Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

KETIKA SOEKARNO BERBICARA TTG ATLANTIS

$
0
0

KETIKA SOEKARNO BERBICARA TTG ATLANTIS

KETIKA SOEKARNO BERBICARA TTG ATLANTIS</p>
<p>Merujuk pada cerita Plato pada 335 SM. Dalam salah satu karyanya, Timaeus, Plato menceritakan tentang Atlantis yang hilang. Konon, Critias, nama orang dalam buku Plato, mendengar kisah Atlantis dari Solon. Dan Solon mendengarnya dari seorang pendeta Mesir.</p>
<p>Atlantis digambarkan sebagai sebagai negeri dengan peradaban yang sangat maju. Sayang, seperti diceritakan Plato, negeri hebat itu tenggelam ke dalam samudra “hanya dalam waktu satu hari satu malam”. Itu diperkirakan terjadi pada 11.600 tahun yang lalu.</p>
<p>Cerita soal Atlantis mengundang rasa penasaran. Banyak orang yang berusaha mencari jejak-jejak kerajaan hilang itu. Ratusan ekspedisi dilakukan untuk mencari jejak Atlantis di Siprus, Afrika, Laut Mediterania, Amerika Selatan, Kepulauan Karibia hingga Mesir. Hasilnya pun nihil.</p>
<p>Belakang, seorang penulis Brazil, Profesor Arysio Santos, membuat kegemparan. Dalam bukunya, Atlantis: The Lost Continent Finally Found, Santos menyimpulkan bahwa peradaban Atlantis ada di kepulauan Indonesia. Banyak pakar, terutama pakar geoologi, membantah hipotesis Santos ini. Kita tak akan membahas polemik ini.</p>
<p>Rupanya, 47 tahun yang lalu, Bung Karno juga bercerita soal Atlantis. Bung Karno melakukannya di depan rapat para panglima ALRI di Tanjung Priok, Jakarta. Awalnya, Bung Karno berbicara mengenai mitos Nyi Roro Kidul.</p>
<p>Lalu, Bung Karno bilang, “ada kupasan yang mengatakan bahwa di selatan Pulau Jawa ini ada satu Pulau besar, yang seperti Nusa Tembini, kepulauan pulau Nusa ini, seperti Nusa Tembini diereh oleh seorang Raja Putri.”</p>
<p>Raja Putri itu, kata Bung Karno, mempraktekkan hukum matriarchal. Akan tetapi, kerajaan Nusa Tembini tenggelam ke dasar laut. Nah, inilah yang kemudian dikenang dengan cerita Nyi Roro Kidul.</p>
<p>Cerita soal Nusa Tembini ini, menurut Bung Karno, mirip dengan kepercayaan orang eropa mengenai kerajaan lautan Atlantis. Bung Karno memulai penjelasannya dengan tarikan geografis.</p>
<p>Ia mencoba menjelaskan, di sebelah barat Eropa Barat dan Afrika Barat, kemudian sebelah timurnya Amerika Utara dan Amerika Selatan, terdapat ruang kosong. “Sepertinya di tengah itu ada lubang,” katanya. Menurut Bung Karno, kemungkinan besar kawasan itu dulunya benua besar yang pecah.</p>
<p>“Di sebelah sini Amerika Utara dan Amerika Selatan, di sebelah sini Afrika dan Eropa, dan ditengah-tengahnya itu ada, itu tadi, satu pulau besar yang dinamakan Atlantis,” ungkap Bung Karno.</p>
<p>Pulau besar itu, katanya, dilingkari oleh lautan luas yang disebut Lautan Atlantis. Pulau besar Atlantis itulah yang tenggelam. Jadi, Bung Karno menyimpulkan, Atlantis itu ada di tengah-tengah antara Amerika Selatan-Amerika Utara dan Afrika-Eropa.</p>
<p>Lebih jauh, Bung Karno menjelaskan, kerajaan Atlantis ini juga diperintah oleh seorang raja perempuan. Hukumnya pun bersifat matriarchal. Bagi Bung Karno, hal itu memang sangat masuk akal, karena—seperti ditulis dalam buku “Sarinah”—hukum tertua dalam sejarah manusia itu adalah hukum matriarchal.</p>
<p>Namun, Bung Karno menegaskan, cerita Atlantis agak berbeda dengan Nyi Roro Kidul. Bung Karno tidak ingin melihat kepercayaan Nyi Roro Kidul itu berakhir sebagai mistik belaka. Baginya, cerita Nyi Roro Kidul hanya simbol belaka, bahwa jikalau kita bersatu dengan laut, bisa menjadi negara maritim, maka kita akan menjadi negara kuat.</p>
<p>Jadi, dalam konteks ini, Bung Karno tidak sedang membenangkan dirinya dalam pendiskusian soal mitos. Sebaliknya, ia berusaha menarik kepercayaan itu sebagai penanda simbolis belaka. Dengan begitu, ia berusaha menjadikan cerita Nyi Roro Kidul sebagai legitimasi bahwa kita harus memperkuat karakter maritim bangsa kita.</p>
<p>Mahesa Danu” width=”319″ height=”166″ />Merujuk pada cerita Plato pada 335 SM. Dalam salah satu karyanya, Timaeus, Plato menceritakan tentang Atlantis yang hilang. Konon, Critias, nama orang dalam buku Plato, mendengar kisah Atlantis dari Solon. Dan Solon mendengarnya dari seorang pendeta Mesir.</p>
<p>Atlantis digambarkan sebagai sebagai negeri dengan peradaban yang sangat maju. Sayang, seperti diceritakan Plato, negeri hebat itu tenggelam ke dalam samudra “hanya dalam waktu satu hari satu malam”. Itu diperkirakan terjadi pada 11.600 tahun yang lalu.</p>
<p><span id=

Cerita soal Atlantis mengundang rasa penasaran. Banyak orang yang berusaha mencari jejak-jejak kerajaan hilang itu. Ratusan ekspedisi dilakukan untuk mencari jejak Atlantis di Siprus, Afrika, Laut Mediterania, Amerika Selatan, Kepulauan Karibia hingga Mesir. Hasilnya pun nihil.

Belakang, seorang penulis Brazil, Profesor Arysio Santos, membuat kegemparan. Dalam bukunya, Atlantis: The Lost Continent Finally Found, Santos menyimpulkan bahwa peradaban Atlantis ada di kepulauan Indonesia. Banyak pakar, terutama pakar geoologi, membantah hipotesis Santos ini. Kita tak akan membahas polemik ini.

Rupanya, 47 tahun yang lalu, Bung Karno juga bercerita soal Atlantis. Bung Karno melakukannya di depan rapat para panglima ALRI di Tanjung Priok, Jakarta. Awalnya, Bung Karno berbicara mengenai mitos Nyi Roro Kidul.

Lalu, Bung Karno bilang, “ada kupasan yang mengatakan bahwa di selatan Pulau Jawa ini ada satu Pulau besar, yang seperti Nusa Tembini, kepulauan pulau Nusa ini, seperti Nusa Tembini diereh oleh seorang Raja Putri.”

Raja Putri itu, kata Bung Karno, mempraktekkan hukum matriarchal. Akan tetapi, kerajaan Nusa Tembini tenggelam ke dasar laut. Nah, inilah yang kemudian dikenang dengan cerita Nyi Roro Kidul.

Cerita soal Nusa Tembini ini, menurut Bung Karno, mirip dengan kepercayaan orang eropa mengenai kerajaan lautan Atlantis. Bung Karno memulai penjelasannya dengan tarikan geografis.

Ia mencoba menjelaskan, di sebelah barat Eropa Barat dan Afrika Barat, kemudian sebelah timurnya Amerika Utara dan Amerika Selatan, terdapat ruang kosong. “Sepertinya di tengah itu ada lubang,” katanya. Menurut Bung Karno, kemungkinan besar kawasan itu dulunya benua besar yang pecah.

“Di sebelah sini Amerika Utara dan Amerika Selatan, di sebelah sini Afrika dan Eropa, dan ditengah-tengahnya itu ada, itu tadi, satu pulau besar yang dinamakan Atlantis,” ungkap Bung Karno.

Pulau besar itu, katanya, dilingkari oleh lautan luas yang disebut Lautan Atlantis. Pulau besar Atlantis itulah yang tenggelam. Jadi, Bung Karno menyimpulkan, Atlantis itu ada di tengah-tengah antara Amerika Selatan-Amerika Utara dan Afrika-Eropa.

Lebih jauh, Bung Karno menjelaskan, kerajaan Atlantis ini juga diperintah oleh seorang raja perempuan. Hukumnya pun bersifat matriarchal. Bagi Bung Karno, hal itu memang sangat masuk akal, karena—seperti ditulis dalam buku “Sarinah”—hukum tertua dalam sejarah manusia itu adalah hukum matriarchal.

Namun, Bung Karno menegaskan, cerita Atlantis agak berbeda dengan Nyi Roro Kidul. Bung Karno tidak ingin melihat kepercayaan Nyi Roro Kidul itu berakhir sebagai mistik belaka. Baginya, cerita Nyi Roro Kidul hanya simbol belaka, bahwa jikalau kita bersatu dengan laut, bisa menjadi negara maritim, maka kita akan menjadi negara kuat.

Jadi, dalam konteks ini, Bung Karno tidak sedang membenangkan dirinya dalam pendiskusian soal mitos. Sebaliknya, ia berusaha menarik kepercayaan itu sebagai penanda simbolis belaka. Dengan begitu, ia berusaha menjadikan cerita Nyi Roro Kidul sebagai legitimasi bahwa kita harus memperkuat karakter maritim bangsa kita.

Mahesa Danu

 

KETIKA SOEKARNO BERBICARA TTG ATLANTIS</p>
<p>Merujuk pada cerita Plato pada 335 SM. Dalam salah satu karyanya, Timaeus, Plato menceritakan tentang Atlantis yang hilang. Konon, Critias, nama orang dalam buku Plato, mendengar kisah Atlantis dari Solon. Dan Solon mendengarnya dari seorang pendeta Mesir.</p>
<p>Atlantis digambarkan sebagai sebagai negeri dengan peradaban yang sangat maju. Sayang, seperti diceritakan Plato, negeri hebat itu tenggelam ke dalam samudra “hanya dalam waktu satu hari satu malam”. Itu diperkirakan terjadi pada 11.600 tahun yang lalu.</p>
<p>Cerita soal Atlantis mengundang rasa penasaran. Banyak orang yang berusaha mencari jejak-jejak kerajaan hilang itu. Ratusan ekspedisi dilakukan untuk mencari jejak Atlantis di Siprus, Afrika, Laut Mediterania, Amerika Selatan, Kepulauan Karibia hingga Mesir. Hasilnya pun nihil.</p>
<p>Belakang, seorang penulis Brazil, Profesor Arysio Santos, membuat kegemparan. Dalam bukunya, Atlantis: The Lost Continent Finally Found, Santos menyimpulkan bahwa peradaban Atlantis ada di kepulauan Indonesia. Banyak pakar, terutama pakar geoologi, membantah hipotesis Santos ini. Kita tak akan membahas polemik ini.</p>
<p>Rupanya, 47 tahun yang lalu, Bung Karno juga bercerita soal Atlantis. Bung Karno melakukannya di depan rapat para panglima ALRI di Tanjung Priok, Jakarta. Awalnya, Bung Karno berbicara mengenai mitos Nyi Roro Kidul.</p>
<p>Lalu, Bung Karno bilang, “ada kupasan yang mengatakan bahwa di selatan Pulau Jawa ini ada satu Pulau besar, yang seperti Nusa Tembini, kepulauan pulau Nusa ini, seperti Nusa Tembini diereh oleh seorang Raja Putri.”</p>
<p>Raja Putri itu, kata Bung Karno, mempraktekkan hukum matriarchal. Akan tetapi, kerajaan Nusa Tembini tenggelam ke dasar laut. Nah, inilah yang kemudian dikenang dengan cerita Nyi Roro Kidul.</p>
<p>Cerita soal Nusa Tembini ini, menurut Bung Karno, mirip dengan kepercayaan orang eropa mengenai kerajaan lautan Atlantis. Bung Karno memulai penjelasannya dengan tarikan geografis.</p>
<p>Ia mencoba menjelaskan, di sebelah barat Eropa Barat dan Afrika Barat, kemudian sebelah timurnya Amerika Utara dan Amerika Selatan, terdapat ruang kosong. “Sepertinya di tengah itu ada lubang,” katanya. Menurut Bung Karno, kemungkinan besar kawasan itu dulunya benua besar yang pecah.</p>
<p>“Di sebelah sini Amerika Utara dan Amerika Selatan, di sebelah sini Afrika dan Eropa, dan ditengah-tengahnya itu ada, itu tadi, satu pulau besar yang dinamakan Atlantis,” ungkap Bung Karno.</p>
<p>Pulau besar itu, katanya, dilingkari oleh lautan luas yang disebut Lautan Atlantis. Pulau besar Atlantis itulah yang tenggelam. Jadi, Bung Karno menyimpulkan, Atlantis itu ada di tengah-tengah antara Amerika Selatan-Amerika Utara dan Afrika-Eropa.</p>
<p>Lebih jauh, Bung Karno menjelaskan, kerajaan Atlantis ini juga diperintah oleh seorang raja perempuan. Hukumnya pun bersifat matriarchal. Bagi Bung Karno, hal itu memang sangat masuk akal, karena—seperti ditulis dalam buku “Sarinah”—hukum tertua dalam sejarah manusia itu adalah hukum matriarchal.</p>
<p>Namun, Bung Karno menegaskan, cerita Atlantis agak berbeda dengan Nyi Roro Kidul. Bung Karno tidak ingin melihat kepercayaan Nyi Roro Kidul itu berakhir sebagai mistik belaka. Baginya, cerita Nyi Roro Kidul hanya simbol belaka, bahwa jikalau kita bersatu dengan laut, bisa menjadi negara maritim, maka kita akan menjadi negara kuat.</p>
<p>Jadi, dalam konteks ini, Bung Karno tidak sedang membenangkan dirinya dalam pendiskusian soal mitos. Sebaliknya, ia berusaha menarik kepercayaan itu sebagai penanda simbolis belaka. Dengan begitu, ia berusaha menjadikan cerita Nyi Roro Kidul sebagai legitimasi bahwa kita harus memperkuat karakter maritim bangsa kita.</p>
<p>Mahesa Danu” width=”319″ height=”166″ /></p></div>
</div>
</div>
</div>
<div>
<div class=


MENGARTIKAN REVOLUSI MENTAL

$
0
0

*) Karlina Supelli (1)

Perkenankan saya terlebih dulu menegaskan bahwa kehadiran saya di sini adalah sebagai seorang undangan yang diminta untuk mengartikan istilah “Revolusi Mental” yang dikemukakan oleh Joko Widodo (Jokowi) dan Tim. Penegasan ini saya kemukakan karena cara kita memahami sekarang ini diwarnai dengan kecenderungan untuk mengambil apa yang kita lihat dan dengar hanya menurut apa yang kita suka, atau menafsirkannya sesuai kepentingan kita. Cara pikir ini cenderung mengabaikan substansi. Substansi inilah yang akan saya bicarakan. (2)

Memahami Istilah

  1. Untuk itu, pertama-tama perlu saya sampaikan bahwa istilah ‘Revolusi Mental’ banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi baik di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme maupun (Zen) Buddhisme. Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956.
  2. Istilah ‘mental’ adalah nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup – misalnya: ‘mentalitas zaman’. Di dalam cara hidup ada cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan bahwa ‘mental’ hanyalah urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan cirri fisik benda-benda dunia. Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mental pun dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental, yaitu kemampuan untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).
  3. Karena itulah kita memakai istilah ‘mentalitas’ untuk menggambarkan dan juga mengkritik “mentalitas zaman”. Ada mentalitas petani, mentalitas industrial, mentalitas priyayi, mentalitas gawai (gadget), dsb. Mentalitas priyayi tentu bukan sekadar perkara batin para priyayi, melainkan cara mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka menampilkan diri dan kepercayaan yang mereka yakini, cara berpakaian, bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana mereka memandang benda-benda, ritual keagamaan, seni, dsb.
  4. Kekeliruan memahami pengertian mental (dan bahkan ada yang menyempitkannya ke kesadaran moral) membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal-soal struktural ekonomi, politik, dsb. Padahal kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik.
  5. Kekeliruan ini muncul dari perdebatan menyangkut kaitan kebudayaan, struktur sosial dan pelaku. Kekeliruan itu terungkap dalam omongan kita sehari-hari: “Wah, itu masalah mental pelakunya!”, atau: “Tidak, itu masalah struktur!” Akibatnya, interaksi keduanya terasa putus. Pokok ini tidak perlu diurai panjang lebar di sini. Cukuplah disebut bahwa kesesatan itu melahirkan pandangan seakan-akan ‘kebudayaan’ berurusan hanya dengan ranah subyektif pelaku, sedangkan ‘struktur sosial’ berurusan dengan ranah obyektif tindakan. Dan keduanya tidak berhubungan. Itu pandangan primitif dan sesat.
  6. Bagaimana kesesatan itu dikoreksi? Jawabnya: hubungan integral antara “mental pelaku” dan “struktur sosial” terjembatani dengan memahami ‘kebudayaan’ (culture) sebagai pola caraberpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari (practices, habits). Di dunia nyata tidak ada pemisahan antara ‘struktur’ sebagai kondisi material/ fisik/ sosial dan ‘kebudayaan’ sebagai proses mental. Keduanya saling terkait secara integral.
  7. Corak praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap hari merupakan ungkapan kebudayaan, sedangkan cara kita berpikir, merasa dan bertindak (budaya) dibentuk secara mendalam oleh sistem dan praktik habitual ekonomi serta politik. Tak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik. Pemisahan itu hanya ada pada aras analitik. Pada yang politik dan ekonomi selalu terlibat budaya dan pada yang budaya selalu terlibat ekonomi dan politik.
  8. Selain sebagai corak/pola kebiasaan, tentu kebudayaan juga punya lapis makna yang berisi cara masyarakat menafsirkan diri, nilai dan tujuan-tujuan serta cara mengevaluasinya. Kebudayaan juga punya lapis fisik/material karya cipta manusia termasuk sistem pengetahuan yang melandasinya. Namun dalam praktek sehari-hari ketiganya tidak terpisah secara tajam.
  9. Contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang kita peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme sebagai gejala budaya lahir dari perubahan struktur lingkungan yang memaksakan hasrat tertentu agar menjadi kebiasaan sosial. Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan benda bermerek luar negeri.
  10. Implikasi dari kekeliruan memahami gejala yang disebut pada butir 5 dan 6 di atas sangat besar. Pernyataan-pernyataan publik seperti pendekatan ekonomi dan politik sudah gagal sehingga diperlukan jalan kebudayaan adalah contoh kekeliruan memahami hubungan integral struktur, kebudayaan, dan pelaku. Kekeliruan itu juga melahirkan anggapan seakan-akan urusan perubahan mental akan menciutkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai perkara moral bangsa – “kalau moral berubah, selesailah masalah!”. Sungguh keliru anggapan itu.

Operasionalisasi Revolusi Mental

  1. Dengan paparan di atas, bagaimanakah kita mengartikan ‘Revolusi Mental’? Revolusi Mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan berisi haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan hidup berbangsa. Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode evaluasinya.
  2. Tetapi karena ‘kebudayaan’ juga menyangkut cara kita berpikir, merasa dan bertindak, ‘revolusi mental’ tidak bisa tidak mengarah ke transformasi besar yang menyangkut corak cara-berpikir, cara-merasa dan cara-bertindak kita itu. Kebudayaan hanya dapat “di-strategi-kan”(3) jika kita sungguh memberi perhatian pada lapis kebudayaan tersebut. Karena itu, kunci bagi ‘Revolusi Mental’ sebagai strategi kebudayaan adalah menempatkan arti dan pengertian kebudayaan ke tataran praktek hidup sehari-hari.
  3. Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’, kebudayaan mesti dipahami bukan sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak/pola cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari. Hanya dengan itu ‘Revolusi Mental’ memang akan menjadi wahana melahirkan Indonesia baru.
  4. Apa yang mau dibidik oleh ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas (lihat butir 4 untuk pengertian ini), cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dsb. Begitu rupa, sehingga mentalitas bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan seharihari) lambat-laun berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu.
  5. Di satu pihak, pendidikan lewat sekolah merupakan lokus untuk memulai revolusi mental. Di lain pihak, kita tentu tidak mungkin membongkar seluruh sistem pendidikan yang ada. Meski demikian, revolusi mental dapat dimasukkan ke dalam strategi pendidikan di sekolah. Langkah operasionalnya ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk etos warga negara (citizenship). Maka, sejak dini anak-anak sekolah perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga negara ini ‘menubuh’. Mengapa? Karena landasan kebangsaan Indonesia adalah kewarganegaraan. Indonesia tidak berdiri dan didirikan di atas prinsip kesukuan, keagamaan atau budaya tertentu.
  6. Karena itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diperkenalkan kepada siswa mulai dari usia dini. Dalam menjalankan Revolusi Mental, pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan yang tidak dapat diganti misalnya dengan pelajaran agama. Sebaliknya, pelajaran agama membantu pendidikan kewarganegaraan.
  7. Untuk keperluan pendidikan kewarganegaraan kita dapat menyusun pertanyaan: (a) Keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang harus dipelajari oleh siswa agar menjadi warga negara yang baik?  (b) Sebagai infrastuktur kultural, keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang perlu dipelajari siswa untuk “menemukan kembali” Indonesia yang dicita-citakan bersama?
  8. Sebagai contoh, jika gagasan tentang Indonesia yang mau dikembangkan adalah Indonesia yang bebas korupsi, maka keutamaan yang dididik adalah kejujuran; jika sasarannya adalah kebinekaan, maka yang dididik adalah pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku/etnisitas, dll; jika kepemimpinan, maka yang dikembangkan adalah tanggungjawab; dst.
  9. Tampaknya memang tidak ada yang baru dari hal-hal yang disebut di atas. Dengan memusatkan perhatian pada perubahan kebiasaan sehari-hari yang punyai dampak kebaikan publik, kebaruan terletak pada cara mendidik. Proses pendidikan mesti bermuara ke corak kebiasaan bertindak. Artinya, pendidikan diarahkan ke transformasi dari pengetahuan diskursif (discursive knowledge) ke pengetahuan praktis (practical knowledge). Pengetahuan diskursif tentu sangat dibutuhkan dalam mengawal secara kritis kehidupan berbangsa-bernegara, namun biarlah sementara ini itu jadi urusan para intelektual/cendekia. Bagi agenda ‘Revolusi Mental’, yang paling dibutuhkan adalah pengetahuan praktis – transformasi pada tataran kebiasaan bertindak sehari-hari para warga negara dalam lingkup dan skala seluas bangsa.
  10. Keutamaan (virtue) adalah pengetahuan praktis. Ini berarti bahwa dalam proses pendidikan, Revolusi Mental adalah membuat bagaimana kejujuran dan keutamaan lain-lainnya itu menjadi suatu disposisi batin ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret. Ketika berhadapan dengan kesulitan saat ulangan, misalnya, siswa tidak lagi melihat kejujuran sebagai hal terpisah dari dirinya. Dia tidak lagi berpikir apakah akan mencontek atau tidak, karena kejujuran sudah menjadi kebiasaan, sudah menjadi habit. Kejujuran mengalir dari dirinya. Ibarat seseorang yang mahir berenang, dia tidak lagi perlu memikirkan ritme gerakan tangan dan kakinya. Gerakan itu menjadi bagian dirinya ketika dia berada di air.
  11. Contoh lain bisa kita ambil dari Skandinavia dimana kesetaraan (equality) diajarkan sejak anakanak. Itulah mengapa sistem welfare state menjadi mungkin di Negara-negara Skandinavia. Kendati dikenai pajak progresif, warga memahami arti dan keutamaannya karena kesetaraan sudah menjadi sikap dasar (dan tentu saja juga karena penyelenggara negara yang akuntabel dan tidak korup). Di Jepang, sikap stoic (Jepang: gaman) sudah diajarkan sejak usia 3 – 6 tahun sampai menjadi kebiasaan dan sikap hidup sehari-hari. Kita tentu masih ingat reaksi tenang, rasional, terkendali dan hening masyarakat Jepang yang banyak dibahas media internasional ketika terjadi tragedi nuklir 2011.

Kantung-kantung Perubahan

  1. Pendidikan di sekolah hanyalah bagian saja dari proses pendidikan warga negara. Padahal kalau sungguh mau dilaksanakan, Revolusi Mental harus menjadi gerakan kolosal berskala nasional. Gerakan itu mencakup masyarakat seluas bangsa agar perilaku sosial setiap individu menjadikan keutamaan warga negara sebagai kebiasaan.
  2. Untuk itu, kita tidak perlu menunggu adanya kebijakan. Silakan memulai dengan membangun kantung-kantung perubahan dan menyusun siasat yang berfokus pada transformasi cara hidup sehari-hari kelompok-kelompok warga negara. Siasat itu melibatkan gerakan rutin dalam bentuk langkah-langkah konkret untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang punya dampak terhadap terwujudnya kebaikan hidup berbangsa dan bernegara.
  3. Jadi, ‘Revolusi Mental’ bukanlah urusan membikin panggung di mana para selebriti mencari sorak dan puja-puji. Transformasi sejati terjadi dalam kesetiaan bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin. Hanya melalui kesetiaan inilah ‘Revolusi Mental’ akan terjadi. ‘Revolusi Mental’ juga tidak akan terjadi hanya dengan khotbah tentang kesadaran moral, serta tidak terjadi dengan pelbagai seminar dan pertunjukan. Semua itu cenderung jadi panggung slogan. Agar ‘Revolusi Mental’ menjadi siasat integral tranformasi kebudayaan, yang dibutuhkan adalah menaruh arti dan praksis kebudayaan ke dalam proses perubahan ragawi menyangkut praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari pada lingkup dan skala sebesar bangsa. Arah itu juga merupakan resep bagi masyarakat warga untuk ikut terlibat secara ragawi dalam memulai dan merawat revolusi mental.
  4. Jika pada awal Reformasi kita banyak membicarakan civil society, maka inilah arti civil society yang sebenarnya: civil society adalah gerakan para warga negara (citizens) untuk melaksanakan transformasi secara berkelanjutan bagi pemberadaban hidup bersama yang bernama Indonesia. Itulah ‘Revolusi Mental’.

Catatan kaki :
1) Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
2) Apa yang saya sampaikan di sini merupakan endapan pemikiran yang sumber-sumbernya belum saya cantumkan sehingga tulisan ini belum memenuhi kelayakan publikasi.
3) Kebudayaan tentu bukan bidang yang dengan kaku dapat dikemas ke dalam kotak strategi. Oleh karena itu, pengertian “strategi” di sini lebih berfungsi sebagai semacam peta, jalan-jalan yang akan kita tempuh/hindari untuk menjelmakan visi kebaikan hidup bersama.

Sumber : http://www.jokowi.id/opini/mengartikan-revolusi-mental/

 


Kesaksian Guru Besar UI Sarlito Wirawan, Tentang Jokowi.

$
0
0
July 1, 2014 at 8:54amPhoto: Kesaksian Guru Besar UI Sarlito Wirawan, Tentang Jokowi.<br /><br /><br /><br /><br />
July 1, 2014 at 8:54am</p><br /><br /><br /><br />
<p>"Setiap hari saya bekerja di Jakarta, tetapi saya warga Banten, karena KTP saya berlamat di Ciputat. Jadi saya tidak punya hak pilih saat Pilkada DKI. Saya juga bukan simpatisan, apalagi anggota parpol mana pun, termasuk PDIP.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Saya juga bukan kerabat atau famili dari Jokowi,walaupun istri saya keturunan Solo.Jadi buat saya tidak penting siapa yang akan jadi Gubernur DKI, asal bukan Sarlito. Namun, saya kenal Jokowi. Bukan berteman sejak kecil (masa balita sampai ABG saya di Tegal, jauh dari Solo), tetapi pertama kali tahu dari mahasiswa saya, namanya Okky Asokawati (dulu peragawati, sekarang anggota DPR dari Fraksi PPP).</p><br /><br /><br /><br />
<p>Waktu dia praktik dalam kuliah S-2 Psikologi UI, dia dan timnya mengambil Solo sebagai objek studi dan dia berkenalan dengan Jokowi. Kemudian Okky dan timnya tentu membuat laporan buat suhunya. Setelah saya membaca laporannya, saya berkesimpulan bahwa Jokowi bukan wali kota biasa. Mungkin banget dia manusia fenomenal (maksud saya: unik, langka). Karena itu saya minta Okky mengundang Jokowi ke kampus untuk memberi kuliah kepada mahasiswa saya (kalau tidak salah ada 23 mahasiswa di kelas saya).</p><br /><br /><br /><br />
<p>Maka pada hari yang ditentukan Jokowi datang ke Kampus UI, Depok. Langsung dari Solo dan seusai kuliah juga langsung pulang ke Solo. Naik taksi. Okky menjemputnya di depan gedung fakultas,karena takut tidak ada yang mengantar beliau ke lantai atas, karena memang penampilannya tidak bonafid (maksud saya: tidak tampak seperti seorang pejabat sekelas Solo-1), sehingga mungkin sekali dia akan dicuekin satpam.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Saya pun hampir hampir salah, karena tidak bisa membedakan mana yang Jokowi dan mana yang ajudan. Untung ada Okky, jadi tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. Kemudian kuliah pun berlangsung, dilanjutkan dengan diskusi, selama hampir tiga jam. Materi kuliahnya adalah tentang proses pemindahan PKL (pedagang kaki lima) dari Taman Banjarsari (dulu: Balapan) ke Pasar Klithikan, Notoharjo, Semanggi. Kisahnya sangat kondang dan banyak yang sudah mengetahuinya.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Tetapi buat yang belum tahu, bisa disampaikan bahwa Taman Banjarsari dulunya taman terbuka, asri, elite, tempat warga Solo berekreasi dengan keluarga mereka. Tetapi sejak krisis moneter tempat itu dijadikan ajang usaha oleh PKL yang jumlahnya makin lama makin meningkat, sehingga taman itu berubah jadi daerah kumuh.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Kemudian datanglah Wali Kota Jokowi untuk mengembalikan fungsi taman kota itu. Satusatunya cara adalah dengan memindahkan para PKL. Tetapi Jokowi tidak datang dengan satu kompi Satpol PP untuk mengusir para PKL berdasarkan perda, melainkan diundangnya para PKL itu ke kediamannya untuk makan makan saja. Ada 52 kali makan-makan mingguan bersama PKL diselenggarakan oleh Jokowi.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Dengan sendirinya lama-lama Jokowi dan stafnya akrab dengan para PKL. Dalam suasana makan-makan yang informal itu semua curhat dan harapan PKL ditampung, sekaligus disiapkan sarana dan prasarana jalan keluarnya. Pada pertemuan-pertemuan terakhir barulah Wali Kota mengumumkan niatnya untuk memindahkan PKL ke Semanggi. Tetapi PKL tidak bisa protes lagi, karena bangunan pasar sudah disiapkan, pihak bank sudah menyiapkan pinjaman dana dengan cicilan hanya beberapa ribu rupiah per hari, perizinan semua digratiskan, bahkan sudah dikeluarkan perda yang mengatur jalur angkot untuk melalui Pasar Klithikan. Singkatnya, para PKL tinggal memboyong barang-barang mereka ke lokasi yang baru.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Pada hari boyongan pun disiapkan kirab yang diawali dengan pembesar-pembesar Keraton Mangkunegaran dan para pejabat Kota Solo (termasuk wali kota) yang menunggang kuda, diiringi oleh barisan pusaka pusaka keraton dan tentara tradisional keraton,gamelan yang bertalu-talu, diakhiri dengan barisan para PKL. Arak-arakan yang terjadi tanggal 26 Juli 2006 ini menjadi peristiwa yang menarik wisatawan domestik dan asing dan tentu saja media massa dalam dan luar negeri.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Gegap gempita. Semua bergembira. Proyek pemindahan PKL Taman Banjarsari hanya awal dari gebrakan Jokowi untuk membangun Kota Solo. Program program Jokowi dan wakilnya (Hadi Rudyatmo) berlanjut terus sehingga Solo menjadi kota wisata yang nyaman dan menyenangkan. Taman Banjarsari sudah kembali ke fungsinya sebagai taman kota yang asri. Seusai kuliah itu saya terus mengikuti kiprah Jokowi, pernah sekali atau dua kali bertemu dengannya dalam acara-acara tertentu di Solo dan kisah pemindahan PKL Banjarsari pernah saya jadikan contoh dalam beberapa tulisan maupun kuliah saya. Kesimpulan saya, Jokowi memang fenomenal. Walaupun tidak pernah mempelajari ilmu sosial, apalagi psikologi (kuliahnya dulu di Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta), Jokowi menerapkan kaidah-kaidah intervensi sosial dengan sangat tepat,hanya berdasarkan akal sehatnya dan komitmennya pada tugas (saya tidak mau menyebut hati nurani , karena istilah itu sudah jadi pasaran, malah murahan).</p><br /><br /><br /><br />
<p>*** Ketika saya menulis artikel ini, sambil menonton televisi saya melihat Jokowi diwawancara di televisi.Pertanyaan reporter di layar kaca itu, seperti biasa, pasaran juga, "Pada putaran kedua nanti Anda akan berkolaborasi dengan siapa?" Maksud reporter tentu dengan yang mana di antara empat calon gubernur yang sudah gugur. Tetapi jawaban Jokowi di luar dugaan, "Aaah,tidak.Yang terbaik adalah berkolaborasi dengan masyarakat DKI, dengan rakyat Jakarta. Luar biasa!"</p><br /><br /><br /><br />
<p>Ini adalah jawaban yang cerdas, keluar dari akal sehat. Dalam kesempatan paparan DPR, Jokowi dan pasangannya, Ahok, menyampaikan fakta Banjir Kanal Timur yang dibangun oleh pemerintah pusat, bukan dari dana Pemprov DKI dan bahwa Gubernur Sutiyoso membangun 10 jalur Busway, tetapi Gubernur Foke hanya bisa menambah satu jalur saja. Maka Jokowi-Ahok akan memprioritaskan angkutan umum, termasuk meneruskan pembangunan monorel.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Selain itu Jokowi-Ahok merencanakan Kartu Sehat (berobat gratis) dan Kartu Pintar (sekolah gratis) untuk warga tidak mampu. Yang perlu diperhatikan di sini bukan janji pelayanan kesehatan dan pendidikan gratisnya (ini merupakan janji semua calon gubernur di mana pun, tidak hanya di Jakarta), tetapi cara dia memberi nama kepada dua pelayanan itu.Dengan menggunakan istilah kartu, setiap warga yang kurang mampu nantinya akan mengantongi dua kartu (sehat dan cerdas) yang bisa dibawa ke mana-mana dan bisa digunakan sewaktu-waktu (tidak usah minta surat ke RT atau lurah dulu, dan sebagainya). Jokowi tidak menjanjikan membangun rumah sakit atau memberi fasilitas kepada sekolah sekolah (seperti bantuan operasional sekolah alias BOS yang bukan boss), melainkan menjanjikan kartu buat setiap warga yang memerlukan. Maka jelas sasarannya adalah hati warga DKI sebagai perorangan yang sudah penuh unek-unek. Suatu pemecahan yang benar-benar cerdas, yang keluar dari akal sehat. Masyarakat Jakarta tidak semuanya cerdas, apalagi berpendidikan, terlebihpendidikan tinggi.Tetapi rakyat yang paling jelata pun bisa membedakan antara akal sehat dan akalakalan. Berpuluh tahun bangsa kita terlatih untuk akal-akalan (menggunakan akal untuk sesuatu yang tidak masuk akal).</p><br /><br /><br /><br />
<p>Di zaman Soeharto dana reboisasi diakali, sehingga hutan hutan malah makin gundul. Perjalanan dinas dua hari diakali sehingga jadi lima hari, sehingga sisa dana perjalanan dan akomodasi bisa masuk kantong sendiri. Di zaman sekarang ada akalakalan proyek Hambalang, ada Gayus yang mengakali pajak dan sebagainya. Masyarakat yang sudah capai dengan akalakalan ini langsung melihat peluang pada diri Jokowi yang berakal sehat.<br /><br /><br /><br /><br />
Jokowi akan berhasil sebagai gubernur DKI,bukan karena dia manusia ber-okol (berotot) yang didukung oleh partai besar atau birokrasi atau militer (seperti Hosni Mubarak, Khadafi,atau Saddam Husein), melainkan karena dia didukung oleh rakyat Jakarta. Insya Allah, dengan rahmat Nya, Jokowi akan bergeser dari Solo-1 menjadi Jakarta-1 dan kemudian Indonesia 1"</p><br /><br /><br /><br />
<p>SARLITO WIRAWAN SARWONO<br /><br /><br /><br /><br />
Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia” width=”134″ height=”105″ />”Setiap hari saya bekerja di Jakarta, tetapi saya warga Banten, karena KTP saya berlamat di Ciputat. Jadi saya tidak punya hak pilih saat Pilkada DKI. Saya jug<span class=a bukan simpatisan, apalagi anggota parpol mana pun, termasuk PDIP.Saya juga bukan kerabat atau famili dari Jokowi,walaupun istri saya keturunan Solo.Jadi buat saya tidak penting siapa yang akan jadi Gubernur DKI, asal bukan Sarlito. Namun, saya kenal Jokowi. Bukan berteman sejak kecil (masa balita sampai ABG saya di Tegal, jauh dari Solo), tetapi pertama kali tahu dari mahasiswa saya, namanya Okky Asokawati (dulu peragawati, sekarang anggota DPR dari Fraksi PPP).
Waktu dia praktik dalam kuliah S-2 Psikologi UI, dia dan timnya mengambil Solo sebagai objek studi dan dia berkenalan dengan Jokowi. Kemudian Okky dan timnya tentu membuat laporan buat suhunya. Setelah saya membaca laporannya, saya berkesimpulan bahwa Jokowi bukan wali kota biasa. Mungkin banget dia manusia fenomenal (maksud saya: unik, langka). Karena itu saya minta Okky mengundang Jokowi ke kampus untuk memberi kuliah kepada mahasiswa saya (kalau tidak salah ada 23 mahasiswa di kelas saya).Maka pada hari yang ditentukan Jokowi datang ke Kampus UI, Depok. Langsung dari Solo dan seusai kuliah juga langsung pulang ke Solo. Naik taksi. Okky menjemputnya di depan gedung fakultas,karena takut tidak ada yang mengantar beliau ke lantai atas, karena memang penampilannya tidak bonafid (maksud saya: tidak tampak seperti seorang pejabat sekelas Solo-1), sehingga mungkin sekali dia akan dicuekin satpam.Saya pun hampir hampir salah, karena tidak bisa membedakan mana yang Jokowi dan mana yang ajudan. Untung ada Okky, jadi tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. Kemudian kuliah pun berlangsung, dilanjutkan dengan diskusi, selama hampir tiga jam. Materi kuliahnya adalah tentang proses pemindahan PKL (pedagang kaki lima) dari Taman Banjarsari (dulu: Balapan) ke Pasar Klithikan, Notoharjo, Semanggi. Kisahnya sangat kondang dan banyak yang sudah mengetahuinya.

Tetapi buat yang belum tahu, bisa disampaikan bahwa Taman Banjarsari dulunya taman terbuka, asri, elite, tempat warga Solo berekreasi dengan keluarga mereka. Tetapi sejak krisis moneter tempat itu dijadikan ajang usaha oleh PKL yang jumlahnya makin lama makin meningkat, sehingga taman itu berubah jadi daerah kumuh.

Kemudian datanglah Wali Kota Jokowi untuk mengembalikan fungsi taman kota itu. Satusatunya cara adalah dengan memindahkan para PKL. Tetapi Jokowi tidak datang dengan satu kompi Satpol PP untuk mengusir para PKL berdasarkan perda, melainkan diundangnya para PKL itu ke kediamannya untuk makan makan saja. Ada 52 kali makan-makan mingguan bersama PKL diselenggarakan oleh Jokowi.

Dengan sendirinya lama-lama Jokowi dan stafnya akrab dengan para PKL. Dalam suasana makan-makan yang informal itu semua curhat dan harapan PKL ditampung, sekaligus disiapkan sarana dan prasarana jalan keluarnya. Pada pertemuan-pertemuan terakhir barulah Wali Kota mengumumkan niatnya untuk memindahkan PKL ke Semanggi. Tetapi PKL tidak bisa protes lagi, karena bangunan pasar sudah disiapkan, pihak bank sudah menyiapkan pinjaman dana dengan cicilan hanya beberapa ribu rupiah per hari, perizinan semua digratiskan, bahkan sudah dikeluarkan perda yang mengatur jalur angkot untuk melalui Pasar Klithikan. Singkatnya, para PKL tinggal memboyong barang-barang mereka ke lokasi yang baru.

Pada hari boyongan pun disiapkan kirab yang diawali dengan pembesar-pembesar Keraton Mangkunegaran dan para pejabat Kota Solo (termasuk wali kota) yang menunggang kuda, diiringi oleh barisan pusaka pusaka keraton dan tentara tradisional keraton,gamelan yang bertalu-talu, diakhiri dengan barisan para PKL. Arak-arakan yang terjadi tanggal 26 Juli 2006 ini menjadi peristiwa yang menarik wisatawan domestik dan asing dan tentu saja media massa dalam dan luar negeri.

Gegap gempita. Semua bergembira. Proyek pemindahan PKL Taman Banjarsari hanya awal dari gebrakan Jokowi untuk membangun Kota Solo. Program program Jokowi dan wakilnya (Hadi Rudyatmo) berlanjut terus sehingga Solo menjadi kota wisata yang nyaman dan menyenangkan. Taman Banjarsari sudah kembali ke fungsinya sebagai taman kota yang asri. Seusai kuliah itu saya terus mengikuti kiprah Jokowi, pernah sekali atau dua kali bertemu dengannya dalam acara-acara tertentu di Solo dan kisah pemindahan PKL Banjarsari pernah saya jadikan contoh dalam beberapa tulisan maupun kuliah saya. Kesimpulan saya, Jokowi memang fenomenal. Walaupun tidak pernah mempelajari ilmu sosial, apalagi psikologi (kuliahnya dulu di Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta), Jokowi menerapkan kaidah-kaidah intervensi sosial dengan sangat tepat,hanya berdasarkan akal sehatnya dan komitmennya pada tugas (saya tidak mau menyebut hati nurani , karena istilah itu sudah jadi pasaran, malah murahan).

*** Ketika saya menulis artikel ini, sambil menonton televisi saya melihat Jokowi diwawancara di televisi.Pertanyaan reporter di layar kaca itu, seperti biasa, pasaran juga, “Pada putaran kedua nanti Anda akan berkolaborasi dengan siapa?” Maksud reporter tentu dengan yang mana di antara empat calon gubernur yang sudah gugur. Tetapi jawaban Jokowi di luar dugaan, “Aaah,tidak.Yang terbaik adalah berkolaborasi dengan masyarakat DKI, dengan rakyat Jakarta. Luar biasa!”

Ini adalah jawaban yang cerdas, keluar dari akal sehat. Dalam kesempatan paparan DPR, Jokowi dan pasangannya, Ahok, menyampaikan fakta Banjir Kanal Timur yang dibangun oleh pemerintah pusat, bukan dari dana Pemprov DKI dan bahwa Gubernur Sutiyoso membangun 10 jalur Busway, tetapi Gubernur Foke hanya bisa menambah satu jalur saja. Maka Jokowi-Ahok akan memprioritaskan angkutan umum, termasuk meneruskan pembangunan monorel.

Selain itu Jokowi-Ahok merencanakan Kartu Sehat (berobat gratis) dan Kartu Pintar (sekolah gratis) untuk warga tidak mampu. Yang perlu diperhatikan di sini bukan janji pelayanan kesehatan dan pendidikan gratisnya (ini merupakan janji semua calon gubernur di mana pun, tidak hanya di Jakarta), tetapi cara dia memberi nama kepada dua pelayanan itu.Dengan menggunakan istilah kartu, setiap warga yang kurang mampu nantinya akan mengantongi dua kartu (sehat dan cerdas) yang bisa dibawa ke mana-mana dan bisa digunakan sewaktu-waktu (tidak usah minta surat ke RT atau lurah dulu, dan sebagainya). Jokowi tidak menjanjikan membangun rumah sakit atau memberi fasilitas kepada sekolah sekolah (seperti bantuan operasional sekolah alias BOS yang bukan boss), melainkan menjanjikan kartu buat setiap warga yang memerlukan. Maka jelas sasarannya adalah hati warga DKI sebagai perorangan yang sudah penuh unek-unek. Suatu pemecahan yang benar-benar cerdas, yang keluar dari akal sehat. Masyarakat Jakarta tidak semuanya cerdas, apalagi berpendidikan, terlebihpendidikan tinggi.Tetapi rakyat yang paling jelata pun bisa membedakan antara akal sehat dan akalakalan. Berpuluh tahun bangsa kita terlatih untuk akal-akalan (menggunakan akal untuk sesuatu yang tidak masuk akal).

Di zaman Soeharto dana reboisasi diakali, sehingga hutan hutan malah makin gundul. Perjalanan dinas dua hari diakali sehingga jadi lima hari, sehingga sisa dana perjalanan dan akomodasi bisa masuk kantong sendiri. Di zaman sekarang ada akalakalan proyek Hambalang, ada Gayus yang mengakali pajak dan sebagainya. Masyarakat yang sudah capai dengan akalakalan ini langsung melihat peluang pada diri Jokowi yang berakal sehat.
Jokowi akan berhasil sebagai gubernur DKI,bukan karena dia manusia ber-okol (berotot) yang didukung oleh partai besar atau birokrasi atau militer (seperti Hosni Mubarak, Khadafi,atau Saddam Husein), melainkan karena dia didukung oleh rakyat Jakarta. Insya Allah, dengan rahmat Nya, Jokowi akan bergeser dari Solo-1 menjadi Jakarta-1 dan kemudian Indonesia 1″

SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

 — with Yulia Yusman and 2 others.

 

Photo: Kesaksian Guru Besar UI Sarlito Wirawan, Tentang Jokowi.<br /><br /><br /><br /><br />
July 1, 2014 at 8:54am</p><br /><br /><br /><br />
<p>"Setiap hari saya bekerja di Jakarta, tetapi saya warga Banten, karena KTP saya berlamat di Ciputat. Jadi saya tidak punya hak pilih saat Pilkada DKI. Saya juga bukan simpatisan, apalagi anggota parpol mana pun, termasuk PDIP.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Saya juga bukan kerabat atau famili dari Jokowi,walaupun istri saya keturunan Solo.Jadi buat saya tidak penting siapa yang akan jadi Gubernur DKI, asal bukan Sarlito. Namun, saya kenal Jokowi. Bukan berteman sejak kecil (masa balita sampai ABG saya di Tegal, jauh dari Solo), tetapi pertama kali tahu dari mahasiswa saya, namanya Okky Asokawati (dulu peragawati, sekarang anggota DPR dari Fraksi PPP).</p><br /><br /><br /><br />
<p>Waktu dia praktik dalam kuliah S-2 Psikologi UI, dia dan timnya mengambil Solo sebagai objek studi dan dia berkenalan dengan Jokowi. Kemudian Okky dan timnya tentu membuat laporan buat suhunya. Setelah saya membaca laporannya, saya berkesimpulan bahwa Jokowi bukan wali kota biasa. Mungkin banget dia manusia fenomenal (maksud saya: unik, langka). Karena itu saya minta Okky mengundang Jokowi ke kampus untuk memberi kuliah kepada mahasiswa saya (kalau tidak salah ada 23 mahasiswa di kelas saya).</p><br /><br /><br /><br />
<p>Maka pada hari yang ditentukan Jokowi datang ke Kampus UI, Depok. Langsung dari Solo dan seusai kuliah juga langsung pulang ke Solo. Naik taksi. Okky menjemputnya di depan gedung fakultas,karena takut tidak ada yang mengantar beliau ke lantai atas, karena memang penampilannya tidak bonafid (maksud saya: tidak tampak seperti seorang pejabat sekelas Solo-1), sehingga mungkin sekali dia akan dicuekin satpam.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Saya pun hampir hampir salah, karena tidak bisa membedakan mana yang Jokowi dan mana yang ajudan. Untung ada Okky, jadi tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. Kemudian kuliah pun berlangsung, dilanjutkan dengan diskusi, selama hampir tiga jam. Materi kuliahnya adalah tentang proses pemindahan PKL (pedagang kaki lima) dari Taman Banjarsari (dulu: Balapan) ke Pasar Klithikan, Notoharjo, Semanggi. Kisahnya sangat kondang dan banyak yang sudah mengetahuinya.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Tetapi buat yang belum tahu, bisa disampaikan bahwa Taman Banjarsari dulunya taman terbuka, asri, elite, tempat warga Solo berekreasi dengan keluarga mereka. Tetapi sejak krisis moneter tempat itu dijadikan ajang usaha oleh PKL yang jumlahnya makin lama makin meningkat, sehingga taman itu berubah jadi daerah kumuh.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Kemudian datanglah Wali Kota Jokowi untuk mengembalikan fungsi taman kota itu. Satusatunya cara adalah dengan memindahkan para PKL. Tetapi Jokowi tidak datang dengan satu kompi Satpol PP untuk mengusir para PKL berdasarkan perda, melainkan diundangnya para PKL itu ke kediamannya untuk makan makan saja. Ada 52 kali makan-makan mingguan bersama PKL diselenggarakan oleh Jokowi.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Dengan sendirinya lama-lama Jokowi dan stafnya akrab dengan para PKL. Dalam suasana makan-makan yang informal itu semua curhat dan harapan PKL ditampung, sekaligus disiapkan sarana dan prasarana jalan keluarnya. Pada pertemuan-pertemuan terakhir barulah Wali Kota mengumumkan niatnya untuk memindahkan PKL ke Semanggi. Tetapi PKL tidak bisa protes lagi, karena bangunan pasar sudah disiapkan, pihak bank sudah menyiapkan pinjaman dana dengan cicilan hanya beberapa ribu rupiah per hari, perizinan semua digratiskan, bahkan sudah dikeluarkan perda yang mengatur jalur angkot untuk melalui Pasar Klithikan. Singkatnya, para PKL tinggal memboyong barang-barang mereka ke lokasi yang baru.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Pada hari boyongan pun disiapkan kirab yang diawali dengan pembesar-pembesar Keraton Mangkunegaran dan para pejabat Kota Solo (termasuk wali kota) yang menunggang kuda, diiringi oleh barisan pusaka pusaka keraton dan tentara tradisional keraton,gamelan yang bertalu-talu, diakhiri dengan barisan para PKL. Arak-arakan yang terjadi tanggal 26 Juli 2006 ini menjadi peristiwa yang menarik wisatawan domestik dan asing dan tentu saja media massa dalam dan luar negeri.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Gegap gempita. Semua bergembira. Proyek pemindahan PKL Taman Banjarsari hanya awal dari gebrakan Jokowi untuk membangun Kota Solo. Program program Jokowi dan wakilnya (Hadi Rudyatmo) berlanjut terus sehingga Solo menjadi kota wisata yang nyaman dan menyenangkan. Taman Banjarsari sudah kembali ke fungsinya sebagai taman kota yang asri. Seusai kuliah itu saya terus mengikuti kiprah Jokowi, pernah sekali atau dua kali bertemu dengannya dalam acara-acara tertentu di Solo dan kisah pemindahan PKL Banjarsari pernah saya jadikan contoh dalam beberapa tulisan maupun kuliah saya. Kesimpulan saya, Jokowi memang fenomenal. Walaupun tidak pernah mempelajari ilmu sosial, apalagi psikologi (kuliahnya dulu di Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta), Jokowi menerapkan kaidah-kaidah intervensi sosial dengan sangat tepat,hanya berdasarkan akal sehatnya dan komitmennya pada tugas (saya tidak mau menyebut hati nurani , karena istilah itu sudah jadi pasaran, malah murahan).</p><br /><br /><br /><br />
<p>*** Ketika saya menulis artikel ini, sambil menonton televisi saya melihat Jokowi diwawancara di televisi.Pertanyaan reporter di layar kaca itu, seperti biasa, pasaran juga, "Pada putaran kedua nanti Anda akan berkolaborasi dengan siapa?" Maksud reporter tentu dengan yang mana di antara empat calon gubernur yang sudah gugur. Tetapi jawaban Jokowi di luar dugaan, "Aaah,tidak.Yang terbaik adalah berkolaborasi dengan masyarakat DKI, dengan rakyat Jakarta. Luar biasa!"</p><br /><br /><br /><br />
<p>Ini adalah jawaban yang cerdas, keluar dari akal sehat. Dalam kesempatan paparan DPR, Jokowi dan pasangannya, Ahok, menyampaikan fakta Banjir Kanal Timur yang dibangun oleh pemerintah pusat, bukan dari dana Pemprov DKI dan bahwa Gubernur Sutiyoso membangun 10 jalur Busway, tetapi Gubernur Foke hanya bisa menambah satu jalur saja. Maka Jokowi-Ahok akan memprioritaskan angkutan umum, termasuk meneruskan pembangunan monorel.</p><br /><br /><br /><br />
<p>Selain itu Jokowi-Ahok merencanakan Kartu Sehat (berobat gratis) dan Kartu Pintar (sekolah gratis) untuk warga tidak mampu. Yang perlu diperhatikan di sini bukan janji pelayanan kesehatan dan pendidikan gratisnya (ini merupakan janji semua calon gubernur di mana pun, tidak hanya di Jakarta), tetapi cara dia memberi nama kepada dua pelayanan itu.Dengan menggunakan istilah kartu, setiap warga yang kurang mampu nantinya akan mengantongi dua kartu (sehat dan cerdas) yang bisa dibawa ke mana-mana dan bisa digunakan sewaktu-waktu (tidak usah minta surat ke RT atau lurah dulu, dan sebagainya). Jokowi tidak menjanjikan membangun rumah sakit atau memberi fasilitas kepada sekolah sekolah (seperti bantuan operasional sekolah alias BOS yang bukan boss), melainkan menjanjikan kartu buat setiap warga yang memerlukan. Maka jelas sasarannya adalah hati warga DKI sebagai perorangan yang sudah penuh unek-unek. Suatu pemecahan yang benar-benar cerdas, yang keluar dari akal sehat. Masyarakat Jakarta tidak semuanya cerdas, apalagi berpendidikan, terlebihpendidikan tinggi.Tetapi rakyat yang paling jelata pun bisa membedakan antara akal sehat dan akalakalan. Berpuluh tahun bangsa kita terlatih untuk akal-akalan (menggunakan akal untuk sesuatu yang tidak masuk akal).</p><br /><br /><br /><br />
<p>Di zaman Soeharto dana reboisasi diakali, sehingga hutan hutan malah makin gundul. Perjalanan dinas dua hari diakali sehingga jadi lima hari, sehingga sisa dana perjalanan dan akomodasi bisa masuk kantong sendiri. Di zaman sekarang ada akalakalan proyek Hambalang, ada Gayus yang mengakali pajak dan sebagainya. Masyarakat yang sudah capai dengan akalakalan ini langsung melihat peluang pada diri Jokowi yang berakal sehat.<br /><br /><br /><br /><br />
Jokowi akan berhasil sebagai gubernur DKI,bukan karena dia manusia ber-okol (berotot) yang didukung oleh partai besar atau birokrasi atau militer (seperti Hosni Mubarak, Khadafi,atau Saddam Husein), melainkan karena dia didukung oleh rakyat Jakarta. Insya Allah, dengan rahmat Nya, Jokowi akan bergeser dari Solo-1 menjadi Jakarta-1 dan kemudian Indonesia 1"</p><br /><br /><br /><br />
<p>SARLITO WIRAWAN SARWONO<br /><br /><br /><br /><br />
Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia” width=”400″ height=”314″ /></div>
</div>
<p> </p><br />  <a rel=

GORESAN CINTAKU UNTUK JOKOWI

$
0
0
GORESAN CINTAKU UNTUK JOKOWI</p>
<p>BUNG Joko Widodo yang baik. Hari-hari kampanye akan segera usai. Orang-orang akan segera mencoblos. Entah apakah mereka akan memilihmu ataukah tidak, yang pasti semua orang telah punya pilihan. Izinkanlah aku mengemukakan sesuatu yang mungkin tak berkenan bagimu. Mungkin tak membahagiakanmu. Namun bukankah kebenaran harus terus ditajamkan demi menebas belukar ketidaktahuan?</p>
<p>Beberapa minggu silam, engkau mengejutkan diriku di acara debat calon presiden. Dengan bahasa yang terbata-bata dan retorika yang tak menggetarkan itu, engkau berbicara tentang satu hal yang terus terngiang-ngiang dalam benakku. Engkau berkata:</p>
<p>“Saya berdiri di sini karena saya bertemu ibu Heli tukang cuci dari Manado Sulawesi Utara; saya bertemu dengan Pak Abdullah nelayan dari Belawan di Sumatera Utara; dan saat saya ke Banyumas, saya bertemu Ibu Saptinah buruh tani yang setiap hari bekerja di sawah; dan saya juga bertemu Pak Asep seorang guru di Jawa Barat; dan jutaan orang yang ada di negara ini yang menitipkan pesan, menitipkan harapan-harapan kepada kami untuk membangun sebuah ekonomi yang lebih baik.”</p>
<p>Kalimatmu itu disampaikan dalam ekspresi yang datar. Bagi sebagian orang mungkin tak menarik. Namun bagiku, kalimat itu laksana embun penyubur nasionalisme yang lama kutanam di dasar hatiku. Mereka yang namanya kau sebut itu adalah para warga biasa yang kalimatnya bergema di panggung sekelas debat calon presiden. Ada banyak pemimpin dan calon pemimpin di negara kita. Semuanya menyebut kata rakyat sebagai jargon kampanye. Namun tak satupun yang menyebutkan rakyat mana yang sedang dibahas. Pantas saja jika bersemi dugaan bahwa rakyat yang dimaksudkan itu adalah para anggota keluarga serta kerabat yang kelak akan menikmai kucuran proyek dari sang pejabat.</p>
<p>Dirimu beda. Dirimu membuatku merinding. Dirimu menyebut nama beberapa orang dari mereka. Suara mereka yang sayup-sayup itu tiba-tiba bergaung di seluruh penjuru Nusantara. Nama-nama dari mereka yang menempati lapis-lapis masyarakat biasa itu tak lagi disederhanakan hanya dengan menyebut kata ‘rakyat.’ Mereka mendapat panggung besar untuk didengarkan oleh seluruh rakyat. Mereka telah menitipkan harapan untuk Indonesia yang lebih baik.</p>
<p>Tahukah kau bahwa kalimat itu mengingatkanku pada legenda aktivis pergerakan bernama Soe Hok Gie yang meninggal pada pendakian di Gunung Semeru tahun 1973. Gie adalah anak muda yang senantiasa dibakar oleh bara perlawanan pada rezim yang korup dan menindas. Namanya harum di segala zaman, dan terus menjadi embun inspirasi bagi para pejuang rakyat.</p>
<p>Di harian Kompas tertanggal 16 Juli 1969, Gie menuliskan satu kekesalan pada rezim Soeharto yang kian berjarak dengan rakyat. Dalam opini berjudul Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang, Gie menulis dengan kalimat yang laksana serupa petir bagi penguasa di masa itu. Ia mencatat:</p>
<p>“Dengan perkataan lain, diperlukan suatu mobilisasi sosial. Komunikasi antara penguasa dengan masyarakat luas. Dengan si Badu kuli di Semarang, dengan si Tini guru di Sumedang, dengan Sersan Siregar di Tapanuli, dengan Rumambi pengusaha di Minahasa atau A Pion agen Lotto harian di Glodok. Agar mereka merasa, bahwa cita-cita besar yang dimiliki oleh lapisan atas pemerintah juga adalah cita-cita mereka. Dan mereka diinspirasikan untuk bekerja keras dan berkorban demi cita-cita besar itu. Tanpa partisipasi sosial dan mobilisasi sosial, cita-cita besar itu akan mati kering.”</p>
<p>BUNG Joko Widodo yang baik. Sungguh ajaib. Engkau dan Gie yang terpisah oleh waktu dibasahi oleh rasa sejarah yang sama. Sejak negeri kita merdeka, suara rakyat hanya menjadi alat legitimasi dari pemerintah berkuasa. Para pemimpin kita tak punya cara untuk merangkum semua suara itu lalu membawanya menjadi kegelisahan bersama. Mereka membangun istana, tembok-tembok kukuh yang membuat semua orang tak bisa menjangkaunya. Mereka membangun sebuah mahligai mewah yang dilengkapi peternakan kuda senilai miliaran rupiah. Dan di balik mahligai itu, mereka terus-menerus menebar impian tentang negeri yang hebat serta gaji yang akan naik tinggi-tinggi.</p>
<p>Engkau menyebut metode mengunjungi rakyat itu sebagai blusukan. Tapi mereka menyebutnya sebagai pencitraan. Dirimu jangan berkecil hati. Mereka terbiasa nyaman. Mereka tak paham bahwa ikhtiar mendengarkan suara rakyat itu laksana sebuah perjalanan panjang yang penuh onak dan duri. Demi mendengar suara-suara lirih itu kita mesti berkelahi dan mengalahkan keangkuhan serta ego yang menganggap diri lebih tahu dan lebih hebat dari mereka yang di akar rumput itu. Demi menemukan mutiara hikmah di padang tempat rakyat bermukim itu, kita mesti bersabar dan melangkahkan kaki di tengah belukar dan duri-duri. Perjalanan itu memang melelahkan, namun selalu ada inspirasi yang bisa diformulasikan untuk menyusun satu kebijakan yang baik bagi sesama.</p>
<p>Kepada mereka yang menuduhmu itu, aku kerap berkata, mungkinkah sebuah pencitraan dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun sejak menjadi walikota hingga menjadi gubernur? Mungkinkah pencitraan itu bisa mengecoh berbagai lembaga independen dan bergengsi, termasuk lembaga asing, untuk membanjiri dirimu dengan penghargaan atas prestasi yang kau torehkan? Bisakah lembaga-lembaga itu diajak kongkalikong demi sekadar pencitraanmu?</p>
<p>Kepada mereka kukatakan bahwa bos perusahaan penghasil lumpur justru setiap hari memasang wajahnya di tivinya sendiri selama bertahun-tahun. Bapak pemelihara kuda itu justru telah beriklan selama bertahun-tahun, di saat dirimu bekerja dan berbuat banyak. Di negeri yang pemimpinnya hanya bisa duduk diam dan berpidato, sosok sepertimu menjadi unik di mata media yang rajin mengikutimu bak semut mengikuti gula. Kalaupun dirimu melakukan program pencitraan, betapa hebatnya pencitraan itu sebab bisa membuat 90 persen lebih warga Solo tetap memilihmu di ajang pilkada, serta memikat warga Jakarta untuk mempercayaimu sebagai gubernur mereka.</p>
<p>Mereka yang membencimu telah menebar banyak pasukan di dunia maya. Mereka menguasai media, lalu mengubahnya sebagai corong besar untuk membahas segala cela pada dirimu. Mereka saling bersahut-sahutan ketika ada berita negatif tentangmu. Tiba-tiba saja mereka menjadi sejarawan yang hanya membaca berbagai link dari blog anonim. Tiba-tiba saja mereka menjadi lebih paham dari semua penegak hukum, dan memastikan bahwa engkau adalah seorang korup, sebagaimana anggota barisan pesaingmu.</p>
<p>Bapak Joko Widodo yang baik. Bisakah kita bicara tentang rasa kebangsaan ketika banyak anak bangsa justru menjadi penebar fitnah dan kampanye hitam? Bisakah kita duduk bersama dan bercerita tentang mimpi-mimpi bangsa kita di saat banyak orang melakukan opeasi ala intelijen demi memburuk-burukkan dirimu agar orang tak memilihmu?</p>
<p>Zaman kita memang kian berubah. Dahulu, Bung Karno dan Bung Sjahrir, dua sosok hebat bangsa ini, seringkali berseteru dan bersaing. Tapi mereka tak pernah saling senyum saat berhadapan, lalu menikam di belakang layar. Malah, ketika pengikut Sjahrir menculik Bung karno lalu dibawa ke Rengasdengklok, Sjahrir amatlah murka. Ia berkata bahwa sesengit apapun perdebatannya dengan Bung Karno, tetap saja dirinya tak akan pernah bisa menggantikan sosok Bung Karno yang dicintai bangsa Indonesia dengan sepenuh hati. Sjahrir tak mau memburukkan Bung karno, bahkan di tengah situasi yang menguntungkan dirinya.</p>
<p>Sebagaimana para founding fathers kita, dirimu tak sempurna dan penuh celah. Dirimu masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus dirampungkan. Pada titik tertentu, kritik mereka bisa dibenarkan. Namun adalah keliru jika memosisikanmu sebagaimana Aladin yang bisa menyelesaikan semua persoalan dengan hanya mengusap lampu wasiat. Negeri ini sedang membutuhkanmu. Sikap egois yang mematok langkahmu di lingkup kecil adalah sikap yang tidak tepat. Cara-cara penyelesaian masalah yang unik dan humanis itu amatlah dibutuhkan pada level negara.</p>
<p>Rakyat sedang memberimu tantangan untuk mengabdi pada level yang lebih tinggi. Pendekatan yang humanis dalam menghadapi rakyat tengah dibutuhkan bangsa ini. Penguasaanmu akan detil-detil semakin membuatku yakin bahwa dirimu bisa mengemban harapan untuk zaman yang lebih baik. Maka saatnya kita buat sejarah. Menang dan kalah menjadi tak penting sepanjang kedaulatan rakyat terus jantung utama setiap pembangunan. Kita akan berjuang hingga senyum mengembang di wajah masing-masing, tak peduli apapun hasilnya.</p>
<p>***</p>
<p>BUNG Joko Widodo yang baik. Kemarin, kukunjungi pusara Soe Hok Gie di Taman Prasasti, Jakarta. Kupandangi pusara yang di atasnya terdapat tulisan “No body Knows My Sorrow, No Body Knows My Trouble”. Gie memang mati muda. Ia membawa bara perlawanan itu dan mewariskannya dalam setiap kata yang pernah dituliskannya. Ia menginspirasi semua demonstran muda melalui buku Catatan Harian Seorang Demonstran yang pernah dituliskannya.</p>
<p>Di pusara Soe Hok Gie, aku merasakan satu semangat besar anak-anak muda yang hendak menebas semua penguasa korup. Mereka dibakar semangat Gie, dan digarami oleh samudera kata-kata yang dituliskannya. Jika kelak kamu benar-benar terpilih, wujudkanlah harapan banyak orang-orang biasa yang kau temui di sepanjang perjalananmu.</p>
<p>Jika kamu gagal mewujudkannya, maka para pengagum Gie itu akan siap menjadi martir. Mereka akan mengirimkan surat getir ketika kamu memilih jadi diktator ataupun menyimpang dari cita-cita indah yang pernah dianyam bersama-sama. Sejalan dengan para petani, pekebun, tukang becak, dan buruh, anak-anak muda itu akan menjadi kerikil yang berdiam dalam sepatumu. Mereka akan menjadi rumput-rumput liar yang kelak meruntuhkan semua tembok kekuasaan yang represif.</p>
<p>Dan kehidupan akan terus diisi dengan kisah heroik tentang mereka yang menginginkan perubahan, dan mereka yang menjaga jalannya perubahan.” width=”470″ height=”280″ /></p></div>
</div>
</div>
<div class=

GORESAN CINTAKU UNTUK JOKOWI

BUNG Joko Widodo yang baik. Hari-hari kampanye akan segera usai. Orang-orang akan segera mencoblos. Entah apakah mereka akan memilihmu ataukah tidak, yang pasti semua orang telah punya pilihan. Izinkanlah aku mengemukakan sesuatu yang mungkin tak berkenan bagimu. Mungkin tak membahagiakanmu. Namun bukankah kebenaran harus terus ditajamkan demi menebas belukar ketidaktahuan?

Beberapa minggu silam, engkau mengejutkan diriku di acara debat calon presiden. Dengan bahasa yang terbata-bata dan retorika yang tak menggetarkan itu, engkau berbicara tentang satu hal yang terus terngiang-ngiang dalam benakku. Engkau berkata:

“Saya berdiri di sini karena saya bertemu ibu Heli tukang cuci dari Manado Sulawesi Utara; saya bertemu dengan Pak Abdullah nelayan dari Belawan di Sumatera Utara; dan saat saya ke Banyumas, saya bertemu Ibu Saptinah buruh tani yang setiap hari bekerja di sawah; dan saya juga bertemu Pak Asep seorang guru di Jawa Barat; dan jutaan orang yang ada di negara ini yang menitipkan pesan, menitipkan harapan-harapan kepada kami untuk membangun sebuah ekonomi yang lebih baik.”

Kalimatmu itu disampaikan dalam ekspresi yang datar. Bagi sebagian orang mungkin tak menarik. Namun bagiku, kalimat itu laksana embun penyubur nasionalisme yang lama kutanam di dasar hatiku. Mereka yang namanya kau sebut itu adalah para warga biasa yang kalimatnya bergema di panggung sekelas debat calon presiden. Ada banyak pemimpin dan calon pemimpin di negara kita. Semuanya menyebut kata rakyat sebagai jargon kampanye. Namun tak satupun yang menyebutkan rakyat mana yang sedang dibahas. Pantas saja jika bersemi dugaan bahwa rakyat yang dimaksudkan itu adalah para anggota keluarga serta kerabat yang kelak akan menikmai kucuran proyek dari sang pejabat.

Dirimu beda. Dirimu membuatku merinding. Dirimu menyebut nama beberapa orang dari mereka. Suara mereka yang sayup-sayup itu tiba-tiba bergaung di seluruh penjuru Nusantara. Nama-nama dari mereka yang menempati lapis-lapis masyarakat biasa itu tak lagi disederhanakan hanya dengan menyebut kata ‘rakyat.’ Mereka mendapat panggung besar untuk didengarkan oleh seluruh rakyat. Mereka telah menitipkan harapan untuk Indonesia yang lebih baik.

Tahukah kau bahwa kalimat itu mengingatkanku pada legenda aktivis pergerakan bernama Soe Hok Gie yang meninggal pada pendakian di Gunung Semeru tahun 1973. Gie adalah anak muda yang senantiasa dibakar oleh bara perlawanan pada rezim yang korup dan menindas. Namanya harum di segala zaman, dan terus menjadi embun inspirasi bagi para pejuang rakyat.

Di harian Kompas tertanggal 16 Juli 1969, Gie menuliskan satu kekesalan pada rezim Soeharto yang kian berjarak dengan rakyat. Dalam opini berjudul Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang, Gie menulis dengan kalimat yang laksana serupa petir bagi penguasa di masa itu. Ia mencatat:

“Dengan perkataan lain, diperlukan suatu mobilisasi sosial. Komunikasi antara penguasa dengan masyarakat luas. Dengan si Badu kuli di Semarang, dengan si Tini guru di Sumedang, dengan Sersan Siregar di Tapanuli, dengan Rumambi pengusaha di Minahasa atau A Pion agen Lotto harian di Glodok. Agar mereka merasa, bahwa cita-cita besar yang dimiliki oleh lapisan atas pemerintah juga adalah cita-cita mereka. Dan mereka diinspirasikan untuk bekerja keras dan berkorban demi cita-cita besar itu. Tanpa partisipasi sosial dan mobilisasi sosial, cita-cita besar itu akan mati kering.”

BUNG Joko Widodo yang baik. Sungguh ajaib. Engkau dan Gie yang terpisah oleh waktu dibasahi oleh rasa sejarah yang sama. Sejak negeri kita merdeka, suara rakyat hanya menjadi alat legitimasi dari pemerintah berkuasa. Para pemimpin kita tak punya cara untuk merangkum semua suara itu lalu membawanya menjadi kegelisahan bersama. Mereka membangun istana, tembok-tembok kukuh yang membuat semua orang tak bisa menjangkaunya. Mereka membangun sebuah mahligai mewah yang dilengkapi peternakan kuda senilai miliaran rupiah. Dan di balik mahligai itu, mereka terus-menerus menebar impian tentang negeri yang hebat serta gaji yang akan naik tinggi-tinggi.

Engkau menyebut metode mengunjungi rakyat itu sebagai blusukan. Tapi mereka menyebutnya sebagai pencitraan. Dirimu jangan berkecil hati. Mereka terbiasa nyaman. Mereka tak paham bahwa ikhtiar mendengarkan suara rakyat itu laksana sebuah perjalanan panjang yang penuh onak dan duri. Demi mendengar suara-suara lirih itu kita mesti berkelahi dan mengalahkan keangkuhan serta ego yang menganggap diri lebih tahu dan lebih hebat dari mereka yang di akar rumput itu. Demi menemukan mutiara hikmah di padang tempat rakyat bermukim itu, kita mesti bersabar dan melangkahkan kaki di tengah belukar dan duri-duri. Perjalanan itu memang melelahkan, namun selalu ada inspirasi yang bisa diformulasikan untuk menyusun satu kebijakan yang baik bagi sesama.

Kepada mereka yang menuduhmu itu, aku kerap berkata, mungkinkah sebuah pencitraan dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun sejak menjadi walikota hingga menjadi gubernur? Mungkinkah pencitraan itu bisa mengecoh berbagai lembaga independen dan bergengsi, termasuk lembaga asing, untuk membanjiri dirimu dengan penghargaan atas prestasi yang kau torehkan? Bisakah lembaga-lembaga itu diajak kongkalikong demi sekadar pencitraanmu?

Kepada mereka kukatakan bahwa bos perusahaan penghasil lumpur justru setiap hari memasang wajahnya di tivinya sendiri selama bertahun-tahun. Bapak pemelihara kuda itu justru telah beriklan selama bertahun-tahun, di saat dirimu bekerja dan berbuat banyak. Di negeri yang pemimpinnya hanya bisa duduk diam dan berpidato, sosok sepertimu menjadi unik di mata media yang rajin mengikutimu bak semut mengikuti gula. Kalaupun dirimu melakukan program pencitraan, betapa hebatnya pencitraan itu sebab bisa membuat 90 persen lebih warga Solo tetap memilihmu di ajang pilkada, serta memikat warga Jakarta untuk mempercayaimu sebagai gubernur mereka.

Mereka yang membencimu telah menebar banyak pasukan di dunia maya. Mereka menguasai media, lalu mengubahnya sebagai corong besar untuk membahas segala cela pada dirimu. Mereka saling bersahut-sahutan ketika ada berita negatif tentangmu. Tiba-tiba saja mereka menjadi sejarawan yang hanya membaca berbagai link dari blog anonim. Tiba-tiba saja mereka menjadi lebih paham dari semua penegak hukum, dan memastikan bahwa engkau adalah seorang korup, sebagaimana anggota barisan pesaingmu.

Bapak Joko Widodo yang baik. Bisakah kita bicara tentang rasa kebangsaan ketika banyak anak bangsa justru menjadi penebar fitnah dan kampanye hitam? Bisakah kita duduk bersama dan bercerita tentang mimpi-mimpi bangsa kita di saat banyak orang melakukan opeasi ala intelijen demi memburuk-burukkan dirimu agar orang tak memilihmu?

Zaman kita memang kian berubah. Dahulu, Bung Karno dan Bung Sjahrir, dua sosok hebat bangsa ini, seringkali berseteru dan bersaing. Tapi mereka tak pernah saling senyum saat berhadapan, lalu menikam di belakang layar. Malah, ketika pengikut Sjahrir menculik Bung karno lalu dibawa ke Rengasdengklok, Sjahrir amatlah murka. Ia berkata bahwa sesengit apapun perdebatannya dengan Bung Karno, tetap saja dirinya tak akan pernah bisa menggantikan sosok Bung Karno yang dicintai bangsa Indonesia dengan sepenuh hati. Sjahrir tak mau memburukkan Bung karno, bahkan di tengah situasi yang menguntungkan dirinya.

Sebagaimana para founding fathers kita, dirimu tak sempurna dan penuh celah. Dirimu masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus dirampungkan. Pada titik tertentu, kritik mereka bisa dibenarkan. Namun adalah keliru jika memosisikanmu sebagaimana Aladin yang bisa menyelesaikan semua persoalan dengan hanya mengusap lampu wasiat. Negeri ini sedang membutuhkanmu. Sikap egois yang mematok langkahmu di lingkup kecil adalah sikap yang tidak tepat. Cara-cara penyelesaian masalah yang unik dan humanis itu amatlah dibutuhkan pada level negara.

Rakyat sedang memberimu tantangan untuk mengabdi pada level yang lebih tinggi. Pendekatan yang humanis dalam menghadapi rakyat tengah dibutuhkan bangsa ini. Penguasaanmu akan detil-detil semakin membuatku yakin bahwa dirimu bisa mengemban harapan untuk zaman yang lebih baik. Maka saatnya kita buat sejarah. Menang dan kalah menjadi tak penting sepanjang kedaulatan rakyat terus jantung utama setiap pembangunan. Kita akan berjuang hingga senyum mengembang di wajah masing-masing, tak peduli apapun hasilnya.

***

BUNG Joko Widodo yang baik. Kemarin, kukunjungi pusara Soe Hok Gie di Taman Prasasti, Jakarta. Kupandangi pusara yang di atasnya terdapat tulisan “No body Knows My Sorrow, No Body Knows My Trouble”. Gie memang mati muda. Ia membawa bara perlawanan itu dan mewariskannya dalam setiap kata yang pernah dituliskannya. Ia menginspirasi semua demonstran muda melalui buku Catatan Harian Seorang Demonstran yang pernah dituliskannya.

Di pusara Soe Hok Gie, aku merasakan satu semangat besar anak-anak muda yang hendak menebas semua penguasa korup. Mereka dibakar semangat Gie, dan digarami oleh samudera kata-kata yang dituliskannya. Jika kelak kamu benar-benar terpilih, wujudkanlah harapan banyak orang-orang biasa yang kau temui di sepanjang perjalananmu.

Jika kamu gagal mewujudkannya, maka para pengagum Gie itu akan siap menjadi martir. Mereka akan mengirimkan surat getir ketika kamu memilih jadi diktator ataupun menyimpang dari cita-cita indah yang pernah dianyam bersama-sama. Sejalan dengan para petani, pekebun, tukang becak, dan buruh, anak-anak muda itu akan menjadi kerikil yang berdiam dalam sepatumu. Mereka akan menjadi rumput-rumput liar yang kelak meruntuhkan semua tembok kekuasaan yang represif.

Dan kehidupan akan terus diisi dengan kisah heroik tentang mereka yang menginginkan perubahan, dan mereka yang menjaga jalannya perubahan

 


Article 2

$
0
0

Agenda 2025 Yahudi Illuminati/Freemasonary Melenyapkan Indonesia dan Pakistan

zionism

1. Freemasory & Iluminati (1-12)

Hancurkan musuh-musuhnya lewat ● FINANCE ● FOODS ● FILMS ● FASHION ● FANTASY ● FAITH ● FRICTION ● Complicting Ideologis ● Industri Senjata / Jadwal Perang ● Lembaga Keuangan Internasional ● Industri Logistik / Rekonstruksi Pasca Perang ● Industri / Pengebaran Candu / Narkoba / Miras / Rokok ●.

2. Zionisme Internasional (13-21)

● Ciptakan / kendalikan The New World Order ● Ciptakan Revolusi Nasional & Perang Dunia ● Rekayasa Separatisme dan desintegrasi ● Ciptakan Revolusi Sex (Freesex, Homosex, Lesbian) ● Rusak Keluarga (Domestic Partner, Aborsi) ● Buat Aliran – Aliran Sesat ● Buat / Kuasai Senjata Biologis / Virus / Senjata Cuaca / Pemusnah Massal ● Promosikan Sekularisme sebagai agama baru / masa depan ● Promosikan Multi Partai.

3. Trio Imperialisme(30-38)

● Ciptakan Program-Program kemiskinan ● Kuasai Aset Ekonominya ● Kuasai Kekayaan Alamnya ● Kuasai Aset Informasinya ● Kuasai Sistem Politik dan Hukumnya ● Hancurkan Moral Rakyatnya ● Hancurkan Militansi Rakyatnya ● Suburkan Deislamisasi (Sekularisme, Liberalisme, & Pluralisme) ● Ramaikan Pemurtadan ●.

4. Skenario Separatisme dan Agressi dari luar(39-46)

● Terpurukkan Ekonomi Nasionalnya ● Pertentangan Elit Politiknya ● Suburkan Komflik Horizontalnya ● Pecah – belah Militernya ● Datangkan “ Pasukan Perdamaian “ ● Buat serbuan Paradigmatis ● Buat Sel-Sel Perlawanan ● Invasi Militer Setelah Diciptakan Status Legal Intervention ●.

6. Penyebaran Pemikiran Sesat(47-50)

● Karl Marx (Materialisme dan Atheisme) ● Sigmund Freud (Instinc Sexual & Libido) ● Nietze (Mencari Kepuasan Meski Dengan Kekejian) ● Charles Darwin (Manusia dari Monyet, yang Kuat harus mengalahkan yang lemah).

7. Penghancuran Dunia Abad 21(51-57)

● Membom Mekkah (Usul Senator Tancredo) ● Hapuskan Indonesia 2025 ● Hapuskan Pakistan 2025 ● Hapuskan beberapa Negara Afrika 2025 ● Perang Dunia ke III (Untuk Membuat Israel Raya) ● The New Crusade ● Membunuh 3 Miliyar penduduk yang tidak disukai dengan kelaparan & penyakit th 2050 (proyek 2025 diusulkan oleh W. Cohen).

KEYAKINAN AGAMA YAHUDI ZIONISME ISRAEL / INTERNASIONAL

1. Yahudi yang kita ketahui berkitab suci Taurat (yang diturunkan kepada Nabi Musa as ) tetapi sekarang tidak dipakai sama sekali bahkan sengaja dihilangkan. Taurat yang sekarang telah diubah-ubah oleh Samhandren (Pendeta Yahudi Tertinggi). Sehingga ayat-ayatnya banyak yang baru.

2. Kitab yang sekarang jadi pegangan adalah Talmud ; bukan berasal dari “ langit “ tetapi sebuah kitab yang berasal dari para penyihir di zaman Mesir Kuno yang menganut ajaran Kaballah (menyembah setan Lucifer).

3. Para Yahudi Zionis Israel yang mempropagandakan sekularisme berpedoman pada hasil rapat “ Pinisepuh Zion “ di Basel ( Swiss ) tahun 1897 yang bernama “ The Protocols Of The The Meetings Of The Elders Of Zion “, yang ingin mendirikan Negara Israel → Israel Raya dan menguasai Dunia baru lewat tipu daya Demokratisasi, HAM, Privatization, Free Trade, Globalization, dan lain-lain.

4. beberapa ayat Talmud itu antara lain :

talmud

  • Seorang robbi telah mendebat Tuhan dan mengalahkannya. Tuhanpun mengakui bahwa rabbi itu memenangkan debat tersebut ( Baba Mezian 59b)
  • Inilah kata-kata dari Rabbi Simeon Ben Yohai, “ Bahkan orang kafir (Gentiles) yang paling baik pun seluruhnya harus dibunuh” (Perjanjian Kecil, Soferin 15)
  • Hanya orang-orang Yahudi yang manusia, sedangkan orang-orang non Yahudi (Gentiles atau Goyim) bukanlah manusia melainkan binatang, (Kerithuth 6b).
  • Orang-orang non-Yahudi diciptakan sebagai budak untuk melayani orang-orang Yahudi (Midraseh Talpioth 225).
  • Angka kelahiran orang-orang non-Yahudi harus ditekan sekecil mungkin ( Zohar II,4b).
  • Tuhan tidak pernah marah kepada orang Yahudi melainkan hanya marah kepada orang-orang non-Yahudi (Talmud IV/8/4a).
  • Orang Yahudi harus selalu berusaha untuk menipu orang-orang non-Yahudi (Zohar,168a).
  • Wahai anakku, hendaklah engkau lebih mengutamakan fatwa dari ahli kitab Talmud dari pada ayat-ayat Taurat (Talmud Erubin 2a).

trio-bush

Bush_dynasty_chart

DINASTI BUSH ADALAH YAHUDI TULEN

A. 1. Judul diatas adalah pernyataan, Texe Marrs, Investigator Independen (Amerika/Kristen) yang dituangkan dalam artikel “George Bush, Zionis Double agent, American Traitor “ sebagai kesimpulan 6 tahun penelitiannya. -http://www.texemarrs.com/022006/george_w_bush_zionist_double_agent.htm

2. Marrs meneliti dokumen “ Jewish Welfare Board “ Dimana ditemukan Dinasti Bush yang Yahudi tersebut sejak dulu ada yang jadi perwira-perwira tentara Amerika Mayor George Bush, Mayor Louis Bush, Mayor Solomon Bush, dan dinasti tersebut sejak dulu sangat dekat dengan pusaran elit Zionis Amerika dan elit lingkaran pusat kelompok Iluminati Amerika.  (Catatan 1 = tentang teroris-teroris Zionis dan Iluminati lihat kompilasi penulis yang terakhir “ Mewaspadai 64 Teroris Yahudi Gelobal “ yang telah dibagikan.)

3. Marrs menegaskan “ Berkedok sebagai Penganut Kristen Fundamentalis, Bush sebenarnya bekerja sepenuhnya untuk kepentingan Zionis Yahudi.

4. Marrs tahun 1990 bertemu dengan intelektual Marxis Bouris Lunacef yang penelitiannya, menemukan bahwa Karl Marx, Lenin dan Khruschev adalah Yahudi tapi resikonya dia dihukum karena “menyatakan Yahudi pada orang Yahudi “ adalah tindak kriminal meski ia adalah pejabat tinggi Kremlin

5. Marrs juga menemukan fakta bahwa Hillary Clinton, Madeline Albright, senator John Kery, Jendral Wisley Clark adalah Yahudi dan ia menyatakan “ Bush merupakan agent demi kepentingan Zionis Israel, yang disusupkan kedalam Amerika Serikat”. George Bush sangat gemar memperajari Talmud seperti juga Karl Marx, Lenin, Trotsky, dan Stalin. ( Catatan 2 : Soal kitab setan Talmud lihat juga kompilasi penulis 64 Teroris Yahudi Global Hal 272)

6. Presiden George Bush setelah dilantik terus mengangkat tokoh-tokoh/pendeta Yahudi Radikal sebagai pejabat Gedung Putih, Komisaris Federal Reserve, Pengawas Keuangan Pentagon dan lain-lain.).(catatan 3 : Pantaskh Pimpinan Israel pernah mengatakan : “ We The Jews control America and they know it “ dan prestasi lobi Yahudi ( AIPAC ) di Washington tiap tahun mangahasilkan 100 kebijakan yang menguntungkan Yahudi dan Israel.).

AIPAC lihat videonya dihttp://www.indowebster.com/Lobby_AIPAC_Israel_to_USA.html

B. 1. A1,2,3,4,5,6, dikutip dari artikel dalam Era Muslim Digest, edisi koleksi 4 hal 78/83 dan dalam halaman lain ada photo pelantikan president Bush menggunakan Masonic Byble dan mengangkat tangannya meniru pelantikan pemuja setan Anton La Vey dan ada foto Bush yang sembahyang di Yerussalem pakai peci pendeta Yahudi sambil memegang dinding bangunan.

2. Dalam edisi-edisi koleksi 4 tersebut banyak artikel-artikel menarik, antara lain:

a. Pembunuhan presiden Lincoln dan Kennedy yang direkayasa Yahudi

b. Distori sejarah Islam Amerika (sebelum penemuan pertama Columbus Amerika didatangi laksamana Muslim China yaitu Cheng Ho 7 tahun sebelum kedatangan Columbus dan 5 abad sebelumnya didatangi Kahskhas Ibnu Saeed Ibnu Asad dan mengapa di Amerika nama-nama tempat berbau Arab/Islam dan juga mengapa para pendatang barat Kristen banyak membunuhi orang-orang Indian di Amerika Utara Tengah, Selatan, Sekarang banyak buku-buku yang menulis tentang kedatangn muslim Afrika ke Amerika sebelum Columbus.

c. Dalam Zionologi ada peta Israel Raya yang meliputi Irak, Kuwait, Turki Selatan, Sirya, Libanon, Saudi Utara ( Madinah ), dan Mesir Timur yang programnya dibuat sebelum PD I dan Israel Raya adalah target dari PD III yang kita sudah baca telah di umumkan Bush waktu menghadapi nuklir Iran.

d. Artikel “ The New Yerusalem = Secret History of America “ ada peringatan Benyamin Franklin Ford tentang bahaya Yahudi di Amerika. Ada tulisan bahwa Amerika adalah Israel Besar dan Israel adalah Amerika Kecil yang kepentingannya sama.

e. Dalam American Influence sebagai dampak ancaman Bush “ ikut kami atau ikut teroris “ dunia dibagi 3 : Sekutu AS, dibawah pengaruh AS, dan anti AS. Sedih melihatnya karena Negara-negara manyoritas Islam masuk sekutu AS, Indonesia masuk dibawah pengaruh AS bersama Libanon dan Yordania sedang yang anti AS adalah Iran, Sirya, dan Palestina (kecuali kubu Abbas meski didukung 20 % rakyatnya).

KUTIPAN KE 2

Program Zionis Yahudi

Indonesia dan Pakistan tahun 2025 sudah harus dilenyapkan

william-cohen
William Cohen
Sebuah Dokumen rahasia dengan klarisifikasi not for distrubehasil kajian strategis sebuah tim dibawah pimpinan mantan menteri pertahanan Amerika Serikat, William Cohen yang merupakan Gembong Zionis, bocor ke luar dokumen yang dibuat pada tahun 2000 dikaji 15 ahli disipin politik.

Hasil kajian tersebut diberi judul “Asia tahun 2025 dan pengaruhnya terhadap keamanan nasional Amerika Serikat abad 21″ menskenariokan bahwa Indonesia dan Pakistan harus dilenyapkan selambat-lambatnya antara tahun 2010 – 2025.

Bagaimanapun juga harus diakui proses pelenyapan Indonesia semakin terasa, baca lagi buku Hebrew Must Handle the World (Yahudi Harus Menguasai Dunia)

Zionis Amerika Serikat tidak akan memakai jalan kekerasan terlebih dahulu, langkah pertama mereka akan memasukan pengaruhnya ke Indonesia lewat media Televisi,cara pergaulan, mode dll. bila cara tersebut tidak berhasil!? maka mereka akan memakai langkah kekerasan/perang.

Diawali tahun 2006 dengan banyaknya pengaruh Yahudi yang masuk ke Indonesia seperti krisis multi dimensi, dimulai dari bermunculannya kekuatan separatis serta terorganisirnya perusakan moral generasi muda dengan narkoba, minuman keras dll. yang diback up! kaum kapitalis barat sampai akhirnya kita tidak sanggup lagi untuk mempertahankan negara kita yang bernama Indonesia ini.

KUTIPAN ke 3

Strategi Yahudi Menguasai Dunia

Pada tahun 1773 diadakan pertemuan 13 keluarga Yahudi terkemuka dunia di Judenstrasse, Bavaria. Pada pertemuan tersebut dirancang bagaimana mereka harus menguasai dunia. Mereka membuat 25 butir rancangan yang kemudian kurang lebih 124 tahun kemudian rancangan tersebut disahkan menjadi agenda bersama Gerakan Zionis Internasional pimpinan Theodore Hertzl dalam Kongres Zionis Internasional I di Basel, Swiss dengan nama Protocol of Zions.

 the-protocols-of-the-learned-elders-of-zion

Berikut ini 25 butir rancangan tersebut :

(Baca juga: “Pembuktian Terbaik dan Lengkap Mengenai Protokol Zion“)

  1. Manusia itu lebih banyak cenderung pada kejahatan ketimbang kebaikan. Sebab itu, konspirasi harus mewujudkan “hasrat alami” manusia ini. Hal ini akan diterapkan pada sistem pemerintahan dan kekuasaan. Bukankah pada masa dahulu manusia tunduk kepada penguasa tanpa pernah mengeluarkan kritik atau pembangkangan ? Undang-undang hanyalah alat untuk membatasi rakyat, bukan untuk penguasa.
  2. Kebebasan politik sesungguhnya utopis. Walau begitu, konspirasi harus mempropagandakan ini ke tengah rakyat. Jika hal itu sudah dimakan rakyat, maka rakyat akan mudah membuang segala hak dan fasilitas yang telah didapatinya dari penguasa guna memperjuangkan idealisme yang utopis itu. Saat itulah, konspirasi bisa merebut hak dan fasilitas mereka.
  3. Kekuatan uang selalu bisa mengalahkan segalanya. Agama yang bisa menguasai rakyat pada masa dahulu, kini mulai digulung dengan kampanye kebebasan. Namun rakyat banyak tidak tahu harus mengapa dengan kebebasan itu. Inilah tugas konspirasi untuk mengisinya demi kekuasaan, dengan kekuatan uang.
  4. Demi tujuan, segala cara boleh dilakukan. Siapapun yang ingin berkuasa, dia mestilah meraihnya dengan licik, pemerasan, dan pembalikkan opini. Keluhuran budi, etika, moral, dan sebagainya adalah keburukan dalam dunia politik.
  5. Kebenaran adalah kekuatan konspirasi. Dengan kekuatan, segala yang diinginkan akan terlaksana.
  6. Bagi kita yang hendak menaklukkan dunia secara finansial, kita harus tetap menjaga kerahasiaan. Suatu saat, kekuatan konspirasi akan mencapai tingkat dimana tidak ada kekuatan lain yang berani untuk menghalangi atau menghancurkannya. Setiap kecerobohan dari dalam, akan merusak program besar yang telah ditulis berabad-abad oleh para pendeta Yahudi.
  7. Simpati rakyat harus diambil agar mereka bisa dimanfaatkan untuk kepentingan konspirasi. Massa rakyat adalah buta dan mudah dipengaruhi. Penguasa tidak akan bisa menggiring rakyat kecuali ia berlaku sebagai diktator. Inilah satu-satunya jalan.
  8. Beberapa sarana untuk mencapai tujuan adalah :minuman keras, narkotika, pengrusakan moral, seks, suap, dan sebagainya. Hal ini sangat penting untuk menghancurkan norma-norma kesusilaan masyarakat. Untuk itu, konspirasi harus merekrut dan mendidik tenaga-tenaga muda untuk dijadikan sarana pencapaian tujuan tersebut.
  9. Konspirasi akan menyalakan api peperangan secara terselubung. Bermain di kedua belah pihak. Sehingga konspirasi akan memperoleh manfaat besar tetapi tetap aman dan efisien. Rakyat akan dilanda kecemasan yang mempermudah bagi konspirasi untuk menguasainya.
  10. Konspirasi sengaja memproduksi slogan agar menjadi “tuhan” bagi rakyat. Dengan slogan itu, pemerintahan aristokrasi keturunan yang tengah berkuasa di Perancis akan diruntuhkan. Setelah itu, konspirasi akan membangun sebuah pemerintahan yang sesuai dengan konspirasi.
  11. Perang yang dikobarkan konspirasi secara diam-diam harus menyeret negara tetangga agar mereka terjebak utang. Konspirasi akan memetik keuntungan dari kondisi ini.
  12. Pemerintahan bentukan konspirasi harus diisi dengan orang-orang yang tunduk pada keinginan konspirasi. Tidak bisa lain.
  13. Konspirasi akan menguasai opini dunia. Satu orang Yahudi yang menjadi korban sama dengan 1000 orang non-Yahudi (gentiles/ghoyim) sebagai balasannya.
  14. Setelah konspirasi berhasil merebut kekuasaan, maka pemerintahan baru yang dibentuk harus membasmi rezim lama yang dianggap bertanggung-jawab atas terjadinya kekacauan ini. Hal tersebut akan menjadikan rakyat begitu percaya kepada konspirasi bahwa pemerintahan yang baru adalah pelindung dan pahlawan dimata mereka.
  15. Krisis ekonomi yang dibuat akan memberikan hak baru kepada konspirasi, yaitu hak pemilik modal dalam penentuan arah kekuasaan. Ini akan menjadi kekuasaan turunan.
  16. Penyusupan ke dalam jantung freemason Eropa agar bisa mengefektifkan dan mengefisienkannya. Pembentukan bluemasonry akan bisa dijadikan alat bagi konspirasi untuk memuluskan tujuannya.
  17. Konspirasi akan membakar semangat rakyat hingga ke tingkat histeria. Saat itu rakyat akan menghancurkan apa saja yang kita mau, termasuk hukum dan agama. Kita akan mudah menghapus nama Tuhan dan susila dari kehidupan.
  18. Perang jalanan harus ditimbulkan untuk membuat massa panik. Konspirasi akan mengambil keuntungan dari situasi ini.
  19. Konspirasi akan menciptakan diplomat-diplomatnya untuk berfungsi setelah perang usai. Mereka akan menjadi penasehat politik, ekonomi, dan keuangan bagi rezim baru dan juga ditingkat internasional. Dengan demikian, konspirasi bisa semakin menancapkan kukunya dari balik layar.
  20. Monopoli kegiatan perekonomian raksasa dengan dukungan modal yang dimiliki konspirasi adalah syarat utama untuk menundukkan dunia, hingga tidak ada satu kekuatan non-Yahudi pun yang bisa menandinginya. Dengan demikian, kita bisa bebas memainkan krisis suatu negeri.
  21. Penguasaan kekayaan alam negeri-negeri non-Yahudi mutlak dilakukan.
  22. Meletuskan perang dan memberinya-menjual-senjata yang paling mematikan akan mempercepat penguasaan suatu negeri, yang tinggal dihuni oleh fakir miskin.
  23. Satu rezim terselubung akan muncul setelah konspirasi berhasil melaksanakan programnya.
  24. Pemuda harus dikuasai dan menjadikan mereka sebagai budak-budak konspirasi dengan jalan penyebarluasan dekadensi moral dan paham yang menyesatkan.
  25. Konspirasi akan menyalahgunakan undang-undang yang ada pada suatu negara hingga negara tersebut hancur karenanya

Sumber: Agenda 2025 Yahudi

http://www.akhirzaman.info/yahudi/zionis/2146-agenda-2025-yahudi-illuminatifreemasonary-melenyapkan-indonesia-dan-pakistan.html


RUMI’S MYSTICAL DOCTRINE And Its Relevance to Indonesia Context

$
0
0

by Prof.Dr. Mulyadhi Kartanegara

 

 I. Introduction

Although Rumi has been viewed by scholars as “the most eminent poet whom Persia has produced,” or as “the greatest mystical Poet of Islam,”[1] and whom, according to Prof. Annemarie Schimmel, “no other Islamic poet and mystic is known so well known in the West as he is,” [2]still, in Indonesia, Rumi has not been so well known. Only very recently when some Indonesian scholars translated several Rumi’s original works, especially The Mathnavi and Fihi Ma Fihi,[3] and some secondary works on Rumi by western scholars, such as William Chittick and Annemarie Schimmel,[4] did Indonesians know Rumi better.[5] As for Indonesian scholars, only few scholars who wrote specifically on Rumi and his teachings,[6] and some of them translated Rumi’s works into Indonesian, mostly not directly from Persian.

As one who has once studied Rumi’s teachings, I came to realize that many of his mystical doctrines and practical wisdoms taken from real life are very important for Indonesian people to read and understand and very relevant to the current situation of Indonesia facing many ethnico-religious and political problems. It is for these reasons that I am pleased, here, to present in this seminar some relevant topics: (1) the rehabilitation of Sufi’s image, which has been so negatively conceptualized by some of Indonesians as bid’ah (heresy), escapism and a self-centered search for salvation; (2) The reformulation of the concept of taqdir, which has been so long viewed fatalistically as predestination. Here we expect Rumi to offer a progressive concept of taqdir more suitable to the challenges of the modern ages. (3) the transcendent Unity of religions, needed not only by Indonesians, facing many ethnical and religious problems, but also, I believed, by world society, searching for real solutions for current global crisis and problems, in view to building a globally peaceful and harmonious society. In order to know who Rumi was, however, I would like to present, before these very interesting topics, a glimpse of his life and works.

 

II. Biographical Sketch

 

Rumi’s original name was Jalal al-Din Muhammad, but he was later known as Mawlana Jalal al-Din Rumi, or simply Rumi. He was born in Balkh on September 30, 1207 AD.[7] He belonged to a royal family, since his grandfather Jalal al-Din al-Khatibi married ‘Ala’ al-Din Muhammad Khwarizimshah’s daughter, princess Malika-i Jehan, who gave birth to Muhammad Baha’’ al-Din Walad, Rumi’s father. Baha’’ al-Din Walad was of great learning and piety, an eloquent preacher and distinguished professor. He was a Sunni scholar, who held orthodox opinions and exhibited anti-rationalist tendencies.

In about 1219, Baha’’, together with his family and few friends, quietly quit his native city, Balkh, to make the pilgrimage to Mecca, knowing that he would probably never return. The first city he visited was Nishapur, where, according to a legend, he met Farid al-Din ‘Attar, a noted poet, who presented him with a copy of his Asrar-nameh (the Book of Mysteries). He told Baha’’ that his son, Rumi, would soon be kindling fire in all the world’s lovers of God.[8] He was also met by the great Shaykh Shihab al-Din ‘Umar Suhrawardi, another eminent Sufi there.

From Nishapur he went to Baghdad, where he received the tragic news of the siege of Balkh, of its capture, and of its complete destruction by Jengis Khan. In 1220 Baha’; went from Baghdad to Mecca, performed the pilgrimage there, proceeded then to Damascus, and to Malatiya (Melitene). From Malatiya he went to Arzinjan (Armenia), and then to Zaranda, about forty miles south-east of Konya, where he and his family lived for four years. It was here, in city of Zaranda, that Rumi married a young lady by the name of Jawhar Khatun, a daughter of Lala Sharaf al-Din of Samarqand in 1225.

Now, the city where they lived at that time belonged to the Seljuk dynasty. The reigning ruler, ‘Ala’ al-Din Kayqubad, invited Baha’’ and his family to Konya, the capital city of Western Seljuk empire, immediately after having haerd of Baha’’ al-Din’s arrival at Zaranda. Baha’’ al-Din accepted the invitation, and moved with his family to Konya in 1228. Baha’’ was to be an eminent theologian and a great teacher and preacher, and later he became the spiritual guide for the Sultan. It was for this reasons that he was conferred an honorific title “Sultan al-‘Ulama’” (the King of Men of Knowledge).[9] Baha’’ al-Din died here in 1230.

After the death of Baha’’, Rumi took over his father’s position as the advisor to the scholars of Konya and to his father’s disciples. Impressed by his profundity of his knowledge and vastness of his experience, Badr al-Din Gohartash, the Sultan’s teacher, built for Rumi a college called Madrasa-i Khudavandgar, where he taught and preached to the people.[10]

Along with his former teacher, Burhan al-Din’s advice, Rumi continued his education at Aleppo, where he stayed at the Madrasa Halawiya and received further instructions from Kamal al-Din b. Al-‘Adim. From Aleppo Rumi moved to Damascus and lived at the Madrasa Maqdisiya. Here, he met such great figures as Muhy al-Din Ibn ‘Arabi, Sa’ad al-Din al-Hamawi, ‘Uthman al-Rumi, Awhad al-Din al-Kirmani, and Sadr al-Din al-Qunyawi.

In 1236 Rumi came back to Konya and continued to teach at Madrasa-i Khudavandgar, with about 400 students attended his lectures, which in turn won a special attention from kings, prices as well as waziers. For many years Rumi had enjoyed his fame and occupied a highly respected position as a leader and scholar of Islamic sciences in Konya up to the moment when the most decisive event ib his entire life took place: his encounter with a mysterious dervish, Shams al-Din of Tabriz, who came to the city as an old man of sixty in 1244.[11]

So powerful was the enchantment of Sham’s personality that Rumi chose to give up his activities as a professional teacher and preacher, only in order to strengthen his bond with the dervish. For some time they were inseparable. This relationship, however, brought about the anger and envy of Rumi’s disciples, who were entirely cut off from their master’s guidance and conversation. As a result, they assailed “the intruder” with abuse and threats of violence. This unfriendly atmosphere was soon sensed by Shams, and so he left Rumi, after having lived in Konya for sixteen months, for Damascus.

This separation was so painful for Rumi and afflicted his feeling so deeply, so that he sent his son, Sultan Walad to beg Shams to come back to Konya. Rumi was so happy and these two men became so deeply absorbed in their profound conversations so that Rumi’s love for his master increased so dramatically. So what had happened before was to repeat and Rumi’s disciples became angry and jealous again and hated Shams so much. This dangerous situation caused Shams to take refuge one more time in Damascus. But this time he never came back. Rumi finally decided to go to Damascus himself to find his beloved master. He never made it, and finally came back to Konya without Shams.

Soon after he came back from Damascus, Rumi established his own order (tariqa), called Mawlawi, a name taken from the honorary address “Mawlana” (Our Master) which was given by his disciples to their beloved Master, Rumi. Nevertheless, not long after, Rumi’s health deteriorated and he soon became ill. On Sunday December 16, 1273 Mawlana Rumi finally passed away as the sun went down at Konya.[12]

Rumi left for us some great and beautiful works behind. Among them are: (1) Maqalat-i Shams-i Tabriz (The Discourse od Shams of Tabriz), containing some mystical dialogues between Shams al-Din as the master and Rumi as the disciple. (2) Divan-i Shams-i Tabriz (The Mystical Odes of Shams of Tabriz), consisting of about 2,500 mystical odes; (3) his Magnus opus Mathnawi Ma’nawi (The Mathnawi of Jalal al-Din Rumi), a long poem of about 25.000 rhyming couplets, divided into six books; (4) Fihi ma fihi (Discourse of Rumi), the only prose works consists of Rumi’s sayings as taken down by his eldest son, Sultan walad, and finally (5) The Ruba’iyyat (The Quatrains of Rumi), comprising about 1, 600 autentic quatrains. It contains Rumi’s ideas on different themes in Sufism, suach as resignation, selflessness, love, faith, reason and union.[13]

III. The Rehabilitation of Sufi’s Image

 

Sufism (tasawwuf), as the spiritual aspect of Islam, has long been suspected and misunderstood as fist of all, bid’ah (heresy), which undermines Islam from within and misleads the Umma from the true understanding of Islam. Of course, they have based their suspect on historical information, involving many mysterious utterances (shatahat) from the Sufis. In the past, we have known the most well-known case of al-Hallaj, who was executed for his very famous mystical utterance Ana al-Haqq (I am the creative Truth), meaning I am God.[14] In Indonesia the similar case has also taken place in the case of Shaykh Siti Jenar (the fourteen century mysterious mystic), who was also executed by the council of Walis (Dewan Wali) for the very same reason: his utterance “It is He (God) who becomes one with my existence.”[15] Most of Indonesian modernists, especially those who follow Wahabi movement, do not like Sufism and consider it as a misled doctrine (bid’a) and therefore should be avoided.

Second, tasawwuf has also been misunderstood as escapism, meaning having tendency to “escape from the realities of life by absorbing his mind in entertainment or fantasy.”[16] Of course, this attribution has been related with Sufi’s doctrine of zuhd (asceticism), a doctrine that teaches us not to be so tightly attached to this worldly life (dunya),  so that its allurement does not make us forget God, the Creator. While zuhd can be conceived also as a mental act, the critics of Sufism considered it to be the retreat from the physical world, that is from social life, and to live fully a hermit life. Until now, this kind of criticism is still persistent.

The third negative image of Sufism is that tasawwuf is identified with the poverty (faqr) and backwardness. Of course we know, in tasawwuf, the concept of poverty (faqr). But this does not necessarily means material poverty.  Instead, this should be understood as the awareness that we, human beings, are poor and needy (faqir); and only God who is self-sufficient (al-Ghani). Still, the critics of Sufism take only its literal meaning and associated Sufism with poverty, backwardness and weakness.

Now, after some reflections of Rumi’s teachings, I fully aware that Rumi can very well rehabilitate, through his teachings and practical wisdoms, the distorted image of Sufism. First, to the accusation that tasawwuf is a bid’ah, Rumi says that tasawwuf is not bid’ah, but indeed the essence of Islamic religion. It is the spirituality of Islam. The Mawlana refers to his Mathnawi as “the roots of the roots of the roots of (Islamic) religion in respect of its unveiling the masteries of attainment to the truth.” As the roots or essence of religion, Sufism cannot naturally be viewed clearly by all people, and hence their misunderstandings thereof. One of the most commonly misunderstood is Abu Mansur al-Hallaj’s utterance, “Ana al-Haqq” (I am the creative Truth) or I am God. This utterance has been for so long misunderstood as Sufi’s arrogance, since he claims to be God or like God. Rumi, however, has his own interpretation of the utterance, and instead of being arrogant, this utterance, according to him, is the expression of humbleness from the Sufi side. In his Fihi ma Fihi, Rumi states:

This is what is signified by the words Ana al-Haqq, “I am God.” People imagine that this is a presumptuous claim, whereas it is really a presumptuous claim to say Ana al-‘Abd, “I am the slave of God.” And Ana al-Haqq, “I am God” is an expression of great humility.” The man who says Ana al-‘Abd, I am the slave of God” affirms two existence, his own and God’s,” but he who says Ana al-Haqq, “I am God” has made himself non-existent and has given himself up and says “I am God”, i.e. I am naught, He is All; There is no being but God’s.” This is the extreme of humility and self-abasement.[17]

It is clear from this, that only God who has the real existence, not the others, nor even the slave of God.

As for another accusation that Sufism is equal to escapism, this can be easily countered bay the fact, that Rumi, a great Sufi of any age, has lived from the very early of his life in a royal palace at Konya. Far from being a hermit, Rumi lived a normal life, having wives and children. This fact by itself indicates that living a hermit life is not at all an absolute condition to be a Sufi. Rumi, who lived his whole life in a palace, still became a great and famous Sufi. Rumi by this example was actually a very effective critic of the so-called negative Sufism.

Not only did the practical wisdom of his life, but also his calls for “self-assertion” in a social life became a very powerful answer to the all negative impressions of Sufism. According to him, the ultimate bliss cannot be achieved only by one’s self. It should be a common enterprise by working hard in the real lives. Of course, we should admit that most of Sufis did not have a good fortune like Rumi, even some of them lived a very humble life. But also the facts that many Sufi lived a normal life and actively participated both in social-cultural, and even political life.

As for the accusation and negative image of Sufism as identical with weakness and poverty, Rumi can be a very effective answer to it. The fact that he lived in a royal palace, can become a counter-argument for that negative image of Sufism that Sufi is not identical with the feebleness, helplessness or poverty. Except for spiritual poverty – in its positive sense—Rumi did posses everything he needed, goods, family, knowledge, dignity etc. With all these he could show us that Sufi is not identical with poverty, feebleness or some other likeness. Instead, he show us the otherwise. The same negative image of Sufi as a weak man, can also be countered by the imagery Rumi has built for the Sufi. Rumi identifies the real Sufi—the man of God or the perfect man,–with the universal intellect (al-‘aql al-kulli) and the manager or administrator (mudabbir) of the world.[18] To emphasize his spiritual strength, Rumi compares him with a hunting lion, on whom all other beasts depend. Rumi calls the perfect Sufi the qutb (the pole). Describing this Rumi says:

The Qutb is (like) the lion: and it is his business to hunt: (all) the rest (namely), these people (of the world), eat his leavings.

So far as you can, endeavor to satisfy the Qutb, so that you may gain strength and hunt the wild beast.[19]

In other place Rumi also used another imagery for the real Sufi as a falcon, a very strong bird,  “which she alone knows the return way to the King.” The imageries he used to describe the real Sufi show us clearly, that a Sufi should be a strong, durable and mighty man, not the opposites such as described by those who misunderstood it. The teachings of Rumi and his practical wisdoms can rehabilitate very well the ill-defined image of Sufism and restore it to its proper and lofty place.

IV. Rumi’s Concept of Taqdir and Fee Choice

 

Beside the image of Sufism that he rehabilitated, Rumi could also reform the concept of taqdir—together with tawakkul and free will—and updated it, so that it became more suitable to the challanges and demands of the ages. In Indonesia, and I believe, also in many other Muslim countries, taqdir has been commonly conceived as predestination or predeterminism, a view that “everything in this world—including human’s acts—has been predetermined by God. Therefore, our situation is just like that of a puppet, which is entirely depended on the puppet player’s will. In fact, we just undergo everything that has been programmed by God. Only because we do not know what is going to happen in the future that we should strive for our life, but in reality everything has been predetermined by Him. This is, of course, a fatalistic concept of taqdir and human acts, in which there is no place whatsoever for human freedom. People usually say, “we just make a plan, but it is God who really determines the result.”[20]

If we carefully read Rumi’s works, however, we will soon find out that it is this very concept of taqdir that Rumi criticized very decisively, and as an alternative, he offered his own concept, a very progressive one, indeed. To reform the concept of taqdir which has bee so long misunderstood, Rumi felt constraint (1) to refine the concept of tawakkul, conceives as a total surrender to God’s will, (2) to prove logically the existence of human free will or free choice, and (3) to present his own concept of taqdir as “the law of life.” Let us begin with the first on tawakkul. His concept of tawakkul can be seen quite clearly from one of his poem:

 

The party of beasts said to the Lion: There is no work better than truth in God (tawakkul): What indeed is dearer to God than resignation?

Often do we flee from affliction (only) to (fall into) afflictions: recoil from the snake (only) to (meet) the dragon…

‘Yes,’ said the Lion: But the Lord of his servants set a ladder before our feet.’

Step by step we must climb towards the roof: to be necessirians here is (to indulge) foolish hopes.

You have feet: why do you make yourself out to be lame? You have hands: why do you conceal the fingers (whereby you grasp)?

When the master put a spade in the slave’s hand, his object was made known to him (the slave) without (a word falling from his) tongue…[21]

From here, we could see clearly that according to Mawlana Rumi human beings cannot just be idle, without doing anything. Man should, instead, work hard and keep doing something with all the facilities God has given to him, such as hands, feet, senses, reason, mind and heart. Rumi says, “If you are putting trust in God, put trust (in Him) with your work: saw (the seed), then rely upon the Almighty.”[22]

Second effort that Rumi tries to do, in order to reform Sufism, is to prove logically that human beings do have the freedom of Choice or free will. For Rumi, man is indeed free to make his own choice. If he is not free, how can he say, “tomorrow I will do this or I will do that? Why should he feel guilty after having committed an evil act? In addition, if everything was predetermined from beginning to end why does the entire Qur’an full of commands and prohibitions?[23]

Rumi looks upon free will positively as the endeavor to thank God for His beneficence. Frre will is indeed the ‘trust” (amana) that God bestowed upon man, with respect of which man is continually put on trial. As the reflection of God’s attributes, man shares His free will to a certain extent. For, “if none but God has the power of choice, why do you become angry with one who committed an offense (against you)? For Rumi, the anger within us is but a clear demonstration of the existence of a power of choice in man. He argues that even animals can recognize the freedom of choice in man. “If camel-driver goes on striking a camel, Rumi says, “The camel will attack the striker. The camel’s anger is not (directed) against his stick: Therefore, the camel has got some notion od the power of choice (in man).”

After proving the existence of the power of choice in man, Rumi was to offer a very progressive concept of taqdir. For Rumi taqdir does not mean that the fate of individuals was predetermined, but rather that taqdir is the law of life, which will never change. According Khalifa ‘Abd al-Hakim,

“what is called taqdir, for Rumi, in only another name for the law of life, and obviously no law can be law unless it is free from possibility of change or repeal. It is true, that destiny is immutable, and the law of God cannot be changed. Moreover, the law of God is that if you steal, you and the society you belong shall be exposed to certain consequences: and if you speak the truth, certain beneficial effects will follow. God does not compel anyone to steal, tell lies or speak the truth. Actions proceed from free choice, but their consequences are predetermined.”[24]

With this, Rumi thus able to resolve the problem of taqdir which had troubled the Muslim society, including the people of Indonesia, for very long. He criticize the misleading notion of taqdir held by the Necessitarians (Jabariyya) and substituted for it with a dynamic one.

V. The Transcendent Unity of Religion

The last of Rumi’s idea, which for me is very relevant to the people of Indonesian, facing many ethnic and religious problems, is his conception of the transcendent unity of religion. This idea is very relevant to, and also needed by, a country like Indonesia having so many different ethnicities, cultures, languages, and, above all, religions. Sometimes, this diversity brings about many benefits, but very often also creates many problems and conflicts, such as those happening in several places in Eastern parts of Indonesia, especially in Ambon and in Poso, South Sulawesi.

Like other Sufis, Rumi believes in the transcendent unity of religions and sees that controversies between adherents of religions have occurred because they looked only at the external form of religion and not at its meaning (essence). They were deeply bound with the formal and traditional outlook, which sees other religions in part, and consequently it does not allow a vision of the essential unity of all religions. In his famous story of the elephant in the dark house, Rumi tries to show how narrow-minded people try in vain to describe the essence of their religions.[25]

It is clear, therefore, that as long as we are not able to see the meaning of religion comprehensively and only it narrowly, the disputation will be achieved, according to Rumi, only if we can see the transcendent unity of their ultimate goal. in his Fihi Ma Fihi,  he elaborates further:

I was speaking one day amongst a group of people, and party of non-Muslim was present. In the middle of my address they began to weep and to register emotion and ecstasy.

Someone asked: “what do they understand and what do they know? Only one Muslim in a thousand understands this kind of talk. What did they understand, that they should weep?

The master answered: It is not necessary that they should understand the inner spirit of these words. The root of the matter is the words themselves, and they do understand. After all, every one acknowledge the Oneness of God, that He is the Creator and Provider, that He controls everything, that to Him all thing should return…

Though the ways are various, the goal is one. Do you not see that there are many roads to the Ka’ba? For some the road is from Rum, for some from Syria, for some from Persia, for some from China, for some by sea from India and Yemen. So if you consider the roads, the variety is great and divergence infinite; but when you consider the goal, they are all of one accord and one. The hearts of all are at one upon the Ka’ba. The hearts have one attachment, an ardor and a great love for the Ka’ba, and in that there is no room for contrariety. That attachment is neither infidelity nor faith; that is to say, that attachment is not compound with the various roads which we have mentioned. Once they arrived at the Ka’ba, it is realized that warfare was concerning the road only, and their goal  was one.[26]

In other place, Rumi tries to show how religion differ only on the surface. It is only the matter of naming things, not the essence behind the names. And disputation will end only when we gain a comprehensive picture of them.

Four people were given a piece of money.

The first was a Persian. He said: “’I will buy with this some angur.’

The second was an Arab. He said: ‘No, because I want ‘inab.’

The third was a Turk. He said: ‘I don’t want ‘inab, I want uzum

The fourth was a Greek. He said: ‘I want stafil.’

Because they did not know that lay behind the names of things, these four started to fight. The had information but not knowledge.

One man of wisdom present could have reconciled them all, saying: ‘I can fulfill the needs of all of you, with one and the same piece of money.

If you honestly give your trust, your one coin will become as four; and four at odd will become as one united.’

Such a man would know that each in his own language wanted the same thing, grapes.[27]

It is there the understanding of the essence of one’s religion which is very important, not just its external form of it. And it is by understanding the essence of religions that the conflicts between them could be reduced or even solved.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Notes:

 

 

[1] See William Chittick, The Sufi Doctrine of Rumi: An Introduction (Tehran: Aryamehr University Press, 1974), p. 10.

[2] Annemarie Schimmel at the Conference on Rumi held at the University of California, Los Angeles, April 1987.

[3] The whole Mathnawi has been trnaslated into Indonesia by Anand Krishna, and published by Gramedia, jakarta. While Fihi Ma Fihi was translated from an English version ( Arberry) by Ribut Wahyudi S. Pd with the title “Inilah Apa Yang Sesungguhnya” and published by Risalah Gusti, Surabaya, 2002.

[4] William Chittick book, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi and Annemarie Schimmel’s I am Wind You Are Fire (The Life and Works of Rumi) were already translated into Indonesian.

[5] As Indonesian, I see that Rumi is better known and appreciated. Anand Krishna and his group, for example, has performed Mawlavi “whirling” dance regularly in his own center privately, sometimes the dance performed publicly. Even, our Sheykh Kebir Helminski, the spiritual guide of Mawlawi order has visited Indonesia several time and he will visit Indonesia again regularly. Therefore we can see that Rumi’s influence is getting bigger and deeper.

[6] In 1983 I wrote on Rumi as a BA paper, entitled Berlian dari Negeri Rum, and later published as a book, entitled Renungan Mistik Jalal ad-Din Rumi, by Pustaka Jaya, Jakarta, 1986. And in 1989, I rewrite this work for my master thesis at The University of Chicago entitled The Mystical Reflections of Rumi, now is being prepared by Teraju publisher for publication.

[7] See Afzal Iqbal, Life and Works of Muhammad Jalal-ud-Din Rumi (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1974).

[8] William Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi (Albany: State University of New York, 1983), p. 2.

[9] Ibid., p. 2

[10] ‘Ali Nadwi, Rijal al-Fikr wa’i-Da’wah fi’l-Islam (Damascus: Maktab Dar al-Fath, 1965), p. 256.

[11] See Aflaki, The Legends og the Sufis (Manaqib al-‘Arifin) Adyar, India, Wheaton, Illinois: The Theosophical Publishing House Ltd., 1977), p. 20.

[12] See Aflaki, The Legends of the Sufis, p. 86.

[13] See the Introduction to Rumi, Ruba’iyyat of Jalal al-Din Rumi, selected and translated  by Arberry (London: Emery Walker, Ltd.,, 1949), pp. Xxv-vi.

[14] For the information on the process of al-Hallaj’s execution, see Carl W. Ernst, Words of Ectasy in Sufism (Albany: State University of New York, 1985, pp. 63-72.

[15] As for the execution of Sheykh Siti Jenar, see Abdul Munir Mulkan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa (Yogyakarta: Bentang, 2000), h. 163-182.

[16] See Oxfor American Dictionary, ed. Eugene Ehrlich (New York, Oxford: Oxford University Press, 1980), p. 217.

[17] Nicholson, Rumi Poet and Mystic (New York: Samuel Weiser, 1974), p. 184.

[18] Rumi, The Mathnawi of Jalal al-Din Rumi, vol. V, translated by Nicholson (London: Luzac & Co., Ltd., 1968), p. 141.

[19] Ibid.

[20] This saying is very common, spoken especially when someone did not succeed in achieving his goal.

[21] Rumi, The Mathnawi, vol. I, p. 53.

[22] Ibid.

[23] Rumi, The Mathnawi, vol. V, p. 182.

[24] Khalifa A. Hakim, Iqbal as the Thinker (Lahore: The Institute of Islamic Culture, 1959), p. 166.

[25] For the story of the Elephant in the dark room, see Rumi, The Mathnawi, vol. III, pp. 71-72.

[26] Rumi, The Discourse of Rumi (Fihi Ma Fihi), translated by A.J. Arberry ( (New York: Samuel Weiser, 1977), pp. 108-9

[27]  Idries Shah, The Way of the Sufi (New York: E. P. Dutton and Company, Inc., 1969), p. 103.


SANG HYANG PATANJALA

$
0
0

SANG HYANG PATANJALA

LQ Hendrawan

by LQ Hendrawan on Monday, April 30, 2012 at 12:19pm ·
 Air Yang Menjadi Prinsip Kehidupan Bangsa Indonesia

Bumi Degha 28 April 2012

Sampurasun,

Masyarakat Jawa Barat mengenal istilah Sang Hyang Pantanjala dari keberadaan cerita Sri Maharaja Guru Resi Prabhu Sindu La Hyang (Sang Hyang Tamblegmeneng) sebagai Raja Kendan. Dalam cerita beliau memiliki 5 orang ‘anak’ yang dikenal sebagai “Panca Ku-Ci-Ka” yang terdiri dari :

-. Sang Hyang Nandiswara

-. Sang Hyang Garga

-. Sang Hyang Purusha

-. Sang Hyang Manisri

-. Sang Hyang Patanjala

 

Sesuai dengan cara, pola & gaya penyimpanan data yang dilakukan oleh para leluhur bangsa bentuk “personifikasi” atas Sang Hyang Patanjala kerap-kali dianggap sebagai sosok manusia secara biologis…padahal mungkin saja hal tersebut dikemudian hari menjadi “gelar kehormatan” terhadap seseorang, seperti yang diberikan kepada Sang Tritrusta Ra-Hyang Tarusbawa raja Sunda Sembawa.

 

Patanjala adalah landas pemikiran (konsep) mengenai pengelolaan air yang mucul dari sumber mata-air menuju sungai hingga bermuara di samudra. Hal ini tentu saja berkaitan erat  dengan persoalan 4 inti kehidupan mahluk di bumi (khususnya bagi manusia) : Api, Angin, Air, Tanah.

 

Pemikiran dalam Pikukuh Sunda mengenai “Ibu Agung / Ibu Pertiwi” rupanya bukan hanya slogan, sebab pada kenyataannya ibu / bumi ini benar-benar “hidup” (bernafas, bergerak dan tubuhnya dialiri berbagai unsur), jadi prinsip kerja tubuh bumi mirip dengan raga manusia atau setidaknya; kondisi bumi ditentukan oleh manusia dan juga sebaliknya kondisi manusia ditentukan oleh bumi (jagat alit – jagat agung).

 

Patanjala adalah urat-urat air yang mengaliri raga-tubuh Ibu Agung (bumi), dari hulu ke hilir dan kembali berulang, siklus tersebut telah terjadi sejak milyaran tahun yang lalu. Urat-urat bumi yang mengalir dari puncak-puncak gunung turun membawa berbagai mineral dan sari-pati makanan yang dibutuhkan oleh hewan, tumbuhan serta manusia, hingga kelak melahirkan berbagai “peradaban”.

 

Maka teori yang menyebutkan bahwa seluruh bangsa yang memiliki peradaban adi-luhung berawal dari sungai itu “benar”, seperti : Huang Ho & Yang Tse Kiang, Amazon & Misissipi, Gangga, Nil, Eufrat & Tigris, dsb. Namun demikian tentu semua perkembangan peradaban tersebut harus berlandas dan dipicu oleh ilmu pengetahuan yang luhur (kecerdasan, kebijakan & kebajikan), tanpa hal tersebut mustahil terbangun tatanan peradaban.

 

Patanjala secara mendasar terbagi dalam 3 kewilayahan yang sangat erat berkaitan dengan “gunung & hutannya”;

1. Wilayah Larangan – Hutan Larangan.

2. Wilayah Tutupan – Hutan Tutupan.

3. Wilayah Baladaheun – Hutan Baladaheun / Hutan Olahan (Perkebunan & Pertanian).

 

Ketiga wilayah ini harus dijaga dengan baik (terjaga “kesuciannya”), oleh sebab itu sering disebut sebagai “tanah suci” dan wilayah paling sakral (dikeramatkan) disebut sebagai “kabuyutan”(Wilayah Larangan) yang hanya boleh dimasuki oleh orang tertentu saja (*orang ‘suci’), pun jika terjadi kerusakan secara alami.

 

Maka dari itu setiap wilayah / tanah suci (Hutan Larangan) disebut sebagai Sa-Saka Domasyang ditandai oleh Arca Domas, dan seluruh kesatuan tanah suci disebut Sa-Loka Domas. Sayangnya pengertian istilah dalam suatu kewilayahan tersebut sudah semakin asing terdengar di telinga generasi sekarang sehingga banyak wilayah larangan rusak dan hancur dengan tidak semestinya.

 

Patanjala pada tubuh manusia setara dengan “aliran darah” yang mengalir dari sirah (hulu / kepala) hingga dampal (telapak kaki), tersumbatnya aliran darah karena ‘kotor / rusak’ dsb. tentu mengakibatkan masalah yang tidak diinginkan seperti “stroke, darah tinggi, jantung, kurang gizi, diabetes dll…dsb (*tanya sama dokter). Maka demikian pula hal nya aliran sungai pada tubuh bumi, jika terjadi “kerusakan” boleh jadi dampak yang ditimbulkan mirip dengan keadaan manusia yang bermasalah pada saluran darahnya… (*belum lagi soal mutu air). Karena manusia dan bumi merupakan dua unsur yang tidak terpisahkan maka; rusaknya lingkungan hidup (Tanah & Air) tentu akan menimbulkan dampak terhadap manusianya… dan proses kerusakan (kehancuran) tersebut sedang terjadi saat ini artinya; jika kita tidak segera berbuat sesuatu terhadap lingkung kehidupan maka sama dengan menunggu pemusnahan masal. (*setidaknya dampak itu akan dirasakan oleh generasi yang akan datang / anak-cucu).

 

Seluruh bangsa Indonesia yang senyatanya tinggal di Negeri Tirta Dewata ini selayaknya turut berperan serta dalam menyelaraskan kehidupan bagi Tanah & Air di masing-masing wilayah dan pada bidangnya masing-masing (*Perlu tindakan serentak dan bersama dalam memulihkan lingkungan). Turut menanam pohon, hemat air, menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuat sampah (sampah kimia & plastik) dll, menghormati dan menjaga kabuyutan di masing-masing wilayah, sertamelakukan segala hal yang berguna bagi percepatan pemulihan tanah & air akan sangat membantu bagi kehidupan manusia sekarang dan yang kelak akan datang.

 

Patanjala adalah tubuh kita sendiri dan tubuh kita adalah bagian dari Ibu Agung, dalam Pikukuh Sunda mengatakan :

” Tanda-tanda negara subur makmur gemah ripah loh jinawi adalah jika air sungainya dapat langsung diminum”

” Tanda-tanda kebersihan hati-nurani suatu bangsa terukur dari kejernihan air sungainya”

 

***…air minum yang ada dihadapan kita, yang kita gunakan untuk mandi dan mencuci, air yang telah berjasa memberikan kehidupan kepada raga-tubuh kita sesungguhnya telah berumur jutaan tahun bahkan milyaran tahun… maka sangat wajar jika kita menghormatinya dengan sepenuh hati…

 

Pun Tabe Pun

Mugia Rahayu Sagung Dumadi


TIPU DAYA PAMUNGKAS KOALISI GARUDA MERAH


REVOLUSI MENTAL

$
0
0
REVOLUSI MENTAL

Oleh: Joko Widodo

INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?

Dipimpin bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui proses yang demokratis.

Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis.

Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa ini?

Pemimpin nasional dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.

Izinkan saya melalui tulisan singkat ini menyampaikan pandangan saya menguraikan permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau pembangunan. Untuk itu, pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu, keterbatasan dalam pandangan ini mohon dimaklumi.

Sebatas kelembagaan

Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.

Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar nasional.

Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita membentuk sejumlah komisi independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan otonomi daerah. Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah undang-undang nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu secara berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.

Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.

Korupsi menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas.

Demikian juga sifat intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang dinikmati masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk cepat kaya sehingga menghalalkan segala cara, termasuk pelanggaran hukum.

Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran bangsa.

Perlu revolusi mental

Dalam pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.

Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.

Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.

Kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah ditegakkan di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi.

Semaraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.

Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah pentingnya dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/ bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para ”komprador” Indonesia-nya.

Reformasi 16 tahun tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi. Pemerintah dengan gampang membuka keran impor untuk bahan makanan dan kebutuhan lain. Banyak elite politik kita terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak memikirkan konsekuensi terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia dengan kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan. Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di luar kedua sektor ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor dan impor untuk menggerakkan roda ekonomi.

Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantumembangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.

Dari mana kita mulai ?

Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.

Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional.
Usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri mereka.

Saya sudah memulai gerakan ini ketika memimpin Kota Surakarta dan sejak 2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejumlah teman yang sepaham juga sudah memulai gerakan ini di daerahnya masing-masing. Insya Allah, usaha ini dapat berkembang semakin meluas sehingga nanti benar-benar menjadi sebuah gerakan nasional seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno, memang revolusi belum selesai. Revolusi Mental Indonesia baru saja dimulai.

JOKO WIDODO

 


Mengkaji Gejolak Mesir dari Perspektif Geopolitik Jalur Sutera (Bag-1)

$
0
0
Analisis
10-07-2013
Krisis Politik Mesir
Mengkaji Gejolak Mesir dari Perspektif Geopolitik Jalur Sutera (Bag-1)
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate GFI
Menarik sekali menyimak maraknya telaah ataupun kajian dari berbagai sudut pandang terkait jatuhnya Mohamad Morsi di Mesir. Ada yang menganggap sebagai kegagalan demokrasi, atau menilai masih kuatnya militer dalam sistem pemerintahan Negeri Piramida, atau ternyata Ikhwanul Muslimin (IM) tidak memiliki akar (politik) kuat, dan lain-lain. Bahkan Prof. Rodney Shakespeare menilai karena dominasi rezim Israel yang selama ini mengganggu stabilitas di Timur Tengah.
Mengkaji gejolak Mesir di awal kejatuhan Morsi ibarat membidik target bergerak. Artinya besar  kemungkinan terjadi peristiwa mengejutkan lain berkenaan perkembangan situasi politik yang seringkali turbulent (tiba-tiba) sertaunpredictable. Terdepaknya Morsi dari tampuk kekuasaan yang baru setahun oleh “kudeta” Junta Militer bukanlah faktor berdiri sendiri. Beberapa hal saling terkait dan mempengaruhi. Apakah peristiwa ini kelanjutan Arab Spring yang bersemi setengah hati di Jalur Sutera; ataukah “kudeta” tersebut adalah kemasan lain “US Military Roadmap”-nya Pentagon? Entahlah.Dalam catatan tak ilmiah ini, penulis sengaja menjaga jarak dari gemuruh analisa yang akurasinya niscaya “begerak”. Bahkan konon, kebenaran ilmu pun, atau kecanggihan teori manapun yang telah diprasastikan dalam sejarah suatu bangsa, kualitas kebenarannya masih bisa bergerak seiring tuntutan zaman. Sekali lagi, saya coba berpikir hening sejenak —– menjauh dari gaduh kepentingan, kemudian mengurai gejolak politik di Mesir dari aspek geopolitik sebagai faktor (tunggal) netral dalam kajian. Inilah uraian sederhananya.Tinjauan secara parsial geografis, Mesir itu titik mula menuju Afrika terutama bila ke Afrika Utara sampai ke ujung kawasan yaitu Maroko. Tak boleh dielak, bahwa kelompok negara di jalur tersebut rata-rata kaya minyak, gas bumi serta berbagai limpahan mineral lain kendati mereka cuma penggalan daripada Route Silk atau Jalur Sutera. Dibanding Syria contohnya, kondisi Mesir jelas tidak sama meskipun secara hakiki tak jauh berbeda. Artinya selain geopolitic of pipeline melintas antar negara dan menembus lain benua, (Syria) merupakan “titik simpul”-nya Jalur Sutera. Inilahgeostrategy position yang dianggap takdir oleh kaum akademisi. Ya, geopolitik adalah takdir!

Agaknya di bawah kepemimpinan Bashar al Assad, ia mampu mengubah nasib negara setingkat lebih tinggi menjadi geopolitic leverage sehingga diperebutkan para adidaya dunia. Jangkauan Syria memang lebih luas daripada Mesir. Ia bisa melaju ke Eropa lewat utara melalui Turki, dapat juga membelok ke Afrika terutama Afrika Utara melalui selatan via Mesir, dan lainnya. Inilah “titik simpul” yang dinamaigeopolitic leverage terutama aspek pipeline. Artinya selain leluasa kesana-kemari, yang terpenting yakni fee sekitar $ 5 US/per barel diperoleh pemerintah Bashar al Assad dari setiap negara yang mempunyai kepentingan atas (aliran) minyak dan gas-nya yang melalui pipa di Syria. Istilahnya uang jago, atau vulgarnya jatah preman! Jangan-jangan kontribusi terbanyak APBN Syria justru berasal dari fee? Tidak ada data pasti tentang hal ini, silahkan diabaikan.

Selanjutnya Jalur Sutera itu sendiri ialah lintasan rute yang membentang antara perbatasan Rusia/Cina, Asia Tengah-Timur Tengah, Afrika Utara hingga berujung di Maroko. Ia membelah antara Dunia Barat dan Timur. Itulah kawasan sentral pergerakan (ekonomi) barang dan jasa bahkan dikumandangkan sebagai legenda jalur militer dunia sejak dahulu kala (Silahkan dibaca: Catatan Kecil tentang Jalur Sutera di www.theglobal-review.com). Mengendalikan Jalur Sutera, identik menguasai dunia, dan menguasai Mesir dan Syria, ibarat sudah menguasai separuh jalurnya!

Masih ingat George Rich mentornya John Perkins? Simak nasehatnya: “Pergilah kau ke Mesir, dan gunakan negeri itu sebagai daerah transit untuk menaklukkan Timur Tengah dan juga daerah transit untuk Afrika”. Luar biasa! Jangankan cuma economic hit man semacam Rich, bahkan seorang pakar geopolitik Inggris sekelas Halford Mackinder (1861 – 1947) telah menelorkan Teori Heartland (Jantung Dunia). Asumsinya: “Barangsiapa menguasai Heartland maka akan menguasai World Island”. Dijelaskan oleh Mackinder, bahwa Heartland itu istilah lain Asia Tengah, sedangkan World Island adalah Timur Tengah. Tidak dapat disangkal siapapun, kedua kawasan adalah wilayah yang kaya akan minyak, gas bumi dan bahan mineral lain di muka bumi. Siapa menguasai kawasan tersebut akan menjadi Global Imperium, kata Mackinder!

Itulah sepintas asumsi melegenda puluhan tahun lampau yang masih diterapkan hingga kini oleh para adidaya khususnya Paman Sam dan sekutu. “Teori Heartland” (penguasaan Asia Tengah dan Timur Tengah)-nya Mackinder sesungguhnya hanya bagian (penggalan) dari Jalur Sutera, oleh sebab teori Mackinder tidak menyertakan kawasan Afrika Utara.

Maka wajar jika mapping kolonialisasi di dunia, bagi think tank maupun man power negeri kaum penjajah dimanapun niscaya akan merekomendasi, bahwa menguasai kedua negara (Mesir dan Syria) hukumnya wajib bahkan mutlak. Tak bisa tidak. Itulah strategi awal penguasaan geopolitik di Jalur Sutera apabila ingin ‘merajai dunia’.

Jalur Sutera dalam urgensi konstalasi politik, tampaknya menginspirasi Alfred Mahan, pakar kelautan Amerika Serikat (AS) yang hingga kini “doktrin”-nya masih dianut bahkan diletakkan sebagai dogma negara terutama angkatan laut: “Barangsiapa merajai Lautan India maka ia bakal menjadi kunci percaturan di dunia internasional”. Pantas saja jika Paman Sam tidak puas hanya dengan US Africa Command (US AFRICOM) guna mengendalikan Afrika, atau US Central Command (US CENTCOM) untuk mencengkeram Dunia Arab, dan lainnya, ia membangun pangkalan militer terbesar dunia di Diego Garcia, Kepulauan Chargos, Lautan India. Setelah itu, masih dibangun pula pangkalan militer di Pulau Socotra, Yaman. Belum lagi pangkalan militer lainnya seperti di Pulau Cocos, Darwin, Subic dan lain-lain.

Perlu dicatat baik-baik, selain Socotra itu PINTU GERBANG ke Jalur Sutera melalui Teluk Aden, Laut Merah – Terusan Suez dan bermuara di Laut Mediterania, juga letak pulau tersebut hanya 3000-an Km dari Diego Garcia, artinya jika kelak terjumpai kontinjensi situasi maka permintaan perkuatan ke Socotra bisa berlangsung secara cepat.

Penelitian Ghuzilla Humied, networking associate Global Future Institute (GFI), Jakarta, menarik untuk dipertajam walau sifatnya permulaan. Ia menemukan data bahwa komando dan kendali tertinggi gerakan AS berpusat di Pulau Socotra, sedang manuver untuk wilayah Afrika dan Arab terletak di Qatar. Ia mengingatkan bahwa media mainsteam Al Jazeera yang sering menjadi propaganda Barat justru ada di Qatar.

Adanya temuan Humied dari GFI terkait Socotra, kita perlu menengok ke belakang sejenak perihal kronologis pencaplokan pulau tersebut oleh Paman Sam. Menurut dokumen GFI, tanggal 2 Januari 2010 lalu, Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh mengadakan rapat tertutup dengan Panglima Komando Militer AS Jenderal David Petraeus. Diberitakan oleh media massa pertemuan itu adalah koordinasi penanganan aksi Al-Qaeda yang berbasis di Yaman, namun akhirnya terungkap bahwa pertemuan tersebut membahas soal Socotra. Singkat cerita, Presiden Saleh pun menyerah atas “desakan” Petraeus. Pulau Socotra diserahkan kepada AS sebagai pemegang otoritas keamanan dalam rangka War on Terror (WoT) dan menumpas aksi-aksi perompakan warga Somalia. Dalam skema WoT kelak, Socotra diproyeksikan menjadi pangkalan militer, oleh karena otoritas AS diperkenankan untuk menggelar berbagai pesawat termasuk pesawat tempur dan komersil.

Kemudahan mencaplok pulau uniq tersebut, selain disebabkan pemberian konsesi ekonomi kepada petinggi Yaman sejumlah $ 14 juta US dari Kuwait Fund for Arab Economic Development guna membangun pelabuhan, juga ada isyarat Petraeus akan memberi bantuan peralatan militer. Akan tetapi, fakta menyebut bahwa pasca penyerahan Socotra kepada AS, sesaat kemudian meletus gejolak massa dalam rangka pelengserkan Ali Abdullah dari kekuasaannya —belakangan aksi massa tadi disebut Arab Spring atau Musim Semi Arab. Pertanyaan selidik muncul: adakah korelasi antara gerakan massa di Yaman yang notabene merupakan benih Arab Spring dengan keberadaan Socotra sebagai kendali tertinggi AS untuk “manuver”-nya di wilayah Afrika dan Arab? Pertanyaan lagi: siapa berani menyanggah, bahwa maksud tersembunyi pada kalimat “Lautan India” dalam uraian Doktrin Mahan makna tersiratnya ialah Jalur Sutera? Itu sekedar retorika. Let them think let them decide!

Keluar topik sebentar tetapi masih di koridor geopolitik. Ya, bahwa keterlibatan Israel —kalau tidak boleh dikatakan dominasi— terhadap setiap gejolak di Mesir dari perspektif geostrategi boleh direka motivasinya. Telaah ideologis misalnya, apabila merujuk statement Henry Bannerman (1906) tempo doeloe (baca: Geopolitik Sungai Nil, di www.theglobal-review.com), bahwa cipta (kondisi) konflik merupakan bagian dari peran yang harus dijalankan oleh Israel selaku organ pemecah belah di jantung bangsa-bangsa Arab. Sedangkan kajian secara pragmatis, semata-mata karena faktor pipanisasi gas.

Tidak dapat disangkal, betapa tinggi ketergantungan Israel terhadap Mesir dalam hal pasokan gas alam. Menurut Dirgo D. Purbo (9/7/2013), dalam diskusi terbatas di Forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) dikatakan, bahwa pasokan gas Israel berasal dari Mesir hampir 80% lebih. Kondisi ini mirip ketergantungan Eropa Timur atas pasokan gas Rusia yang supply-nya telah mencapai 100%. Inilah “gas weapon”  Beruang Merah kepada jajaran Eropa Timur. Bisa dingin membeku Eropa Timur jika pasokan gas-nya ditutup oleh Putin. Semestinya, ketergantungan Israel atas gas dari Negeri Piramida bisa diolah menjadi gas weapon, namun dalam prakteknya tidaklah semudah itu. Kenapa? Apakah karena “kuat”-nya —kalau tak boleh mengatakan “tekanan”— hegemoni AS dan Inggris pada setiap elit yang duduk atau “diduduk”-kan di Mesir?

Fakta lain tak kalah menarik, yaitu akibat gejolak politik yang tak kunjung usai di satu sisi, kini ia mengimpor gas dari Qatar, Rusia, dan lain-lain. Tetapi di sisi lain, “pelayanan” kepada Israel dalam hal gas dengan harga murah tetap berlangsung karena pipanisasi hanya melalui Mesir. Apakah ini bermakna bahwa Mesir telah diperkuda oleh Israel? Retorikanya: apa tidak beku Israel jika supply gas-nya diputus oleh elit kekuasaan yang kelak bertakhta di Mesir tetapi kontra kepadanya?

 

Membaca konflik-konflik di Jalur Sutera (Asia Tengah, Timur Tengah dan Afrika Utara) dari perspektif geopolitik khususnya “geostrategi”-nya Bannerman, seolah-olah hanya Isreal sebagai biang keladi semua gejolak politik di kawasan kaya minyak tersebut. Kendati dalam praktek bukanlah hitam putih seperti demikian, namun banyak pendapat menganggapnya benar —termasuk Prof. Rodney Shakespeare— oleh karena merujuk awal perannya kenapa ia dulu didirikan tepat di jantung bangsa-bangsa Arab.

Sebaiknya disimak kembali statement Henry Bannerman, PM Inggris (1906) yang sangat melegenda:

Ada sebuah bangsa (Bangsa Arab/Umat Islam) yang mengendalikan kawasan kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki keyakinan, suatu bahasa, sejarah dan aspirasi sama. Tidak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lainnya. Jika suatu saat bangsa ini menyatukan diri dalam suatu negara; maka nasib dunia akan di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya (Asia dan Afrika). Dengan mempertimbangkan hal ini secara seksama, sebuah “organ asing” harus ditanamkan ke jantung bangsa tersebut, guna mencegah terkembangnya sayap mereka. Sehingga dapat menjerumuskan mereka dalam pertikaian tak kunjung henti. “Organ” itu juga dapat difungsikan oleh Barat untuk mendapatkan objek-objek yang diinginkan” (JW Lotz, 2010).

Pointers yang layak dicermati pada asumsi Bannerman di atas ialah: (1) jika bangsa-bangsa Arab bersatu maka Barat akan kehilangan kendali, bahkan nasibnya akan berada dalam genggaman bangsa Arab; (2) maka perlu ditancapkan “organ” di jantung bangsa Arab guna mencegah (persatuan)-nya berkembang menjadi kuat; (3) dan “organ” tersebut, selain berfungsi menciptakan pertikaian atau konflik yang tak kunjung henti, juga sebagai alat Barat dalam rangka mendapatkan target-target yang diinginkan.

Dan syahdan, sekian dekade kemudian berdirilah Israel di lintasan Jalur Sutera atas prakarsa Inggris!

Sekali lagi, pada konstalasi politik global sebenarnya tidak bisa dikatakan hitam putih seperti itu, banyak faktor berpengaruh, meskipun Israel sendiri dalam konflik geopolitik di jajaran negara aliran Sungai Nil bermain di “dua kaki”, yaitu berpihak pada negara-negara hilir di satu pihak, tetapi di pihak lain ia bermain pula di hulu (pembangunan dam-dam atau bendungan di Ethiopia, dll). Pertanyaannya: apa faktor-faktor yang mempengaruhi sebagaimana diurai di atas?

“Lingkaran Setan”

Tak boleh dipungkiri, dalam konteks konflik-konflik sebagaimana yang kini berlangsung di Jalur Sutera, tampaknya ada “lingkaran setan” yang ditanam dalam-dalam oleh asing, terutama terhadap para elit politik di Mesir. Lingkaran itu berupa siklus ketergantungan. Misalnya, Israel memiliki ketergantungan tinggi atas pasokan gas dari Mesir di satu sisi, namun Negeri Piramida itu sendiri dalam kendali Paman Sam di sisi lain. Bantuan $ 1,5 milyar per tahun oleh AS kepada militer Mesir sebagai misal, itu ciricumstance evidence (bukti keadaan) yang tak terbantah bahwa gilirannya “tindakan” apapun militer bila terkait politik niscaya seizin Washington, termasuk dalam hal ini adalah “kudeta” baik terhadap Mobarak, Morsi dan kemungkinan besar kepada “Mobarak” atau “Morsi-Morsi” lainnya yang akan duduk atau “diduduk”-kan berikutnya. Fakta lain tak bisa dielak lagi justru Israel itu sendiri merupakan sekutu (dekat, anak emas) tradisioanal Barat (AS) di Dunia Arab. Itulah sekilas lingkaran setan dimaksud.

Dengan demikian telah jelas, sampai kapanpun Mesir tak bakalan mampu memainkan gas weapon-nya terhadap Israel sebagaimana Putin mengendalikan Eropa Timur sebab ketergantungan (100%) atas gas Rusia. Selain itu Mesir sendiri dalam kendali AS, juga Israel sendiri mampu “bermain” dengan negara-negara Hulu dalam konteks geopolitik Sungai Nil.

Singkat kata, analisa Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI agaknya terbukti nyata, betapa militer Mesir-lah yang sejatinya memegang kendali permainan politik model apapun di Negeri Piramida. Tak bisa tidak. Lalu jika dianalogikan pada panggung atau sebuah pagelaran, bahwa siapapun Presiden Mesir maka ia hanya sekedar “wayang”, sedang “dalang”-nya adalah militer, sementara “pemilik hajatan”-nya justru Washington!

Terimakasih

Bacaan dan link:

Henry Campbell Bannerman, http://en.wikipedia.org/wiki/Henry_Campbell-Bannerman

Tony Cartalucci, History: How the US Installed a Proxy “Brotherhood” Government in Egypt, http://www.globalresearch.ca/us-struggles-to-install-proxy-brotherhood-in-egypt/31552

Prof Michel Cossudovsky, Was Washington Behind Egypt’s Coup d’Etat?,http://www.globalresearch.ca/was-washington-behind-egypts-coup-detat/5341671

United State Africa Command,http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Africa_Command

United States Central Command,http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Central_Command

Amerika Galau Sikapi Kudeta Mesir, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12509&type=1#.Udaejqx0r_c

Penguasa Sementara Mesir Diambil Sumpah Kamis, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12499&type=104#.UdU-CKx0peE

Pengadilan Keluarkan Surat Penangkapan 300 Anggota Ikhwanul Muslimin,http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12501&type=104#.UdU9_Kx0peE

Dewan Militer Mesir Gulingkan Morsi, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12489&type=104#.UdU-sax0peE

Heboh! Dialog Terakhir antara Morsi dan al-Sisi,http://www.mosleminfo.com/index.php/berita/internasional/heboh-dialog-terakhir-antara-morsi-dan-al-sisi/

Bagaimana Cina Menyikapi Transformasi Mesir? http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12517&type=1#.Ude7xKx0peE

Mesir Harus Campakkan Dominasi dan Kontrol Zionis, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12516&type=110#.Ude7vKx0peE

Uni Afrika tangguhkan keanggotaan mesir setelah Moursi digulingkan,http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12515&type=110#.Ude7uax0peE

Hendrajit, Membaca Yang Tersirat di balik Tumbangnya Presiden Mesir Mohamed Mursi, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12502&type=4#.Ude_n6x0peE

MESIR DAN ZIONIS YAHUDI, https://www.facebook.com/photo.php?fbid=467697556611555&set=a.300042313377081.66990.100001139443607&type=1

Sekjen PBB: Cegah Bentrokan di Mesir, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12525&type=104#.UdfTRqx0peE

Muhammad Elbaradei, Perdana Menteri Pemerintahan Transisi Mesir,http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12528&type=104#.UdjCS6x0peE

Jalur Sutra, http://id.wikipedia.org/wiki/Jalur_Sutra

M Arief Pranoto, Catatan Kecil tentang Jalur Sutra, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=4667&type=4#.UdkRsqx0peE

Beberapa Jam Usai Kudeta Militer, Utusan Israel Datang ke Kairo,http://news.fimadani.com/read/2013/07/06/beberapa-jam-usai-kudeta-militer-utusan-israel-datang-ke-kairo/?fb_comment_id=fbc_206244412833029_473247_206445696146234#f12993382f599cc

M Arief Pranoto, Pencaplokan Socotra, Militarisasi AS di Lautan India,http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=3213&type=4#.Udowrax0peE

Halford Mackinder, http://en.wikipedia.org/wiki/Halford_Mackinder

Tangan Amerika Ada di Mesir, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12545&type=110#.UdtuXqx0peE

Mesir Akan Hentikan Impor Gas Alam ke Israel,http://news.liputan6.com/read/393152/mesir-akan-hentikan-impor-gas-alam-ke-israel

Geopolitik Sungai Nil: “Mainan Baru” Kolonial di Jalur Sutera? (Bag-3/Habis),http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12417&type=4#.UduNbax0peE

Singapore dan Qatar Getol Terima Expatriat dari Berbagai Negara,http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=11235&type=100#.UdvZKKx0peE

Toni Ervianto, Perbedaan Kudeta di Mesir dan Indonesia,http://www.tribunnews.com/2013/07/09/perbedaan-kudeta-di-mesir-dan-indonesia

Hendrajit, Tampilnya Hazem Al Bablawi, Konsolidasi Politik Militer Berhasil,http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12562&type=4#.Ud0Of6x0peE

Hendrajit, Membaca Abdul Fattah al Sisi, Presiden de fakto Mesir,http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12554&type=4#.Ud0Of6x0peE

Saudi dan UEA Hibahkan 8 Miliar Dolar untuk Mesir, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12558&type=110#.Ud0Qpqx0peE

Mengapa AS Tak Segera Kecam Kudeta di Mesir, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12590&type=1#.Ud-aX6x0peE

Bagaimana Cina Menyikapi Transformasi Mesir?, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12517&type=1#.Ud-dEqx0peE

FAKTOR SYRIA DALAM KUDETA MESIR, http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/07/faktor-syria-dalam-kudeta-mesir.html#.Ud_7qqx0peF

http://theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12557&type=4#.U8MnM_mSySo

Artikel Terkait
» Membaca Abdul Fattah al Sisi, Presiden de fakto Mesir
» Membaca Yang Tersirat di balik Tumbangnya Presiden Mesir Mohamed Mursi
» Geopolitik Sungai Nil: “Mainan Baru” Kolonial di Jalur Sutera? (Bag-3/Habis)
» Geopolitik Sungai Nil: “Mainan Baru” Kolonial di Jalur Sutera? (Bag-2)
» Geopolitik Sungai Nil: “Mainan Baru” Kolonial di Jalur Sutera? (Bag-1)

 


Presiden Baru untuk Daulat Pertanian, Perkebunan dan Pangan

$
0
0
19-06-2014
Penulis : Hendrajit, Agus Setiawan dan Ferdiansyah Ali, Peneliti Global Future Institute
Rapuhnya Kedaulatan Sektor Pertanian dan Pangan Indonesia

Saat ini Indonesia yang merupakan negara agraris dan menjadi lumbung hortikultura (sayur, buah-buahan dan bunga), namun anehnya malah mengalami kelangkaan. Masalah kelangkaan dan tingginya harga produk-produk hortikultura sesungguhnya tidak perlu terjadi di Indonesia. 

Betapa tidak. Sebagai negara yang memiliki dua musim sebenarnya potensi Indonesia sebagai penghasil produk-produk unggulan hortikultura hampir saja tidak memiliki pesaing. Artinya potensi Indonesia sungguh besar, yatu memiliki kekayaan sumberdaya komoditas pertanian yang tinggi serta ketersediaan lahan pertanian yang lebih luas. Variasi topografi dan model demografi untuk menghasilkan produk yang bervariasi juga terbuka luas.Bukan itu saja. Dengan luas lahan perkebunan dan pertanian yang ada di Indonesia, bila dioptimalkan dengan sungguh-sungguh, maka Indonesia tidak akan lagi menjadi pengimpor beras dan kedelai. Indonesia masih memiliki lahan 60 juta hektar lahan yang belum termanfaatkan. Apabila lahan itu dikelola dengan baik untuk membangun perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, tentu mampu menarik sekitar 50 juta lebih tenaga kerja. Dengan begitu, tidak akan ada lagi orang-orang Indonesia yang menjadi TKI di negeri orang. Dan bahkan tidak ada lagi orang Indonesia yang menganggur.

Pertanyaan kita sekarang, apakah pemerintah kita sekarang sudah menempatkan sektor pertanian dan khususnya perkebunan sebagai prioritas utama pemberdayaan sektor pertanian dalam skema perekonomian nasional kita? Mari sekilas kita buat perbandingan alokasi anggaran dari sektor lain. Apabila kita melihat anggaran dalam APBN yang digunakan untuk pembelian senjata sampai tahun 2014 sebesar Rp 90 Trilyun, maka sampai tahun 2020 diperkirakan bisa mencapai angka Rp 250 triliun. Masih lebih kecil dari angka korupsi APBN kita setiap tahunnya yang mencapai Rp 800 Trilyun.Lantas berapa alokasi APBN untuk sektor pertanian? Aanggaran pertanian di APBN hanya Rp 15 triliun. Yaitu, kurang dari setengah biaya perjalanan dinas pemerintah yang mencapai Rp 32 triliun.
Bayangkan kalau saja 10 persen saja dari anggaran TNI yang sebesar Rp 90 Triliyun itu digunakan untuk membuat kluster pangan, kluster papan, membangun sawah, memproduksi kedelai, membangun pelabuhan, membuat kapal nelayan, apakah itu tidak membuat gelisah negara-negara tetangga yang selama ini memandang rendah Indonesia. Sebenarnya tidak perlu peluru dan senjata untuk membungkam Malaysia dan Singapura, cukup dengan membangun kota-kota dan pelabuhan-pelabuhan baru di kalimantan, kalau perlu membangun kota di Trans Kalimantan, maka otomatis perekonomian negara tetangga akan berkiblat ke Indonesia.

Sayangnya, hingga saat ini Indonesia dihadapkan pada dua fakta yang cukup menyedihkan di sektor pertanian dan perkebunan pada khususnya. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah petani Indonesia terus turun tajam dari tahun ke tahun. Menurut catatan BPS, jumlah petani dua bulan pertama tahun ini, Januari dan Februari 2014 menyusut 280 ribu jiwa. Menyedihkannya lagi, jumlah penduduk yang bekerja di sektor-sektor lain di luar pertanian justru mengalami peningkatan yang cukup besar.

Ada beberapa faktor penyebab yang bisa menjelaskan mengapa terjadi penurunan jumlah petani di tanah air.  Antara lain, karena ketersediaan lahan pertanian yang  hanya di bawah 2 hektar tersebut (petani gurem) ternyata banyak yang dijual dan disewakan. Faktor lain adalah kian banyak petani yang beralih ke pekerjaan ke sektor lain.

Menghadapi kenyataan yang memprihatinkan tersebut, pemerintah mencoba menerapkan solusi yang kurang begitu efektif. Yaitu, dengan membuka investasi asing di sektor pertanian. Alhasil, hal ini sama saja dengan memecahkan masalah dengan mengundang masalah baru.

Beberapa waktu lalu, seiring dengan ditinggalkannya sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama, pemerintah baru-baru ini menuntaskan revisi daftar negatif investasi (DNI). Salah satu yang direvisi adalah sektor pertanian dan perkebunan. Dua sektor yang semula tertutup untuk investor asing, kini dibuka.

Daftar negatif investasi (DNI) yang direvisi tertuang dalam Peraturan Presiden (PP) Nomor 39 Tahun 2014 yang ditanda tangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 April 2014.

Usaha budidaya tanaman pangan pokok dengan luas lebih dari 25 hektar untuk jenis tanaman padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau dan tanaman pangan lain (ubi kau dan ubi jalar), melalui PP DNI terbaru itu, kini dinyatakan terbuka bagi modal asing senilai investasi maksimal hingga 49%.

Sedangkan untuk tanaman obat/bahan farmasi, tanaman rempah, dan tanaman karet, penanaman modal asing diizinkan hingga 95 persen. Juga perkebunan tebu, tembakau, bahan baku tekstil, kapas, kelapa, kelapa sawit, teh, kopi, kakao, lada, cengkeh, dsb, kini terbuka luas untuk pemodal asing.

Dari konstruksi fakta-fakta tersebut jelaslah sudah, bahwa pemerintan sama sekali mengabaikan pemberdayaan di sektor pertanian dan perkebunan. Maka, tak heran jika Indonesia saat ini termasuk negara pengimpor produk pertanian dan perkebunan, dan gagal melakukan swadaya di kedua sektor tersebut.

Indonesia negara pengimpor produk pertanian dan perkebunan? Benar. Saat ini Indonesia malah mengimpor 29 komoditas pangan. Anehnya lagi, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sampai-sampai harus impor garam dari Australia, India, Selandia Baru, Jerman, Denmark. Ini memang aneh tapi nyata adanya.

Mari kita simak dengan seksama daftar produk impor, nilai, volume dan negara asal berdasarkan data  tahun 2013 lalu:

  1. Beras. Nilai impor sampai Agustus: US$ 156,332 juta. Volume impor sampai Agustus: 302,71 juta kg. Negara asal: Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan lainnya.
  2. Jagung. Nilai impor sampai Agustus : US$ 544,189 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,80 miliar kg. Negara asal : India, Argentina, Brazil, Thailand, Paraguay dan lainnya.
  3. Kedelai. Nilai impor sampai Agustus : US$ 735,437 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,19 miliar kg. Negara asal : Amerika Serikat, Argentina, Malaysia, Paraguay, Kanada dan lainnya.
  4. Biji Gandum. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,66 miliar. Volume impor sampai Agustus: 4,43 miliar kg. Negara asal : Australia, Kanada, India, Amerika Serikat, Singapura dan lainnya.
  5. Tepung Terigu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 45,29 juta. Volume impor sampai Agustus: 104,21 juta kg. Negara asal : Srilanka, India, Turki, Ukraina, Jepang dan lainnya.
  6. Gula Pasir. Nilai impor sampai Agustus : US$ 31,11 juta. Volume impor sampai. Agustus: 52,45 juta kg. Negara asal : Thailand, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru dan lainnya.
  7. Gula Tebu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,16 miliar. Volume impor sampai Agustus: 2,21 miliar kg. Negara asal : Thailand, Brazil, Australia, El Savador, Afrika Selatan dan lainnya.
  8. Daging Sejenis Lembu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 121,14 juta. Volume impor sampai Agustus: 25,21 juta kg. Negara asal : Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Singapura.
  9. Jenis Lembu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 192,56 juta. Volume impor sampai Agustus: 72,54 juta kg. Negara asal : Australia.
  10. Daging Ayam. Nilai impor sampai Agustus : US$ 30,26 ribu. Volume impor sampai Agustus: 10,83 ribu kg. Negara asal : Malaysia.
  11. Garam. Nilai impor sampai Agustus : US$ 59,51 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,29 miliar kg. Negara asal : Australia, India, Selandia Baru, Jerman, Denmark, lainnya.
  12. Mentega. Nilai impor sampai Agustus : US$ 60,09 juta. Volume impor sampai Agustus: 13,51 juta kg. Negara asal : Selandia Baru, Belgia, Australia, Perancis, Belanda dan lainnya.
  13. Minyak Goreng. Nilai impor sampai Agustus : US$ 45,55 juta. Volume impor sampai Agustus: 48,01 juta kg. Negara asal : Malaysia, India, Vietnam, Thailand, dan lainnya.
  14. Susu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 530,47 juta. Volume impor sampai Agustus: 139,68 juta kg. Negara asal : Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Belgia, Jerman dan lainnya.
  15. Bawang Merah. Nilai impor sampai Agustus : US$ 32,00 juta. Volume impor sampai Agustus: 70,95 juta kg. Negara asal : India, Thailand, Vietnam, Filipina, Cina dan lainnya.
  16. Bawang Putih. Nilai impor sampai Agustus : US$ 272,47 juta. Volume impor sampai Agustus: 332,88 juta kg. Negara asal : Cina, India, Vietnam.
  17. Kelapa. Nilai impor sampai Agustus : US$ 698,49 ribu. Volume impor sampai Agustus: 672,70 ribu kg. Negara asal : Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam.
  18. Kelapa Sawit. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,87 juta. Volume impor sampai Agustus: 3,25 juta kg. Negara asal : Malaysia, Papua Nugini, Virgin Island.
  19. Lada. Nilai impor sampai Agustus : US$ 2,38 juta. Volume impor sampai Agustus: 224,76 ribu kg. Negara asal : Vietnam, Malaysia, Belanda, Amerika Serikat dan lainnya.
  20. Teh. Nilai impor sampai Agustus : US$ 20,66 juta. Volume impor sampai Agustus: 14,58 juta kg. Negara asal : Vietnam, Kenya, India, Iran, Srilanka dan lainnya.
  21. Kopi. Nilai impor sampai Agustus : US$ 33,71 juta. Volume impor sampai Agustus: 14,03 juta kg. Negara asal : Vietnam, Brazil, Italia, Amerika Serikat dan lainnya.
  22. Cengkeh. Nilai impor sampai Agustus : US$ 2,79 juta. Volume impor sampai Agustus: 262,30 ribu kg. Negara asal : Madagaskar, Mauritius, Singapura, Brazil, Comoros.
  23. Kakao. Nilai impor sampai Agustus : US$ 48,52 juta. Volume impor sampai Agustus: 19,51 juta kg. Negara asal : Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Kamerun, Ekuador dan lainnya.
  24. Cabai (segar). Nilai impor sampai Agustus : US$ 360,08 ribu. Volume impor sampai Agustus: 281,93 ribu kg. Negara asal : Vietnam, India.
  25. Cabai (kering-tumbuk). Nilai impor sampai Agustus : US$ 15,00 juta. Volume impor sampai Agustus: 12,26 juta kg. Negara asal : India, Cina, Jerman, Malaysia, Spanyol dan lainnya.
  26. Cabai (awet sementara). Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,56 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,64 juta kg. Negara asal : Thailand, Cina, Malaysia.
  27. Tembakau. Nilai impor sampai Agustus : US$ 371,09 juta. Volume impor sampai Agustus: 72,98 juta kg. Negara asal : Cina, Turki, Brazil, Amerika Serikat, Filipina dan lainnya.
  28. Ubi Kayu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 38,38 ribu. Volume impor sampai Agustus: 100,80 ribu kg. Negara asal : Thailand.
  29. Kentang. Nilai impor sampai Agustus : US$ 18,18 juta. Volume impor sampai Agustus: 27,39 juta kg. Negara asal : Australia, Kanada, Mesir, Cina, Inggris.

Maka tak perlu heran jika sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan ternyata baru mampu menyumbangkan 14,43% Produk Domestik Bruto(PDB). Indonesia sebagai negara kepulauan tropis yang selalu disinari matahari sepanjang tahun, dengan tanah yang subur seharusnya sektor ini mampu menyumbangkan paling sedikit 20% PDB.

Skema Korporasi-Korporasi Asing Kuasai Sektor Pertanian Indonesia

Aspek lain yang kiranya perlu kita sorot adalah betapa besarnya monopoli kartel asing. Namun sebelum membahas ini lebih mendalam, ada baiknya kita merujuk pada pandangan Sabiq Carebesth, salah seorang Pemerhati masalah Ekonomi Politik Pangan. Menurut Sabiq, dalam sebuah sistem, kegiatan kerja bertani tidak lagi semata-mata dilihat sebagai sebuah kebudayaan bercocok tanam, melainkan bisnis.

Bisnis lalu menyangkut politik berupa lobi-lobi, patgulipat, kongkalikong, aturan pun diselenggarakan; siapa yang berhak memproduksi, mengedarkan, dan siapa yang masuk dalam “perencanaan” sebagai sasaran pengguna sekaligus disebut korban. Pengedarnya adalah pebisnis, yaitu mereka yang punya naluri, tenaga dan modal untuk menjadikan benih sebagai sumber keuntungan.

Keuntungan itu lalu diakumulasi. Akumulasi keuntungan itu lalu terkonsentrasi hanya di tangan segelintir para pebisnis yang menciptakan sistem monopoli. Monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan dan pertanian khususnya membangun oligopoli, Lantas siapa target sasaran bisnisnya yang kemudian jadi korban?  Yang jadi korban adalah para Petani kecil yang pada dasarnya masuk golongan ekonomi lemah dan kecil.

Merekalah “target” dari eksploitasi sistematis pemiskinan yang akan berlangsung pelan-pelan melalui politik ketergantungan. Mula-mula benih, lama-lama pestisidanya, lalu yang paling parah adalah sistem bercocok tanamnya, lalu corak bermasyarakatnya.

Inilah salah satu faktor yang kiranya bisa menjelaskan makna di balik data BPS ihwal menurunnya jumlah petani kita mencapai 280 ribu jiwa. Akibat dari berkuasanya sistem kartel, sektor pertanian dan perkebunan kemudian kehilangan daya tariknya.

Maka, monopoli tak terhindarkan, kartel menerapkan paham stelsel. Kartel domestik pada industri benih di dalam negeri telah diduga dilakukan World Economic Forum Partnership on Indonesian Sustainable Agriculture (WEFPISA) yang beranggotakan perusahaan-perusahaan multinasional yang telah lama mengincar pasar benih dan pangan di Indonesia.

Kartel Pangan

Dengan merujuk pada kerangka pemikiran dan pandangan pakar ekonomi politik pangan Sabiq Carebesth, kartel internasional dan nasional pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok, dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri. Di pasar internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yang diduga terlibat kartel serealia, agrokimia, dan bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan dan enam pengusaha yang ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, dan gula.

Negara sebagai sebuah institusi pelindung rakyat akhirnyaharus berhadap-hadapan dengan organisasi perdagangan yang memang berorientasi mengakumulasi keuntungan. Tak pelak keanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah membuka jalan bagi perusahaan multinasional memonopoli usaha perbenihan dan pangan.

Komite Ekonomi Nasional (KEN) misalnya menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut “ABCD”, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.

Dalam industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yang menguasai 75 persen pangsa pasar global. Dalam industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.

Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina.

Belum lagi apa yang disampaikan oleh pengamat ekonomi  pertanian UGM, Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz, dimana sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum dan terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, dan garam 70%.

Sementara informasi yang disampaian Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan, mengatakan produksi dan distribusi sayuran seperti tomat, cabai, seledri dan bawang di kawasan Garut dan Lembang juga telah dikuasai oleh Indofood Frito Lay, Heinz ABC, dan Del Monte. Sedangkan produksi dan distribusi kacang-kacangan, jagung, dan serelia di kawasan Bandung Timur, Subang, dan Purwakarta dikuasai oleh Cargill dan Charoen Pokphand.

Bidang saprotan, juga tidak lepas dari dominasi perusahaan asing dengan beroperasinya Ciba Geigy dari Jepang, BASF dan Bayer dari Jerman, serta Novartis dari Amerika Serikat yang menguasai jalur distribusi pestisida.Hal serupa juga terjadi di bidang pembenihan dengan kehadiran Monsanto yang mengembangkan bibit jagung dan kedelai, serta beberapa perusahaan Jepang untuk bibit sayuran.

Hal tersebut kemudian berdampak langsung pada maraknya kriminalisasi dan hilangnya kedaulatan petani dalam mengelola sumber pangan nasional, target swasembada pangan berkala pada 2014 akan jadi isapan jempol belaka. Tak pelak, Indonesia terperangkap dalam liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan Indonesia dibanjiri produk pangan dan manufaktur impor.

Bisa dibayangkan, berapa devisa kita yang terbuang. Maka sudah seharusnya presiden terpilih periode 2014-2019 nanti harus sadar bahwa Indonesia sekarang dalam kondisi darurat karena sudah mengimpor 29 komoditas pangan. Perlu sebuah solusi cepat dan tepat dalam jangka pendek yang mampu membalikkan keaadaan dari impor menjadi ekspor. Sehingga kita bisa membangun kembali daulat pertanian dan perkebungan.

 


Edward Snowden: Al-Baghdadi Adalah Binaan Mossad

$
0
0

Snowden MossadBaghdad, LiputanIslam.com – Edward Snowden,  mantan  mantan kontraktor teknik Amerika Serikat dan karyawan Central Intelligence Agency (CIA) mengungkapkan bahwa lembaga pelayanan intelejen dari tiga negara yaitu Amereka Serikat, Inggris dan Zionis Israel tengah bekerja sama membentuk organisasi teroris. Dari tangan-tangan Mossad, teroris Daulah Islam Irak dan Suriah (ISIS) diciptakan.

Kelompok teroris ini menampung dan menarik segala bentuk ekstremisme dari seluruh dunia dalam satu wadah, dengan menggunakan strategi yang disebut “the hornet’s nest” atau sarang lebah. Demikian laporan http://somdailynews.com/, 11 Juli 2014 yang mengutip media Iran Farsnews.

Dokumen dari American National Security Agency (NSA) yang dibocorkan Snowden, menyebutkan “implementasi terbaru, seperti yang telah diketahui sebelumnya, [dengan menggunakan strategi] berupa sarang lebah  yang melindungi kepentingan entitas Zionis. Mereka mengembangbiak-kan “aliran” yang mengusung slogan-slogan Islam seperti berjihad, namun disisi lain, mereka juga menolak keyakinan golongan lain. Dalam d
unia Islam, kelompok ini lazim disebut dengan Takfiri.

Sesuai dengan dokumen Snowden, disebutkan bahwa satu-satunya cara untuk melindungi entitas Zionis atau “Negara Yahudi” adalah dengan menciptakan musuh-musuh baru di tempat /negara yang berbatasan dengan Israel. Musuh ini (yaitu teroris)  yang akan dimanfaatkan untuk melawan plot anti-Zionis yang sejak awal menolak keberadaan Israel.

Seperti yang diketahui, negara Arab yang konsisten menolak keberadaan  Israel adalah Suriah. Sedangkan di Lebanon, terdapat front perlawanan Hizbullah yang juga sangat aktif melawan Israel. Dengan menciptakan ISIS, mau tak mau Suriah dan Hizbullah akan disibukkan untuk melawan kelompok teroris.

Lalu, Abu Bakar al-Bahgdadi juga dilaporkan telah menerima latihan intensif selama setahun oleh Mossad, termasuk belajar teologi dan cara berpidato.

ISIS adalah kelompok teroris turunan Al-Qaeda yang mencengkram wilayah Suriah dan Irak. Mengklaim diri sebagai representasi Islam yang murni, ISIS mempertontonkan tindakan brutalnya ke seluruh dunia. Berbagai ulama Islam menolak ISIS, dan menyatakan bahwa ISIS sama sekali tidak mewakili Islam. (ba)

 


Teroris ISIS ada di kubu Prahara di Indonesia

$
0
0
Teroris ISIS ada di kubu Prahara
Foto: Kaum takfiri dalam hadist Imam Ali b Abi Tholib as :</p><br /><br /><br /><br /><br /><br />
<p>Hadist di riwayatkan dalam kitab kanzul ummal (kitabnya ahlu sunnah) penghimpun al muttaqi al hindi pada halaman 31530 , sesungguhnya Imam Ali as telh bersabda sebelum seribu tahun lebih :<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />
" Jika kalian melihat bendera2 hitam tetaplah kalian ditempat kamu berada jangan beranjak dan kamu jangan menggerakkan tangan2 dan kaki2 kalian (tetap tenang) , kemudian muncul kaum lemah , tiada yg peduli padanya, hati mereka seperti besi , mereka mengaku pemilik negara "ashhaabul daulah" , tidak pernah menepati janji, berdakwah pada kebenaran tapi mereka bukan ahli kebenaran, namanya dari sebuah julukan , marganya dari nama daerah, rambut mereka tak pernah dicukur panjang seperti rambut perempuan, (jangan bertindak apapun) sehingga terjadi perselisihan diantara mereka , kemudian Allah swt mendatangkan kebenran siapa yang dikehendakinya".</p><br /><br /><br /><br /><br /><br />
<p>Nama yg diawali "abu" = julukan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />
Marganya dari daerah = Al-nama daerah.</p><br /><br /><br /><br /><br /><br />
<p>#Abu Bakar Al-Baghdadi : ISIS iraq<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />
#Abu muhammad al-Juulani : Ai-nusro syria” width=”310″ height=”155″ /></div>
</div>
</div>
</div>
</div>
<div id=

Foto ini me3nunjukan Bendera ISIS (warna Hitam), hadir dalam demo yang dipimpin oleh Prabowo di Buderan HI beberapa waktu yang lalu.

 

Baghdad, LiputanIslam.com – Edward Snowden, mantan mantan kontraktor teknik Amerika Serikat dan karyawan Central Intelligence Agency (CIA) mengungkapkan bahwa lembaga pelayanan intelejen dari tiga negara yaitu Amereka Serikat, Inggris dan Zionis Israel tengah bekerja sama membentuk organisasi teroris. Dari tangan-tangan Mossad, teroris Daulah Islam Irak dan Suriah (ISIS) diciptakan.

Kelompok teroris ini menampung dan menarik segala bentuk ekstremisme dari seluruh dunia dalam satu wadah, dengan menggunakan strategi yang disebut “the hornet’s nest” atau sarang lebah. Demikian laporan http://somdailynews.com/, 11 Juli 2014 yang mengutip media Iran Farsnews.

Dokumen dari American National Security Agency (NSA) yang dibocorkan Snowden, menyebutkan “implementasi terbaru, seperti yang telah diketahui sebelumnya, [dengan menggunakan strategi] berupa sarang lebah yang melindungi kepentingan entitas Zionis. Mereka mengembangbiak-kan “aliran” yang mengusung slogan-slogan Islam seperti berjihad, namun disisi lain, mereka juga menolak keyakinan golongan lain. Dalam dunia Islam, kelompok ini lazim disebut dengan Takfiri.

Sesuai dengan dokumen Snowden, disebutkan bahwa satu-satunya cara untuk melindungi entitas Zionis atau “Negara Yahudi” adalah dengan menciptakan musuh-musuh baru di tempat /negara yang berbatasan dengan Israel. Musuh ini (yaitu teroris) yang akan dimanfaatkan untuk melawan plot anti-Zionis yang sejak awal menolak keberadaan Israel.

Seperti yang diketahui, negara Arab yang konsisten menolak keberadaan Israel adalah Suriah. Sedangkan di Lebanon, terdapat front perlawanan Hizbullah yang juga sangat aktif melawan Israel. Dengan menciptakan ISIS, mau tak mau Suriah dan Hizbullah akan disibukkan untuk melawan kelompok teroris.

Lalu, Abu Bakar al-Bahgdadi juga dilaporkan telah menerima latihan intensif selama setahun oleh Mossad, termasuk belajar teologi dan cara berpidato.

ISIS adalah kelompok teroris turunan Al-Qaeda yang mencengkram wilayah Suriah dan Irak. Mengklaim diri sebagai representasi Islam yang murni, ISIS mempertontonkan tindakan brutalnya ke seluruh dunia. Berbagai ulama Islam menolak ISIS, dan menyatakan bahwa ISIS sama sekali tidak mewakili Islam. (ba)

Kaum takfiri dalam hadist Imam Ali b Abi Tholib as :Hadist di riwayatkan dalam kitab kanzul ummal (kitabnya ahlu sunnah) penghimpun al muttaqi al hindi pada halaman 31530 , sesungguhnya Imam Ali as telh bersabda sebelum seribu tahun lebih : ” Jika kalian melihat bendera2 hitam tetaplah kalian ditempat kamu berada jangan beranjak dan kamu jangan menggerakkan tangan2 dan kaki2 kalian (tetap tenang) , kemudian muncul kaum lemah , tiada yg peduli padanya, hati mereka seperti besi , mereka mengaku pemilik negara “ashhaabul daulah” , tidak pernah menepati janji, berdakwah pada kebenaran tapi mereka bukan ahli kebenaran, namanya dari sebuah julukan , marganya dari nama daerah, rambut mereka tak pernah dicukur panjang seperti rambut perempuan, (jangan bertindak apapun) sehingga terjadi perselisihan diantara mereka , kemudian Allah swt mendatangkan kebenran siapa yang dikehendakinya”.

Nama yg diawali “abu” = julukan
Marganya dari daerah = Al-nama daerah.

#Abu Bakar Al-Baghdadi : ISIS iraq
#Abu muhammad al-Juulani : Ai-nusro syria

 — bersama Mas Hendrajit danJamadi Wong Jatim.

Foto: Kaum takfiri dalam hadist Imam Ali b Abi Tholib as :</p><br /><br /><br /><br /><br /><br />
<p>Hadist di riwayatkan dalam kitab kanzul ummal (kitabnya ahlu sunnah) penghimpun al muttaqi al hindi pada halaman 31530 , sesungguhnya Imam Ali as telh bersabda sebelum seribu tahun lebih :<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />
" Jika kalian melihat bendera2 hitam tetaplah kalian ditempat kamu berada jangan beranjak dan kamu jangan menggerakkan tangan2 dan kaki2 kalian (tetap tenang) , kemudian muncul kaum lemah , tiada yg peduli padanya, hati mereka seperti besi , mereka mengaku pemilik negara "ashhaabul daulah" , tidak pernah menepati janji, berdakwah pada kebenaran tapi mereka bukan ahli kebenaran, namanya dari sebuah julukan , marganya dari nama daerah, rambut mereka tak pernah dicukur panjang seperti rambut perempuan, (jangan bertindak apapun) sehingga terjadi perselisihan diantara mereka , kemudian Allah swt mendatangkan kebenran siapa yang dikehendakinya".</p><br /><br /><br /><br /><br /><br />
<p>Nama yg diawali "abu" = julukan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />
Marganya dari daerah = Al-nama daerah.</p><br /><br /><br /><br /><br /><br />
<p>#Abu Bakar Al-Baghdadi : ISIS iraq<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />
#Abu muhammad al-Juulani : Ai-nusro syria” width=”310″ height=”155″ /></div>
</div>
</div>
<p> </p>
<div class=

Revolusi Mental Ala Bung Karno

$
0
0

Revolusi Mental Ala Bung Karno

7 Juli 2014 | 15:41 WIB | 3644 Views
soekarno-186.jpg

Revolusi mental! Gagasan ini sedang naik daun kembali. Memang, sejak Calon Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggulirkannya, gagasan ini cukup ramai diperdebatkan.

Gagasan ‘revolusi mental’ menggoda banyak orang. Bagi mereka, revolusi mental dibutuhkan untuk membabat habis mentalitas, mindset, dan segala bentuk praktik buruk yang sudah mendarah-daging sejak jaman Orde Baru hingga sekarang. Namun, tidak sedikit pula yang mencibir gagasan ini sebagai ‘ide komunistik’.

Gagasan revolusi mental, sebagai usaha memperharui corak berpikir dan bertindak suatu masyarakat, bisa ditemukan di ideologi dan agama manapun. Dalam Islam pun ada gagasan revolusi mental, yakni konsep ‘kembali ke fitrah’: kembali suci atau tanpa dosa. Jadi, gagasan ini bukanlah produk komunis atau ideologi-ideologi yang berafiliasi dengan marxisme.

Namun, terlepas dari polemik itu, Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 ini patut diapresiasi. Sebab, bukan hanya berhasil mencuatkan kembali nama dan figur Bung Karno, tetapi juga berhasil mempopulerkan kembali gagasan-gagasan revolusi nasional Indonesia. Salah satunya: Revolusi Mental.

Dalam revolusi nasional Indonesia, gagagasan revolusi mental memang tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno. Dialah yang menjadi pencetus dan pengonsepnya. Dia pula yang mendorong habis-habisan agar konsep ini menjadi aspek penting dalam pelaksanaan dan penuntasan revolusi nasional Indonesia.

Saya kira, sebelum mengulas esensi revolusi mental versi Bung Karno, kita perlu mengenal konteks sosial-historis yang melahirkan gagasan Bung Karno tersebut. Sebab, tanpa mengenal konteks sosial-historisnya, kita juga akan bias menangkap esensi dan tujuan dari gagasan tersebut.

Gagasan revolusi mental mulai dikumandangkan oleh Bung Karno di pertengahan tahun 1950-an. Tepatnya di tahun 1957. Saat itu revolusi nasional Indonesia sedang ‘mandek’. Padahal, tujuan dari revolusi itu belum tercapai.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek. Pertama, terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional. Situasi semacam itu memang biasa terjadi. Kata Bung Karno, di masa perang pembebasan (liberation), semua orang bisa menjadi patriot atau pejuang. Namun, ketika era perang pembebasan sudah selesai, gelora atau militansi revolusioner itu menurun.

Kedua, banyak pemimpin politik Indonesia kala itu yang masih mengidap penyakit mental warisan kolonial, seperti “hollands denken” (gaya berpikir meniru penjajah Belanda).  Penyakit mental tersebut mencegah para pemimpin tersebut mengambil sikap progressif dan tindakan revolusioner dalam rangka menuntaskan revolusi nasional.

Sementara di kalangan rakyat Indonesia, sebagai akibat praktek kolonialisme selama ratusan tahun, muncul mentalitas ‘nrimo’ dan kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex) di hadapan penjajah.

Ketiga, terjadinya ‘penyelewengan-penyelewengan’ di lapangan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Penyelewengan-penyelewengan tersebut dipicu oleh penyakit mental rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Juga dipicu oleh alam berpikir liberal, statis, dan textbook-thinkers(berpikir berdasarkan apa yang dituliskan di dalam buku-buku).

Di lapangan ekonomi, hingga pertengahan 1950-an, sektor-sektor ekonomi Indonesia masih dikuasai oleh modal Belanda dan asing lainnya. Akibatnya, sebagian besar kekayaan nasional kita mengalir keluar. Padahal, untuk membangun ekonomi nasional yang mandiri dan merdeka, struktur ekonomi kolonial tersebut mutlak harus dilikuidasi.

Namun, upaya melikuidasi struktur ekonomi nasional itu diganjal oleh sejumlah pemimpin politik dan ahli ekonomi yang mengidap penyakit rendah diri (minderwaardigheid-complex). Bagi mereka, Indonesia yang baru merdeka belum punya modal dan kemampuan untuk mengelola sendiri kekayaan alamnya. Karena itu, mereka menganjurkan kerjasama dengan negara-negara barat dan sebuah kebijakan ekonomi yang toleran terhadap modal asing.

Di lapangan politik, Indonesia kala itu mengadopsi demokrasi liberal yang berazaskan “free fight liberalism”. Alam politik liberal itu menyuburkan perilaku politik ego-sentrisme, yakni politik yang menonjolkan kepentingan perseorangan, golongan, partai, suku, dan kedaerahan. “Dulu jiwa kita dikhidmati oleh tekad: aku buat kita semua. Sekarang: aku buat aku!” keluh Bung Karno.

Demokrasi liberal ini juga menyebabkan ketidakstabilan politik dan perpecahan nasional. Akibatnya, dalam periode demokrasi liberal antara tahun 1950 hingga 1959, terjadi 7 kali pergantian pemerintahan/kabinet. Tak hanya itu, gerakan separatisme dan fundamentalisme juga menguat kala itu.

Bung Karno menyebut demokrasi liberal sebagai “hantam-kromo”; bebas mengkritik, bebas mengejek, dan bebas mencemooh. Di sini Bung Karno tidak alergi dengan kebebasan menyatakan pendapat dan melancarkan kritik. Namun, menurut dia, setiap kebebasan mestilah punya batas, yakni kepentingan rakyat dan keselamatan negara.

Di lapangan kebudayaan merebak penyakit individualisme, nihilisme dan sinisme. Kebudayaan tersebut membunuh kepribadian nasional bangsa Indonesia yang berdasarkan kolektivisme dan gotong-royong. Tak hanya itu, kebudayaan feodal dan imperialistik juga bergerilya menanamkan jiwa pengecut, penakut, lemah, dan tidak percaya diri kepada rakyat Indonesia dalam bertindak dan berbuat.

Itulah yang dihadapi oleh revolusi nasional saat itu. Dan, di mata Bung Karno, sebagian besar rintangan terhadap revolusi di atas bersumber pada corak berpikir dan bertindak yang bertolak-belakang dengan semangat kemajuan. Jadi, revolusi mental ala Bung Karno itu sangat dipengaruhi oleh konteks ekonomi-politik jaman itu. Revolusi mental-nya juga tidak diisolir dari perjuangan mengubah struktur ekonomi-politik kala itu.

Karena itu, Bung Karno menyerukan perlunya “Revolusi Mental”. Dia mengatakan, “karena itu maka untuk keselamatan bangsa dan negara, terutama dalam taraf nation building dengan segala bahayanya dan segala godaan-godaannya itu, diperlukan satu Revolusi Mental.”

Esensi dari revolusi mental ala Bung Karno ini adalah perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional. “Ia adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala,” kata Bung Karno.

Perombakan cara berpikir, cara kerja, dan cara hidup ini punya dua tujuan besar: pertama, menamankan rasa percaya diri pada diri sendiri dan kemampuan sendiri; dan kedua, menanamkan optimisme dengan daya kreatif di kalangan rakyat dalam menghadapi rintangan dan kesulitan-kesulitan bermasyarakat dan bernegara.

Untuk melancarakan revolusi mental ini, Bung Karno kemudian menganjurkan ‘Gerakan Hidup Baru’. Gerakan ini merupakan bentuk praksis dari revolusi mental. Menurut Soekarno, setiap revolusi mestilah menolak ‘hari kemarin’ (reject yesterday). Artinya, semua gaya hidup lama, yang tidak sesuai dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi, mestilah dibuang.

Namun, ia menolak anggapan bahwa Gerakan Hidup Baru hanyalah soal penyederhanaan alias hidup sederhana. “Buat apa sederhana, kalau kesederhanaan itu ya sederhanannya seorang gembel yang makan nasi dengan garam saja, tidak dari piring tapi dari daun pisang, dan tidur di tikar yang sudah amoh, tetapi jiwanya mati seperti kapas yang sudah basah, yaitu jiwa mati yang tiada gelora, jiwa mati yang tiada ketangkasan nasional sama sekali, jiwa mati yang tiada idealisme yang berkobar-kobar, jiwa mati yang tiada kesediaannya untuk berjuang. Buat apa kesederhanaan yang demikian itu?” katanya.

Bung Karno sadar, revolusi mental tidak akan berjalan hanya dengan celoteh dan kotbah tentang pentingnya perbaikan moral dan berpikir positif. Revolusi mental versi Bung Karno bukanlah ajakan berpikir positif dan optimistik ala Mario Teguh. Karena itu, sejak tanggal 17 Agustus 1957 pemerintahan Soekarno melancarkan sejumlah aksi: hidup sederhana, gerakan kebersihan/kesehatan, gerakan pemberantasan buta-huruf, gerakan memassalkan gotong-royong, gerakan mendisiplikan dan mengefisienkan perusahaan dan jawatan negara, gerakan pembangunan rohani melalalui kegiatan keagamaan, dan penguatan kewaspadaan nasional.

Yang menarik, semisal dalam gerakan hidup sederhana, yang ditekankan bukan hanya soal gaya hidup sederhana dan hidup hemat, tetapi juga upaya menghentikan impor barang-barang kebutuhan hidup dari luar negeri, penghargaan terhadap produksi nasional, dan membangkitkan kesadaran berproduksi. Soekarno sadar, gerakan hidup sederhana akan percuma jika nafsu belanja/konsumtifisme tidak terkendali. Apalagi, jika nafsu belanja itu adalah belanja barang impor.

Begitu juga dengan gerakan kebersihan/kesehatan. Di sini tidak hanya ajakan menjaga kebersihan, tetapi gerakan memassalkan olahraga sebagai jalan membangun kesehatan jasmani.

Juga dalam gerakan pemberantasan buta-huruf. Saat itu pemerintah sangat sadar, bahwa baca-tulis adalah penting untuk peningkatan taraf kebudayaan rakyat. Karena itu, pemerintah menggalang mobilisasi rakyat untuk mensukseskan gerakan ini.

Memang, seperti diakui Soekarno, revolusi mental bukanlah pekerjaan satu-dua hari, melainkan sebuah proyek nasional jangka panjang dan terus-menerus. “Memperbaharui mentalitet suatu bangsa tidak akan selesai dalam satu hari,” ujarnya. Dia juga bilang, memperbaharui mentalitas suatu bangsa tidak seperti orang ganti baju; dilakukan sekali dan langsung tuntas.

Timur Subangunkontributor Berdikari Online

http://m.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20140707/revolusi-mental-ala-bung-karno.html

 


Prabu Siliwangi dan Mitos Maung Dalam Masyarakat Sunda

$
0
0

Prabu Siliwangi dan Mitos Maung Dalam Masyarakat Sunda

29 April 2012 | 10:09 WIB | 7945 Views
Legenda Prabu Siliwangi

Dalam khazanah kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung atau harimau merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol maung, baik simbol verbal maupun non-verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal-muasal melekatnya simbol maung pada masyarakat Sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol hewan karnivora tersebut?

 

Maung dan Legenda Siliwangi

Dunia keilmuan Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.

Sistem simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.

Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnyanga-hyang. Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.

Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung[1]. Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.

Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.

Dari sini kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).

Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.

Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan  yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.

Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah? Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul pertama kali?

Kekeliruan Tafsir

Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.[2]

Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran.[3] Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.

Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.

Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata.[4] Berikut ini periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :

1.)   Prabu Surawisesa (1521-1535)

2.)   Prabu Ratu Dewata (1535-1543)

3.)   Ratu Sakti (1543-1551)

4.)   Prabu Nilakendra (1551-1567)

5.)   Prabu Raga Mulya (1567-1579)

Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf.[5] Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :

Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.

Artinya :

Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.

Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng[6] nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.

Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.

Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan PajajaranBerbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.

Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian.[7] Sepeninggal para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.

Kesimpulan

Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.

Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.

Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh. Terima kasih.

Sampurasun..

HISKI DARMAYANAKader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran.

 

[1] Kisah mengenai wangsit ini telah menjadi semacam kisah yang sifatnya “tutur tinular” dari generasi ke generasi dalam masyarakat Sunda. Sehingga sulit dilacak dari mana sebenarnya cerita mengenai wangsit ini bermula.

[2] Sebagian kalangan berkeyakinan lambang Pajajaran adalah burung gagak (kini menjadi lambang salah satu perguruan silat di Jawa Barat, Tajimalela). Sementara ada pula yang berpendapat bahwa gajah adalah simbol Pajajaran yang sebenarnya.

[3] Nama Siliwangi sudah muncul di Kropak 630, semacam karya sastra Sunda berjenis pantun pada masa Prabu Jayadewata berkuasa. Seperti halnya nama Prabu Wangi, Siliwangi juga diciptakan oleh para pujangga Sunda sebagai julukan atau gelar bagi Prabu Jayadewata. Selain Siliwangi, Prabu Jayadewata juga mendapat gelar lain, yakni Sri Baduga Maharaja.

[4] Terdapat dalam  naskah Carita Parahyangan. Naskah ini mendokumentasikan kehidupan Kerajaan Sunda-Galuh hingga Pajajaran dari berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi.

[5] Maulana Yusuf tiada lain adalah keturunan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subanglarang.

[6] Janggawareng merupakan istilah  bagi keturunan kelima dalam sistem kekerabatan Sunda.

[7] Hal ini diceritakan dalam naskah Carita Parahyangan. Migrasi besar-besaran tersebut dilakukan untuk menghindari serangan Pasukan Banten yang sangat gencar. Sementara strategi pertahanan Prabu Nilakendra amat lemah  dan tidak mampu membendung agresi Banten

SUMBER :

http://m.berdikarionline.com/suluh/20120429/prabu-siliwangi-dan-mitos-maung-dalam-masyarakat-sunda.html

 



Kejamnya Skenario Wahabi di Belakang Prabowo

$
0
0

Kilas balik 8 tahun lalu, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono kala itumemberi peringatan akan adanya, adanya penyusupan gerakan radikal ke dalam partai-partai Islam. Infiltrasi itu bertujuan untuk mendirikan Negara Islamdan menerapkan syar’iah. Menurut Juwono, gerakan radikal itu bernaung di parpol islam sambil menunggu momentum radikalisasi. Menhan kemudian meminta parpol Islam untuk waspada terhadap penyusupan itu.

Atas pernyataannya itu, Menhan menerima badai protes dari kalangan partai, salah satunya Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring. Dia menyebut pernyataan Menhan itu hanya memberi stigma negatif partai-partai Islam. Dia menyebut Menhan telah menggunakan cara-cara Orde Baru. “Kalau memang punya bukti, langsung tunjuk hidung partai mana yang dimaksud,” tantang Tifatul Sembiring menanggapi pernyataan Menhan Juwono Sudarsono.

Tak heran jika mantan presiden PKS, yang sekarang ini menjabat sebagai Menkominfo di pemerintahan SBY, bersikap sangat keras terhadap peringatan Menhan Juwuno tahun 2006. Bersama Hidayat Nur Wahid, Tifatul adalahpeletak dasar ideologi PKS. Keduanya berasal dari gerakan Tarbiyah, yang ingin mentransplantasi ideologi politik Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan ideologi keagamaan Wahabi dari Arab Saudi.

Berdirinya PKS berawal dari kelompok keagamaan yang berbasis di kampus-kampus negeri pada awal 1980-an. Kelompok ini kerap disebut gerakanTarbiyah (pendidikan) atau Usroh (keluarga). Gerakan ini disebut tarbiyah karena dibangun dengan kegiatan mentoring atau pendidikan keagamaan oleh kelompok-kelompok yang dibentuk di sekitar kampus. Setiap kelompok terdiri dari 5-7 orang yang dibimbing seorang murabbi (mentor) dengan kewajiban saling menjaga satu sama lain, tak hanya dalam aktifitas belajar tapi juga dalam aspek kehidupan sehingga seperti keluarga (usroh).

Bahkan, seorang murabbi juga bertugas mencarikan jodoh bagi anggotanya, tentu saja itu dilakukan dengan motif semakin mempersolid usroh tersebut.Karena mereka berpendapat, jika menikah dengan orang penganut Islam selain Islam cara mereka, maka dapat dikatakan sesat. Tak mengherankan, jika dalam banyak kasus, seorang anggota usroh lebih mendengarkan seorangmurabbi dari pada orang tuanya sendiri.

Perkembangan gerakan Tarbiyah di Indonesia cukup pesat, sehingga dalam tempo sepuluh tahun sejak 1980, telah menyebar ke seluruh kampus-kampus ternama di Indonesia seperti UI, IPB, ITB, UGM, Unair, Brawijaya, Unhas dan lain-lain. Kelahiran dua majalah Tarbiyah, yang terbit akhir tahun 1986, yakni Ummi dan Sabili, yang menyebarkan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin, menjadi wahana pembinaan juga sebagai media informasi dan komunikasi pemikiran Tarbiyah di Indonesia.

Gerakan tarbiyah itu berjalan secara samar-samar selama rezim Orde Baru yang terkenal totaliter. Pola gerak itu mencapai titik balik pada momentum politik 1998, di mana semua kekuatan membuka diri menyambut perubahan iklim politik Indonesia, tak terkecuali kelompok tarbiyah. Dalam iklim keterbukaan politik yang permisif terhadap semua bentuk ekspresi ideologi, para aktivis tarbiyah memutuskan untuk mendirikan Partai Keadilan (PK). Partai berlambang bulan sabit dan pedang ini dideklarasikan 9 Agustus 1998 di Masjid Al Azhar Kebayoran baru dengan diikuti puluhan ribu pendukungnya.

Tapi, jangan salah sangka bahwa keterlibatan dalam pemilu ini adalah bentuk penerimaan terhadap demokrasi, sama sekali bukan. Bagi mereka, sistem kepartaian, nasionalisme, atau pun demokrasi, hanyalah alat, cara yang bisa ditunggangi untuk mencapai tujuan membentuk negara Islam. Mereka menunggangi demokrasi untuk merebut kekuasaan, hingga nanti berhasil membuat misi mereka terwujud; Negara Islam. Bagaimana tidak? Azas Pancasila saja mereka tolak, dianggap sebagai azas sekuler kafir, dan jika ada anggotanya yang tetap menerima Pancasila, dicap futur (demoralisasi ideologi) hingga murtad bagi yang benar-benar menentang keras.

Niat PKS dengan ideologi politik Ikhwanul Muslimin ini memainkan peranan ‘playing as friend’, awalnya terlihat ramah terhadap Pancasila dan Indonesia, namun tujuan mereka sejalan dengan Hizbut Tahrir. Toh, memang penggagas Hizbut Tahrir adalah sempalan Ikhwanul Muslimin yang merasa gemas dengan pola ‘berpura-pura’ yang dianggap lambat mencapai tujuan negara Islam.

Kedekatan PKS dan ideologi Ikhwanul Muslimin memang tak bisa dipungkiri, walaupun mereka menapik adanya hubungan organisasi mau pun ideologisantara keduanya. Tapi lihat saja reaksi mereka ketika pimpinan Ikhwanul Muslimin, Moersi digulingkan dari kursi kepresidenan di Mesir, respon solidaritas PKS sangat massif melebihi solidaritas mereka terhadap berbagaikekerasan atas umat Islam di tanah air. Anis Matta, presiden PKS juga terang-terangan menyatakan bahwa inspirasi-inspirasi Ikhwanul Muslimin memberi kekuatan pada PKS. Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, berhasil mengubah pembaharuan dari wacana menjadi gerakan. Dan tak berlebihan, bila inspirasi gerak itu juga yang terasa dalam denyut Partai Keadilan Sejahtera. Demikian Anis Matta berkata.

Bahkan Dr. Yusuf Qardhawi, Partai Keadilan (yang sekarang berganti nama menjadi PKS) adalah perpanjangan tangan ikhwanul muslimin dari Mesir.

Namun, ikwanul muslimin yang mereka akomodir sebagai ideologi bukanlah yang ramah terhadap perbedaan, dan berupaya menjembatani berbagai aliran agama seperti tujuan Hassan Al Banna. Tokoh yang dipuja PKS adalah Sayyid Quthb, yang pada 1964, menulis manifesto Ma’alim fi al-Tariq (Petunjuk Jalan). Dalam pemikirannya, negara wajib menjalankan hukum Islam demi keadilan sosial. Sehingga jika ada pemerintah Muslim abai terhadap kewajiban ini, makadianggap berada di luar akidah Islam dan layak diperangi.

Lalu di mana letak Wahabi? Ikhwanul Muslimin dengan jalan pemikiran Sayyid Quthb dan Wahabi memiliki keterkaitan dan kepentingan yang sama. Raja Faishal dari Arab Saudi pernah mengirim surat kepada Presiden Gamal Abdul Nasser agar eksekusi Sayyid Quthb dibatalkan, walau akhirnya tetap digantung pada 1966. Bahkan negara Arab Saudi dengan penerapan ajaran Wahabi menjadi negara pelindung para pelarian Ikhwanul Muslimin dari Mesir pasca penangkapan tokoh-tokohnya pada masa Presiden Nasser. Memang tak mengherankan, mengingat Ikhwanul Muslimin dan Wahabi memiliki kesamaan gagasan, yaitu formalisasi syariah Islam.

Wahabi mengasosiasikan diri sebagai kaum salaf yang mengharamkan semua bid’ah dan memahami ajaran Islam secara harfiah (peringatan Maulid, tahlilan, atau ziarah kubur diharamkan) dan menganggap yang bertentangan dengan mereka adalah kafir. Sedangkan ikhwanul muslimin bergerak di bidang politik. Karena tujuan untuk mendirikan negara Islam tak lagi dapat dilakukan seperti cara NII melalui pemberontakan, tapi dengan merebut kekuasan politik. Jadi jangan heran jika dalam tubuh PKS ada Hilmi Aminuddin, putera Danu Muhammad Hasan, salah satu pemimpin gerakan Negara Islam Indonesia, Panglima NII Jawa dan Madura.

Belajar dari kegagalan cara-cara pemberontakan itu, kalangan Wahabi ini memanfaatkan alam demokrasi untuk mendirikan parpol dan merangsek masuk ke dalam birokrasi dan pemerintahan. Mereka memaksakan aturan agama Islam secara ketat hingga melanggar hak azasi warga negara yang berbeda keyakinan. Yang lebih mendekatkan Wahabi dengan Ikhwanul Muslimin adalah ketidaktundukan mereka terhadap pemerintahan negara, atas nama nasional. Mereka hanya akan tunduk pada negara dengan syariat Islam, dan setiap upaya mereka adalah untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Dalam mengembangkan sayap dan pengaruhnya, PKS melakukan infiltrasi ke berbagai ormas, lembaga pendidikan, instansi pemerintahan dan swasta. Bahkan di kampus-kampus, mereka memaksakan mentoring dan liqa’ untuk menyebarkan paham, membuat kesepakatan dengan pihak kampus, agar mahasiswa tingkat awal yang mendapatkan mata kuliah Agama Islam, diwajibkan untuk liqa’. Jika tidak mengikuti, maka ancaman nilai Agama Islam akan buruk dan mempengaruhi masa depan kelulusan karena mata kuliah wajib.

Jika ini saja bisa dilakukan oleh PKS dan kroni-kroninya di dalam kampus, maka tudingan Hashim tentang pemecatan pegawai Kristen di Kementan yang dipimpin oleh kader PKS, juga bukan hal sulit. Hal itu hanya bagian kecil dari potret bahaya yang menghadang Indonesia di masa depan, jika PKS telah menancapkan kuku kekuasaannya di setiap tubuh biroktasi.

Bagi Muhammadiyah, PKS menuggangi amal usaha, masjid, lembaga pendidikan, dan fasilitas lainnya demi tujuan politiknya. Penolakan Muhammadiyah terhadap PKS diwujudkan dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor : 149/Kep/I.0/B/2006. SKPP menyebut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai politik yang memanfaatkan Muhammadiyah demi kekuasaan politik. Karena itu SKPP menyerukan para anggota dan pimpinan Muhammadiyah agar membebaskan diri dari misi dan tujuan PKS.

Pada 2006, sebuah TK milik Aisyiyah Muhammadiyah di Prambanan yang telah berdiri 20 tahun hendak diubah menjadi TK Islam Terpadu. Di belakang rencana itu, ada Hidayat Nur Wahid yang saat itu menjabat Ketua MPR dan Dewan Pembina dan Pengurus Yayasan Islamic Centre yang berafiliasi dengan PKS. Tentu saja Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jateng keberatan dengan rencana itu. Kasus lain menunjukkan di mana PKS mengambil alih tanah masjid wakaf Muhammadiyah ketika HNW membantu membangun fisik masjid di atasnya.

Keberadaam Kelompok Tarbiyah Ikhwanul Muslimin (PKS) di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai terkuak tatkala Farid Setiawan, pengurus Muhammadiyah wilayah Yogyakarta, menulis sebuah artikel opini di Majalah Suara Muhammadiyah. Dalam artikel berjudul “Tiga Upaya Mu’alimin dan Mu’alimat” itu Farid mensinyalir penyusupan agen-agen garis keras di Madrasah Mualimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta. Kedua lembaga pendidikan menengah ini dikenal sebagai tempat pengkaderan ulama Muhammadiyah yang langsung dikelola oleh Pimpinan Pusat.

Di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), gerakan penyusupan paham Wahabi-Ikhwanul Muslimin demikian kuatnya, terutama lewat Fakultas Teknik, Agama Islam, dan Program Magister Agama Islam, di mana ketuanya adalah Dewan Syuro PKS, Dr. Muinudinillah, Lc., lulusan King Abdul Aziz University Arab Saudi. Yang menarik adalah, kira-kira tiga perempat mahasiswa S2 Studi Islam itu merupakan kader PKS yang dibawa oleh direkturnya dan mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Arab Saudi.

Penyusupan ideologi PKS di forum-forum pengajian kantor pemerintah pernah menggegerkan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok, Bogor pada tahun 2006, yang saat itu dipimpin Walikota Nur Mahmudi Ismail, mantan Presiden PKS. Hasbullah rachmad, ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Depok, mengungkapkan hal tersebut pada Desember 2006. Hasbullah memberi contoh bahwa pengajian rutin yang dibawakan guru ngaji dari Fraksi PKS di kalangan birokrasi Pemkot Depok merupakan bentuk pemaksaan. “Mereka yang ingin karirnya naik diwajibkan ikut pengajian PKS. Itu benar-benar terjadi,” kata Hasbullah.

Banyaknya kasus pemaksaan atas cara beragama dan ibadah orang lain, sesuai dengan prinsip Wahabi, yaitu mengislamkan orang Islam, karena mereka berkeyakinan hanya Islam cara mereka yang benar, dan lain adalah kafir. Dalam berbagai pengajian tarbiyah, PKS juga sering mengingatkanbahwa ada 73 aliran Islam setelah Rasulullah tiada, dan hanya ada satu yang benar dan masuk surga, yaitu kalangan mereka. Itulah doktrin dan keyakinan yang disampaikan setiap mentor kepada kadernya.

Alangkah mengherankan dan sangat patut dipertanyakan, mengapa PKS dengan Ikhwanul Muslimin ala Mesir mereka ini dapat lestari di Indonesia. Terlebih lagi di panggung politik. PKS tidak tunduk kepada arahan presiden Indonesia sebagai pimpinan tertinggi, karena kiblat dari semua perintah yang harus ditaati adalah induk organisasi mereka di Mesir. Pola ini hampir sama dengan PKI ketika era 60-an, yang tidak mengakui Pancasila dan tak mengakui kewenangan presiden terhadap negara, karena mereka hanya tunduk pada aturan Komintern (Komunis Internasional) di Uni Soviet. Bahkan Presiden Soekarno pernah menunda penetapan parpol PKI sebagai  organisasi politik legal karena tidak mengakui Pancasila sebagai azas dan memiliki garis koordinasi dengan Komintern

Seharusnya, kita belajar dari kesalahan masa lalu, dengan memeriksa betul apakah organisasi politik di Indonesia ini memang memiliki agenda nasional untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, ataukah tunduk pada instruksi induk mereka, sebagai bagian kecil dari jaringan internasional. Tapi Saudara, itulah PKS, yang senyata-nyatanya mengagumi Osama bin Laden, karena memang teroris satu itu juga mengagumi pemikiran Sayyid Quthb dan terdidik sebagai orang Wahabi. Bahkan, Anis Matta sendiri memiliki puisi yang mengagumi Osama bin Laden sebagai pahlawan yang patut diangung-agungkan! Begitu pula Aa Gym pernah membacakan balasan surat dari Osama bin Laden yang berisi sapaan bagi kalangan radikal Islam di Indonesia, dan apresiasi terhadap kekuatan besar yang sudah digalang di Indonesia untuk mendukung cara-cara garis keras Osama. Surat itu dibacakan pada acara Konser Amal Milad Daarut Tauhid di Gedung Sasana Budaya Ganesha ITB, 15 Oktober 2001.

Lalu mengapa PKS tertarik ikut serta dengan kubu Prabowo? Karena memang PKS memandanng Prabowo-Hatta sebagai orang yang potensial untuk ditunggangi. Prabowo mau mengeluarkan miliaran rupiah sebagai mahar agarPKS menjadi mesin kampanyenya (mulai dari kampanye putih hingga kampanye hitam). Yang dijual PKS adalah jaringan kader yang solid dan taklid terhadap pemimpin, sehingga bisa diandalkan sebagai mesin kampanye. Selain itu, PKS juga melihat Prabowo sangat mirip Soeharto, dan hanya dalam gaya kepemimpinan model otoriter, kuasa Ikhwanul Muslimin dan Wahabi akan dapat bertahan tanpa dianggap terlarang. Toh, PKS memang telah menjadi salah satu partai penguasa, namun dibutuhkan kuku otoriter agar wahabi dan ikhwanul muslimin tidak bernasib seperti negara asal gerakan ini; terlarang dan dimusuhi.

Tak salah rupanya, PKS memang sejalan pikiran dengan Prabowo, mengidolakan Soeharto. Bahkan pada tahun 2008 menjelang pemilu 2009, iklan PKS yang memuja Soeharto dan rasa ‘terima kasih’ kepada Soeharto menjadi kecaman. Namun sekarang, bak bertemu pasangan sejoli, Prabowo pun ingin mengangkat Soeharto sebagai pahlawan. Karena pun, ayah Hilmi Aminuddin merupakan pemberontak NII yang ‘membelot’ dan diampuni oleh pemerintahan Soeharto, kemudian bekerja sama dengan Ali Moertopo. Bahkan Hilmi pun bisa bersekolah ke Saudi atas bantuan Ali Moertopo.

Walau bagaimana pun, jika harus menjilat ludah sendiri, koar-koar menyatakan diri akan keluar jika Prabowo-Hatta membuka rekening kampanye, toh PKS sudah PASTI tidak akan keluar. Jika ada yang menjuluki PKS sebagai partai paling oportunis, ya memang, karena mereka akan demikian adanya, tetap memanfaatkan posisi, mendompleng kekuasaan, demi terwujudkan impian Negara Islam ala Wahabi dan Sayyid Quthb.

Kesamaan lain antara PKS dan Prabowo, yaitu sikap mereka yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. PKS menganggap kelompoknya yang paling benar, yang paling layak meretas jalan menuju syurga. Karena itu, semua cara halal dilakukan demi tujuan politik mereka. Meski pun, mereka harus mendzolimi sesama umat islam sendiri. Berbagai contoh di atas sangat gamblang menunjukkan bagaimana PKS mendzolimi Muhammadiyah demi tujuan politik mereka. Motif mereka jelas, melakukan semua cara untuk merebut kepemimpinan umat Islam di Indonesia.

Lagipula, PKS sama sekali tak takut dengan Hashim, adiknya Prabowo. Mereka bahkan mengetahui betul bahwa Hashim memiliki agenda tandingan dengan menguasai komunitas Kristen di Indonesia. Walaupun telah dipermalukan habis-habisan di forum internasional oleh Hashim, namun PKS percaya diri tetap bertahan di kubu Prabowo. Karena yang memegang kartu mati Prabowo Subianto adalah mereka, elit PKS dengan jaringan internasional itu. Prabowo berkuasa, maka elit PKS akan mengancam Prabowo dengan aduan pelanggaran HAM ke mahkamah internasional hingga melibatkan PBB dan AS, melalui akses Wahabi di Arab Saudi. Yang akan mereka bawa adalah surat keputusan DKP, yang menyorot Prabowo telah melenceng dari instruksi dengan melibatan satgas untuk membunuh dan memperkosa masyarakat muslim di Kampung Cot Keeng, Aceh pada akhir dekade 80-an. Hingga pun sekarang kampung tersebut dikenal sebagai Kampung Janda.

Hashim dan PKS telah berkonflik, dan terus akan berkonflik hingga salah satu dari mereka mencapai tujuan. Dan Prabowo akan memilih menyelamatkan muka dengan mengikuti kemauan PKS daripada diadukan ke dunia Internasional. Karena memang, jaringan internasional paling solid, hanya dimiliki oleh PKS dengan ikhwanul muslimin dan wahabi, bukan Gerindra. Apalagi di internal kubu Prahara, Prabowo telah ‘diikat’ mereka dengan julukan;Panglima Perang Umat Islam.

Bayangkan, mereka telah mempersiapkan sebuah perang! Perang yang akan membuat Hashim dikhianati Prabowo. Maka, ketika umat Islam Indonesia berhasil ditundukkan di bawah kendali PKS, saat itulah mereka akan menegakkan model daulah islamiyah. Mereka akan terang-terangan mendeklarasikan dukungan dan menfasilitasi perekrutan pemuda Indonesia untuk dikirim dan dibai’at sebagai pejuang ISIS, karena perjuangan inilah yang mereka perjuangkan, membentuk Daulah Islamiyah (negara Islam), tujuan dari gerakan Wahabi dan Ikhwanul Muslimin – Sayyid Quthb.

Bersiaplah Indonesia! PKS akan menjalankan indoktrinasi secara massal terhadap semua kepala yang ada di Indonesia. Dan kemudian, konflik antara PKS dan Hashim akan menjalar ke masyarakat luas. Tragedi Ambon jilid II sudah mereka persiapkan! Dan kubu yang menyimpan bara konflik ini adalah kubu Prahara. Inilah ancaman rusuh yang telah santer terdengar di telinga masyarakat saat ini.

Oleh Sindikat Jogja

 

Sumber: http://indonesia.faithfreedom.org/phpbb/viewtopic.php?f=57&t=6021&p=78317
Republika 7 Oktober 2006, diakses pada situs http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=WQ4CUlVQVVIE
Indonesia Monitor 2008a, 2008b
Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah : Bagaimana Sikap Muhammadiyah ? Agustus 2006, hlm 15
Arkal Salim dan Azyumardi Azra, “The State and Shari’a in the Perspective of Indonesian Legal Politics,” Introduction dalam buku Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore : ISEAS, 2003)
Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009
Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah : Bagaimana Sikap Muhammadiyah ? Agustus 2006

http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/09/04/msl0c5-inilah-akar-konflik-arab-saudi-dan-ikhwanul-muslimin

http://www.merdeka.com/khas/bungkamnya-putra-pentolan-nii-misteri-hilmi-aminuddin-1.html

http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/03/269582115/Hashim-PKS-Pecat-76-Staf-Kristen-di-Kementan

Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 179
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 206-207
Farid Setiawan, “Tiga Upaya Mu’allimin dan Mu’allimat,” Suara Muhammadiyah, 3 April 2006.
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 210-211
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 217
Rosihan Anwar, Sebelum Prahara; Pergolakan Politik Indonesia.

http://beritapks.com/keagungan-osama-bin-laden-dalam-puisi-anis-matta/

http://www.youtube.com/watch?v=JrH-3sziHAQPKS Ancam Keluar dari Koalisi Jika Prabowo Minta-Minta, Kamis 5 Juni 2014.

SUMBER :

http://ouropinion.info/2014/07/04/kejamnya-skenario-wahabi-di-belakang-prabowo/

 


Paradoks Kepemimpinan

$
0
0

Harian KOMPAS, Selasa 1 Juli 2014, hlm 6 (Opini)

 Oleh B. Herry Priyono

 

Musim gempita membandingkan dua calon presiden/wakil-presiden hampir usai. Negeri ini akan segera memasuki pucuk waktu. Kita hendak berdiri beberapa menit di bilik pemungutan suara untuk menerobos momen genting yang akan memberi nama hari esok Indonesia.

Apa yang berubah sesudah kedua kubu menjajakan rumusan visi dan misi, program, dan mematut-matut diri dalam debat di televisi? Tidak banyak, kecuali emosi politik yang terbelah ke dalam pertarungan abadi antara “memilih dari keputusasaan” dan “memilih bagi harapan”. Setelah berbagai timbangan nalar dikerahkan, yang tersisa adalah tindakan memilih yang digerakkan dua daya itu. Mungkin kita bahkan tidak menyadarinya.

Namun dengan itu dua kubu juga kian membatu. Masih tersisa beberapa hari bagi kita untuk menimbang pilihan dengan akal-sehat. Barangkali tiga pokok berikut dapat dipakai menambah aneka kriteria yang telah banyak diajukan.

Nafsu berkuasa

Kekuasaan dan kepemimpinan terkait integral secara paradoksal. Tidak setiap nafsu kekuasaan menghasilkan kepemimpinan, tetapi setiap kepemimpinan mensyaratkan kekuasaan. Seberapa hasrat kekuasaan yang dibutuhkan untuk kepemimpinan sejati? Di sinilah tersembunyi paradoks penting. Paradoks adalah kondisi atau pernyataan yang terdengar bertentangan atau tak masuk akal, namun sesungguhnya menyimpan kebenaran lebih utuh.

Orang yang sangat haus kekuasaan tidak pernah menjadi pemimpin baik. Sebaliknya, orang yang ditandai keengganan dan kesangsian yang sehat terhadap kekuasaan biasanya jauh lebih sanggup menjadi pemimpin baik. Sebabnya sederhana. Hanya sosok yang dapat merelatifkan atau membuat jarak dari kekuasaan sanggup menghidupi tugas agung bahwa kursi-kekuasaan tidak identik dengan dirinya, tapi sarana perwujudan mandat.

Ambillah analogi sederhana. Orang yang sedemikian haus uang tidak lagi melihatnya sebagai sarana. Siang dan malam iakesurupan memeluk uangnya dengan cara apa saja. Begitu pula orang yang punya nafsu menggelegak pada tahta. Ia lebih bernafsu menjadi penguasa, bukan pemimpin. Dari proses ini pula kediktatoran dan tirani dilahirkan. Tetapi bagaimana benih tirani itu berkembang-biak?

Pada mulanya adalah harapan. Dan harapan itu amat cemerlang, sama seperti euforia Reformasi 1998. Setelah pergantian tiga rezim yang singkat, kita menaruh harapan pada rezim yang terpilih tahun 2004. Kita mengira dalam periode pertama rezim itu akan memimpin kita menata porak-peranda Indonesia, lalu mengakhiri periode kedua yang mulai tahun 2009 dengan beberapa tonggak pemberadaban. Sampai di mana harapan itu?

Satu-dua tonggak bisa disebut, dan kegemaran akan citra juga berkibar sebagai idiom baru politik. Tapi bukan rahasia lagi rezim ini gagal menjaga jantung-kultural Indonesia, yaitu kebinekaan. Terutama lantaran impotensi-nya mencegah kelompok-kelompok tribal berkeliaran makin ganas dan meremuk siapa saja yang tidak sejalan dengan tafsir agama mereka. Bahkan polisi yang punya mandat konstitusional monopoli kekerasan lebih sibuk dengan slogan ketimbang kelugasan.

Dalam arti itulah sakit-jiwa kolektif diperanakkan lewat cara rezim ini memerintah. Maka para korban semakin mencari-cari sosok pelindung, sedangkan kaum tribal agama mencari sosok pemaksa. Orang yang bernafsu kekuasaan meledak-ledak untuk menjadi presiden Indonesia beroperasi melalui patologi kolektif ini. Dalam keterjalinan berbagai arus inilah arti ‘tegas’ lalu tidak dibedakan dengan ‘tangan-besi’ dan ‘bengis’.

Maka, silakan cermati kedua capres/cawapres. Mana sosok yang ditandai oleh nafsu menggelegak akan kekuasan? Saya berani bertaruh, sosok dengan nafsu kekuasaan yang meledak-ledak tidak akan menjadi pemimpin baik bagi Indonesia. Seandainya maju jadi calon presiden, sosok seperti ini akan mengerahkan puluhan trilyun untuk membeli suara, memakai preman dan operasi-hitam untuk mengancam pemilih, memalsu surat dan kotak suara, serta menggunakan kekerasan dan cara apa saja bagi pemenangan.

Ringkasnya, sosok ini membuat dirinya sama-dan-sebangun dengan kekuasaan. Dan caranya berkuasa digerakkan terutama oleh busungan rasa megalomania.

 

Perkara kecil

Masalah dengan sosok megalomania bukan hanya karena bermulut besar, tapi karena orang seperti itu tidak sanggup setia pada urusan kecil dan tugas kepemimpinan yang menuntut kesetiaan mengemban tugas dalam rutinitas; tanpa panggung dan media, tanpa publisitas dan tepuk-tangan. Apa yang dilakukan dan semua orang lain hanyalah alat: ia memakai rakyat untuk kekuasaan, bukan memakai kekuasaan untuk rakyat.

Itulah mengapa orang seperti ini bisa saja menjadi penguasa, tetapi bukan pemimpin. Padahal memilih presiden Indonesia bukan memilih penguasa atau selebriti, tapi seorang pemimpin. Tentu saja pemimpin perlu berpikir besar, tapi bukan sebagai megalomania. Di sinilah tersembunyi paradoks lain. Seorang pemimpin besar hanya dapat kita temukan dengan mengenali bukti kesetiaannya pada perkara dan tugas lebih kecil yang pernah diemban.

Sebabnya juga sederhana: hanya dia yang telah teruji dan terbukti setia pada perkara kecil akan sanggup setia dalam perkara besar. Hanya orang yang teruji dan terbukti setia pada tugas lebih kecil dalam lingkup lebih kecil akan sanggup setia pada tugas yang berskala lebih besar. Apakah itu niscaya? Tak ada yang niscaya dalam dunia manusia, kecuali kematian.

Namun bolehlah kita pakai kewarasan sederhana. Apakah Anda akan mempercayakan kepemimpinan Indonesia pada sosok yang terbukti tidak setia dalam tugas pada lingkup lebih kecil? Ataukah kepada sosok yang telah terbukti setia pada tugas pemerintahan dalam skala lebih kecil? Segala dalil probabilitas menunjuk pada kewarasan pilihan kedua. Dengan segala hormat, sikap keras kepala mempercayakan tongkat-kepemimpinan Indonesia pada sosok yang terbukti tidak setia dalam tugas kepemimpinan lingkup lebih kecil adalah pilihan membabi-buta.

Lingkup lebih kecil itu bisa saja kepemimpinan suatu kotamadya atau provinsi. Itu sudah cukup sebagai lingkup ujian sejauh mana calon presiden terbukti setia dalam tugas dan perkara kecil. Boleh saja orang berteriak menggelegar bahwa ia akan melakukan ini dan itu yang serba kolosal untuk Indonesia. Tetapi itu kata-kata dan slogan, yang mudah dipesan dan cepat dilatihkan. Jarak antara slogan dan kepemimpinan sejati terletak jurang teramat dalam yang tidak terjembatani apapun kecuali oleh bukti kesetiaan dalam perkara dan tugas kepemimpinan pada skala lebih kecil yang pernah diemban.

Sekali lagi, ia yang setia dalam perkara kecil juga akan sanggup setia dalam perkara besar; orang yang telah setia dalam kepemimpinan pemerintahan suatu kota juga akan setia dalam kepemimpinan sebuah negara. Sebaliknya, ia yang tidak setia dalam perkara kecil juga tidak akan sanggup setia dalam perkara sebesar negara.

Ringkasnya, sosok yang terbukti tidak setia dalam perkara dan tugas berskala lebih kecil bukanlah orang yang layak dipilih memimpin Indonesia.

 

Habitus kepemimpinan

Pokok di atas sentral bagi kewarasan pilihan. Mengapa orang yang terbukti setia dalam hal kecil jauh lebih sanggup setia dalam perkara besar? Di sinilah tersimpan pokok kunci lain yang dalam dunia pemikiran dipelajari melalui bidang ‘teori tindakan’.

Intinya, orang boleh membual tentang kehebatan kalkulasi nalar. Tetapi, penelitian demi penelitian kian membuktikan bahwa dalam sebagian besar tindakan, manusia lebih digerakkan oleh kebiasaan. Jika memakai kata yang agak keren, istilah habitus paling dekat mengungkapkan maksudnya. Habitus perilaku manusia tak mudah berubah, apalagi pada orang yang makin menua. Tentu, kepemimpinan membutuhkan daya-penalaran dan kalkulasi tinggi. Namun jauh lebih menentukan adalah ciri habitus-nya dalam memimpin, juga bila bukti habitus kepemimpinan itu terjadi pada skala pemerintahan lebih kecil.

Maka, kita dapat lugas menimbang: sosok mana yang telah terbukti punya habitus kepemimpinan baik? Habitus kepemimpinan baik adalah kebiasaan perilaku memimpin yang secara instingtif tertuju pada kemaslahatan orang biasa dan kebaikan-bersama, ciri tegas-dialogis, cemburu merawat kebinekaan, merawat lingkungan hidup, tidak korup, tidak meremuk hak asasi, tidak militeristik dan memakai kekerasan sebagai solusi instan, dsb. Sebaliknya adalah habitus memerintah yang buruk.

Bukankah itu nirvana? Ya, namun itulah cita-cita Indonesia. Itulah kisah harapan kita, yang jerih-payahnya hanya sanggup dirawat oleh pemimpin yang telah terbukti setia dalam tugas lebih sederhana, bukan sosok penuh megalomania. Jerih-payah menghidupi kisah harapan itu tidak mungkin mekar kembali tanpa ciri-cirinya juga kita tanam dan lekatkan erat-erat pada ciri habitus sosok calon pemimpin.

Sebagaimana kita tidak akan mempercayakan benih yang bagus kepada tanah yang gersang, begitu pula amat fatal jika kita mempercayakan cita-cita luhur Indonesia kepada orang yang justru berkebalikan dengan keluhuran habitus kepemimpinan. Cara menanam jalan-harapan itu adalah memilih sosok yang telah lebih terbukti punya keluhuran habitus kepemimpinan. Seperti telah disebut, cukuplah habitus kepemimpinan pemerintahan itu terbukti pada lingkup dan skala lebih kecil.

Maka kita berdiri di pucuk waktu, ketika pilihan kita akan memberi nama hari esok Indonesia. Setelah digulung riuh-rendah kampanye, mungkin kita makin gundah. Pilihan waras bagi jalan-harapan dapat didasarkan pada tiga kriteria sederhana, yang hemat saya tidak lekang digerus kebingungan.

Pertama, sosok yang bernafsu kekuasaan meledak-ledak tidak akan punya keluhuran memimpin Indonesia. Kedua, hanya sosok yang telah teruji dan terbukti setia memimpin pemerintahan pada skala lebih kecil juga akan setia memimpin suatu negara. Ketiga, hanya sosok yang telah teruji dan terbukti punya habitus luhur kepemimpinan atas lingkup pemerintahan lebih kecil juga sanggup mengemban mandat kepresidenan dengan habitus kepemimpinan luhur yang sama.

Itulah dasar memilih bagi jalan-harapan. Dalam dunia manusia, masa depan bukan hasil ramalan melainkan kemungkinan untuk dibentuk. Itulah mengapa, di pucuk waktu nanti kita mesti membentuk hari esok Indonesia bukan dengan memilih mesin-ketakutan masa lalu, melainkan dengan memilih harapan baru.

 

B. Herry Priyono, Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

 


Awal dari Sebuah Akhir untuk Prabowo Subianto?

$
0
0

16 July 2014

prabs1

PRABOWO Subianto bicara kepada pers. Ini adalah wawancara pertama yang dia berikan sesudah pemilihan presiden. Dia berbicara kepada dua wartawan British Broadcasting Corporation (BBC), Babita Sharma dalam bahasa Inggris dan Liston Siregar dalam bahasa Indonesia. Wawancara ini sedikit banyak memperlihatkan karakter Prabowo yang tidak mau menyerah kalah. ‘Losing is not an option,’ katanya kepada harian The Straits Times dari Singapura, beberapa hari lalu. Kali ini pun, tidak berbeda. Namun, sekalipun memiliki kesamaan retorik, kedua wawancara ini memiliki bobot berbeda. Wawancara dengan The Straits Times dilakukan sebelum pemilihan, sedangkan dengan BBC sesudah pemilihan.

Prabowo adalah Prabowo. Dia gandrung akan segala sesuatu yang grandeur, yang besar dan agung. Ini tampak dari bagaimana dia memandang dirinya. ‘Saya memimpin partai terbesar ketiga dari negara terbesar keempat di dunia,’ demikian dia menggambarkan dirinya. Ketika ditanya tentang semua kejahatan HAM yang dituduhkan kepadanya, dia menjawab dengan nada yang tidak kalah grandeur-nya, ‘Saya memimpin koalisi yang mewakili 2/3 rakyat Indonesia. Bagaimana mereka bisa dibodohi, begitu bodoh, untuk mendukung seseorang yang memiliki semua karakter yang menurut rival saya adalah karakter saya?’1

Retorika seperti ini sesungguhnya tidak terlalu jauh dari retorika Prabowo sebelumnya. Di banyak kesempatan, dia mengaku ingin mengembalikan posisi Indonesia sebagai ‘macan Asia.’ Dia datang ke pembukaan kampanye dengan helikopter. Turun dari heli, dia menaiki kuda yang harganya sekitar tiga miliar rupiah atau setara dengan upah minimum seorang buruh di Jakarta selama seratus empat tahun! Dengan ringan, dia mengendarai kuda itu, memakai sabuk sambil menyelipkan keris. Kita tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya ketika itu. Namun, yang jelas itu adalah pertunjukan tentang sesuatu yang grandeur, yang agung!

Pendidikan àla Barat yang dienyamnya sejak usia muda tidak menghalangi imajinasinya tentang keagungan tersebut. Tampaknya, dia sadar, seperti yang diungkapkan dalam film dokumenter Sang Patriot, bahwa dia patriot dan pahlawan seperti para leluhurnya. Pendidikan Barat-nya dilengkapi dengan imajinasi aristokratik, bahwa dirinya adalah seorang aristokrat, keturunan Raden Kertanegara atau Banyakwide, yang menjadi pembantu Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.

Prabowo adalah produk Barat. Namun, akar kearistokrasiannya bersumber dari kebudayaan Jawa. Dia adalah keturunan priyayi Jawa (kakeknya masih menyandang gelar Raden Mas) sehingga dia adalah priyayi, tetapi tanpa kejawaan di dalamnya. Satu-satunya persentuhan langsung Prabowo dengan kebudayaan priyayi Jawa adalah dari mertuanya, Suharto, anak seorang priyayi rendahan dari Kemusuk, Yogyakarta. Kesadaran akan status kepriyayian, tetapi tanpa akar kebudayaan Jawa inilah yang membuat Prabowo Subianto tampak aneh di mata orang Jawa. Dia berkuda, memakai sabuk dan berkeris, serta berpeci: ini adalah pernyataan dirinya sebagai aristokrat (kebarat-baratan dan lebih mirip aristokrat Eropa!), priyayi Jawa, dan nasionalis tulen.

prabowo4

Dengan alur imajinasi seperti ini, pantaslah dalam wawancara, beberapa kali dia mengatakan dengan penuh keyakinan, ‘I am confident I am winning!’ Tidak ada kamus kalah karena semua ‘grandeur’ ada pada dirinya.

Wawancara itu juga memperlihatkan sisi lain dari Prabowo. Dia tampak agak meradang ketika ditanya soal lembaga-lembaga survei yang memenangkan lawan politiknya, Joko Widodo dalam hitung cepat pemilihan. ‘Semua lembaga survei yang Anda sebut itu partisan,’ demikian sahutnya. ‘Mereka sudah bertahun-tahun mendukung Joko Widodo. Mereka tidak objektif. Saya pikir mereka adalah bagian dari desain besar untuk memanipulasi persepsi masyarakat.’ Dia menambahkan kalau semua lembaga survei tersebut adalah komersial dan mengklaim bisa menunjukkan enam belas lembaga lain yang menunjukkan dia menang dalam hitung cepat.

Ketika Babita Sharma, pewawancara BBC itu, menunjukkan perbedaan gaya kepemimpinan antara dirinya dan Joko Widodo, dia menyahut, ‘Dia bukan orang yang merakyat. Dia hanya mengklaim sebagai orang yang rendah hati. Tapi, saya rasa itu cuma akting.’ Dia juga menuduh bahwa Jokowi hanyalah kepanjangan tangan dari oligarki. Kerendahan hati dan sikap merakyatnya hanyalah rekayasa tim humas (public relations).

Dia pantas untuk meradang. Imajinasi aristokratiknya tidak mengizinkan seorang yang berasal dari golongan masyarakat biasa itu menjadi saingannya. Secara intelektual, Joko Widodo, lawan politiknya, memang bukan tandingan Prabowo. Dia tidak berbahasa Inggris dengan baik dan tidak memiliki pergaulan internasional seperti Prabowo. Dia bukan tentara, tidak pernah ‘mengorbankan diri’ untuk negara, sementara Prabowo selalu bercerita bagaimana dia mengorbankan masa mudanya untuk Indonesia. Pendidikan Joko Widodo juga seluruhnya dihabiskan di tanah Jawa. Kecuali bekerja sebentar di Aceh, Jokowi hidup sepenuhnya dalam lingkungan sosial dan kebudayaan Jawa. Untuk Prabowo, yang merasa dirinya punya hak (entitled) untuk memimpin Indonesia, menyerahkan negara ini kepada orang biasa yang tidak memiliki ‘grandeur’ seperti dirinya sungguh tidak masuk akal. Joko Widodo adalah semua hal yang ‘bukan Prabowo.’ Dia bukan aristokrat, bukan priyayi, bukan tentara (dia politisi), dan bukan pengusaha besar (dia hanya pengusaha mebel).

Apa yang dikerjakan secara natural oleh lawan politiknya sebagai orang Jawa, ditafsirkan oleh Prabowo sebagai hasil dari akting dan rekayasa tim public relations. Prabowo mungkin gagal memahami ini. Namun, sesungguhnya, dia juga melihat fenomena Jokowi ini dari perspektif dirinya sendiri. Prabowo sangat berhasil mengubah persepsi masyarakat pemilih Indonesia hanya dalam waktu lebih dari satu dekade lewat akting (gaya berpidatonya yang meniru persis presiden Sukarno). Tim public relations yang dia miliki menata panggung untuk dirinya sedemikian rupa sehingga Prabowo yang tampil saat ini sangat berbeda dengan Prabowo yang tampil satu dekade lampau. Bagi Prabowo, tidak ada yang natural dalam politik, pun pula tidak ada kerendahan hati. Semua itu adalah bagian dari akting yang diciptakan secara hati-hati lewat media.

Namun, sikap grandeur Prabowo mengempis ketika harus menanggapi keunggulan lawannya. Dia menjadi sangat defensif dan meminta belas kasihan sebagai korban. Ketika Babita Sharma bertanya tentang kemungkinan meledaknya kerusuhan, dia menjawab,

‘Tahukah Anda salah satu stasiun TV yang mendukung saya diserang dan satu lembaga survei yang memenangkan saya dilempari molotov? Jadi, dari mana datangnya kekerasan itu, dari mana datangnya intimidasi itu? Saya dapat laporan dari pendukung saya bahwa mereka diserang, diintimidasi di banyak wilayah di Indonesia. Tapi (kepada pendukung), saya sering bilang… tetaplah tenang, rival kita adalah saudara kita, mereka bukan musuh, tapi tidak pernah sekali pun rival saya mengatakan hal yang sama (kepada pendukungnya).’

Apa yang akan dia lakukan jika KPU mengeluarkan hasil resminya? ‘Jika KPU sudah memutuskan kehendak rakyat, saya akan menghormati, tapi tidak pernah sekali pun mereka [Joko Widodo] mengatakan hal itu, yang ada justru pengumuman kalau Prabowo menang, berarti dia curang.’

Wawancara dengan BBC ini memperjelas kondisi psikis Prabowo saat ini. Ada kesan bahwa dia tahu bahwa dirinya kalah, sekalipun dia tidak mengakui hal itu. Kita tidak tahu apa yang terjadi dalam tim Prabowo. Namun, yang jelas, mereka bukan orang-orang yang bodoh. Mereka berpengalaman memakai lembaga-lembaga survei yang mereka tuduh sebagai partisan ini. Mereka tahu persis bahwa ‘the game is over!’ dan mereka tidak memenangkan kontes ini.

Prabs2Ilustrasi oleh Alit Ambara

Namun, mengapa Prabowo tampak sangat kukuh (determined) untuk mengatakan dirinyalah yang menang dalam pemilihan ini? Dalam wawancara itu, tidak tampak sedikit pun bahwa dia akan menyerah. Hanya nada bertahan(defensive) yang mengindikasikan kekalahannya. Sikap defensif itu sebenarnya bertolak belakang dengan apa yang dia lakukan. Lagi-lagi, apa yang dia tuduhkan kepada lawannya adalah apa yang dia kerjakan sendiri. Beberapa contoh di bawah ini mungkin akan memperjelasnya.

Pertama, Prabowo berusaha meruntuhkan citra lawannya dengan menuduh sikap kerakyatan yang ditunjukkan rivalnya hanyalah bagian dari public relations. Namun Prabowo tidak mengakui bahwa dia sendiri membayar konsultan dari Amerika Serikat, Rob Allyn, untuk memoles citranya. Rob Allyn, dalam wawancaranya dengan harianThe Financial Times, tidak membantah bahwa dia menjadi konsultan untuk Prabowo.2

Kedua, dia menuduh lawannya dikendalikan oleh oligarkh atau orang kuat yang berkuasa secara politik dan ekonomi. Dia tidak pernah menyadari bahwa dia sendiri adalah juga seorang oligarkh. Dia dan keluarganya memiliki kekuasaan politik dan ekonomi yang luar biasa sehingga mampu mengendalikan sebuah kekuatan politik ‘nomor tiga terbesar di negara nomor empat terbesar di dunia.’

Ketiga, dia mendudukkan diri sebagai korban dari ‘desain besar’ lembaga-lembaga survei komersial yang bertujuan membentuk persepsi masyarakat. Dia juga membesar-besarkan penyerbuan kader-kader PDIP (yang digerakkan oleh Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo) atas TVOne – salah satu TV yang dengan membabi buta mendukungnya – karena stasiun TV ini menyiarkan berita PDIP disusupi kader PKI. Dia juga menyebutkan lembaga survei yang mengumumkan kemenangannya diteror dengan bom molotov. Dan tidak lupa, tepat di hari pemilihan, Prabowo sempat ‘memarahi’ stasiun-stasiun TV yang dianggap tidak memihak dirinya.

Namun di sisi yang lain, Prabowo tidak pernah menyinggung kekuatan raksasa yang dia miliki untuk membentuk opini masyarakat. Di bidang pertelevisian, Prabowo didukung oleh dua baron media, yakni Hary Tanoesoedibjo dan Aburizal Bakrie. Hary Tanoesoedibjo lewat Media Nusantara Citra group mengontrol tiga stasiun televisi, yaitu RCTI, MNCTV, dan Global TV. Sementara, Aburizal Bakrie lewat PT Visi Media Asia mengontrol ANTV and TVOne. Joko Widodo hanya didukung oleh satu stasiun TV, yakni MetroTV milik taipan Surya Paloh. Dipandang dari sudut mana pun, jelas telah terjadi bias media dalam kampanye pemilihan presiden ini. Prabowo menguasai 44 persen air coverage dari stasiun-stasiun televisi yang dimiliki para sekutunya. Sebaliknya, Joko Widodo hanya mengontrol tiga persen air coverage. Ketimpangan seperti ini, toh tidak menghalangi Prabowo untuk mengamuk kepada stasiun-stasiun TV yang tidak mendukungnya.3

Di lain pihak, Prabowo bungkam terhadap kampanye-kampanye hitam yang dilancarkan terhadap kubu lawannya. Kampanye sistematis lewat pembunuhan karakter, penyesatan informasi, hingga ke pemakaian ras dan agama (menuduh Joko Widodo sebagai keturunan Cina dan Kristen) tidak pernah ditanggapi oleh Prabowo. Demikian pula serangan yang dilakukan oleh tabloid Obor Rakyat, tidak sekalipun terdengar Prabowo berkomentar tentang kampanye-kampanye hitam ini.

Keempat, Prabowo membangkitkan kesan bahwa dia akan dicurangi dalam penghitungan suara. Namun, di sisi yang lain, dia juga mengatakan bahwa dia didukung oleh partai-partai koalisi yang mewakili 2/3 jumlah pemilih Indonesia. Dia juga didukung oleh semua partai politik yang saat ini memerintah, termasuk Partai Demokrat. Dukungan yang besar dari partai-partai ini membuat dia tampak sebagai calon incumbent ketimbang sebagai calon penantang(challenger). Dari sisi ini, sulit rasanya untuk mengerti bagaimana mungkin dia akan dicurangi. Dia memiliki semua peralatan untuk mengontrol hasil pemilihan. Dia juga lebih memiliki kontrol terhadap birokrasi dan militer Indonesia. Bagaimana mungkin dia dicurangi?

Psyche Prabowo, yang melihat dirinya dalam perspektif grandeur: sebagai aristokrat didikan Barat, keturunan priyayi Jawa, dan nasionalis tulen itu, mempersulitnya untuk menerima kekalahan. Untuk itu, dia memaksa membela diri dengan mengemukakan bukti-bukti dari lembaga-lembaga survei, yang tampaknya dia sendiri juga tidak memercayainya. Jika bukan untuk kepentingan mempolitisasi dan membangun opini publik, saya yakin Prabowo dan tim kampanyenya tidak akan pernah memakai lembaga-lembaga survei yang memenangkan dia.

Namun, pemilihan presiden ini bukanlah urusan Prabowo sendirian. Dia didukung oleh sebuah koalisi besar partai-partai. Saya juga tidak yakin bahwa para elite partai-partai ini tidak tahu akan kondisi ‘delusional’ yang ada di dalam koalisi ini. Mereka bukan orang-orang yang bodoh. Saya percaya, pada waktu-waktu sekarang ini, para elite politik yang bergabung dengan koalisi Prabowo sedang sibuk mencari ‘exit strategy’, yaitu bagaimana bisa keluar dan mendapatkan konsesi yang baik dari pihak yang dalam pemilihan lalu menjadi lawannya.

Sekarang, tinggal Prabowo sendiri. Apa yang akan dia lakukan? Kepada BBC yang menanyakan apa yang akan dilakukannya kalau ternyata kalah, Prabowo berkata:

‘Apa? Saya yakin menang, tapi Anda tahu… jika rakyat Indonesia tidak memerlukan saya, saya tidak apa-apa. Saya punya kehidupan yang baik. Saya akan kembali ke kehidupan saya, kehidupan tenang di luar politik. Saya melakukan ini karena kewajiban saya untuk melayani bangsa saya.’

Hingga di sini pun masih terlihat kondisi psyche Prabowo yang tidak bisa menerima kekalahan. Barangkali, dia lupa bahwa ada satu sikap dari kebudayaan Jawa yang, yang mungkin juga tidak pernah bisa dipahaminya, sekalipun dia adalah keturunan priyayi Jawa, yang diterapkan ketika menderita kekalahan, yakni legowo. Ini adalah sebuah sikap untuk menerima kekalahan dan mengakui ketidakmampuan dengan lapang dada. Wawancara dengan BBC ini, menurut hemat saya, adalah awal dari sebuah akhir pertaruhan Prabowo untuk menjadi presiden Republik Indonesia. Prabowo harus legowo! ***

Penulis adalah peneliti dan jurnalis lepas

 

1Wawancara selengkapnya bisa dilihat di sini: https://www.youtube.com/watch?v=fDJPBUzdYzc&feature=youtu.be&app=desktop

2http://blogs.ft.com/beyond-brics/2014/07/08/subiantos-us-adviser-denies-indonesian-election-smear/

3Lihat alporan dari Reuters, ‘In Indonesia’s presidential race, ex-general a winner in proxy TV battle’http://in.reuters.com/article/2014/06/15/us-indonesia-election-media-idINKBN0EQ07F20140615

 

Sumber : http://indoprogress.com/2014/07/awal-dari-sebuah-akhir-untuk-prabowo-subianto/

 


Syiah di Nusantara

$
0
0

Syiah di Nusantara

KONTEN TERKAIT

Sejarawan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, meyakini Islam yang sampai di Asia Tenggara paling dahulu ialah aliran Syiah. Aliran Syiah dibawa oleh para pedagang Gujarat, Persia, dan Arab ke pantai timur Sumatra, terutama ke Perlak dan Pasai, dan mendapat dukungan dinasti Fathimiah di Mesir.

Pada tahun 800 Masehi, sebuah kapal dagang berlabuh di Bandar Perlak. Armada itu mengangkut seratus saudagar Muslim Arab Quraisy, Persia, dan India, yang dipimpin nakhoda Khalifah. Mereka membarter kain, minyak atar, dan perhiasan dengan rempah-rempah. “Rombongan misi Islam yang dipimpin Nakhoda Khalifah semuanya orang-orang Syiah,” tulis sejarawan A. Hasjmy dalam Syi’ah dan Ahlussunnah.

Sejak itu, mereka kerap datang ke Bandar Perlak sehingga banyak orang Perlak masuk Islam, termasuk Meurah (Maharaja) Perlak dan keluarganya. Sebagai penghargaan kepada Nakhoda Khalifah, pada tahun 840 Masehi diproklamasikan kerajaan Perlak yang beribukota Bandar Khalifah, saat ini letaknya sekira enam kilometer dari kota Peureulak. “Kerajaan Islam yang pertama berdiri di Indonesia yaitu Perlak, boleh dinamakan Daulah Syi’iyah (Kerajaan Syi’ah),” simpul Hasjmy.

Dalam perjalanannya terjadi perebutan kekuasaan antara Sunni dan Syiah di Kerajaan Perlak. Sehingga Kerajaan Perlak terbelah dua: Perlak pesisir untuk Syiah dan Perlak pedalaman untuk Sunni.

Persengketaan terhenti ketika mereka menghadapi musuh bersama; Sriwijaya, yang menyerang Perlak pada 986 Masehi. Pada tahun 1006, perang usai karena Sriwijaya harus perang melawan kerajaan Medang yang dipimpin Dharmawangsa. Karena Sultan Perlak pesisir gugur, kerajaan Perlak dipimpin Sultan Perlak pedalaman. Sejak itu, Sunni berkuasa dalam waktu lama.

Pengaruh Syiah merambah kerajaan Samudra Pasai. Kerjaaan ini didirikan pada 1042 oleh Meurah Giri, kerabat Sultan Mahmud dari kerajaan Perlak yang menganut Sunni. Meurah Giri jadi sultan pertama dengan gelar Maharaja Mahmud Syah. Keturunannya memerintah Pasai sampai 1210. Pascakematian Sultan Al-Kamil yang tak meninggalkan putra mahkota, terjadi perang saudara.

Pada 1261 Meurah Silu, juga keturunan Sultan Perlak, mengambil-alih kekuasaan Pasai. “Meurah Silu adalah seorang Islam sejak awal, bukan diislamkan kemudian. Akan tetapi Islamnya adalah Islam Syiah, yaitu mazhab yang berkembang di Perlak,” tulis Ahmad Jelani Halimi, sejarawan Universitas Sains Malaysia, dalam Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu.

Namun Dinasiti Fathimiah rontok pada 1268. Terputuslah hubungan antara kaum Syiah di pantai timur Sumatra dan Mesir. Dinasti Mamluk, yang berkuasa di Mesir dan beraliran Syafii, mengirim Syekh Ismail ke pantai timur Sumatra untuk memusnahkan aliran Syiah. Syekh Ismail berhasil membujuk Meurah Silu untuk menyeberang ke aliran Syafi’i. Hubungan dengan Mamluk di Mesir jelas terlihat dari gelar yang dipakai Meurah Silu, Malikul Saleh. “Gelar ini merupakan gelar pendiri kerajaan Mamluk Mesir, Sultan Malik al-Saleh Najmuddin al-Ayyubi,” tulis Ahmad Jelani.

“Selama Sultan Malikul Saleh berkuasa, agama Islam aliran Syiah ditindas,” tulis Slamet Muljana.

Sultan Perlak terakhir meninggal pada 1292. Setelah itu, Perlak menjadi bagian dari kerajaan Samudra Pasai di bawah Sultan Malikul Zahir, anak Malikul Saleh.

Menurut Hasjmy, kaum Syiah yang terjepit di Perlak berusaha menguasai Pasai. Usahanya berhasil dengan naiknya Arya Bakooy bergelar Maharaja Ahmad Permala menjadi perdana menteri pada masa pemerintahan Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu (1400-1428). Perang kembali pecah antara pengikut Sunni dengan Syiah. Arya Bakooy tewas dalam suatu pertempuran. Syiah pun tersingkir dari arena politik di Samudra Pasai. Tetapi, sebagai suatu aliran politik dan agama, ia masih terus hidup, teristimewa sekali sebagai suatu aliran tasawuf, tarekat, dan filsafat.

Portugis yang telah menguasai Malaka, menebarkan ancaman. Kerajaan-kerajaan Islam: Perlak, Samudra Pasai, Beunua (Teumieng), Lingga, Pidie, Daya, dan Darussalam, bersatu menjadi kerajaan Aceh Darussalam pada 1511 di bawah pimpinan Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah. “Di kesultanan ini, kelompok Ahlusunah dan Syiah dapat secara bebas menyampaikan akidah dan pemikiran tasawuf mereka meskipun terkadang terjadi perselisihan di antara mereka,” tulis Muhammad Zafar Iqbal, doktor sastra Persia dari Universitas Tehran Iran, dalam Kafilah Budaya.

Selama Samudra Pasai di bawah perdana menteri Arya Bakooy, tokoh besar Syiah Syekh Abdul Jalil berangkat ke Tanah Jawa. Di daerah Jawa dia kemudian dikenal sebagai Syekh Siti Jenar. Di Jawa, dia harus berhadapan dengan sejumlah wali dalam perebutan pengaruh agama dan politik. Siti Jenar akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman mati.

Syiah juga menjalar ke Minangkabau. Namun kemudian mendapat tentangan dari kaum adat, terutama tiga haji yang baru kembali dari Mekah: Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin. Ketiga tokoh Wahabi tersebut membentuk gerakan untuk menentang aliran Syiah dan pemurnian agama Islam.

Di Aceh sendiri, pada abad ke-16 dan 17, tokoh-tokoh ulama Syiah dan Ahlusunah dari Arab, Persia, dan India silih-berganti datang. “Di antara para penganjur aliran Syiah yang utama di pantai timur Sumatra ialah penyair Hamzah Fansuri dari Barus dan Syamsuddin al-Sumatrani pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Aliran Syiah di kesultanan Aceh itu pun kemudian dibasmi oleh para pengikut aliran Syafi’i yang dipimpin oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniri,” tulis Slamet Muljana.

Dalam pengantar buku Syi’ah dan Politik di Indonesia, Azyumardi Azra, direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, meragukan klaim-klaim mengenai pergumulan dan kekuasaan Syiah di Nusantara. Dia menyoroti kelemahan pokok dari sisi metodologi dan sumber-sumber sejarahnya.

Terlepas dari masih diperdebatkan, yang jelas Syiah bagian dari kita: Indonesia.

Selengkapnya laporan khusus “Syiah: Pendiri Kerajaan Islam Pertama di Nusantara” di majalah HistoriaNomor 6 Tahun I, 2012.

(Historia – Hendri F. Isnaeni)

Temukan makanan dan minuman seru untuk Lebaran dengan harga terjangkau di Shoptacular

Berita Terkait:
Naskah Ajaran Islam Awal di Jawa
Empat Tokoh Islam di Indonesia
Syiah yang Dilupakan
Ahmadiyah di Indonesia
Koko Masuk Islam
Wabah Jubah
Islam Arab atau Islam Cina?

Sumber : historia.co.id

 

Syiah yang Dilupakan

Syiah hadir di Nusantara sejak ribuan tahun lampau. Jejak sejarahnya bisa digunakan untuk meredam konflik Sunni-Syiah.

OLEH: HENDARU TRI HANGGORO
Dibaca: 4972 | Dimuat: 28 Februari 2013

KETIDAKTAHUAN masyarakat terhadap sejarah dan ajaran Syiah dinilai berperan dalam menyulut bara konflik Sunni-Syiah di Indonesia hingga sekarang. Karena itu, bangsa ini mudah labil dalam menyikapi perbedaan dua aliran besar dalam Islam itu. Demikian dikatakan Husain Heriyanto, staf pengajar Universitas Indonesia, dalam International Conference on Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia, di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 21 Februari 2013.

Ketidaktahuan itu tak hanya menimpa khalayak awam, tetapi juga pemuka agama. Kala budayawan Agus Sunyoto duduk di bangku pesantren, gurunya berpesan agar menjauhi ajaran Syiah. “Menurutnya Syiah itu anti-maulid, anti-wiridan, dan anti-ziarah. Padahal itu Wahabi,” kata Agus, penulis buku Atlas Wali Songo. “Keberadaan dan pengaruh Syiah telah mengakar di beberapa wilayah Nusantara sejak 1400 tahun lampau.”

Di Maluku Tengah, pengaruh ini terejawantah dalam bentuk tarian Ma’atenu. Tarian ini diperkenalkan masyarakat Hatuhaha. “Mereka komunitas muslim tertua di Maluku yang terbentuk sejak abad ke-8. Pemimpin mereka beroleh nasab dari Ali bin Abi Thalib. Karena itu, tarian ini ditujukan sebagai bentuk pujian untuk Nabi Muhammad, Ali, dan keturunannya.”

Mencabik-cabik tubuh dengan benda tajam menjadi ciri tarian ini. Persis dengan tarian dalam tradisi Syiah untuk memperingati peristiwa Karbala. Hingga kini tarian ini masih lestari. “Ajaran Syiah sudah menyatu dengan kebudayaan leluhur Islam Maluku,” kata Yance Zadrak Rumahuru, pengajar Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Ambon. “Sayangnya, kontribusi ini kerap diabaikan.”

Pengaruh Syiah juga ditemukan di Sumatra. Mohammad Ali Rabbani, atase Kedutaan Besar Iran, menyatakan jejak peninggalan dari orang-orang India di Sumatra kental dengan pengaruh Syiah, misalnya Tabuk dan makam-makam bertarikh abad ke-17.

“Ini karena orang India yang datang ke Sumatra dipengaruhi Persia. Orang-orang itu menganut mazhab Syiah,” kata Rabbani. Sebaliknya, orang Persia dan India juga mengambil tradisi orang Sumatra. “Interaksi ini menguntungkan umat Islam. Satu bangsa saling mengambil manfaat dari bangsa lainnya.”

Di Aceh keadaannya agak berbeda. Penduduk di sana lebih dulu akrab dengan tradisi Persia. “Sebelum Syiah menjadi mazhab resmi di Persia, orang-orang Aceh telah bersentuhan dengan kebudayaan Persia,” kata Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, pengajar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Aceh.

Karena itu, sulit membedah tradisi Syiah, Persia, dan Aceh. “Semua ini sudah diblender di dalam dayah(pesantren). Hasilnya dituangkan di luar dayah,” ujar Kamaruzzaman. Meski begitu, konflik berdarah Syiah-Sunni pernah terjadi di Aceh pada abad ke-17. Ini karena kelompok ekstrem dalam Sunni atau Syiah mendominasi Aceh kala itu.

Jejak sejarah Syiah yang panjang di Nusantara, menurut Azyumardi Azra, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, bisa dimanfaatkan untuk meredam konflik Sunni-Syiah. “Sudah jelas bahwa Sunni-Syiah tak lagi bisa dilihat secara hitam-putih. Keduanya saling mempengaruhi.”

Laporan utama Syiah, Pendiri Kerajaan Islam Pertama di NusantaraHistoria nomor 6 tahun 1, 2012.

http://historia.co.id/artikel/modern/1179/25/Majalah-Historia/Syiah_yang_Dilupakan


Misteri Sejarah Kebudayaan: “Kalau Nyunggi Wakul Jangan Gembelengan”

$
0
0

Kalau Nyunggi Wakul Jangan Gembelengan

“Bapak-bapak dan Ibu-ibu jangan banyak berharap kepada saya. Jangan bandingkan saya dengan para ustadz, para alim ulama dan para penceramah yang hebat-hebat itu karena saya tidak punya kemampuan seperti mereka. Sebab saya bukan berlatar belakang santri sehingga tidak punya banyak ilmu agama seperti mereka. Saya disini hanya sami’na wa atho’na kepada para pemrakarsa kegiatan ini. Jadi, malam ini saya hanya akan mengajak sholawatan dan berdzikir sedikit-sedikit”, demikian Cak Nun membuka pengajian di lapangan markas KOPASUS Kandang Menjangan, Surakarta pada 29 Juni 2012 malam yang lalu.

Kegiatan peringatan Isra’ wal Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh KOPASSUS Grup II Kandang Menjangan malam itu dihadiri ribuan masyarakat dan berbagai kalangan dari pejabat birokrasi, para ulama serta kiai di Surakarta dan sekitarnya.

Cak Nun mengawali uraiannya dengan mengingatkan jama’ah pada penggalan ayat dalam Surah An-Nas, “Di Al-Qur’an itu ayat yang berbunyi Alladzii yuwaswisu fisuduurinnas, itu Allah mengabarkan bahwa ada kekuatan-kekuatan di luar dirimu yang mengadu domba kalian. Kita rukun berabad-abad tapi tiba-tiba kita bertengkar itu karena di dalam pikiran dan hati kita ada yuwaswisu fisuduur itu,” papar Cak Nun. Pada kesempatan awal, Cak Nun kembali mengutarakan mengenai adanya gejala yang sedang memposisikan Solo sebagai daerah eksperimen adu domba.

Pokok e, nek moco koran, moco buku, ndelok tivi, ngrungokne SBY pidato (pokoknya kalau membaca koran, membaca buku, menonton siaran televisi, mendengarkan SBY pidato) selalu ingatlah yuwaswisu fisuduurinnas itu tadi. Jadi saya dan siapapun tidak bisa melindungi Indonesia dari yuwaswisu fisuduurinnas,” Cak Nun menandaskan.

Di hadapan ribuan jama’ah itu Cak Nun berusaha menarik hubungan antara konflik yang sedang terjadi di beberapa negara Arab sekarang dengan posisi Indonesia dalam kancah politik dan kepemimpinan dunia di masa mendatang. Keyakinan yang disampaikan oleh Cak Nun mengenai “keunggulan” bangsa Indonesia itu didasari oleh kenyataan psikologi sosial dan karakteristik genealogi yang dikandung oleh bangsa Indonesia. Dalam pandangan Cak Nun, masa depan dunia ada dalam pangkuan Bangsa Indonesia sebab bangsa kita memiliki kelengkapan elemen-elemen dan instrumen sebagai pemimpin, baik dari sisi budaya, bahasa, mental psikologi, sosial, dan sebagainya.

Untuk menjelaskan apa yang telah diuraikan ini, Cak Nun lantas mengambil contoh dari lagu tradisional Jawa, Gundul-Gundul Pacul. “Perhatikan lagu Gundul-Gundul Pacul itu, wakul itu “wadah sego” (wadah nasi), yang maksudnya adalah kesejahteraan rakyat. Sedangkan gundul (kepala) melambangkan pemimpin yang tugasnya nyunggi wakul (meletakkan kesejahteraan rakyat di tempat paling atas/prioritas utama). Wakul harus dibawa dengan cara disunggi (diletakkan di atas kepala), tidak boleh dicangking(ditenteng/dibawa dengan tangan), dikempit (diletakkan di antara pinggang dan lengan yang dirapatkan) atau dipikul. Kalau gundul(kepala/pemimpin) yang nyunggi wakul (mengurusi kesejahteraan rakyat) itu gembelengan ( seenaknya sendiri, arogan, mbagusi, semena-mena) maka wakul akan tumpah berceceran di jalan. Nah, anda tahu kan? Kalau nasi di piring itu dimakan orang/manusia, tapi kalau nasi berceceran di jalanan siapa yang memakan? Tentu ayam dan binatang-binatang lainnya. Kalau demikian, jika petugas penyunggi wakul-mu gembelengan sehingga nasi (kesejahteraan)-nya tumpah, itu artinya engkau semua, kita diposisikan sebagai binatang,” urai Cak Nun.

Pada bagian selanjutnya Cak Nun menegaskan agar kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia kembali membangun kemandirian diri. Menurut pandangan Cak Nun, selama ini kita telah terseret terlalu jauh oleh pusaran takhayul modernisme yang dihembuskan dari bangsa di luar kita sehingga kita kehilangan kebesaran kita sendiri. Kita terlalu menyandarkan hampir setiap tata nilai hidup terhadap bangsa Barat sehingga kita kurang berkonsentrasi dan tidak mampu menemukan jati diri kita sebagai bangsa yang merangkum kebesaran.

Tuo ngendi, Etan opo Kulon (tua mana, Timur atau Barat)? Kok yang memimpin Barat? Itu artinya Kebo Nusu Gudhel“, jelas Cak Nun. ” Selama ini anda dibohongi, seakan-akan ilmu datangnya dari Barat, padahal kalau anda mau meneliti dan belajar anda akan mengetahui bahwa semua ilmu itu lahirnya dari Timur. Filsafat, matematika, astronomi dan hampir semua ilmu lahir dari Timur. Bahkan semua agama lahirnya dari Timur kan? Tapi kita selama ini disuruh nyusu gudel“, Cak Nun meneruskan penjelasannya.

Namun demikian Cak Nun menyampaikan optimismenya bahwa bangsa kita akan menjadi bangsa yang paling kuat terhadap kehancuran oleh karena 2 faktor, yaitu:

  1. Karena anda tidak pernah berhenti berusaha mendekat kepada Tuhan
  2. Karena bagaimanapun rusaknya manusia Indonesia, mayoritas dari masyarakat kita tetap menjaga keluarga dan rumah tangganya masing-masing. “Bagaimanapun jahatnya seseorang, ia tetap baik-baik dengan keluarganya”, kata Cak Nun.

“Kita berkumpul di sini seperti ini adalah salah satu bukti bahwa kita selalu tidak berhenti mendekat kepada Tuhan. Kenapa kita berkumpul seperti ini? Saya yakin anda semua bertujuan di antaranya adalah agar terjalin persaudaraan sesama kita. Ini juga terjadi di banyak tempat di Indonesia yang saya yakin hal seperti ini tidak akan terjadi di tempat lain di dunia orang berkumpul sebanyak ini, kecuali di Indonesia. Maka dari itu jika pada suatu hari nanti ada sesuatu yang besar yang akan terjadi di dunia, bangsa Indonesialah yang akan jadi penyelamatnya, ” Cak Nun mengungkapkan keyakinannya.

Dengan mengajak hadirin memperhatikan bentuk morfologi kepulauan Indonesia, Cak Nun berujar bahwa Indonesia adalah suatu tempat yang memang telah dipersiapkan sebagai “kapal Nuh” yang akan sanggup menampung sangat banyak keberbedaan di dunia ini melalui tata kelola sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pergesekan dan hidup dalam keselarasan. Maka dari itu sekali lagi Cak Nun menegaskan agar kita belajar sejarah sehingga menumbuhkan pengertian, pengetahuan dan kesadaran bahwa kita adalah bangsa besar. “Kita harus percaya diri bahwa kita adalah bangsa besar”, Cak Nun menandaskan.

Dalam kesempatan ini, Cak Nun mempersilahkan beberapa orang santri dari pondok pesantren di sekitar Surakarta untuk melantunkan sholawat bersama-sama hadirin. Tak ketinggalan pula, dua orang Ibu-ibu yang hadir juga dipersilahkan Cak Nun maju ke depan dan bersama-sama seluruh jama’ah yang hadir menyanyikan lagu Tombo Ati. Peringatan Isra’ Mi’raj malam itu semakin lengkap keindahannya karena Mbak Novia Kolopaking juga hadir dan menghibur hadirin dengan lantunan suara merdunya.

Pada bagian akhir acara, Cak Nun menegaskan kepada para jama’ah bahwa sorga itu tidak mencari orang yang mencari sorga, tapi surga mencari orang yang mencari Tuhan. Meneruskan paparannya, Cak Nun mengilustrasikan dengan cerita mengenai 2 orang penghuni surga yang oleh Tuhan dipanggil untuk dimintai keterangan tentang musabab mereka masuk neraka. Setelah keduanya disuruh balik, ternyata karena 2 penghuni neraka ini sama-sama berprasangka baik dan bersuka ria dengan perintah Tuhan, maka akhirnya Tuhan memasukkannya ke surga. Ini sekedar ilustrasi tapi mengandung pengertian bahwa setidak-tidaknya kita bisa menjalankan 2 hal untuk mencapai rahmat dan karunia Tuhan, yaitu selalu berprsangka baik kepada kehendak Tuhan dan senang hati melakukan perintah-Nya.

Dengan demikian, lanjut Cak Nun, kita seharusnya semakin waktu harus makin dewasa sebagai ummat beragama. Seyogyanya, adanya perbedaan di antara kita disikapi secara wajar dan selalu menyediakan diri untuk berlapang jiwa. “NU dan Muhammadiyah adalah salah satu jembatan menuju Islamnya Nabi Muhammad, jangan kita berselisih dan bertengkar karena “jembatan” itu”, Cak Nun mengumpamakan. Yang paling penting menurut Cak Nun, Orang Islam harus memberi rasa aman kepada siapa saja disekelilingnya.

SUMBER :

http://misteribudaya.blogspot.com/2013/02/kalau-nyunggi-wakul-jangan-gembelengan.html?spref=fb


Viewing all 1300 articles
Browse latest View live




Latest Images

Pangarap Quotes

Pangarap Quotes

Vimeo 10.7.0 by Vimeo.com, Inc.

Vimeo 10.7.0 by Vimeo.com, Inc.

HANGAD

HANGAD

MAKAKAALAM

MAKAKAALAM

Doodle Jump 3.11.30 by Lima Sky LLC

Doodle Jump 3.11.30 by Lima Sky LLC