni setan besar Amerika Serikat dan Zionis Yahudi. Batang hidung kalian tak tampak pada hari al-Quds. Kemana massa kalian yang anti Zionis, pada hari pembebasan Palestina? Kalian tak sudi bergandengan tangan dan merapatkan barisan demi menghancurkan musuh. Ketidakpedulian kalian terhadap ketertindasan rakyat Palestina adalah kemenangan propaganda Israel dan setan besar Amerika.” Begitu kecaman pedas Arya Penagsang di laman facebooknya.

 

Menuju Skenario Ketiga

Kita sebagai umat Islam Nusantara dan komponen utama bangsa Indonesia harus cerdas membaca strategi musuh. Tetap menjaga persatuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta asa Bhineka Tunggal Ika. Kita wajib menghilangkan sentimen perbedaan suku, ras, dan agama. Meredam perbedaan madzab. Pihak minoritas kaum Takfiri jelas tak sudi akan hal ini. Tapi, ingatlah..! Mayoritas umat dan bangsa ini cinta damai dan persatuan. Bangsa kita memanglah multi kultur. Namun bukan berarti mudah untuk dipecah-belah. Sangat berbeda dengan kondisi bangsa Timur Tengah yang mono kultur. Namun mereka mudah terprovokasi oleh isu perbedaan madzab. Seruan fitnah dan perpecahan yang dihembuskan oleh kaum Takfiri saat ini di Indonesia tak akan berhasil. [2]

Intelijen Amerika tentunya segera merancang skenario ketiga. Yakni menciptakan krisis moneter dan krisis ekonomi. Dimulai dari menekan rupiah sehingga mata uang dollar Amerika terus naik meroket. Kemudian mereka menciptakan demonstrasi mahasiswa, dan menciptakan kerusuhan sosial. Jika skenario ini juga gagal, maka CIA menerapkan senjata pamungkasnya. Yakni memprovokasi segelintir elit perwira TNI yang haus kekuasaan agar mau melakukan kudeta militer.[3]

CIA ingin mengulang kesuksesannya di Mesir melalui strategi kudeta militer. Yakni menyetir Jenderal Abdel Fattah as-Sisi untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Mohammed Morsi yang berhaluan Islam fundamentalis. Rupanya CIA belum menemukan bahan bakar bonekanya di dalam tubuh TNI. Kalaupun ada, namun wayang tersebut sudah lama pensiun dari TNI.

Inilah medan tempur dan jalan peperangannya. Kita benar-benar bertaruh dan berharap banyak dengan kecerdasan dan ketangguhan rezim Jokowi untuk mematahkan skenario busuk tersebut. Ada secercah harapan. Rupiah masih kokoh bertahan dari gempuran kenaikan dollar. Mutasi, promosi dan penguatan doktrin kebangsaan di jajaran perwira tinggi TNI yang sangat loyal terhadap negara juga wajib ditingkatkan. Bila perlu mengarah kepada terbentuknya jiwa perwira TNI yang ultra nasionalis…! Rezim Jokowi benar-benar bekerja keras menahan serangan dari 2 arah yang mematikan ini.

Doa kami, rakyat yang cinta damai dan anti kekerasan, semoga Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya berhasil menghantarkan negara Indonesia yang bermartabat, berdikari, dan berdaulat penuh. Hingga menjadi macan Asia. Bisa mensejajarkan diri dengan Iran dan RRC.

Dirgahayu Republik Indonesia ke 70. Jayalah Indonesia tercinta.”[4]

Di atas itulah kajian kritis dari Arya Penangsang yang penulis setujui kebenarannya, walau sangat kontroversial dan mungkin cukup banyak orang yang tak tahu. Namun masalah-masalah di atas bukan tanpa dasar pemikirian (mindset  / paradigma) yang mengendalikannya. Oleh karena itu kita selayaknya menelisik dan menyelidiki secara lebih mendalam, agar kita kita tahu persis akar permasalahannya, sehingga akan lebih mudah mencari solusi atas masalahnya secara menyeluruh/komprehensif, sangkil dan mangkus (efisien dan efektif).

Kericuhan yang terjadi tersebut di atas bukan tentang konflik pribumi, agama, kebangkitan PKI atau disintegrasi.  Ini cuma tentang sekelompok orang yang berjibaku untuk menjaga dan menguasai warisan hasil merampok selama 32 tahun.

Mereka harus menjaga warisan itu dari penguasa baru, yang ingin mengambil hasil rampokan dan mengembalikan kepada rakyat Indonesia. Mereka tidak perduli siapa yang jadi pemimpin, selama bisa dikendalikan, pemimpin itu akan didukung, bila tidak, harus secepatnya dilengserkan. Kuda boleh berganti, sais harus tetap.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tidak mungkin berpihak kepada mereka, sebab itu kekuasaan Gus Dur harus dilengserkan, meski beliau adalah seorang Ulama dan Tokoh NU. Organisasi Islam terbesar Indonesia.

Gus Dur adalah musuh Soeharto. Dalam acara Kick Andy di Metro TV pada 15 Nopember 2007, Gus Dur secara frontal mengatakan “Pemimpin di Indonesia ini yang pantas jadi musuh saya cuma satu, Pak Harto”.

Pada Muktamar PBNU tahun 1994 di Cipasung, Suharto memecah NU dengan melakukan Muktamar Tandingan. Namun krn kuat dan solidnya warga NU, Muktamar tandingan tersebut gagal untuk menyingkirkan Gus Dur. Lengkap sudah ketidaksukaan Soeharto terhadap Gus Dur.

Ibu Megawati juga bukan tokoh yg bisa diharapkan bagi mereka. Trah Soekarno dianggap duri dalam daging bagi Soeharto.

Tahun 1996, Megawati dipaksa lengser oleh Soeharto dari ketua PDI yg akhirnya menimbulkan perpecahan ditubuh PDI dan berakhir dengan peristiwa 27 Juli 1996.

Pada pilpres tahun 2004, mereka menggelontorkan isu bahwa dalam Islam, wanita tidak boleh dipilih sebagai pemimpin dan dalam PDI-P  terdapat orang2 PKI.

Susilo Bambang Yudhoyono bisa menyelesaikan dua periode kepemimpinan. Tapi harus diingat, meskipun di akhir era Orde Baru SBY bukan penentu komando dalam Militer, tapi jabatan Beliau adalah Kassospol ABRI. Jabatan strategis dalam pembinaan perpolitakan di waktu itu.

SBY pun menaruh hormat terhadap penguasa Orde Baru itu. SBY tidak responsif ketika adanya tuntutan penyelidikan dan pemeriksaan harta kekayaan Soeharto.

Jokowi bukan siapa-siapa  ketika Orba berkuasa. Beliau hanya tukang Mebel Kayu.

Saat Beliau menjadi walikota Solo, masih banyak pujian yang diberikan. Namun ketika beliau bergerak untuk menjadi DKI 1, menjadi warning bagi penikmat kekuasaan. Apalagi Jokowi berasal dari dukungan partai musuh Orba, PDI-P.

Ketika PDI-P mengusungnya sebagai RI 1, genderang perang pun mulai ditabuh. Gaya Orba pun dilakukan. Isu PKI, ketidak-jelasan keturunan dan agama yang dianutnya. Semua isu dipaksakan untuk menjegalnya.

Saat Jokowi menutup Mafia Minyak Petral tahun 2015, para penjaga warisan orba semakin yakin bahwa Jokowi adalah orang yang harus disingkirkan. Apapun caranya, berapapun biayanya.

Petral adalah wadah para perampok warisan orde baru dalam mengelola hak jual beli minyak ke Pertamina.

Dengan ditutupnya Petral, Pertamina bisa menghemat 250 Milyar/hari. Siapa yg selama ini menikmati uang 250 milyar/hari?

Untuk diketahui, Tommy Soeharto dan Bob Hasan memiliki saham masing-masing sebesar 20%. Dan saat pilpres 2014, Reza Chalid, sebagai pengendali Petral, ikut mendanai pencalonan Prabowo sebagai capres.

Menjelang pilpres 2014, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, menjanjikan untuk tidak akan menaikan pajak PT Freeport saat berpidato di acara The United States-Indonesia (Usindo) Society Washington Special Open Forum Luncheon.

Alih-alih mendapat keringanan pajak, Jokowi yg terpilih sebagai Presiden justru melakukan divestifikasi saham PT Freeport sebesar 51%. Siapa yang sakit hati dengan kebijakan Jokowi?

Ketika Ahok Gubenur DKI (Basuki Tjahaya Purnama) melakukan blunder tentang ayat suci, hal tersebut seperti menjadi bahan bakar bagi mereka untuk melengserkan Jokowi. Ahok yang melakukan blunder kenapa Jokowi juga harus dilengserkan?

Jokowi dan Ahok adalah satu paket yang ingin dilengserkan, Jokowi-Ahok bukan penikmat kekuasaan dan tidak bisa dibeli. Tidak ada beban bagi mereka berdua untuk melaksanakan reformasi. Namun para pembenci gerakan reformasi tidak menyukai hal itu. Jadi jelas ya, ini cuma amanat untuk menjaga hasil rampokan.[5]

Potensi konflik sosial berbahan bakar SARA tersebut masih menyala titik apinya, dan asapnya masih mengepul belum terpadamkan. Simak amatan saya dan sahabat saya Karyawan Faturahman, mantan wakil Bupati Bogor (2009-2014), berikut ini:

“Aksi Damai (Demo) Bela Islam” 4-11, 2-12, tahun  2016 untuk kepentingan siapa?

 

Bermula dari statement politik Presiden Joko Widodo pada Peringatan Konperensi Asia Afrika di Bandung (2015) yang menyatakan Palestina harus “Merdeka”, dan berbagai kebijakan Presiden Jokowi soal Freeport, dll. telah membuat Amerika dan Israel berang. Jokowi dianggap telah berani melawan dan membangkang terhadap kepentingan Amerika sehingga diam-diam Jokowi dianggap sebagai musuh besar Amerika yang harus segera dilengserkan. Maka dirancanglah berbagai skenario penggalangan operasi intelejen dengan target maksimal Jokowi jatuh pada tahun ketiga pemerintahannya (2017), atau minimal tidak akan terpilih lagi pada pilpres di masa keduanya (2019).

Amerika yang bersekutu dengan NATO dan negara-negara persemakmuran (bekas negara jajahan Inggris) seperti Australia, Malaysia, Singapura yang bertetangga langsung dengan Indonesia, telah merancang gerakan militer untuk menekan Jokowi. Agen-agen asing, bertebaran melakukan rekrutmen kepada golongan barisan sakit hati dari kalangan bumi putra untuk melakukan perlawanan dari berbagai sektor: buruh tani, nelayan, santri, rakyat daerah sebagai basis wong cilik yang dijadikan alat demo menentang kebijakan Jokowi. Sistem perbankan, hukum, perdagangan, pemerintahan diacak-acak melalui antek mereka yang terdiri dari oknum-oknum bangsa kita sendiri. Boikot, penghadangan, penggagalan, demo, isue-isue, cemoohan, ledekan, cibiran dan fitnah dilakukan secara sistemik, bahkan oleh oknum di lembaga DPR RI.[6]

Kini isue SARA telah diledakkan yang berdampak besar kepada banyak “ulama dan agamawan tertentu” terprovokasi untuk menyatakan “Jihad”, padahal faktanya dari data yang kita dapatkan bahwa pada tanggal 4 November 2016 lalu, armada kapal induk Amerika berikut 26.000 marinirnya telah terkonsentrasi di perairan lepas Australia (Samudra Hindia: Pulau Christmas) dengan moncong senjata berat dan rudal diarahkan ke istana negara yang hanya berjarak tempuh rudal 1 jam 9 menit, +/-  5000 km ke Jakarta. Maka secara taktis hari itu Presiden memang harus tidak berada di Istana dengan tetap menjaga oipini tetap tenang-aman-terkendali-kondusif dan biasa saja tidak ada yang istimewa, tidak membuat kepanikan masyarakat.

Langkah brilian Jokowi berikutnya adalah mendatangi markas-markas komando Kopassus, Marinir, Angkatan Udara, Brimob, Kostrad, merupakan untuk kekuatan dan jawaban bagi ancaman Amerika, bahwasanya kita sangat siap menghadapi mereka dengan kekuatan militer yang utuh, kompak, solid dan kuat dengan semangat bela negara yg tinggi. Jadi bukan untuk menjawab aksi damai tersebut.

Dengan indikasi kuat inilah Kapolri telah menyatakan adanya rencana MAKAR-Subversif (gerakan pengkhianatan) dari dalam negeri terhadap pemerintahan yang sah. Maka Panglima TNI menyatakan kita siap berjihad membela kedaulatan bangsa dan negara. Jadi sangatlah kecil dan dangkal jika ada tuduhan bahwa ketika Jokowi tak ada di Istana Negara pada Demo 4-11-2016, Jokowi melarikan diri untuk sekedar menghindar dari aksi damai 4-11 tersebut. Akan sangat disayangkan dan patut disesalkan ketika kedangkalan hati dan pikiran sebagian kecil umat terprovokasi untuk ikut melakukan perlawanan terhadap Presiden Joko Widodo bersama agen-agen intelejen  Amerika dan Israel terhadap NKRI tercinta.

Mari kita kembali renungkan siapa sebenarnya jati diri bangsa kita? Siapa lawan atau kawan kita yang sebenarnya? Patriot atau pengkhiat NKRI dan Pancasila-Bhineka Tunggal Ika? MERDEKA !!!, begitu kata Ki Karfat Sunda kepada  Ki Ageng Selo)”[7]

Menurut analisis sementara (hipotesis) penulis, pola pikir dan sikap tindak para ekstrimis Islamist/Islamisme/Ngislam yang anti Pancasila dan anti NKRI pro “Khilafah” atau “Negara Islam Indonesia” yang diangankan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menurut telaahan saya adalah disebabkan oleh kesalahpahaman mereka dalam konsep teologis dan kosmologisnya.

Paradigma dan konsep Tauhid atau ketuhanan ala aliran wahabi dan saudara-saudaranya menjadi sebab kerancuan berfikir mereka sekarang. Hal yang sama juga dulu 30 tahun yang lalu pernah saya alami ketika saya baru saja mengalami puber akidah yang terlambat dan salah asuhan. Ideologi atau manhaj fikriyah ala Hizbut Tahrir atau Wahabiyin yang menunggangi ormas Persis,  Al Irsyad, NII, DI-TII, ikhwanul muslimin dan berbagai OTB (organisasi Tanpa Bentuk) Islamist garis keras lainnya, mulai mewabah di kampus-kampus pada tahun 1980-an, sebagai kelanjutan perjuangan eks kombatan NII-DI TII dan para pejuang Masyumi tahun 1950-an yang pernah memperjuangkan Pancasila ala Piagam Jakarta, yang sila pertamanya adalah “Ketuhanan YME dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.”  Sekarang yang terbaru adalah kasus kekejaman Terorisme ISIS, JAD dan JAT pemboman Gereja dan Kantor Polda di Surabaya dan Kerusuhan Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat, atas nama Islam, HTI Pro “Khilafah Islamiyah” anti Pancasila dan NKRI, dan Gerombolan pemberontak makar atas nama “Bela Islam” anti PKI, anti Cinaisasi, oleh kaum Islamist (“ yang sok ngislam”).

Kaum Islamist tersebut menganggap bahwa Pancasila yang sekarang berlaku secara sah de jure dan de facto, adalah dianggap belum atau tidak Islami. Sehingga perlu diganti dengan Syariat Islam, sistem khalihah, NII-DI. Cara pandang seperti ini antara lain karena mereka memahami Islam secara banal (sempit-dangkal) dan harfiah atau letterlijk formalis fiqhiyah syar’iyah saja.

Mayoritas kaum Islamist tersebut belum memahami Islam dan pesan-pesan utama Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW secara kaffah (komprehensif-holistik-integral) dari semua dimensinya, baik Aqidah, Syariah, Tarikat, Hakikat dan Makrifatnya. Karena mayoritas kaum Islamist tsb, tak menyukai dan menolak kajian tasawuf dan irfan (Islamic Mysticism). Maka sudut pandangnya begitu formalis banal/dangkal. Mereka masih secara dikotomis diskriminatif diametral membedakan secara tegas antara agama langit yang berdasarkan wahyu scriptural, dengan agama bumi yang dibangun melalui akal budi atau budaya peradaban manusia. Seolah antara hal yang berasal dari Tuhan (Yang Ilahi) dan duniawi itu selalu dalam anggapan dikotomis diametral. Mereka tak menyadari bahwa ayat-ayat Tuhan  YME itu tak hanya hadir di dalam  Suci Wahyu Ilahi yang diturunkan dari Langit saja. Tetapi ayat-ayat Tuhan yang tersebar di alam semesta dan di dalam diri-diri manusia (ayat kauniyah dan insaniyah/aqliyah/Natural Science), ditolaknya. Padahal ayat-ayat tanziliyah wahyu (yang diturunkan/diwahyukan Tuhan YME) dalam kitab Suci pun, secara tersirat maupun tersurat, telah menjelaskan adanya ayat-ayat yang lain dari Tuhan YME, yang tersebar di semua penjuru ufuk langit dan bumi (alam semesta) serta di dalam diri-diri Manusia, makhluk-NYA yang paling sempurna, yang mewujud dalam bentuk ilmu pengetahuan dan hikmah kebijaksanaan serta budaya dan peradaban umat manusia. Ayat-ayat Kauniyah (Natural Science / Sign) ini, tak pernah dianggap suci oleh mereka, dan dianggap tak penting, bahkan dianggap bertentangan dengan Kehendak Tuhan Allah SWT.

Cara berfikir dikhotomis dualistis tersebut menurut guru-guru agama saya, sebenarnya adalah sesat pikir yang menjurus kepada kemusyrikan yang samar. Hal ini mungkin tak disadari oleh para penganutnya. Namun tentunya ini secara sadar dan sengaja dibuat oleh para konseptornya, yaitu para orientalis imperialis Inggris seperti Hemper dan Lawrence of Arabia yang paling awal dalam membina Wahabisme Saudi Arabia, dan Snouck Hurgronye yang menyusup ke Mekkah Arab Saudi dan kalangan pesantren di Nusantara serta merumuskan ideologi “Islam pembaharuan” yang menguntungkan kolonialis Belanda.

Namun tak hanya itu.

Cara berfikir ideologis literal harfiah ekstrim tersebut, memang punya akar sejarah yang panjang. Paling tidak sejak peristiwa Perang Siffin antara Imam / Khalifah Rasulullah Syaidina Ali Bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Sofyan di abad 7 M. Berlanjut kepada Imam Hasan yang syahid terbunuh diracun dan Imam Hussein bin Abi Thalib, cucunda Nabi Muhammad SAW,  yang syahid terbantai di Padang Karbala Irak oleh Yazid bin Muawiyah. Juga terbunuhnya Sufi Al-Halaj dan Ibn Arabi yang terzalimi oleh sebagian “ulama Fiqh” pada zamannya. Konflik berdarah antara Syekh Siti Jenar dengan para ulama pengusung Kesultanan Islam Demak Bintoro. Diisukan colonial Syekh Siti Jenar “dibunuh”.

 

Episode selanjutnya dari konflik antara kaum Mukminin-Muslimin dengan kaum neokhawarij Islamisist di Nusantara terjadi juga pada konflik antara Raden Patah Sultan Demak Bintoro dengan Prabu Brawijaya V dan ajaran budhi pekerti para Ulama Sabdo Palon Noyo Genggong. Juga hal sama terjadi konflik dan perang antara Prabu Siliwangi dan keturunanya para Raja Pakuan Pajajaran dengan Sultan Banten Maulana Yusuf di abad 15-16 M.  Tragedi kemanusiaan religius juga terjadi pada kasus ktara (Asia Tenggara).

 

Sampai kini kaum Muslim dan non-Muslim, para pecinta falsafah ideologi Panca Sila Bhineka Tunggal Ika di Indonesia juga selalu diserang kaum islamisit ekstrim tersebut, sebagaimana yang terjadi belum lama ini pada rangkaian “Aksi Bela Islam” yang diusung kaum wahabiyin di FPI, FUI, HTI, JT, GNPF MUI, PKS, dkk. yang disetir oleh gerombolan politisi busuk dan konglomerat dan koruptor sisa para pendukung rezim orde baru Suharto dukungan USA. Isue dan sentimen keagamaan islamist begitu dieksploitasi untuk menutupi dan memuluskan ambisi politik ekonomi profan (duniawi) mereka.

 

Yang  mungkin sudah terjadi tanggal 20 Mei,  ada Demo para mahasiswa (BEM) se-Indonesia dan Demo 96 (9 Junni) 2017 serta Demo Massal seperti 287 menolak Perpu Ormas 2017 dan lainnya yang diarahkan untuk menggulingkan Presiden RI yang Sah Joko Widodo, serta Aksi bela Ulama (Habib Riziek Shihab) dan Aktifis Islam yang diklaim dikriminalisasi polisi dan pemerintahan Jokowi. Jelas-jelas ini tindakan makar subversif. Naudzu billah min Dzalik. Istaghislana ya Allah, Fanshurna ala kaumin munafikin, kafirin wa musyrikin. Amin ya Rabb al alamin.

Strategi politik penjajahan neokolonialis dan neoimperialis masih menggunakan strategi “devide et impera”, pecah belah (sehingga lemah), lalu jajah (kuasai) secara paksa. Konflik dan ancaman disintegrasi (perpecahan) bangsa, sebagaimana yang sebagian kecil saja tadi sudah diungkap, itu masih sangat potensial dengan menggoreng isu SARA  (kesukuan, agama dan rasialisme). Fakta sosio-antrophologis kebhinekaan dengan mudah menjadi musuh berbagai upara pemaksaan kehendak penyeragaman keyakinan dan hukum (fiqh-Syariat) parsial sekelompok kecil umat beragama, yang merasa dan mengklaim diri (sepihak) sebagai kaum mayoritas pemilik negeri ini.

Nah, untuk memahami dan mencari solusi menyeluruh atas problem kebangsaaan kenegaraan tersebut, maka tulisan saya dan berbagai tulisan nara sumber lainnya yang saya kutip dalam buku ini, berusaha mengajukan analistis deskriptif  yang mendalam tentang penyebab krisis dunia modern – dalam bingkai sejarah modernisme dan post modernisme: materialisme-sekularisme.

Juga,  buku REVOLUSI MENTAL IDEOLOGI dan BUDAYA PANCASILA ini menyodorkan salah satu alternatif  solusi penting sebagaimana yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr, agar kita kembali merujuk kepada kearifan filosofis tradional suci-perennial wisdom. Menurut penulis, analisis dan pendekatan solusi Seyyed Hossein Nasr sangatlah relevan dan dapat kita temukan erat kaitannya dengan berbagai kearifan lokal tradisional suci perennial bangsa kita di Sundaland-Nusantara dan Kebijaksanaan Abadi yang dibawa oleh para Nabi Tuhan Allah dan orang-orang suci (para filosof-irfani dan para wali dan rhesi-empu-panditha-pujangga) sepanjang sejarah umat manusia

Mengapa Sundaland atau Nusantara dan Indonesia khususnya menjadi harapan baru datangnya zaman keemasan (golden age) umat manusia yang akan menyelamatkan dunia? Jawaban singkatnya adalah karena peradaban Nusantara punya keunikan dan keunggulan tersendiri dari segi kesejarahan, kelimpahan kekayaan sumber daya alam  maupun falsafah kehidupannya, yang berbeda diametral dengan falsafah dunia Barat yang didominasi materialisme, bahkan atheism anti tradisi Suci. Nusantara masih menyimpan warisan kearifan perennial abadi, nilai-nilai suci-sakral manunggal Ketuhanan-Kemanusiaan-Alam Semesta dan pandangan dunia kosmologis-ekologis yang ilahiyah (divine) ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Realitas Tuhan-Manusia dan Alam semesta masih dipandang sebagai sesuatu Realitas yang Unitiv (Manunggal, Tauhidi) secara eksistensial, sebagaimana tergambar dan falsafah-ideologi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika,

Yang saya maksud dengan Revolusi Mental-Ideologi di dalam buku ini adalah juga revolusi  pemikiran (perubahan paradigma) dan penghayatan-perasaan (cipta & rahsa) dan sikap budaya (karsa) secara cepat (revolusioner) progresif, dari kondisi mental bangsa terjajah, mental bangsa lemah-pesimis, mental bangsa yang selalu minder tak punya harga diri, tak punya self estem dan tak punya rasa percaya diri, tak tahu diri, lupa ingatan/lupa jati dirinya, pemalas, materialis-hedonis-koruptif dan bodoh, menjadi bangsa yang sepenuhnya sadar diri, cerdas, tahu identitas eksistensi diri sejatinya, ingat sejarahnya sebagai induk peradaban dunia sumber kebaikan agama-agama Ber-Ketuhanan YME di dunia, berniat dan bermental juara, punya national pride (kebanggan nasional), sadar bahwa dirinya adalah berasal dari Tuhan YME dan akan kembali kepada-Nya (Sangkan paraning Dhumadi ), mampu mewakili (mandatoris) dan memperjuangkan sifat-sifat-Ketuhanan Yang Maha Esa-NYA (Cinta kasih-sayang kemanusiaan,   kejujuran,  keadilan, keindahan, persaudaraan semesta, Rahmatan lil-alamin (Hamemayu Hayuning Bawono), etos kerja dan semangat juang  dan lain-lain kehendak-kehendak-NYA,.  Menjadi mercusuar, kompas dan teladan kepemimpinan dunia, berbudaya unggul dan berperadaban paripurna, menjadi contoh dan guru bagi bagi bangsa-bangsa lain seperti dulu zaman Kejayaan Peradaban Lemuria-Atlantis-Punt, Peradaban Vedha Sanatha Dharma di anak benua Sundaland Nusantara.

Di sisi lain, perkembangan pemikiran umat manusia di dunia ini, Alhamdulillah, pada kenyataannya tidaklah statis dan stagnan. Walaupun mungkin belum menjadi trend yang mainstream (arus utama) dalam prosesnya, namun perkembangan positif itu dan para pemikir tercerahkan mulai lahir sejak akhir abad 20 dan berlanjut kini pada awal abad 21.

Sebagaimana kita ketahui, dan ini juga yang dijelaskan ulama intelektual  Al-Syahid Murthada Mutahhari, bahwa arus sejarah dan perkembangan peradaban umat manusia dan bangsa-bangsa, sangatlah tergantung dari bagaimana pola pemikiran dan cara pandang dunia (worldview, weltanshaung) atau falsafah-ideology dan moral-mental-ideology yang hidup dan beroperasi pada mayoritas warga bangsa atau elit dominan pembangun peradaban tersebut. Pola tindakan dan berbagai peristiwa sejarah, tak  mungkin terlepas dari pola pikir para pelaku sejarah tersebut, yang menghasilkan peristiwa, aksi dan berbagai fenomena peradaban, baik sosial, politik ekonomi, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelolaan lingkungan hidup ekologis, dll.

Secara umum, filsafat (dan Ideologi), yang merupakan fondasi dasar dari system ilmu pengetahuan, budaya dan peradaban manusia,  terdiri dari 3 bagian pokok, yaitu: 1) Ontology, yang membahas tentang hakikat dan asal-usul atau akar mendasar segala sesuatu, Di dalamnya terkandung bahasan mengenai theology (ilmu ketuhanan), dan Cosmology (ilmu tentang alam semesta); 2). Epistemology,  yang membahas sumber-sumber dan struktur ilmu pengetahuan dan cara atau metode memperoleh ilmu pengetahuan, cara menguji kebenaran ilmu pengetahuan (verifikasi/pembenaran atau falsifikasinya/pembuktian kesalahannya); 3). Axyology, yang membahas ilmu pengetahuan terapan (aplikasi imu pengetahuan) seperti ilmu politik, etika dan estetika, ekonomi, Humaniora, science dan technology, dll.

Bagaimanakah bentuk dan model aksiologi  atau ilmu pengetahuan (paradigm pemikiran/brainware) yang menjadi software dan atau brainware dari sebuah entitas budaya dan peradaban umat manusia, akan selalui terkait-terhubung erat dengan jenis ontologi dan epistemologinya. Ketiganya saling berkait-kelindan tak bisa dilepaskan satu sama lain, karena ontologi akan membentuk espistemologi dan pada gilirannya epistemologi tertentu akan memberi corak dan membentuk aksiologi tertentu, serta system ilmu pengetahuan yang menjadi pedoman dan rujukan pembinaan dan pembangunan budaya dan peradaban umat manusia tersebut. Dalam Bahasa sederhananya Stephen Covey digambarkan dalam buku the Seven Habits sebagai berikut: “…Apa yang kita pikirkan, akan menjadi tindakan kita. Apa yang menjadi Tindakan kita akan menjadi kebiasaan kita. Apa yang menjadi kebiasan kita akan menjadi perilaku atau karakter kita. Apa yang menjadi karakter kita akan menentukan nasib kita.” Adagium ini tidak hanya berlaku bagi individu manusia, tetapi juga akan meluas kepada nasib manusia, keluarga, masyarakat, rakyat dan bangsa serta negara kita. Bahkan dunia kita ini.

[1]  (Bahan untuk Temu Akbar II Mufakat Budaya Indonesia, Hotel Mercure, Jakarta, 28-30 November 2014)

 

[2] Lampiran: 

Link Terkait: para “Kyai dan Ustadz” Provokator Agen Amerika binaan Jendral Kivlan Zein?)

http://www.suara-islam.com/read/index/16272/KH-Husni-Thamrin–Habib-Rizieq-Benar–tidak-Perlu-Minta-Maaf

http://www.suara-islam.com/read/index/8558/Ulama-Kharismatik—Hati-hati-ada-118-Orang-PKI-di-DPR-

 

[3] Sinyalemen ini dilansir oleh Jurnalis Alarn Nairn.

[4] Tangerang, 17 Agustus 2015 , Arya Penangsang

 

[5]  (bukan hasil cipta Makmur Muhammad Jawad hanya copas juga)

 

[6] http://www.beritaislam24h.net/2016/11/kivlan-zen-inikah-aktor-makar-yang.html

 

[7] http://idnnkri.com/sisa-harapan-jokowi-atas-ahok-dan-mimpi-makar-kubu-biru-hijau/

http://www.beritakita.id/22579/news/mengejutkan-panglima-tni-sebut-penyebar-berita-provokasi/

http://idnnkri.com/sisa-harapan-jokowi-atas-ahok-dan-mimpi-makar-kubu-biru-hijau/

https://l.facebook.com/l.php?u=https%3A%2F%2Farrahmahnews.com%2F2016%2F11%2F26%2Fbom-rpw-majalengka-akan-ledakkan-gedung-dpr-dan-mabes-polri%2F&h=rAQHd4anX

http://www.beritakita.id/22579/news/mengejutkan-panglima-tni-sebut-penyebar-berita-provokasi/

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/11/23/oh2tx2396-panglima-tni-sebut-australia-dan-amerika-sebar-berita-provokasi

 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300